clamorousgirlstuff-blog
9 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
On The Way To Kyoto
Jepang begitu foggy dan misty. Suasananya tak jauh beda dengan gambaran pada komik mingguan yang tak pernah kulewatkan sejak kelas 3 SD. Bila kalian bertanya apa yang kulakukan disini, tentunya kabur. Untunglah ada alasan yang bisa menjelaskan pada diriku sendiri bahwa aku tak seliar wanita jalang yang kabur dikejar isteri kekasihnya. Yap, berkat malam itu aku bermimpi bertemu Shinichi Kudo, datanglah surat pertanyaan bahwa aku diterima di Tohoku University paginya. 5 tahun kedepan, aku akan menghabiskan malam di kamar berukuran 3x3 meter sendirian. Menurutku lebih baik daripada berakting sok menjaga kebersihan untuk membentuk imaji baik sebagai WNI.
Masih ada waktu seminggu untuk berjalan mengitari Jepang sebelum tahun ajaran baru dimulai. Aku. Ingin. Kyoto. Dengan membawa tas ransel kesayangan yang hanya berisi pakaian dalam untuk 2 hari ke depan, perangkat HP, sikat gigi, serta dompet aku langsung saja berangkat. Untunglah aku tidak ambil pusing untuk penataan kamar sehingga semua beres. Latar Jepang yang sedikit individual membuatku nyaman. Aku tak repot memasang wajah ramah dalam rangka membalas sapaan orang. Padang horizon mementaskan warna abu yang sayu. Seberusaha apapun aku menganggap hujan sebagai keceriaan, hujan tetaplah melankolis.
“Shibaraku deshita. Ogenki desu ka?*” Aku menolehkan kepalaku ke sumber suara. Aldebaran, orang yang kutunggu-tunggu . Aku tidak berencana pergi ke Kyoto sendirian, tentunya bersama Alde sebagai guide. Alde adalah kakak kelas yang seharusnya adalah teman sekelasku. Di kelas 10, aku masih sekelas dengannya hingga orang tuanya dan para guru di sekolah kami langsung menaikkannya di kelas 11 semester akhir. Sejauh yang kutahu, dia tidak banyak bicara di kelas. Bangkunya berada di pojok kelas. Sendirian. Setiap guru menerangkan, dia diam, tak menjawab, bertanya, pun mencatat. Hasilnya, nilainya lumayan pada rata-rata pelajaran. Pada pelajaran matematika dan fisika, nilainya selalu hampir sempurna. Katanya, dosen tidak pernah tahu berapa jumlah hari ketidak hadirannya. Untunglah nilai-nilainya selama ujian normal, bahkan lebih dari cukup untuk ukuran pelajar Indonesia yang pemula. Benar-benar licik.
“As you see. Gue tetep sehat plus cantik kayak dulu,”
“Untung bener.” Jawabnya sambil nyengir.
“Terus, kita ke Shibuya dulu kan? Gue mau foto sama Hachiko deh.” Sorakku penuh antusias. Hachiko menjadi film pertama yang membuatku menangis deras. Parahnya, aku menontonnya saat kelas 4 SD bersama Alde. “Ntar kamu nangis lagi.” Ejeknya. Aku hanya mendengus kesal. Alde tetap seperti dulu, memanggilku kamu. Sungguh inilah sedikit dari sisi kesopanannya yang perlu diapresiasi.
CKIITTT.. Aku pertama kalinya menaiki bus umum Jepang. Alde memilih sisi bangku yang dapat melihat Gunung Fuji dengan jelas. Tak terlalu jelas sebenarnya, diluar gerimis.
Perjalanan kami diisi dengan keheningan. Alde selalu mengacuhkan siapapun hanya untuk mengamati sekitar atau merenung dengan pikiran-pikirannya. Namun, biar sajalah, dia akan berbicara sendiri nanti jika ingin. Dia bukan tipikal pemendam.
“Zee, kamu pernah mikir nggak, kenapa kita diciptakan?” Akhirnya dia berbicara.
“Buat beribadah kepada Tuhan.” Jawabku enteng. Meskipun aku tahu, bukan itu jawaban yang dia inginkan.
“Gue bukan orang tua yang dengan mudahnya nerima jawaban begituan ya,” gerutunya dengan wajah coklat yang semakin kusut terhembus angin.
“Maka lo harus mencari tahu atau mengubur dalam keinginan untuk tahu.” Jawabku dengan berusaha menyembunyikan ketakutan atas jawabannya lagi nanti. Aku mengerti bukan demikian yang diinginkannya. Masa bodoh, aku sedang malas berbicara serius. Semua orang tak menginginkan cara berpacaran layak kami. Begitu membosankan untuk sebagian besar orang. Kontak intim paling parah yang pernah dia lakukan hanya menggenggam ujung kaosku di Skandinavia tahun lalu. Selebihnya, anda bisa berimajinasi sendiri.
“Gue nunggu saat dimana imajinasi telah habis.” celotehnya dengan antusias tak seberapa. Seperti sebagian pikirannya dia usahakan untuk tak dikatakan kepadaku.
“Kurasa, imajinasi adalah kepunyaan manusia yang tak terbatas selain ego.” Kugamitkan kedua jari tanganku untuk menghindari hawa dingin yang menusuk sekaligus mengatasi rasa bosan menanggapinya.
“Nggak sepenuhnya aku menyalahkanmu.” Jawabnya. Obrolan kami menjadi formal tanpa kehendak. Hal ini selalu terjadi di pembicaraannya yang bila anda sekalian melihatnya akan menganggap topik yang ‘Tidak Perlu Dibicarakan’.
“Sedang memikirkan bagaimana jika semua alat bantu yang diinginkan manusia, ah kau tahu bahwa ini tidak menyangkut keinginan ‘perasaan’- sudah terpenuhi?”
Bus berhenti untuk menurunkan sebagian penumpang. Matahari masih menyembunyikan dirinya meski hujan tak lagi berdera. Tak heran saat inilah para pekerja keluar untuk mengisi perut mereka di bar sepanjang jalan yang kulewati. Sedang Alde, kembali bersiap bercerita.
“Laboratorium terbesar adalah semesta ini. Lewat pola-pola pergerakan seluruh semesta, pengimajinasi melahirkan ide. Lihat saja kipas angin itu, mereka buat untuk menciptakan pergerakan udara dalam skala kecil, supaya manusia bisa menikmatinya kapanpun sekehendak mereka. Sumbernya, meniru apa yang tersedia di alam ini ‘kan?” Alde meregangkan alisnya tanda perkataannya sedang ditekankan.
“Al.. Gue jadi penasaran rasanya hidup di dunia yang lo bayangkan.” Aku mulai menyelesaikan keformalan.
“As you said, wants have no limit. Manusia akan terus mencari cara untuk memudahkan segalanya”
0 notes
Text
Sejujurnya, aku bosan dengan tingkah kita. Tak ada yang mau mengaku. Kini kau kembali pergi, seperti biasa, meninggalkan perkataan yang membuatku tetap menunggu. Kita tak tahu pasti apa yang membuat kita merasa terikat. Tak kasat, namun dapat dirasa. Apa ini hanya asumsiku? Bisakah kau kali ini saja jujur?
Dan aku mulai takut.
Takut jika kita saling melupa. Lebih takut lagi,
aku yang akan melupakanmu.
Namun, bisa kupastikan bahwa sajak-sajak yang kutulis setahun ini, tetap untukmu.
Entah sampai kapan lagi.
Maka, bisakah kita saling bertahan dalam jeda?
Jeda yang akan membawa kita pada mimpi yang esensial. Mimpi yang dielu masing-masing. Mimpi yang tak sederhana.
Kemudian, kita bertemu lagi. Membagi kisah jeda itu. Dan kembali merajut lagi. Bercerita lagi. Seterusnya hingga kita lupa.
Karena semua akan terlupakan. Sekalipun kenangan menjaga, waktu akan tetap menerjang. Dan kita benar-benar akan lupa.
1 note
·
View note
Photo
The Creativity of God

Taeyong - Jack Frost ❄️😀
575 notes
·
View notes
Photo
The creation of God is undescriptible
💕
2K notes
·
View notes
Text
Teruntuk yang sedang dilanda rasa takut dengan masa depan,
Sudahkah bertanya pada diri sendiri, “Apa yang kau takutkan?”
Hanya sekedar mengingatkan kembali, masa depan bukan urusan kita. Secerah apa pun peluang yang dimiliki, bukan sebuah jaminan. Barangkali yang terpikirkan adalah, saat kita mengidamkan masuk di PTN favorit, namun menghadapi kenyataan bahwa nilai tak cukup untuk SNMPTN undangan, dan otak terlalu lelah mempelajari pertanggung jawaban pelajaran yang diujikan di akhir sekolah sehingga tak sempat belajar untuk SBMPTN, keresahan yang dirasakan adalah sesuatu yang manusiawi.
Namun, sampai kapan manusiawi dijadikan sebuah kemakluman?
Jika terus saja mengedepankan alasan manusiawi, kau tak akan berhenti meratapi kegelisahanmu. Yang kau dapatkan dari kegelisahan adalah rasa takut dan delusi yang berimpact pada sugestimu. Meski terkadang itu memacu semangat untuk mengindari hal-hal yang tak diinginkan. Bagaimana jika takdirnya tak sesuai kenginanmu?
“Tiada takdir yang menghianati usaha.”
Kesalahan dalam pemahaman kata mutiara tersebut adalah, lupa bahwa ada Tuhan diatas segalanya. Kesadaran bahwa dimanapun dan apapun kita nanti adalah bagian dari takdir, perlu. Saat kegagalan datang, bukan takdir yang seharusnya dipertanyakan, namun usaha. Perkiraan bahwa usaha yang kita lakukan sudah cukup untuk membeli ambisi, adalah luka yang kita buat sendiri.
Bila yang diambisikan tak tercapai, jangan putus asa. Ketika satu pintu tertutup, tidak seharusnya meratapi pintu itu, maka carilah pintu lain. Kau tidak sendirian merasa sedih di dunia. Setiap manusia dibebani atas segala sesuatu.
Berdo’alah pada Tuhan dan jangan lupa berusaha semaksimal mungkin jika menginginkan sesuatu. Semakin besar sebuah ambisi, semakin besar pula yang harus dibayar. Bila dikabulkan, bersyukurlah kepadaNya. Bila tidak, mintalah pada Tuhan agar diberikan rasa ikhlas.
Last but not least, semangat untuk kita yang sedang merajut mimpi. Bermimpi adalah bentuk keyakinan pada Tuham. Semoga dikabulkan.
0 notes
Text
Nokturnal
Aku, kamu, dan kita.
.
.
.
Mungkin kau tak mengingat,
bagaimana ibu penjual es yang kita beli dengan garangnya meminta sendok pada rekan dagangnya,
bagaimana kau menyiapkan koin seribuan untuk pengamen di samping sana,
perkataanmu seusai lenggangan mereka,"Kau tahu megapa mereka kemari?"
Dan malam itu berlalu begitu cepat.
.
.
.
Aku memberanikan diri berpikir nyata. "Malam itu akhir. Tiada lagi," Yakinku pada diri sendiri. Meskipun aku ragu..
0 notes
Text
Epilog
Tentang kita, terlalu lucu mengingat permulaannya. Terlalu indah mengingat jalannya. Terlalu jera untuk mengakhirinya.
Aku begitu egois, menginginkan kita tetap sedekat ini. Kurasa, yang demikian akan sangat sulit. Karena kau sudah mengepakkan sayapmu, dan bersiap terbang memandang daratan.
Sedang aku, hanya daun kering yang jatuh oleh angin kepakmu. Menjadi serpih yang tak kasat bayang.
Aku terlalu kecil untuk kau sejajarkan
Hai tuan bersayap, yang kumau adalah, kita saling melupakan.
Bisa ‘kan?
0 notes
Text
No Other
Sore, namun tak ada mega merah.
Yang ada adalah aroma pertichore yang kuat. Beberapa menit lalu, hujan lebat mengguyur kota. Menyapu debu yang bersorak ria di pandangan jalan. Setiap hujan, aku mengingat sebuah rencana yang hingga kini tak tahu kapan realisasinya. Menyusuri jalan setapak bersamanya. Barangkali, itu hanya sebuah bayangan. Kukira aku tak cukup mampu untuk menggambarkan segala risau. Alih-alih menerjang embun jendela layak pelukis pasir,justru niatku untuk menggambar garis saja gagal, embun jendela itu kuhapus karena terlalu banyak mencoba. Kini, haya terlihat gelapnya petang yang menghambur.
Hujan, lebih sering membawa nuansa elegi bagi pluviophile. Si empunya meyukai hujan, namun jarang ada yang memahami tentang arti rasa suka itu. Ada kalanya, mereka mengatakan suka karena kesepian dan luka miliknya dirasa jatuh bersama air hujan itu, kemudian meresap di tanah, dan lenyap. Meski tak mungkin lenyap, namun mereka menganggap, itu lebih dari cukup daripada menutupnya dengan lagu melankolis.
Mengapa aku begitu terkesan seperti psikolog yang notabenenya paham tentang emosional seseorang?
Karena aku yang mengalami.
Setiap orang mempunyai waktu untuk datangnya rasa-rasa itu. Beban, luka, penderitaan, jatuh, adalah hal yang dirasakan semua manusia. Perbedaannya terhadap orang lain adalah bagaimana dia menghadapinya. Ada kalanya, orang yang terlihat tak punya beban sekalipun, justru menyimpan luka yang tercungap dibalik topengnya. Dan tak selamanya, topeng adalah sebuah kemunafikan.
.
Terhadap hujan kali ini, aku melepas satu topengku tentangnya.
Perihal rindu, masih sebuah perkara yang elusif.
0 notes