Bagaimana kami memandang dunia, dunia memandang kami, dengan mimpi sebagai jembatannya.Selamat datang para peretas mimpi dan kehidupan! -Atlas Sinna & Ayyata Sajiwa-
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Mencari
Beberapa orang bangun dari tidurnya dengan penyesalan. Aku salah satunya. Hari ini aku bangun kesiangan. Ku lihat sinar matahari sudah menyelinap masuk ke kamarku dari lubang atap.
Kira-kira apakah ibadahku tetap diterima kalau aku memaksakan untuk tetap mengambil air wudhu? Sedangkan jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.30.
Aku tahu, aku tidak bisa membiarkan diriku seperti ini. Tapi aku juga tidak dapat memungkiri bahwa dalam waktu beberapa hari terakhir, sepertinya aku sudah menjadi salah satu manusia yang merugi.
Pagi itu aku menggerutu sendirian sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas kecil. Gusi gigiku terasa perih, baru saja disuntik kemarin hari. Hanya meringis yang bisa aku lakukan sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang penuh sengsara.
Sambil masih memegang gelas, aku mengintip kamar ibuku yang ternyata kosong. Rupanya ibuku sudah pergi ke pasar.
Akhirnya aku duduk dan berusaha meminimalisir penyesalan. Kalau orang-orang merasa sedih karena kecewa akan hal-hal besar, berbeda denganku. Aku seringkali merasa sedih karena kecewa terhadap diri sendiri. Terhadap hal-hal kecil yang seringkali aku lewatkan. Dan rasa sedih itu bukan barang sebentar, melainkan dalam jangka waktu yang panjang.
Tidak jarang aku sedih karena merasa merugi, merasa tidak berharga, dan merasa tidak percaya diri. Bahkan aku selalu mendapatkan diriku tidak pernah benar dalam melakukan sesuatu, aku selalu salah dalam mengambil tindakan, dan ialah aku seseorang yang penuh keraguan. Semua orang pasti memercayai itu.
Biasanya, dalam kondisi paling jenuh terhadap sebuah kondisi, aku membutuhkan waktu untuk sendirian dalam satu hari penuh. Maka dari itu, aku berencana untuk meleuangkan waktu sendiri untuk sekedar mencari hiburan di luar. Sebelum pergi entah kemana, aku selalu memutuskan untuk menyenangkan hati ibu dengan menyulap rumah menjadi rapi dan wangi. Kira-kira memang sudah seyogyanya itu yang aku lakukan setiap hari.
Tepat setelah rumah sederhanaku sudah terlihat agak rapi, ibu pulang.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
“Kak, ini lontong sayur buat sarapan. Biar bisa minum obat. Biar obatnya cepat habis.”
“Iya. Bu, aku nanti mau pergi ya habis dzuhur.”
“Mau pergi kemana?”
“Belum tahu. Ingin jalan-jalan aja sendirian. Mungkin sekalian cari buku gambar sama pensil warna.” Aku memang lagi suka menggambar dan apapun ingin aku lakukan.
Hari ini aku tidak mampu mengelakkan rasa egoisku. Padahal aku punya deadline yang tidak luput menyapa dari awal hingga penghujung hari. Buktinya setiap aku membuka ponsel, pasti ada saja notifikasi macam ini:
Alumni MAN 13 Farid: Halo, proker gue butuh banner. Tapi kira-kira taglinenya apa ya yang sesuai sama tujuan? Oh iya, kapan main ke Jakarta lagi?
Guru BP-BP-an: Ceu, jangan lupa ya kirim konten editorial & timeline ke emailku.
Teteh Ika: Gimana udah difollow-up belum?
Sobat misqueen: Jangan lupa isi perwalian kalo gak mau berurusan sama sekre! Btw kita ngumpulin laporan kapan ya?
Ayah: Kak, anggarannya dibaca.
Aku mematikan layar ponselku dan lekas membasuh diri ke kamar kecil. Satu hal yang aku berusaha pahami: semua orang pasti memiliki tanggung jawab. Tapi aku juga ingin menemukan apa yang sesungguhnya sedang aku cari dan apa yang sesungguhnya sedang aku lakukan!
Adzan berkumandang, ibadah sudah kujalani. Setelah berpakaian, aku bercermin, ku lihat bayanganku di sana dan mulai kembali tidak percaya diri.
Apakah aku terlalu rapi? Bukankah seharusnya aku tidak perlu rapi? Apakah ini yang oranglain ingin lihat? Bagaimana kalau aku terlihat berlebihan? Kenapa aku tidak langsing? Kenapa pipiku besar sekali?
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu justru membunuh si empunya, akhirnya aku buru-buru memakai sepatu dan berpamitan pada ibu.
“Jangan pulang larut!” Kalimat itu selalu keluar dari mulut ibuku sebelum aku benar-benar melangkah keluar rumah. “Gak akan lewat jam sembilan malam.” Jawabku meyakinkan, padahal belum tentu benar adanya.
Selama perjalanan, keinginan dan kelakuanku sama sekali tidak sinkron. Aku sibuk menyentuh layar ponsel dengan baris lagu yang tidak aku sukai. Namun barangkali akupun sebenarnya tidak tahu mau mendengarkan apa. Aku juga sangat benci mendengarkan iklan berulang-ulang—karena aku hanya menggunakan layanan musik yang gratis. Kedua telingaku tersumpal oleh earphone tanpa mendengarkan apapun. Banyak hal yang aku benci dalam satu momen. Termasuk hiruk-pikuk, panas, dan segalanya. Aku benci saat pengendara ojek mengajakku berbincang tanpa tahu isi kepalaku sedang se-pekat apa.
Sesampainya aku di sebuah kedai kopi, aku mematikan data internet ponselku. Kebenciankanku terhadap apapun mulai meredup. Aku harus membuka mata dan telinga dengan lebar. Mengalahkan egoku yang seringkali menyulut api untuk diri sendiri. Sudah cukup bertengkar dalam hati.
Ku lihat sekeliling kedai yang tidak terlalu ramai. Pemilik kedai kopi ini adalah seorang pria yang berasal dari Prancis. Tiba-tiba menyenangkan sekali rasanya melihat seorang pemilik kedai yang turut sibuk melayani pelanggan. Di balik etalase, kedua tangannya gesit mematangkan adonan ke dalam oven. Beberapa roti yang telah jadi ukurannya besar.
Ini adalah salah satu kebiasaanku saat melihat orang dari negara luar. Entah itu orang barat ataupun timur, setiap kali aku menemukan mereka, selalu saja aku ingin memulai percakapan. Tapi tidak dengan kali ini, aku hanya ingin memerhatikan. Aku lelah berkomunikasi dengan siapapun. Untuk hari ini saja, tidak perlu banyak bercakap dengan orang-orang. Ku pikir, untuk memulai komunikasi intra-personal saja sudah cukup banyak menguras energiku.
Dari kejauhan, wanita tua datang melayaniku. Dia tidak terlihat rapuh, justru berdaya penuh. Garis wajahnya seperti menyampaikan sebuah pesan tentang semangat. Aku tersenyum dengan tulus untuk pertama kalinya di hari ini.
“Es kopi susu.”
“Itu saja?”
“Iya.”
“Mohon ditunggu.”
“Terima kasih.”
Masih tersenyum, aku membuka halaman menu yang masih aku genggam sejak awal aku duduk.
Let’s make Bandung a zero waste city (as opposed to the hundreds of years plastic takes)
Senyumku semakin melebar membacanya. Bukan karena ada hal yang jenaka, tidak sama sekali. Aku tersenyum karena bersyukur, bahwa masih ada banyak orang yang tidak memikirkan permasalahan internal, tetapi sibuk mengurusi peradaban.
Peradaban, sekumpulan cara yang digunakan untuk mengendalikan alam.
Barangkali aku bukan salah satu dari mereka, tapi aku bersyukur menemukan mereka ada di sekelilingku: sebagai orang-orang yang beradab.
Kemudian aku kembali memerhatikan para pengunjung kedai. Memikirkan manusia dengan manusia. Kembali memikirkan mampuku untuk menikmati kehidupan secara utuh sebagai manusia.
Mampukan aku untuk dibutuhkan? Peranan apa yang mampu aku lakukan? Apabila iya esok masih ada, bagaimana seharusnya aku menjalani?
Kenapa ruang kepalaku begitu sempit? Seolah yang aku pikirkan masih saja tentang diriku seorang?
Kebencianku yang meredup, perlahan mulai menyulut. Hal-hal yang membuatku sempat berdamai pada diri sendiri, lama-kelamaan terdengar menjadi bising dan memusingkan. Semuanya ku tahan dan akan harus tetap ku tahan.
Perasaanku cepat berubah karena Tuhan yang Maha Membolak-balikkan.
Aku kembali bersedih, karena sejatinya aku masih belum tahu langkah apa yang harus aku lakukan selanjutnya untuk menjadi versi terbaik diriku.
Tidak akan ada yang pernah tahu, apa-apa yang harus, untuk menjadi versi-versi terbaik.
Tetaplah mencari.
Tetaplah mencari diri.
0 notes
Text
6. Waktu
Tiga hari ini, kantor tak sesepi biasanya. Ruangan-ruangan masih terisi penuh. Rekan-rekan tak pernah sesibuk ini sebelumnya. Deadline senin nanti memaksa kami untuk bertahan disini. Kunjungan auditor rutinan seperti ini sudah sering kami hadapi sebelumnya, namun tetap saja, persiapan menuju kunjungan menyiksa kami. Seolah-olah pertemuan ini tak dijadwalkan sebelumnya, yang sesungguhnya, jadwal pertemuan ini sudah keluar dari jauh-jauh hari. Malam itu dingin, cuaca memang tak sedang mendukung saat itu. Tapi itu hanya diluar, karena di dalam sini, panaslah yang terasa. Bukan karena ACnya yang mati, atau karena lembab akibat jarang turun hujan, atau karena ventilasi yang kurang banyak. Panas ini berasal dari keringat emosi yang bercucuran. Dari perdebatan tentang benar dan salah yang tak menghasilkan solusi. Hanya basa-basi, tanpa relevansi atas dasar gengsi. Dibalik panas itu, tetap, ada dingin yang samar-samar terasa. Dibalik senyum tipisnya, ada letih yang tersirat muncul. Dibalik jari yang tak henti mengetik di keyboard-nya, ada rasa kesal dalam setiap huruf yang muncul dilayarnya. Kantor berasa hidup, ya, hidup. Lebih tepatnya, berusaha memperpanjang hidup. Semua orang mendadak menjadi sangkuriang, semuanya harus diselesaikan dalam waktu singkat. Seolah kehabisan waktu di hari sebelumnya. Tumpukan-tumpukan dokumen pekerjaan yang semula didiamkan berminggu-minggu, saat ini menjadi barang hangat yang harus terus diputar. “Bola panas” itu harus terus bergulir, agar setidaknya, bukan kami yang terakhir menggengam “bola panas” itu dan menjadi kambing hitam atas segala kekeliruan yang mungkin terjadi nantinya.
Tak peduli. Mereka tak peduli. Sungguh, mereka tak peduli. Untuk apa, dengan apa, dan karena apa mereka ada disana. Satunya-satunya yang mereka pedulikan adalah mereka. Diri mereka. Supaya mereka bisa duduk tenang setelahnya. Supaya mereka bisa menghabiskan 4 dari 8 jam kerja di 24/7nya untuk menyaksikan tontonan bajakan di LK21. Supaya mereka bisa kembali menjadikan lembar kerjaan mereka sebagai alas hingga berdebu penuh abu. Supaya mereka bisa kembali sibuk memikirkan voucher go-food mana yang akan mereka gunakan untuk makan siangnya. Supaya mereka aman dan nyaman dalam diamnya. Semua tentang mereka. Semua tentang dirinya. Korbannya? Banyak orang. Manipulasi jadi konsumsi, validasi harga mati, demi gaji yang dinanti. Jiwa raganya sudah seperti karet. Dikejar waktu memaksa situasinya kian terpepet. Alhasil, lakukan apapun untuk kejar target.
Lalu, dimana aku ?
19.30 WIB.
Aku disana. Berada di gedung yang sama dengan mereka. Ditemani dokumen-dokumen yang berserakan di lantai. Bersama gelas berisi kopi dingin yang masih terisi penuh, tanda belum sempat disentuh. Komputerku entah sudah selelah apa, tab-tab yang begitu banyak dibuka secara bersamaan membuatnya sedikit melambat. Mejaku lebih parah lagi, sudah tak karuan. Disana ramai, namun aku seperti sendiri. Aku tak tahu, mengapa aku masih disana. Yang kutahu, semua pekerjaanku sudah terselesaikan sebelum tiga hari ini. Termasuk urusanku dengan rekan-rekanku yang pekerjaannya terkait tentangku. Pekerjaanku saat itu? Duduk di kursi, menatap lini masa media sosialku, membalas pesan orang-orang yang mencariku, sambil gigit jari. Gigit jari? Iya gigit jari. Bentuk ekspresi rasa lelah dan kesal yang tak bisa kuungkapkan. Mataku terpaku, bibirku membisu, pikiranku menggerutu. Memutar otak, hingga mungkin jam pun berhenti berdetak, terus menganalisa tanpa mengkotak-kotakan.
Jauh dalam diamku, aku masih berpikir. Ada apa ini sebenarnya? Apa yang membuatku kesal? Mengapa aku merasa sendiri di tengah hiruk-pikuk kegaduhan kantorku? Dan mungkin bukan hanya saat itu, kurasa, selama aku disana, kurasa aku memang sendirian. Pekerjaanku sudah selesai, harusnya aku senang dan tenang. Lalu ini apa?. Masih hanyut dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, rekanku datang dan duduk disebelahku. Mencoba mengajakku mencari santap malam, yang baru kusadari juga, ku belum sempat mengisi perutku semenjak tadi pagi. Namun ajakannya kutolak, aku lebih tertarik untuk melanjutkan mencari jawaban yang tadi masih kucari. Ia tetap memaksaku untuk menemaninya makan malam. Akhirnya ku luluh, kuiyakan ajakannya, kuambil jaket, kunci motor, dan uang secukupnya lalu pergilah kami mencari santap malam.
20.00 WIB.
Malam itu, angin berhembus cukup kencang. Langit tampak cerah. Tak ada awan yang menghalangi, bintang dan bulan memancarkan sinarnya, seakan menertawakanku yang masih mencari jawaban. Jalanan sepi, hanya tersisa sedikit sisa-sisa kehidupan. Sebagian besar orang mungkin sudah dirumahnya. Menikmati sisa-sisa waktu di hari itu, sebelum memulai rutinitas yang sama esok harinya. Sebagian kecil lainnya mungkin baru memulai harinya, mencoba mencari sedikit peruntungan untuk bertahan hidup di kemudian hari. Jarak tempatku mencari makan dengan kantor cukup jauh. Sepanjang perjalanan, temanku bercerita. Berkeluh kesah tentang apa yang dikerjakannya. Bercerita bagaimana sibuknya ia mengurusi kepentingan orang-orang. Bercerita bagaimana mendadak semua orang berlagak baik dan perhatian padanya, yang lazim terjadi di hari-hari sebelumnya. Bercerita bagaimana dirinya yang tak memiliki kesempatan sedikitpun untuk mengurusi urusannya sendiri. Aku menanggapi secukupnya. Sekedar mendengarkan agar minimal ia dapat mengeluarkan isi hatinya. Ketimbang mendengarkan ceritanya lebih dalam, aku lebih tertarik memikirkan segudang pertanyaanku barusan. Tiba di tempat makan, ku pesan makananku. Ia masih terus bercerita, dan aku masih terus bertanya-tanya. Sampai di satu momen, ia berkata, ”Aku lelah mas, lelah menghadapi semua orang”. “Letih mengurusi orang-orang”. “Yang bahkan tak peduli tentang urusanku, tentang tanggung jawabku, tentang pekerjaanku”. “Mereka sibuk dengan urusannya sampai-sampai tak sadar ada orang lain yang menanggung kerugiannya”. Mendadak, ia mengakhiri ceritanya. Suaranya perlahan mengecil. Suara-suara cegukan lambat laun mulai terdengar. Sempat menghela napas panjang, tiba-tiba air mata yang sedari tadi ditahannya perlahan menetes secara refleks. Sambil menunduk, air matanya terus turun. Tak kuasa untuk dibendung. Kurasa, ia sudah terlalu lama menjadi kuat dan menahan semuanya.
Seketika aku tersentak. Pikiranku terbelalak. Khayalku seakan terdepak, sepertinya aku tahu penyebab hatiku retak. Yang membuatku terjebak, akhirnya berhasil kutebak. Aku bergejolak, ternyata, inilah yang membuat jiwaku berontak. Jawaban-jawaban semakin menyeruak. Teka-teki perlahan semakin terkuak.
Iya, aku muak.
22.00 WIB.
Kuselesaikan makan malamku segera. Bergegas menuju kantor, membereskan sisa pekerjaanku, dan mengantar temanku pulang. Kali ini, sepanjang perjalanan ia terdiam. Masih tersisa sedikit air di matanya yang memerah. Suaranya parau, nafasnya tak karuan. Sambil terus menenangkannya, kuceritakan semua kegelisahan, keresahkan, serta jawabanku yang baru kutemukan.
“Dari tadi, aku terus bertanya tanya…”, tukasku memulai percakapan. “Aku kesal, aku ingin marah, aku gelisah.”. “Aku tak tahu perasaan ini, tapi ini sangat mengganguku”. “Aku benci dengan semuanya, namun aku pun tak tahu sebenarnya apa ini”. Obrolan kami terpaksa terhenti di lampu merah. Setelah lampu hijau menyala dan motorku melaju kembali, aku pun melanjutkan. “Namun, keresahanmu menyadarkanku”. “Kesedihanmu menuntunku untuk menemukan jawabannya”.
“Ternyata, ini semua tentang waktu”. “Waktuku, waktumu, dan keterkaitannya dengan semua orang,” ucapku lirih.
Kegelisahan, keresahan, dan kekesalan ini muncul karena waktulah yang menjadi pemicunya. Kadang kita kerap lupa, karena terlalu sibuk mengurusi semua urusan kita, di saat bersaman orang lain pun ternyata menanggung getahnya. Waktumu 24 jam. Terserah akan kau gunakan untuk apa dan bersama siapa. Itu hakmu sebagai sang pemilik waktu. Namun yang harus disadari, ketika kau memiliki tanggung jawab dengan waktu yang dibatasi, gunakan waktumu untuk menyelesaikan semua tanggung jawabmu. Ketika kita memiliki keterbatasan waktu dalam menjalankan sesuatu, maka curahkan semua tenaga dan pikiranmu untuk menyelesaikan semuanya.
Analoginya seperti ini:
Waktu tambahan terjadi akibat dua faktor, dikarenakan jam kerja yang tak sesuai dengan beban kerja, atau karena kau tak bisa memaksimalkan waktu jam kerja pada jam normal. Kau memiliki 8 jam kerja dalam sehari untuk menyelesaikan seluruh tugasmu dan mungkin cukup untuk mengerjakan berbagai hal. Realitanya, kau mungkin hanya menggunakan 4 jam dari 8 jam kerjamu untuk menyelesaikan tugasmu. Berarti, untuk menyelesaikan semuanya, kau membutuhkan 4 jam tambahan diluar waktu normal untuk menyelesaikan tugasmu kemarin yang belum tuntas. Sementara, sudah tak aneh, apapun pekerjaannya, entah kerja profesional ataupun kuliah mungkin, akan selalu ada tugas baru di setiap harinya. Pekerjaanmu tak kunjung usai. Karena 4 jam dari 8 jam waktu normal yang kau miliki hari ini digunakan untuk menyelesaikan hutang tugas di hari kemarin, terpaksa kita harus menambah 4 jam tambahan untuk menyelesaikan tugasmu hari ini agar tuntas. Dan ini, terus berulang. Hingga akhirnya, munculah deadline pengumpulan tugas yang tidak terduga sebelumnya. Akibatnya, kau harus menyelesaikan semua tugasmu dengan waktu yang tersisa, bagaimanapun caranya. Padahal mungkin, kau memiliki pilihan. Ketimbang menghabiskan sisa waktu di ujung deadline untuk menyelesaikan semuanya, kita bisa saja memilih pulang sedikit lebih terlambat di hari-hari sebelum deadline.
Terlahir karena terpilih, dipilih untuk memilih.
youtube
Sebagai mahluk sosial, manusia selalu terkait dengan manusia lainnya, dalam segala aspek kehidupan. Dengan analogi di atas, kira-kira apakah yang menanggung bebannya hanya dirimu saja? Secara tak sadar, pasti, akan selalu ada, orang lain yang harus menanggungnya. Yang mungkin saja, orang tersebut memiliki tanggung jawab dan peran lain yang harus dipikulnya selain kewajiban utamanya yang telah dijual kepada para kapitalis. Bisa jadi, karena kita yang tak bijak menggunakan waktunya, ada seorang ayah yang harus membatalkan tugasnya menjemput istri dan mencari uang tambahan untuk biaya sekolah anaknya. Bisa jadi, ada seorang ibu yang mendadak harus menanggalkan hak dan kewajibannya untuk melayani suami serta menemani anaknya mengerjakan tugas dari gurunya di sekolah. Bisa jadi, ada seorang anak yang harus meninggalkan tanggung jawab mengurus orang tuanya yang sakit dirumah. Bisa jadi, ada seorang pemuda, yang harus mengorbankan mimpi dan jalan hidupnya. Dan itu semua karena kita. Orang-orang yang merasa waktu tambahan bukan menjadi masalah besar karena barangkali sisa waktunya hanya digunakan untuk istirahat, atau sekedar youtube-an di kamar, atau mungkin, digunakan untuk “main” bersama pasangan. Seluruh kemudaratan tadi dihasilkan dari kita, yang tak bisa menghargai dan memaknai waktu yang kita miliki.
Itu semua ulah kita.
Aku menatap spion motorku. Di belakang, ia hanya terdiam. Tertunduk membisu tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Tatapan kosongnya membuatku bertanya-tanya. Rasa canggung seketika menyelimuti kami tepat setelah obrolanku selesai. Sampai tiba dirumahnya pun, masih tak keluar seutas kata dari mulutnya. Lidahnya seakan terkunci, giginya seolah kaku layaknya guci. Ia turun, mengembalikan helm pinjamannya padaku, kemudian berjalan cepat menuju rumahnya. Tanpa mengucap apapun.
00.00 WIB.
Tiba di rumah, pikiranku hanya tertuju pada satu hal. Istirahat. Setelah berganti pakaian, aku tergeletak di kasurku. Lampu sudah kumatikan, kutarik selimut, dan kupeluk guling andalanku. Mencoba memejamkan mata, bersiap mengakhiri hari. Notifikasi handphoneku mendadak berbunyi. Ada pesan masuk, yang ternyata dari temanku. Dalam pesan itu, ia berkata:
”Mas, terimakasih. Terimakasih atas semua pertanyaanmu, atas semua kegelisahanmu, atas semua keresahanmu, dan atas semua amarah serta kekesalanmu. Terimakasih atas jawaban yang berhasil kau temukan.
Aku sedih, sangat sedih. Sedih karena kehilangan waktuku. Aku kesal, sangat kesal. Kesal karena tak ada seorang pun yang dalam pikirannya, terbesit sedikit tentang diriku, yang harus menanggung semuanya. Namun sekarang aku lega, sangat lega. Lega karena ternyata di dunia yang mulai menua ini, masih tersisa benih-benih harapan. Dunia yang diisi manusia-manusia yang bergerak atas dasar kebermanfaatan, masih bisa kita wujudkan.
Semuanya menyadarkanku. Dan harusnya, semua orang pun bisa tersadar. Betapa berharga dan bermaknanya arti waktu bagi setiap orang.
Terimakasih mas.
Terimakasih untuk semuanya.
Terimakasih telah menjadi benih harapan yang terus tumbuh.”
Setelah membaca pesan darinya, aku terdiam. “Sial,” ujarku dalam hati. Tak sadar, mata ini berlinang. Aku terdiam dalam gelap. Perasaan ini kian meresap. Walau ku coba terlelap, gejolak ini masih menetap. Bagai rumah tanpa atap, kubiarkan langit menatap. “Ini haru,” tukasku lagi-lagi dalam hati.
Kuusap air di mataku. Aku senang. Ada rasa senang yang tak bisa kugambarkan seperti apa rasanya. Rasa bahagia, mungkin karena ternyata dari apa yang kurasakan dan kuungkapan, memberikan satu arti untuk orang lain. Rasa bahagia yang mungkin tak ternilai harganya. Bahagia terkadang sesederhana itu. Sesederhana pohon yang menghasilkan buah dan memberikan air untuk tanah. Sesederhana belajar memanusiakan manusia. Sesederhana menjadi alasan untuk seseorang tersenyum di hari itu. Memahami tiap sisi dalam kehidupannya. Dan tak dapat kupungkiri, aku ketagihan. Rasa bahagia ini bagai candu, yang semakin hari semakin ingin terus kurasakan. Aku bahagia.
Kucoba pejamkan mata kembali. Hari ini kurasa sudah cukup panjang untuk dilewati. Hari ini akan kusudahi, bersiap memulai hari baru di keesokan hari. Menyambut mentari dengan semangat baru. Menanti senja dengan cerita haru. Bersiap menebar kebermanfaatan, bersiap mencari kebahagiaan.
Kali ini, aku tersenyum. Dan aku mau terus tersenyum.
Waktu yang kita miliki, bukanlah milik kita seorang. Itu yang akhirnya kutemukan. Waktu merupakan barang mahal untuk semua orang. Dari sekian banyak yang hal yang kita miliki, hanya waktulah sesuatu yang dapat kita bagikan untuk orang lain, namun tak bisa kita kembalikan atau tarik kembali setelah diberikan. Jika keberadaan kita belum bisa menghasilkan kebermanfaatan besar untuk banyak orang, setidaknya buatlah kehadiran kita tidak merugikan keberadaan orang-orang di sekitar kita. Hal termudah, sesederhana bagaimana kita menghargai dan memaknai waktu yang kita miliki.
Iya, aku muak.
Muak pura-pura bersorak. Muak untuk tampil semarak. Muak karena harus diam dan tak memberi dampak. Padahal, diri ini terkoyak. Hati ini terisak ingin teriak. Ku tak bisa lagi melunak. Tak boleh lagi diri ini dan yang lain terinjak. Takkan kubiarkan jam ini selamanya berhenti berdetak. Hilangkan rasa tak enak, kini tak lagi ku kan mengelak. Bulatkan tekad dalam benak, aku siap menggertak.
Aku siap bergerak.
0 notes
Text
25 Tahun
25 Tahun. 1/4 abad, 4 1/8 windu, 2 ½ dasawarsa. Kata orang, sukses tidaknya seseorang dalam hidupnya ditentukan dengan apa yang ia lakukan dan pilih ketika menginjak umur 25 tahun. 25 tahun adalah umur dimana kita akan menghadapi fase “Mid Life Crisis”. 25 tahun adalah umur dimana kita dihadapkan dengan keselarasan ekspektasi dan realita, yang mungkin berbanding terbalik. Dibalut dengan tekanan dan tuntutan dalam hidup.
“Kapan nikah ? Masa umur segini belum nikah?”
“Udah kerja belum ? Ko belum kerja sih?”
“Udah berapa lama kerja disana? Ko ga naik-naik sih jabatannya?”
“Sekarang gaji berapa ? Ko segitu-segitu aja sih? “
“Bisnis lo gimana sekarang? Ko belum BEP sih ? Gimana caranya lo balikin duit investor?”
“Udah punya rumah belum ? Katanya mau nikah tapi ko belum punya apa-apa sih?”
“ Udah berapa lama nikah? Ko belum punya momongan sih?”
“Umur segini ko masih kuliah? Kapan lulusnya dong? Inget umur hey”
“Mau sampe kapan gini terus? Liat tuh kaka-kaka dan sepupu kamu udah pada sukses”
“Kami tahu yang terbaik untukmu nak, berhenti. Ini bukan jalanmu”.
“Kalo ga ada aku, aku ga yakin kamu bisa bertahan”
“Kamu bener mau serius sama dia? Masih banyak yang lain loh padahal”
“Mimpimu terlalu ga masuk akal bro”
“Kamu yakin dengan pilihanmu?”
Tidak asing ? Yap, pertanyaan yang lazim kita temukan ketika kita masuk ke angka 25 tahun. Waktu sebelum tidur menjadi sangat menegangkan karena pada waktu itu, pertanyaan-pertanyaan yang coba kita hindari melalui aktivitas kita sebelumnya muncul dan memaksa kita untuk meratapinya. Mimpi dan keinginan beradu dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi pada kenyataannya. Membandingkan pencapaian yang kita raih dengan pencapaian kerabat kita. Seberapa jauh mereka melesat, dan seberapa serius kita menjadi penonton mereka. Yang ujungnya, perasaan terpuruk jadi konklusinya. Merasa sedih dengan apa yang kita jalankan. Merasa salah dengan apa yang kita pilih. Merasa lemah dengan apa yang kita hadapi. Dikalahkan situasi, diluluh-lantahkan kondisi, minim apresiasi. Seolah-olah beban hidup mendekap, saking eratnya sampai tak bisa melangkah. Takut. Akan semua hal. Dan diam.
“Aku bisa ga ya nikah di umur segini?”
“Aku bisa ga ya dapat kerjaan?”
“Aku layak ga sih naik jabatan?”
“Gajiku cukup ga sih sebenarnya?”
“Kapan ya bisnis gue maju?”
“Gue bisa beli rumah gak ya? Kalo gak kebeli apa gue bisa nikah?”
“Apa aku mandul ya?”
“Gue kapan lulus ya Allah?”
“Apa aku bisa menjadi seperti mereka semua?”
Benarkah ini saatnya berhenti? Ini bukan jalanku?”
“Apa aku bisa bertahan tanpa dia?”
“Aku bener mau serius sama orang ini? Ini tentang seumur hidupku”
“Mimpiku terlalu tinggikah?”
“Apakah pilihanku sudah benar?”
Semuanya terus bermunculan. Friksi-friksi menghasilkan distraksi penuh ilusi tanpa solusi. Bagai racun yang masuk ke tubuh melalui jalur intravena, ketika sudah terlalu dalam, mungkin tak kuasa tubuh ini menahan semuanya. Tenggelam dalam pikiranmu, tenggelam dalam ilusimu.
Semengerikan itukah? Ya, memang itu mengerikan.
Lalu?
Jangan salahkan mimpimu. Jangan salahkan situasimu. Jangan salahkan kondisinya. “Well, maybe, what’s happening to you it’s supposed to be happen”. Tuhan mengatur semuanya. Tentunya dengan maksud, yang pasti baik untuk kita. Jangan pakai kacamatamu, dia, ataupun mereka karena tentu takkan ada habisnya. Dan tak bisa disamakan. Pakai kacamata-Nya. Kita punya jalan dan waktu yang berbeda. It’s all about acceptance and sincerity.
Tentukan tujuan dan temukan alasan. Tujuan menumbuhkan keyakinan, alasan memperteguh langkah. Pada akhirnya, apa yang mau kamu lakukan dalam hidupmu? Apa yang kamu inginkan dalam hidupmu? Mau jadi apa dirimu dalam 10 tahun kedepan ? Mengapa kamu mau menjadi seperti itu? Dan apa yang ingin kamu tinggalkan dalam hidupmu? Ketika kamu menemukan jawaban atas semua pertanyaan tersebut, disitulah perjalanan hidupmu dimulai. Dan jangan kaget, pasti tak akan mudah pada awalnya. Memulai untuk menemukan. Menemukan untuk meninggalkan.
Rencana dan niatkan. Semuanya. Terkadang kita lupa, walau tak ada yang namanya “kebetulan” karena semua sudah diatur, tapi kita butuh rencana. Dengan rencana, setidaknya kita dapat meminimalisir sesuatu yang tidak terduga karena semua sudah kita duga dan siapkan rencananya. Rencana membantumu memetakan, tantangan apa saja yang akan kita temui di depan dan bagaimana menghadapinya. Rencana membuat harimu tak terlewati begitu saja, karena setiap harinya, ada sesuatu yang kamu kejar untuk mencapai apa yang kamu inginkan di kemudian hari. Kamu hari ini adalah apa yang kamu rencanakan sebelumnya.
Lakukan. Pada akhirnya, semua rencanamu, semua mimpimu, tak akan jadi nyata tanpa dilakukan. Salah jika kita berharap semua kan berjalan sesuai dengan yang kita inginkan tanpa melakukan apa-apa. Salah jika kita berharap semua kan baik-baik saja tanpa melakukan apa-apa. “Melakukan” membantumu menemukan alasan. Ketika kamu tak memiliki alasan untuk melakukan, alasanmu melakukan adalah karena kamu sudah melakukannya.
Mid Life Crisis. Tak perlu dirisaukan. Ini hanya fase. 25 tahun bukan sesuatu hal yang harus diambil pusing. Toh dalam 24 tahun hidupmu sebelumnya, kita selalu dipertemukan dengan masalah bukan? Yang terpenting, 25 tahun harusnya bisa menjadi titik, dimana semua berawal, dimana semua berproses, dimana kita bermimpi, dan dimana kita melakukannya.
Selamat 25 tahun!
0 notes
Text
Tentang Pilihanku

Nantinya,
Kan datang suatu massa
Dikala perih dan lirih
Air mata dan gelak tawa pun dijadikan sebagai dalih
Sampai akhirnya kita dipilih untuk memilih
Namun,
Alih-alih memilih,
Diri ini tertatih,
Hati ini merintih,
Takkan bisa ku beralih
Sadarlah,
Takkan kuizinkan jiwa ini terjangkih-mangkih
Walau nanti asa menjadi buih,
Kuyakin kaki ini belum letih,
Meski tersisih, akan tetap ku (dan kami) raih
Manusia memang tak salah diciptakan sebagai mahluk paling sempurna. Setiap bagian dalam hidup manusia menjadi sesuatu yang menarik untuk disimak. Sebagai mahluk paling sempurna, kadang kebanyakan dari kita suka lupa. Lupa akan peran kita. Lupa akan peran masing-masing manusia.
Dalam agamaku, ada yang dikenal dengan sebutan “Lauh Mahfuzh”. Konon katanya, tuhan telah mencatat segala kejadian-kejadian di dalam Lauh Mahfuzh, dari permulaan zaman sampai akhir zaman. Apa yang terjadi dalam hidup kita, telah dituliskan disana semenjak 50.000 tahun bumi dan langit diciptakan. Termasuk dengan peran kita di dunia yang tentu saja berbeda-beda.
Sayangnya, kebanyakan manusia kadang terlalu berlebihan memaknai kesempurnaan yang tuhan berikan. Hal itu yang membuat manusia lupa, bahwa besar-kecil peran yang dimiliki manusia, tetap ada artinya. Tugas manusia hanya menjalankan peran yang diamanahkan kepadanya sebaik-baiknya. Dan menilai peran manusia lainnya, bukanlah kewajiban manusia. Memang harus diakui, menilai seseorang menjadi hal yang menyenangkan. Memandang sesuatu dari kacamata kita dan memaksakan itu menjadi kebenaran dengan mengabaikan kacamata lainnya begitu mengasyikan bagi kebanyakan orang. Tanpa memperdulikan apa yang sedang diperjuangkan manusia lainnya. Kadang pula, peran-peran yang dianggap manusia lain tak penting, merupakan peran besar bagi manusia lainnya. Manusia suka terlena dan merasa jumawa dengan apa yang diamanahkan, tanpa sadar bahwa amanah dan ujian pada dasarnya berbanding lurus. Ya namanya juga manusia.

“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat untuk orang lain”
Sebuah hadist yang harusnya mendasari peran-peran yang dijalankan setiap manusia. SIapapun dan apapun perannya. Aku (dan kami) telah memilih. Bahwa peran ini yang kami ambil. Peran ini yang akan kami mainkan. Mimpi no. 10 yang kutulis kemarin bukan hanya mimpiku, tapi juga mimpi orang-orang yang berarti dalam hidupku. Orang-orang yang akan selalu menjadi bagian perjalanan hidupku. Penilaian orang, pada akhirnya tak akan menghentikanku (dan kami). Hanya sebagai sebuah hiasan, yang mewarnai perjalanan kami setiap langkahnya.
Bagi sebagian orang, mungkin kami hanya buang-buang waktu, buang-buang tenaga, buang-buang materi, buang-buang pikiran. Kami hanya segerombolan manusia yang sok-sok mengurusi urusan manusia lainnya dan sesumbar mengenai hal-hal besar. Tapi bagi sebagian lainnya, ada yang menunggu kami, ada yang mengandalkan kami, ada yang mempercayai kami, dan ada yang menitipkan harapan pada kami.
Dan kami memilih terus melangkah.
Kami memilih sebagian yang lain.
Aku memilih jalan dan peranku.
1 note
·
View note
Text
Tentang Supenaku
Angin sepoi-sepoi membawa daun-daun berpisah dari pohonnya. Langit masih abu-abu, ketidakpastian menyelimuti langit. Hujan ingin turun, tapi langit seakan tak mengizinkan. Tak ubahnya dengan jalanan Bandung, lalu lalang kendaraan menghiasi Bandung bersama sejuta motifnya. Dan aku, iya aku. Aku masih menjadi aku. Mulutku masih suka beromong besar. Membicarakan hal-hal yang mungkin menurut orang bukan sesuatu yang lazim dibicarakan olehku. Tentang hidup, tentang visi, dan tentang mimpi. Bedanya, tak hanya dibicarakan melalui mulut besarku, aku yang sekarang sedang mengejar apa yang ku utarakan.

Mimpiku sederhana. Menjadi orang sukses. Bicara soal sukses, stigma sukses di kalangan sebelum kita masih sangat kolot. Umumnya sukses orang Indonesia diukur melalui seberapa besar gaji yang dia terima setiap bulannya, seberapa banyak aset yang kita miliki, seberapa banyak uang yang bisa kita hasilkan, dan aku tidak menyalahkan itu karena memang itu benar nyatanya. Namun menurutku, bahagia dan sukses tiap orang tidak bisa disamaratakan. Karena bicara sukses dan bahagia, diri kitalah yang menintrepetasikan itu. Pada akhirnya, Intrepetasi sukses bagiku adalah ketika aku bisa memberikan kebermanfaatan yang sebesar-besarnya untuk banyak orang. Aneh ? mungkin. Tapi inilah yang kupilih.
“Ya semoga tak ada guna, bila ku masih diam saja”
Lirik lagu Semoga, Ya dari Nosstress ini jadi pelantun pengantar pembuka hariku setiap harinya. Analogi mimpi paling sederhana adalah membuat nasi goreng yang enak. Untuk membuat nasi goreng yang enak, tak bisa tiba-tiba muncul nasi goreng yang enak tanpa proses persiapan yang matang. Mulai dari penyiapan bahan, alat-alat masak, sampai pembuatan nas I gorengnya, diperlukan langkah-langkah yang saling berkesinambungan untuk membuat nasi goreng tersebut. Begitupun dengan mimpi. Untuk memahat mimpi yang besar, dibutuhkan palu dan pasak yang kuat. Mengkonversi mimpi menjadi misi. Diiringi komitmen dan disiplin setiap waktunya.
Tulisan yang ditulis oleh Thomas Oppong di kanal Mission Org pada tahun 2017 menyatakan bahwa dengan menuliskan mimpi-mimpi kita setiap hari, dapat meningkatkan kemungkinan ketercapaian mimpi sebesar 95 %. Makanya, disini, kutulis sedikit dari sekian banyak mimpiku,
1. Lanjut apoteker terus jadi apoteker yang uncommon.
2. Jadi sociopreneur dan resign dini.
3. Ambil S2 di bidang kefarmasian, psikologi pengembangan komunitas, atau sosiologi.
4. Membuat klinik dan sekolah yang punya misi sosial.
5. Punya caravan dan motor japstyle lalu keliling Indonesia.
6. Nulis satu buku tentang mimpi, bagaimana dunia memandang diriku, dan diriku memandang dunia.
7. Mengangkat derajat dan stigma masyarakat tentang dunia relawan, penggerak sosial, dan apoteker/farmasis.
8. Jadi apoteker kebencanaan.
9. Punya rumah di pelosok yang jauh dari kota.
10. Bisa sukses bareng Pemuda Peduli
11. Bisa berkontribusi di dunia sosial bareng keluarga kecilku :)
Dan masih banyak lagi.
Mudah? Tentu tidak. Realistis? Tentu saja. Bukan perkara gampang memang, tapi yang pasti butuh effort besar untuk mencapai itu.
“If You Can Dream It, You Can Do It”.
Sebuah quotes terkenal dari Walt Disney. Dan ya, mungkin klise, tapi aku percaya akan itu. Jadi, selamat bermimpi. Selamat berproses. Selamat berbahagia :)
0 notes
Text
4 Fase Dalam Hidup(ku)

CriganSupena sejatinya adalah sebuah bejana untuk para pemimpi. Dan dibalik hadirnya setiap mimpi-mimpi itu, pasti ada latar belakang yang mendasari. Mimpiku pun begitu.
Kadang dalam hidup, tanpa disadari kita selalu dipertemukan dengan fase yang sama. Tahapan-tahapan dalam hidup yang kita alami secara berulang. Momennya yang berbeda.
Fase 1 : Underestimatted View From The Others
Kesan pertama yang muncul dari orang-orang adalah kekhawatiran, ketidak yakinan, dan keraguan.
Fase 2 : Accepting The Reality, Deal With My Self
Saat ekspektasi tak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi, berdamai dengan diri adalah bagian tersulit. Butuh waktu yang lama memang, untuk menerima semuanya. Berdamai dengan diri membawa kita kepada tahapan selanjutnya, mengikhlaskan dan merelakan.
Fase 3 : Struggling !
Berjuang. Bagi kami yang bukan anak raja, bagi kami yang bukan pewaris tunggal, bagi kami yang tak punya daya dan kekuasaan, bagi kami yang dipandang sebelah mata, bagi kami orang-orang lemah yang hanya hidup dan melangkah berbekal mimpi. Satu-satunya jalan yang harus kami tempuh adalah berjuang.
Fase 4 : Prove Yourself !
Yang aku yakini, tidak ada yang sia-sia dalam apapun yang kita jalani. Walau akhirnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Pembuktian diri atas apa yang dipilih bagiku bukan hanya tentang ambisi pribadi, namun pada akhirnya, ketika kita bisa membuktikan bahwa pilihan yang kita jalani adalah pilihan terbaik, kebermanfaatan itu bisa dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita. Ini tentang bagaimana jalan yang kita pilih bisa memberikan keberamanfaatan untuk orang banyak.
Seperti yang sudah kusampaikan diatas, fase ini selalu berulang. Momen-momennya bisa berbeda, akan tetapi intinya sama. Dan mungkin, inilah yang dihadapi oleh semua orang, dengan jalannya masing-masing.
Untuk menjadi pewujud mimpi, fase ini mungkin akan selalu dihadapi. Tak ada yang bilang bahwa semua ini akan mudah, tapi mimpi yang membawa kita terus maju. Komitmen yang menguatkan. Keyakinan yang menuntun.
“Mungkin kita punya 1000 alasan untuk berhenti, untuk menyerah. Tapi kita cukup punya 1 alasan untuk terus bertahan, melangkah, dan melupakan 1000 alasan lainnya.”
CriganSupenaku. Segera.
0 notes
Quote
Yes, I am a dreamer. For a dreamer is one who can find his way by moonlight, and see the dawn before the rest of the world.
Oscar Wilde
Yes, i’m a dreamer.
(via inspiringsuccess)
95 notes
·
View notes
Text
Pembuka Crigan - “Mimpi dan Perkenalanku“

Mimpi.
Manusia selalu bermimpi, manusia selalu punya mimpi.
Mimpi. Iya mimpi.
Kasihan. Selalu disalahkan, selalu jadi kambing hitam.
Tak banyak manusia yang hidup dalam mimpinya, yang hidup dengan mengejar mimpinya, yang hidup untuk memperjuangkan mimpinya. Pada akhirnya, mimpi selalu jadi kambing hitam. Ketika diri kita terlalu sulit menerima realita, mimpi yang dikorbankan. Ketika jerih payah iktiarmu tak sesuai harapanmu, mimpi yang selalu disalahkan. Ketika kebutuhan makin mendesak, mimpi yang ditanggalkan.
Tapi,
Apakah mimpi harus selalu disalahkan ? apakah mimpi harus selalu jadi kambing hitam ? Apakah mimpi harus selalu dikorbankan demi kebutuhan dan realita ?
Crigan menurut bahasa sansekerta artinya adalah wadah keris sakti. Sementara supena adalah mimpi. CriganSupena merupakan perjalanan. Terus berkembang, mengikuti arahnya kehidupan. Berisikan motif, awal semua bermula. Berisikan proses, langkah kecil menuju asa. Berisikan alasan, mengapa semua harus terus melangkah. Dan nantinya, berisikan pembuktian. Pembuktian bahwa mimpi tak selalu salah.
CriganSupena adalah sebuah bejana harapan. Hadir untuk para pemimpi, agar tetap terus bermimpi. Melangkah maju, dengan mimpi sebagai alasannya. Dengan mimpi sebagai senjatanya. Dengan mimpi sebagai hidupnya. Menginspirasi banyak orang agar tak takut untuk bermimpi dan jadi pewujud mimpi.
Namaku Alwy.
Seorang pemimpi.
Kelak, seorang pewujud mimpi.
Dan inilah CriganSupenaku.
0 notes