Kehidupan Sehari-hari - Renungan - Refleksi, dan Lain-lain
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Semburat Senyum di Wajahmu
Betapa aku masih saja mengagumi senyuman dan ekspresi jiwamu yang terpancar jelas, yang tidak seperti aku; berpikir dahulu akan mengeluarkan ekspresi yang mana.
Betapa bahagiamu begitu menenangkan; membuatku ingin tetap tinggal dan menjalani tanpa henti. Betapa bahagiamu begitu menghangatkan; sehingga lelah perlahan-lahan menjadi enyah.
Betapa aku begitu merindukan senyumanmu yang seperti kemarin. Tapi lalu sembari sedikit bertanya-tanya; apakah aku juga. Betapa kamu, dan senyumanmu, membuatku lagi-lagi mengucap syukur atas bahagia kita yang sederhana.
Dan betapa aku bisa merasa begitu dicintai oleh orang-orang yang mencintaimu. Dan betapa tidak bisa dipungkiri ada sedikit iri yang menyelinap erat atas kehangatan yang sudah lama tidak nyata.
Tidak ada kata yang lebih bisa menggambarkan betapa aku begitu bahagia, selain bahagia itu sendiri. Terima kasih Tuhan. Atas dia; atas menjadi bagian dari hidupnya. Atas bahagia yang begitu sederhana ini.
Dan atas hati yang mampu merasa bahagia dan hangat (lagi).
0 notes
Text
Kamu
Kamu itu candu; bersamamu aku ingin-ingin lagi. Kamu itu candu; aku aman, aku nyaman. Kamu itu candu; penuh ilusi. Katamu itu belati; bermata dua. Katamu itu belati; aman, sekaligus juga tidak. Katamu itu belati; mencambuk, sekaligus juga tidak. Kalau kamu candu dan katamu belati, maka aku adalah uap air; yang kadang hadir kadang tidak; yang kadang nyata kadang tidak; yang kadang membaru kadang tidak. Seperti yang kamu pernah bilang; aku layaknya kumpulan paradoks. Pada titik ini, aku akhirnya berhasil; mencerna tanpa terguncang; mengenai makna dan hakikat dari aku; yang paradoksikal. Aku adalah kumpulan reaksi dari potongan-potongan masa; kejadian. Aku adalah aksi sekaligus reaksi. Aku menjadi wujud dari kumpulan manifestasi nilai yang terpolarisasi. Aku ini penuh. Penuh akan kontradiksi, akan distorsi, akan ekspektasi. Penuh akan yang palsu; demi senang dan aman yang sesaat lalu. Aku adalah sebuah bom waktu yang sabar berdetak sekaligus petasan yang meledak-ledak. ------------------------------------------- Pada saat ini aku sedang berusaha meyakinkan diri; melepas kamu adalah pilihan terbaik yang aku punya. Bukan karena ingin berhenti mendekap, melainkan kebahagiaanmu yang tak henti aku harap. Aku masih akan begini; hilang lagi-lagi. Kamu yakin?
Bandung, 22 Februari 2018
0 notes
Photo

Conluding statements from experiences. Be fully. Be you. Embrace what makes you you. In the end, the only one person who loves you is you Bandung, 22 Februari 2018
0 notes
Text
Ketika sudah menulis panjang-panjang dengan niat besar dan berapi-api 'tuk mencurahkan dan menstrukturkan segala yang mencipta kegusaran,
tapi lalu lenyap sudah karena keserampangan menutup tabuler.
Aku ingin menyerah saja.
Bandung, 18 Februari 2018
0 notes
Text
Jatuh; Merupakan Cara Terbaik untuk Belajar
2017 merupakan yang terburuk.
Saya-kecil sering kali berpikir terkait kematian. Sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar, saya juga pernah diam-diam mengharapkan malaikat tiba-tiba datang dan merenggut apa-apa yang merupakan bagian dari diri saya. Kala itu, alasan saya satu, saya tidak ingin operasi gigi. Saya mempunyai satu gigi anomali yang bertumbuh di langit-langit. Karena saya takut darah dan bau rumah sakit, saya tidak ingin operasi. Sebuah alasan yang lucu bagi saya-sekarang untuk sebuah kematian, toh detik ini saya masih sehat walafiat dengan ia yang bertengger cantik di gusi saya.
Semakin saya bertumbuh (dan berkembang), pertemanan menjadi semakin kompleks. Saya tidak lagi bisa memahami bagaiman sebuah pertemanan berlangsung. Kala itu, hampir semua orang sedang berlomba-lomba menjadi populer. Saya yang tidak bertendensi menjadi populer dan tidak bisa memahami makna atas hal-hal yang populer, tersisihkan dari pergaulan. Satu per satu teman saya memilih lingkaran baru. Kala ini, saya-remaja memiliki tendensi yang berbeda (berkembang) atas kematian.
Semakin saya tumbuh, semakin berat dan besar peran (dan tanggung jawab) yang saya emban. Saya yang tidak terbiasa menyampaikan perasaan, menjadi kesulitan dalam berkomunikasi. Saya tidak membagi beban kepada orang-orang (teman-teman) yang seharusnya menjadi tempat saya berbagi beban. Hasilnya? Sebuah acara berhasil saya hancurkan. Tidak hancur dalam arti sebenarnya, tetapi apabila saya berbagi, saya yakin hasilnya akan jauh lebih memuaskan; lebih indah; lebih megah; lebih syahdu. Saat ini juga saya cukup hancur. Inilah saat ketika saya belajar bahwa selain ditutup rapat-rapat, saya juga harus bisa bersikap seolah saya baik-baik saja. Ya, saat ini adalah saat saya belajar untuk membohongi diri sendiri yang akan mempengaruhi hidup saya-sekarang. Bukan belajar mengafirmasi diri, saya justru belajar berkamuflase; seperti bunglon. Masa ini juga saya sempat berharap supaya saya tiba-tiba hilang. Belum, saat itu belum ada tendensi untuk melenyapkan diri sendiri.
Setelah mengalami hal yang beragam, yang menarik; tidak menarik; dan keduanya, saya akhirnya menjalani hidup pada tahun 2017. Akumulasi dari lingkungan (pertemanan, organisasi, institusi pendidikan, apapun), bagaimana orang tua saya mendidik (bersikap; baik kepada saya dan adik-adik saya, maupun terhadap dunia), dan terutama bagaimana berbagai saya bersikap terhadap berbagai realitas eksternal pada saat saya muda (peralihan menjadi remaja dan pada remaja itu sendiri), menjelma saya-2017. Bukan hanya menjadi bagian dari diri saya, tetapi menjelma menjadi saya; kepribadian saya. Menjadi hal yang terlanjur sulit diubah.
Akhir tahun 2016 dan sejak 2017, saya memendam terlalu banyak. Rumah yang seharusnya menjadi tempat saya berpulang, tidak lagi membuat saya ingin pulang. Rumah justru menjadi tempat terakhir yang ingin aku sambangi. Aku banyak berlari pada tahun ini. Orang tua, yang aku kira sangat mengerti aku, ternyata hanya melihatku sebagaimana mereka ingin melihat aku. Mereka tidak mendengar, tidak memberi ruang berdiskusi, dan yang terburuk adalah memerintah dengan bahasa yang begitu halus. Dalam buku Art of Loving karangan Erich Fromm (yang sayangnya baru saya baca pada tahun ini-2018), memerintah dengan bungkus yang cantik adalah bentuk cinta yang tidak sehat; tidak dewasa dan sangat berpotensi memberikan pengaruh pada sisi psikologis objek cinta tersebut (aku).
Sedikit demi sedikit, tidak pelan justru cepat, kepercayaan saya terhadap manusia hilang. Saya merasa tidak punya siapa-siapa di dunia. Saya ingin setiap manusia di dunia ini bisa mengerti diri saya tanpa saya bercerita; tanpa saya berusaha. Yang saya anggap tidak bisa mengerti diri saya, menjadi bukan teman (lagi). Walaupun sudah kehilangan kepercayaan, saya diam-diam tetap berharap akan ada orang-orang yang memahami jiwa saya yang kebingungan. Tidak lagi berharap pada keluarga dan teman-teman, saya berkonsultasi kepada profesional (psikolog). Tidak lama; saya hanya datang dua dari enam pertemuan yang dijadwalkan dan bahkan belum memperoleh hasil diagnosis karena pengujian belum terselesaikan. Pada masa ini, saya berkesimpulan, saya hanya bisa mengandalkan diri saya sendiri. Saya sendiri yang harus membangkitan diri.
Melepas kemungkinan untuk menjadi lebih baik dengan bantuan terapis, saya kembali terasing. Kematian tidak hanya jadi sekedar pengharapan, akhirnya pertama kali selama saya hidup, saya benar-benar berpikiran untuk menghilangkan jiwa saya (sendiri) dari muka bumi. Karena saya takut darah dan rasa sakit, saya memilih obat-obatan. Saat itu, saya sudah sampai pada riset kecil mengenai obat yang sebaiknya saya pilih. Saat itulah saya menangis sejadi-jadinya (dengan tanpa suara karena saya tidur bersama adik saya) dan meledakkan diri kepada kekasih saya melalui sebuah aplikasi messenger pada gawai saya. Tentunya, meledakan diri kepada kekasih saya tidak menjadikan saya lebih baik. Saya justru mendengar perkataan-perkataan yang tidak ingin saya dengarkan (karena intuisi saya sudah memperkirakan pada suatu saat saya harus menerima perkataan-perkataan ini, namun saya selalu berusaha berpaling). Setelah terlalu lama dipendam karena berusaha menjaga perasaan saya dan emosi saya yang meledak-ledak, kekasih saya akhirnya bilang juga. Ya, dia menyatakan dan mengatakan kepada saya, semakin ia mengenal saya, semakin ia yakin (dan kecewa) karena saya sangat sangat sangat self-centered. Saya terlalu fokus pada persepsi saya sendiri dan mempercayainya sedemikian rupa. Menjadikan realitas nyata begitu samar dengan menetapkan kebenaran hanya saya dan pikiran saya. Saat itu, Pada tahun 2017, saya-2017 hanya menanggapi dengan marah-marah dan kesal-kesal.
2018 membuat saya berjanji.
Tidak berjanji kepada orang lain. Saya hanya diam-diam berjanji kepada diri sendiri, sambil juga diam-diam kembali berharap kepada Tuhan (sambil kembali belajar mempercayai bahwa rencana Tuhan merupakan yang terbaik). Hal-hal yang rasanya telah begitu jauh sehingga cukup membuat saya kelimpungan mencari cara dan berubah menjadi saya-sebelum rusak. Sedikit demi sedikit, ternyata saya benar-benar menjadi lebih baik.
3 Februari 2018 (kemarin), merupakan saat, ketika pada akhirnya, saya bisa benar-benar yakin (kembali) atas rencana Tuhan. Lama sekali saya berbincang dengan Tuhan, dengan Tuhan yang menanggapi saya sembari tersenyum. Saya tidak bisa melihat atau pun meyakinkan orang lain bahwa Iabenar-benar tersenyum, tetapi hati saya menjadi begitu hangat pada saat itu juga sehingga saya begitu yakin Ia menanggapi dengan tersenyum. Ia menjawab berbagai kegelisahan saya dengan membuat saya kembali pada sosok saya-kecil. Atas berbagai pemikiran (terhadap dunia yang polos namun begitu jernih) dan imaji (terhadap diri-pada masa depan dan masa depan itu sendiri) yang begitu optimis, saya bersedih sejadi-jadinya. Betapa saya telah mengecewakan sosok kecil tersebut dengan tidak berusaha sedemikian keras, padahal ia sudah begitu mempercayai saya agar menjalani hidup dengan jiwa yang ‘hidup’.
Dengan mengingat harapan-harapan dan pikiran-pikiran polos saya-kecil, ternyata saya diberi pelajaran banyak sekali. Seolah dihantam begitu keras, kini saya sadar, tahun 2017 tidak seburuk yang saya persepsikan pada saat itu. Tahun 2017 menjadi buruk karena saya mempersepsikan berbagai hal di dalamya sebagai keburukan. Dan walaupun tidak seburuk itu, tahun 2017 memang tepat jika dinominasikan sebagai tahun terburuk saya selama 23 tahun hidup.
Dengan berat hati, saya menyatakan, tahun 2017 menjadi buruk karena saya banyak mengecewakan diri saya sendiri. Dan dengan begitu, 2017 adalah tahun dengan kekecewaan terbesar saya kepada diri saya sendiri. Akan tetapi, tahun 2017 juga memberikan pelajaran (terbesar dan mungkin terbaik) bagi saya, yang saya yakin akan berguna bagi saya-pada masa yang akan datang.
Untuk kesehatan jiwa saat ini; juga untuk saya-masa depan Bandung, 4 Februari 2018
4 notes
·
View notes
Text
Potongan-Potongan Kejadian yang Samar dan Tidak Bisa Hilang
Pukul 1.18.
Aku tidak bisa tidur.
Bukan, aku bahkan tidak berusaha untuk tidur.
Banyak sekali bulir-bulir pikiran, kenangan, dan penyesalan yang tak mau pergi. Masing-masingnya terlalu samar sehingga tak bisa aku mengerti. Semakin aku berusaha mencerap salah satu makna dari masing-masing potongan kejadian, semakin pula aku tersesat di dalamnya. Trigger kali ini adalah sebuah postingan seorang teman dekat di instagram atas hal-hal yang telah ia lakukan bersama kekasihku.
Potongan Kejadian #1
Atas rangkaian kata yang menyatakan ‘telah meminta ini dan itu’. Pada hari-hari saat aku merasa terlalu banyak kekurangan pada organisasi ini. Beberapa ide terlintas di kepala. Berbagai rangkaian hal-hal ideal juga terus berkecamuk di pikiran. Menyoal organisasi, menyoal divisi. Tapi apa? Aku DIAM.
Kalimat-kalimat tersebut mengantarkan aku pada kemampuan diri ini berkomunikasi. Berkomunikasi bukan dalam artian memberi kabar, bertukar cerita, atau berbincang mengenai kisah hidup di kafe-kafe ternama. Berkomunikasi yang aku maksud adalah memberikan respon TERJUJUR yang bisa diberikan. Memberi respon bukan hanya sekedar memberi jawaban atas pertanyaan, melainkan juga memberikani tanggapan (atas yang diminta dan tidak), mengutarakan pendapat atas hal dan kejadian, menjelaskan pengetahuan, dan juga mengekspresikan perasaan.
Rasanya mengesalkan mengetahui dia bisa mengatur hal-hal demikian dengan begitu baik. Mengutarakan apa yang menurut dirinya adalah cara dan produk terbaik. Mungkin ini juga berkaitan dengan sifat perfeksionis yang aku miliki, yaitu harus cari tahu yang terbaik dulu baru bicara; mengutarakan dan bertindak. Padahal ternyata, tidak begitu cara dunia ini bekerja. Kita berjalan beriringan dengan waktu, tidak memilikinya. Apa yang aku dapat dengan menunda-nunda ----mengutarakan, membangun ide, bahkan membuat karya---? TIDAK ADA. Kecuali, kehilangan waktu yang bisa digunakan memproduksi karya, penyesalan, dan... teman?
Potongan Kejadian #2
Atas rangkaian kata yang menyatakan ‘telah meminta ini dan itu’ dan ‘batasan divisi dan angkatan’. Pada hari-hari saat aku merasa ENGGAN mengutarakan dan bertanya. Karena dia lebih tua. Karena rasanya aku berbuat salh kepadanya. Karena divisi kami berbeda. Karena sebaikya tidak mencampuri urusan orang lain. Dan karena karena lainnya yang tak henti dan silih-berganti.
Karena ternyata potongan ingatan menyoal dua hal ini berkaitan, maka saya putuskan potongan kejadian #2 seperti ini. Terdapat sebuah hal yang mengherankan jika aku menelusuri orang seperti apa aku ini. Pertama, aku pernah menjadi orang yang tidak peduli latar belakang usia, pengetahuan, dan pengalaman seseorang. Aku memandang semua orang sama. Jika mereka memberi aku ilmu-ilmu baru, aku bertanya beberapa hal, dan aku dengan lapang dada menerima ilmu-ilmu tersebut. Dan bahkan, jika mereka salah, aku tau hal yang aku anggap benar, aku akan memberi tahu. Berapa pun selisih usia antara aku dan siapa pun seseorang itu, aku tidak ambil pusing. Aku bahkan enggan memanggil dan dipanggil ‘kak’, yang pada masa tersebut hanya agar sedikit lebih akrab. Dan aku berhasil.
Tapi semakin aku tumbuh, semakin aku kehilangan kepercayaan atas pertemanan, semakin aku mengetahui budaya sopan-santun. Memanggil ‘kak’ kurang lebih sebuah kewajiban sebagai petanda yang lebih muda menghormati yang lebih tua. Sistem kepercayaan diri ini lagi-lagi retak. Aku mulai berusaha menjadi orang yang sopan dan santun.
Semakin aku besar, semakin aku sadar. Aku memang pada dasarnya orang yang merasa seluruh orang berderajat sama. Sopan santun juga bukan dinilai dari sekedar panggilan ‘kak’, ‘teh’, ‘abang’, ‘mas’, dan lain-lain sebagainya. Ada yang lebih fundamental dari panggilan, yang bertahun-tahun ini luput dari pengawasanku; yang sayangnya justru lebih dipahami oleh aku-kecil, yaitu kualitas hubungan. Dengan usia yang sudah menuju dewasa muda, aku telah lupa kehilangan keterampilan, bahkan pengetahuan, tersebut. Atas usaha yang cukup susah dan payah, sedikit demi sedikit aku mulai bisa mengakses pikiran aku-kecil atas dunia, terutama soal memandang setiap orang memiliki kedudukan yang sama sebagai manusia. Sedikit demi sedikit pula, aku berusaha mempraktikkan cara pandang tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pada saat masih berkecimpung di dunia perkuliahan, bisa dikatakan aku sudah sangat terlambat. Tapi, ruang untuk memperbaiki diri akan selalu ada, bukan?
Potongan Kejadian #3
Atas penulisan nama kekasihku. Yang tersedih. Bukan hanya karena perasaan tidak dianggap sebagai teman, melainkan soal perasaan tidak memiliki kapabilitas.
Ini, kalau aku boleh bercerita. Aku juga dulu pernah pemikiran yang sama. Aku ingin meliterasi hampir seluruh umat manusia di bumi ini supaya paham bagaimana tempat tinggal kita bekerja. Ya, aku pernah sampai menangis di hadapan kekasihku. Tapi, lalu bagaimana? Aku tidak pernah dianggap ada, kontribusiku tidak pernah diinginkan. AKU BAHKAN TIDAK DINILAI SEPAHAM.
Tidak. Tidak seharusnya aku marah-marah. Itu semua hanyalah apa-apa yang ada di pikiranku, yang selama beberapa hari, minggu, dan bulan ke belakang merusak hari-hariku. Tidak boleh marah-marah. Yang ada di pikiran kan bukan kenyataan. Masih mungkin salah, TAPI MUNGKIN JUGA BENAR.
Jika aku marah, aku seharusnya menelisik potongan kejadian #1 dan #2. Di sana tertulis jelas apa-apa yang menjadi masalah. Ya sudah, biar saja. Kita kan saat ini mau mencari penghidupan. Tapi lalu hal yang menyebalkan akan selalu bermunculan. Orang-orang yang kemudian tidak menjalankan komitmen yang sudah dibuat. Bangsat.
Penuh rasa kesal. Ternyata aku tidak bisa memejamkan mata karena terlalu kesal.
Bandung, dini hari 3 Februari 2018.
0 notes
Text
Aku, Kamu, dan Soal Pasangan
Kalau kamu mencari pasangan karena kamu butuh, aku tidak. Kalau sebagian besar darimu mengingikan keberadaan pasangan sebagai penghilang sepi, aku tidak. Buat apa berdua, tapi kehilangan arti.
Aku memilih agar tetap menjadi. Menjadi apa, saat itu aku masih belum peduli. Yang pasti aku tidak merasa sepi. Aku menginginkanmu, karena apa-apa yang melekat pada dirimu. Tentang pikiranmu yang terlihat sering mengembara entah ke mana, tentang pilihanmu menjadi berbeda, dan atas yang lain-lain pada pemikiranmu. Aku jatuh cinta pada apa-apa yang terlihat sebagai pemikiranmu.
Semakin jauh kita melangkah, aku sadar kau berteman sepi. Mungkin kau berharap aku adalah pelipur lara atas duka-duka dalam hidupmu. Tapi sayang, aku juga adalah duka. Dan setiap duka selalu menyimpan luka.
Apa-apa yang terlihat pada awalnya menjadi semakin berbeda. Apa-apa yang aku kira bisa, ternyata selalu menjadi-jadi. Kamu yang aku kira berpikiran lebih terbuka, ternyata tidak. Perhatianmu terlalu selektif. Aku tidak suka. Dan aku yang ku kira bisa lebih asertif kepadamu, mempertahankan paham dan pakem, terlanjur bergelung dengan afeksi berlebihan terhadapmu.
Dan apa-apa yang aku pernah bayangkan, hancur dan musnah sudah. Aku sudah tidak lagi kuat.
Bukan, aku sudah tidak lagi ingin. Apa-apa yang aku inginkan dari seorang pasangan sebenarnya begitu sederhana.
Seperti pengharapan atas percakapan tak berbatas dan tak berujung, yang menghabiskan puluhan jam dengan percakapan tiada henti, dengan berbagai ekspresi yang keluar tanpa henti.
Seperti membaca buku bersama-sama dan bertukar pikiran atas apa yang masing-masing dari kita baca, dengan atau pun tanpa diiringi alunan musik atau sayup-sayup suara serangga.
Tapi sayang, di dunia yang cenderung patriarkis ini pengaharapan ini justru begitu sulit karena adanya konstruksi yang tergenerelasi atas bagaimana seharusnya sebuah hubungan laki-laki perempuan----pacaran, apalagi menikah.
Yang sempat melupa atas nilai-nilai diri Bandung, dini hari pada 26 Januari 2018
0 notes
Text
Foto Kopi #1
Ditulis dengan maksud berbagi potongan peristiwa dari perspektif saya.

Diambil pada jalan yang sama dengan Kopi Purnama, Jalan Alkateri.
Potret ini menggambarkan kemiskinan, yang toh sebenarnya sudah melekat erat sebagai bagian tak terpisahkan dari wacana sebuah kota. Tapi yang lebih menarik dari bahasan perihal kemiskinan, adalah bagaimana kemiskinan mempengaruhi individu-individu yang terlanjur menjadi bagian di dalamnya.
Gambar ini diambil pada saat jalanan dilalui pengunjung pertokoan yang berlalu-lalang. Dengan wajah yang cukup bingung, sedikit celingukan dan kantong plastik berisi baju di tangan, Bapak berbaju batik ini memutuskan untuk duduk di depan ruko yang tutup. Tapi sayang, ternyata ia masih bingung juga.
Bandung, 29 April 2017 Bandung, 21 Januari 2018
0 notes
Text
Mengarungi Ombak yang Menjelma Kita
Hari ini kami mengunjungi Carl’s Jr. yang sudah lama ingin kami kunjungi bersama. Percakapan di Carl’s Jr. tidak terlalu menarik. Percakapan menarik hari ini berlangsung setelahnya.
Seperti biasa, setelah mengunjungi sebuah tempat, kami tidak tahu akan ke mana. Lagi-lagi, dia yang mengusulkan akan ke mana kita. Aku tidak sedang memiliki tempat yang ingin dikunjungi, sudah lama juga tidak mengeksplor hal-hal seperti itu. Mungkin karena memang sedang tidak memasukannya dalam daftar prioritas. Kali ini, aku benar-benar ingin memoles diri. Berusaha menjadi aku yang lebih.
Kali ini aku tidak merasa bersalah. Aku sudah menetapkan bahwa memang aku sedang tidak bereksplorasi dengan hal-hal seperti ini.
Percakapan menarik hari ini berlangsung di sebuah kedai kecil di daerah Jalan Natuna. Dimulai dari percakapan ngalor-ngidul dan merujuk pada “Ayo cari percakapan-percakapan yang biasa dipake orang kalo lagi kencan pertama”. Pada awalnya tidak begitu menarik. Pasalnya, hal-hal tersebut tidak menyentuh value-value dasar serta pemikiran dan pemahaman kami atas hal-hal. Mencari-cari pertanyaan yang menggelitik, kami mulai bercakap atas hal-hal yang sedikit lebih mendalam.
Aku mulai merasakan rasa yang asing dan tidak mengenakan pada saat ia menyatakan jawaban atas pertanyaan yang berbunyi “Who has been the most influencial (to your values) person in your life?”. Walaupun aku tidak mengharapkan jawabannya adalah aku, mendengar ia menjawab nama sesosok teman tersebut membuatku perasaanku sedikit sakit. Apa yang ada dalam pikiranku yaitu kekurangmanfaatan kehadiran diri ini atas apa-apa yang menjadi di dalam dirinya. Aku tebak hal ini terjadi karena aku percaya bahwa sebuah hubungan yang ideal adalah hubungan yang saling memberi dampak satu sama lain, saling memberi dan berbagi manfaat, saling bertukar pikiran dan value atas hal-hal dalam hidup dan tentang hidup itu sendiri. Tapi ketika aku menyadari bahwa ia pun bukan jawaban atas pertanyaan tersebut ketika dilontarkan padaku, aku berpikir bahwa memang ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam hubungan ini.
Mungkin ini adalah tentang kita yang sudah pernah saling melukai dan tidak ingin mengulangi kembali. Yang berusaha saling menerima tapi hampir selalu berujung gelap. Yang mulai menyadari pememaksaan atas masing-masing diri tidak mengarah pada sebuah akhir yang baik. Karena toh, pada akhirnya beberapa hal akan tetap mengadukan kita.
Proses berpikir malam ini mengarahkanku pada sebuah kesimpulan.
‘Ternyata perbedaan tidak bisa dipersatukan dengan paksaan, pun tidak bisa didiamkan tanpa perdebatan. Kita memang perlu berdebat. Kita perlu membenturkan apa-apa yang kita percaya, yang tentunya disertai penurunan ego masing-masing, ekspresi yang jujur, dan pengupayaan mendengar dan memahami. Kita begitu perlu saling membentur. Untuk menjadi kuat, untuk menemukan titik tengah, dan untuk menjadi.’
Dari dan untuk kekasih, yang selalu setia tuk diberi dan memberi kasih.
Semoga kita dipertemukan di surga nanti.
Bandung, 7 Januari 2017
0 notes
Text
Unpresence
Today, my Dad went out in the morning without telling anything. It is such a rare decision he made for going out from from the very early morning. At first, I did not notice anyth ing strange since he is an enterpreneur and do not have any fixed shedule. I thought he was going to work. In addition, he also chose the car instead the motorbike. Which is also rarely happens.
I realized something: It is relaxing for NOT having him in the house today. But it does not mean that I’m enjoying the presence of my only mom. I realized this kind of feeling comes from the unpresence of negative ambience. My parents energy combines a negative ambience since the root of their problem have not meet it solution. Almost every day, our house does not meet any definition f what home is, at least for me.
I have read several materials with home as the subject. In conclusion, here are several definition of what defines what a home is.
It is not about the place, it is about the people
It is whenever you can let your guard down
It is the place or the people provides you safety, trust,, and comfortable feeling
By those simple list, I just can create a concluding statement,
"My house is not a place which defines what a home is, and the people is too. And it creates a logical understanding why every of us is looking for another home, whether it is a place or people”.
Bandung, 23 Desember 2017
0 notes
Conversation
Refleksi Konsep Diri dan Komunikasi
Aku: Sebagai yang (lebih) perasa, menemukan ekuilibrium antara logika dan rasa itu sulitnya minta ampun. Mungkin itu yang menyebabkan aku menjadi inferior terhadap kamu dan cenderung diam dan memilih tidak berkomunikasi dengan kamu ketika aku sedang kebingungan.
Aku yang Lain: Kamu yakin itu karena kamu perasa? Bukan karena kamu pengecut dan tidak mau menghadapi kenyataan jika kalian memang berbeda saja?
Aku: Aku tidak terlalu yakin. Tapi aku yakin, itu faktor yang turut mempengaruhi. Padahal dulu aku pernah mencurahkan isi hati padanya. Pada masa itu aku begitu jujur dan ia pun begitu. Kau tahu? Setelah menjalin kasih, kami jadi berhati-hati dan tidak ingin melukai masing-masing hati.
Aku yang Lain: Walaupun berarti ada kejujuran yang tidak terungkap?
Aku: ......
Aku yang Lain: Oh, ayolah.
Aku: Ya. Aku menyadari pula hal tersebut adalah kesalahan. Namun aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan menanggapi hal ini.
Aku yang Lain: Carilah orang yang kamu percaya untuk berbagi cerita akan masalah seperti ini. Terang saja kau selalu tidak bisa membuat keputusan yang baik mengenai hal ini. Kamu adalah orang yang perlu saran orang lain.
Aku: Aku rasa kamu ada benarnya.
Aku yang Lain: Aku ada beberapa saran yang mungkin akan membuatmu merasa lebih baik.
Aku: Baiklah, apa?
Aku yang Lain: Jujurlah. Seminimalnya pada dirimu sendiri. Jadilah dirimu yang sebenar-benarnya. Jika ia memang mencintaimu, jika cintanya sejati, dan jika kalian dipasangkan oleh Tuhan, bukankah kamu seharusnya percaya bahwa dengan benar-benar menjadi dirimu sendiri justru hal terbaik yang bisa dilakukan? Jika ternyata ia tidak lagi mencintaimu, atau jika ternyata kalian tidak bisa saling toleran sehingga ia (atau mungkin bahkan dirimu sendiri) memutuskan untuk berhenti mencintai, bukankan setidak-tidaknya kamu menjadi dirimu sendiri? Bersikap yang menurutmu baik tidak harus dilakukan dengan mengesampingkan diri, sayang. Kamu tetap harus menjadi dirimu sendiri. Belajar dengan melewati tahapan yang seharusnya, tidak secara tiba-tiba yang justru menyiksa diri. Pasalnya ia harus benar-benar mencintaimu, bukan?
Aku: Sudah?
Aku yang Lain: Itu baru pertama. Kedua. Carilah teman bercerita yang benar-benar bisa kamu andalkan. Katakanlah sebuah telinga 24 jam. Ceritamu berarti, hatimu berharga, dan hidupmu butuh warna. Menangislah jika perlu, meluka jika tersakiti. Ketiga, nikmati semua yang merupakan proses. Baik, buruk. Senang, bahkan sedih dan sakit.
Aku: Hm... Satu lagi.
Aku yang Lain: Ya?
Aku: Bagaimana memanggil diriku yang utuh pada genggamanku untuk kutunjukkan padanya? Bagaimana bersikap menjadi sepenuhnya diriku di hadapannya? Aku terlanjur telah menjadi bukan diriku dan secara tidak sadar menanamkan imaji atas identitasku di kepalanya. Bagaimana aku harus memulai?
Aku yang Lain: Ada dua pilihan. Lakukan secara lansung atau berbincang terlebih dahulu.
Aku: Menurutmu, apa pilihan yang paling baik untuk dilakukan?
Aku yang Lain: Tentu saja yang kedua. Pesanku satu, tidak usah terburu-buru. Tenangkan diri, awali perubahan sikap dan perilaku dengan komunikasi yang baik.
Aku: ...
Aku yang Lain: Bagaimana?
Aku: Apakah aku bisa melakukan ini semua?
Aku yang Lain: Cobalah. Aku yakin kamu berhasil melewati proses ini dengan baik
Bandung, 22 Desember 2017
0 notes
Text
Menyudahi Kemelut Berlarut
Berbagai isu yang menjadi bagian dari pikiran yang berlarut-larut dan rasanya perlu untuk dituliskan. Tujuan pertama, yang jelas adalah agar pikiran tidak sekusut ini dan harapannya tulisan yang dihasilkan dari pengelaborasian pikiran bersama diri saya sendiri dapat menciptakan dialog tersendiri, baik bagi diri saya sendiri selama proses penulisan; serta bagi siapa pun yang membaca. Setelah membaca berbagai hal-hal -- yang sejatinya belum terlalu banyak, namun kenyataannya mengganggu saya sendiri dengan berbagai pikiran yang kerap berkecamuk --, saya menyatakan bahwa pikiran sebaiknya tidak disimpan sendiri dan perlu diperbincangkan, dan bahwa cara terbaik bagi seseorang seperti saya adalah dengan menulis. Pasalnya, terlalu banyak membaca sekedar untuk diri sendiri akan tidak akan menciptakan dialog yang baik, tetapi justru menciptakan kemelut tak berujung, dualisme pemahaman, dan sikap mengisolasi diri.
Menanggapi hal tersebut, berikut beberapa isu yang mengganggu beberapa waktu belakangan:
Psikologis Manusia yang Mencipta Ruang// (Hubungan) Psikologis Manusia dan Ruang-Ruang Kota
Perempuan, Stigma, dan Refleksi Diri.
Bandung, 21 Desember 2017.
0 notes