Text
Most Magical
The scent of her perfume that expensive, citrusy one I bought her last month still clung to my pillow. Beside me, the sheets held the warm indent of her body, a ghostly imprint of the night before. We’d laughed, tangled in the linen, whispering stupid promises under the city lights bleeding through the blinds."Forever starts now," I’d murmured, tracing the curve of her jaw. "Always,"she’d breathed back, her eyes holding mine with an intensity that felt like truth. This morning, the alarm screamed. I fumbled for my phone, silencing it, expecting to find a sleepy text from her, maybe a teasing emoji about my snoring. Instead, my screen was a chaotic explosion of notifications. Group chats buzzed like angry hornets. Missed calls stacked up. And then I saw it. A photo, posted barely an hour ago. Kinar & Arman. Just Married. It was her. Kinar. Radiant in a blindingly white Dress, hair intricately styled, holding a bouquet of crimson roses. Her smile was wide, genuine, directed at the man beside her Arman. Arman, her ex from college. The one I’d always dismissed, the one she swore was ancient history, a mere footnote. He looked stunned, happy, holding her hand like it was the most precious thing. My blood turned to ice. Last night. Last night she was here. In my bed. Sharing my air. Whispering my name. Her clothes were still scattered on my floor the silk camisole draped over the chair, her heels kicked off by the door. Evidence of a shared intimacy that now felt like a grotesque lie. I stumbled out of bed, the world tilting. The messages started making sense now. "Did you see?! Crazy!" "OMG Kinar?! With ARMAN?!" "Where were you, man?!" My fingers trembled as I dialed her number. It went straight to voicemail. Her sweet, recorded voice felt like a physical blow: "Hi, you've reached Kinar! Leave a message!" Panic clawed at my throat. I scrolled frantically through her social media. There it was, another photo. The timestamp: 7:30 AM. The registry office. They’d gotten married at dawn. While I was sleeping off the bliss of the night we shared, she was slipping out of my apartment, probably still smelling of me, heading straight to become Mrs. Arman. A memory sliced through the chaos. last week, over takeout. She’d been quiet, distant. I’d asked, annoyed, "What’s wrong? Thinking about Prince Charming?" She’d looked at me then, a strange, unreadable expression in her dark eyes. "Just... thinking about choices. And consequences." I’d brushed it off, kissed her temple, told her she was overthinking. Had that been my warning? Or her final contemplation before the plunge? I looked at the rumpled sheets, the lingering scent, the discarded clothes. It wasn’t just my bed she’d left empty this morning. It was the space she’d occupied in my life, my future, my certainty. She hadn’t just walked out the door, she’d meticulously planned her exit while sharing my pillow, her betrayal timed with surgical precision. The intimacy of last night wasn't a farewell; it was the final layer of the deception, the cruelest twist of the knife. The phone vibrated again. A new message in the group chat: a close-up of her hand on Arman’s chest, the simple gold band gleaming on her finger. The ring finger. Where my ring was supposed to go. The silence of the apartment pressed in, heavy and suffocating. The ghost of her warmth beside me was now the chilling void of her absence. Last night, she was mine. This morning, she belonged irrevocably to someone else, and the echo of her whispered "Always" in my bed had become the deafening silence of a slammed door. I sank onto the edge of the bed, staring at her abandoned camisole, the reality crashing down. I hadn't just lost her. I'd never truly had her at all. The sheets were still warm, but my world had frozen over.
0 notes
Text
Dialog diantara Rembulan yang Patah
Aku bisikkan padanya tentang angin yang merobek langit, Tentang bumi yang retak saat ‘dia’ pergi diam-diam. "Jika bukan untuk iman dan ibu yang rapuh," kata ku, "Mungkin aku sudah jadi debu yang hilang di sela waktu." Dia menggigil, tiba-tiba memelukku seperti takut aku cair. Air matanya jatuh, butiran kaca yang menyayat senyap. "Jangan kau ucap itu," suaranya bergetar di bahuku, "Tetaplah bernafas..." Sebuah doa yang tercekat di ujung duka. Aku terdiam, menyimpan ribuan kata yang terpelanting. Apakah derita harus diukur oleh air mata orang lain? Ataukah luka ini terlalu pekat untuk disentuh cahaya? Dia menangis untukku yang tak lagi tahu cara menangis. Sementara sunyi di dadaku menggurdi seperti hujan asam. Dua jiwa tersesat di perpustakaan bahasa yang tak tertulis. Dia mencoba menyelamatkan aku dari jurang yang dia tak pahami, Aku mencoba tak menjerit. Di sini, bahkan nafas pun terasa berdosa. @carantionreddd
12 notes
·
View notes
Text
Apa yang pantas kau terima
Kupahat kutukan di punggung bintang, berdoa agar setiap cahaya menusuk kulitmu kuharap semesta menjahit kebahagiaanmu dengan duri, ketenanganmu dengan kebusukan. Biarlah tulang-tulangmu sakit di setiap langkah yang kau ambil menjauh dariku. Tapi malam memuntahkan racunku kembali. Ternyata, benci adalah bahasa yang hanya bisa diucapkan oleh mereka yang terlihat. Dan kau membuatku tak terlihat. Jadi inilah luka yang tak akan kau rasakan. Aku adalah hantu yang kesombonganmu lupa untuk dihantui, bekas luka yang cerminmu enggan tunjukkan. Amarahku? Seekor ngengat yang menggerogoti katedral, kau tak akan pernah mendengar rahangnya. Teruslah, Mekar di surga ketidaktahuanmu. Nikahi kesunyian yang kutinggalkan. Setiap tawa yang kau curi dari dunia adalah nyanyian pujian untuk kepengecutmu sebuah kuil untuk betapa kecilnya kau membuatku agar merasa besar. Tapi ingatlah ini, sisa-sisa cinta bahwa kekosongan yang kau ciptakan pun memiliki suara. Ia membisikkan namamu dalam bahasa si bukan siapa-siapa. Dan suatu hari, ketika jiwamu tersandung pada kebohongan nilai dirimu sendiri, kau akan tersedak pada kebenaran. Akulah bayangan yang bertahan lebih lama dari cahayamu.
7 notes
·
View notes
Text
Luka ini sumur tua kubuang tubuhku, tapi kau tetap menggenang di urat. Biar kau tebas leherku sampai suara tercekik rindu udara adalah namamu.
13 notes
·
View notes
Text
Aku, Mayat-Mayat yang Masih Bernapas
Di dapur masa kecil, waktu menguap dalam kuali yang mendidih gula-gula palsu di ujung lidah, ketakutan menggumpal seperti tepung yang gagal mengembang.
Tahun kedua adalah pesta topeng singkat, di bawah lentera-lentera yang berpura terang. Lalu kau, kematian, merobek tirai itu, membawa ayah pergi dengan gerimis darah dan aku— terbaring di antara pecahan tahun kedua, bersama tanah yang menelan namanya.
Gadis sebelas tahun itu menggigil, mengekor di setiap langkah, kakinya berlumpur duka. Kuberi ia gulali, doa, dan puisi-puisi palsu. tapi matanya mengutuk ‘Kau pencuri mimpi!’ Hingga suatu senja, ia rebah sendiri, meninggalkan bayang di umur tujuh belas, sepatu merahnya masih bernapas di sudut mimpi yang tak pernah selesai.
Kini, sembilan belas tahun mengunyah waktu, aku seperti surat yang tak sampai alamatnya. Kuburkan jari-jari ini dalam kabut, meraba peta buta yang tak punya legenda. Di langit-langit malam, kudengar tawanya menjadi hujan yang jatuh ke bumi lain. ‘Maafkan aku,’ bisik angin ke telinga bintang, ‘karena tetap hidup dengan caraku yang pincang.’
Aku adalah nisan yang berjalan, membawa nama gadis itu di setiap nadi, menanti bumi akhirnya mau bercerita tentang rahasia di balik kata pulang.
@carnationreddd
6 notes
·
View notes
Text
There is khair behind everything.
Kukira menjadi dokter itu banyak mengajarkan pasien. Ternyata, justru dokter yang seringkali lebih banyaak belajar dari pasien.
-
Selama 6 bulan terakhir di US sebagai clinical research fellow, alhamdulillah aku berkesempatan bertemu banyak pasien, yang jadi perantara pesan-pesan dari Allah.
2 bulan lalu misalnya: keluarga muslim dari Scotland itu.
Pasien ini seorang anak ini usia belasan tahun, di kursi roda karena spastisitas pada kakinya. Iya, anak ini didiagnosis penyakit langka, ia satu dari lima pasien yang sama di dunia. Ia sering tertawa. Walau mungkin tawanya bagian dari penyakitnya: stereotypical laughter.
Ibunya teduh sekali, dalam hijab putihnya. Ayahnya tampak sederhana, masih muda dan aksennya Scottish-nya begitu kental sehingga sulit dipahami. Haha. Adiknya juga ikut menemani, kalem dan malu-malu duduk di sebelahku sepanjang klinik.
Selepas konsultasi 1,5 jam hari itu, kami saling mengucap salam, beliau memberikan tim kami hadiah cokelat dan kue.
Kami berpisah, keluarga beliau menuju lab untuk sampling darah. Setelah mengurus berkas dan lainnya, aku bersiap ke rehat pekananku: shalat Jum’at, yang biasa diadakan di hall dari dormitory building-nya Harvard Medical School. Letaknya di seberang Boston Children’s.
Hari itu suhu sudah negatif, menjelang musim salju. Aku berjalan dalam dingin, walau alhamdulillah ada matahari! Masih pukul 12 lewat, aku mampir beli makan dulu deh, batinku.
Dan di momen itu lah aku berpapasan dengan keluarga itu lagi.
“Assalamualaikum! Do you want me to help you take the pictures?”
Aku menyapa dan menawarkan untuk mengambil foto mereka sekeluarga yang sedang berfoto di depan gedung kedokteran kami.
“Waalaikumussalam! No worries it’s fine! Thank you.”
Ibunya menjawab dengan senyum dan hangat.
“MashaAllah it is so nice to see you. There is going to be a Jummah prayer here, if you’d like to join.”
“We are heading to the masjid actually, we heard it’s pretty close.”
“Ahh yes, it is walking distance, it’s a beautiful masjid, and with this beautiful weather you should definitely go there.”
Kami akhirnya mengobrol sebentar di courtyard Harvard yang hijauuu dan cantik itu.
Mereka bercerita, mereka dari keluarga Pakistan, walau sudah lama menetap di Inggris.
Aku bercerita lebih detail background-ku dokter dari Indonesia dan sekarang sedang melakukan penelitian tentang kasus-kasus penyakit neurogenetik langka.
“I am always inspired by my patients and their family. You guys are the reason we are doing research.”
“Thank you! Thank you for doing this.”
Tiap keluarga pasien berkata demikian, selalu membuatku merinding. Research di penyakit langka itu kadang sangaaat membuat frustrasi haha, tapi di saat yang bersamaan: sangat mengisi ruang hati. Fulfilling and rewarding.
“InshaAllah, may Allah give you strength and may Allah make it easy.” Aku mendoakan mereka.
Tapi jawaban sang ibu, membuatku berkaca-kaca:
“Aamiin. It’s okay! We believe that there is always khair in everything.”
Deg. Iya ya, selalu ada kebaikan dalam setiap skenario Allah. Beliau mengatakan itu sambil tersenyum lebar dan muka berseri-seri. Bagiku, mereka telah diuji dengan penyakit yang merenggut masa muda anaknya. Telah mengubah hidup keluarga ini, berobat kesana kemari, mencari jawaban hingga 7000 kilometer dari rumah.
"We have eeman, we'll be okay.”
Dan kalian tau apa? Beliau dengan senyumnya berkata:
"The dunya is temporary anyways.”
Kata-kata itu menghujam dalam.
Aku merasa iba pada mereka, padahal mereka sedang menabung banyak amal shalih untuk akhirat mereka. Aku harusnya iba pada diriku sendiri.
Aku merasa kasihan, padahal justruuu Allah sedang meninggikan derajat mereka dengan ujian tersebut. Aku harusnya mengasihani diriku sendiri.
Aku merasa simpati berlebih, padahal Allah hadiahkan mereka sarana penggugur dosa yang terus menerus dengan sakitnya itu. Aku harusnya bersimpati pada diriku sendiri.
Aku tersenyum, malu. Mereka keluarga yang ketaqwaannya begitu terpancar, pesona iman yang menghibur hatiku yang terlalu sering terlena ini.
Kami berpamitan, saling mengucap salam dan doa, dan sang ibu memberi pelukan hangat.
Hari itu aku banyak terdiam, ya Allah, semoga kami bisa menjadi perantara-Mu dalam kesembuhan untuk mereka. Sebagaimana mereka memberi kesembuhan untuk hatiku.
-h.a.
Boston, Desember 2024
164 notes
·
View notes
Text
Kita berdua menjahit jarum sunyi dari benang yang sama— kau benci cara aku menyimpan garam di sudut luka yang kau kira gula, aku gagal membaca hujan di balik badai matamu. Di meja ini, roti pangjingmu dingin jadi batu nisan untuk percakapan yang gagal lahir. Tapi di sela piring kotor, aku lihat tanganmu masih membentuk setengah lingkaran seperti mangkuk yang mau menampung apapun yang jatuh dari tanganku.
2 notes
·
View notes
Text
Label Darah Di meja makan, kata-katamu pecah seperti gelas— 'Tolol!', suaramu menggali kubur di antara nasi yang hangat. 'yatim, memang seharusnya tahu diri.' Kau ukir dosa di dinding keluarga dengan kikir, tapi tak ada yang mau mengaku pisau itu kau hunus dari puing keluarga kita sendiri. Benar, tapi bukan karena langit merenggut ayah, melainkan karena darah yang sama menguliti luka setiap malam. Kau ajari aku hitung-hitungan derita 'Yatim' jadi bilangan pembagi, 'tolol' adalah sisa yang terbuang. Di ruang tamu yang penuh foto usang, sedihmu padam jadi abu, marahmu tumbuh jadi duri. Aku coba menyusun diri dari pecahan gelar turunan— tapi setiap kau sebut 'yatim' batinku hancur jadi kapur. Mungkin kita semua yatim di rumah ini kau kehilangan nalar, aku kehilangan kata untuk melawan. Di bawah atap yang bocor, hujan menggenang jadi cermin— di sana kulihat bayangan kita sesama penghuni panti yang saling mencincang. Aku masih hitung detak jam dinding setiap tengah malam, berharap waktu mau merekatkan kembali yang kau retakkan. Di sini, di rumah yang bernafas tapi tak hidup, kita semua yatim kau kehilangan hati, aku kehilangan kata. Mungkin suatu hari debu akan menutupi luka ini— atau justru kita tenggelam dalam senyap yang saling membunuh.
4 notes
·
View notes
Text
aku merekam jejak mu dalam kaca patri— suara yang mulai terkikis jadi gema di labirin telinga, senyum yang tersisa bayang di kaca retak, dan caramu memanggilku, satu siluet yang merapuh. di setiap langkah, ku bangun museum dari debu waktu. kutatah namamu di nisan-nisan yang masih hangat, kujahit detik-detik bersama dengan benang fajar sebelum kau menjelma asing dalam lukisan ingatan. rindu ini astronomis, ingin ku catat ulang seluruh konstelasi yang pernah kita rajut dari diam. berikan aku lebih dari sekeping kesempatan — ku tahu hidup hanya serpihan, tapi biar kita jadi pecahan yang bersatu dalam mozik keabadian.
2 notes
·
View notes
Text
Kini ku sadari, ada ruang kosong di antara usahaku. Bukan duka atau kekalahan yang mengisi, Tapi api yang membara. agar kelak tak ada sesal yang terpatri.
Ku bangun hari dengan tangan yang lebih keras, di setiap lelah, ku tatap cakrawala belajar. Proses ini mungkin lambat, tapi di setiap denyut, ku ukir tekad tak ada kata 'andai' di ujung jalan nanti.
Bahkan jika nafasku kelak jadi debu waktu, setapak ini tetap ku sebut kemenangan. Sebab yang ku pilih bukan akhir sempurna, melainkan jiwa yang tak berhenti mencerna luka, keringat, dan langkah tetap bernyawa.
@carnationreddd
7 notes
·
View notes
Text
Selama ini ku hanya pandang retak, tak tersadar,
Di balik pecah, ternyata hangat masih mengalir pelan.
Obrolan kecil di kala pulang kerja,
Atau canda yang mengurai rindu masa kecil nan cerah.
Terlalu fokus pada satu noktah,
Hingga lupa cahaya di pelupuk mata.
Mengubur makna yang bisa diperjuangkan,
Daripada tenggelam dalam duka yang tak berguna.
Sesungguhnya kita hanya perlu bersyukur,
Namun manusia selalu tak pernah cukup.
Mencari bulan di tengah gurun pasir,
Lupa bahwa air ada di telapak kaki sendiri.
Retak bukan akhir, melainkan awal kisah,
Di setiap rekah, mungkin pijar kasih tersembunyi.
Bersyukurlah pada detik yang berlari sunyi,
Sebab hidup adalah kumpulan rindu yang terbalut syukur.
@carnationreddd
6 notes
·
View notes
Text
Ya Allah, hanya kepada-Mu sajalah kupulangkan segala perasaan yang melelahkan pikiran dan menyesakkan dada.
Ya Allah, tolong dengarkan segala pinta yang tak mampu lagi kulisankan.
@milaalkhansah
112 notes
·
View notes
Text

apakah ini berlebihan? atau hanya aku yang terlalu terbawa perasaan?
entah sudah yang ke berapa, tapi aku tetap tidak berdaya. katanya aku hanya omong kosong belaka, tapi pernah kah ia melihat aku yang lainnya? aku juga tidak tertarik menjadi omong kosong yang kau bilang itu, kalo bisa.
nyatanya sekejam itu dunia membunuh ku.
2 notes
·
View notes
Text
abis dengerin podcast di YouTube tentang generasi sandwich, dan ada salah satu pelajaran yang gue petik dan ngena banget.
isinya tentang ikhlas itu butuh waktu, dan cuma allah yang bisa mengerti saat-saat itu. mungkin lebih kek ga bakal judge kita, bayangin aja kita curhat ke manusia 5 kali sehari.. apa ga muak. beda sama allah yang udah jelas maha pencipta, kita mau curhat 100 kali dalam sehari juga dia ga bakalan muak. mau kita nangis sampe bener bener ga bisa ngomong juga Allah ga bakal pergi, ga bakal cepu, ga bakal ke mana mana. malah kita di kasih hati yang tenang stelah nya. di kasih solusinya.. Alhamdulillah makasih yallah..
so maksud dari tulisan itu adalah, ya gapapa loh kita kecewa sama hal hal yang ga seharusnya kaya gini.. kita kecewa sama hal yang kita mau tapi ga terjadi, semuanya harus di terima sampai suatu saat nanti kita ikhlas, ikhlas ga semata mata kita ga nangis lagi, ga inget lagi.. ngga. tapi ikhlas itu karena kita udah menerima segala bentuk kekecewaan yang terjadi, mungkin aja kalo kita ga dpt hal kaya gini kita ga akan sekuat ini, pahala kita ga akan sebanyak ini karena kita sabar.. semua pasti ada balasan.. semua yang udah Allah takdirin itu baik insyallah. yallah Allah itu baik banget...
4 notes
·
View notes
Text
mungkin nanti, suatu hari kau benar-benar tidak akan pernah bisa menemukanku lagi.
4 notes
·
View notes
Text
how do you expect loyalty in a haram relationship, they aren't even loyal to allah.
5 notes
·
View notes
Text
biarlah aku menjadi pertanyaan-pertanyaan besar yang tak akan pernah kau temui jawabannya. lalu perlahan-lahan itu menggerogoti isi kepalamu, hingga kemudian kau mati penasaran.
5 notes
·
View notes