clairinthedark
clairinthedark
THOUGHTS
47 posts
You can design and create, and build the most wonderful place in the world. But it takes people to make the dream a reality. - Walt Disney
Don't wanna be here? Send us removal request.
clairinthedark · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
First newborn puppies #4
0 notes
clairinthedark · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
First newborn puppies #3
0 notes
clairinthedark · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
First newborn puppies #2
0 notes
clairinthedark · 8 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
First newborn puppies #1
0 notes
clairinthedark · 8 years ago
Text
Part 5 - Marco
Aku terbangun dengan berkeringat setelah mendengar alarm handphone. Sepertinya aku sudah sembuh. Hm masih berat kepalaku, tapi tidak separah kemarin. Mungkin efek obat dan sup hangat kemarin. Pukul 6.30. Kasur Tarra sudah kosong. Kayaknya dia sudah berangkat duluan. Biasanya dia membangunkanku pukul 05.00. Mungkin karena dia tahu aku sakit sehingga dia membiarkan aku istirahat agak lama. Ah, aku terharu.
Tapi cukup menyusahkan juga kalau tidak masuk kelas. Kalau tiba-tiba ada tugas yang harus diselesaikan saat itu juga? Gimana kalau materi hari ini susah? Belum kalau ada PR. Terlebih lagi, kertas pendaftaran klub! Aku harus segera menyerahkannya ke Calvin. Lebih cepat lebih baik dan aku sudah tidak sabar bertemu pelatih klub lukis yang sangat menawan itu.
Usai mandi aku bergegas ke ruang makan. Sudah dari tadi aku merasa lapar. Pukul 07.00, masih sempat ambil sarapan. Mungkin cuma sandwich dan susu hangat. Makan selama 10 menit kemudian masuk kelas, masih ada waktu sebelum bel masuk kelas pukul 07.30.
Di lorong menuju ruang makan tidak jauh dari kamar-kamar murid, aku berpapasan dengan Marco. Kok dia masih di sini? Ada barang yang ketinggalan di kamarnya?
“Lho, kamu nggak istirahat di kamar?” Marco spontan bertanya setelah kaget melihatku.
“Aku sudah agak baikan. Jadi masuk kelas aja daripada ketinggalan materi,” jawabku. Mataku kemudian tertuju pada sepotong roti dan segelas susu di tangannya. “Kamu mau makan di mana?” tanyaku kemudian.
“Oh. Ini... tadinya mau kubawa ke kamarmu. Kukira kamu bakal tidur sampai siang dan nggak masuk kelas. Tapi ternyata kamu sudah merasa fit,” papar Marco.
“Kemarin sih rencananya mau begitu. Tapi alarm handphoneku tetap bunyi seperti biasa,” jawabku.
“Ya sudah. Nih sarapan. Aku duluan,” Marco menyerahkan roti dan susu ke tanganku dan bergegas pergi. Hei! Dia mau meninggalkanku begitu saja?
“Tungguin woy! Kok aku ditinggal,” aku protes dan setengah berlari mengikutinya. Marco tidak terlalu menggubris. Kumakan rotiku hingga mulutku penuh, dengan cepat mengunyahnya. Kemudian kuminum segelas susu di tanganku dengan cepat. Karena minum cepat-cepat sambil setengah berlari, aku tersedak di tengah lorong.
“Uhuk... Uhuk... Ugh... Uhuk uhuk!” aku tersedak hingga mengeluarkan air mata. Sesaat kemudian aku merasa tanganku diangkat hingga ke atas kepala.
“Angkat tanganmu!” tiba-tiba Marco sudah berada di hadapanku. Aku tetap mengangkat tangan sesuai instruksinya setelah ia melepas genggaman tangannya. Kemudian ia menggosok-gosok punggungku sambil menepuk-nepuk kecil. Makanan yang tersumbat di tenggorokan perlahan-lahan kembali ke jalurnya. Aku berdeham dan batuk untuk membersihkan tenggorokan.
“Kamu ini masih bayi apa? Perlu kukasih tahu kalau makan dan minum sambil jalan itu tidak baik?” Marco mengomel.
“Habisnya! Kamu ninggalin gitu aja. Kalau aku terlambat sendirian gimana? Kan lebih baik terlambat barengan. Ada temannya,” sahutku protes sambil mengusap air mata.
“Dasar! Nggak usah ngajak sengsara bareng-bareng lagi ya! Telat ya telat sendiri sana!” Marco menjentikkan jarinya di dahiku. Sudah seperti emak-emak mengomeli anaknya saja dia.
“Nyebelin! Nih aku sudah selesai makan! Ayo ke kelas!” aku spontan menarik tangannya dan menyeretnya. Antara sebal dan gemas. Pingin kujotos-jotos dia rasanya.
“Kembalikan gelasnya dulu hoi!” protes Marco.
“Nantiii! Keburu telat!” aku tetap menarik tangan Marco dengan kasar. Begitu sampai di dekat ruang makan, kutaruh gelas itu di sembarang tempat di bangku-bangku depan ruang makan. Setidaknya tempat itu masih terlihat dari dalam ruang makan. Pasti petugas kebersihan akan mengambilnya.
“Dasar bocah ini! Merepotkan orang lain saja!” Marco melanjutkan omelannya.
“Ssssh! Berisik deh,”
Bel berbunyi tepat ketika aku berada lima langkah dari pintu kelas. Masih terengah-engah di dekat pintu kelas, aku baru sadar sedari tadi aku memegangi tangannya. Spontan aku menarik tanganku sebelum ada yang melihat dan berprasangka macam-macam.
“Bocah genit suka pegang-pegang,” Marco mengejek. Makin menyebalkan saja bocah satu ini.
“Jijik!” aku begidik menanggapinya dan bergegas masuk ke kelas, berjalan dengan sedikit menghentak-hentakkan kaki. Sebal!!!
Kelas hampir penuh. Murid-murid masih berbincang-bincang satu sama lain dengan berisik. Hanya Tarra dan Derek yang menyadari kemunculanku. Oh, dan Calvin. Yang tiba-tiba menghampiriku setelah aku baru meletakkan pantatku di atas kursi.
“Kamu sudah sembuh Lucy?” tanyanya seketika.
“Sudah agak baikan sih...”
“Kenapa tidak istirahat dulu sampai benar-benar pulih? Mana mungkin demam seperti kemarin bisa sembuh dalam waktu satu hari?” kedua alis Calvin mengerut, raut wajahnya khawatir.
“Tidak perlu. Aku tidak mau melewatkan materi pelajaran. Nanti repot mengejarnya,” aku beralasan.
“Sungguh? Badanmu sudah tidak panas lagi?” tangan Calvin terangkat menuju dahiku. Belum sampai telapak tangannya menyentuh dahiku, tiba-tiba sebuah suara menyebalkan muncul.
“Minggir!” Marco sudah berada di samping Calvin. Protes karena jalan menuju bangkunya terhalang oleh Calvin. Kaget, Calvin menoleh ke arah Marco.
“Oh maaf,” Calvin mundur memberi jalan pada Marco.
Marco melirik sebentar ke arahku kemudian meletakkan tasnya yang terlihat super enteng dan duduk di bangkunya.
“Kalau merasa pusing atau tidak enak badan, bilang padaku oke?” Calvin berpesan sebelum berjalan menuju bangkunya karena guru mata pelajaran pertama tiba-tiba masuk ke dalam kelas, membuat keriuhan kelas langsung sunyi dalam sekejap.
“Dia bapakmu ya? Atau babysittermu? Sampai segitunya banget,” Marco berbisik dari belakang. Entah kapan ada hari tanpa Marco menjahiliku. Bikin telingaku panas. Aku membalik badan menghadapnya dan memelototinya. Sedangkan Marco berlagak seolah-olah dia tidak pernah mengatakan apa-apa.
“Saya dapat pesan, bagi siswa yang belum mengumpulkan kertas formulir klub, sepulang sekolah nanti semuanya harus mengumpulkan. Kegiatan klub dimulai Senin besok. Ketua kelas tolong, setelah semua mengumpulkan, segera berikan formulir yang terkumpul ke guru wali kelas kalian. Oke?” pesan Pak Har, guru pelajaran Bahasa Indonesia kami, sebelum mengakhiri kelas. Satu kelas menjawab “Okeee” dengan serempak.
Ekspresiku langsung berubah menjadi senang. Aku tidak sabar mengikuti klub. Kubuka tasku dan kucek apakah kertas formulirku aman-aman saja di dalam. Sip! Kertas itu masih mulus rapi terselip dalam buku cetak Bahasa Iggris yang cukup besar.
====
“Tarra! Tarra! Kamu pilih klub apa?” aku bertanya antusias pada Tarra setelah ia mengeluarkan formulirnya dari tas. Dia merupakan salah satu siswi yang ditolak ketika mendaftar klub memasak lantaran sudah kebanyakan anggota yang mendaftar.
“Karya Ilmiah,” jawab Tarra singkat.
Aku melotot kaget.
“Wah, keren banget. Pilihanmu yang ini kalau dibanding dengan klub memasak yang kamu pilih kemarin terlihat lebih... niat,” kataku bergurau.
“Hahaha, aku juga tidak terlalu yakin sebenarnya. Tapi, apa salahnya mencoba. Mungkin aku bisa berprestasi di sini,” Tarra menjelaskan. “Terus kamu? Pilih apa?”
Ditanya begitu, aku kembali mengembangkan senyumku. Saking excited-nya aku sampai tidak sadar tertawa-tertawa kecil yang membuat Tara ngeri.
“Kok serem gitu? Kesurupan?”
“Ehehehehe enggaak... Aku daftar klub ininiiih!” dengan bangga aku menunjukkan isi formulirku.
“Oh... oke,” Tarra singkat. Dia tampak normal menanggapi semangatku yang meluap-luap.
“Eh? Gitu aja?” tanyaku.
“Ya... Kenapa memang? Memang ada yang aneh kalau kamu masuk klub melukis? Kan kamu hobi,” Tarra memasuk-masukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, bersiap-siap kembali ke asrama.
“Eh... Erm, enggak sih...”
“Yaudah, yuk balik. Cepat kumpulkan formulirnya!” Tarra menyerahkan formulirnya padaku agar kukumpulkan.
“Okay!”
Segera aku berjalan ke arah Calvin untuk mengumpulkan kertas formulir. Ternyata, Calvin juga berjalan ke arahku.
“Gimana demammu? Nggak tiba-tiba pusing kan?” tanya Calvin mendahului.
“Nggak kok, tenang aja. Ini aku mau kumpulin formulirku,” aku menyerahkan formulir klub pada Calvin.
“Oke, thanks. Hmm... klub melukis ya? Kukira kamu bakal daftar klub memasak lho!” kata Calvin sambil membaca-baca formulirku.
“Tadinya sih... tapi ternyata klubnya penuh, jadi aku ganti deh,” jawabku. “Kamu daftar klub apa?”
“Karya Ilmiah,” jawabnya singkat.
“Wah sama dong kayak Tarra. Keren banget klub Karya Ilmiah isinya anak anak pintar kayak kalian!” kataku semangat sambil menunjuk-nunjuk Tarra. Tarra hanya diam, tidak tertarik pada percakapan kami dan sudah siap beranjak dari kelas.
“Nggak pintar-pintar juga. Justru aku masuk Karya Ilmiah karena ingin jadi pintar,” Calvin tampak merendahkan diri.
“Kamu harusnya daftar Karya Ilmiah juga berarti, biar pintar,” tiba-tiba Marco ikut nyeletuk dari belakang. Tasnya sudah singgah di pundaknya.
“Maksudmu?” aku sewot karena tahu arah perkataan Marco yang sudah pasti akan mengejekku.
“Masuk Karya Ilmiah saja biar makin pintar. Biar nggak melakukan hal-hal bodoh lagi. Sudah tau dingin malah nongkrong di luar nyanyi-nyanyi gak jelas, masih makan malah lari-lari, nanti kamu mau ngapain? Makan nasi goreng yang direbus?” Marco mengejek.
Dan kali ini, Tarra tertawa. Calvin ikut tersenyum namun melakukan pembelaan terhadapku. “Claire memang aktif kok menurutku. Penuh semangat dan selalu mengeluarkan energi positif,”
“Apanya. Kemarin saja dia hampir menularkan flunya padaku di ruang hukuman,” kata Marco. “Sudah ya, bye!” Marco meninggalkan kami bertiga, bersama Derek yang ternyata sudah menunggu Marco di depan pintu kelas.
“Kapan berhentinya sih Marco itu! Sebel tau!” aku mengomel-ngomel di depan Calvin dan Tarra. Tarra cuma tertawa, senang teman sekamarnya ini dijadikan bahan olokan.
“Jangan terlalu sebal gitu. Hati-hati lo nanti suka,” kata Tarra menanggapi dengan nada bercanda.
“Benci jadi suka itu cuma ada di komik!” aku protes.
“Tapi benci sama suka itu ada persamaannya lho. Sama-sama nggak bisa berhenti mikirin doi,” Tarra makin menggodaku.
“Jangan didoain gitu dong! Tarra ih!” aku menyelempangkan tasku dengan kesal.
“Yaudah, nggak usah dimasukin dalam hati, Lucy, kata-kata Marco. Biar nggak kepikiran. Oh iya, makan malam nanti bareng yuk, Lucy!” Calvin mengalihkan pembicaraan.
“Boleh, boleh...” aku menjawab. “Yuk balik sekarang!” aku mengajak Calvin dan Tarra kembali ke asrama.
0 notes
clairinthedark · 8 years ago
Text
K.A.T.E.R.N
-Berubah penampilan bukan berarti berubah sikap-
Pulang sekolah. Seperti biasa, anak-anak kelas musik pada geleng-geleng kepala. Kenapa? Pusing? ya nggak lah... Pasti gara-gara ‘KATERN’. Kemana-mana selalu bersama, senang bersama, sedih bersama. Udah kaya iklan aja “Gak ada lo gak rame”. Yang bikin anak lain iri, yaitu mereka semua punya kelebihan sendiri-sendiri yang menonjolkan dirinya. Oh iya, ‘KATERN’ itu maksudnya Kelsie, Ann, Tom, Emma, Robin, dan Nick. Si Kelsie pintar nge-drum, Ann cantik, Tom cakep, Emma pinter banget, Robin atlet satu-satunya di kelas musik, Nick si Technoboy jagonya utek-utek elektronik. Apa sih yang kurang di ‘KATERN’ itu?
Pulang sekolah biasanya KATERN nongkrong di kafe buat curhat, atau mengungkapkan semua cerita ke teman-temannya. Jadi KATERN ini kayak diary hidup. Seperti biasa, Kelsie memesan kopi mocca, Ann jus strawberry, Tom, Robin, dan Nick, pesan susu cokelat, Emma pesan jus alpukat.
“Hei! Aku punya cerita!” Ann memulai pembicaraan. “Hari ini... aku-”
“Wah!! gawat sekali itu!” Robin memulai lawakannya yang nggak lucu itu.
“Duh... aku belum selesai ngomong!” keluh Ann. “Sebenarnya, aku tadi ditembak sama Alex!” Kelsie yang sedang asik menyeruput mocca-nya tiba-tiba tersedak. Ya jelas lah... Alex yang jeleknya kayak gitu, kalo dibandingin sama Ann kayak burung merpati sama eeknya.
“Tolak aja! Daripada kecantikanmu tercemar!” ujar Kelsie setelah ngelap mulutnya yang belepotan mocca.
“Iiih... lagipula siapa yang mau nerima? Aku gak mau pacaran dulu,” kata Ann sambil bergaya kayak ngucapin janji.
“Yakin?” ucap Nick yang daritadi asyik sendiri sama susu cokelatnya.
“Aku sih cuma jatuh cinta sama iPod model terbaru,” kata Nick sambil menyodorkan foto di majalah elektroniknya.
“Huuu... Nikah aja sama tuh iPod!” seru Robin, yang lain tertawa.
“Kalau kamu, apa ceritamu hari ini?” tanya Tom pada Emma. Yang lain pun ikut penasaran karena dia nggak pernah punya cerita menarik, kecuali waktu ia cerita kalau Miss Gossip di sekolahnya jadi bahan gosip paling ‘hot’.
“Biasa saja,” Emma pun angkat bicara, “Nggak ada yang menarik,” suasana menjadi hening seketika.
“Kalau Tom?” Kelsie memecah keheningan.
“Tumpukan surat penggemar di loker. Lagi,”
“Biasa,” kata teman-temannya kompak.
“Ya udah, kita langsung go home yuk!” Ann nggak betah. Yang lain setuju. Mereka pun pulang.
Esok paginya, seperti biasa KATERN nyanyi-nyanyi di kelas sambil menunggu bel masuk. Semua anak menyerukan anggota KATERN idolanya kecuali Kelsie dan Emma. Hal ini membuat Emma jadi minder. Kelsie sih cuek-cuek aja, sampai...
“Kelsie!!” terdengar suara dari luar, “Aku suka permainan drum-mu!” kata anak itu.
Emma semakin minder karena tidak punya fans. Sejak itu, Emma jadi diem banget. 5 sahabatnya sampai bingung.
“Emma, ajarin aku yang ini dong!” kata Tom. Emma diem aja dan kayaknya nggak memperhatikan.
“Woy! Hellouw? Emma ada?” kata Tom memperjelas.
“He? Eh... Maaf Tom. Kenapa tadi?” Emma membetulkan kacamatanya sambil memandang Tom.
“Biiisaaakaahh... kauuuu mmeeengaajarriii aaakkuuu soooaall iiniii?” kata Tom memperjelas kata-katanya.
“Duh... aku tu gak tuli tau. Biasa aja kalo ngomong! Sini, kuajarin!” Emma menyeret bukunya.
“Nah... gitu dong dari tadi!”
Saat istirahat, Emma pun pergi ke kantin. Di sana ia tak sengaja dengar percakapan anak kelas lain.
“Di KATERN itu yang nggak terlalu menonjol Emma ya?”
“Uya, tapi kenapa mereka mau memasukkan Emma di kelompoknya ya?”
“Suaranya kan bagus!”
“Tapi kan minderan,”
Kata-kata itu seakan menusuk (mak jlebb!!) dan membuat Emma tambah down, down, down.
Pulang sekolah adalah waktu KATERN untuk bercurhat-curhat ria. Kali ini, Emma mengawali.
“Teman-teman... aku merasa di antara kita cuma aku yang nggak bisa apa-apa,”
Tom yang minumannya belum nyampe ke perut langsung (nggak sengaja) nyemprot ke muka Kelsie.
“Ahhh!! Jorok banget seeh!! Gak pake hujan kalee!!” Kelsie bingun cari lap.
“Habis Emma ngomong yang nggak-nggak,” kata Tom membela dirinya.
“Iya nih Em, kok tiba-tiba ngomong gitu?” An menimpali.
“Sebenarnya...” Emma pun nyeritain insiden tadi pagi dan tadi siang.
“Ohh... gara-gara itu...” kata Robin, “Kami kan fans-mu,” tambahnya.
“Iya!” teman-temannya menambahkan.
“Lagipula, fansku kan cuma satu,” kata Kelsie. Emma tetap diam.
Sebenernya Kelsie ngerasa kalo Emma iri padanya. Tapi berhubung Emma sahabatnya, jadi negatif thinkingnya diilangin.
“Aku tahu!” tiba-tiba Ann teriak, “Kamu ubah penampilan aja!”
Yang lain pada bingung maksud Ann.
“Kamu ikuti apa kata majalah ini! Dan jangan lupa, percaya diri!”
“Aku setuju,” kata Nick.
“Kami semua setuju,” tambah Tom.
“Baiklah,” kata Emma yakin.
Besoknya sebelum berangkat sekolah, Emma pakai body lotion, parfum, dan kacamatanya diganti softlens, Rambutnya yang biasanya dikuncir dua sekarang tergerai bebas dihiasi dengan bandana lucu.
“Aku siap tampil beda,” gumam Emma mantap.
Sampai di sekolah, semua temannya heran akan perubahan penampilan Emma.
“Wow!!” kata Tom.
“Double Wow!!” tambah Kelsie, “Kau keren! Kayak artis hollywood saja!” puji Kelsie.
“Trims, aku kurang PD nih,” kata Emma.
“Santai saja,” tambah Ann.
“Show pagi ini, kamu ya yang jadi singer utamanya!” pinta Tom.
“Hah?! Apa aku bisa?” Emma yang belum pernah jadi penyanyi utama kaget.
“Kamu pasti bisa!” teman-teman pada mendukung.
“Baiklah,” akhirnya show-pun berlangsung dengan Emma sebagai singer utama.
Usai show pagi, Emma mendengar dua anak yang mengejeknya kemarin berbicara, “Yang jadi penyanyi utamanya Emma ya?”
“Iya! Aku nggak nyangka lho Emma bisa secantik itu!”
“Suaranya juga semakin merdu,”
“AKu jadi ngefans,”
“Aku juga!”
Emma senang sekali. Begitu juga teman-teman yang lain (KATERN). Tiap ‘curhat’ time, dia selalu punya cerita menarik.
-suatu hari-
“Emma! Hari ini KATERN belajar di rumahmu ya?” kata Robin.
“Aduh maaf, jadwalku hari ini padat. Aku harus ke salon, terus aku juga mau belanja sama mamaku,” kata Emma menunjukkan jadwal emasnya yang penuh dengan perawatan.
“Yah... besok kan ulangan, masa’ kita cuma belajar berlima?” kata Robin dengan nada kecewa.
“Maaf Rob, tolong beri tahu teman-teman yang lain ya!”
Robin mengangguk saja. Para KATERN yang lain setelah diberitahu Robin tentang itu langsung kecewa.
“Yaaah... kok gitu seeeh,” Tom kecewa.
“Kita harus demo!” Kelsie mengeluarkan lawakannya biar suasana agak membaik.
“Lebay, lebay, gak pa-pa deh... besok kan kita ulangan. Enak Emma pintar. Gak perlu belajar,” kata Ann.
“Tapi kebersamaan itu kan perlu!” Tom tidak setuju dengan opini Ann, “Aku bakal nungguin dia sampe pulang dari salon!” tambahnya lagi.
“Lhoh... kok jadi sewot gitu sih?” Nick bingung akan sifat sahabatnya itu.
“Biarkan, Tom memang begitu. Dia sudah nganggep kita sebagai kakak dan adiknya. Jadi dia nggak mau kita mencar-mencar kaya gini,” terang Robin.
Kelsie langsung mendapat akal untuk membuktikan bahwa KTERN selalu bersama, sedih maupun senang. Ia membeli kalung bentuk note musik sebanyak 6 buah karena KATERN suka musik. Ia akan memberikannya sepulang sekolah.
Tapi saat pulang sekolah...
“Hei! Pulang yuk!” kata Ann pada KATERN.
“Oke! Emma mana?” tanya Tom.
“Gak tau tuh... dari tadi gak kelihatan,” jawab Ann cemas.
“Ed, liat Emma gak?” tanya Kelsie pada Edward, ketua kelas mereka.
“Lho, kupikir bareng kalian. Dia tadi bilang mau pulang,”
“Yaah... padahal aku mau kasih kalung ini ke KATERN,” Kelsie kecewa.
“Kalung apa?” tanya teman-temannya penasaran.
“Ini. Ambil satu, dan pakai,” Kelsie memberikan kalung yang direncanakan itu.
“Terus punya Emma gimana?” tanya Nick.
“Biar aku yang kasih ke dia,” sahut Tom sambil mengambil kalung di tangan Kelsie.
Di rumah Emma, Tom segera membuka pagar dan mengetuk pintu rumahnya. Tetapi setelah beberapa menit, pintu pun tak dibuka.
-----
I stopped writing here. I also forgot how the plot goes since i wrote it back in first year of Junior High.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Conversation
Dari Cerbung yang Belum Ada Judulnya
Suatu ketika, aku dan Marco sedang ketemuan di kantin St. Clairine Academy. Aku yang menghubungi dia duluan. Aku bilang kangen.
Clar: *menyeruput kopi* *tersenyum sambil memandang Marco*
Marco: Jadi... Mau ngomongin apa?
Clar: hehehehe... *menyeringai*
Marco: Kalau nggak penting, aku mau pergi *berdiri*
Clar: EH!!! Sini dulu ih! Duduk!
Marco: Makanya cepet ngomong
Clar: Jangan jutek gitu dong! Buru-buru banget
Marco: Aku nggak pernah suka buang-buang waktu
Clar: Iiiih... Ya udah. Sebenernya, aku cuma kangen aja sama kamu
Marco: *diam sesaat*
Marco: udah gitu aja? Nggak ada yang lebih penting?
Clar: Nooo... Aku cuma, ingin melanjutkan kisahmu. Aku kangen menulis tentangmu.
Marco: Ya sudah bikin aja. Kenapa? Kamu sudah lupa jalan ceritanya?
Clar: *mengangguk kecil*
Marco: tidak masalah buatku, kan aku hanya unsur pembantu imajinasimu
Clar: tapi aku sangat ingin mengembalikan originalitas ceritaku yang dulu. Aku rindu masa-masa ketika imajinasiku begitu liar dan bebas
Marco: Sebenarnya sampai sekarang kamu nggak berubah kok. Hanya, semua kesibukanmu ini begitu menyita keliaran imajinasimu. Memagari imajinasimu agar tidak berkeliaran dulu. Karena ada hal yang lebih penting yang harus kamu selesaikan. Aktivitasmu
Clar: *menyeruput kopi* *menunduk* Iya... aku tidak bisa menghindari itu
Marco: Sebenarnya aku juga
Clar: Apa? *melebarkan mata* *memandang Marco dalam-dalam*
Marco: Aku juga rindu... padamu *menutup mulutnya sambil menyangga dagu dengan tangan* *memandang ke arah lain*
Clar: *tersenyum* siniiiii kupeluuk!!!
Marco: Hei hei jauh jauh! Ini perasaan normal seorang tokoh cerita kepada penulisnya tahu!
Clar: iya... aku tahu. Tapi aku membuatmu sesuai dengan tipeku di masa itu, aku jadi ingin memelukmu!
Marco: Tipemu masa itu? Berarti sekarang sudah berganti?
Clar: Tidak juga... Karakter sepertimu masih menyenangkan hatiku. Tapi aku sekarang lebih tercerahkan. Cowok-cowok sepertimu, kalau di dunia nyata, nggak mungkin aku sukai. Aku keburu benci duluan mungkin hehehe...
Marco: Kurang ajar. Aku ini orang baik, peduli pula! Imajinasimu saja yang terlalu mustahil!
Clar: Iyaa aku tahu! Maksudku, di dunia nyata, tidak mungkin ada orang sepertimu yang bakal menyukai orang sepertiku. Selain itu, sudah tidak zaman lagi orang cuek kepada orang yang disuka. Pasti ada perhatian lebih.
Marco: Bukannya aku perhatian pada Lucy?
Clar: *tersenyum jahil* Eh? Kalau sama aku terang-terangan gitu ya kalau suka pada Lucy
Marco: *wajah memerah* Hah? Aku nggak bilang begitu! Lagipula, kamu kan sudah tahu semuanya. Jangan diperjelas lagi. Bikin malu saja!
Clar: Hahahaha... aku tahu kamu akan bereaksi lucu begini makanya aku sengaja.
Marco: *menegak teh hangatnya hingga sisa seperempat gelas*
Clar: Tapi benar lho, cowok zaman sekarang, terutama di dunia nyata, kalau sudah jelas suka pada seseorang sudah pasti ada gerakan-gerakan yang jelas. Tidak sembunyi-sembunyi seperti kamu.
Marco: Apa? Kamu meremehkan aku?
Clar: Enggaak! Duh, kamu jadi sensitif gini. Harusnya kamu cool!
Marco: *menggerutu*
Clar: Dibanding kamu, tipeku sekarang lebih mendekati ke... *sambil berbisik* Derek
Marco: Begitu? Kalau begitu, jadikan saja dia pendamping tokoh utama
Clar: Jangan cemburu gitu ih
Marco: Aku nggak cemburu. Maksudku, supaya kamu nyaman saja bikin ceritanya
Clar: Justru itu! Aku biarkan kamu dekat dengan Lucy, supaya Derek tetap milikku, hahahahahaha...
Marco: Dasar penulis licik *tertawa kecil*
Clar: Ini salah satu cara memasukkan perasaanku ke dalam cerita tahu!
Marco: Iya.. iya... terserah kamu saja lah
Clar: Kalau gitu, nanti kalau kamu sudah kembali ke asrama, sampaikan salamku ke Derek ya! Hehehe...
Marco: Buat apa? Kan kamu bisa panggil dia seperti kamu panggil aku ke sini
Clar: Mana seru... Pokoknya sampaikan dulu salamku ke dia. Supaya kamu berguna juga buatku!
Marco: Hei aku selalu berguna dalam ceritamu!
Clar: Ya sudah... aku mau pergi dulu. Urusanku belum selesai. Aku harap kamu mendoakan aku juga supaya kisahmu cepat kugarap lagi. Eh satu lagi...
Kamu benar-benar nggak mau berpelukan denganku? Penulismu yang paling tersayang ini?
Marco: Jangan kayak tante-tante girang deh
Clar: Pleeeaseee... aku sedang butuh afeksi. Buat mengembalikan energi dan semangatku. Ya? *terenyum lebar penuh harapan*
Marco: terserah
Clar: *melompat dan memeluk Marco* Yeeeey! Kamu memang favoritku! Setelah Derek maksudku hehe...
Marco: *membalas pelukan* *menepuk pelah punggung Clar* Semangatlah setelah ini. Kami menunggumu.
Clar: Aye aye! Bye Marco! Sampai ketemu lagi!
Marco: *melambaikan tangan*
Dari belakang muncul seorang gadis..
Lucy: Pacar?
Marco: *menoleh* *kaget* Hah! Sejak kapan kamu di sini!?
Lucy: Pacar ya... oh... *berjalan meninggalkan Marco*
Marco: Hei! Jangan salah paham begitu! Dia bukan pacaaar!! *mengejar Lucy*
/
/
/
*continued*
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Video
tumblr
Tevi
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #7
"Cliff? Saya kira kamu sudah pulang", Carter membuka pintu gereja dan menemukan Cliff duduk di kursi paling belakang. Bersama Claire?!
"Sssh... Ini, Claire sedang tidur... tadi habis menjalani hari yang berat, hehe", Cliff berusaha mengangkat Claire "saya antar pulang dulu, Carter", Cliff pamit setelah berhasil menggendong Claire di punggungnya.
"Hati-hati anakku, Tuhan memberkati"
Cliff menutup pintu gereja dan berjalan menuju peternakan Claire. Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Kai yang baru saja menutup Kedainya. Kai melihat Cliff sedang menggendong Claire di punggungnya, lalu segera ia berlari menghampiri mereka.
"Cliff? ...kenapa Claire? Dia pingsan?" Kai panik.
"Jangan sentuh dia! Minggir", kata Cliff dingin. Sekilas Kai melihat mata Claire yang sembap.
"C-Claire habis menangis? Ada apa dengannya?" Kai masih bingung dengan keadaan Claire.
"Tidak usah sok memedulikan Claire. Urus dulu wanita-wanitamu yang lain", ucap Cliff ketus.
"Kamu bicara apa sih, apa salahku?" Kai mulai bingung dengan sikap Cliff.
"Sudah buat orang menangis masih tidak tahu diri. Sok tidak bersalah. Jangan ikuti aku!" Cliff terus berjalan tanpa memandang Kai.
"Aku? Buat orang me... aku bikin Claire menangis?" Kai hampir berteriak, ia tetap mengikuti Cliff ke rumah Claire. Cliff diam sepanjang jalan setelah puas mengata-ngatai Kai.
Mereka akhirnya tiba di rumah Claire. Namun terdapat satu masalah. Rumah Claire dikunci.
"Mungkin kuncinya ada di kantung Claire, sini aku-" Kai berusaha menggapai Claire namun Cliff mencegahnya.
"Aku bilang, jangan sentuh dia", kemudian Cliff membawanya pergi.
"Hei! Mau kaubawa kemana dia! Cliff!" Kai segera berlari mengikuti Cliff.
"Kau betul-betul seperti penculik! Kenapa tidak bangunkan saja Claire dan suruh dia masuk?" kata Kai.
Cliff tiba-tiba berhenti. Nafasnya memburu saking emosinya. "Kau! Jangan bergaya seolah kau benar-benar mengerti dia! Bajingan sepertimu tidak pantas bersama Claire!" seketika itu juga Kai terdiam. Ia tidak percaya Cliff dapat mengatainya seperti itu. Mereka berdiam-diaman sepanjang jalan. Kai mengikuti Cliff berjalan, hingga mereka memasuki penginapan milik Doug.
"Kau bercanda Cliff?" Kai bersuara. Namun Cliff tetap masuk tanpa menganggap Kai ada.
"Ann, izinkan Claire tidur di sini malam ini", kata Cliff pada Ann yang kebetulan baru keluar dari dapur.
"Ada apa dengan Claire?" tanya Ann. Ia makin kebingungan ketika melihat Kai di belakang mereka.
"Nanti kuceritakan, aku pinjam kamarnya ya... hari ini saja", Cliff segera membawa Claire ke lantai dua. Kai mengikuti mereka namun Ann menahannya.
"Well, ada yang perlu menjelaskan semua ini", Ann mengangkat satu alisnya.
"Percaya padaku, aku sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Kai membela diri.
"Pikirkan apa yang telah kau lakukan seharian ini! Apa yang kau lakukan sehingga membuatnya menangis?" kata Ann. Ia telah menyadari bekas air mata di pipi Claire.
"Ayolah! Kenapa kamu juga menuduhku membuat dia menangis?" Kai masih bingung.
"Terserah kau lah kalau tidak mau mengingat-ingat! Aku kerja dulu." Ann berlalu sambil mengenakan celemeknya lalu kembali ke dapur. Sementara Kai masih dalam kebinhungan, ia berjalan ke lantai dua. Ruangan tempat Claire tidur berada di samping kamar Kai, Gray, dan Cliff. Di dalam kamar Claire telah berdiri Cliff dan Gray di sisi tempat tidur Claire.
"Hey, apa yang kalian lakukan?" tanya Kai penuh curiga.
"Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang telah kau lakukan hah?" Gray mendekati Kai dan menantang wajahnya.
"Kau juga?" Kai merasa Gray juga menyalahkannya. "Seseorang tolong jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi"
"Kapan kau bertemu dengan Claire hari ini?" tanya Cliff. Ia berjalan mendekati Kai sehingga Kai terpojok oleh Cliff dan Gray.
"Tadi sore. Kenapa?" Kai masih bingung.
"Kau sedang apa saat itu?" tanya Cliff lagi.
"Aku sedang... hmm... oh! Aku sedang santai menikmati pantai dengan Popuri", Kai seketika membelalakkan mata. "Hei, menurutmu apa jangan-jangan Claire..."
"Dasar bajingan!" Cliff memukul wajah Kai. Kai ambruk, tidak siap. Gray segera menahan Cliff ketika Cliff hendak melayangkan pukulannya lagi.
"Jangan kau permainkan Claire! Kutu busuk!" Cliff meluapkan emosinya.
Kai berusaha duduk. Pukulan barusan begitu kuat dan penuh emosi, membuat tulang pipi Kai mulai membengkak.
"Cliff, tenangkan dirimu. Kita keluar", Gray menarik Cliff keluar dari kamar, meninggalkan Kai.
Kai masih terduduk di lantai merasakan sakit. Rasa sakit yang lebih terasa, yaitu di dalam hatinya. Ia telah menghancurkan hati gadis polos yang ia suka. Memang bukan kesalahannya, tapi waktu yang tidak tepat mempertemukan mereka. Yaitu saat Kai sedang berdua dengan Popuri, hanya karena Popuri memaksa Kai menemaninya. Kai berdiri dan berjalan mendekati Claire. Ia memandang Claire dengan penuh perhatian. Pipi Claire tampak ada bekas air mata. Kai mengusap pipi Claire dengan lembut.
"Maaf, Claire..." bisiknya pelan. Ia menyibakkan rambut Claire yang mengganggu di wajah Claire. Ia mengambil tangan Claire dan menciumnya lembut. Kemudian Kai pergi meninggalkan Claire yang masih tertidur pulas.
Di kamarnya, Kai, Cliff , dan Gray tidak saling menyapa. Cliff masih menyimpan kekesalannya. Gray juga kesal, namun Kai adalah sahabatnya. Ia juga mengenal sahabatnya dengan baik sehingga emosinya mampu ia redam. Kai langsung naik ke atas kasur dan tidur. Ia ingin segera melupakan apa yang telah terjadi hari itu, namun hatinya tetap gelisah.
========================================================
"Aku harus gimana, Ann?" Sayup-sayup terdengar suara Claire dari kamarnya yang agak dibuka. Kai berhenti dan mendekati pintu kamar, berusaha mendengar percakapan kedua gadis bersahabat itu.
"Kenapa kamu menyalahkan dirimu sendiri sih?" tanya Ann.
"Tapi dia nggak suka kalau orang-orang membicarakan tentang aku dan dia. Aku harusnya tahu kalau kami cuma berteman... tapi..." Claire menghentikan kalimatnya.
"Tapi?" tanya Ann.
"Aku nggak tahuu... ini terjadi begitu saja", kata Claire mencoba untuk menolak hatinya.
"Tapi jelas-jelas kamu menyukai Kai, Claire", Ann mengatakannya untuk Claire.
Sementara itu Kai yang mendengarkan mereka, mendengarkan perasaan Claire terhadapnya, menjadi tidak karuan. Jantungnya berdegup kencang.
"Aku nggak bisa menghentikan perasaan ini", kata Claire kemudian.
"Kenapa kamu mau menghentikannya?" tanya Ann.
"Karena... karena... aku tahu, Popuri sangat menyayanginya. Begitu juga dengan Kai. Dia juga sangat menyayangi Popuri", kata Claire lemah.
Kai merasa Claire telah salah paham terhadapnya. Tanpa sadar ia memasuki kamar Claire dan Ann, "aku nggak suka kok..." Ann dan Claire terkejut. Mereka bertiga sama-sama membeku di tempat.
Namun Claire segera sadar bahwa Kai mendengar percakapannya dengan Ann sehingga wajahnya berubah merah seketika. Claire sungguh malu sehingga ia buru buru bersembunyi di balik selimutnya. Wajah Kai ikut memerah ketika menyadari hal bodoh yang ia lakukan baru saja. Sedangkan Ann hanya menggelengkan kepala.
"Kalian bicaralah berdua. Aku mau siap-siap kerja", lalu Ann meninggalkan kamar.
Tinggallah Claire dan Kai berdua di ruangan itu. Claire masih bersembunyi di balik selimutnya. Kai berjalan mendekati Claire. Kemudian dengan usil, ia menggelitiki Claire dibalik selimut. Claire memberontak dan berteriak-teriak meminta Kai berhenti.
"Buka selimutnyaaa! Nanti kamu nggak bisa bernafas", kata Kai. Setelah beberapa lama digelitiki akhirnya Claire membuka selimutnya. Menampilkan ekspresi kesal di wajahnya karena diusili olrh Kai. Kai melihat wajah kesal Claire begitu menggemaskan dan lucu, sehingga ia tertawa. Dicubitnya pipi Claire dengan gemas.
"Sungguh, kamu lucu banget", kata Kai.
"Buatku nggak lucu tuh", Claire kesal.
"Hey, maafin dooong!" Kai kembali mencubit pipi Claire.
"Iih! Minta maaf tapi tetep jahil", Claire membuang muka.
"Oke, oke... maaf", Kai menunduk bagai anak kecil yang dimarahi orangtuanya.
"Maaf aku memang jahat, aku memang playboy, aku memang rendah, aku nggak mengerti Claire, aku cuma memedulikan diriku sendiri", kata Kai.
Claire menoleh pada Kai dan merasa bersalah sendiri. "Enggak... aku nggak menyalahkanmu... malah aku yang salah... aku salah karena sudah.. em.." Claire berhenti seketika.
"Salah karena sudah suka padaku?" Kai memperjelas. Wajah Claire kembali memerah. Sebelum Claire menyembunyikan wajahnya dalam selimut, Kai segera menariknya ke dalam pelukannya. Wajah Claire disembunyikannya di dada.
"Kalau mau sembunyi, begini saja. Toh aku nggak akan bisa melihat wajahmu kan", kata Kai lembut. Mereka diam sejenak.
"Ke-kedengaran nggak, Claire" tanya Kai.
"Hm? Apa?" Claire mendongak untuk memandang Kai, namun dipeluknya kembali kepala Claire hingga menyentuh dadanya.
"Ini... suara jantungku. Keras banget kan?" kata Kai menahan malu. Wajah Claire menjadi makin merah ketika mendengar debaran jantung Kai yang nggak main-main berisiknya.
"Aku nerves banget sekarang", kata Kai di sela-sela debaran jantungnya.
"Aku baru tahu kalau memelukmu seperti ini aku bisa-bisa kehilangan nyawa", kata Kai.
Claire segera melepas pelukan Kai, lalu bertanya dengan khawatir "lho, kenapa? Kamu sedang sakit?"
Kai kembali menarik Claire dalam pelukannya, namun Claire memberontak. "Nggak, nanti kamu mati", kata Claire polos. Kai yang berhasil memeluk Claire dengan erat tertawa terbahak-bahak.
"Kok kamu nggak ngerti sih? Kalau aku peluk kamu begini, jantungku berdebarnya kencaaang sekali. Bahaya kalau copot. Tapi apa boleh buat, aku suka banget sama kamu", kata Kai sambil memeluk Claire erat. Claire terdiam sesaat.
"Tapi kamu bilang kamu sayang sama Popuri", kata Claire.
"Maaf, aku memang sayang semua sahabat-sahabatku", kata Kai.
"Tapi kalau kamu, aku cinta", Kai kemudian mendaratkan satu ciuman ke kening Claire. Perasaan Claire masih campur aduk. Ada sedih dan senang dalam hati Claire.
"Kok diam? Jawab dong... malu nih", kata Kai. Claire masih diam, ia termenung.
"Kenapa?" Tanya Kai lembut, mendekatkan wajahnya ke wajah Claire.
"Tapi sebentar lagi kamu pergi kan", kata Claire lemah. Kai terdiam seketika.
"Claire... untuk saat ini, aku masih harus pergi. Tahun depan aku pasti kembali kan? Aku pasti langsung menemuimu. Janji!"
Claire menunduk lesu. Tak lama kemudian ia mengangkat wajahnya, menampilkan senyumnya yang manis "Iya. Aku percaya Kai. Karena aku suka Kai"
Seketika sebuah ciuman mendarat lembut di bibir Claire. Kai tidak dapat menahan sikap Claire yang begitu membuatnya jatuh cinta.
Sampai bertemu tahun depan, Claire. Aku sangat mencintaimu.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #6
Musim panas hampir berakhir. Hanya satu hal yang mengganjal di pikiranku, sebentar lagi Kai akan pergi. Tidak untuk selama-lamanya sih, hanya sampai musim panas yang berikutnya. Tapi entah kenapa, aku merasa sedih.
Kai adalah sahabatku. Kami kenalan waktu awal musim panas. Lalu aku jadi sering datang ke kedainya, sekedar singgah untuk mendinginkan badan dari sengatan panas matahari. Selain menyantap masakannya, aku juga sering berbincang-bincang dengannya.
Pembahasan kami bermacam-macam dan seru, kadang lucu sampai kami tidak bisa berhenti tertawa. Tapi akhir-akhir ini aku merasa dia sangat memperhatikanku. Dia sangat memedulikanku. Mungkin ini yang dinamakan persahabatan. Mungkin aku saja yang baru pertama kali bersahabat dengan seorang lelaki. Namun tetap saja aku merasa spesial bila di sisinya. Awalnya aku mengagumi dokter Trent di Mineral Town ini. Dia pintar dan cepat tanggap. Benar-benar idaman. Kai juga sudah tahu mengenai perasaanku. Tapi aku tahu kalau dokter Trent sedang dekat dengan Elli.
"Kukira Trent menganggapku spesial, Kai... tapi ternyata aku saja yang berlebihan", kataku waktu sedang curhat di kedai Kai.
"Mm hmm..." Kai cuma mengangguk-angguk.
"Iya, harusnya aku tahu kalau Trent adalah dokter yang profesional, dia pasti memperlakukan pasiennya dengan baik", lanjutku. Kai tertawa kecut.
"Heh.. profesional katamu"
"Memangnya menurutmu dia nggak profesional?" Tanyaku ketika dia berperilaku agak janggal.
"Profesional kok..." katanya tersenyum. "Oh iya, kau tahu gosip-gosip lain lagi mengenai cowok-cowok di Mineral Town?" Tanya Kai. Aku menggeleng.
"Ah... perempuan kok nggak update gosip", dia menepuk dahiku pelan, hampir tidak kena. "Sebelum kamu datang, sebenarnya sudah ada gosip para pasangan pemuda dan gadis di Mineral Town", Kai mencondongkan badan. Aku ikut penasaran.
"Jadi selain hubungan Karen dan Rick yang sudah jelas pacaran, lalu Trent dan Elli yang katamu dekat, masih ada pasangan lain. Gray misalnya, katanya dia dekat dengan Mary. Kalau Cliff, dia dekat dengan Ann", jelas Kai.
"Oh... kalau kamu?" aku tanya.
"Aku? Hm... Berita terbaru sih mengatakan kalau aku lagi dekat dengan kamu", Kai menopang dagunya dan memandangku dari dekat.
"Oh ya? Jadi sudah nggak digosipkan dengan Popuri?" tanyaku.
"Nggak", Kai singkat. "Kamu... senang nggak digosipkan denganku?" tanya dia tiba-tiba.
"Biasa saja", jawabku. "Kalau mau disangkal, tapi kenyataannya kita memang dekat. Kalau diiyakan, dikira macam-macam. Aku lebih pilih tidak peduli sih", kataku.
Kai mengangkat wajahnya. Ia tersenyum namun redup "oh, begitu". Kukira dia tidak suka kalau digosipkan seperti itu. Mungkin hal itu agak mengganggunya. Setelah itu kuputuskan untuk sesekali saja datang ke kedai Kai, dan tidak lama-lama. Aku mendadak jadi orang sibuk.
"Claire, sungguh. Kamu itu kuat ya, melakukan pekerjaan berat ini. Aku jadi nggak ada apa-apanya dibanding kamu", komentar Kai waktu aku pamit pergi lebih awal. Lain waktu dia pernah bilang, "Claire, sebentar lagi aku akan jadi petani juga ah kayak kamu. ... ... gak ding, bercanda, hehehe". Tapi lama kelamaan jadi bengini, "Claire, kamu kok jadi jarang ke tempatku sih?"; "Claire, kamu beneran sibuk ya? Perlu bantuanku nggak?"
Dia masih tetap baik kepadaku meski aku berusaha menjauhinya. Makanya, hari ini aku mau seharian saja dengan Kai, karena besok lusa dia pergi.
Aku sudah sampai di pintu masuk pantai ketika aku melihat pemandangan yang menyesakkan. Saat ini di depan mataku Kai dan Popuri sedang berdua menikmati mentari sore. Aku sangat penasaran. Diam-diam aku berpura-pura mengumpulkan herbal, namun telingaku terfokus pada pembicaraan mereka berdua.
"Ini musim panas yang paling cepat yang pernah kualami", kata Kai.
"Kenapa begitu? Kamu datang pada tanggal 1 kok", kata Popuri.
"Entahlah, tapi seperti cuma sekedipan mata saja. Tiba-tiba besok aku sudah pergi lagi, mengejar musim panas", Kai menghela nafas panjang.
"Pasti karena kamu selalu sama-sama Popuri kan??" Popuri menarik baju Kai dengan manja.
"Hahahahaha bisa saja kamu", Kai mengelus rambut merah jambu Popuri.
"Kai aku sayang bangeeet sama kamuu", Popuri tiba-tiba melompat dan memeluk Kai.
"Iya, iya, aku tau", Kai menepuk-nepuk punggung Popuri. Saat itulah Kai melihatku berjalan keluar pantai.
"Claire!" Dia melepas pelukan Popuri dan berlari ke arahku. Sebenarnya aku agak gemetar saat itu. Aku menahan tangis. Aku menguatkan diriku dan menoleh pada Kai.
"Nggak mampir ke kedai?" Tanya Kai santai, seolah tidak baru saja bermesraan dengan Popuri.
"Nggak, makasih... aku buru-buru, dah!" aku cepat-cepat berlari dan tidak menghiraukan segala perkataan yang diteriakkan Kai kemudian. Aku tidak kuat membendung air mata. Aku merasa perih sekaligus merasa bodoh. Aku cemburu pada orang yang salah. Aku seharusnya tahu hubungan mereka memang dekat. Aku seharusnya tahu kalau Popuri memang tipe cewek yang manja seperti itu, bahkan kepadaku juga manja. Dan aku merasa telah menyukai orang yang salah. Orang yang tidak akan selalu bersamaku di sepanjang tahun. Aku berlari menuju gereja, kurasa itu tempat yang tepat bagiku untuk menenangkan pikiran. Cliff baru saja keluar dari gereja dan aku terus berlari tanpa menghiraukan  sapaannya. Aku memasuki gereja, duduk di kursi paling belakang, dan mulai menangis. Suasana gereja yang kosong membuat suaraku terdengar makin nyaring.
"Claire?" Tiba-tiba Cliff masuk mengagetkanku. Aku segera mengusap tangis dan berputar membelakanginya.
"Ada apa, Claire? Kok menangis?" Cliff langsung duduk di sampingku. Aku sempat menahan tangisku selama sepuluh detik sampai akhirnya aku tidak kuat. Aku menangis dan merengek, memukul-mukul diri sendiri, merasa bodoh. Cliff tak tega melihatku, lalu mendekapku. Dalam dekapannya itu aku terus menangis dan mengomel sendiri "Cliff, aku ini bodoh kan? Aku bodoh... memalukan... Kenapa aku cemburu padanya... kenapa aku suka padanya..."
Cliff hanya mengelus rambutku, punggungku, berusaha menenangkanku.
Aku menangis cukup lama, hingga akhirnya tinggal sesenggukan kecil tersisa, dan aku masih di dalam dekapan Cliff. Setelah itu, aku lupa apa yang terjadi. Aku merasa nyaman saat itu, setelah segala unek-unek kukeluarkan barusan.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #5
Ketika itu hari sangat panas. Matahari begitu menyengat di hari itu. Tapi Claire tetap semangat melakukan pekerjaannya. Apalagi kemarin, dia lupa memasukkan sapi dan ayam-ayamnya di kala hujan. Claire benar-benar kelabakan hari itu. Yang lebih parah, dia masih harus ke pantai di hari yang benar-benar panas ini untuk mengumpulkan tanaman herbal di sana.
Sampai di pantai, Claire melihat samar-samar sesosok berkepala ungu. Panasnya matahari membuat kepalanya agak pusing sehingga pandangannya berputar-putar.
“Claire..? … apa? …re!” tidak jelas apa yang dikatakan oleh sosok itu. Kemudian pandangan Claire menjadi gelap.
“Astaga! Dia pucat sekali”, Claire tidak sadarkan diri di pangkuan Kai. Kai mengangkat Claire dan membawanya seperti seperti seorang putri. Lalu Kai berlari menuju Klinik.
“Trent! Trent! Tolong aku cepat!” Kai berteriak memanggil dokter.
“Ada ap… Oh, Claire? Bawa ke atas kasur!” kata Trent dengan tegas. Ia lalu dengan sigap memeriksa Claire dengan saksama, sementara Kai menunggu di luar ruangan dengan gelisah.
Trent akhirnya keluar dari ruangan. “Bagaimana Claire?” Kai langsung memburu.
“Dia nampak amat kelelahan. Tekanan darahnya rendah sekali. Biar dia istirahat. Sementara itu aku akan menyiapkan roti dan susu untuknya”, Trent melepas maskernya dan berjalan menuju dapur klinik.
“Tunggu”, Kai menahan Trent “Aku saja yang buatkan”, Kai memohon.
“Oke, aku akan jaga Claire di sini”, Trent beranjak masuk ke dalam ruangan Claire.
“Eh?” sebelum Kai sempat mengatakan apa-apa, Trent sudah menutup pintu ruangan. Kai berjalan menuju dapur klinik dan segera membuat roti dan susu. Kai membuat dengan sepenuh hati, tapi juga terburu-buru. Ia tidak ingin Trent berlama-lama berdua dengan Claire.
Roti dan susu sudah siap. Kai berjalan berhati-hati menuju ruangan Claire. Namun ketika ia membuka pintu, tampak pemandangan yang hampir membuat jantung Kai copot. Trent membungkukkan badannya, sehingga wajahnya dekat dengan wajah Claire. Trent mencoba untuk mencium Claire saat Claire masih terlelap.
Trent menghentikan gerakannya persis ketika wajahnya berjarak 1 inci dengan wajah Claire. Ia melirik singkat ke arah Kai, lalu ia memperbaiki posisi duduknya. Kai mulai geram, ia meletakkan roti dan susu di tangannya lalu mencengkeram kerah Trent.
“Kau sedang apa hah?!” Kai emosi.
“Kau ingin juga?” Trent santai.
“Dokter macam apa kau ha?!” Kai menarik Trent hingga keluar ruangan.
Kai melepaskan cengkeramannya, namun tatapannya tetap tajam menusuk, lurus memandang Trent. Trent hanya memandang Kai dengan tenang.
“Bisa bisanya kau… menyerangnya saat dia lengah! Kau anggap kau pria?!!” Kai membentak, Elli yang berada di balik meja resepsionis terkejut tapi tidak berani berkata apa-apa. Nafas Kai memburu naik dan turun. Trent diam saja, menunggu sampai emosi Kai mereda.
“Beruntung kita masih di sini. Kalau kita di luar, kuhabisi kau!” kata Kai pelan, namun mengancam.
“Kau berani berkata begitu, kau bahkan tidak tahu bagaimana hubunganku dengan Claire”, Trent masih tenang.
“Jangan bicara seolah-olah kau mengerti perasaan Claire!” kata Kai sambil kembali mencengkeram kerah Trent. Kemudian ia melepaskannya dengan mendorong Trent. Ia memasuki ruangan Claire, menutupnya dengan keras. Meninggalkan Trent di luar ruangan.
Di dalam, Claire tiba-tiba terbangun. Kaget mendengar suara pintu yang keras. Seketika ekspresi Kai berubah. Kerutan di alisnya menghilang, otot-otot wajah yang tadinya menegang jadi lebih luwes.
“Ah, Claire… Maaf, aku membangunkanmu ya?” Kai segera duduk di samping tempat tidur Claire. Ia memegang tangan Claire.
“Masih pusing?” Kai menempelkan punggung tangannya di dahi Claire.
“Enggak… sudah agak enakan. Agak lemas saja”, kata Claire lemah.
Segera Kai mengambil roti dan susu yang tadi dibikinnya. Ia memotong-motong roti menjadi persegi kecil-kecil dengan telaten. Kemudian disuapinya Claire dengan lembut.
“Aaa…aaa…” Kai setengah menggoda.
“Apa sih Kai, aku bisa sendiri”, Claire lalu mengambil posisi duduk dibantu oleh Kai.
“No, no, no… Kalau kamu makan sendiri, aku nggak ngapa-ngapain dong… Nggak produktif. Sini! Aaaa?” Kai kembali menyodorkan sepotong roti. Claire menyambut suapan Kai. Kai tersenyum puas.
“Hehehe… good girl”, Kai mengusap-usap kepala Claire.
“Heh! Dikira aku anjing!” Claire protes.
Sejenak kemudian Kai hilang dalam lamunannya. Sinar matanya nampak redup.
“Kenapa Kai?” Claire bertanya, membuyarkan lamunan Kai.
“Enggak apa…” jawab Kai pelan.
“Yakin?” tanya Claire lagi.
“Hm… begini, aku lagi bingung gimana caranya bisa menumbuhkan nanas di pasir”, Kai berusaha menyembunyikan perasaan sesungguhnya.
“Haaaah? Nggak bisa tau! Ngapain tanam nanas di pasir?” Claire tertawa. Kai ikut tersenyum.
“Aku lagi pengen banget makan nanas”, jawab Kai.
“Ahahahaha… ngidam ya?” Claire tertawa “Eh, ngomong-ngomong aku tanam nanas lho di kebunku!”
“Sungguh?” mata Kai terbelalak.
“Iya! Mau? Kalau sudah berbuah kubawakan satu ya”, kata Claire mengacungkan telunjuknya.
“Satu aja? Kuraaang”, Kai merengek.
“Yaudah dua”, Claire mengacungkan satu jarinya yang lain, membentuk angka dua. Tangan Kai lagi-lagi menggenggam jari-jari Claire yang mengacung, lalu mencium tangannya yang menggenggam.
“Deal. Hmmm… Lebihin satu lagi deh, haha”, belum habis tawa Kai, tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
“Jadi begini cara mengerti perasaan Claire?” Trent mendekati Kai dan berdiri di sampingnya. Suasana hening sejenak. Claire tidak memahami apa yang dibicarakan Trent.
“Aku jaga kedai dulu ya, Claire… Ini, minum susunya. Titip Claire, Trent”, Kai meninggalkan Trent dan Claire tanpa memandang mata Trent.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #4
“Seberapa sering kamu ketemu dengan Kai?” tanya Rick pada suatu hari, di restauran di penginapan. Di sana sudah ada Karen, Ann, Rick, Popuri, Cliff, dan Gray. Mereka sedang makan-makan bersama di satu meja bundar, dan pembahasan mereka lalu mengarah pada Claire dan Kai.
“Aku sering melihatmu di pantai. Tak jarang juga kamu memasuki kedai Kai. Apa hubunganmu dengannya?” sambung Rick.
“Haaah? Kenapa gitu banget pertanyaanmu. Seolah-olah Kai adalah buronan sehingga aku nggak boleh dekat-dekat dengannya. Memangnya nggak boleh aku ke kedainya setiap hari? Kalau gitu, aku juga nggak akan sering-sering lagi ke peternakanmu, atau ke pandai besi gray, atau ke gereja, atau ke restauran ini”, Claire membela diri.
“Kedai Kai itu pengecualian”, Gray mengeluarkan suara.
“Tapi kalian memang aneh sih, kalau melarang Claire seperti itu”, Karen membela Claire.
“Kami tidak melarang Claire! Kalau Popuri, memang aku larang!” kata Rick hambir teriak.
“Kakak memang menyebalkan tau! Kai nggak pernah bersalah kok! Kenapa kalian selalu membencinya sih!” Popuri memprotes kakaknya.
“Aku tidak masalah dengan Kai, dan tidak memusuhinya”, kata Gray. “Tapi, jangan sampai Claire dia permainkan juga”, lanjutnya.
“Hah?” Claire melongo. “Kok gitu? Kami kan berteman. Wali kota menyuruhku untuk akrab dengan warga Mineral Town kok! Kenapa juga Kai mempermainkanku?”
Para wanita di tempat itu menghela nafas sejenak. “Sebenarnya Claire…” Ann mulai bicara. “Kai itu terkenal suka menggoda para wanita. Mungkin karena dia telah mengadopsi beberapa budaya yang tidak kita kenal. Mungkin dia anggap wanita itu hanya untuk bersenang-senang. Dia tidak pernah anggap wanita dengan serius”, jelas Ann.
“Dan aku merasa Kai sedang mendekatimu. Bahkan Popuri dia lepas begitu saja! Tapi begini lebih baik untuk Popuri”, kata Rick sambil membetulkan posisi kacamatanya.
“Kakaak!! Apaan sih! Jangan masukkan aku dalam pembicaraan ini! Sekarang kita sedang bahas Claire!” Popuri mengomel.
“Tapi… apa kamu nggak apa-apa, Popuri?” tanya Karen.
Sejenak Popuri menunduk. “Dia pernah bilang, dia cuma anggap aku adiknya”
“Apa?! Berani sekali dia gantikan posisiku sebagai kakakmu satu-satunya!” Rick menggebrak meja.
“Apaan sih kak! Noraaak! Jangan kayak anak kecil gitu deh! menggantikan posisi apaan”, Popuri cemberut.
Karen menepuk-nepuk bahu Popuri, Ann juga, seperti menenangkan Popuri. “Sabar ya… Dia bukan satu-satunya pria di Mineral Town”, kata Karen.
“Makanya, Claire… Kai memang seperti itu orangnya. Dia spesialkan satu wanita, tapi dia tidak pernah memiliki perasaan yang serius pada wanita itu”, kata Rick.
“Ta-tapi… Kai pernah bilang, dia merasakan hal yang berbeda dari sebelumnya. Rasa yang nggak pernah dia alami. Tapi dia belum yakin dia benar-benar suka atau tidak. Mengenai Claire…” Kata Popuri pelan.
“Apa?!” serempak mereka berenam berteriak.
“Mungkin yang kali ini beda cerita”, kata Karen kemudian.
“Karen!” teriak para pria.
“Iya, barangkali dia mau serius kali ini”, timpal Ann.
“Ann!” teriak para pria lagi.
“Tapi memang… ekspresi Kai sangat berbeda waktu dia bilang begitu”, Popuri menambah.
“Popuri?!” teriak para pria, makin kencang.
“Hei! Jangan teriak-teriak di restauranku!” Doug berteriak dari meja resepsionis. Serempak para pemuda-pemudi itu meringis meminta maaf pada Doug.
“Eh, tapi!” tiba-tiba Karen teringat sesuatu. “Kukira kamu mengagumi Trent?”
Seketika semua mata para pria memandang Claire. Menunggu jawaban dari narasumber langsung.
“Kan kagum saja”, Claire tersipu tiba-tiba. Mata para pria terbelalak mendengar jawaban Claire dan perubahan ekspresi Claire yang secara tiba-tiba. Cliff dan Gray tertunduk lesu.
“Kalian dengar sendiri kan? Claire tidak tertarik padaku. Jadi, berhenti menggosipi kami. Berhenti ganggu Claire”, tiba-tiba Kai muncul di depan meja resepsionis. Ia memesan sesuatu lalu duduk tidak jauh dari tempat duduk Claire dan yang lain. Ia duduk sendirian. Seketika suasana hening.
Tiba-tiba Gray pindah ke meja Kai. Diikuti oleh Cliff, lalu Rick. Dan mereka berbincang-bincang sendiri.
“Kukira mereka tidak suka pada Kai?” Claire berbisik pada Ann, Popuri, dan Karen.
“Hahaha, sebenarnya mereka berteman baik kok! Tapi yang paling tidak suka dengan Kai itu si Rick”, kata Karen. Claire mengangguk paham.
Samar-samar terdengar percakapan pada pria tersebut.
“Ceritakan, sudah bertemu berapa wanita cantik sebelum kamu ke sini?”, suara Gray.
“Ahahahaha… banyak lah!” suara Kai.
“Sudah kubilang, kamu memang playboy Kai!” suara Rick.
“Eh? Kan kalian yang tanya! Ya sudah aku tidak jadi cerita!” suara Kai.
“Eeeh… nggak jadi, nggak jadi. Ayo, ceritakan pada kami!” suara Rick.
Kami para wanita serempak menoleh pada Karen, karena Karen pacaran dengan Rick. Lalu Karen berdiri, menghampiri Rick dan melipat tangannya. Para pria tampak terkejut dan membeku.
“ha ha ha… Aku permisi dulu, daah…” Rick yang merasakan kehadiran Karen di dekatnya langsung permisi pamit. “Pergi yuk, Karen” ia juga mengajak Karen keluar. Sepertinya mereka punya urusan sendiri untuk diselesaikan.
Para pria kembali pada pembicaraan mereka, sementara kami wanita diam-diam mendengarkan.
“Tapi, ada satu wanita yang benar-benar spesial di mataku”, Kai mencondongkan badannya, diikuti Gray dan Cliff. Lalu dia berbisik “Dia sedang duduk di sebelah sana. Gadis berambut pirang itu”, mata Kai tertuju pada Claire.
“Aduh!” Kai mengerang sakit. Ternyata tangan Gray dengan cepat menjitak kepala Kai.
“Jangan samakan dia dengan wanita-wanitamu!” kata Gray.
“Kan aku sudah bilang dia spesial! Berarti aku nggak menyamakan dia dengan yang lain dong!” Kai balas menjitak Gray.
“Hei, jangan bicarakan Claire kalau dia ada di dekat kita”, kata Cliff tiba-tiba.
“Tidak masalah, supaya kalian tidak menuduhku tidak serius terhadap Claire. Biar dia juga sadar mengenai perasaanku”, ucap Kai agak keras.
“Tapi setahuku, lelaki playboy juga sering memamerkan perasaannya  sepertimu”, kata Cliff. Kai terdiam seketika. Gray tertawa sinis.
“Su- sungguh?” Kai jadi gugup. “Ehm… Kalian.. tidak ingin mampir ke kedaiku hari ini?” Kai mengalihkan perhatian. “Kita bicarakan hal ini antar pria saja, oke” bisik Kai. Gray dan Cliff tertawa.
Sementara itu di meja para wanita, Ann, Popuri, dan Claire asik membahas perasaan Claire terhadap dokter Trent. “Sungguh ini cuma sekedar kagum! Lagipula, aku pernah melihat… Trent sedang bermesraan dengan Elli”, suara Claire.
“Oh! Ternyata benar juga dugaanku! Tidak mungkin mereka yang selalu berdua setiap saat di klinik yang sama, tidak tumbuh rasa saling suka. Pasti ada sesuatu di antara mereka”, Popuri berspekulasi.
“Iya… Jadi, mungkin aku cuma sekedar kagum saja dari jauh”, kata Claire pelan.
“Aaw… hei, menurutmu, Kai bagaimana?” tanya Ann tiba-tiba.
“Hah? Kenapa Kai?” tanya Claire.
“Kau tahu kan… Kai menyukaimu. Menurutmu, dia bagaimana?” Ann memperjelas pertanyaannya.
“Eeh… Kai… emm… Tapi… Popuri kan…” Claire takut pendapatnya akan menyakiti hati Popuri.
“Eh? Jangan hiraukan aku! Sungguh! Sebentar lagi aku pasti akan melupakannya. Lagipula, dia menganggapku sebagai anak kecil sudah cukup membuatku patah hati. Membuatku berhenti menyukainya.” jelas Popuri.
“Sungguh?” Claire memastikan. Popuri mengangguk mantap.
“Hm… menurutku, Kai orang yang seru”, lalu Claire diam.
“Sudah?” tanya Ann setelah menunggu kelanjutan ucapan Claire. “Gitu doang?”
“Hah? Apa lagi? Dia memang seru, udah”, Claire berusaha menjelaskan.
“Yah… kukira kamu bakal bilang lebih dari itu. Jadi, kamu nggak punya perasaan apa-apa gitu, terhadap Kai?” tanya Ann, disambut oleh mata berbinar Popuri.
“Enggak sih… Kami berteman aja”, kata Claire.
“Sungguh?” Popuri meninggikan nada suaranya. “Eh, maksudku… kasihan banget Kai… Dia bakal merasakan apa yang kurasakan”
“Hei, jangan-jangan kamu yang senang?” Ann curiga. Popuri cuma meringis. Ternyata dia belum bisa berhenti menyukai Kai.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #3
Ketika itu hari sudah pagi. Sebelum pemuda-pemuda lajang ini keluar dari kamar, Kai segera menginterogasi mereka hal-hal tentang Claire. “Aku mau tanya nih”, Kai memulai.
“Aku juga ada pertanyaan buatmu”, Gray tak mau kalah.
“Aku dulu!” sahut Kai. “Begini, apa salah satu dari kalian sedang mendekati Claire?” Kai langsung terang-terangan.
“Sudah kukira kamu bakal membahas soal perempuan”, Gray melirik sinis ke arah Kai.
“Ah! Kamu juga ingin tanya tentang Claire kan!” Kai tidak mau kalah.
“Kai, menurutku Claire bukanlah perempuan yang boleh kamu permainkan”, Cliff akhirnya angkat bicara.
“Kamu juga Cliff? Katakan padaku, apa kalian semua menyukai Claire?” Kai hampir tidak memercayai pertanyaannya barusan. Namun baik Gray maupun Cliff tidak ada yang menjawabnya.
“Claire itu adalah gadis yang polos. Jadi sebaiknya kamu jangan coba-coba dekati Claire”, Cliff kembali berbicara.
“Lagipula, bagaimana dengan Popuri? Bagaimana hubunganmu dengannya?” Kali ini Gray yang menginterogasi,
“Ada apaan nih? Kenapa kalian sama-sama menyerangku? Bukankah kalian tidak saling bersaing saja sendiri. Dua lawan satu tidak adil tau”, Kai nampak kesal. “Aku berangkat dulu”, ia lalu mengambil bandananya dan memakainya sembari keluar dari kamar.
Kai berjalan keluar penginapan dengan bersungut-sungut dan bertanya-tanya. Mengapa seolah-olah pria-pria di Mineral Town begitu menghindarkan Claire dariku? Mereka tampak tidak  suka jika aku berdekatan dengan Claire. 
Sebelum membuka kedainya, Kai memutuskan untuk menenangkan pikiran sejenak di pantai ditemani oleh hembusan angin dan ombak yang mendayu-dayu.
“Tebak siapaaa??” sebuah suara datang dari belakang Kai, namun Kai tidak dapat melihatnya sebab matanya ditutup oleh dia tangan mungil yang empunya suara. Tapi Kai diam saja. Diam dan tak bersuara.
“Ah! Kamu gak asik! Biasanya kamu langsung bisa tebak!” Popuri melepaskan tangannya dan duduk di sebelah Kai.
“Halo anak kecil!” Kai menyapa gadis manis itu.
“Aku sudah besar tau nggak! Lagipula ada apa sih hari ini? Biasanya sudah semangat bersiap-siap di kedai, sekarang malam melamun. Sakit Kai?” Popuri menempelkan punttung tangannya ke dahi Kai. Namun Kai melepas tangan Popuri dari dahi Kai.
“Aku nggak apa-apa kok, makasih ya, sudah peduli”, Kai tersenyum.
“Nggak mungkin deh. Pasti ada apa-apa! Apa ini ada hubungannya dengan keputusanmu meninggalkan rumah?” tanya Popuri hati-hati. Dibalas dengan gelengan Kai.
“Apa dong? Cerita, please…” Popuri menatap Kai sambil memasang wajah memelas. Hal ini yang paling ampuh untuk membuat Kai menuruti setiap perkataan Popuri.
“Oke, oke… Begini, ini pertama kali aku merasakan ini.” Kai menghela nafas sejenak. “Tapi aku sendiri juga belum yakin. Tentang seorang perempuan”, kata Kai dengan pandangan mata yang jauh.
“Eh? Kai sedang mengagumi seseorang?” suara Popuri agak tercekat, namun ia berusaha sekalem mungkin.
“Aku sendiri tidak tahu. Tapi semua orang di tempat ini menganggapn dia spesial. Membuat aku makin ingin tahu segala tentangnya”, jawab Kai sambil membayangkan sesosok itu.
“Spesial di tempat ini? Di Mineral Town?” Popuri mulai berpikir keras. Berpikir apakah dirinya lah orang yang dianggap spesial oleh orang-orang di kampung ini. “Kenapa tidak yakin Kai?” tanya Popuri penasaran.
“Karena… aku baru saja mengenalnya, masa sudah bisa dipastikan bahwa aku menyukainya?” jawaban Kai membuat Popuri makin tercekat. Baru mengenalnya? Berarti tidak mungkin itu dirinya! Seketika ia teringat pada Claire. Ia teringat kemarin Kai dan Claire sama-sama berlari-larian mencari anjing Claire yang hilang. Dari situ, hati Popuri terasa ngilu.
“Gadis yang kamu maksud…Claire?” tanya Popuri perlahan.
“Eh? Memang kelihatan banget ya?” Kai balas tanya. Namun dari situ Popuri bisa menyimpulkan bahwa memang Claire, gadis yang membuat Kai merenung.
“Aku cuma tahu dia adalah petani yang rajin dan bersemangat. Dia begitu periang dan optimis. Aku selalu merasa energi positif mengalir dari dalam dia. Tapi apa aku sudah boleh bilang kalau ini cinta?” Kai bergumam, berbicara dengan pikirannya sendiri, tapi tentu saja Popuri bisa dengar.
“Aku balik dulu Kai”, ucap Popuri perlahan, lalu meninggalkan Kai.
“Oh, panjang umur. Yang sedang dibicarakan datang”, kata Popuri setelah membalikkan badan. Nampak Claire dari jauh memasuki area pantai. Lengkap dengan ransel dan keranjangnya. Kai langsung berbalik seketika.
“Good luck!” kata Popuri kemudian, lalu berlari menghampiri Claire. Ia berbincang-bincang sebentar dengan Claire, lalu Claire memandang Kai dari jauh, menyebabkan Kai menjadi curiga tentang apa yang mereka bicarakan. Kemudian Popuri melambaikan tangan pada Claire dan pergi. Kini Claire menatap Kai, lalu berjalan menghampirinya. Membuat Kai salah tingkah. Jantungnya berdegup kencang.
“Halo Kaaai!” Claire menyapa riang ketika ia telah berdiri di dekat Kai.
“Uh, Hai… Claire”, Kai langsung berdiri, membersihkan pasir-pasir yang menempel di celananya.
“Kau mau bilang apa?” kata Claire tiba-tiba. Membuat Kai jadi bingung.
“Bilang? Bilang apa?” tanya Kai.
“Kata Popuri, kamu mau bilang sesuatu padaku. Apa?” tanya Claire ikutan bingung.
“Hah? Oh… Dasar Popuri… Lagi-lagi dia ngerjain aku hahaha”, ucap Kai agak gugup. Rupanya Popuri memanfaatkan perasaan bimbang Kai terhadap Claire dan mengerjainya.
“Ngapain ke sini? Mencariku?” tanya Kai kemudian.
“Ge er deh. Aku memang selalu ke sini kok. Ini, mau mengumpulkan rumput herbal. Mau kujual ke Zack.” Claire menunjukkan keranjang yang ia bawa. “Sekalian memancing juga, buat tambah-tambah, hehe”
“Wah asik tuh kayaknya. Butuh bantuan?” Kai memnawarkan.
“No, no… Terima kasih. Tapi ini pekerjaan petani. Kamu buka saja kedaimu. Biar kalau aku sudah lapar nanti, aku bisa langsung memesan makanan”, Claire menyilangkan tangannya, menolak tawaran Kai.
“Oh iya! Bola dan Frisbeemu! Yuk masuk ke kedaiku dulu sebentar”, ajak Kai.
“Eh iya… hmm tapi jangan lama-lama ya, nanti jadwalku berantakan”, Claire mengikuti Kai ke kedai.
“Gaya betul pakai jadwal segala. Sok sibuk nih, hehehe” Kai menggoda, sambil membuka kunci pintu kedainya.
“Iya lah! Semua harus berjalan tepat waktu. Setelah ini aku mau pergi memancing. Mumpung matahari belum terlalu terik”, kata Claire sambil memandang ke laut.
“Memancing?” Kai membuka pintu dan mempersilakan Claire masuk. “Mau kutemani?”
“Hm… Gimana ya…” Claire pura-pura berpikir keras. “Karena kamu anak pantai, mungkin lebih handal ya, memancingnya dari pada aku. Oke, boleh! Asal, kita harus dapat ikan yang besar ya!” Claire mengacungkan telunjuknya.
“Deal”, tangan cokelat Kai yang lapang tiba-tiba menggenggam telunjuk mungil Claire, lalu mengecupkan bibirnya ke tangannya sendiri, yang sedang menggenggam telunjuk Claire. Membuat Claire kagetdan mematung.
“I.. Itu… tanda janji model baru ya? Atau model anak pantai?” Claire seperempat bercanda, tigaperempat gugup. Awkward.
“Hehehehe, nih bola dan frisbeemu. Sekarang… memancing?” tanya Kai setalah memberikan bola dan frisbee ke Claire. Claire memasukkan kedua benda itu ke dalam ranselnya.
“Iya, kamu bawa alat pancingku, cari tempat yang menurutmu akan menguntungkan kita, aku mau mengumpulkan tanaman herbal dulu”, Claire menyerahkan alat pancingnya pada Kai. Lalu mereka berdua segera berjalan menuju pantai. Claire sibuk mengumpulkan tanaman herbal sementara Kai mencari lokasi memancing yang nyaman.
Setelah tanaman herbal di pantai terkumpul, Claire segera menghampiri Kai dan duduk di sampingnya. Kai memilih tempat di dekat dermaga.
“Kenapa di sini?” tanya Claire setelah duduk di posisi yang nyaman.
“Karena di sini ada tempat buat duduk. Kita juga bisa memasukkan kaki di dalam air kan?” Kai lalu memasukkan kakinya ke air, setelah melempar kail ke tengah laut.
“Waaah… kalau suasananya senyaman ini, aku bisa ketiduran”, Claire menopang badannya dengan kedua tangannya ditarik ke belakang. Ia memandang birunya langit dan ombak-ombak kecil di laut.
“Hei! Kalau mau memancing dengan profesional, yang semangat dong!” Kai mencubit hidung Claire dengan kedua jarinya.
“Aaaah… okey okey…” Claire menegakkan posisi duduknya. Mereka terdiam sejenak.
“Uh… Claire, semua tanaman herbal itu kamu jual? Apa kamu tidak coba mengonsumsinya sendiri? Kan baik untuk kesehatan”, Kai memulai obrolan.
“Aku belum pernah coba untukku sendiri sih, tapi tidak semuanya kujual. Ada yang kuberikan ke Dokter Trent juga”, jawab Claire.
“Kau berikan begitu saja? Dia tidak kasih sesuatu gitu, sebagai tanda terima kasih?” Kai menoleh pada Claire dan memandangnya.
“Hmm… Sebenarnya aku pernah dikasih… hihihi”, nampak wajah Claire jadi malu-malu. Kai merasa ada yang tidak beres. Dengan hatinya. Karena memandang Claire yang bertingkah layaknya gadis sedang jatuh cinta.
“Dikasih… apa?” Kai menurunkan nada suaranya. Menjadi tenang, lembut, dan serius.
“Apa ya namanya? Oh aku bawa!” Claire mengeluarkan ssuatu benda dari ranselnya. “Kata Trent, ini bisa membuat energi positif keluar dari dirimu”, ia menunjukkan benda kecil seperti jimat itu kepada Kai.
“Oh… Kamu… akrab sama dokter itu? Kamu panggil dia ‘Trent’ gitu?” alis Kai tiba-tiba menurun, menunjukkan bahwa dia mulai serius.
“Eh… ehm… entahlah, mungkin karena setiap hari aku mengunjungi kliniknya. Dan aku selalu membagi tanaman herbal padanya. Dia selalu suka. Dia jadi bersemangat katanya, setiap aku beri tanaman herbal itu.” Claire tersenyum-senyum sendiri setelah bercerita. Membuat Kai makin tidak nyaman.
“Hm…” Kai mendesah, lalu melayangkan pandangannya ke kail yang tadi dilemparnya. “Kailnya belum dimakan…” katanya kemudian. “Kamu lanjutkan dulu saja deh, aku mau bersiap-siap di kedai dulu, oke? Bye!” Kai berdiri lalu mengacak-acak rambut Claire pelan.
“Byee!” Claire melambaikan tangannya lalu menyisir rambutnya dengan tangannya.
Ia melanjutkan memancing.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #2
Aku dan Kai berlari-larian menjauh dari pantai untuk mencari anjingku, Milo. Padahal aku sudah semangat ingin berlatih lempar-lemparan dengan Milo, eh, dia malah menghilang. Harusnya kubawa masuk saja tadi ya, ke warungnya Kai? Eh, tapi di tempat makan tidak seharusnya bawa hewan masuk. Aduh... Kalau tidak ketemu bagaimana ini? Orang-orang di kampung akan bilang aku tidak bertanggung jawab. Apalagi Zack yang sudah semangat ketika aku mendeklarasikan akan ikut Beach Day tahun depan. Sedang berlari kencang, tiba-tiba aku melihat Manna di jalan.
“Wah, wah... Belum apa-apa kalian sudah bermesraan begini? Kai memang terbiasa bergerak cepat ya?” kata Manna dengan gayanya, punggung tangannya diletakkan di samping mulutnya. Artinya, dia dapat gosip baru, hot lagi.
Dan ketika dia bilang begitu aku memandang Kai. Kami saling memandang. Baru kami menyadari, daritadi kami masih bergandengan tangan. Spontan aku langsung menarik tanganku, sedangkan Kai masih terpaku.
“Bukaaaan! Bukan! Tolong jangan salah paham! Aku sedang mencari Milo, anjingku. Kai cuma membantuku. Karena dia larinya lamban maka kutarik tangan dia.” Aku coba mencari-cari alasan. Tapi rupanya Manna tidak akan langsung percaya dengan penjelasanku.
“Kai, sebaiknya kamu perjelas dulu hubunganmu dengan Popuri. Belum jelas dengan Popuri, sudah berani mendekati cewek lain. Anak muda zaman sekarang, ckckck...” Manna menggeleng-gelengkan kepala. Sial. Kenapa jadi makin rumit begini.
“Kalau tidak lihat anjingnya Claire, kami permisi dulu, ayo Claire” Kai menarik tanganku. Lagi-lagi kami pegangan tangan.
Setelah agak jauh dari Manna, aku menghentikan langkah. Membuat Kai hampir jatuh, karena pegangan tangannya erat sekali.
“Kai! Kai! Tidak perlu bergandengan tangan deh” aku meminta.
“Lho, kenapa?” dia bertanya begitu seolah-olah wajar bergandeng tangan. Aku pasang ekspresi kesal. “Oh! Iya iya, sori sori... Aku terlalu fokus mencari anjingmu, sampai tidak menghiraukan bagaimana orang lain melihat kita”, lalu Kai melepaskan tanganku.
Tanganku yang tadinya panas sekarang jadi mendingin. Tapi tetap kotor. Lalu kami lanjut berlari.
Kami lari menuju gereja. Kebetulan pendeta dan anak-anak sedang di luar. Aku segera bertanya pada mereka tentang Milo. Mereka bilang bahwa mereka melihatnya, tetapi kemudian Cliff membawanya pergi, entah kemana. Antara khawatir dan lega. Aku tahu kalau Cliff tahu bahwa itu adalah Milo, anjingku. Karena di leher Milo aku kasih tanda pengenal. Selain itu, aku juga sering menunjukkan Milo pada Cliff.
“Terima kasih Carter!” begitu aku memanggil pak pendeta.
Aku dan Kai kembali berlari ke barat. Ketika di depan perpustakaan, aku melihat Gray sedang berjalan. Dia juga melihat kami. Mungkin dia bingung ketika melihat kami ngos-ngosan begini.
“Hei, Claire, kenapa berlari-larian begitu?” Lalu dia melirik Kai. “Kenapa bersama dengan Kai?”
“Aku... mencari... Milo...huff... huff...” aku berusaha berbicara walaupun berlomba-lomba dengan nafas.
“Aku bantu dia cari Milo. Kenapa? Tidak boleh?” tanya Kai ke Gray.
“Tadi Milo hilangnya di mana?” Gray tidak menggubris Kai.
“Tadi waktu aku sedang asik makan jagung bakar di kedainya Kai, aku lupa kalau anjingku masih ada di luar. Ketika aku cari keluar, dia sudah tidak ada”, aku berusaha setenang mungkin menjelaskan pada Gray. Namun dia agak terganggu dengan penjelasanku barusan.
“Kau habis makan di kedainya Kai? Dengan siapa? Sendirian saja?” tiba-tiba aku dibanjiri pertanyaan oleh Gray. Pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan anjingku.
“Hei, apaan sih? Kalau tidak lihat Milo, ya sudah! Ayo kita pergi Claire!” kali ini Kai memegang bahuku dan menarikku pergi.
“Bye Gray!” teriakku.
“Kai! Jangan macam-macam kau dengan Claire!” Gray meneriaki Kai.
Kami kembali berlari. Kali ini ke arah selatan, ke penginapan milik Doug dan Ann. Dari luar tidak ada tanda-tanda keberadaan anjing. Kami coba masuk dan bertanya. Ann langsung menyambut.
“Selamat datang! Eh... Kai dan Claire? Wah, ada apa nih? Sedang kencan?” tanya Ann, menanyakan subjek yang tidak jauh berbeda dari Manna. Aku langsung menggeleng mantap.
“NO! Kami sedang mencari anjingku. Kai ikut membantuku saja”, ucapku tegas.
“Kamu lihat nggak Ann?” sambung Kai.
“Kayaknya sih, tadi Cliff ke sini minta biskuit. Untuk anjing katanya. Mungkin itu anjingmu”, jawab Ann.
“Iya benar! Anjingku dibawa Cliff. Tapi dia kemana sekarang?” tanyaku bingung.
“Wah, kalau itu aku tidak tahu. Maaf ya...Coba cari lagi deh”, jawab Ann dengan kurang memuaskan.
Akhirnya aku dan Kai mencari terus. Ke peternakan ayam Rick, ke peternakan sapi Saibara, ke peternakanku, ke hutan, gunung, tapi tidak ketemu juga. Akhirnya Kai menyuruhku beristirahat. Ia mengantarku ke rumah. Di perjalanan ia bilang, “besok kamu masih bisa ketemu Cliff kan? Dia nggak nomaden sepertiku kok, hahaha” dia berusaha menghibur.
“Padahal, aku mau ajak dia main... Aku sudah beli bola dan frisbee..” lalu aku tersadar kalau aku nggak bawa kedua benda itu. “Lho, bola dan frisbeeku mana? Eh? Apa ketinggalan di kedaimu? Kita ke sana dulu yuk!” aku hendak berlari lagi ke pantai, tapi tiba-tiba Kai menghentikanku. Dia berdiri tepat di depanku sehingga aku menabraknya. Kedua lenganku lalu dipegangnya erat.
“Dengar, hari sudah mulai gelap. Pulang saja ya? Besok kuambilkan. Atau, perlu kuantar? Pokoknya kamu tenang saja. Kamu harus pulang sekarang”, ia lalu menarikku dan membawaku ke rumah. Segala celotehanku sepanjang jalan tidak dihiraukannya. Dan akhirnya kami sampai di depan peternakanku.
Di depan pintu rumahku persis, aku dan Kai dibuat kaget. Cliff dan anjingku sedang tertidur pulas. Mereka berdua lucu sekali, Cliff juga imut sekali saat itu. Ketika Kai hendak berjalan membangunkannya, aku spontan menahan. Aku ingin agak lama sedikit memandangi mereka berdua tidur sambil berpelukan.
Karena udara semakin dingin akhirnya aku putuskan untuk membangunkan Cliff.
“Cliff... Cliff.. bangun yuk...” aku mengguncang-guncang Cliff pelan.
“Dia tidak akan bangun kalau caramu begitu”, Kai beranjak mengambil air di kolam ikan kecil, lalu menyiramkan airnya tepat di wajah Cliff. Cliff langsung terbelalak kaget, nafasnya memburu.
“Eh, Claire! Akhirnya kamu pulang juga! Ini, tadi aku bertemu dengan Milo waktu aku keluar dari gereja”, Cliff menunjuk Milo yang sudah berlari-larian memutariku.
“Kamu bawa kemana aja sih dia? Kami mencari Milo keliling kota tau!” aku kesal.
“Aku cuma belikan dia makan, lalu ajak dia jalan-jalan ke gunung, lalu ke pantai, barulah kemudian aku kemari”, Cliff menjelaskan sambil menundukkan kepala, merasa bersalah. “Maaf, Claire”
“Huh, iya tidak apa-apa... aku yang salah karena meninggalkannya di luar tanpa pengawasan”, kataku, ikut menyesal karena tidak tega melihat wajah Cliff yang menunduk begitu.
“Ayo kembali Cliff. Biar Claire istirahat. Kasihan dia dari tadi belum istirahat sama sekali.” Kai mengajak Cliff pergi. Mereka berpamitan dan akhirnya menghilang dari pandangan. Ukh, aku lelah sekali hari ini. Tapi sekaligus senang juga, karena aku jadi lebih mengenal Kai dari sudut pandang yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang. Meski sebenarnya aku juga penasaran mengapa dia dicap playboy separah itu oleh beberapa orang di sini.
=============================================
“Cliff, aku ke kedaiku dulu ya, bye” Kai berbelok ke kanan dan menuju pantai.
Ia masuk ke dalam kedainya yang sedari tadi tidak terkunci. 
“Sigh... esnya sampai meleleh... jagungnya juga dingin...” ia membuang sisa makanan dan minuman tadi pagi dan segera menutup kedainya.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction #1
“Zack, ceritakan padaku tentang gadis baru itu”, kata Kai pada Zack di warungnya yang masih sepi. Baru ada Zack di sana yang sedang menikmati spageti buatan Kai.
“Gadis baru? Kau menghinaku ya? Aku belum punya kekasih!”, kata Zack yang lalu memasukkan spagetisebanyak-banyaknya ke mulutnya.
“Apaan sih? Maksudku gadis pendatang baru di Mineral Town! Si petani itu!”
“Oh! Claire maksudmu? Kenapa?”, kata Zack, masih muluk-muluk.
“Yaaa... ceritakan padaku tentangnya. Seperti apa dia sehari-hari, apakah dia baik? Apakah dia sudah terbiasa dengan desa ini?”, Kai sambil mengelap meja dan merapikan piring dan gelas.
“Menurutku, dia pekerja keras. Setiap minggu barang-barang jualannya makin bertambah. Dia sudah memiliki beberapa ayam, sapi, bahkan dia juga menanam di ladangnya.” ucap Zack namun masih asik dengan spagetinya.
“Lalu?” Kai masih penasaran.
“Lalu apa? Kenapa sih? Kau suka? Bukankah kau punya Popuri?”, kata Zack yang mulai mencurigai Kai.
“Oh, astaga... Semua orang di desa ini tidak pernah berhenti mencurigai hubunganku dengan Popuri. Aku cuma menganggapnya sebagai seorang adik! Itu saja! Lagipula aku tidak bisa membayangkan bagaimana Rick akan menjahati aku kalau aku benar-benar jadian dengan adiknya.” Kai berceloteh, namun tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesosok yang tak asing di luar warungnya.
“Zack! Zack!”, Kai menyenggol Zack, menyebabkan saus spageti di garpunya menodai wajahnya.
“Apaan sih! Kamu mengganggu pelangganmu tau!” Zack kesal.
“Itu dia! Claire! Kenapa dia ke sini?”, Kai mulai ge er.
“Dia memang selalu ke  pantai! Dia selalu mengambil tumbuhan obat di sini, dan kadang datang ke rumahku untuk sekedar menyapaku dan Won.” Zack menjelaskan. Namun mata Kai tidak terlepas sedetik pun dari siluet gerak-gerik Claire yang lincah. Nampak Claire sedang berlari-larian. DIa tidak sendiri. Tak lama terdengar suara gonggongan anjing. Rupanya Claire mambawa anjingnya ke pantai. Kemudian Claire nampak menghilang setelah melewati warung Kai.
“Apa yang dia lakukan di rumahmu?” Kai masih penasaran.
“Biasanya dia menjual beberapa barang berharga pada Won, atau malah beli sesuatu darinya. Kadang cuma menyapa saja.” kata Zack yang akhirnya memasukkan sesendok terakhir spageti ke dalam mulutnya. “Air!” kata Zack kemudian.
Kai sedang menyiapkan air untuk Zack ketika pintu warungnya tiba-tiba terbuka diikuti suara gonggongan anjing. Kai menoleh seketika.
“Kamu di sini ternyata!” gadis berambut pirang itu melompat-lompat kecil menuju arah Zack dan Kai.
“Lihat apa yang baru saja kubeli dari Won!” Claire menunjukkan sebuah bola dan frisbee di tangannya kepada Zack, dan tidak menghiraukan Kai.
“Selamat datang Claire!” Kai berusaha mendapatkan perhatian Claire.
“Eh! Summer boy!” kata Claire tiba-tiba. Istilah summer boy yang digunakan untuk menyebut Kai membuat Kai agak bingung.
“Mmm... Siapa... namamu? Maaf, aku lupa, hehe... Tapi aku ingat kita kemarin bertemu”, kata Claire sambil tertawa kecil.
“Bocah seperti dia tidak perlu diingat juga tidak apa-apa Claire”, Zack tiba-tiba nyeletuk sebelum Kai berbicara. Diikuti dengan tawa Claire yang renyah.
“Kenapa begitu?” Kai tidak terima. “Panggil aku Kai”, kata Kai pada Claire kemudian.
“Oke, Kai!” Claire tersenyum riang. Dengan tak sadar, Kai memandangi Claire hampir tak berkedip.
“Claire, kau tadi mau bilang apa? Untuk apa bola dan frisbee itu?”, tanya Zack.
“Oh iya! Ehehehehe...” Claire meringis. “Buat latihan”, jawab Claire singkat.
“Aku ingin ikut Beach Day tahun depan, makanya aku harus giat melatih anjingku. Supaya menang!” jawab Claire dengan polos.
“Wah! Bagus! Bagus! Kamu memang harus ikut tahun depan! Kutunggu kemenanganmu di tahun depan!”, Zack menepuk bahu Claire, lalu mengangkat tangannya, memberi aba-aba untuk high five dengan Claire. Telapak tangan Zack kemudian disambut dengan ayunan telapak tangan Claire, “Siap Bos!”
“Kamu makanlah dulu di warung Kai. Aku yang traktir! Tapi aku buru-buru saat ini jadi tidak bisa berlama-lama di sini.” Zack berkata pada Claire, kemudian berpaling pada Kai, “Kai! Biarkan Claire makan sesukanya, nanti aku bayar.” lalu berpaling lagi pada Claire, “Satu menu saja ya Claire, minumnya air putih saja, hehehe”
Claire tertawa menanggapi perbuatan setengah baik dari Zack. “Iya nanti aku pesan satu menu, tapi nambah sepuluh kali!”, Claire dan Zack tertawa, lalu Zack pamit pergi. Tinggal Claire dan Kai di tempat itu. Suasana sempat hening sejenak, lalu tiba-tiba pintu terbuka lagi.
“Kai! Jangan macam-macam dengan Claire! Awas kau menggodanya!” Zack kembali sejenak.
“Hei kalau mau pergi, pergi saja! Sana! Sana!” Kai teriak. Lalu Zack akhirnya pergi betulan. Suasana kembali hening.
“Jadi... mau pesan apa?” Kai mencoba memecah keheningan.
“Eh, mmm... kau punya apa saja?” Claire balas bertanya.
“Ada jagung bakar, spageti, pizza, lalu untuk melengkapi musim panas ini juga kusediakan es serut. Kalau aku sih paling suka jagung bakar! Tahu nggak, ketika siang-siang begini di pantai, rasanya ingin makan sesuatu yang beraroma bakaran. Kalau ikan bakar kan sudah bosan, toh kita di pantai ada banyak sekali ikan. Kalau jagung bakar baru spesial! Rasa manisnya berpadu dengan rasa asin mentega yang meleleh ketika baru dibakar. Wah! pasti lezat! Apalagi dimakannya ketika festival kembang api di musim panas! Bayangkan saja, berdua dengan orang yang terkasih, sambil asik memakan jagung bakar...” Kai berceloteh panjang dan penuh semangat. Lalu tiba-tiba berhenti ketika menyadari ia terlalu banyak bicara. Ngelantur lagi! Pakai bicara berduaan dengan orang terkasih saat festival kembang api lagi. Jadi malu, Kai.
“Eh, sori... jadi, kamu mau pesan apa?” Kai kembali memberi kesempatan bicara pada Claire.
“Hahahaha... Tidak apa-apa lho, kalau mau cerita. Aku siap mendengarkan. Kan kamu tahu lebih banyak tentang musim panas di desa ini daripada aku.” Claire menopang dagunya dengan tangan, mencondongkan badannya ke depan, lalu menatap Kai, siap mendengar lebih banyak cerita.
Kai tiba-tiba kelincutan sendiri. Ia melihat betapa manisnya Claire ketika melakukan hal itu tadi. Seperti anak kecil yang siap mendengarkan dongeng klasik sebelum tidur, atau mungkin dongeng petualangan yang seru. “Eh? Emmm... uh... Kau pesan apa dulu deh, nanti sambil aku buatkan, sambil cerita”, Kai berusaha menenangkan hatinya yang loncat sana loncat sini. Berdegup kencang seperti pasukan berkuda mau perang.
“Aku mau jagung bakar yang kau ceritakan tadi! Hehehe... Oh iya, sama air putih ya, kalau aku minta es, Zack tidak akan membolehkanku hahaha”, ucap Claire dengan riang.
“Huh, memangnya Zack itu siapamu? Pamanmu? Seenaknya saja melarang-larang anak orang. Tenang, Claire, aku kasih kamu es serut gratis! Sebagai ucapan selamat datang dan selamat menempuh musim panas pertama di Mineral Town!” kata Kai sambil tangannya dengan lihai menyiapkan jagung, mentega, piring, arang, gelas, es balok, dan lain-lainnya.
“Hore! Memang ya, Mineral Town itu penuh kejutan. Musim panas pertama saja aku dapat gratisan, hehehe”, Claire menikmati percakapannya dengan Kai.
Sambil membuat pesanan Claire, Kai mulai menanya-nanyai Claire seperti sedang menginterogasi ala badan intelejen.
“Aku boleh tanya-tanya ya, Claire?”
“Eh? Bukannya aku yang harusnya tanya ya? Hahaha”
“Ya, kalau mau tanya, tanya saja. Tapi, aku boleh tanya-tanya juga kan?”
“Boleh dong!”
Yes! Dapat persetujuan dari Claire. “Sudah kenal sama semua penduduk di sini Claire?”, pertanyaan pertama Kai.
“Sudah dong! Kan aku selalu mengunjungi mereka setiap hari. Eh, kecuali kalau ada yang datang musiman sepertimu lagi, aku nggak tahu. Apa masih ada lagi yang sering mampir ke desa ini sepertimu?”, pertanyaan pertama Claire.
“Setahuku sih, tidak. Oh jadi kamu setiap hari mengunjungi mereka? Apa mereka pernah bercerita tentangku?”, pertanyaan kedua dan ketiga Kai.
“Iya, setiap hari, tanpa kecuali. Emmm... Aku pernah dengar dari Rick tentangmu. Katanya kamu mendekati adiknya, Popuri, tapi dia tidak suka denganmu. Jadi kamu pacar Popuri ya? Hubungan jarak jauh dong?”, pertanyaan kedua dan ketiga Claire.
“Eh! Enggak!! Sama sekali enggak!! Duh, harus kuluruskan nih ceritanya!” nada bicara Kai tiba-tiba meninggi sedikit.
“Oke, oke, ceritalah, ceritalah”, kini Claire menopang dagunya dengan kedua tangannya. Bersiap-siap mendengar kisah romantis, kayaknya sih.
“Aku dan Popuri itu cuma sahabat saja sejak kecil. Dan aku juga cuma menganggap dia sebagai adikku. Itu saja! Lagipula, Rick selalu menerorku, setiap kami bertemu juga kami tidak pernah akur. Jadi tidak mungkin bagiku berpacaran dengan Popuri! Paham?”, Kai bercerita sambil mencondongkan badannya ke arah Claire, badannya disandarkan ke meja, meninggalkan pekerjaannya sejenak.
“Wah! Kamu mudah menyerah ya, orangnya? Cuma gara-gara kakak yang galak saja sudah menyerah!” tanggap Claire.
“Eh! Sungguh! Aku belum pernah mencintai wanita seperti itu! Aku memang suka Popuri, lebih karena dia sudah seperti adikku sendiri”, posisi Kai semakin maju, mendekati Claire. Jarak mereka dipisahkan oleh meja counter yang memanjang.
“Tapi, kata para perempuan di sini, kamu orangnya playboy. Masa belum pernah mencintai wanita?” Claire juga makin mendekati Kai dengan makin mencondongkan badannya, menantang wajah Kai.
“Yaelah, Claire! Aku cuma bersikap baik pada semua wanita, karena itu adalah kodrat seorang lelaki. Harus meninggikan para wanita. Gitu tau! Paham?” dan kini wajah mereka berjarak sejengkal.
Claire mencari kata-kata. Ia menunduk, mengerutkan alis, melirik ke kanan, kiri, bawah, memanyunkan bibir, mencari-cari kata-kata yang tepat untuk membalas pria berkulit cokelat ini. Kai memerhatikan perubahan-perubahan ekspresi Claire dari dekat, dan tidak sadar wajahnya memerah, dan ia kembali berdegup kencang. Ia segera menarik badannya ke belakang, meninggalkan posisi Claire yang masih condong ke depan dalam ekspresi seriusnya.
“Kamu kenali dulu aku yang sesungguhnya, baru boleh menilai!” Kai kembali menyelesaikan pesanan Claire.
“Huu... Iya juga sih, ngapain aku percaya gosip para ibu-ibu Mineral Town ya?” Claire kembali ke posisi duduknya.
“Hahaha... ibu-ibu Mineral Town? Sumpah lucu banget! Ahahaha!” Kai tertawa lepas mendengar istilah-istilah konyol Claire. Claire juga ikut tertawa.
“Nih jagung bakarmu! Enak dimakan selagi hangat!” Kai tiba-tiba selesai membuat jagung bakar.
“Kok dua?” tanya Claire ketika melihat jumlah jagung bakar yang porsi double.
“Satunya aku lah!” Kai mengambil dua es serut, meletakkannya di meja, lalu mengambil posisi duduk di sebelah Claire.
“Aneh, masa yang punya warung ikutan makan juga? Nanti rugi tau!” kata Claire memandang Kai.
“Lagi sepi nih, aku juga lapar. Aroma jagung  bakarnya bikin nggak tahan, hehehe” lalu Kai menggigit jagung bakarnya.
Sedetik kemudian mereka tenggelam bersama jagung bakar masing-masing.
“Enak lho”, ucap Claire di sela-sela mengunyah jagung bakar.
“Iya lah, kalau aku yang bikin pasti selalu enak”, Kai juga sambil mengunyah.
Tiba-tiba Claire menjatuhkan jagungnya di atas piring, teringat akan sesuatu.
“Milo!” Milo adalah anjing Claire. Tadi Claire membawanya ke pantai, dan ia tinggalkan di luar ketika Claire masuk ke warung Kai. Dengan sigap Claire meninggalkan makanannya dan beranjak keluar.
“Hei! Tunggu Claire!” Kai mengikuti Claire, meninggalkan sisa jagung bakar dan dua gelas es serut yang belum tersentuh.
Claire nampak kebingungan mencari di sekitar pantai. Kai berlari mengikuti kemana Claire pergi.
“Tunggu Claire! Tenanglah!” Kai berhasil menangkap tangan Claire. Mereka berpandang-pandangan sejenak, seperti sinetron di televisi.
“Ih! Lepaaaas!” Claire memberontak.
“Tenang dulu, baru aku lepas!” Kai makin kuat memegang Claire.
“Jorok tau! Bekas pegang makanan!” Claire menunjuk tangan Kai yang belepotan mentega dan abu arang. Lalu tangan Kai langsung melepas Claire.
“Tanganmu juga ih! Kan kita makan jagung bakar sama-sama!” Kai tidak mau kalah.
“Tapi kamu pegang lenganku tadi! Lenganku jadi ikutan kotor! Ah udah aku mau cari Milo!” Claire kembali melangkahkan kaki. Namun Kai lagi-lagi menahannya. Kali ini tangan Claire yang kotor yang dipegang, bukan lengannya.
“Kita cari sama-sama, biar cepat ketemu! Oke?” Kai menawarkan bantuan. Claire mengangguk.
Mereka berdua akhirnya berlari meninggalkan pantai. Tapi sepertinya, mereka lupa kalau tangan mereka masih bergandengan.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
ClairexKai Fanfiction - Prologue
//Kali ini aku ingin menceritakan kisah fiksi yang melibatkan Kai dan Claire. Sebelum ini, aku sangat menyukai pasangan Claire dan Gray dalam Harvest Moon More Friends of Mineral Town. Namun kali ini, aku bosan dengan pasangan itu. Aku putuskan untuk menyukai Kai dalam permainan Harvest Moonku kali ini. Dan menurutku cukup menantang untuk memilih Kai menjadi pasangan. Karena Kai hanya datang saat musim panas saja. Ya sudah, dimulai saja yuk//
=========================================================
Desa ini, Mineral Town namanya, memang desa yang penuh dengan kejutan. Aku Claire, pendatang baru, peternak dadakan, yang tertipu oleh iklan picisan yang menawarkan kehidupan menyenangkan dengan keindahan alam di desa. Terlanjur aku membayangkan berjalan-jalan cantik bersama sapi-sapiku, ayam-ayamku, berkuda bersama kudaku, meniup seruling di atas bukit. Namun semua khayalanku hilang sekejap ketika aku menginjakkan kaki di tanah ini, tempat yang kutinggali sekarang.
“Tempat ini sudah lama nggak terurus, kayaknya kamu dibohongi deh”, kata pak Kades waktu itu.
Seketika aku kena brain freeze. Sudah tempatnya jelek, rumahku kecil, tidak ada sapi, ayam, semua beli sendiri. Di otakku terbayang suatu adegan di mana aku berusaha membunuh kepala desa ini dengan kapak. Lalu aku tersadar dan tersenyum kecut saja kepada kepala desa setengah botak itu. Pak Thomas.
“Selamat bekerja keras!”, katanya, lalu pergi meninggalkanku.
Tidak cukup di situ saja shock yang kualami. Yaitu ketika aku sedang jalan-jalan ke air terjun, letaknya di selatan lalu belok ke barat, masuk gang kecil, di sebelah goa persis. Aku cuma melempar-lempar bunga ke dalam danau di bawah air terjun itu, tiba-tiba muncul wanita berkepang dua, rambutnya hijau, melayang di udara. Dia mengaku sebagai dewi panen di Mineral Town. Katanya, aku telahmemanggilnya dengan melempar bunga, atau benda apapun, ke dalam kolam air terjun itu. Setelah dia memperkenalkan diri, lalu dia pamit pergi, dan hilang begitu saja.
Masih ada juga makhluk-makhluk gaib sejenis kurcaci. Ada tujuh jumlahnya, dan berwarna-warni. Baru-baru ini aku dapat info kalau mereka sangat menyukai tepung. Dengar-dengar juga, mereka bisa membantu mengerjakan pekerjaan di ladang. Kapan-kapan akan kucoba memanfaatkan mereka.
Untunglah, di desa ini masih terdapat beberapa pria lajang yang lumayan tampan. Satu persatu akan kusebutkan ya. Jadi, aku berkenalan dengan: Rick, keluarganya punya peternakan juga dan dia jualan ayam dan segala kebutuhan ternak ayam. Orangnya agak freak, rambutnya sebahu, memakai kacamata tebal, fashionnya kuno, takut sama anjing; Gray, cucu yang punya pandai besi, sekaligus tukang pandai besi juga bersama kakeknya. Orangnya agak dingin, kurang bisa bercanda, hobi bertengkar dengan kakeknya, dan berusaha menjadi pekerja keras; ke utara sedikit ada dokter muda bernama Trent, dia super serius dalam pekerjaannya, kurang romantis, karena waktu itu aku nggak sengaja lihat percakapannya dengan Elli, asistennya di klinik. Masa waktu Elli nggak enak badan, Trent malah mengkhawatirkan kliniknya kalau tidak ada Elli; Cliff, pria misterius yang suka nongkrong di gereja. Dia seperti orang yang sedang tersesat dan dalam pencarian jati diri, dan dia seorang yang pemalu. Mengajaknya berbicara setiap hari tidak membuat kosakatanya bertambah, dan percakapan kami tidak pernah lebih dalam dari basa-basi.
Belum puas dengan kejutan-kejutan di musim semi, musim panas ikut menambah rasa terkejutku. Tiba-tiba muncul sosok pemuda lain di Mineral Town. Kukira dia pendatang baru sepertiku, ternyata dia memang selalu datang ke desa ini setiap musim panas. Namanya Kai.
Kai adalah pemuda pantai berkulit sawo matang, dengan bandana ungu di kepalanya. Membuatku heran, mengapa ungu dari segala pilihan warna lain yang lebih, kau tahu, ‘pria’. Karena asumsiku terhadap ungu adalah janda. Berarti aku harus mengubah asumsi ya.
Aku bertemu dengannya ketika aku festival anjing di hari pertama musim panas. Ia sedang berdiri di pantai di samping Popuri, berbincang-bincang. Mereka nampak akrab. Lalu Popuri melihatku, ia menghampiriku dan menyeretku untuk berkenalan dengan Kai.
“Claire! Kenalkan, ini teman masa kecilku, Kai, dia selalu datang ke Mineral Town setiap musim panas. Kai, ini Claire, warga baru di sini. Dia petani di tanah yang dulu kosong itu”, Popuri memperkenalkan kami.
“Kai”, ia mengulurkan tangannya dan kusambut dengan ragu. “Claire”, kataku.
“Senang berkenalan denganmu! Aku di sini buka rumah makan. Tuh di situ!”, Kai menunjuk rumah kecil bercat putih di sebelah rumah Zack. “Mampirlah!”
“Wow, jadi itu rumah makanmu? Kukira itu  rumah dijual atau semacamnya. Pantas saja nampak bersih”, aku sambil memandangi rumah makan yang dirias dengan desain suasana kapa pesiar.
“Nanti. Pasti akan kukunjungi”, kataku.
“Claire, ikut kompetisi juga?”, tanya Popuri. Aku menggeleng.
“Anjingku masih terlalu kecil. Belum cukup latihan pula. Tahun depan lah! Doakan”, kataku sambil menunjukkan deretan gigiku.
“Tetap semangat Claire!”, Popuri merangkulku.
Itulah awal pertemuanku dengan pria lajang baru, Kai. Bertambahlah daftar pria lajang Mineral Town kandidat calon suamiku kelak. Tinggal menemukan siapa pria beruntung itu.
0 notes
clairinthedark · 9 years ago
Text
Fanfiction Spirit
Jadi aku hendak membuat fanfiksi lagi, satu dengan tema ClairexKai, karena aku lagi ngejar Kai di Harvest Moon: More Friends of Mineral Town-ku. dan yang kedua adalah LilianxAsh lagi,namun dengan kisah yang berbeda.
dan ide yang sedang terkumpul adalah mengenai LilianxAsh. Ceritanya adalah, Lilian yang jatuh cinta pada Ash dan mengejarnya diam-diam, namun ternyata Ash sejak awal suka perempuan lain. Georgia misalnya. Padahal Ash dan Lilian sering menghabiskan waktu bersama, tetapi Ash kurang peka. Lilian berusaha move on dengan sering-sering ke Konohana dan kenal dekat dengan Hiro, si asisten dokter. Kemudian ternyata Hiro suka dengan Lilian dengan memendam perasaan yang malu-malu tapi maju.
Ash jadi merasa agak kesepian, begitu juga dengan Cheryl yang dulunya suka mengganggu Lilian karena dekat dengan Ash, tapi sekarang Lilian jarang muncul. Ash mendengar desas-desus kedekatan Lilian dengan Hiro dan ternyata ia cemburu juga, meski tidak sadar kalau cemburu.
wah pokoknya gitu deh. endingnya, Ash akan sama Lilian. FIX.
Sebenarnya Hiro cute juga sih... tapi Ash terlalu charming untuk dijadikan figuran.
0 notes