dawatpena
dawatpena
Cerpen
1 post
Membagi Cerita Pendek
Don't wanna be here? Send us removal request.
dawatpena · 4 years ago
Text
Si Veteran
Hampir saja aku ketinggalan kereta menuju Surabaya. Stasiun Yogyakarta penuh sesak. Entah karena orang-orang memang berniat untuk pulang ke tempat asal atau hanya sekadar liburan. Alasan pertamalah yang membuatku naik kereta api. Sudah lebih dari setahun aku tidak bersua dengan keluarga. Pandemi sialan masih menghantui pemerintah untuk menyetop segala transportasi ke arah timur.
Sesampainya di tempat duduk aku masih mengecek segala barang bawaan, meskipun aku tidak akan turun jika masih meninggalkan barang penting di kos. Beruntung aku masih mendapat tiket tempat duduk di pinggir jendela, tempat favoritku. Aku akan merasa jengkel jika selama delapan jam tidak bisa melihat pemandangan ke luar.
Seorang kakek renta yang jalannya menggunakan tongkat dan tertatih-tatih duduk di sebelahku. Kakek mengenakan baju bergaris abu-abu, peci, dan celana cokelat panjang sampai mata kaki. Dia merunduk ketika kami bertatap mata. Bahkan untuk tersenyum pun dia terlihat kesusahan. Dalam semenit dia bisa terbatuk beberapa kali. Aku menawarkan minum, tapi dia menolak. Sudah biasa seperti itu, katanya.
Mesin kereta mulai menggetarkan seluruh tubuh. Perlahan besi besar ini mulai bergerak meninggalkan stasiun. Kuperhatikan orang-orang yang masih berada di dalam stasiun menunggu kereta tiba.
Beberapa kali si kakek mengerling ke arahku. Rasa canggung tidak terelakkan. Aku mencoba tetap menatap ke arah jendela. Namun tetap saja kakek tidak berpaling dariku. Aku memberanikan diri untuk menatap kakek, dan ternyata aku sudah salah paham. Si kakek dengan mata berkaca melihat ke arah jendela sembari tersenyum tipis.
“Kakek ingin berpindah tempat denganku?” tawarku, entah kenapa aku merasa iba dengan cara pandang kakek yang terus-terusan menatap jendela. Sawah, rumah warga, gedung, dan barisan para manusia di lampu pemberhentian kereta begitu menarik untuknya.
“Jika kau tidak masalah, aku akan menerima tawaranmu.” Kami pun akhirnya berpindah tempat. Aku tuntun terlebih dahulu si kakek sampai dia duduk. Kereta mengguncang begitu kasar membuat kakek kesusahan untuk berdiri lebih dari sepuluh detik.
Sekarang si kakek memandang jendela tanpa melihat sekeliling seakan di naik kereta hanya untuk melihat pemandangan.
“Ada yang menarik, Kek?” tanyaku. Tidak kuasa aku menahan rasa penasaran.
Kakek beringsut. Air mata samar mengalir melalui kulit keriputnya. Segera aku tawarkan tisu. “Kakek ingat sekali tempat-tempat ini. Di sini teman-temanku meninggalkanku.”
“Apa maksud Kakek?” Aku baru sadar ketika di kening bagian kanan wajah kakek terdapat sebuah jahitan sepanjang lima senti.
“Dulu Kakek adalah pejuang mempertahankan negara. Kakek melewati tempat-tempat ini untuk bergerilya. Membunuh dan dibunuh sudah hal lumrah. Betapa kejamnya aku dan mereka.”
“Kakek seorang pahlawan?” Rasa penasaranku semakin membuncah.
“Pernahkah kau melihat rupaku di buku pelajaran?” Aku menggelengkan kepala. “Berarti aku bukan seorang pahlawan. Kakek hanyalah remahan dari sekian banyaknya mayat yang harusnya tergeletak di tepian gedung bertingkat itu.” Kakek menunjuk salah satu gedung yang masih berlapis semen. Bangunan baru.
Kakek kembali menatap ke arah jendela. Kereta melaju begitu cepat sehingga tempat yang dilewati hanya seperti bayangan kabur. Aku membuka ponsel untuk mencari tahu sejarah tentang pertempuran di sekitar. Banyak sekali pemberontakan ataupun pertempuran melawam kompeni di tanah ini. Membuatku membayangkan betapa dahsyatnya kompeni ketika mencaplok seluruh wilayah tanah air. Negara kecil semacam itu bisa melahap negara kepulauan terbesar. Merinding aku seketika memikirkan perjuangan leluhur terdahulu. Suara kereta sudah bising bagiku, bagaimana jika suara itu berganti dengan suara meriam?
Mataku tidak bisa menahan rasa kantuk setelah belasan menit menatap ponsel sembari goyangan kereta yang tidak menentu.
***
Keributan membuat mataku membelalak tiba-tiba. Tangan keriput kakek sedang mencengkeram tangan seseorang di depanku. Tidak sadar ketika ponselku sudah terjatuh dari pangkuan. Seorang pemuda dengan wajah gemetar ketakutan melihatku bangun. Namun aku lebih tertarik dengan tangan renta mengeluarkan urat-urat. Kakek sekuat tenaga menahan pemuda itu agar tidak kabur setelah percobaan mencuri.
Segera aku pegang baju pemuda itu. Tidak lama kemudian petugas datang mendatangi kami. Kakek menjelaskan segala situasinya dengan runtut dan lama, bicaranya terbata-bata dan batuk membuatnya lupa tentang apa yang dijelaskan. Pemuda itu digiring menjauh layaknya seorang kriminil yang akan masuk ke penjara.
“Terima kasih, Kek.”
“Sudah seharusnya.” Dia terbatuk-batuk, dan kali ini lebih parah. Cengkeramannya sudah membuang banyak tenaga. Sebotol air mineral dan roti aku ambil dari dalam tas. Kakek tidak sungkan menerimanya. Langsung diteguknya dengan cepat sebotol air mineral tersebut.
“Tangan Kakek begitu kuat.”
“Sudah terbiasa membawa alat berat.”
“Apa Kakek juga termasuk tentara yang membawa senjata laras panjang?”
“Tidak hanya senjata aku bawa, puluhan mayat aku panggul dan kukuburkan.”
“Di mana Kakek menguburkan mereka?”
“Kita sedang melewati pemakaman mereka.”
Bulu kudukku tiba-tiba bergidik. Aku menjulurkan leher untuk melihat ke arah luar. Hanya jalan raya yang penuh dengan kendaraan aku lihat. Tidak ada satu batu nisan pun yang menonjol dari dalam tanah. Setelah itu hanya tanah lapang yang sudah ditandai markah Tanah Milik Pemerintah.
“Mereka sudah tertutup legamnya aspal, proyek pemerintah, dan kerikil rel yang berhamburan ke sana ke mari,” jelas kakek tiba-tiba.
Sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa. Tidak aku sadari jika aku sedang melewati tumpukan mayat yang sudah dilupakan orang modern sepertiku. Pikiranku berkelana jika saja di sekitar rumah, tempat aku bekerja, atau tempat biasa aku berkumpul dengan teman merupakan makam bagi para leluhur. Mungkin saja.
Sudah empat jam sejak kereta meninggalkan Stasiun Yogyakarta. Separuh perjalanan itu pula kakek masih memperhatikan jendela. Mulutnya bergumam seolah sedang memanjatkan doa untuk para leluhur.
Tiba-tiba kakek berteriak histeris menghilangkan lelap kantukku. Seluruh penumpang memandang ke arah kami. Kedua tangan kakek memegang dinding dan wajahnya menempel di jendela. Aku berusaha untuk menenangkan kakek dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Heran sekali ketika aku memerlukan tenaga ekstra untuk menarik kakek dari jendela. Seluruh genggamanku bahkan tidak bisa merangkul lengan kakek sepenuhnya. Kakek mulai tenang ketika akhirnya melewati tempat yang membuatnya histeris. “Ada apa, Kek?” Aku ulurkan botol mineral.
Dia menunjuk ke jendela, tapi mengarahkannya ke belakang. “Tempat itu, Nak.” Kakek menatapku. “Di tempat itu, aku dan teman-teman seperjuangan sedang bersembunyi di dalam parit. Namun sebuah peluru meriam sebesar kepala orang menghantam sekitar kami. Seorang teman kehilangan kedua kaki. Parit itu kemudian menjadi makam untuknya.” Kulihat wajah kakek yang penuh trauma. Dia mengeluarkan seluruh keberaniannya untuk menceritakan pengalaman perangnya kepadaku.
“Apakah Kakek marah karena mereka tidak dimakamkan di tempat yang seharusnya?”
“Tidak pernah sekalipun aku marah karena hal itu. Sampai matipun mereka masih berguna bagi bangsa dan negara. Mereka menjadi pupuk untuk menumbuhkan kehidupan yang lebih rindang.” Kakek berdeham. “Mati mereka lebih berguna ketimbang hidup kakek yang lari meninggalkan mereka, kembali ketika mereka tidak bernyawa.” Kakek mulai mengucurkan air mata. “Desing peluru membuatku ketakutan setengah mati.”
Aku menyentuh pundak kakek yang gemetaran. Tak kulanjutkan pertanyaanku yang membuatnya ke perasaan trauma. “Stasiun mana tempat pemberhentian Kakek?”
“Surabaya.”
“Kakek mengunjungi sanak keluarga di sana?”
Kakek mengangguk.
Kereta berhenti tepat di Stasiun Surabaya. Aku dan kakek membaur bersama orang-orang yang berhamburan keluar kereta. Barang bawaan terasa lebih berat ketika selesai perjalanan. Duduk selama delapan jam membuat seluruh tubuh terasa pegal.
Aku tuntun tubuh renta kakek. Orang-orang tidak memandang tua muda ketika ingin segera sampai ke tujuan. Setelah keluar dari pintu kereta, aku berpamitan dengan si kakek. Dia tersenyum kepadaku. Aku menengok ke belakang, tapi anehnya si kakek tetap terpaku di pinggir rel membuatku khawatir. Aku hampiri dia. “Kakek, kita sudah sampai di Surabaya, bukankah Kakek ingin keluar stasiun?”
“Tidak, Nak. Kakek akan kembali ke Yogyakarta.”
“Kakek naik kereta hanya untuk ziarah ke makam teman. Perjalanan yang menyenangkan. Terima kasih sudah mendengar cericau seorang kakek tua ini.”
1 note · View note