Text
The Symphony of Death

TW // CW: Extreme Violence, Torture, Mutilation, Murder. Dead Dove: Do Not Eat This story contains graphic depictions of violence, brutal torture, mutilation, and disturbing psychological elements. It is not recommended for readers who sensitive to explicit content involving physical suffering, extreme pain, and gruesome killings. Please read responsibly. If you feel uncomfortable or triggered, consider stopping. A/N: Before you dive into this, here’s a quick disclaimer—this is the darkest thing I’ve ever written. If you’re not into graphic content, feel free to skip it. No hard feelings. I get that this might be unsettling for some of you, and if it is, my bad. But if you’re here for the thrill, then buckle up. Just don’t say I didn’t warn you. Appreciate all the support, as always. Stay sane out there.
Sunyi.
Hanya terdengar dentingan piano yang mengalun lembut. Jemari Hermione menari di atas tuts, memainkan melodi yang ia ciptakan sendiri—simfoni kematian. Di belakangnya, Adrian terikat di kursi, tubuhnya gemetar hebat, ia sudah bangun sedari tadi setelah dibuat pingsan oleh Hermione selama 1 jam, kini Hermione memaksa Adrian untuk menonton pertunjukan kecilnya terlebih dahulu sebelum perempuan itu melancarkan aksinya.
“W-why are you... doing this??” suara Adrian bergetar, matanya melirik sekeliling ruangan tanpa harapan. Oh Tuhan, ruangan ini benar-benar sangat menyeramkan. Bau anyir darah tercium menusuk hidungnya, dan yang paling membuat bulu kuduknya merinding adalah koleksi jari manusia di dalam toples, tengkorak kepala manusia, juga berbagai macam bagian tubuh lainnya yang Hermione ambil dari tubuh korban-korban sebelumnya sebagai 'kenang-kenangan' semuanya tersusun rapi di sebuah rak.
Hermione tidak menjawab. Dia hanya menyelesaikan lagunya dengan satu nada panjang, lalu berbalik. Senyumnya tidak ada, hanya mata yang tajam dan kosong menatap mangsanya. Dia berdiri dari kursinya lalu perlahan berjalan mendekat, jemarinya meluncur ke dagu Adrian, mengangkat wajahnya agar sejajar dengannya.
“Mau main sebentar tidak?” tanyanya, suaranya begitu tenang, hampir terdengar penuh kasih.
Di meja kecil di samping kanan Adrian, ada setumpuk kertas dan sebuah pena. Adrian menelan ludah. Hermione mengambil pena dan juga kertas itu, menyelipkan penanya ke jemari Adrian yang gemetar.
“Tulis pesan terakhirmu.”
Adrian buru-buru mencoretkan kata-kata di kertas, berharap ada seseorang yang akan menemukannya nanti. Tapi dia tidak tahu bahwa kertas itu tidak akan pernah keluar dari ruangan ini.
Hermione menunggu sampai tinta terakhir mengering. Matanya menyusuri jari-jari Adrian yang bergetar, sebelum tangannya terulur untuk menyentuh jari-jemari itu lalu tanpa peringatan—crack!—dia mematahkan satu jari dengan tangannya sendiri.
Jeritan Adrian menggema di ruangan, memantul di dinding-dinding kedap suara. Pena yang berada di tangannya jatuh ke lantai, matanya memejam rapat menahan rasa sakit yang luar biasa.
"Sakit?" Hermione berbisik pelan.
"Orang-orang kayak temenmu ini harus disingkirin." Hermione berjongkok di hadapan Adrian yang sedang kesakitan bahkan sampai menangis karena jarinya yang sudah patah, mengulang kembali ucapan Adrian 1 minggu yang lalu terhadapnya.
"Apa mulutmu memang selemes itu biarpun baru ketemu sama orang baru?"
Hermione mengukir sebuah pola-pola kecil di atas lutut Adrian menggunakan jarinya, "mungkin kamu yang harus di singkirin."
Adrian dengan mata berkaca-kaca menatapnya ketakutan, "please, i'll do anything... i–i'm sorry okay? Iya gue nggak mikir dulu sebelum ngomong beberapa hari yang lalu—" belum sempat Adrian menyelesaikan ucapannya sebuah tamparan keras dari Hermione mendarat di pipi kanannya.
"Who told you to talk back? Keep that shit to yourself." Ucapnya buat Adrian tidak lagi berani membalas.
"Baru pertama kali bertemu sudah berani mengomentari tentang seksualitas saya. Kamu siapa? Temen saya saja bukan. Memangnya kenapa kalau saya lesbian? Kamu takut Gwen, saya rebut? Kamu takut cewek yang kamu suka, naksir saya?" imbuh Hermione lagi, buat Adrian seketika mendongakkan kepala menatap wajahnya manakala mendengarkan nama gadis yang ia suka disebut oleh Hermione.
"Kok lo... tau?" Hermione terkekeh mendengar ucapan Adrian.
"Ain't that obvious? Kamu setiap hari cari perhatian ke dia, menawarkan jemputan lah, ajak dia nonton bioskop lah, bawain coklat buat dia lah. Saya agak muak liat muka sok gantengmu itu kalau sudah di depan Gwen."
Hermione meraih meja baja yang mengkilap berada di sisi kiri Adrian. Cahaya redup dari lampu di atasnya memantulkan bayangan samar di permukaan alat-alat yang tertata rapi—scalpel, pinset, tang kecil, serta botol kaca berisi cairan bening. Semua alat itu telah disterilkan dengan sempurna. Tidak ada yang berantakan di sini. Tidak ada yang keluar dari kontrolnya, Hermione terlihat seperti dokter yang tengah bersiap melakukan operasi sekarang.
"Dan saya sudah bersumpah, akan menyingkirkan siapa saja yang berani mendekati Gwendolyn. Gadis itu milik saya, bukan milik yang lain." Hermione melanjutkan ucapannya.
Napas Adrian tersengal dan penuh ketakutan. Matanya membesar bergetar, berkaca-kaca, memohon belas kasihan yang tentu saja tidak akan pernah didapatnya.
Hermione mengenakan sarung tangan lateks dengan perlahan, merasakan ketatnya material menempel di kulitnya. Ia duduk di kursi yang berada di hadapan Adrian, lalu mengambil tangan Adrian dengan lembut, seolah sedang memegang sesuatu yang berharga meskipun salah satu jarinya sudah ia bengkokkan.
“Saya selalu penasaran,” ucapnya pelan, nada suaranya terdengar hampir manis, seperti seseorang yang sedang berbicara dengan kekasihnya. “Berapa lama seseorang bisa bertahan sebelum kehilangan kesadaran karena rasa sakit?”
Adrian tersentak, berusaha menarik tangannya, tetapi sia-sia. Hermione sudah mengangkat scalpel dan dengan gerakan terkontrol, dia membuat sayatan kecil di pangkal kuku telunjuk Adrian. Darah langsung merembes keluar, mengalir perlahan di sepanjang jarinya.
Adrian menahan napas, rahangnya mengeras menahan jeritan.
Hermione menatapnya senyuman manis tarpatri di wajah cantiknya, “menahan diri, ya? Bagus, saya suka yang seperti ini.”
Dia lalu menyelipkan pinset halus ke bawah kuku yang mulai terangkat, memberi tekanan sedikit demi sedikit, hingga—crack!
Kuku itu terlepas sebagian. Adrian menjerit, tubuhnya bergetar hebat, tapi Hermione tetap tenang. Dia tidak terburu-buru.
“Masih ada sembilan lagi,” bisiknya lembut.
Dengan sabar, dia mengulangi prosesnya, satu per satu. Setiap kali kuku terlepas, Hermione memasukkannya ke dalam botol kaca kecil, seolah sedang mengumpulkan koleksi langka. Tidak ada yang tercecer. Tidak ada yang keluar dari rencananya.
Ketika semuanya selesai, Hermione mengamati botol berisi sepuluh kuku berdarah itu dengan senyum kecil.
Dia menatap Adrian yang sudah terisak lemah di kursinya, tubuhnya gemetar tak terkendali.
“Ah,” Hermione menghela napas puas. “Indahnya.”
Dia meletakkan botol kaca itu di rak, di antara koleksi lainnya—deretan kuku, jari, dan benda-benda lain yang diambil dari para korbannya.
Suara rintihan memenuhi ruangan, kuku yang sebelumnya rapi kini patah dan penuh darah. Hermione kembali duduk di depannya, menatap pemandangan itu dengan tatapan puas, seolah sedang menikmati pertunjukan seni.
"Tolong…" Adrian berbisik, suaranya nyaris tak berbentuk.
Hermione tersenyum kecil dan menggeleng. "Belum waktunya," katanya pelan, hampir terdengar lembut.
Dengan gerakan tenang, dia mengambil jarum panjang dari meja baja kecil di sampingnya. Adrian menegang, air mata mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Hermione menyentuhkan ujung jarum itu ke jarinya yang sudah berlumuran darah, lalu menusukkannya perlahan di bagian kuku yang sudah patah.
Teriakan histeris meledak di ruangan. Hermione tidak berhenti, malah memasukkan jarum kedua ke jari lain, kali ini lebih dalam, ia lakukan hal yang sama di jari lainnya juga.
"Jari manusia punya banyak ujung saraf," ucapnya ringan, seolah sedang menjelaskan teori musik. "Sangat sensitif. Menusuknya di tempat yang tepat bisa membuat seseorang merasakan sakit yang tak tertahankan, tapi tetap sadar cukup lama."
Adrian terisak, tubuhnya kejang-kejang. Hermione menunggu beberapa detik sebelum akhirnya mencabut jarumnya satu per satu dengan gerakan lambat. Teriakan yang keluar terdengar lebih seperti erangan putus asa.
"P-please..."
Hermione mengangkat pisau bedahnya. "Sabar sedikit lagi," bisiknya.
Dia mulai menggores kulit di bagian pergelangan tangan Adrian, membuat sayatan kecil namun dalam. Bukan untuk membunuh, tapi untuk membiarkan rasa sakitnya bertahan lebih lama. Setelah cukup puas, dia menekan jari di bawah luka itu, membiarkan darah mengalir lebih deras. Adrian menggigit bibirnya hingga berdarah, tubuhnya gemetar hebat.
"PLEASE JUST FUCKING KILL ME ALREADY."
Hermione hanya terkekeh pelan. "Tidak sabar bertemu Tuhan ya? Sabar ya, sebentar lagi saya antar kamu ke hadapan-Nya." Katanya, seolah sedang menenangkan anak kecil yang merengek.
Dia mengangkat pisau bedahnya dan mulai menggoreskan luka kecil di lengan Adrian mengukir namanya disana, pelan-pelan, seperti seorang seniman yang menikmati detail karyanya. Darah merembes keluar, mengalir perlahan di kulit pucat itu.
Seolah belum puas menyiksa Adrian, Hermione menggunting baju kaos yang dikenakan Adrian hingga pria beralis camar itu bertelanjang dada. Dengan gerakan presisi, Hermione menekan ujung pisau bedah ke lengan Adrian, tepat di bawah bahu. Sayatan pertama begitu tipis, hanya sekadar membuka permukaan kulit. Tapi dia tidak berhenti di situ. Adrian berteriak kesakitan, Hermione menulikan pendengarannya.
Pisau bergerak perlahan, mengupas lapisan epidermis seperti mengupas buah, memperlihatkan jaringan merah muda di bawahnya. Adrian masih menjerit, tubuhnya mengejang hebat, tapi tali di pergelangan tangan dan kakinya menahan semua perlawanan.
Darah mengalir pelan, menetes ke lantai. Hermione hanya tersenyum. Dia mengambil pinset, mencubit sedikit bagian kulit yang terkelupas, lalu menariknya lebih keras—kulit itu terlepas lebih banyak, memperlihatkan serat otot yang berdenyut di bawahnya.
Adrian terengah-engah, tangannya gemetar hebat. "Stop… stop please stop... oh God..." suaranya patah-patah, nyaris tidak terdengar.
Hermione mengabaikannya. Dia mengambil pisau bedah lain, yang lebih tajam. "Belum selesai, sayang," bisiknya.
Dia bergerak ke lutut Adrian, menekan ujung pisau di sana, tepat di persendian. Dengan ketelitian seperti seorang ahli bedah, Hermione mulai memotong ligamen—urat yang menghubungkan sendi dengan tulang.
Adrian melolong kesakitan saat kakinya kehilangan fungsi. Hermione berdiri dan menarik kepala Adrian ke belakang, membisikkan sesuatu di telinganya, "Rasanya bagaimana… kehilangan kendali atas tubuhmu sendiri?"
Darah mengalir deras, membanjiri lantai, mengotori sepatu Hermione. Dia menatap wajah Adrian yang mulai kehilangan kesadaran, lalu menamparnya dengan keras sekali lagi. "Saya belum selesai. Jangan mati dulu," katanya.
Adrian masih terengah-engah, kepalanya tertunduk lemas. Darah mengalir deras dari luka yang terbuka di lengan dan lututnya, membasahi lantai di bawahnya yang sudah di lapisi oleh plastik, hebatnya ia belum mati. Hermione mengamati tubuh yang gemetar itu dengan ekspresi penuh minat, seperti seorang seniman yang baru saja menyelesaikan lukisan masterpiece-nya.
Namun, ini belum selesai.
Dengan tenang, Hermione mengambil sebuah botol plastik bening berisi cairan dari atas meja. Di dalamnya, air garam pekat berwarna bening berkilauan di bawah cahaya lampu. Dia menggoyangkannya sedikit, mendengar suara gemericik yang tenang—berbanding terbalik dengan penderitaan yang akan segera terjadi.
Dia menuangkan sedikit cairan itu ke telapak tangannya, merasakan betapa asin dan perihnya. “Hmm…” Hermione mendekat ke Adrian, memiringkan kepalanya. “Kamu tau tidak apa yang lebih menyakitkan daripada luka terbuka?”
Adrian mengerjap lemah, napasnya tersengal, tapi tak ada jawaban.
Hermione tersenyum tipis. “Luka terbuka yang tersentuh air garam.”
Tanpa peringatan, dia menuangkan cairan itu ke luka menganga di lengan Adrian buat Adrian menjerit sekuat tenaga, tubuhnya bergetar liar, berusaha melepaskan diri dari ikatan. Rasa perihnya membakar seperti bara api, menusuk langsung ke dalam saraf-saraf yang sudah terbuka akibat pemotongan kulit sebelumnya.
Hermione hanya menatap dengan ekspresi datar, menikmati reaksinya. "Sakit?" tanyanya lembut, seolah benar-benar peduli.
Adrian menangis, tangannya mengepal kuat meski sendinya hampir tak bisa digerakkan.
“Tsk.” Hermione menggeleng pelan dan menuangkan lebih banyak air garam ke luka di lutut Adrian, tepat di bagian ligamen yang tadi dia potong. Teriakan itu lebih nyaring dari sebelumnya.
Suara yang merintih, menangis, bercampur dengan erangan putus asa.
Dan inilah saatnya.
Saat akhirnya Adrian hanya bisa tersedu lemah, dengan air mata mengalir di pipinya, Hermione meraih pisau bedahnya yang semula ia letakkan di meja kecil lalu mencengkram leher Adrian, ia arahkan pisau bedah itu menekan perlahan di sisi nadi Adrian.
"Jantungmu berdebar terlalu cepat," gumamnya.
Tekanan pisau di leher semakin kuat. Adrian meronta lemah, kukunya nyaris tidak lagi memiliki tenaga untuk mencakar pegangan kursi. Denyut nadi yang perlahan melambat di bawah genggamannya memberi Hermione sensasi kepuasan yang aneh.
"Selamat tidur, Adrian."
Hingga akhirnya tubuh Adrian terkulai lemas, sudah tak bernyawa. Ia meninggal dengan keadaan tragis kelewat sadis, luka menganga di lehernya dan urat nadinya sudah terputus menandakan bahwa hidup Adrian sudah usai sampai di sini. Hermione melepaskan tangannya. Dia memiringkan kepala, mengamati hasil karyanya. Darah di tangannya terasa hangat, tapi itu bukan sesuatu yang mengganggunya.
Kali ini, dia ingin mencoba sesuatu yang baru. Perlahan, ia melepaskan ikatan tangan Adrian lantas menyeret tubuh Adrian ke kursi piano. Posisinya Hermione atur dengan hati-hati meskipun agak susah karena tubuh itu sudah tak berdaya, jari-jari yang kukunya sudah terlepas itu Hermione tempatkan di atas tuts. Kepala Adrian ia miringkan sedikit, seperti seorang pianis yang tenggelam dalam permainannya.
Dia mundur selangkah, mengamati. Kemudian, dengan tenang, dia mengambil kamera polaroid dari meja, membidik, dan... klik!
Satu foto tercetak. Hermione menatap hasilnya dengan puas sebelum menyelipkannya ke dalam buku hitam yang sudah penuh dengan gambar serupa.
Dia memang suka mengambil foto korban-korbannya, mengabadikan momen 'indah' itu dalam sebuah jepretan kamera.
Baru setelahnya, kembali diseretnya raga tak bernyawa itu ke sebuah bak polyethylene khusus yang baru tiba beberapa hari lalu. Permukaannya halus, putih bersih, dan cukup besar untuk menampung seluruh tubuh korbannya.
Jika sebelumnya Hermione memilih untuk membakar tubuh Taylor korban sebelumnya dengan menggunakan tungku besar yang ia taruh di basement mansionnya, menjadikannya abu lalu, ia sebarkan abu itu di halaman belakang rumahnya begitu juga sisa-sisa tulang milik Taylor ia kubur di halaman belakang rumahnya.
Namun kali ini Hermione memilih kembali ke metode awal melarutkan tubuh korbannya dalam larutan kalium hidroksida (KOH), guna melarutkan daging dan jaringan tubuh lainnya lalu memisahkan tulang dari tubuh itu.
Hermione menggeser tubuh Adrian ke dekat bak, lantas mengangkat tubuhnya ke dalam bak menyesuaikan posisinya dengan hati-hati.
Seperti biasa, semua ini harus rapi, estetik, dan sempurna.
Dia membungkuk, merapikan posisi tangan Adrian, menyilangkan jari-jarinya di atas dada seolah sedang berdoa. Kakinya dia luruskan, kepalanya dimiringkan sedikit—pose yang mengingatkannya pada patung malaikat kematian. Hermione menyeringai kecil. Sebelum tubuh Adrian dia hilangkan, dia ingin menikmati karyanya dulu.
Tangan Hermione terulur memejamkan kedua mata Adrian yang semula terbuka lebar. Sebelum ia bangkit mengambil sebuah jerigen berisi larutan kalium hidroksida dan mulai menuangkannya perlahan ke dalam bak. Cairan bening itu mulai bekerja, meresap ke dalam jaringan tubuh Adrian, perlahan melarutkan daging, otot, dan organ dalam Adrian. Hermione memperhatikannya dengan penuh ketenangan.
Prosesnya lebih lambat, tapi itu yang dia inginkan. Dia ingin tulangnya tetap utuh. Dia akan mengambil beberapa tulang dan menjadikannya sebagai koleksi, seperti tengkorak contohnya.
"Ah harusnya jantungnya saya ambil juga." Sesalnya, lupa menyisakan jantung Adrian untuk tambahan pajangan.
Sengaja Hermione tinggalkan dulu bak itu selama beberapa jam selagi ia membereskan hal lain dan saat ia kembali untuk mengeceknya lagi daging Adrian telah menghilang, meninggalkan kerangka putih yang hampir sempurna. Beruntung Adrian memiliki tubuh yang kurus dan tak terlalu besar mempermudah larutan itu bekerja memisahkan daging juga tulangnya. Hermione mengenakan sarung tangannya kembali, mengangkat tengkorak yang kini bersih dari jaringan lunak, menatapnya dengan kagum. Dia menyeringai kecil sebelum membawa tengkorak itu ke meja kerjanya. Ia akan mengambil tulang yang lainnya nanti.
Di dinding rak, enam belas tengkorak lainnya tersusun rapi, mengawasinya dalam diam. Hermione membersihkan tengkorak Adrian dengan hati-hati menggunakan sikat kawat, juga larutan hidrogen peroksida menempatkan tengkorak baru itu di tempatnya, memastikan posisinya simetris.
"Enam belas... tujuh belas," gumamnya pelan, ujung jarinya menyapu permukaan tulang yang kini menjadi bagian dari koleksinya.
Dia berbalik, memandangi karpet merah yang membentang di ruangan itu, menuju singgasananya—kursi di mana dia duduk setiap kali sudah mengeksekusi korbannya. Suatu hari nanti, saat koleksinya mencapai dua puluh tengkorak, dia akan menyusun semuanya di kedua sisi karpet. Seolah-olah mereka semua adalah penonton setia dari setiap pertunjukan yang dia lakukan.
Hermione tersenyum kecil. Masih ada empat lagi yang harus dia dapatkan.
Oh tidak,
Masih ada 71 lagi yang harus dia dapatkan.
Karena sebenarnya Hermione punya ambisi yang lebih besar—koleksinya harus mencapai 88 tengkorak, sebanyak jumlah tuts pada piano grand favoritnya.
"Setiap tuts punya jiwa," bisiknya, matanya berkilat dalam kegelapan. "Ini harus jadi simfoni yang sempurna."
Tuts putih untuk mereka yang mati dengan tenang—korban yang dia eksekusi dengan satu cekikan bersih atau satu tusukan tepat di jantung. Sementara tuts hitam diperuntukkan bagi mereka yang merasakan neraka sebelum kematian akhirnya menjemput. Jari-jarinya mengetuk meja, mengingat setiap jeritan, setiap permohonan, setiap detik penderitaan yang pernah ia ciptakan. Perjalanannya masih panjang 17 korban belum cukup baginya.
Sisa 71 lagi.
Iya itu targetnya.
Di sudut lain ruangan, piano putihnya berdiri megah meskipun terdapat banyak bercak darah, setiap tutsnya bergetar seakan menunggu sentuhan baru. Setiap pembunuhan membawa Hermione lebih dekat pada mahakarya terakhirnya—simfoni kematian yang dimainkan dengan darah dan tulang.
Hermione diam menikmati momen itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia merasakan seperti ini, perasaan kepuasan yang begitu sempurna. Jemarinya mengetuk perlahan bibirnya, lalu dia tersenyum kecil—senyum yang hanya muncul di saat seperti ini.
Ting!
Ponselnya bergetar, membuatnya mengalihkan pandangan. Sebuah pesan dari Gwen muncul di layar.
Gwen: hermionee, aku baru nyampe rumah huhu capek banget.
Hermione menatap chat itu lama, ekspresinya berubah. Wajahnya yang tadi penuh gairah sadis kini melunak. Perlahan, jari-jarinya mengetik balasan.
Hermione: Istirahat ya, kamu sendirian kah?
Gwen: di kamar, baru mau tidur orang tua aku udah pulang kokk
Gwen: oh iya, besok kita jadi pergi ke festival musik yang kamu bilang itu, kan?
Hermione tersenyum tipis, senyum yang berbeda dari sebelumnya—senyum yang jauh lebih lembut, lebih hangat, sesuatu yang hanya bisa keluar saat ia bersama Gwen saja.
Hermione: Tentu, aku tidak sabar ketemu kamu.
Gwen mengirimkan foto selfie-nya, dengan senyum mengantuk namun manis. Hermione menatapnya lama, sebelum akhirnya kembali melihat ke arah singgasananya.
Ting!
Gwen: Good night, Hermione. Sweet dreams <3
Perhatian Hermione kembali ke ponselnya.
Hermione menekan bibirnya, masih tersenyum.
Dia menutup ponsel, berbalik, dan meninggalkan ruangan—meninggalkan pemandangan tubuh yang perlahan lenyap dalam larutan, dan tengkorak-tengkorak yang menatap kepergiannya dalam diam. Sementara bayangan sosoknya menghilang di balik pintu.
Malam ini, dia akan tidur dengan nyenyak.
1 note
·
View note
Text
Marry Your Daughter

River berdiri di depan pintu besar istana, merasakan sedikit ketegangan yang jarang ia alami. Dia bukan orang yang mudah gugup—dalam bisnis, dalam politik, dalam kehidupan sehari-hari, dia selalu percaya diri. Tapi hari ini berbeda. Hari ini, dia akan berbicara dengan Raja Inggris, ayah dari wanita yang ingin ia habiskan sisa hidupnya bersama.
Seorang pengawal membukakan pintu, mempersilakannya masuk ke dalam ruangan pribadi Raja. Tidak ada kebesaran berlebihan di sini, hanya sebuah ruangan luas dengan dinding berpanel kayu, rak buku tinggi, dan meja besar di tengahnya. Duduk di belakang meja itu, Raja Charles menatapnya dengan ekspresi tenang namun penuh wibawa.
“Your Majesty,” figur april itu menundukkan kepala dengan penuh rasa hormat, kepada calon ayah mertua.
“River,” suara Raja Charles dalam dan berwibawa. “Duduklah.”
River menurut, duduk di kursi berhadapan dengan ayah Eleanor. Tangannya bertaut di pangkuannya, tapi ekspresinya tetap tenang menatap lurus ke hadapan.
“Apa yang membawamu kemari?” tanya Raja Charles, menatapnya dengan tajam, seolah bisa membaca pikirannya.
River menarik napas dalam sebelum berbicara. "Sir, i'm sorry but i'm a bit nervous 'bout being here today i'm still not real sure of what i'm going to say. So bare with me please, if i take up too much of your time."
Raja Charles mengagihkan senyuman tipis untuk River, "that's okay River, take it easy."
River menganggukkan kepala sebelum akhirnya kembali bersuara, "saya ingin berbicara tentang Eleanor, Sir.” Ujarnya tanpa basa-basi.
Ada sedikit perubahan di mata sang Raja, sesuatu yang samar—perlindungan seorang ayah yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
“I love Eleanor,” lanjut River, suaranya mantap. Netra menatap lurus ke depan, dan bertemu tatap dengan sang Raja. “And I want to spend the rest of my life with her. I came today to ask for your blessing, before i propose to her."
Raja tidak langsung menjawab. Dia mengamati wajah wanita di hadapannya, seolah menimbang kata-katanya, menguji ketulusannya. Lalu, dengan nada yang lebih dalam, dia bertanya, “Kamu paham apa artinya menikahi Eleanor?”
River mengangguk. “Saya paham, Sir. Eleanor bukan hanya wanita yang saya cintai—she's part of the kingdom, of a history bigger than both of us. I know that means there is responsibility, there is a spotlight that will always follow us. But none of that makes me hesitate."
Raja menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tetap sulit ditebak. “Eleanor tidak lahir untuk kehidupan yang sederhana, River. There is a burden that she has to bear. Are you ready for that?"
River menatapnya langsung. "I don't want to change who Eleanor is or what she has as a princess. I just want to be the person who is always be there for her, the person who she knows will always choose her above all else."
Hening sejenak. Raja Charles menghela napas mungkin sudah saatnya ia melepaskan putri yang paling ia cintai untuk menentukan jalannya sendiri, Eleanor telah hidup di bawah kekangan dalam waktu yang cukup lama dan itu membuat sang Raja sedikit merasa bersalah karena dalam kurun waktu itu anaknya tak pernah merasakan kebahagiaan, hanya kesengsaraan untuk memenuhi kepuasan hatinya. Ia menyayangi putrinya tentu saja, namun caranya menunjukkan kasih sayang itu yang salah.
Sang Raja kembali menatap River ia tersenyum dan akhirnya berucap dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Eleanor sangat mencintaimu. Saya bisa melihat itu. Dan jika kamu bisa menjaganya dengan baik, lebih baik dari yang saya lakukan," Raja Charles mengambil jeda sebelum melanjutkan, "maka kamu memiliki restu saya.”
Ada sesuatu yang menghangat di dada River. Dia tidak menunjukkan banyak emosi, tapi hatinya terasa jauh lebih ringan. Dia menegakkan punggungnya sedikit. “Terima kasih, Sir. Saya tidak akan mengecewakan anda—atau Eleanor.”
Raja mengangguk sekali, masih dengan senyuman kecil menyertai wajahnya. “Saya harap begitu. Eleanor pantas mendapatkan seseorang yang bisa melihatnya bukan hanya sebagai seorang putri, tapi sebagai seorang wanita yang layak dicintai. Saya tidak bisa memberikan Eleanor kebahagiaan yang dia inginkan, tapi setidaknya kamu bisa memberikan dia itu."
River menganggukkan kepala, titah sang Raja akan selalu ia usahakan memberikan Eleanor kebahagiaan yang tak pernah perempuan itu rasakan, River berdiri sedikit membungkukkan punggungnya berpamitan pada sang Raja namun saat River berbalik hendak melangkah keluar, suara Raja Charles kembali terdengar, membuatnya seketika menghentikan langkahnya.
“River,” panggilnya, nadanya lebih tenang, hampir seperti seorang ayah yang berbicara kepada calon menantunya.
River menoleh. “Ya, Sir?”
Raja Charles menatapnya dengan penuh arti. "Marriage is not just about the passionate love at the beginning. It's about the choices you make every day-choices to stay, to understand, to love even in the tough times."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Eleanor adalah wanita yang kuat, tapi hatinya tetap harus dijaga. Jika kamu memilihnya hari ini, pastikan kamu juga memilihnya setiap hari setelahnya.”
River kembali merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Ada kebijaksanaan dalam kata-kata itu, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar restu.
Dia mengangguk dengan mantap. “I understand, Sir. Dan saya berjanji, saya akan selalu memilihnya—hari ini, esok, dan selamanya.”
Raja Charles menatapnya selama beberapa detik, lalu menghela napas pelan, seolah puas dengan jawaban River. “Kalau begitu, pergilah. Buat putri saya bahagia."
River tersenyum tipis sebelum akhirnya membungkuk sekali lagi dengan penuh rasa hormat. Lalu, dengan langkah yang lebih mantap dari sebelumnya, dia berjalan keluar dari ruangan itu.
Sepeninggalan River, Raja terdiam sejenak di dalam ruangannya, membiarkan keheningan memenuhi ruangan itu. Matanya menatap pintu yang baru saja tertutup, seakan masih bisa merasakan kehadiran wanita yang datang dengan tekad bulat untuk melamar putrinya.
Ia menghela napas, lalu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju rak besar di sudut ruangan—rak yang penuh dengan foto-foto Eleanor, dari kecil hingga sekarang. Jemarinya menyusuri bingkai-bingkai itu, berhenti pada satu foto di mana Eleanor masih kecil, mengenakan gaun putih dengan pita biru di rambutnya. Senyumnya begitu cerah, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
"She's all grown up now," suara lembut terdengar dari belakangnya.
Charles menoleh sedikit dan mendapati sang istri Ratu Marrybeth berdiri di ambang pintu, matanya teduh namun penuh arti. Dari caranya memandang, Charles tahu istrinya pasti sudah mendengar sebagian percakapannya dengan River tadi.
"Sejak kapan kau di sana?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
"Sejak river datang meminta izin untuk menikahi putri kita, wajahnya keliatan tegang sekali." Jawab Marrybeth dengan senyum kecil, lalu melangkah masuk ke ruangan.
Raja Charles mendengus penuh humor, kali ini dengan sedikit senyum samar. "Dia tidak terlihat setegang itu."
Marrybeth mengangkat alis, tatapannya penuh arti. "Oh, she's trying to hide it. Tapi aku bisa melihatnya, seperti saat kau pertama kali meminta restu ayahku dulu."
Raja Charles terkekeh pelan, lalu kembali menatap foto Eleanor. "Aku hanya ingin memastikan putri kita bahagia."
Marrybeth menatap suaminya dengan penuh pengertian. "Kau sudah melakukan bagianmu dengan baik, Charles. Eleanor tumbuh menjadi wanita yang kuat, penuh cinta, dan tahu apa yang dia inginkan. Jika dia memilih River, maka kita harus percaya bahwa itu adalah pilihan yang terbaik baginya."
Raja Charles tidak segera menjawab, tapi ada sesuatu di matanya yang sedikit melunak. Ia tahu istrinya benar. Eleanor bukan lagi gadis kecil yang harus mereka lindungi di balik tembok istana. Dia telah menemukan jalannya sendiri—dan seseorang yang ingin berjalan di sampingnya.
Dengan satu tarikan napas dalam, Raja menyentuh bingkai foto itu sekali lagi sebelum menoleh ke istrinya. "Kau siap kehilangan putri kita?"
Sang Ratu tertawa kecil, meraih tangan suaminya dengan lembut. "Tidak ada yang kehilangan, Charles. Dia hanya akan menciptakan babak baru dalam hidupnya. Dan kita akan selalu menjadi bagian dari itu."
Mereka tahu hari ini akan tiba, hari di mana putrinya menemukan seseorang yang ingin ia pilih bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk seumur hidupnya. Dan meskipun hati mereka sebagai orang tua terasa sedikit berat, keduanya juga tahu bahwa Eleanor pantas mendapatkan kebahagiaan—dan mungkin, hanya mungkin, wanita yang baru saja meninggalkan ruangan ini bisa menjadi seseorang yang memastikan kebahagiaan itu tetap ada.
"Ya, kau benar." Raja Charles tersenyum kecil, lalu menggenggam tangan istrinya erat. Ini adalah awal dari babak baru dalam kehidupan Eleanor dan mereka hanya bisa berharap bahwa jalan yang dipilih putri mereka akan selalu dipenuhi cinta dan kebahagiaan.
1 note
·
View note
Text
A Royal Promise: Eleanor & River's Next Chapter

River tahu sejak awal bahwa Eleanor bukan tipe yang menginginkan lamaran megah di depan ratusan orang dengan banyak kamera yang mengarah padanya. Dia tidak butuh kemewahan, tidak perlu ribuan kelopak mawar atau orkestra yang mengiringi momen mereka. Yang Eleanor butuhkan hanyalah ketulusan, sesuatu yang intim—yang hanya menjadi milik mereka berdua.
Jadi malam ini, River mengatur makan malam pribadi di sebuah restoran mewah di Jakarta, sengaja menyewa satu restoran itu agar tak ada yang mengganggu mereka. Tidak ada tamu lain, hanya mereka, meja dengan lilin yang menyala lembut, dan jendela besar yang memperlihatkan gemerlap kota di kejauhan. Musik jazz mengalun pelan di latar belakang, menciptakan suasana yang begitu hangat dan romantis tentunya. River ingin Eleanor tak akan pernah melupakan malam yang indah ini, ia ingin momen ini membekas di ingatan sang pujaan hati.
Karena River akan menyampaikan janji suci untuk mengikat putri mahkota itu ke dalam hubungan yang lebih serius lagi. Bermodalkan restu dari sang raja dan juga cincin berlian di dalam kotak merah beludru yang ia bawa, River sudah sangat siap tentunya.
Eleanor duduk di seberang River, mengenakan gaun elegan berwarna biru tua yang membuat matanya semakin bersinar, rambut panjangnya tergerai dengan begitu menawan. Mereka berbicara seperti biasa—tentang pekerjaannya, tentang betapa ribetnya protokol kerajaan, tentang bagaimana dia ingin lebih lama tinggal di Indonesia agar bisa terus bertemu sang kekasih setiap harinya.
River mengamatinya dengan penuh perasaan. Betapa mudahnya Eleanor membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi, seolah setiap momen bersamanya adalah pertama kali.
River masih senantiasa mendengarkan dengan senyum kecil, jari-jarinya mengusap punggung tangan Eleanor dengan lembut dan setelah beberapa saat, setelah gadisnya selesai dengan ceritanya ia akhirnya berbicara.
"Baby," panggilnya, suaranya sedikit lebih dalam dari biasanya.
Eleanor menatapnya, kepalanya sedikit dimiringkan. "Hmm?"
River menatapnya begitu dalam sebelum ia menarik napas. Dia tidak gugup, tapi ada sesuatu yang bergetar di dadanya. "You know I love you, right?"
Eleanor tersenyum kecil. "Yeah, i know baby. Isn't that obvious?"
Figur april itu terkekeh lembut lalu perlahan berdiri dari kursinya. Dia tidak melepaskan genggaman tangannya, bahkan saat dia perlahan turun berlutut di hadapan Eleanor buat sang tuan putri mematung di tempat, matanya membesar, dan napasnya tertahan seolah otaknya masih memproses apa yang terjadi sekarang.
River membuka sebuah kotak beludru kecil dengan cincin berlian di dalamnya yang tentunya harga dari cincin itu setara dengan satu rumah. Tapi bukan cincin itu yang membuat Eleanor terdiam—melainkan tatapan River yang begitu dalam, seolah seluruh dunia menghilang dan hanya menyisakan mereka berdua.
"Eleanor," suara River terdengar lembut, penuh ketulusan. "You're the home i've always wanted to come to, the light that always makes everything feel clearer. I know i can live this life without you, but i don't want to. I don't want a world where you're not part of my life."
Eleanor menutup mulutnya, air mata mulai menggenang di sudut matanya, tutur kata sang pujaan benar-benar langsung menyentuh hatinya.
"I want to love you in every morning we have. I want to hold your hand on every journey, laugh at the little things, share a cozy silence, and be by your side in every joy and sorrow." River tersenyum kecil, suaranya sedikit bergetar. Dua netra itu memandang tepat pada mata sosok cantik yang berada di hadapan.
"I don’t want a life where you’re not in it, you should be a part of my life. You drew memories in my mind i could never erase, you painted colors in my heart i could never replace." Sambungnya, kali ini suaranya terdengar lebih tenang dan penuh keyakinan. "You’re my home, my safest place. I will love you even on bad days when you feel unlovable. So, Eleanor Victoria... will you marry me?"
Air mata akhirnya jatuh di pipi Eleanor. Dia tertawa kecil, menutup wajahnya dengan tangannya sejenak sebelum akhirnya mengangguk berulang kali.
"How could i say no? Of course i want baby." Suaranya pecah, namun senyum di wajahnya tidak pernah hilang.
River tertawa lega sebelum menyelipkan cincin itu ke jari Eleanor. Tangannya sedikit gemetar, tapi hatinya terasa penuh. Saat dia akhirnya berdiri, Eleanor langsung menariknya ke dalam pelukan erat, seolah dia tidak ingin melepasnya lagi.
"Now you’re officially mine," bisik River di telinga sang kekasih buat Eleanor tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
"Aku selalu jadi milikmu," balas Eleanor, suaranya lembut di dada River.
River mengecup puncak kepalanya, menutup matanya sejenak, merasakan momen ini sepenuhnya. "And I’ll spend the rest of my life proving that I’m yours too."
Malam itu, tanpa sorotan kamera, tanpa tepuk tangan dari orang asing, hanya ada mereka berdua—dan sebuah janji yang akan mereka genggam selamanya.
Eleanor tetap dalam pelukan River, merasakan detak jantungnya yang tenang dan familiar. Dadanya naik turun dengan ritme yang sama, seolah dunia akhirnya selaras, seolah inilah tempat di mana dia seharusnya berada.
Di luar, kota masih berdenyut dengan kehidupan, lampu-lampu gedung berkelap-kelip seperti bintang yang turun ke bumi. Tapi bagi mereka, malam ini hanya milik mereka berdua. Tidak ada yang lain—hanya cinta yang mengalir tanpa perlu kata-kata berlebihan, hanya keyakinan bahwa sejak awal, sejak hari pertama mereka bertemu, ini adalah akhir yang selalu mereka tuju.
Dan mungkin, bukan hanya akhir. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah perjalanan panjang yang akan mereka jalani bersama, tangan dalam tangan, selamanya.
3 notes
·
View notes
Text
I fell in love with you before i even realized that i did.
25 januari 2020
Dalam dunia penerbangan terdapat istilah yang namanya Critical Eleven, sebelas menit paling krusial dimana kecelakaan pesawat kerap kali terjadi yakni, tiga menit pertama setelah pesawat take-off atau lepas landas dan delapan menit sebelum pesawat landing atau mendarat.
Critical Eleven sejatinya tidak hanya mendeskripsikan mengenai pesawat terbang saja, namun juga bisa digunakan untuk menggambarkan pertemuan pertama dengan seseorang. Tiga menit pertama saat kesan pertama tercipta dan delapan menit terakhir ketika segala perangai juga raut wajahnya, menjadi penentu apakah akhir pertemuan itu akan menjadi sesuatu yang lebih atau justru berakhir sebagai perpisahan.
Awalnya Maya menyangka pertemuan pertamanya dengan Hannah kemarin akan berakhir sebagai perpisahan juga dan di penerbangan berikutnya ia tidak akan bersua lagi dengan Hannah, akan tetapi takdir berkata lain kejadian kemarin malah membawa mereka pada pertemuan lainnya entah secara kebetulan atau memang sudah garis takdir Tuhan.
Di malam ini Maya ingin memenuhi janjinya dengan Hannah untuk fine dining yang sudah mereka rencanakan tempo hari, meskipun sempat di buat hopeless karena Hannah tak kunjung mengabarinya selama dua minggu namun semangatnya seketika kembali manakala perempuan itu mengiriminya pesan dan sudah menyiapkan segalanya untuk fine dining mereka.
Penampilan Maya nampak sangat elok malam ini dengan dress hitam membalut tubuhnya, tidak banyak aksesoris yang melengkapi ia hanya mengenakan kalung berliontin kupu kupu pemberian sang ibu, yang memang selalu ia kenakan kemanapun ia pergi, terlihat sederhana namun bisa memikat semua mata yang memandang. Begitu ayu penampilannya untuk di pandang.
Kedua tungkainya melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima dan menuju restoran mewah yang berada di lantai paling atas tempat janjiannya dengan Hannah, sesampainya disana seorang pelayan menghampiri Maya dan dengan ramah bertanya,
"Selamat malam kak, meja untuk berapa orang?"
Perhatian Maya teralihkan kepada sang pelayan, "Eh kemarin temen saya udah reservasi deh kayanya." Jawabnya
"Oh, kalau begitu boleh tau atas nama siapa kak?"
"Hannah Katherine."
Pelayan tersebut untuk sementara beralih ke kasir, melihat ke monitor komputer dan kembali lagi ke hadapan Maya segera mengantarkan perempuan kelahiran januari itu menuju ke meja yang telah di reservasi atas nama Hannah, berada tepat di sebelah jendela yang mengarah langsung pada pemandangan lampu lampu kota.
Sang pelayan pergi dan Maya duduk di salah satu kursi di meja itu, kepalanya menoleh memandangi view kota yang berada dibawah sebelum ia di distraksi oleh notifikasi ponselnya.
Dari Hannah.
hannah : Saya sudah sampai, kamu?
Lantas Maya segera mengetikkan balasan untuknya.
maya : aku udah di dalem restonya hannah
Tak ada balasan lagi dari sang pilot, mungkin saja ia juga sudah naik ke lantai atas. Maya kembali meletakkan ponselnya di atas meja, dan balik memandangi pemandangan diluar jendela sembari menopang dagunya menunggu kedatangan Hannah.
"Maya?"
Kepalanya menoleh ke arah sumber suara, mendapati presensi Hannah di hadapannya dalam balutan blazer berwarna gelap dan juga celana hitam, rambut panjangnya di kuncir rapi penampilannya nampak elegan juga berkelas, kecantikannya bertambah. Ia mengumbar senyuman manis yang bisa membuat siapapun terpana termasuk Maya sendiri.
"Udah lama ya nunggunya? Maaf saya agak terlambat." Hannah mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapan Maya, sementara Maya masih diam termangu memandanginya sebelum akhirnya tersadar dari lamunan.
"O–ohh belum lama kok han..."
Hannah masih mempertahankan senyumannya sembari menganggukkan kepala, ia memandangi wanita di hadapannya sejenak memusatkan seluruh atensinya hanya pada Maya seorang.
"You look beautiful tonight."
Maya setengah mati menahan senyum, ungkapan itu berhasil membuatnya tersipu malu, untung saja keadaan restoran yang agak remang remang ini mampu menyamarkan semburat merah di pipinya.
"Thank you, kamu juga han. You look so gorgeous." Ia balik memuji Hannah, benar benar tabiat wanita sekali yang kalau di puji mesti akan balas memuji.
"Haha terimakasih, anyway kamu sudah pesan?"
Maya menggelengkan kepala sebagai jawaban, dan Hannah pun segera memanggil pelayan ke meja mereka, sambil membawa buku menu dan menyerahkannya kepada dua puan itu.
Mata Maya menelisik setiap makanan yang tertera pada buku menu tersebut, harganya yang lumayan tinggi membuat Maya agak memelotot, untuk appetizer saja bisa meraup hampir 200 ribu? Itu bisa Maya gunakan untuk makan selama 2 bulan jika sedang di mess.
"Kamu mau apa?"
Aduh, ditanya begini Maya jadi kelimpungan sendiri.
Menyadari tak ada respon dari lawan bicaranya membuat Hannah segera mengalihkan pandangannya ke Maya, "Kenapa Maya?" Tanyanya lembut.
Maya agak tergemap bingung mau menjawab bagaimana, beruntung Hannah merupakan wanita dengan tingkat kepekaan yang tinggi. Seolah tau apa yang Maya khawatirkan ia berujar,
"Pesan apapun yang kamu mau, gausah mikirin soal harga. Bills on me kok."
Jujur Maya jadi tidak enak, sebenarnya dia mampu mampu saja membayar makanan yang harganya tak masuk akal itu dengan gajinya yang di atas rata rata, tapi karena ia merupakan tipe orang yang agak perhitungan segalanya harus ia pikirkan matang matang sebelum mengeluarkan uang.
"Mmm gausah deh han, aku aja yang bayar gapapa."
Hannah tersenyum simpul, "Saya yang ngajak kamu dinner Maya, udah seharusnya saya yang nanggung semua. Lagian juga saya mau menebus rasa bersalah saya karena udah marahin kamu kemarin. Pesan aja yang kamu mau jangan mikirin soal harganya, okay?" Ucapnya berusaha meyakinkan Maya, membuat perempuan di hadapannya itu termangu sejenak sebelum menganggukkan kepala disertai senyuman hangat diwajah.
"Okay...once again thank you so much Hannah. Aku berutang budi banget sama kamu, lain kali aku bakalan bales ya?"
Figur pilot itu menggelengkan kepala, "Don't think about it. Nikmatin aja malam ini."
Beres dengan urusan memesan makanan, dua puan itu akhirnya saling bercengkrama mengenal satu sama lain lebih dekat, menceritakan perjalanan karir mereka dan bagaimana rasanya bekerja di dunia penerbangan sambil di selingi dengan candaan, kalau di lihat lihat keduanya nampak seperti sudah kenal lama padahal baru bertemu dua minggu yang lalu. Obrolan itu terus berlanjut, sampai hidangan utama telah tiba.
"So... kamu termotivasi jadi pramugari because your mom is also a flight attendant?" Hannah bertanya sembari memasukkan irisan daging ke dalam mulutnya.
"Mhm, sebenarnya aku gak pernah kepikiran pengen jadi pramugari sih dari sma tuh aku pengen banget jadi...jaksa?" Maya selingi dengan kekehan sebelum melanjutkan,
"Tapi mengingat jurusan aku yang gak ada hubungannya dengan hukum lebih tepatnya bukan hukum, jadinya aku milih untuk meneruskan perjalanan karirnya bunda menjadi pramugari."
Hannah fokus mendengarkan sembari memperhatikan wajah cantik nan lucu wanita di hadapannya, ingatkan Hannah untuk berkedip bola matanya bisa saja keluar gara gara terlalu asik memperhatikan Maya.
"Bunda masih jadi pramugari atau sudah berhenti?"
Maya hentikan kegiatan makannya sejenak ketika mendengarkan pertanyaan itu terlontar dari mulut Hannah.
"Udah berhenti han."
"Kenapa?"
"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu."
Dan rasa bersalah seketika menggerogoti hati sang pilot merasa lancang telah menanyakan hal yang tidak sepatutnya ia tanyakan, segera ia bersihkan tenggorokannya sebelum menyampaikan maaf.
"Maaf maya, saya turut berduka cita."
Maya menganggukkan kepala dan menjawab dengan senyuman manis menyertai wajah moleknya,
"It's okay, udah biasa kok."
Hannah memutar otak mencari topik obrolan lain agar sekiranya mereka tidak canggung setelah obrolan sebelumnya, "Kamu masih single atau sudah punya pasangan?"
To the point sekali ibu pilot ini.
"Aku masih single, what about you?"
"Same, saya juga masih single."
"Really? Aku kirain udah punya."
Hannah mendengus penuh humor, "Saya gak mungkin ngajak kamu dinner kalau saya sudah punya pasangan maya."
Ya ada benarnya juga, Maya merutuki dirinya sendiri akan pertanyaan bodoh itu.
"Tapi pernah pacaran?"
Hannah menatap lawan bicaranya ia nampak berfikir sejenak sebelum menggelengkan kepala, sontak membuat figur pramugari yang melontarkan pertanyaan tadi terheran-heran.
"Demi apa? Kamu gak pernah pacaran?" Kedua manik karamel yang membola, jujur Maya sedikit terkejut mengetahui fakta baru mengenai Hannah, perempuan berumur 28 tahun itu belum pernah berpacaran? Yang benar saja.
"Iya....?" Hannah menjawab, bingung dengan reaksi terkejut Maya.
Di umurnya yang hampir mendekati kepala tiga ini sudah seharusnya Hannah mencari pasangan juga, karena kalau kata keluarganya usia produktif menikah itu sebelum menginjak 30 tahun. Pertanyaan 'Kapan menikah?' Entah dari keluarga atau kerabat dekat selalu menghantui Hannah di setiap acara kumpul keluarga, namun Hannah selalu punya jawaban setiap pertanyaan tersebut di lontarkan.
"Jodoh, maut semuanya sudah ada yang atur. Kalau saya tau siapa jodoh saya sudah saya samperin dari lulus kuliah, saya ajak nikah saat itu juga. Saya yakin kok, kalau sudah waktunya pasti akan diberikan saya tinggal nunggu aja kaya yang saya bilang sebelumnya. Semuanya sudah ada yang atur."
Itu katanya.
"Kamu kenapa kaget banget?" Hannah bertanya sembari memperhatikan Maya yang keliatannya masih agak shock.
"Nggak gitu... soalnya aku liat, kamu tuh kaya tipe yang mungkin pernah lah satu dua kali punya pacar bahkan aku sempet ngira maaf ya, kamu suka gonta ganti pasangan..." Jangan heran, Maya memang agak blak blakan orangnya untungnya Hannah tidak gampang tersinggung, perempuan itu malah terkekeh gemas melihat wajah polos nan lucu yang ditampilkan Maya.
"Saya gak ada waktu buat pacaran, sibuk sama kerjaan."
Hannah menempatkan garpu dan pisaunya di tengah piring, mengarah ke angka 12 jarum jam tanda ia sudah selesai dengan kegiatan makannya, ia melipat kedua tangannya di atas meja mata teduh itu memperhatikan presensi Maya yang berada di hadapannya.
"Saya juga belum nemu orang yang tepat."
"Oh ya?" Si pramugari meletakkan garpu beserta sendoknya di atas piring membentuk huruf V terbalik, ia tertarik dengan topik obrolan ini.
"Kamu udah pernah coba ikut blind date atau download app dating gitu?" Pertanyaannya di jawab gelengan oleh Hannah.
"Saya gak suka pakai gituan."
Maya mengernyit, "Kenapa?"
"Gak suka aja, pernah coba dating app satu kali tapi baru sehari udah saya hapus. Isinya orang aneh semua."
"Kok aneh?"
"Banyak yang horny."
Ungkapan tersebut mengundang tawa dari Maya, si pemilik pipi tembam itu menutup mulutnya menggunakan punggung tangan sembari tertawa kecil dengan begitu anggunnya, merdu suara tawa si cantik berhasil membuat figur pilot di hadapannya terlena.
Iris sabit terbentuk manakala ia tersenyum dan malam itu untuk pertama kalinya, Hannah temukan wanita dengan senyuman paling menawan pemilik rambut panjang berwarna coklat, yang membuatnya tertawan akan sejuta pesonanya...
Maya Delilah.
31 notes
·
View notes