Pahlawan Tak Dikenal
karya Toto Sudarto Bachtiar
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda.
3 notes
·
View notes
Jalan Menuju Fajar
Tidak ada yang mampu menghentikan langkah Bari untuk keluar dari lingkungan tempat ia dibesarkan, meskipun rumah itu adalah oeninggalan almarhum kakeknya, namun, lingkungan itu dirasa hampir mengganggu mentalnya belakangan ini, dengan oerlengkapan sederhana, Bari membawa lari mobil milik ayahnya, sementara itu ibu angkatnya sedang menjaga bayi yang baru lahir itu.
Ya bayi yang baru lahir itu
Mobil Bari bergerak melewati jalan sempit diantara deretan rumah yang memiliki balkon mini, sekumpulan anak laki-laki dan tiga orang dewasa sedang duduk di pinggir jalan, semak belukar yang kini menggantikan sebagian tembok beton yang membatasi pekarangan rumah, Bari memijat pelipisnya kemudian menghidupkan radio mengalun lagu-lagu slow rock dan kemudian diganti dengam musik tahun 60an
Memasuki daerah perkotaan, jalanan saat itu terlihat lengang dan basah usai hujan, bangunan-bangunan tua yang kini dikelola oleh negara, dan beberapa pohon ditanam sebagian rusak oleh badai dua hari yang lalu, Bari melewati sekolah lamanya, lalu membuang muka, sekelebat bayang akan kenangan serta coretan di bangku di dekat lapangan bulu tangkis, rambut ikal warna kayu eboni dan mata sebening air danau. Suara klakson mobil membuyarkan ingatan Bari, kemudian menginjakan gas memasuki tengah hutan.
Apa yang sebenarnya aku lakukan adalah kalimat yang terus menggema di dalam benak Bari, setelah pernikahan besar ayahnya, malam itu Bari menghubungi Dema sahabatnya di bangku sekolah, pemilik toko piringan hitam di seberang jalan dekat rumah Bari yang lama, menjadi pendengar keluh kesah Bari, dengan setia sambil menghidupkan sebatang rokok, Bari bercerita tentang kecantikan istri baru ayahnya dengan nada ketus dan aneh, wanita itu baru sekali ditemui ayahnya, dan seketika ayahnya jatuh cinta dengannya, butuh waktu beberapa tahun untuk bisa mencintai seseorang seketika Bari merasa jijik dengan ayahnya, dema menuangkan anggur ke dalam gelas Bari, Bari ingat saat itu pukul tiga pagi, tak seorang pun menghubunginya, saat-saat seperti itu, rambut ikal berwarna kayu eboni dan mata sebening air danau kembali memenuhi kepala Bari
Melewati hutan saat ini adalah yang paling gelap, melewati ribuan pohon maple, hembusan angin paling dingin, Bari menutup kaca jendela dan membunyikan radionya lebih keras lagi, Bari mencoba memahami apa yang sedang terjadi kemudia tersenyum, ia ingat nasehat ibunya dengan membiarkan dirimu tersenyum, hati sepedih apapun akan terasa membaik seiring waktu, mengingat ibunya yang sering menjemur pakaian dibawah balkon rumah, dan memotong buah semangka untukknya, air mata Bari mulai berlinang, bagaimana bisa ia satu atap dengan wanita yang bukan ibunya, wanita itu sebaik apapun tidak akan bisa menggantikan ibunya, sama seperti wanita manapun tidak akan bisa menggeser ingatannya tentang rambut ikal berwarna kayu eboni dan mata sebening air danau itu, bahkan wewangian cendana yang menguar di kamar ibunya masih tercium seperti sebuah catatan bisu tentang kenangan ibunya yang sampai kapanpun akan ia bawa sama seperti mobil hasil curian dari ayahnya yang kini membawanya keluar dari hutan dan masuk ke sebuah jalan membelah bukit tiada pohon dan rerumputan, Bari melihat kompas, jalan itu menuju arah timur, dimana ia akan melihat fajar
Melihat barang bawaannya, dengan perlengkapan sederhana, dan beberapa pakaian, serta satu botol air mineral, Bari akan melakukan sebuah perjalanan tanpa tujuan, Dema pernah berkata bahwa jalanan ini akan membawa Bari ke sebuah desa dan beberapa kilo ke arah barat ia akan memasuki sebuah kota kecil, memakan waktu dua hari satu malam, dan Bari memutuskan untuk menginap di dalam mobil, malam ini cuaca akan cerah menurut ramalan cuaca yang ia dengar di radio, akan ada taburan bintang, disekeliling Bari hanya ada pasir, tanpa rumput dan pepohonam, bukit-bukit tinggi dan langit malam, bergantung bulan sabit di ujung jalan, seolah membawa Bari ke dalam angin dingin dan aura bulan malam itu terasa merasukinya hingga ke dalam sukma, Bari melambatkan mobilnya dan membiarkan mobilnya melaju sementara pikirannya melambung, ia merasa bulan sabit itu seperti berbicara padanya bahwa dia akan menemaninya dalam perjalanan singkat ini
Berbagai ilusi mebayang di dalam benak, membawanya kembali pada rambut ikal berwarna kayi eboni dan mata sebening air danau, Bari hanya menatapnya dari kejauhan, sering menyelipkan setangkai mawar di bawah bangkunya, setelah sekian lama akhirnya Bari tahu, rambut ikal berwarna kayu eboni dan mata sebening air danau itu bernama Gita, Bari menyimpan kenangan dengan rapi di dalam benak, hingga suatu ketika kabar itu berhembus, ditemukan seorang gadis bergantungan tali di hutan tempat Bari melintas, seiring serpihan hati Bari lalu tertiup angin bulan juli, seseorang telah mematahkan hati gadis itu, meninggalkan janin di dalam perutnya kemudian pergi meninggalkannya, seandainya saja Bari mampu mengutarakan isi hatinya, belum terlambat untuknya menatap mata sebening air danau itu lebih lama, kesempatan itu terlewat atau memang kesempatan tidak ingin bersahabat dengannya, rambut ikal berwarna kayu eboni dan mata sebening air danau milik Gita tetap hidup dalam ingatan, seandainya ia mampu memutar waktu, kesempatan untuk menuju Gita seperti sebuah awan, terlihat mudah namun sulit digapai, ketika digapai tak mudah untuk digenggam, menguap lalu menghilang, Gita adalah awan yang berarak diatas langit, membentuk gulungan lalu menggantung, ketika hujan ia berwarna hitam, ketika terik ia menghilang, namun rekaman itu tidak akan pernah menghilang dan selamanya selalu ada, bahkan di saat Bari memasuki bangku kuliah, Bari memacari tiga orang wanita, semuanya berambut ikal, meskipun tidak berwarna seperti kayu eboni, mata bening seperti air danau sulit ditemukan dan tak tergantikan.
Jam menunjukan pukul 12:30 musik di radio berganti menjadi musik jazz klasik, Bari membuka air mineral lalu meminumnya, bulan sabit mulai menaiki langit dan kini tepat di atasnya, Bari mengurungkan niatnya untuk menghentikan mobilnya, keinginan untuk berhenti dan memandang bulan bukan ide yang baik, udara dingin berhembus kencang diluar sana, gugusan bintang mulai terlihat, di kanan kiri hanya ada bukit dan hamparan pasir, Bari terdiam cukup lama, di pikirannya terbayang wajah marah ayahnya, kehilangan mobilnya, lalu membayangkan wajah ibu angkatnya dan bayinya, semenjak kedatangannya, wangi cendana kesukaan ibunya berganti, tata letak ruangan pun berubah, namun foto ibunya masih menggantung di kamar ayahnya, Bari ingat saat malam pernikahan ayahnya, foto ibunya masih bergantung di kamar pengantin ayahnya seolah menyaksikan sendiri semuanya dalam kebisuan
Bari tersenyum, menyadari sudah berapa lama ia memendam kebencian terhadap ayahnya, sejak ia dipukuli karena terlambat pulang, saat Bari ketahuan mencuri permen di toko seberang rumah, ayahnya menyebut Dema binatang, saat itu Bari menyelinap masuk ke dalam garasi, kemudia paginya terjadi kehebohan, motor ayahnya terbakar di depan rumah dan tidak ada satupun yang menyadari Bari pelakunya. Saat itu ibunya berada di dapur kemudian lambat laun menyadari melihat Bari duduk dengan santai di meja makan sambil mengolesi selai dan tersenyum ke arahnya sambil mengucapkan selamat pagi, sementara ibunya berdiri mematung sambil memegang pisau, ayahnya dengan wajah merah padam dan memarahi seisi rumah, mengepalkan tangannya dan bertekad mencari pelakunya, menelpon semua teman-teamn dan mengerahkan seluruh preman yang ada di sekitar rumah, Bari merapikan piring sarapannya, kemudian mengambil tas dan memakai sepatu lalu membuka pintu rumah sambil bergumam
"Bodoh"
Naluri seorang pemberontak tumbuh subur dalam dirinya, mendengar tangisan ibunya dan pukulan yang selalu melayang diwajah ibunya dan keesokan harinya ibunya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa terpikir untuk memasukan cairan cuci baju ke dalam kopi ayahnya namun Bari mengurungkan niatnya, naluri kebaikan yang diturunkan ibunya masih mengalir di dalam darahnya saat itu Bari masih berumur delapan tahun, hingga seiring jalannya waktu musim berganti musim perselingkuhan itu terjadi dan perceraian itu pun terjadi. Ibunya menyambut sukacita dan itu hanya di awal, lalu ibunya jatuh sakit memendam kebencin dan rasa sakit, patah hati dan cinta yang terlalu besar akhirnya meninggal oleh karena pria berpikiran dangkal dan tak punya hati, membakar motornya pun tidak membuat pemikiran ayahnya berubah, kesabaran Bari akhirnya habis, setelah pernikahan ayahnya, Bari memutuskan pergi dari rumah, tersenyum membayangkan nasib wanita baru pengganti ayahnya, keindahan hampa yang disuguhi ayahnya, perlahan akan menghilang bagaikan awan
Bari mengendarai mobilnya perlahan, lamunan Bari melayang, sewaktu ia memasuki umur belasan tahun, Bari bertemu dengan seorang kakek tua yang duduk di sebuah bangku taman, kakek itu menemani cucu perempuannya bermain tersenyum ke arah Bari, seperti magnet, Bari duduk di sampingnya. Kakek tua itu menawarkan roti Bari menolaknya kemudian kakek itu bercerita banyak hal pada Bari, ternyata kakek itu adalah seorang prajurit, mata yang di sebepah kanan adalah mata palsu sementara yang di sebelah kiri masih berfungsi dengan baik, lalu bercerita tentang masakan tradisional yang hingga kini masih ia kuasai lalu mengundang Bari untuk ke rumahnya sesekali namun Bari hanya mengucapkan terima kasih, saat itu hari mulai senja, Kakek dan Bari masih duduk di bangku taman sementara cucu kakek tertidur di pangkuannya, kakek itu hanya duduk seperti tenggelam dalam lamunan dan Bari pun tidak beranjak sedikitpun dari bangku taman. Lalu kakek itu berbicara panjang lebar dengan dongeng negeri utara yang setiap harinya hanya ada salju, musim dinginnya panjang dan hanya melihat matahari sekali dalam satu tahun, negeri yang diselimuti es bahkan bunga pun tak mungkin tumbuh di sana. Bari hanya mengangguk dan membayangkan seperti apa negeri utara, lalu kakek berbicara memecah lamunan Bari dan berkata, jika suatu saat nanti kau kehilangan harapan dan merasa hidupmu tiada guna, pergilah ke arah timur, disana kau akan melihat matahari terbit, dimana matahari terbit melambangkan hari baru, kesempatan baru dan kehidupan yang baru, sekali berjalan tetaplah berjalan dan jangan sesekali menoleh kebelakang, semasih matahari terbit di arah timur, dan tenggelam di arah barat, kesempatan selalu ada. Bari merenungkan ucapan kakek lalu tertunduk menatap kedua tangannya, hatinya yang dingin mulai terasa hangat, ia mampu menggantikan hidupnya yang pilu dan mengecewakan ini dengan kehidupan yang baru, yang selalu menawarkan cerita baru dan ia pun dapat menuliskan hidupnya sendiri dengan tangannya sendiri, Lalu Bari beranjak dan mengucapkan terima kasih pada kakek kemudian berbalik menuju rumahnya, saat itu Bari bertekad untuk mengubah arah hidupnya jika saat itu sudah tiba, ia akan melangkah menuju arah timur dimana matahari selalu terbit, seiring hela nafas dan darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
Sebentar lagi, Bari akan melihat matahari terbit di ujung jalan sana, langit mulai terang, bintang pun menghilang, bulan sabit yang bergantung dilangit mulai lenyap digantikan oleh cahaya keemasan di ujung jalan sana, perlahan naik matahari pagi yang dinantinya, seberkas cahaya keluar diantara bukit, jalan masih sepi, mobil Bari melaju diiringi keyakinan yang terpatri dalam hati, bayangan ayahnya mulai lenyap, sambil mengucapkan selamat tinggal pada rambut ikal berwarna kayu eboni dan mata sebening air danau miliki Gita, wangi cendana ibunya seolah menemani Bari menuju gerbang kehidupan baru, matahari mulai terbit naik perlahan memberi cahaya emas penuh kehangatan do hati Bari, untuk pertama kalinya Bari tersenyum penuh ketulusan menatap sang fajar yang seolah berucap selamat datang.
1 note
·
View note
Sepertinya aku melakukan sebuah kesalahan besar.
Dimana aku berhasil membuat diriku hancur seperti orang kehilangan harapan.
Aku termakan egoku yang meyakini tidak ada manusia yang dapat dipercaya.
Bahkan untuk sebait sajak indahpun aku tak mampu kubuat kini.
Inikah yang dinamakan kehilangan asa? Inikah yang dirasakan seseorang yang kehilangan semangat dan harapan? Apa yang kulakukan telah berhasil membunuh semua mimpi yang kurangkai selama ini.
Kekecewaanku terhadap diri sendiri membuatku sulit bahkan membuka jendela tuk melihat fajarpun hatiku sakit
Melihat wajah sendiri di cerminpun aku tak mampu
Yang kulakukan saat ini hanya bisa menangis
Sakit teriris karena kekecewaan besar
Ini adalah titik terendah dalam hidupku
Tubuh pun lunglai, bahkan berjalanpun aku tak mampu
Seperti terjatuh ke dasar jurang terdalam
Aku lelah bepergian menggunakan topeng
Aku lelah harus selalu memamerkan senyum kepalsuan
Aku lelah menahan luka yang tak kunjung sembuh
Aku lelah melawan segala ketakutan tanpa batas
Aku lelah mendengar kata mereka
aku lelah dihina
Aku lelah diremehkan
Aku lelah harus menahan tangis melihat pandangan mereka
Aku lelah harus menutup telinga agar suara mereka tak dapat kudengar
Aku lelah aku lelah dan lelah
Aku pergi sepanjang hari tanpa arah
Aku bawa diriku keluar dari lingkaran itu
Aku sadar yang kulakukan malah membuatku semakin jatuh tersungkur
Aku harus selalu belajar tuk bisa cuek dengan ini
Namun bukan karakterku mudah melupakan.
Aku berubah menjadi orang yang arogan
Aku berubah menjadi orang tidak mudah percaya dengan orang
Aku berubah menjadi orang yang kaku dan dingin
Aku bukanlah aku yang dulu
Keadaan membuatku semakin jatuh
Aku berusaha berdiri selalu berusaha berdiri
Namun pertahanku kini runtuh
Hari kehancuranku semakin mendekat
Aku semakin hari semakin lupa bagaimana tersenyum
Semakin hari harus selalu bercanda dengan bayangan
Aku semakin masuk dalam kesendirian
Aku tidak percaya dengan siapapun lagi
Aku kecewa dengan hidupku
Aku putus asa
Aku patah semangat
Aku kehilangan harapan
Aku telah menghancurkan hidupku
Aku membunuh masa depanku
Aku benci hidupku
Bahkan saat ini memegang kalung rudraksha pun aku tak mampu
Bahkan melihat diriku di depan cerminpun aku malu
Bahkan setiap kali aku ingat akan kenyataan
Aku selalu berusaha menutup mataku
Namun batinku selalu berteriak padaku
Apa yang terjadi denganku
Ini bukanlah diriku…
Bukan diriku
Tubuhku terjatuh lunglai
Menangisku teriakku tajam
Air mataku luruh seketika
Wajahku memerah karena marah
Badanku menghangat
Tanganku menggapai gapai hendak bangun
Namun tanganku hanya menggapai kekosongan
Kakiku lunglai
Helai demi helai rambut ini luruh
Kusadari atas kenyataan pahit ini
Aku terjatuh kini
Tak bisa bangkit kembali
Mataku kosong
Aku pergi tanpa arah
Pikiranku berkelana
Menjauhi kenyataan yang seharusnya kuhadapi dengan berani
Namun belenggu putus asa sedang menghinggapi….
Sungguh
Aku benar-benar terjatuh-
-B.W-
0 notes