Tumgik
Text
Menikah Tidak Segenting Itu...
“Aduh udah dua puluh belom punya pacar, padahal umur dua lima kan target gue nikah....”
Celotehan kaum perempuan yang mengaku modern.
Tidak mudah rasanya dilahirkan sebagai perempuan, saya sendiri mengerti rasanya jika ditanyakan “target maksimal lo mau nikah umur berapa” dan ketika saya menjawab di atas usia pada umumnya lalu sontak saya diceramahi bahwa sebaiknya tidak terus melajang di usia di atas dua puluh lima. Usia yang katanya “batas akhir” perempuan sebelum jodohnya ditutup oleh rasa independensi si perempuan tersebut, akan dijauhkan Yang Maha Esa, begitu kiranya menurut mereka. Saya sih tidak perduli berhubung saya mengenal Tuhan sebagai Yang Maha Baik. Pilhan itu adalah kemewahan, tidak semua orang memiliki pilihan di hidup mereka termasuk pernikahan, kenapa pilihan kita harus berdasarkan opini orang semata?
Bukan untuk menghakimi, namun rasanya jika kita merasa kelimpungan hanya karena menapaki usia “maksimal melajang” dan masih saja belum menemukan sosok yang baik kenapa harus takut dengan cap perawan tua? Apa perempuan menikah hanya untuk ditanami benih dan menyambut nafsu laki-laki? Mindset orang banyak benar-benar harus berubah mulai dari sekarang. Termasuk dengan alasan menikah menghindari zina. Baik rasanya kalau jika kita melakukan semuanya berdasarkan hukum norma yang berlaku, menikah untuk menghindari zina. Tapi kenapa banyak makna yang kabur dari kalimat tersebut dan menjadi alasan untuk menikahkan dua manusia yang sebenarnya belum siap dari segala aspek hanya karena orangtua dan keluarga punya prestis sendiri untuk membuat anaknya terlihat taat dengan hukum agama namun ujung-ujungnya si orangtua yang seharusnya tidak lagi ikut campur masalah dua orang yang sudah menikah lalu turun tangan jika si perempuan mengadu, menyalahkan laki-laki bahwa pria tidak bertanggung jawab sebagai suami. Bukankan tugas keduanya sudah dilimpahkan kepada laki-laki secara sah oleh agama dan hukum? Bukankah si ayah paham dengan kalimat saya terima nikah dan kawinnya?
Menikah itu dasarnya bukanlah batas umur, melaikan siap. Di umur berapapun. Di usia dua puluh pas atau di atas dua puluh lima. Apa siap secara ekonomi? Secara fisik dan psikis? Siap dengan segala konsekuensi jikalau suami jatuh sakit atau tidak lagi bisa bekerja dan kita harus menggantikannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga terutama jika sudah punya anak. Maka sekali lagi landasan pernikahan adalah kesiapan. Laki-laki siap untuk berbagi apa yang dia punya kepada perempuan, perempuan harus siap mentolerir wejangan laki-laki yang mewajibkan perempuan merasakan untuk dua orang dirumah yang dibuat suami untuk istrinya.
Jangan pernah takut bertanya sebelum menikah apakah both equal di dalam pernikahan. Apa kita masih bisa bekerja? Apa kita masih bisa melanjutkan pendidikan kita? Atau apa mungkin kita tidak lagi perlu bekerja dan memilih mengurus rumah tanggal full time. Bicarakan. Dan buat kedudukan suami-istri sama di pernikahan. Perempuan dinikahkan untuk dimuliakan bukan untuk menjadi singgahan nafsu laki-laki. Our man is not super hero who saves people in the day and comes home in the middle of the night just to fuck us. Perempuan mendefinisikan sex dengan tujuan si pria pasti akan lebih sayang dan stay. Dan sialnya laki-laki malah sebaliknya, menunjukan kasih sayang yang mungkin bisa jadi semu untuk mendapatkan sex. Jadi ketika sudah menikah dan sudah berhubungan sex kecil kemungkinan dia akan selingkuh, salah besar. Seperti kata om Henry, pernikahan, sex, anak yang lucu tidak akan menghilangkan kesempatan brengseknya laki-laki untuk selingkuh. Lebih tepatnya, laki-laki yang brengsek. Toh sex adalah sebuah retensi untuk kaum adam.
Menikahlah jika siap. Menikahpun inisiatif laki-laki. Dinikahkan adalah privilege perempuan. Jauhkan alasan pertama menikah karena menghindari zina. Saya konsisten dengan alasan pertama adalah siap. Kedua karena mutual feeling dan companionship. Dan seterusnya sampai mengindari zina ada di urutan yang pas. Menikah adalah step dimana kita membangun sesuatu yang lebih besar dan dikategorikan di advance level. Setelah menjadi anak yang baik dan soleh. Murid yang berprestasi dan mahasiswa yang cemerlang. Pegawai yang rajin dan kompeten lalu menikah untuk melengkapi goals sekaligus penyempurna ibadah. Jika kita adalah orang yang baik-baik kenapa kita harus melakukan zina? Atau menikah untuk menyalurkan zina yang berubah menjadi halal. Karena konsekuensi pernikahan lebih besar dari sekedar nafsu yang tersalurkan.
Salam hangat
N xx
0 notes