Bila nanti, nyatanya kita saling menghindari dan tidak lagi saling mencari, ingatlah dengan baik; bahwa setidakmenyenangkan apapun akhir kisah ini, aku pasti akan mengingatmu sebagai seseorang yang pernah mengasihiku dengan baik dan bijak.
Bila nanti, kamu mendadak meragu, kamu sangat boleh percaya hal ini; bahwa jauh sebelum aku mengenali senyummu, jauh sebelum cerita-ceritamu mencanduku, jauh sebelum aku meletakkan kekagumanku pada kalimat-kalimat cerdas nan manismu, aku bersyukur seseorang sepertimu bersedia singgah di sini.
Bila nanti, kamu mengenang masa di saat aku masih ingin bersamamu–meski seberantakan apapun kamu, ketahuilah, itu hanya upaya sederhanaku untuk memastikan; bahwa perasaanmu padaku masih cukup banyak untuk membuatmu menyayangiku hingga besok dan besoknya lagi.
Bila nanti, seseorang yang kamu pilih di kemudian hari untuk menjadi penyebab bahagiamu bukan lagi aku, maka aku hanya ingin menyampaikan terima kasih;
• Terima kasih karena telah mengajariku cara untuk membaik dan terus membaik.
• Terima kasih karena sudah mau memahami semua duka dan luka yang kurasakan, yang ternyata, lebih baik dari siapa pun.
• Terima kasih karena pernah menolongku dari semua ide-ide burukku dan pemikiran yang salah.
• Terima kasih untuk waktu, kisah, argumen, dan diskusi menyenangkan yang pernah mau kamu bagi denganku.
.
.
.
.
.
Aku pernah bahagia
saat itu. Sangat.
Dan jikalau tidak lagi
saat ini,
tidak apa-apa,
aku telah cukup bahagia
karena pernah bahagia
di saat itu,
dengan kamu.
Art: @misscyndiii
2K notes
·
View notes
Kak, jika kakak ada diantara dua pilihan ini mana yang akan kakak pilih. pertama, menunggu seseorang yang mana kakak punya perasaan sama orang tersebut, begitupun sebaliknya orang itu suka sama kakak, cuman dia enggak tau kakak punya perasaan sama dia. atau kedua memilih seseorang yang datang terlebih dahulu dan kakak tau atau kenal orang tersebut dengan baik sebaik-baiknya. pertanyaan kedua, apa makna menunggu bagi kakak? mohon dijawab ya kak, terima kasih.
saya pilih orang yang datang ke rumah saya, bertemu orangtua saya. percuma datang ke saya kalau orangtua saya tidak suka, sekalipun saya suka.
dan, makna menunggu adalah… menyibukkan diri dengan segala hal yang berguna sehingga kita tidak sadar bahwa sedang menunggu sampai ada seseorang yang menyadarkan kita; untuk menjemput kita.
48 notes
·
View notes
Menyesal
Waktu melihatmu pertama kali, aku mengurungkan niatku untuk menyapamu. Nanti saja, bukan waktu yang baik untuk berkenalan. Pikirku waktu itu. Lalu, waktu berlalu begitu cepat tanpa aku punya kesempatan untuk menyapamu kembali. Jangankan menyapa, bertatap muka atau sekedar berpapasan di jalan saja tidak pernah.
Hingga akhirnya hari ini tiba. Aku bertemu kesempatan untuk menyapamu atau sekedar mengobrol denganmu. Tapi, entah kenapa aku membuangnya begitu saja. Mengatakan lagi pada diri sendiri bahwa hari ini bukan waktu yang tepat untuk menyapamu.
Hingga akhirnya, aku mendengar seseorang menyebut namamu. Aah, rupanya pengemar rahasiamu yang lain, yang menyapamu lengkap dengan senyuman malu-malunya. Dan kamu, bisa kulihat kamu tengah berusaha menyembunyikan senyum salah tingkahmu dengan memberi temanmu yang menggodamu dengan kepalan tangan.
Menyesal? Tentu saja. Tapi aku bisa apa?
2 notes
·
View notes
Semaoen - Penuntun Kaum Buruh (1920)
Nganu, waktu itu saya diculik seorang kawan ke pameran buku, Kampung Buku Jogja. Disana saya menemukan dua target operasi saya sejak lama, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Simpang Kiri Jalan. Keduanya adalah skripsi Soe Hok Gie sewaktu di Fakultas Sastra UI.
Di Bawah Lentera Merah melacak sejarah munculnya gerakan kiri di Indonesia. Keistimewaan skripsi ini terletak pada keotentikan sumbernya. Soe Hok Gie menulis skripsi ini berdasarkan wawancara langsung dengan Semaun, yang merupakan saksi sejarah kemunculan gerakan kiri di Indonesia.
Lacur, waktu itu niat mulia saya untuk menghalalkan Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Simpang Kiri Jalan yang sudah ada di depan mata itu tidak direstui dompet saya. Terpaksalah saya putar haluan, mengalihkan target pada buku lain yang lebih logis harganya. Setelah berputar-putar, disana saya justru malah menemukan bukunya Semaun sendiri, Penuntun Kaum Buruh. Kebetulan sekali.
Semaun lahir pada 1899, beberapa tahun lebih muda dari Tan Malaka. Namun Semaun justru lebih dulu terjun ke dunia pergerakan di tanah air daripada Tan Malaka. Semaun sudah melibatkan diri dalam pergerakan di Indonesia sejak usia belia. Saat Tan Malaka masih sibuk sekolah di Belanda, Semaun yang hanya bersekolah sampai usia 13 tahun justru sudah sibuk dengan aktivitas di Sarekat Islam (SI). Ia bergabung dengan SI sejak usia 14 tahun.
Saat berusia 16 tahun, Semaun bertemu Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeneging (ISDV) di Indonesia. Sneevliet inilah yang menarik Semaun ke garis ideologi kiri dan mengajaknya bergabung dengan ISDV. Setelah bergabung dengan ISDV, Semaun juga bergabung dengan VSTP, serikat buruh kereta dan trem sebagai propagandis. Setelahnya, Semaun juga menjadi propagandis sekaligus komisaris di SI Semarang. Tak lama, pada 1917 di usia yang baru menginjak 18 tahun, Semaun didaulat menjadi ketua SI Semarang.
Semaun memang pemuda yang impresif.
Pada 1920, ISDV berubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia (cikal bakal PKI) dan Semaun menjadi ketua pertamanya. Ini tak lama, sebab pada 1921 Semaun diasingkan oleh Belanda karena pergerakannya. Ia dibuang ke luar negeri. Tan Malaka kemudian menggantikan posisi Semaun sebagai ketua partai komunis. Lacur, Tan Malaka pun bernasib sama. Pada 1922 Tan Malaka juga dibuang ke luar negeri oleh Belanda karena partai komunis semakin keras mengalirkan resistensi.
Penuntun Kaum Buruh
Penuntun Kaum Buruh ditulis Semaun pada 1920. Pada masa itu, kapitalisme Belanda mencengkeram Indonesia. Kekuasaan bertumpuk pada segelintir kaum borjuis yaitu pemilik kapital, pemilik pabrik, tuan tanah, dan para majikan. Dengan kekuasaannya, para borjuis ini memperkaya dirinya dengan mempekerjakan para buruh dengan keras dan memberi upah rendah yang tak pantas. Teranglah disini bahwa kaum proletar buruh tertindas oleh segelintir borjuis yang serakah dan penuh nafsu ini.
Dimana ada penindasan, disitulah tumbuh perlawanan. Bermunculanlah perkumpulan-perkumpulan buruh di Indonesia sebagai manifestasi resistensi kaum buruh yang tertindas. Para buruh berkumpul dan berserikat guna membangun kekuatan kolektif untuk melawan kekuasaan para borjuis yang semena-mena. Inilah isu yang dijadikan premis oleh Semaun dalam menulis Penuntun Kaum Buruh.
Dalam Penuntun Kaum Buruh, Semaun secara singkat dan sederhana memaparkan pedoman, asas, dan dasar cita-cita serikat buruh. Secara fundamental, serikat buruh bercita-cita menyejahterakan kaum buruh. Dengan ini, maka Semaun dalam buku ini pun memaparkan bagaimana seharusnya buruh dipekerjakan dengan layak. Penentuan upah, jumlah jam kerja, hak libur, kompensasi, tunjangan, dan segal hal yang berkaitan dengan hak-hak buruh dipaparkan oleh Semaun.
Perkara organisasi pun ditekankan oleh Semaun. Memang, demi mencapai tujuan-tujuannya, sebuah serikat mutlak memerlukan organisasi yang teratur. Tiadanya keteraturan akan membuat gerakan buruh mudah dihancurkan kapitalisme. Selain keteraturan organisasi, Semaun pun menekankan bahwa serikat buruh perlu menggandeng organisasi-organisasi lain yang dapat mendukung dan memberi keuntungan untuk serikat buruh. Pemanfaatan alat dan perkakas organisasi pun juga ditekankan oleh Semaun. Misalnya saja media yang berupa surat kabar atau majalah. Media ini menjadi alat propaganda untuk serikat buruh.
Politik
Ya, Semaun pun tegas memaparakan bahwa sebuah serikat buruh haruslah berpolitik. Tujuan berpolitik adalah untuk melegitimasi kekuatan dan kekuasaan kaum buruh di hadapan kaum borjuis. Jika buruh tidak berpolitik, maka tidak akan ada kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan bagi buruh.
Politik kaum buruh pun selayaknya adalah politik yang memperhatikan kepentingan kaum buruh dan berfaedah bagi kaum buruh sendiri. Politik seperti apa yang memperhatikan kepentingan dan berfaedah bagi kaum buruh itu?
Dalam Penuntun Kaum Buruh, Semaun menekankan bahwa tiada yang pantas dijadikan garis politik bagi kaum buruh selain garis sosialisme. Sosialismelah satu-satunya yang layak dijadikan ideologi gerakan buruh.
Dalam kapitalisme, para borjuis memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan. Lewat pemerintahan inilah, para borjuis memainkan kendalinya. Terang artinya buruh dan rakyat itu juga jadi tertindas oleh pemerintahan yang dikuasai borjuis-kapitalis ini. Saya persingkat saja disini, penjelasan lebih jauh tentang pemerintahan kapitalisme yang dikuasai borjuis bisa dibaca dalam Massa Actie dari Tan malaka tahun 1926.
Agar pemerintahan tak hanya dikuasai borjuis-kapitalis saja, maka rakyat dan buruh harus merebut kekuasaan dalam pemerintahan itu. Hal ini dilakukan dengan jalan pergerakan, supaya rakyat bisa memilih wakil-wakilnya sendiri dalam pemerintahan. Gerakan ini dinamakan gerakan demokrasi. Namun demokrasi dalam konteks pemerintahan saja belumlah cukup. Walaupun pengaruh dalam pemerintahan bisa diperoleh oleh buruh dan rakyat, kaum borjuis-kapitalis tetap masih bisa menghisap dan menindas kaum buruh-proletar.
Kaum borjuis-kapitalis masih bisa berbuat seenaknya karena mereka punya pabrik-pabrik, menguasai perdagangan, dan menguasai jalur-jalur distribusi dan transportasi. Mereka punya peralatan (kapital, uang, dan mesin) dan bisa memproduksi barang-barang kebutuhan. Maka meskipun rakyat dan buruh bisa mengusai pemerintahan, selama kaum kapitalis masih mempunyai pabrik, tanah, dan sebagainya, selama itulah kaum kapitalis itu tetap bisa berkuasa dengan memainkan dan mengendalikan harga barang-barang yang mereka produksi.
Oleh karena itu, buruh dan rakyat harus berusaha agar alat-alat, modal, pabrik, mesin, tanah, dan sebagainya itu jatuh ke tangan pemerintah yang demokratis, pemerintahan dari rakyat yang memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Usaha-usaha inilah yang oleh Semaun disebut sebagai sosialisme.
Dalam sosialisme, semua rakyat bekerja pada pemerintahan yang bersifat kerakyatan. Semua rakyat bekerja bersama-sama pada pemerintahan kerakyatan, memproduksi sesuatu guna memenuhi kebutuhan semua rakyat. Dengan pemerintahan yang rakyatnya bersama-sama melakukan produksi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kolektif seperti ini, maka tak akan ada yang saling memeras layaknya dalam kapitalisme.
Semaun memberikan gambaran, bahwa dalam sosialisme itu:
“Semua hidup rukun, tak ada yang berebut rezeki. Negara dikepalai oleh wakil pilihan rakyat, hingga nampak seperti keluarga yang dipimpin orang tua sendiri. Inilah sosialisme, orang-orang yang bergerak di dalamnya adalah sosialis.”
Bagi Semaun, Tan Malaka, dan para tokoh haluan kiri lainnya, hanya politik sosialisme yang dapat menggerakkan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaannya untuk memerintah negaranya sendiri dan membagi secara adil pendapatan negara.
“Hanya politik sosialisme yang akan menolong rakyat jelata dan kaum buruh.”
22 notes
·
View notes