cumulusnimbus-blog
cumulusnimbus-blog
cumulusnimbus.
46 posts
Kalau suka hujan, berarti suka juga dengan kumulo dan petrikornya | Bunga matahari dan isi kepala sendiri juga jadi favorit.
Don't wanna be here? Send us removal request.
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Mawar Bukan Lagi Mawar, Kambing Bukan Lagi Kambing
Tidak ada teh tubruk yang direbus dalam panci. Juga dulu masih terdengar suaranya menggema di masjid depan rumah. Kemudian tiba-tiba minuman andalannya tergantikan dengan kopi susu. Suara di masjid juga kini menjadi lain, suara Mas Dirjo lulusan salah satu pesantren di Kudus menggema dengan makhraj yang tidak mewakilinya sebagai mantan santri.
Gitarku dimainkannya menyanyikan lagu-lagu Mansyur S. yang menjadi kesukaannya. Dulu bisa satu lagu penuh. Sekarang hanya sebatas intro kemudian ditaruhnya sembarangan gitar itu.
Ketika jadwalnya mengunjungi rumahku, banyak kantung plastik yang dibawanya. Duku, manggis, durian, roti bakar, keripik tempe, dan tahu Sumedang. Rutin dua minggu sekali kami makan makanan itu. Bahkan jika aku minta dibelikan motor baru sepertinya bukan suatu masalah. Perut buncit tandanya makmur. Itulah dia sekarang.
Dulu dia begitu kurus dengan kumis tipis dan matanya sipit seperti Peranakan Tionghoa. Tapi, rasanya dia lebih bahagia dengan kesengsaraannya dulu. Walau makan telur harus dibagi lima orang, batinnya masih mengenang Asmaul Husna.
“Kamu tahu, Mas, apa yang paling menyedihkan dari kehilangan raga seseorang?” tanyaku pada Mas Tri, kakak sepupuku.
“Gaji yang tidak kunjung naik,” jawabnya.
Aku melempar koran ke kepalanya dan dia terkekeh.
“Memangnya apa?”
Aku berdeham. Rasanya kelu ketika harus meyakinkan diri bahwa hal ini benar-benar nyata. Seperti memaksa menusukkan belati ke dada kiri. Jantung rasanya tidak siap menerima semuanya, menerima bahwa ia akan berhenti berdetak. Tapi semua rahu bahwa diri sendiri selalu sulit didustakan.
“Kebiasaan seseorang yang tergantikan dengan hal baru dan menjadi kebiasaan baru. Kita mengingat seseorang dengan kebiasaan yang dilakukannya. Orang tahu mawar itu berduri. Jika mawar baru tumbuh dengan tidak ada duri, akankah kamu tetap menyebutnya mawar, Mas?”
Mas Tri melempar pandangan jauh tanpa sasaran. “Atau seperti kambing yang lahir dengan suara kukuruyuk, tidak lagi mbek..mbek..”
“You’ve got the point,” kataku sambil tertawa mendengarnya menirukan suara ayam dan kambing.
“Itu lebih pedih daripada ditinggal orang mati.”
15 notes · View notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Dasi Milik Paul
“Rambutmu nggak diikat?”
Hampir setengah jam ia habiskan untuk membuat simpul di dasinya. Bahkan aku sendiri sudah rapi dari ujung kepala hingga ujung kaki selagi ia sibuk sendiri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Ujung kemejanya sedikit keluar membuat penampilannya sedikit berantakan. Ditambah rambutnya yang mulai panjang dan belum disisir sama sekali.
Aku menghampirinya setelah kurasa tidak ada bercak lipstik yang tercecer di wajah. “Kapan ya kamu bisa pasang dasi sendiri?” Aku menepis kedua tangannya dan mengambil alih dasi hitam di lehernya yang mulai kusut bekas bongkar pasang.
“Aku nggak minta bantuanmu, Jani.”
“Wajahmu memelas, sih.”
“Nah, aku maunya kamu yang peka.”
Hanya tiga menit, dasi hitam terpasang dengan rapi di bawah kerah kemejanya. Sedikit kurapikan jahitan di bagian bahu. Menepuk-nepuknya, kemudian melirik ke bagian bawah. “Perlu aku bantu masukkan juga kemejamu ke dalam celana?”
“Kamu mau?”
Aku memutar bola mata dan menjauh dari hadapannya. Ponsel kami berdua sama-sama berbunyi. Tanda ada pesan dari grup di Whatsapp yang meminta semua orang berkumpul di lobi.
“Paul.”
Dia yang sedang memakai kaus kaki seketika menoleh. Aku menghampirinya sekali lagi. Kemudian memutar tubuhnya ke kiri. Tanganku menyisir rambutnya yang mengembang dan panjang sebahu. Harum menthol menyeruak saat itu juga. Ditambah aroma parfum miliknya yang tidak pernah ia beri tahu namanya menyeruak dari tengkuknya. Tercium dan menembus ke bagian terdalam yang sudah tidak tersentuh sejak lama.
“Lebih keren sedikit kalau diikat.”
“Pujiannya kok tanggung banget.”
Seseorang masuk ke kamarku. Pintu yang semula sedikit tertutup kini terbuka lebar oleh Ben yang tiba-tiba muncul. “Paul dicari-cari ternyata ada di kamar Jani.”
“Orang-orang sudah kumpul semua, Ben?” tanya Paul.
“Sisa kalian dan Surya. Omong-omong, nggak heran kamu di sini, Ul. Dasimu rapi.”
Kami semua tertawa.
“Jani paling hebat kalau mengurus keperluan Paul.”
Aku mengernyitkan dahi.
2 notes · View notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Ketika Ayat Al-Qur’an Dipakai untuk ‘Menembak’ Seseorang
Pagi ini di motor, perjalanan menuju kantor, aku ingat sesuatu yang kulihat tempo hari di Instagram. Story deh aku bilangnya. Dia, si perempuan ini, mengepos potongan ayat Al-Qur’an. Aku sedikit lupa ayat berapa dan surah apa. Intinya, soal kemunafikan seseorang gitu.
Kemudian nggak lama setelah itu, aku makin sering melihat banyak story yang sama--mengepos potongan ayat Al-Qur’an. Sebenarnya fenomena ini sudah terjadi cukup lama. Di Instagram, atau sosial media manapun marak postingan macam begitu. Seolah ini bagian dari pop culture.
Sayangnya, sebagian besar dari orang-orang yang membuat postingan ayat Al-Qur’an itu ditujukan untuk orang tertentu, mengandung nada sinisme bahkan sarkasme. Tujuannya tentu jelas untuk menyindir orang yang dimaksud.
Ayat Al-Qur’an dijadikan alat untuk ‘menembak’ seseorang dalam konotasi yang tidak baik. Emm, apa ya? Aku rasa ini sedikit jauh dari fungsi kitab umat Islam itu sendiri. Mungkin jika menyindir dengan ayat Al-Qur’an terkesan lebih bijak, lebih lembut, dan lebih islami. Iya? Mereka menemukan satu ayat yang dirasa pas untuk seseorang yang sedang ia benci sikapnya. Kemudian langsung ia publish bahkan dilakukan berkali-kali.
Menurutku, masih banyak ayat-ayat yang sebenarnya menyindir kita sendiri. Oke, bukan menyindir dalam arti buruk. Semacam peringatan dan pengingat untuk kita dalam hal apapun. Atau bisa jadi kita termasuk ke dalam ayat yang dipakai untuk menyindir orang lain itu. Pernahkah orang yang memposting ayat berpikir bahwa dirinya bisa saja termasuk ke golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut? Analoginya begini, kita menembak seseorang dengan satu panah, sementara di belakang kita tertembak oleh ribuan panah.
Sementara itu, mereka yang membuat postingan ayat tersebut sebenarnya juga tidak terlalu paham dengan ayat yang dia bagikan. Seperti kebanyakan orang masa kini yang menelan informasi apapun bulat-bulat tanpa dibedah terlebih dahulu. Tapi, memang tidak semua orang mau repot-repot belajar makna. Kemudian tanpa sadar membiarkan dirinya mengalir di arus yang salah. Terus merasa benar dan hanya melihat segala sesuatunya dari satu sisi. Padahal sudut pandang itu tidak tunggal, kan?
Aku memang tidak hapal banyak ayat. Melainkan share opini aja bahwa menyindir seseorang menggunakan ayat Al-Qur’an itu buatku kelewat canggih. Buatlah cover yang sesuai dengan isinya ya.
1 note · View note
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Sekali Lagi
Rupanya aku menelan ludah sendiri. Aku takut jatuh cinta, tapi nyatanya aku mendekap bayanganmu. Aku tidak mau mencintai, tapi aku mengeluh tiap kali menemukan tubuhmu di bawah tangga. Kamu menggemaskan, kamu indah untuk dirasakan. Harusnya aku sudah tenggelam dalam pelita yang mencekam. Tapi yang aku lakukan--bahkan detik ini--menggambar bentuk wajahmu di jantungku. Kamu penyakit. Kamu membuat sembilu. Dan, aku menikmati ketidakmungkinan antara kita.
Waktuku semakin dekat. Kepergianku meninggalkan harapan yang tidak pernah benar-benar diharapkan. Di gedung itu ia mengendap. Kamu tidak tahu. Ini cuma bisikanku dengan anak tangga. Ia mengerti aku bahwa sejatinya aku seperti yang paling munafik. Aku tidak menyukaimu. Dan, aku memikirkanmu.
Kita tidak akan berjumpa. Mungkin ini terbaca seperti melangkahi kuasa Tuhan. Atau, aku hanya tidak ingin percaya pada kita yang bisa saja bertemu di waktu yang lain. Entah yang mana. Entah bagaimana hatiku nanti jika melihat hidungmu lagi. Tapi, tidak. Aku tetap tidak mau percaya pada kemungkinan yang ada. Aku meninggalkanmu di gedung itu dan semua akan selesai. Aku akan melupakan sekali lagi, tentang seseorang.
1 note · View note
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Caption
Mati
Aku lupa caranya tidur yang enak itu bagaimana
Setiap pagi badanku nyeri
Siangnya kepala sakit
Malamnya perut mulas
Begitu setiap hari tanpa diobati
Aku malas, tidak berniat mengobati, memang
Dinikmati saja
Biarkan menyakitiku begitu saja
Nanti pasti sembuh sendiri. Mati
Sama dengan kamu, nanti juga hilang sendiri
Mati
#
Melihatmu Dari Belakang
Aku lihat pucat wajahmu
Sementara pipi itu masih sama kembunya
Tidak ada yang berubah secara signifikan
Kulihat juga sepatumu baru, warnanya mengilap. Manis kalau kamu yang pakai
Kemudian kamu makan kue cokelat
Dan aku teringat kamu tidak suka makan makanan manis terlalu banyak
Tapi kue itu habis sekotak olehmu
Aku tidak tahu kamu mengubah kesukaanmu
Kamu bilang lidahmu pahit bekas obat siang tadi
Kamu sakit?
Aku berharap bisa bertanya
Tapi aku cukup erat dikukung nestapa
#
Di Dalam Mobil
Biasanya ada tangan yang diletakkan di punggungku
Aku menggantung ke kursi depan
Kadang ia sengaja menggelitikkan pinggangku
Atau menyimpan dagunya di pundakku
Aku selalu duduk menyempil, tidak kebagian tempat
Sementara kamu selalu di samping, kanan ataupun kiri
Dulu
Sekarang, kanan dan kiriku telah berganti orang
Bukan kamu
Kamu di mana?
#
Kamu yang Memakai Kemeja Biru Tua
Dia yang memakai kemeja biru tua
Bunyi sepatunya sulit dihapal
Tapi segera aku tahu bentuk kepalamu dari belakang
Sesekali aku melirik ke arahmu, "semoga kamu tidak berbalik melirik karena aku akan malu"
Kemudian aku pergi dari kerumunan
Menjauh dari kecemasan di dekatmu
Padahal aku ingin berbincang
Bicara apa saja yang kamu dan aku mau
Tapi, benarkah kamu juga mau?
2 notes · View notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Manner be Crucial (?)
Aku punya pertanyaan: apakah orang pintar akan mampu menyeimbangi kemampuan mereka dengan manner? Atau malah melupakan manner?
Ini berhubungan dengan pengalamanku yang beberapa kali disatukan dalam satu momen dengan mahasiswa reguler pagi di kampus. Aku sangat mengakui bahwa mereka jauh lebih menguasai materi dibanding kami yang hanya berkuliah tidak lebih dari 4 jam di malah hari. Pengalaman mereka jauh daripada kami dalam hal belajar HI sampai prakteknya di lapangan (semacam kunjungan ke sana-sini dan debat panjang di kelas).
Kelas reguler sore atau ekstensi itu sangat minim materi sebenarnya. Kecuali kami punya kemauan untuk browsing dan baca buku lebih intens. Tapi, kapan? Senin sampai sabtu dari pukul 8 sampai 5 sore waktu kami habis dipakai di kantor. Sore sampai malam lanjut mendengarkan ‘dongeng’ dosen-dosen di kampus. Minggu waktunya kami menuntaskan tugas-tugas kuliah. Tidak, tidak, tidak serumit itu. Singkatnya, kami tidak memiliki waktu lebih banyak dibanding mereka.
Tapi, sekarang aku sadar bahwa kami tidak bisa dibandingkan dengan mereka. Karena treatment dan posisinya berbeda. Tapinya lagi, yang membuatku sesak dada adalah ketika kami benar-benar dianggap berbeda yang dalam artian bukan sesuatu yang istimewa, melainkan sesuatu yang ‘kecil’. Ah, ini tega sekali jika aku mendeskripsikannya dengan gamblang mengingat aku juga bagian dari yang ‘kecil’ itu.
Setidaknya aku bisa sedikit berbangga diri (bukan untuk sombong) jika suatu hari lagi-lagi aku melihat sikap orang yang membanding-bandingkan anak reguler pagi dengan anak reguler sore. Anak reguler sore nyatanya telah memiliki pengalaman yang jauh lebih kaya. Bukan melulu soal teori, tapi apakah ada skill yang bisa dipraktekkan di kehidupan nyata?
Hidup ini rupanya benar-benar sebuah persaingan. Semua berlari, berlomba-lomba mendapatkan pengakuan, ada yang sedikit berhasil, ada yang nyaris lupa dengan dirinya sendiri. Manner, sikap, perilaku, hal-hal sepele yang lebih sering tertinggal di belakang.
Kita sama-sama belajar. Aku yang akan lebih merenungi ini.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Pra Model United Nations (MUN)
Baiklah, dua hari ini aku dapat sesuatu yang baru. Dari tanggal 5, aku menghadiri acara Pra MUN di kampus, yang mana ada dosen-dosen muda dan mahasiswa dari Universitas Katholik Parahyangan (UNPAR) yang menjadi mentor di acara tersebut. Sesuai namanya, Pra Mun ini semacam sosialisasi dan simulasi sebelum MUN itu sendiri yang akan diadakan tanggal 20 Januari nanti. MUN di sini menjadi kegiatan praktikum season 2 di kampusku. Untuk yang belum tahu, MUN itu kepanjangan dari Model United Nations. Di dalam MUN itu para mahasiswa berperan menjadi the delegate of country-nya masing-masing. Kebetulan aku mendapat negara Switzerland dengan peran sebagai non-state atau organisasi di dalam negara tersebut. MUN ini sama dengan simulasi sidang PBB. Nanti kita berpura-pura sedang mengikuti sidang PBB dengan satu atau dua isu yang harus dibahas. MUN kali ini akan membahas mengenai isu climate change. Memang tidak terlalu spesifik, sih, isu yang akan dibahas nanti. Akibatnya kami tidak mengadakan agenda setting saat sidang nanti. Masing-masing delegasi diharuskan membuat position paper yang berfungsi sebagai dasar kita speech di depan delegasi-delegasi lain. Isi dari position paper itu sendiri pertama kita menyebutkan topic and country background yang menyebutkan kondisi umum iklim di negara kita. Sampai di bagian akhir position paper itu kita menuliskan resolusi apa saja yang kita keluarkan untuk menangani perubahan iklim di negara kita. Resolusi tersebut harus sesuai dengan peran kita, government atau non-government. Setelah punya position paper, kita bisa dengan mudah menyuarakan apa saja resolusi kita untuk isu climate change. Hari pertama Pra MUN, kami—aku dan mahasiswa lain—dijelaskan soal Rules of Procedure (RoP) secara rinci. Pemimpin sidang MUN disebut Dais, dimana Dais ini terdiri dari beberapa pejabat yaitu: Chair, Director, dan Rapporteur. Chair adalah orang yang sangat mengerti RoP dalam MUN. Dia yang memimpin sidang dengan ketukan gavel (palu kecil) sebagai simbolnya. Director yang paling bertanggung jawab dalam substansi debat/sidang tersebut. Dia akan membantu para delegasi dalam membuat working paper dan draft resolution. Sedangkan Rapporteur bertugas merekam jalannya sidang dalam catatan atau notulensi, membantu roll call (absen delegasi) dan menghitung jumlah voting. Kemudian ada juga yang namanya Pager, dia membantu menyampaikan pesan dari satu delegasi ke delegasi lain. Misalnya, aku the delegate of Switzerland ingin menyampaikan sebuah pesan ke the delegate of Cameroon. Pesan tersebut tidak boleh diucapkan langsung selama sidang berjalan, melainkan harus dicatat dalam sebuah kertas kecil yang sudah disediakan. Kertas kecil yang berisi pesan tersebut dinamakan noting. Noting itu akan disampaikan oleh Pager ke orang yang dimaksud. Kemudian para mentor juga menjelaskan secara rinci mengenai flow of committee session. Banyak sekali istilah-istilah asing yang mereka sebutkan. Aku sempat limbung karena penjelasan mereka yang sedikit cepat dan terlalu banyak orang di ruangan. Pasalnya memang aku tidak biasa belajar dengan kelas penuh. Paling banyak hanya 10 orang. Dan, terbukti lebih efektif untuk menyerap penjelasan dosen. Di hari kedua, kami dijelaskan mengenai cara-cara pembuatan working paper dan draft resolution. Singkatnya, working paper itu corat-coret yang dibuat saat kita beraliansi. Di tengah-tengah sidang, ada motions (mosi) yang disebut dengan unmoderated caucus. Para delegasi dibolehkan beraliansi dengan delegasi lain untuk merundingkan resolusi apa saja yang akan diciptakan. Saat beraliansi, para delegasi diharapkan tahu delegasi mana yang sekiranya bisa cocok dengan apa yang kita inginkan. Dan, kami dianjurkan membuat resolusi yang sekiranya dapat dilakukan oleh banyak negara. Dengan begitu kemungkinan besar kita akan mendapatkan voting lebih banyak. Tentu saja, dengan banyaknya suara yang setuju dengan resolusi kita, maka resolusi kita menang dalam sidang dengan status passed (disetujui untuk menjadi resolusi baru). Working paper ini nantinya akan diubah ke dalam draft resolution untuk menjadi sebuah catatan yang resmi karena memiliki formatnya sendiri. Draft resolution tersebut setelah divoting baru bisa diberi status passed atau tidak. Tidak terlalu rumit sebenarnya. Dan, aku pikir juga tidak akan terlalu sulit. Tapi, buatku yang menjadi kendala di MUN nanti adalah….you can’t used local language! Only 2 options in this debate: English or English only. And local language only can used in greetings. MUN atau debat-debat dalam HI tidak menggunakan bahasa Inggris biasa. Bahasa Inggrisnya formal, baku, ‘Inggris politik’, bukan daily English. Jadi, begitulah kira-kira Pra MUN yang aku ikuti.
3 notes · View notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Mon, Kamu Pasti Senang dan Tenang.
Hari ini aku membaca cerita baru. Cerita sederhana yang membuat menangis semua orang. Ini realita kisah cinta yang tidak lagi dilihat hanya di novel dan sinema.
Dia Monica. Meninggal pada 29 Desember 2017 karena sakit typhus. Menurut kabar, dia mengalami kejang-kejang hebat sampai gagal untuk bernapas. Baru sekitar tiga harian ia di rawat di rumah sakit.
Monica adalah teman sekelasku sewaktu SMP kelas 9. Aku tidak begitu mengenalnya, hanya sekadar teman biasa. Kekasihnya, Dwiki, teman sekelas juga. Mereka bersama-sama sampai Monica menghembuskan napas terakhirnya. Aku melihat sebuat potret di Instagram. Dwiki yang memakai peci hitam dan selop adidas putih berada paling depan rombongan yang membawa jasad Monica ke pemakaman. Bahkan, ia ikut membawa keranda Monica. Seorang bapak-bapak mengalihkan wajah Dwiki. Bapak-bapak itu seperti berkata, "biar saya saja yang bawa, Ki." Lalu Dwiki seperti menjawab, "tidak apa-apa, Pak. Saya saja."
Di bawah potret tersebut tertulis caption sederhana. Tulisan manis dari hatinya Dwiki. Kesedihannya, kepedihannya, ketidakpercayaannya, ketabahannya.
Kamu bisa gambarkan bagaimana rasanya membawa keranda yang berisi orang yang kita amat sayangi?
Mon, kamu pasti senang dan tenang dihantarkan langsung oleh lelakimu.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Coffee Break: Sepeda Roda Dua
Noni : “Apa ini artinya kamu salah jatuh cinta?”
Raya : “Tidak. Justru aku sebenar-benarnya manusia yang jatuh cinta. Mungkin sasarannya yang salah. Belum tepat. Bukankah untuk lancar naik sepeda roda dua kita harus jatuh dulu? Bahkan kita berpikir dengan naik sepeda roda empat saja sudah bisa dibilang mahir bersepeda. Padahal bisa lebih dari itu, asal mau jatuh dulu. Kukira dia sudah mencukupi segalanya. Tapi, ternyata ada seseorang yang mampu mengisi ruang yang kupunya berikut celah-celahnya. Walaupun aku harus patah hati dulu sebelum menemukan si sepeda roda dua itu.”
Noni : “Naik sepeda roda dua lebih menyenangkan walaupun sepeda roda empat tidak memiliki banyak resiko.”
Raya : “Menantang! Setiap hari adrenalin terpancing. Bagaimana caranya menjaga keseimbangan. Mungkin sesekali akan terjatuh. Lutut lecet, kaki terkilir, kepala terbentur pohon, atau bisa terlempar ke empang. Selama sepeda itu tidak patah, dua rodanya masih pada satu rangkaian yang sama, itu cuma jadi peristiwa penghias memori.”
Noni : “Menarik.”
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Ada yang Kembali Pulang
Aku mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa malam ini. Penghujung liburan akhir tahun. Di saat orang-orang menyalakan lilin menunggu Mesias, pesta makanan besok siangnya, memakai rok, celana katun dan topi segitiga merah, aku mendekam di kamar selama tiga hari. Aku tetap mandi dan makan, bahkan memasaknya sendiri untuk mama juga. Sebotol minuman isotonik dan setengah bungkus biskuit lapis menjadi pengisi celah ketika mata perih dan punggung pegal akibat terlalu sering bersandar.
Begini. Pasalnya aku senang sekali. Ada sesuatu yang kembali pulang. Sesuatu yang ternyata telah lama hilang dan sebelumnya aku tidak tahu itu apa. Setelah ia kembali, barulah aku tahu yang hilang itu.
Aku tidak mau menjelaskannya dengan satu kalimat begitu saja. Aku memilah istilah, mencoba mengabstraksikan sesuatu itu, supaya ini tidak menjadi sebuah tulisan yang klise. Bukan maksudku menjadikannya tidak sederhana. Justru ini adalah sesuatu yang sederhana setelah kamu tahu apa maksud sebenarnya.
Aku buru-buru menuliskan ini sebelum mengerjakan tugas paper yang sama sekali tidak ingin kukerjakan. Ide itu bersayap.
Baiklah. Ini dia yang hilang.
Gairah.
#
Satu semester terakhir menjadi momen di mana tubuhku bergerak lebih gesit dari biasanya, otakku berpikir lebih keras dari sebelumnya, dan tidurku lebih memakan waktu banyak. Sama hitungannya dengan banyaknya buku yang terlewat, tempat rekreasi yang tersingkirkan, dan teman-teman lucu yang terabaikan. Oke, partikel ter- tidak cocok untuk ini. Sebab aku melakukannya dengan sengaja. Aku asik dengan aku yang ini—aku si Robot. Atau asik yang dipaksakan ya? Kesibukan duniawi membuatku tidak ingin bersenang-senang. Karena memang tidak ada yang menarik untuk aku lakukan. Tidur adalah predikat yang tidak termasuk di dalamnya. Lelah, penat, pegal-pegal, semua kuobati dengan tidur.
Aku kira libur Natal ini adalah waktu yang tepat untuk meregangkan otot. Tertawa lebih keras, berkata kasar, menyembunyikan sebelah sepatu orang, mengejek kejelekan teman, atau membuat ungkapan sarkasme. Lagi-lagi tidak. Sebuah buku di rak yang mencuri perhatianku. Buku itu berwarna hitam dengan judulnya yang berwarna biru mengilap. Ada jaring laba-laba di depannya yang juga mengilap. Buku itu nyaris 2 tahun menjadi asuhanku walau sempat dipinjam orang dengan waktu—sangat—lama. Akhirnya aku membuka bagian testimoni buku tersebut. Yang menarik buatku adalah kata-kata Sujiwo Tejo. Begini katanya:
“Mereka yang karena kebiasaan lama terlalu membedakan fiksi dan nonfiksi, mungkin kecewa dengan buku ini. Tapi, tidak bagi yang selalu bergairah menyongsong segala hal yang tumbuh.”
See? Gairah.
Kemudian aku semangat melanjutkannya ke daftar isi, bagian puisi pembuka, dan mulai ke kepingan pertama: Yang Ada Hanyalah ADA.
Aku tidak akan menulis resensi untuk buku tersebut. Nyatanya aku tidak tertarik menulis resensi atau review untuk buku apapun yang sudah kubaca. Cukup dengan bilang: buku itu penuh magis, dan kamu boleh membacanya kalau kamu tertarik dengan magis. Ada yang percaya lalu meminjamnya, ada yang buang muka dan memilih judul lain di rak bukuku.
Lalu, apa itu gairah yang kumaksud?
Aku lupa kapan terakhir kali membaca buku seharian penuh. Atau bahkan dari pukul delapan malam sampai pukul tiga shubuh. Aku lupa kapan terakhir kali waktu istirahatku di kantor dipakai untuk baca buku, bukan untuk tidur atau mengerjakan tugas kuliah. Aku juga lupa kapan terakhir kali aku pergi ke tengah kota naik bus atau kereta hanya untuk menghabiskan beberapa bab yang tanggung jika diberhentikan. Aku lupa karena rasanya sudah beberapa abad yang lalu. Tidak, ini bagian hiperbolaku.
Mungkin setahun lebih. Apakah itu namanya hampa atau kosong? Bukan keduanya kukira. Jika memakai salah satu dari dua diksi itu aku seperti merendahkan diriku sendiri. Menempatkan tubuhku di kasta paling bawah. Aku adalah tanah tempat piramid berdiri, bukan bagian dari piramid itu sendiri. Jadi, aku ini apa?
Bukan aku yang mau kusandingkan dengan gairah itu. Melainkan sebuah kondisi.
Malam ini aku berhasil menamatkan buku jaring laba-laba itu. Bonusnya, sesuatu yang hilang kembali pulang. Menjadikan aku sesuatu yang utuh, sempurna. Dan, aku berhasil mencapai kondisi di mana aku merasa lebih hidup. Aku terbangun. Membaca tanpa berhenti karena merasa ceritanya tidak patut digantung. Ia harus selesai dalam waktu yang sama. Bertemu dengan banyak diksi asing dan mengeksekusinya di tengah-tengah paragraf. Lalu sesegukan di pojok kamar. Pindah ke ruang tamu karena kegerahan. Membuka lebih banyak keping-keping dan menggenapkan cerita si penulis dalam kitab roman sainsnya. Voila!
Inilah gairah yang kumaksud.
Hal yang membuatmu hidup bukanlah sebuah material. Wujud dalam bentuk padat yang memiliki value untuk menyokong keberlangsungan rumah tangga bisa binasa, menjadi material mati yang tidak bermakna ketika value itu terkikis. Sementara dirimu selalu butuh hal-hal sentimental, kebutuhan fundamental setiap manusia untuk bergerak. Aku, atau siapapun, bukanlah robot yang bisa disetir kapan saja dan ke mana saja. Hati bisa menolak, bisa juga mendorong lebih cepat bergerak. Gairah.
Liburan telah berakhir. Besok aku dan robot-robot lainnya kembali bergerak berkat remote. Tapi, mungkin kamu bisa mengundurkan diri dari peranmu sebagai robot. Melibatkan gairah untuk bergerak, dengan menolak atau mendorongnya lebih maju. Berbahagia atas kendali gairahmu dan dengarkan semesta bernyanyi lagu gembira kali ini.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Es Kopi dan Diskusi Soal Penerimaan Baru
Aku tidak tahu apakah kami termasuk orang-orang idealis atau bukan. Jelasnya, pandangan kami itu nyaris mirip. Dan, kami sepakat bahwa sebab-musabab dari kesendirian kami selama ini adalah belum ditemukannya sebuah penerimaan baru. Mungkin aku bisa dibilang mulai hebat menerima suatu penerimaan dalam kenyataan pahit di keluarga. Tapi nyatanya aku belum benar-benar berdamai dengan penerimaan.
Setelah berdiskusi lebih kurang dua jam setengah, aku dan Bu Rini ditemani es kopi sanger buatan Faisal yang ternyata sangat enak, ada sesuatu yang membuatku sadar akan hal itu.
“Aku sampai di usia kepala empat, belum tahu siapa yang bisa kumaklumi kekurangannya ketika dia tidak sesuai dengan kriteria yang kutentukan.” Dia menyeruput es kopinya dan menimbulkan suara yang renyah. Aku spontan mengikuti gerakannya dan ikut membuat suara seruputan yang renyah juga. Dia melanjutkan.
“Mungkin selama ini aku masih sering menolak mereka yang tidak ideal dengan pikiranku. Karena yang ideal menurut pikiranku adalah bapakku sendiri.”
“Seperti apa bapak Burin memangnya?”
“Paham betul cara mengasuh anak, banyak tahu sejarah, tahu politik, bisa main kecapi dan gamelan lainnya, mengerti budaya deh.”
“Multi talenta.”
“Kesempurnaan yang menurutku sendiri memang tinggi. Dan, aku tidak pernah pergi dari sana.”
“Tapi pernah nggak Ibu merasa bahwa Ibu terlalu idealis?”
“Pernah.”
“Lalu? Apa yang Ibu lakukan setelah sadar?”
Aku tahu ini sesuatu yang sangat menarik. Mendengarkan pernyataan dari seorang penganut idealisme yang menyadari bahwa dirinya memiliki stratum tersendiri. Dan, aku pikir ini tidak mudah untuk bersosialisasi.
“Aku mencoba mengubah beberapa pandangan. Menerapkannya di lingkungan. Tapi ketika aku berpindah ke lingkaran lain, semua terulang lagi. Pikiran-pikiran yang semula kuanggap benar dan kuubah ke pandangan baru, ternyata semua berbalik kembali. Aku tetap pada apa yang kulihat dan kuyakini di awal.”
“Ada istilah keren untuk fenomena itu nggak ya?”
Kami tertawa.
Ketika jatuh cinta pada pandangan pertama, biasanya orang merasa kagum, merasa orang itu adalah separuh dari dirinya, atau merasa bahwa orang itu adalah sebagian dari dirinya yang hilang. Sama seperti aku ketika mendengar cerita Burin. Aku merasa bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya itu juga terjadi denganku. Singkatnya begitu.
Beberapa kali aku mencoba mengutarakan apa yang aku pikirkan dan apa yang aku lihat. Niat itu sebenarnya semata-mata untuk mencari pembenaran atau sebuah interupsi. Tapi, kenyataannya memang lebih banyak interupsi yang kudapat. Mereka lebih sering protes dan berusaha membelokkanku pada anggapan mereka sendiri.
Sebenarnya bukan tidak ingin mengikuti mereka. Hanya saja…apa ya? Pernyataan-pernyataan yang ada di lingkaranku rasanya terdengar sama. Tidak ada warna yang mencolok. Terlalu klise. Seperti sebuah pertanyaan soal kenapa kamu ingin cepat-cepat nikah? Jawabnya, karena umurnya ketuaan untuk ukuran perempuan. Atau, kenapa kamu tidak pilih topik yang lebih menarik untuk penelitianmu? Jawabnya lagi, karena yang penting cepat lulus.
Oh, please. Can you tell me why by the other side, Troops?
Pada dasarnya tidak ada jawaban yang memuaskan menurutku. Berangkat dari sana, aku semakin tidak yakin untuk membicarakan isi otakku sendiri. Semacam takut dinilai terlalu keukeuh, mungkin? Atau semacam ragu-ragu orang lain akan bisa memahami apa yang aku pikirkan.
“Akan ada hari di mana kita menerima kekurangan seseorang yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kita akan menemukan sebuah penerimaan baru. Begitu, kan, Burin?”
“Yap! Kita sama-sama percaya dengan hari itu.”
“Hari di mana kita jatuh cinta dengan kekurangan.”
Kami berdua tertawa. Mengambil gelas kaleng di meja kami dan meneguk habis es kopi di dalamnya.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Lelaki yang Satu Kelas dengan Jordi
"Kamu sekelas dengan Jordi?"
Akhirnya aku seperti menemukan pintu baru. Celah penghubung dengan laki-laki yang merasa paling tampan sekecamatan itu. Laki-laki yang telah membuat dua temanku teriak-teriak di rumahku seperti orang gila. Mereka gila karena jatuh cinta dengan Jordi. Atau, Jordi yang kelewat gila memancing dua perempuan sekaligus.
"Iya sekelas, Mbak."
Aku tahu sekilas tentang orang ini. Sedikitnya beberapa kali pernah bertemu. Hanya saja tidak saling sapa. Tapi kami saling tahu nama.
Aku melihatnya sedang duduk-duduk di samping rimbunan bougenville. Di tangannya terbuka sebuah buku merah atau lebih pantas disebut kitab tentang dialektika. Dia mendongak melihatku yang berdiri di sebelah kanannya, tidak terlalu jauh. Tidak lama kembali beralih ke kitabnya.
"Mbak? Kamu serius?"
"Memangnya kenapa? Kan, perempuan."
"Memang benar, sih." Aku berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi, apa kamu nggak kenal aku?"
Dia mendongak sekali lagi. "Kamu punya tuntutan untuk nama panggilanmu?"
Aku hampir tertawa mendengar jawabannya. Ia seperti acuh tak acuh. Mungkin menurutnya aku ini mengganggu waktu bacanya. Karena setelah ia bicara, ia langsung kembali membaca dan tidak melihatku lama-lama.
"Aku akan tetap memanggilmu 'Mbak' dan kamu bisa pergi ke lantai dua sekarang karena di sana ada Jordi."
Aku tertohok dengan usiran halusnya. Akhirnya aku menurut dan pergi tanpa bilang terimakasih. Membiarkan laki-laki itu bermesraan dengan kitab merahnya.
Beberapa meter dari rimbunan bougenville, aku membalikkan badan. Ia masih dengan posisi tubuh yang sama. Matanya menatap tajam runtutan huruf di depannya. Lalu, seperti merasa sedang diperhatikan, ia menoleh ke arahku. Daripada aku terlihag salah tingkah, aku berputar dan melanjutkan langkah ke lantai dua.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Belakang Kursi
Di suatu hari, kamu ada di kursi yang berbeda. Aku di belakangmu, tidak lagi di sisi kirimu. Sesekali kamu menoleh ke belakang, ke temanmu. Sementara aku agak jauh di belakangmu, bahkan di belakang temanmu. Keadaan berubah semenjak itu.
Dan, entah kenapa harapanku makin hilang atas awan putih yang kuharap bisa kembali datang. Nyatanya detik ini aku lagi-lagi berduka. Harapan sudah mati beribu. Belum lagi lusa aku pergi. Tidak lagi bertemu dengan kamu, melihat bentuk kepalamu dari sisi kiri, atau mendengar pertanyaanmu yang kritis. Aku nyaris menghilang, antara dipaksa dan kemauan sendiri untuk hilang. Kamu begitu jauh. Aku yang telah lama tertinggal.
0 notes
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Bicara Sendiri
Aku nggak bisa naik gunung. Fisikku buruk, makin besar makin memburuk. Mungkin karena jarang sekali olahraga. Aku juga nggak tahu banyak soal sejarah. Sering baca buku sih, tapi dipikir-pikir aku punya apa dari hasil membaca? Intinya, aku biasa aja. Tidak ada sesuatu yang menarik. Barangkali kamu setuju. Jangan memujiku berlebihan ya. Suatu saat takutnya kamu kecewa. Banyak yang nggak sadar ia mengeluh dan menyesal ketika nggak bisa menguasai emosi. Takutnya kamu sejenis dengan mereka.
Kalau ada yang bilang, "aku yakin kamu bisa karena aku tahu kemampuanmu, Re", aku makim nggak yakin sama diriku sendiri. Pun aku nggak pernah tahu kemampuanku setinggi apa. Bisa-bisanya orang lain lebih tahu aku dibanding tubuh ini.
1 note · View note
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Dipaksa Belajar Fisika
“Nis, hari ini aku mulai baca Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh lho. Bukunya Budi Darma sih udah habis setengahnya. Ah, toh cuma kumpulan cerpen. Nggak tamat pun yo ndak papa kan ya? Aku lupa kapan terakhir baca bukunya Dee. Kalau nggak salah ingat, waktu SMK deh. Itu pun nggak benar-benar dibaca. Nah, hari ini aku mau serius baca bukunya dia. Dan, aku ingin menjerit!
Aku amati setiap kata per kata. (Kata lho ya, bukan paragraf apalagi halaman). Saking ingin memahami Dee. Sampai di halaman 5, aku kayak dipaksa belajar fisika dari Einstein! Dan, mendadak jadi ahli bedah bahasa karena setiap baca satu kalimat, ada aja satu kata yang aku ketik di laman KBBI Online. Demi Tuhan, Nis, ini nggak bakalan bisa selesai satu bulan.”
Di komputerku ada beberapa tab yang terbuka. Aku membaca fisika kuantum, teori relativitas, analogi turbulensi, paradigma reduksionisme, dan situs KBBI Online. Selama aku kuliah Hubungan Internasional, memang tidak pernah mendengar istilah-istilah itu. Paradigma yang ada di ilmu HI sedikitnya berbeda dengan apa yang dimaksud Dee dalam bukunya ini.
Buku Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh atau KPBJ ini sejujurnya aku beli pada 27 Februari 2016. Nyaris 2 tahun. Tapi, buku ini lama sekali mengungsi di lemari orang lain (entah mungkin bukan lemari, bisa saja ia menyimpannya di kolong spring bed). Setelah satu tahun setengah kemudian dikembalikan, aku terpikir untuk membacanya selang waktu 3 bulan. Tepat di hari aku menulis ini, aku selesai membacanya hingga halaman kelima.
Kenapa setelah hampir 2 tahun muncul rasa ingin membaca KPBJ? Karena aku merasa ingin baca buku, tapi tidak tahu mau baca apa. Itu sederhananya. Tapi, di sisi lain aku sadari bahwa dalam buku itu ada magis yang sukses menarikku hingga halaman kelimanya. Dan, aku belum mau menyerah meskipun aku harus belajar fisika. Hem.
Nisa kemudian menjawab, “Demi apa kamu baca buku berat begitu. Aku aja soak baca itu mah.”
Kemudian aku melanjutkan ke halaman 6.
1 note · View note
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Aku yang Selalu Berada Di Sisi Kirimu
Aku yang selalu berada di sisi kirimu. Mengamati di sela-sela menitan yang berjalan. Gerak tangan dan punggungmu yang sesekali turun. Pulpen yang kadang dipegang, kadang dibiarkan. Mata yang tidak beranjak dari papan tulis. Seperti tidak tertarik dengan yang kamu amati, tapi nyatanya telingamu begitu tajam. Kalau begitu, apa kamu bisa dengar detak jantung aku?
Kursi kita berjarak tidak begitu jauh. Atau pernah aku sedikit di belakangmu, kamu juga pernah sedikit di belakangku. Satu hari kita sejajar, terhalang jarak untuk berjalan orang-orang. Aku tetap mengamati punggungmu yang lebih terlihat tulangnya dibanding daging. Tidak apa, kamu tetap menarik dan tetap jadi yang kudo'akan.
Do'anya adalah supaya kamu cepat-cepat dicabut Tuhan dari hidupku. Karena lusa aku dan kamu tidak akan lagi bersisian. Aku tidak akan lagi mengamatimu dari kirimu. Aku hampir selesai, perkuliahan ini nyaris berakhir. Aku akan lupa badanmu yang hanya tulang, kumismu yang tipis, dan buts cokelatmu. Aku juga berdo'a supaya aku tidak lama-lama menyimpanmu dalam hati. Supaya disegerakan untuk melupa.
Menghapus awan, meniupnya hingga bagian selatan bumi.
1 note · View note
cumulusnimbus-blog · 7 years ago
Text
Aku yang Berubah, Kata Mereka
Kami sama-sama memesan roti isi ayam dan keju. Kemudian aku memesan es moka dan ia memilih pepsi. Udara sejuk sehabis gerimis yang cukup lama membuatku memilih duduk di dekat parkiran, di meja merah berpayung besar. Aku membuka beberapa pesan masuk. Kemudian mataku beralih ke jalanan. Pada motor dan mobil yang sibuk bergerak ke tujuannya.
“Kamu pernah jatuh cinta nggak sih? Delapan tahun berteman, kamu belum pernah bercerita soal laki-laki atau kapan kamu jatuh cinta.”
Mae tersedak saat kuajukan pertanyaan tersebut. Ia tertawa dan mengelap mulutnya dengan tisu. Aku tahu responnya akan seperti itu. Bukan sebuah pembahasan yang menarik baginya. “Pernah. Aku suka seseorang, dua bulan kemudian udah hilang aja gitu perasaannya. Jadi nggak penting juga kalau kuceritakan.”
“Kenapa bisa begitu?”
Mae diam agak lama. “Aku sering nggak pede.”
Nyatanya ia memang bukan orang yang selalu bercerita soal laki-laki atau membahas kisah-kisah roman fiksi. Kemudian aku mengajukan pertanyaa lain, “Pernah nggak kamu merasa mendadak malas berkomunikasi dengan orang, enggan menyapa mereka, berhenti kepo, atau nggak ingin peduli dengan mereka?”
“Dasarnya kan aku ini pemalas, Re. Kayak yang nggak kenal aku saja”, timpalnya kemudian tertawa lagi.
Sesungguhnya aku pernah merasakan hal itu—atau tengah mengalaminya saat ini. Perlahan aku tenggelam dari grup chatting online. Tidak bertanya saat salah satu teman melakukan perjalanan. Dan bahkan tidak mengucapkan bela sungkawa saat kakeknya temanku meninggal dunia. Mendadak tidak ada keinginan sama sekali untuk berbasa-basi dengan orang. Tapi, mengucapkan turut berduka harusnya bukan sebuah basa-basi ya?
“Kenapa kamu bisa begitu?” tanya Mae.
Aku menatap jalanan lagi. Memperhatikan Freed silver impianku yang berjalan lambat. Kemudian lenyap di kejauhan. Langit agak abu bekas gerimis. Angin masih bertiup kencang. Dan aku masih bergeming memikirkan alasannya. Aku kenapa ya?
Gelas plastik kami tinggal tersisa bulir-bulir air. Setelah membagi uang kembalian, kami bergerak ke parkiran. Aku pulang dengan sisa-sisa pertanyaan yang masih belum ada jawabannya.
Malamnya, Lauvrien menghubungiku. Aku terkejut saat tahu apa yang ia utarakan adalah rasa kecewanya yang tertumpuk beberapa hari lalu. “Aku cuma bilang ini sama kamu, Re. Tapi, aku nggak tahu kenapa. Spontan aku mencari kontakmu tadi. Setidaknya kamu yang paling peduli daripada yang lain.”
“Mungkin aku spesial?” Lalu kami tertawa bersama.
Kata Cici—begitu aku memanggilnya—ia kecewa karena tidak ada satupun teman-temannya yang datang saat ayahnya meninggal tiga hari yang lalu. “Aku terpana saat kamu mengirimiku puisi. Terimakasih untuk simpatimu.”
“Tapi aku nggak datang, aku nggak ada di sisimu, Ci. Dan, aku kecewa dengan diriku sendiri.”
Aku tidak tahu kenapa aku tidak datang di hari itu. Aku cuma mengiriminya pesan singkat dan membuatkannya puisi tanda duka. Lalu melanjutkan mengerjakan paper dan pergi ke undangan pernikahan teman besoknya. Selesai, tanpa rasa ingin menyempatkan datang. Mungkin tidak sempat, atau mungkin benar-benar tidak ingat. Dan, aku tahu rasa kecewa Lauvrien juga ada separuh untukku.
Aku kenapa ya?
Hari ini aku mengerti sesuatu. Ketika keadaan mengubahku menjadi pribadi yang lain, memaksaku menjadi pendiam dan pendendam, menyulap warna-warna cerah menjadi abu. Aku tidak bisa memanjakan kesedihan dan keterpurukan. Putus asa tidak seharusnya diberi pupuk. Harus dipangkas dan diganti dengan bibit baru untuk menumbuhkan harapan lain, harapan baru.
Nyatanya banyak yang menganggapku berubah. Kebanyakan juga kecewa, sedih, menungguku kembali jadi seperti yang dulu, katanya. Kemudian mereka belajar bahwa ada masanya seseorang menjadi benar-benar tidak peduli dengan apapun. Tapi, aku lupa bahwa aku harusnya juga belajar menerima. Kehilangan-kehilangan dan jatuh-jatuh yang kualami tidak seharusnya kugenapkan dengan menghilangkan mereka.
Mereka yang masih mencinta dan berharap dariku. Sebelum sempat aku berpikir bahwa aku bukan seseorang yang spesial dengan berbagai kehilangan dan jatuh yang berkali-kali terjadi. Melainkan aku ini justru istimewa dengan itu. Tuhan mau aku belajar. Dan, Tuhan memberi hadiah bahwa aku benar-benar spesial di hati mereka.
Sudah agak lama aku pergi dari titik yang menjadikanku Re yang mereka kenal. Aku sadari ini setelah semesta menampar melalui Lauvrien. Kemudian aku teringat kejadian-kejadian lalu dengan Sky. Kini aku benar-benar rindu Sarah dan Juni yang kini tengah hamil muda! I’ll got the Baby Sky.
Terimakasih, Bumi.
1 note · View note