Tumgik
crossyourheartsam · 7 years
Text
My life from the start
Sebenarnya dari awal saya merasa berbeda dari gadis kecil pada umumnya, bahkan sebelum saya bersekolah, which is mungkin pada saat itu saya masih berusia sekitar 4 atau 5 tahun. Dari kecil, saya sering di sebut sebagai anak yang hiperaktif dan juga ‘tomboy’. Meskipun, pada saat itu Oma saya selalu memperlakukan dan mendidik saya selayaknya anak perempuan (setiap harinya saya di pakaikan baju terusan, saya di pakaikan gelang emas yang akhirnya hilang, saking saya nakalnya dari kecil). Pada saat itu, saya merasakan keanehan tentang perasaan saya, bahkan sampai saat ini pun saya masih ingat betul bagaimana dan siapa. Pada waktu itu saya di asuh oleh ‘nanny’ saya dimana saya merasa sangat nyaman ‘being around her’. Selalu terngiang di benak saya bahwa beliau adalah ‘perempuan cantik’. Sebelum saya mengerti betul identitas dan jati diri saya, saya selalu menyangkal ketertarikan saya dengan berkata dalam hati “Ah mungkin saya ingin menjadi cantik seperti beliau.” karena sangat wajar ketika anak kecil menganggumi orang lain mungkin saja hanya sebagai panutan. Tetapi hal tersebut terulang dengan orang kedua. Disitu saya sudah masuk sekolah kira-kira umur 6 tahun, mungkin TK besar atau sudah masuk Sekolah Dasar, yah pokonya saya sudah bisa berbicara atau mengobrol secara jelas. Jadi ceritanya Oma en Opa saya bersahabat dengan salah satu keluarga, dan pada saat itu cucu dari keluarga tersebut akan melangsungkan pernikahan yang mendadak, dan mereka datang kerumah kami untuk menyampaikan undangan serta mengobrol. Kami pun baru diperkenalkan dengan si calon istri pada saat itu juga. Setelah mengobrol panjang lebar dan mereka pulang kembali ke rumah, saya sadar bahwa saat mengobrol tadi, pandangan saya selalu tertuju pada si calon istri tersebut. Seperti yang sudah saya sebutkan, saat itu saya sudah cukup mampu untuk berbicara secara jelas dan anehnya saya keceplosan bertanya ke Mama saya “Ma, kakaknya yang cantik tadi namanya siapa?” Saya mendadak kaget bercampur malu dengan perkataan saya sendiri. Saya lupa pertanyaan saya dijawab oleh mama saya atau tidak, yang jelas ketika kedua keluarga bertemu kembali, Mama saya menceritakan tentang hal tersebut yang membuat saya sangat malu. Anw, sampai saat ini saya masih kenal dan berhubungan dengan kedua orang yang saya sebutkan diatas.
Kedua kejadian tersebut membuat saya yakin bahwa apa yang dikehendaki Tuhan atas saya memang sudah sejak lama, atau memang saya sebagai manusia terlalu hina dan penuh dosa sehingga saya menolak untuk hidup ‘normal’ seperti yang orang tua saya katakan kepada saya. Sampai saat ini pun saya merasa menyesal Tuhan kasih saya nafas hanya untuk hidup dalam dosa sampai-sampai saya selalu pikir orang tua saya malu mempunyai anak seperti saya. Itulah mengapa saya merasa sangat berat dalam menjalani kehidupan, bahkan saya selalu berpikir untuk bisa “vanish in a sec”.
Tetapi bukan hanya dengan kedua kejadian tersebut saya bisa menjadi pribadi saya yang sekarang ini, selain mungkin karakter atau jiwa yang Tuhan sudah rancangkan terhadap diri saya. Saya pernah hampir di perkosa oleh 4 orang. Ya, 4 orang. Kejadian-kejadian tersebut terjadi sebelum saya masuk SMP. Dan mungkin memang karena saya memiliki ingatan jangka panjang, saya masih me ‘recall’ kejadian-kejadian tersebut secara sadar maupun tidak. Mungkin hal tersebut juga yang memicu saya mengalami ‘stres’ sampai sekarang ini. Otak saya sering sekali memperlihatkan ‘vision’ tentang diri saya yang sedang menggenggam pistol, mengarahkan ke kepala saya dan menarik pelatuk.
Kejadian pertama adalah ketika saya masih sangat kecil dan sepertinya belum sekolah, saya sering bermain-main di bagian belakang rumah saya yang di jadikan kost oleh Opa saya. Kost tersebut khusus laki-laki. Mau tidak mau saya lebih sering berinteraksi dengan laki-laki dibanding dengan perempuan. Perempuan di rumah saya hanya ada 4 selain saya, yaitu Oma, Mama, ‘nanny’, dan ‘pembantu’. Itupun Mama saya jarang berada di rumah karena Mama bekerja. Sedangkan anak kost ada sekitar belasan orang. Papa saya pun dulu berwiraswasta dan saya sering ditinggal dirumah. Kakak laki-laki saya juga sudah sibuk dengan kehidupannya sendiri karena usia kami berjarak 11 tahun. Maka dari itu masa kecil saya hanya ingat Oma Opa dan saya sangat sayang kepada mereka. Kembali lagi ke kejadian pertama, hari itu seperti biasa di pagi hari setelah saya di mandikan dan di suapi makan, saya selalu bermain-main di kost, entah berlarian atau ‘mengganggu’ anak-anak kost. Mereka mungkin terpaksa meladeni saya karena saya adalah cucu dari ‘landlord’ mereka. Saya ingat masuk ke salah satu kamar yang terbuka. Bukan dengan maksud apa-apa tapi memang wajar anak kecil mencari perhatian atau mencari teman bermain. FYI, rumah Oma en Opa (yang saya tinggali) ini sangat luas memanjang ke belakang, jadi ‘nanny’ tidak mengawasi saya dan membiarkan saja saya bermain di kost, memang biasanya seperti itu, dan lagi ‘nanny’ mungkin juga membantu mengerjakan pekerjaan lain seperti membereskan rumah. Hari itu mungkin pertama kalinya Tuhan kasih tau saya bahwa hidup itu bukan sekedar hal-hal sorgawi yang manusia tunjukkan, melainkan hal-hal duniawi atau bahkan berbau dosa. Saya lupa siapa nama orang tersebut yang jelas dia melakukan hal yang tidak wajar di hadapan saya. Saya tidak mengerti apa yang dia perbuat pada saat itu, namun sekarang saya tau dan itu adalah masturbasi atau ‘hand job’. Saya bahkan di suruh untuk memegang alat kelaminnya (tangan saya di genggamkan) selagi dia memuaskan diri. Saya tidak mengerti mengapa saya mau saja di suruh seperti itu, mungkin karena memang saya masih sangat polos untuk mengetahuinya. Setelah beberapa saat, saya melihat cairan keluar dan dia langsung pergi ke kamar mandi. Lalu saat dia kembali, dengan polosnya saya bertanya (saya masih ingat pertanyaan yang saya tujukan ke dia) “Kok pipisnya putih?”. Memang kejadian tersebut bukan menjelaskan bagaimana saya ‘hampir diperkosa’ oleh orang ini. Tetapi saya tidak menemukan perbedaan disana. Yang saya tau, apakah saya terlalu bodoh, atau orang itu terlalu biadab menganggap saya anak kecil yang bakal hilang ingatan tentang memori seburuk itu. Sampai sekarang saya sudah tidak pernah bertemu lagi dengan orang itu dan mungkin lupa wajah serta namanya, saya pun tidak tertarik untuk mencari tau ataupun menanyakan kepada orang tua saya.
Kejadian kedua
0 notes