Tumgik
Text
☕KOPI ☕
Kopi dan ayah adalah dua hal yang sangat erat, identik, dan sulit dipisahkan. Diman ada ayah, disitu ada secangkir minuman hitam beraroma khas yang wanginya mampu membangunkan orang yang susah bangun pagi. Ya. Kopi.
Didunia ini, ada banyak sekali kedai kopi, dari mulai abang gerobak pinggir jalan, sampai ke kafe mewah nan elit di mall-mall ibukota. Dan hampir semua negara memiliki kedai kopi yang menjamur dimana-mana. semua orang dari lapisan ekonomi terbawah hingga teratas, suka minum kopi. Setiap pagi, secangkir kopi diatas meja sudah menjadi tradisi.
Sebenarnya, jika diminum sendiri, kopi akan terasa sangat pahit. Oleh karena itu, kita tambahkan gula, susu, atau kremer agar rasanya menjadi lebih baik. Tapi, tidak sedikit orang yang justru memang menyukai demikian, kopi yang pahit. Seakan-akan kopi sedang mengajarkan kita, bukankah hal-hal pahit juga bisa dinikmati?
Ada yang bilang, kopi itu layaknya kehidupan. Pahit. Banyak hal-hal yang membuat kita terpuruk, merasa tidak bahagia, dan menambah beratnya beban.
Tapi, disisi lain, kopi juga diibaratkan dengan kebahagiaan. Ya. Bagaimana? Sesungguhnya, kebahagiaan adalah sebuah pilihan, dan semua hal-hal pahit dalam hidup ini adalah media bagi kita untuk bisa merasakah kebahagiaan, ketika kita memang memutuskan untuk bahagia. Sama halnya ketika kita membuat kopi, ketika kita memutuskan untuk menambahkan sesedok gula dan kremer dalam cangkir kopi kita, disitulah kita memutuskan bahwa kita akan menikmati kopi yang enak.
Lalu bagaimana jika kita memutuskan untuk tidak menambahkan apapaun dan hanya cukup kopi dan rasa pahitnya? Bukan berarti kita tidak menikmati kenikmatannya. Terkadang, kepahitan juga indah untuk dinikmati. Seperti juga hidup, hal-hal pahit yang datang kadang kita biarkan saja terasa pahit. Karena kita tahu, banwa dengan kepahitan inilah semua orang hidup. Bahwa kebahagiaan memang tidak akan selamanya datang.
Secangkir kopi memang bisa mengajarkan banyak hal.
0 notes
Text
LUPA 😣
Kadang, kita bisa mengingat suatu hal yang bahkan amat tidak penting, sengan jelas. Lama. Kapanpun kita mengingatnya, akan membuat kita tertawa-tawa. Kadang, kita bisa mengingat hal-hal besar dalam hidup kita tanpa kita sadari. Karena hal itu adalah hal yang sangat berarti, maka secara otomatis ia akan menempel dalam memori untuk selamanya. Kadang bahkan teramat sulit untuk mencoba melupakan hal tersebut.
Lalu, bagaimana ketika kita lupa?
Kadang, kita berusaha untuk mengingat sesuatu, mengikatnya sekencang-kencangnya di memori agar tidak hilang tertumpuk berbagai peristiwa yang datang silih berganti di setiap hari. Akan tetapi, bagaimanapun kencangnya kita mengikat, adakalanya dia lepas, hilang, lenyap. Membuat kita lupa. Membuat kita terbata-bata mencoba mengingatnya. Rasanya seperti tahu dengan jelas sesuatu itu, tapi tidak mampu mejelaskannya. Sepertinya terbayang dengan utuh,tapi buram, tidak mampu untuk diungkapkan.
Lalu apa?
Jangan pernah sengaja melupakan. Jangan pernah berharap sesuatu hilang dari ingatan dengan begitu mudahnya. Kadang, hal-hal buruk yang terjadi pada hidup kita memang sengaja direkatkan dalam memori kita agar kita mau belajar, mau ikhlas, dan mau menjadi lebih baik lagi. Jangan melupakan, karena memori-memori itu akan hilang dengan sendirinya ketika memang sudah saatnya dia hilang, dia hanya menunggu sejenak didalam memorimu untuk memberikan suatu pelajaran berharga.
0 notes
Text
KEJUTAN-KEJUTAN UNTUK SUSANTI
Bagian 4
           Benar saja, seluruh panitia yang seharusnya bertugas mempersiapkan segala peralatan untuk final harus mangkir demi menyiapkan ritual itu. Nyajeni pitulasan. Tradisi ini dimulai sejak tahun 1950, oleh tetua di desanya. Nyajeni= memberi sesajen dan pitulasan= 17 agustus. Sederhananya, ritual ini merupakan usaha warga desa memohon keselamatan desa dengan cara memberi sesajen ke roh-roh penjaga desa di beberapa lokasi: 4 pemakaman umum, 2 sungai dan disetiap gerbang desa di 4 penjuru mata angin. Ritual ini khusus dilaksanakan sebelum 17 Agustus di setiap tahunnya dengan alasan bahwa tanggal tersebut adalah tanggal resmi bebasnya warga desa dari ancaman kejahatan manusia lain:penjajah. Oleh karena itu, butuh ritual ini untuk melindungi mereka dari berbagai ancaman non-manusia yang tidak kasat mata, bentuknya bisa apa saja: serangan hama, wabah penyakit, ilmu hitam, dan sebagainya.
           Sesajen ini bukan perkara mudah. Sesajen tersebut berisi 10 jenis makanan, 7 jenis bunga, 3 jenis minuman berbeda warna serta tanah yang diambil dari tiap makam yang ada di desa.  Sebelum diletakkan di tempat-tempat yang telah ditentukan, harus dilakukan upacara adat secara singkat. Seluruh pemuda harus hadir karena mereka lah yang akan menjadi generasi penerus yang menjaga desa. Tiap-tiap sesajen harus  dibawa oleh pemuda-pemuda terbaik: sehat secara jasmani, rohani, paras rupawan serta berasal dari keluarga baik-baik. Celakanya, Bidin si finalis dan Mahmud si wakil ketua panitia terpilih menjadi si pembawa sesajen.
           Semestinya, seiring bergantinya purnama, warga desa mulai mengerti dan memahami esensi dari tiap tradisi yang dilakukan. Yang tidak masuk akal akan ditinggalkan, yang masuk akal dan bermanfaat terus dijaga dan dilestarikan. Begitulah yang Susanti yakini. Namun, kenapa warga desa kembali mundur ke jaman dimana Tuhan belum dikenal dan batu-batu besar disembah?
           Perubahan adalah suatu hal yang mutlak terjadi di dunia ini, Sus. Yang tidak mampu mengikuti perubahan akan tertinggal, lalu mati. Orang yang berpikiran terbuka dan terus maju akan mampu mengikuti perubahan, ia akan tetap hidup. Tidak ada yang namanya diam ditempat. Maju, atau perlahan punah. Itu saja pilihannya Sus.
           Susanti teringat kembali dengan obrolannya tentang hal ini bersama Mas Bagus.
Kalau begini, desanya akan tetap tertinggal. Berpikiran sempit. Lalu punah tergilas perubahan zaman. Bagaimana bisa ia membiarkan hal ini terjadi?
           Seharian penuh ia berpikir. Perlahan-lahan, keruwetan dikepalanya mulai pudar, memperlihatkan benang-benang lurus yang bermuara pada satu titik: Pak Tabri. Ia lah yang menyuruh seluruh pemuda menghidupkan tradisi ini kembali. Entah mantra apa yang ia katakan sehingga para pemuda desanya tak kuasa menolak. Ia yang tak rela tradisi lama untuk diganti dengan yang baru. Ia yang mengingatkan Susanti untuk waspada. Saat ini, baru Susanti menyadarinya, di waktu yang mungkin agak terlambat.
           Tidak mudah mengubah sesuatu, atau memulai sesuau. Mencabut sesuatu yang berakar kuat memang tidak bisa hanya dengan dua tangan kecilnya saja. Dia butuh bantuan banyak orang. Kali ini, tidak bisa ia lakukan ini sendiri. Tidak bisa..
           Susanti pun menangis sedih. Sendiri didepan jendela kamarnya, ia menatap langit yang tiba-tiba mendung ditengah keringnya musim kemarau. Matahari bersembunyi malu-malu, memudarkan sinar-sinar harapan dalam hati Susanti. Dari pagi hingga siang tadi, ia sudah berusaha membujuk teman-temannya untuk menyelesaikan turnamen ini hingga akhir: tinggal 3 hari waktu tersisa sebelum jadwal final berlangsung: 16 Agustus 2005. Seandainya segalanya bisa ia lakukan sendiri, sudah pasti ia akan lakukan. Menghubungi juri, meminjam sound system, menyiapkan panggung, membeli kok baru, mengambil hadiah dari sponsor, menghubungi dan mengundang pihak pejabat kecamatan, menyewa kamera, mencetak piagaam, dan tetek bengek lainnya.
           Sekawanan kambing berjalan melewati jalan disamping kamarnya, patuh ia berjalan lurus. Sedikit saja ia berbelok, si empunya kambing akan memukul kambing itu dengan bambu tipis panjang.
           Apakah manusia juga seperti kambing-kambing itu?menurut untuk melakukan sesuatu karena takut dipecut? Bukan karena tahu bahwa hal itu adalah hal yang benar dan bermanfaat, sehingga ia harus melakukannya? Kembali ia bertanya pada dirinya sendiri.
“kenapa kamu melamun begitu, nduk?” kata-kata Ayahnya menyadarkannya dari pergulatan batin yang membuatnya beranjak sebentar dari dunia nyata.
“Susanti sedang memikirkan sesuatu, Pak. Menurut bapak, apakah manusia sama dengan kambing-kambing itu? Menurut karena takut dipecut? Semua hal dilakukan karena takut dihukum? Tanya Susanti serius.
“tidak sepenuhnya begitu, nak. Sekalipun dalam beberapa keadaan, kemungkinan itu bisa berlaku. Bedanya dengan kambing, manusia  punya otak dan hati nurani. Mereka bukannya bergerak karena rasa takut. Sekalipun diancam, mereka akan tetap berpikir terlebih dahulu. Apakah ini adalah hal yang benar? Apakah hati nuraninya juga membenarkannya? Setelah mempertimbangkan hal itu, mereka kemudian memutuskan akan bertindak bagaimana. Lain halnya bila mereka berada dalam kondisi tidak berdaya. Sekalipun otak dan hati nuraninya berkata tidak, mereka terpaksa akan melakukannya. Mereka akan selamat dari ancaman, tetapi tidak dari perasaan menderita. Sedangkan kamu tahu? Penderitaan itu tidak bisa sembuh hanya dengan diabaikan, tetapi harus diobati. Berapa lama mereka akan mengabaikan penderitaan itu? Tidak ada yang tahu, nak. Oleh karena itu, cobalah jujur dengan pikiran dan nuranimu. Sejatinya, dengan begitu, kamu akan selamat, baik dari ancaman maupun dari perasaan menderita. Untuk melakukan hal itu, hanya satu syaratnya: berani dan mau menerima risiko.”
           Susanti mendengarkan dengan seksama ceramah dari ayahnya barusan. Sedikit banyak ia merasa tergelitik. Apakah kini ia sudah berubah menjadi pengecut dan penakut?
           “terima kasih, ayah.” Kata Susanti sambil tersenyum.
           Dia segera berlari meninggalkan kamarnya menuju rumah kawannya yang menjengkelkan tetapi baik hati: Bidin.
           “Din!!” teriak Susanti ketika mendapati Bidin tengah duduk santai didepan rumahnya.
           “Oi Sus,” jawab bidin santai saja.
           Bidin segera menggeser duduknya, menyisakan ruang agar Susanti bisa duduk. Akan tetapi, Susanti lebih suka berdiri.
           “Din, sudah siap untuk final nanti?” tanya Susanti.
           “Lah, emang turnamennya tetep lanjut, Sus? Kan tanggal 16 nya harus nyajeni pitulasan. Kapan tandingnya, Sus?”
“ yeee.. ditanya malah balik nanya! Udah siap atau belum, Din? Santai ya sepertinya Din, siap kalah ya?” ledek Susanti.
“Bidin tidak akan menyerah untuk kalah, ingat itu!” tersulut rupanya Bidin mendengar ledekan Susanti.
“Bagus Din, memang begitu sebaiknya. Ingat Din, apa yang sudah kita mulai, harus kita selesaikan sebaik kita bisa. Selangkah lagi untuk menjadi juara, sayang sekali kalau mundur. Lebih dekat ke kemenangan daripada menyerah dan balik badan bukan?” ucap Susanti sambil tersenyum.
“ pertandingan 3 hari lagi kan? Aku akan berlatih dengan keras. Permisi Sus, silahkan kalau mau duduk menonton. Aku mau latihan dulu” ucap Bidin seraya berdiri.
           Ia segera masuk kerumah dan mengambil raket dan koknya. Ia pun memukul-mukul koknya kearah tembok. Ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa memberikan pukulan yang kuat. Sedikit kebahagiaan menjalar dalam hati Susanti : dia masih punya harapan!
           Segera setelah itu, Susanti menemui teman-teman panitia yang lain. Sebagian besar masih bersemangat untuk menyelesaikan turnamen ini hingga tuntas. Sebagian kecil juga bersemangat, tetapi juga takut.
           “bukankah kita sudah sama-sama bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk desa kita ini? Memberikan ruang untuk para pemuda bisa ikut berpartisipasi, membangun sejarah baru, dan memajukan desa?” ucap Susanti pada Mahmud.
“aku ngerti, Sus. Tetapi, bagaimana dengan ritual yang akan dilakukan dihari yang sama?  Aku ditugaskan untuk membawa salah satu sesajen. Bagaimana jadinya kalau aku harus menyiapkan perlengkapan untuk babak final? Bisa bisa....”
“bisa-bisa apa, Mud?” tanya Susanti penasaran.
“bisa bisa, keselamatan kita terancam Sus. Begitu kata Pak Tabri.” Akhrinya Mahmud menjawab, setelah menarik napas panjang.
“Mahmud bin Karim, keselamatan itu ada pada kuasa Tuhan. Kita hanya ditugaskan untuk menjaga diri baik-baik dan senantiasa waspada. Tidak ada orang yang bisa mengetahui rahasia hari esok. Bisa saja besok tiba-tiba hujan lebat, sekalipun saat ini kita ditengah-tengah terik kemarau. Atau bisa saja esok kita meninggal, terserempet truk pasir atau kecebur galian sumur didekat swawah Pak Haji Somad. Kamu bisa memastikan? Pak kades bisa memastikan? Atau Presiden bisa memastikan? Tidak ada yang bisa, Mud. Jangan berpegang pada prasangka yang rapuh dan belum tentu benar itu Mud, bahaya. Kita bisa jadi penakut dan pengecut” Ucap Susanti.
           Ia hanya berusaha menyatakan isi hatinya, entah Mahmud sungguh-sungguh paham maksudnya atau tidak, ia pun tidak tahu.
“kamu mirip pak ustadz saja Sus. Hahahaha.. tapi apa yang kamu bilang ada benarnya juga.” Jawab Mahmud setelah mendengarkan penjelasan Susanti.
“kamu ngerti maksudku, Mud?” tanya Susanti
“entahlah Sus, aku juga tidak yakin. Tapi, yang pasti, kamu menyingkirkan sedikit kekhawatiranku, Sus. Begini saja, aku akan meyiapkan teknis untuk final 3 hari lagi, kamu ketemu sama Pak kades ya, sekarang. Bilang kalau kita akan tetap mengadakan final turnamen ini.”
“kenapa harus sekarang, Mud?” Susanti agak heran dengan instruksi Mahmud ini.
“sudah, nurut saja. Sana berangkat.” Mahmud bangkit dari kursi, diikuti Susanti.
           Susanti menuju kantor kepala desa, mahmud beanjak menuju rumah rekan-rekan panitia lainnya. Akhirnya Susanti berjalan dengan perasaan lega karena sekalipun berbeda arah, sejatinya kali ini mereka memiliki tujuan yang sama.
           Susanti agak heran karena waktu sudah agak sore tetapi kantor desa masih terlihat ramai.
           Tumben-tumbenan begini ramai. Apakah ada rapat mendadak? Gumam Susanti dalam hati.
           Tanpa menunggu lama, Susanti segera mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya: rupa-rupanya sedang diadakan diskusi mengenai pelaksanaan ritual nyajeni pitulasan.
“karena Samsul masih belum sehat, maka pembawa sajen utama akan digantikan oleh anak saya. Dia akan pulang kesini besok, bagaimana menurut Pak Kades?’ tanya Pak Tabri.
“terserah Pak Tabri saja.” Jawab Pak Kades singkat.
“baik kalau begitu, persiapan lainnya sudah akan siap barang satu dua hari lagi.” Jawab Pak Tabri, sebelum akhirnya berhenti bicara menyadari ada gadis berdiri mematung diambang pintu, hendak mengetuk pintu tapi ragu, takut mengganggu.
“sepertinya ada tamu Pak Kades?” ucap Pak Tabri dengan nada sinis yang terlalu kentara.
“Oh nak Susanti.. mari silahkan masuk. Ada perlu apa?’ ucap Pak kades seraya mempersilahkan Susanti untuk masuk.
           Susanti sejenak merasa ragu. Haruskah ia menunggu hinggga diskusi selesai, baru menyampaikan maksudnya? Atau sekarang saja? Semua yang hadir nampak tertegun menunggu jawabannya. Setelah berdoa sejenak, akhirnya ia memberanikan diri.
           “jadi begini Pak kades, saya mewakili panitia turnamen bulu tangkis ingin menyampaikan informasi sekaligus meminta izin untuk menyelenggarakan final turnamen bulu tangkis sesuai jadwal, yakni tanggal 16 Agustus, atau tepatnya 3 hari lagi. Berkaitan dengan hal ini, saya ingin meminta izin juga untuk bisa mengundang Pak camat atau jajarannya untuk bisa hadir pada prosesei penutupan sekaligus penyerahan hadiah kepada pemenang.”
           Susanti mencoba menerangkan dengan perlahan-lahan, tetapi tetap saja seluruh hadirin yang ada terlihat tercengang mendengar penjelasannya, termasuk Pak kades. Terkecuali Pak Tabri, ia justru tertawa kecil mendengar penjelasan Susanti.
           “sebentar Sus.. di tanggal yang sama, kami akan melaksanakan ritual nyajeni pitulasan. Tradisi yang sempat dilupakan begitu saja  beberapa tahun ini. Rasa-rasanya, melihat kondisi saat ini, kita perlu kembali melaksanakannya. Betul begitu, bapak-bapak?” tanya Pak Tabri sambil melayangkan pandangan pada semua hadirin yang ada.
           Hadirin yang ada nampak ragu, mereka diam agak lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“saya juga sudah mendengar hal itu, Pak Tabri. Sekali lagi, saya hanya minta izin kepada Pak Kades untuk melaksanakan kegiatan turnamen bulu tangkis sesuai jadwal. Tidak ada sangkut pautnya dengan rencana kegiatan bapak.” Jawab Susanti tenang.
“tidak ada sangkut pautnya bagaimana? Jelas-jelas berhubungan! Para pemuda akan mengikuti upacara adat dan membawa sesajen ke berbagai lokasi yang sudah ditetapkan. Bagaimana bisa harus ikut menyaksikan turnamen bulu tangkis juga? Tidak masuk akal!” Pak Tabri mulai naik pitam.
“tentu saja masuk akal Pak. Jadwal acara turnamen bulu tangkis sendiri sudah ditentukan, dan disahkan pula oleh Pak kades. Saya tidak menghalang-halangi rencana bapak. Silahkan bapak melakukan yang Bapak rencanakan juga. Mengenai para pemuda, bukankah sudah sepatutnya kita membiarkan mereka bebas memilih yang dimau? 60 tahun Indonesia merdeka, demokrasi sudah lama dijunjung juga Pak, rupanya.” Jawab Susanti mencoba tetap terlihat santai.
“kamu coba mendikte orang tua? Dasar tidak sopan!” hardik Pak Tabri.
           Pak kades dan para hadirin yang menyaksikan peristiwa tersebut hanya diam mematung. Sebelum perdebatan semakin memanas, Pak kades segera memberi isyarat pada Susanti untuk mengikutinya menuju ruang kerja kepala desa.
“silahkan duduk, nak” Pak kades mempersilahkan Susanti duduk di kursi diseberang mejanya.
“oh iya Pak, sebelumnya saya ingin meminta maaf soal kejadian Bang Samsul tempo hari. Bagaimana keadaannya saat ini Pak? Semoga sudah pulih ya pak..” Ucap Susanti. Ia sedikit lega, akhirnya datang juga kesempatan untuk berbicara langsung dengan Pak Kades.
“tidak apa-apa, Sus. Memang bukan salah kamu. Ngomong-ngomong, soal final bulu tangkis, laksanakan saja sesuai rencana awal. Kerahkan pemuda-pemuda untuk membantu kamu dan panitia lainnya. Saya akan sampaikan ke Pak Tabri untuk mengganti Bidin dan Mahmud sebagai pembawa sesajen.”
           Susanti berteriak gembira dalam hatinya! Semesta mendukung! Bahkan sebelum terucap permohonannya pada Pak kades. Lampu hijau sudah menyala, kini sudah saatnya ia melaju. Segera setelah berterima kasih pada Pak kades, ia beranjak pergi. Sekalipun lriikan tajam dari Pak Tabri tidak berhenti mengikutinya hingga ia keluar dari gerbang kantor kepala desa, ia kini tidak peduli. Kali ini Susanti sadar betul, ia tidak ingin mengalahkan siapa-siapa. Ia hanya ingin melakukan yang terbaik hingga tuntas.
           Mendengar berita ini, Mahmud semakin bersemangat. Ratusan brosur segera dicetak, siap di tempelkan di segala penjuru desa. Poster Bidin dan Imam terpampang dimana-mana, mereka tersenyum lebar sambil memegang erat raket ditangan kanannya. Selepas maghrib, disiarkan pula dari setiap mushala tentang final bulu tangkis ini. Mendekati waktu final, Bidin dan Imam makin giat berlatih. Tak jarang, banyak warga desa yang menonton mereka berlatih, sambil menimbang-nimbang siapa kandidat juara terkuat yang pantas mereka dukung. Dibalik semakin meriahnya antusias warga, susanti tetap was-was. Ia takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin saja masih betah mengikutinya dan tiba-tiba muncul sebagai kejutan tak diharapkan. Akan tetapi, kali ini ia menjadi lebih siap dan berani. Segala persiapan mulai dari logistik, keamanan, kesehatan, konsumsi, hingg humas dan publikasi sudah ia pastikan aman.
           Hingga akhirnya tibalah di hari-H. Seluruh warga sudah memadati lapangan bulu tangkis dan panggung kecil yang ada di sampingnya. Tamu-tamu penting nampak hadir pula: pejabat kecamatan, Pak kades, serta para sponsor yang terdiri atas Pak Hambali, Pak Jamhuri dan Pak Haji Naim. Setelah memberikan sambutan dan membuka acara final secara resmi, pejabat kecamatan segera pulang, disusul dengan Pak kades tak lama kemudian. Dan akhirnya, datang juga saat yang ditunggu-tunggu: Bidin dan Imam memasuki lapangan pertandingan.
           Pertandingan berlangsung seru dan panas. Masing-masing bermain ngotot dan tak pernah lelah mengejar laju kok. Berkali-kali smash keras dilayangkan oleh kedua belah pihak, membuat penonton mendadak menahan napas. Pertandingan berjalan alot, hingga butuh rubber set untuk bisa menentukan siapa juaranya. Setelah hampir 90 menit berjibaku, keluarlah Bidin sebagai juaranya. Skor yang diraih cukup berbeda tipis, yakni 18-21, 21-19, 22-20. Penonton bersorak sorai, Bidin loncat-loncat kegirangan, imam tertunduk lesu. Penyerahan hadiah dilakukan oleh Susanti sendiri. Sebelum turun panggung, Bidin diberi kesempatan untuk berbicara singkat. Dia tampak gugup setelah menerima mikrofon dari Mahmud. Setelah menyeka keringat dan menarik napas dalam, barulah akhirnya ia berbicara.
           “Assalamu’alaikum semuanya. Sebelumnya, saya ingin mengucap syukur dan terima kasih kepada Allah SWT, kedua orang tua, jajaran pengurus desa, penitia turnamen bulu tangkis serta para penonton sekalian. Alhamdulillah, saya bisa menjadi juara 1 pada turnamen pertama ini. Tapi, sejatinya saudar-saudaraku sekalian, kali ini kita semua adalah juara 1. Akhirnya, kita bisa melaksanakan tradisi baru di desa ini, semua orang dari segala umur antusias dan menikmatinya dengan riang gembira. Akhirnya kita bisa berhasil mengikuti perkembangan zaman sedikit demi sedikit. Cukup lokasi desa kita saja yang terpelosok, jangan pikiran kita ikut-ikutan terpelosok juga. Saya sangat bangga menjadi bagian dari sedikit pembaruan ini. Kalian juga harus bangga. Sekian dari saya Wassalamu’alaikum.” Seluruh penonton bertepuk tangan, sementara Susanti justru melongo. Darimana Bidin mendapatkan kata-kata seperti itu? Biasanya selalu ngawur saja bicaranya.
           Dalam perjalanan menuju kantor desa untuk mengembalikan berbagai peralatan yang dipinjam, Susanti bertemu dengan seseorang yang tidak ia duga: Mas Bagus. Kenapa ia ada disini? Bukankah ia seharusnya tengah kuliah di ibukota? Apakah dia punya kerabat yang tinggal disini. Belum habis rasa terkejutnya, Mas Bagus yang menyadari kehadiran Susanti segera menghampirinya.
           “Sus, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu.. bagaimana kabarmu?’ tanya Mas Bagus sambil tersenyum lebar.
           Sapaan singkat Mas Bagus membuatnya tertegun tak percaya. Antara senang, kaget dan juga terpesona. Setelah dua tahun di kota, Mas Bagus tampak lebih gagah, membuat Susanti semakin kepincut, meskipun mati-matian ia tahan perasaannya kuat-kuat.
           “Aku...” jawab Susanti lirih.
           Belum sempat meneruskan jawabannya, suara Pak Tabri menghancurkan momen ajaib ini bagi Susanti.
           “Ayo Gus, segera ambil perlengkapannya. Kamu bawa sesajen utamanya dan langsung ke barisan paling depan. Jangan lambat. Kita harus segera menaruhnya di lokasi-lokasi masing-masing. Jangan lupa kasih tau ibumu untuk segera kesini, dia ada di warung sebelah untuk memetik  bunga dan mengambil pelepah pisang.” Perintah Pak Tabri.
           Tanpa babibu, Mas Bagus  segera berlari melaksanakan perintahnya. Susanti menjadi semakin tertegun. Kaget bukan kepalang. Jadi selama ini, Mas Bagus adalah anak Pak Tabri? Kenapa ia bisa tidak tahu? Selama ini ia kira Mas Bagus adalah warga di kelurahan dekat SMA nya, karena ia bilang tinggal disana. Mas Bagus yang amat ia kagumi karena opini-opininya yang selalu berorientasi ke masa depan dan rasional itu, kenapa justru menjadi pembawa sesajen utama?
           “Dia memang anak Pak Tabri, Sus. Hanya, dia memang dititipkan dirumah Pakdenya sejak SMP, di pusat kabupaten. Tentu saja agar ia bisa mendapat pendidikan terbaik dan hidup di lingkungan yang serba ada. Bukan seperti disini, terpelosok dan apa-apa susah.” Begitu jawab Bidin saat Susanti bertanya tentang hal itu.
           Bahkan Bidin saja tahu. Kenapa aku tidak tahu ya, selama ini? Begitu kata hati Susanti, gelisah tak tahu harus bagaimana.
“oiya Sus, setahuku, dia akan dicalonkan menjadi kepala desa di pemilu desa 2 tahun mendatang. Sebelum itu, dia akan dijodohkan dengan gadis pujaan di desa ini: Julaiha. Sesuai dengan tradisi desa kita, Sus. Bakal kepala desa akan menyunting kembang desa untuk bisa menjadi pendampingnya. Padahal, aku berniat untuk mendekati Julaiha, Sus. Belum apa-apa, aku sudah patah hati duluan.” Enteng saja Bidin membeberkan hal itu pada Susanti.
           Oh Tuhan. Kejutan apa lagi ini? Susanti tidak habis pikir. Bagaimana bisa Mas Bagus, orang yang teramat ia kagumi akan segala pemikirannya, orang yang berhasil mencuri hatinya, menjadi orang yang berkebalikan dalam sekejap? Ia lah yang sudah meniupkan api semnagat dalam jiwa Susanti untuk melakukan perubahan di desanya. Ia  lah yang meyakinkan Susanti bahwa mereka harus mengikuti perubahan agar tidak mati. Mengapa tiba-tiba ia jilat kembali seluruh perkataannya dan menjadi budak tradisi kuno? Bukankah dia sudah menempuh pendidikan tinggi di ibukota? Kenapa ia tidak bertambah maju nalarnya?
           Susanti kecewa. Ia kecewa atas harapannya sendiri yang terlalu tinggi terhadap Mas Bagus. Ia benci untuk mengakui bahwa ekspektasi nya terlalu tinggi terhadap pemuda itu. Apakah akhirnya ia jatuh dalam rayuan kekuasaan? Kenapa begitu mudahnya ia berpaling dari apa yang ia yakini? Susanti masih tidak habis pikir.
           “Nduk, dalamnya hati manusia itu, tidak ada yang tahu.” Susanti teringat atas ucapan ayahnya suatu hari.
           Dengan berat hati, Susanti pun bertekad bahwa Mas Bagus harus ia hapus dari hati dan pikirannya. Sama seperti tradisi kuno yang tidak relevan dan tidak ada manfaatnya. Persaannya terhadap Mas Bagus harus segera ia punahkan. Buat apa kepincut pada pria yang tidak teguh pendiriannya? Tidak berguna.
           Setelah menangis setiap malam hampir selama 1 minggu, Susanti akhirnya yakin bahwa dia sudah bisa benar-benar ikhlas. Patah hatinya akan segera sembuh.
           Akan kujelajahi dunia, dan akan kubuat desa ini bangun dari kebodohannya. Begitu tekadnya kuat dalam hati.
SELESAI
0 notes
Text
KEJUTAN-KEJUTAN UNTUK SUSANTI
Bagian 3
“Priiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttttttttttttt!!!!!” bunyi peluit wasit menandakan pertandingan dimulai. Tidak terasa, babak penyisihan sudah akan berakhir. Dari total 20 RT yang ada di desa Kedungsongo, sudah ada 3 RT yang memastikan diri melaju ke babak semifinal, yakni RT 9 yang diwakili oleh Imam, RT 5 yang diwakili oleh Bidin dan RT 17 yang diwakili oleh Kosim. Saat ini, tengah berlangsung pertarungan sengit antara RT 10 dan RT 12 yang masing-masing diwakili oleh Julaiha dan Samsul.
Ya. Pertandingan ini menjadi agak aneh sekaligus menarik karena Julaiha sang kembang desa maju melawan Samsul si anak kepala desa. Pertandingan seperti ini tidak akan ditemukan dimanapun, karena pertarungan ini tidak mengenal batasan gender. Julaiha dengan gagah berani mendaftarkan diri menjadi wakil dari RT nya, membuat panitia kalang kabut karena memang di peraturan yang disepakati tidak ada batasan gender, tetapi hanya dicantumkan batasan umur. Dan ternyata, Julaiha membuktikan diri bahwa selain bersolek, ia juga handal dalam bermain bulu tangkis.
Pertandingan ini menjadi sangat ramai dan amat ditunggu-tunggu. Penonton berdesakan untuk bisa menyaksikan pertandingan di baris paling depan. Pemuda-pemuda desa sebagian besar mendukung Julaiha, sekalipun dengan motif yang tidak murni untuk memberi semangat Julaiha. Bisa menonton gadis pujaan mereka dengan dekat adalah salah satu anugerah yang harus diperjuangkan, sekalipun harus dengan sikut-sikutan bersama pemuda-pemuda lain yang bermotif sama. Sementara dibarisan pendukung Samsul terdapat banyak gadis-gadis desa yang antusias meneriakkan nama Samsul, berharap pemuda itu bisa berbalik kearah mereka dan memberi senyuman termanis yang cukup membuat hati mereka melambung tinggi tanpa parasut.
Sebagai ketua panitia, Susanti pun tidak mau ketinggalan untuk menonton pertandingan ini. Peluit yang bahkan terdengar hingga ke rumahnya membuat ia batal sarapan. Dengan satu kali tarikan napas, ia segera berlari ke lapangan bulu tangkis yang berjarak 50 meter saja dari rumahnya.
“Julaiha memukul kok kebelakang bidang lapangan Samsul. Ooh Samsul berhasil mengembalikan dengan pukulan kencang, Julaiha melompat, ahayyyyy, dropshot ke kiri dan YEAAHHH 3-2. Tambahan satu poin untuk Julaiha.”
Suara komentator dengan mikrofon dan toa hasil pinjaman membuat suasana semakin meriah. “JULAIHA! JULAIHA ! JULAIHA! JULAIHA!” barisan pendukung Julaiha siap dengan yel-yelnya yang diteriakkan setiap kali Julaiha mendapatkan satu poin.
Pendukung Samsul pun tak mau kalah, mereka tidak lelah meneriakkan yel-yel yang spontan saja dibuat.
“Bang Samsul! Bang Samsul! Bang Samsul! BANG SAMSUUUUUUUL!!!”
Yel-yel yang sejatinya sama saja, hanya saja terkadang ada satu pendukung yang curi-curi berteriak melengking berharap bisa mencuri perhatian Samsul.
“Ayo bang Samsul! Kau pasti menang!! Kami selalu mendukungmuuuu!!!!”
teriak salah satu wanita di barisan pendukung Samsul. Kemudian, dibentangkanlah kain putih berukuran 3x1 meter yang diikat dengan tali rafia di keempat ujungnya bertuliskan: BANG SAMSUL JUARA 1! BANG SAMSUL JUARA DIHATI KAMI! Susanti tidak berhasil menahan tawanya melihat betapa antusias gadis-gadis di desanya yang sehari-hari hobi mencari kutu dan mencuci baju di sungai. Dalam sekejap, mereka bisa berubah menjadi suporter militan, mirip suporter klub sepak bola saja.
Teriakan diberbagai penjuru tidak meredup hingga menuju akhir pertandingan babak kedua : skor 20-19 untuk Julaiha. Bukan main. Julaiha mampu mengungguli Samsul di babak pertama dengan skor 21-18, lalu dia selangkah lagi akan mengalahkan Samsul di babak kedua ini. Pendukung Julaiha semakin garang, pendukung Samsul pun semakin beringas tak mau kalah.
“AYO BANG SAMSUL! BABAT HABIS! JANGAN MAU KALAH!”
Teriak pendukung Samsul, sambil mengangkat tinju ke udara. Pendukung Julaiha pun semakin garang meneriakan nama Julaiha.
“JULAIHA!JULAIHA!JULAIHA!” tanpa jeda, tanpa kenal lelah.
Komentator pun semakin bersemangat memanaskan keadaan, seakalipun suaranya kalah saing dengan teriakan pendukung dua kubu tersebut.
“Satu poin lagi saudara-saudara!!!!! Akankah Julaiha memanangkan pertandingan ini??? Atau, akankah Samsul bangkit dan mengejar ketertinggalan??? Kita saksikan bersama! Berpihak kepada siapakah Dewi Fortuner pada siang hari ini? Julaiha berkonsentrasi penuh! Samsul mulai pucat bersiap-siap menerima servis dari Julaiha. Dan kita tunggu saudara-saudara, akankah sejarah baru di desa ini kembali terjadi???”
Teriak sang komentator, setelah mengambil napas penuh. Penonton semakin bersorak sorai tidak terkendali. Selain pengucapan yang salah soal Dewi Fortuner, komentator itu mirip betul dengan makelar obat. Sementara itu, Samsul semakin pucat, keringat deras mengalir di kedua pipinya. Julaiha terlihat melotot, memegang raketnya dengan kukuh. Riasan wajahnya sudah lama luntur bersama keringatnya, tetapi kecantikannya tetap tidak memudar sedikitpun. Pak kades tidak berhenti memelintir kumisnya yang jarang-jarang, sambil sesekali mengelap keringat didahinya dengan ujung lengan bajunya.
Julaiha memberikan servis kearah Samsul dan mampu dikembalikan dengan baik. Samsul mencoba mengecoh Julaiha dengan memainkan teknik netting silang, sialnya Julaiha pun mampu mengembalikannya sekalipun kurang sempurna. Samsul tak menyerah, kembali ia berikan lob jauh ke pojok kanan bidang lapangan Julaiha. Julaiha pontang-panting kesana kemari berusaha mengembalikan pukulan Samsul. Julaiha masih mampu mundur cepat, lalu dengan susah payah mengembalikan pukulan Samsul. Ia jatuh tergelincir, membuat hidung mancungnya mencium lantai semen yang masih baru. Wajahnya penuh debu. Memanfaatkan keadaan ini, Samsul pun segera maju dan meloncat tinggi, hendak menunjukkan teknik jumping smash untuk bisa menyelamatkan dirinya dari kekalahan. Ia memukul kok dengan keras, mengarahkannya ke sisi kiri bidang lapangan Julaiha. Semua penonton menahan napas. Tegang. Semua teriakan berhenti sejenak. Semua bola mata bergerak mengikuti arah kok melaju. Julaiha sudah terkapar tidak berdaya, hanya mampu berdoa agar kok jatuh diluar garis batas lapangan. Setelah beberapa detik dilanda kesunyian, hakim garis mengangkat bendera kesamping badannya. Penonton masih tegang, belum tahu maksudnya apa.
“KOK JATUH DILUAR LAPANGAN! 21-19! JULAIHA MELAJU KE BABAK SEMI FINAAAL!!”
Pendukung Julaiha berteriak girang, pendukung Samsul ngomel-ngomel.
“Dasar wasit curang. Julaiha pasti menggunakan pelet agar bang Samsul bisa lengah.”
Begitu omelannya sambil menuding-nuding wasit yang tidak tahu apa-apa. Julaiha bangkit dan berputar gembira. Ia menengok kebelakang, memberikan senyum lebar dan tak lupa mengedipkan matanya genit. Semua pendukungnya terpana dan mabuk kepayang. Disisi tak jauh dari situ, para istri mulai melotot dan segera berjalan cepat hendak menyeret suaminya pulang, sebelum tenggelam lebih dalam lagi oleh pesona cantik dan moleknya Julaiha.
Disisi lain lapangan, hansip masih sibuk menjaga kawanan pendukung Samsul yang hendak menerobos masuk, sambil sesekali curi-curi kesempatan. Sementara itu, Samsul masih berdiri mematung. Raket yang ia pegang jatuh bebas ke lantai, pandangan matanya kosong, terbuka tapi tidak menatap kemana-mana. Wasit memberi isyarat kepada Julaiha dan Samsul untuk mendekat ke arah net dan saling bersalaman. Julaiha pun segera bergerak terpincang-pincang  kedepan, menunggu Samsul segera menyusul. Samsul pun bangun dari lamunannya, setelah satu langkah bergerak, tiba-tiba ia terjatuh. Pandangannya yang kosong kini jadi gelap gulita. Badannya menjadi rapuh dan enteng seperti kapas.
“BRUUUGGG!!!!” bunyi badannya membentur lantai. Kali ini semua penonton kembali terdiam. Bingung. Susanti pun segera berlari menghampiri Samsul. Ia menepuk-nepuk pipi samsul dan menggoyang-goyangkankan bahunya.
“Bang Samsul, bangun bang!” teriak Susanti cemas.
Pak kades segera berlari menyusul, beliau mengelus-elus dahi Samsul.
“Bangun nak... ini bapak..” ucapnya lirih.
“Pak hansip!! Sini!! Tolong angkat Samsul, bawa segera ke mobil jompleng saya. Kita bawa dia ke rumah sakit.
Sebelum dua orang hansip datang dan mengangkat Samsul, Pak kades melirik tajam kearah Susati.
“ini semua gara-gara kamu! Anak saya jadi begini. Kalau terjadi apa-apa dengan dia, kamu harus bertanggung jawab.”
Jangankan menjawab, Susanti hanya bisa diam mematung. Ia pun jatuh terduduk ke belakang. Keringat dingin mengalir di pipinya. Telinganya mendadak berdenging ngilu. Pak kades sudah beranjak, tetapi kata-katanya masih tertinggal disana, mendengung di telinga Susanti.
Bagaimana bisa terjadi seperti ini?Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi pada bang Samsul? Tak pernah ia memikirkan kemungkinan hal seperti ini terjadi. Sebelum diangkat oleh dua orang hansip, ia melihat darah keluar dari hidung bang Samsul. Apakah otaknya terluka? Apakah dia akan mati? Ucapnya dalam hati, membuat ia semakin takut akan keadaan yang ia belum mengerti ini.
Sebelum ia terlarut jauh dalam lautan ketakutannya sendiri, ia pun tersadar dan segera memanggil beberapa orang panitia untuk membereskan lapangan. Ia segera berlari kearah jalan raya, melayangkan pandnagan kesegala arah, berharap ada pengendara sepeda motor yang melaju melewatinya. Tidak berapa lama, ia tersenyum penuh harap. Dilihatnya Bidin mengendarai sepeda motor Astra milik ayahnya.
“Din... sini. Saya butuh tumpangan.” Teriaknya setelah Bidin mendekat kearahnya.
Belum sempat bidin memberikan tanggapan, Susanti segera duduk di belakang Bidin, membuat Bidin melongo.
“ayo Din, kita ke rumah sakit. Saya harus melihat kondisi Bang Samsul. Kamu tidak lihat, tadi dia pingsan?” Susanti menjelaskan, setelah melihat Bidin diam melongo beberapa saat.
“kenapa harus saya yang anter kamu, Sus? Saya kan juga punya urusan sendiri.” Jawab Bidin enteng saja.
“Kalau kamu tidak mau antar saya sekarang dan ternyata terjadi sesuatu pada bang Samsul, kamu tidak akan punya kesempatan masuk final, jadi juara 1 dan memenangkan hadiah 1 juta rupiah. Bisa buat beli kambing. Turnamen ini jadi batal Din, bubar.” Ucap Susanti sungguh-sungguh.
Setelah berpikir sejenak, Bidin pun menyalakan kembali motornya dan mulai melaju.
“pegangan yang kenceng, Sus” perintah Bidin,
“Ogah!” jawab Susanti sambil mendengus.
           Setelah melewati hamparan sawah nan luas, melewati satu jembatan angker dan pasar kecamatan, sampailah mereka berdua ke rumah sakit terdekat dari desa. Butuh waktu 40  menit menuju kesana dengan kecepatan motor Bidin yang tak seberapa cepat dengan kondisi motor yang sudah agak butut. Normalnya, hanya butuh 25-30 menit saja untuk kesana.
           Setelah bertanya ke resepsionis, Susanti pun segera berlari menuju ruangan tempat bang Samsul dirawat. Sejenak ia mencoba mengintip lewat celah jendela, Susanti pun yakin bahwa ia tidak salah kamar. Ia berniat mengetuk pintu, sebelum tangannya menyentuh pintu, ia pun mendengar langkah mendekat dibelakangnya.
“sudah saya bilang, jangan macam-macam kamu. Kamu lihat sendiri kan, akibatnya? Coba-coba untuk membuat sejarah baru, sekarang malah sudah memakan korban. Bagaimana kalau har buruk terjadi? Bisa-bisa kamu dilaporkan ke polisi.”
Mendengar kata-kata bernada ancaman tersebut, Susanti pun membalikkan badan dan segera mendapati Pak Tabri lah yang berbicara padanya.
“lebih baik kamu pulang saja sana, belajar. Baca buku yang banyak. Jangan main-main disini.” Ucap Pak Tabri sebelum masuk ke ruang rawat Samsul.
Susanti pun ragu, ia melangkah mundur, menatap keluarga Samsul yang hanya nampak ujung kepalanya saja. Akhirnya, ia memilih mundur, berbalik badan dan melangkah pergi. Sesampainya di parkiran, ia segera menghampiri Bidin yang tengah membetulkan pon lepeknya sambil bercermin di kaca spion.
“gimana keadaan Samsul, Sus? Dia sudah sadar? Dia disuntik di paha?”
Bidin segera memberondong Susanti dengan berbagai pertanyaan setelah kaget tiba-tiba Susanti sudah berdiri mematung dibelakangnya.
“ayo pulang Din” ucap Susanti lemah, tanpa berkedip.
Bidin pun segera menyalakan mesin motornya, lalu beranjak dari sana dengan kecpetan tidak lebih dari 40 km/jam.
Sementara itu, didalam ruang rawat Samsul, dokter telah selesai memeriksa dan menjelaskan kondisi Samsul kepada seluruh keluarga yang ada di ruangan, termasuk dua hansip dan Pak Tabri yang ikut-ikutan penasaran.
“bapak dan ibu sekalian, kondisi Samsul kini sudah stabil. kami sudah memberikan cairan nutrisi untuk membuatnya kembali bertenaga. Tadi dia mengalami epistaksis, atau mimisan. Hal ini bisa terjadi karena Samsul terlalu kelelahan. Mohon maaf sebelumnya, apakah beberapa ini Samsul tidak makan dengan baik? Karena dari hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik, terlihat dia sangat lemah dan kekurangan nutrisi.” Ucap dokter panjang lebar.
Dua hansip yang ikut mendengarkan hanya bisa menyerap 1/3 penjelasan dokter saja, sekalipun dua lubang telinganya sudah dibuka lebar-lebar, bahkan mulutnya pun ikut-ikutan menganga. Mendengarkan penjelasan dokter, Pak kades pun tampak berpikir sejenak. Dengan ragu-ragu, ia pun menjawab.
“sebetulnya, sudah 3 hari ini dia sedang puasa mutih dok. Dia ingin melakukan tirakat untuk bisa memenangkan turnamen bulu tangkis yang saat ini sednag diadakan di desa kami. Kemungkinan dia memang kurang makan, saya minta maaf dok.” Ungkap Pak kades sedih.
Dokter yang sudah cukup berumur itu tersenyum tipis, lalu menatap Pak Kades dan istrinya satu per satu bergantian.
”yang terpenting, kedepannya bapak dan ibu harus senantiasa mengingatkan Samsul untuk bisa makan dengan teratur, apalagi saat ini, agar kesembuhannya bisa berjalan cepat. Tidak perlu merasa bersalah berlebihan, mari bersama-sama kita saling mendukung untuk pulihnya Samsul. Saya pamit dulu”
           Pak kades dan istrinya pun mengangguk takzim. Setelah menutup pintu ruang rawat, dokter itu pun geleng-geleng kepala sambil menepuk jidat keriputnya.
Ada-ada saja ya, manusia. Begitu ucapnya dalam hati.
Tiga hari telah berlalu, Susanti tetap saja tidak bisa tenang. Pikirannya dihantui prasangka-prasangka buruk tentang banyak hal. Banyak hal yang harus ia lakukan untuk mempersiapkan babak final, tetapi dari pagi ia hanya melamun saja memandangi pohon sawo disamping kamarnya. Imam dan Bidin akhirnya keluar sebagai finalis, mengalahkan Kosim dan Julaiha.
Andai saja ada Mas Bagus, aku bisa cerita ke dia, dan dia bisa kasih beberapa solusi, atau minimal pencerahan. Ayah dan ibu sedang sibuk mengurus sawah, mana mungkin aku menambah beban pikiran mereka? Aku harus bagaimana ya? Tanyanya dalam hati.
Belum sempat ia meneruskan percakapan dengan dirinya sendiri, tiba-tiba telepon selulernya berdering. Ada SMS masuk, yang ternyata datang dari Bidin.
Sus, gawat! Tadi Abdul memberi kabar bahwa besok anak-anak muda desa harus membantu menyiapkan persiapan ritual nyajeni pitulasan. Ritualnya akan diadakan tanggal 16, tepat saat final bulu tangkis.
           Susanti kembali terkejut untuk kesekian kalinya. Lama-lama, rasanya ia akan membenci kejutan karena kebanyakan kejutan yang ia terima adalah berita buruk. Dan yang satu ini adalah yang paling buruk dari semua kejutan yang ia terima.
           Kenapa tiba-tiba saja ritual ini dilakukan kembali, setelah 3 tahun lamanya dihentikan? Apa maksudnya? Apakah warga desa masih percaya untuk menggantungkan keselamatan pada roh-roh leluhur yang diberi makan lewat sesajen begini?
           Seketika Susanti merasa sedih. Sia-siakah usahanya ini, untuk bisa mengubah sedikit demi sedikit perilaku warga desanya? Bagaimana bisa mereka kembali mempercayai hal-hal tersebut di zaman milenium ini? Sekalipun sudah ia coba dengan kegiatan yang lebih universal dan menyenangkan : turnamen bulu tangkis. Menciptakan sejarah baru adalah tujuan ke sekian, Susanti sesungguhnya lebih menginginkan agar warga desa mulai terbiasa dengan pola perilaku yang lebih maju, sekalipun dalam konteks perayaan kemerdekaan ini. Bung Karno pernah berkata bahwa satu orang pemuda mampu mengubah dunia, tetapi apakah satu pemuda ini tidak mampu mengubah satu desa saja?
0 notes
Text
KEJUTAN-KEJUTAN UNTUK SUSANTI
Bagian 2
Pematang sawah yang dilelewatinya terasa sangat sempit. Berkali-kaki kakinya hampir terpeleset jatuh ke tanah berlumpur yang siap ditaburi benih-benih padi. Angin yang bertiup sepoi-sepoi siang itu membuat rumput-rumput liar di sawah tetangga menggelitik ujung kakinya. Setelah berhenti sejenak untuk membetulkan letak makanan yang hampir jatuh dari tas jinjing yang ia bawa, ia pun tiba di petak sawah terakhir. Di sana, Susanti menemukan ayahnya sedang terbaring diatas karung padi, tidak bergeming dikerubuti serangga.
“Pak, ini makanannya.. tidur dirumah saja Pak, jangan disini”, kata Susanti sambil menaruh makanan disamping Ayahnya.
Susanti ingin sekali mengguncang tubuh ayahnya agar bisa segera bangun, tetapi hal itu urung ia lakukan. Ia pun teringat dengan nasibnya sendiri, betapa tidak enak dibangunkan ditengah-tengah dunia mimpi yang indah bin ajaib. Akhirnya, ia hanya duduk saja disamping ayahnya. Ia menyandarkan kepalanya di atas karung padi, hampir mirip dengan posisi ayahnya tidur saat ini.
Ia pandangi hamparan sawah nan luas, sebagian besar kosong karena sudah dipanen. Beberapa orang terlihat sedang menuntun sepeda, bersusah payah menjalankan sepedanya dengan dua karung padi membonceng diatasnya. Tampak mereka bersusah payah menjaga keseimbangan. Sepeda dituntun miring, demi menjaga karung padi tetap stabil. Jika satu karung saja jatuh, terkena ujung batu atau kayu runcing lalu robek, habislah dia. Bisa-bisa kena damprat juragan hingga dipangkas upah nyonggol seharian. Sementara itu, sang pemilik sawah masih sibuk di tengah petak sawahnya untuk memastikan bahwa padi yang dimasukkan ke karung sudah bebas dari jerami serta tidak ada buruh yang ngutil biji padi miliknya.
Nun di ujung jalan, terlihat lelaki tua hitam legam, petentang-petenteng disebelah truk besar: juragan padi. Dia lah yang membeli padi dari seluruh petak sawah milik seseorang tadi. Ia tidak bertopi sekalipun cuaca panas menyengat hingga ke dasar kulit. Kaos partai berwarna biru yang sudah agak pudar menjadi atasannya, sementara bawahannya ia mengenakan celana jeans rombeng yang dipotong selutut. Dua cincin berbatu akik besar-besar bertengger rapi di jari tengah dan jari manis tangan kirinya. Susanti tentu tidak akan ingat detail penampilan orang itu kalau saja tadi ketika ia berjalan lewat didepannya ia tidak digoda.
“cah ayu mau kemana? Sini dulu yuk ngobrol sama Mas Dayat,” Kata lelaki itu seraya menaik turunkan alisnya ditambah bonus senyuman genit.
“Bodo Amat!!”jawab Susanti ketus sambil melotot kearahnya.
Tidak sudi ia dilecehkan sekalipun hanya dengan kata-kata rayuan murah seperti itu. Ia segera mempercepat langkahnya, tak peduli dengan reaksi Pak Dayat yang langsung menekuk alis nya tajam ke tengah sembari berkata kasar.
Penampilan boleh aneh dan kusam, badan boleh hitam legam, tetapi tetap saja ia lah orang dengan kasta tertinggi disini. Bos. Orang yang menentukan berapa pantasnya padi di sawah ditukar dengan uang. Sebelum mencapai kata sepakat, ia akan mengelilingi petak-petak sawah satu kali, lalu mencomot biji padi di salah satu sisi dan mengunyah isinya. Setelah berpikir sejenak, mulailah ia menawarkan harga yang sekiranya cocok, setidaknya menurut perhitungan pribadinya. Sementara sang pemilik sawah hanya akan mencoba merayu agar harga yang ditawarkan bisa dinaikkan barang seratus dua ratus ribu. Tawar menawar yang tentu tidaklah bersifat alot karena si petani sudah kalah dari awal. Ia memang pemilik utuh dari sawahnya, tapi sang juragan lah sang penentu harga padinya. Tak mengapa bila sang juragan mau membeli dengan harga tidak terlalu tinggi, yang penting ia masih mendapat sedikit untung dan tidak perlu membawa pulang semua padinya ke rumah karena tidak laku dijual.
Pemilik modal akan menjadi orang yang berada dipucuk piramida, Ti. Pemegang kendali, penentu keputusan. Petani bebas mengolah tanahnya, mau memakai bibit apa, pupuk apa, berapa kali diberi pestisida, dan sebagainya. Akan tetapi, tetap saja juragan yang menentukan harga. Petani mau tidak mau akan tunduk, sekalipun tanpa paksaan verbal maupun ancaman fisik. Ketidakberdayaan posisinya membuat dia mengalah. Apa jadinya bila padinya tidak laku dijual? Tentu akan repot ia membawa seluruh padinya ke rumah, menjemur setiap hari, membersihkan dari serbuk-serbuk jerami, hingga kembali siap untuk ditawarkan ke juragan lain.
Susanti teringat akan pendapat Mas Bagus dalam suatu obrolan tentang hal ini.
Tanpa sadar, senyum kecil tersungging di wajahnya tatkala ia mengingat seniornya di sekolah itu. Mas Bagus sering memberikan pemahaman tantang hal-hal yang Susanti pertanyakan dalam hidupnya. Dari hal kecil soal alasan ayam berkokok jam 3 pagi dan jam 5 pagi, sampai hal besar seperti asal-usul terbelahnya Pangaea menjadi beberapa benua kecil di era Mesozoikum. Mas Bagus serba tahu, membuat Susanti tidak bosan untuk terus bawel dan menanyakan ini itu.
“ngapain kamu senyum-senyum ke pohon turi, Sus? Kesambet kamu?”tanya ayahnya yang entah kapan terbangun dan tiba-tiba melongo menatapnya.
Susanti pun segera tersadar dari lamunannya tentang Mas Bagus.
“Bapak bangun-bangun nuduh orang kesambet aja. Ini pak, makan. Susanti ndak boleh pulang sebelum makanan ini habis, Pak. Kata ibu, makanan ini disiapkan dengan penuh perjuangan.” kata Susanti sambil mengeluarkan rantang makanan dari tas yang dibawanya.
Ayahnya hanya tertawa kecil.
“dasar ibumu memang suka begitu. Tanpa dititipi pesan begitu pun akan ayah habiskan ini semua. Ayah butuh tenaga banyak untuk ngangkut 2 karung padi ”, katanya sembari membuka tutup rantang.
Ayahnya tampak lahap mengunyah berbagai makanan yang dimasak ibunya, membuat Susanti senang dan tergoda untuk ikut makan. Ia lalu mencomot satu perkedel dari  rantang, tepat sebelum sendok ayahnya datang menjemput.
“Kamu sudah menghubungi Pak Gunawan untuk persiapan turnamen bulu tangkis minggu depan?”tanya ayahnya setelah gagal menjemput perkedel dari rantang.
“sudah pak, besok beliau mau kesini meninjau lapangan, sekalian menjelaskan peraturan permainan ke tiap-tiap koordinator RT.”jawab susanti singkat.
“baiklah kalau begitu. Pastikan semua koordinator RT datang ya. Jangan sampai nanti ada yang tidak tahu aturan dan main seenaknya.”kata sang ayah sembari menyendok sisa nasi dipojok piringnya.
“iya pak, nanti malem Susanti sms-in semuanya. Main seenaknya? Maksudnya bagaimana pak?”tanya susanti heran.
“kemarin bapak lewat RT 5, bapak lihat Bidin sedang berlatih bulu tangkis dengan Dirun. Kok yang dipukul Dirun kebetulan kena jidat cunong si Bidin sampe agak benjut. Lalu dia bilang itu pelanggaran, dan jadilah dia menang. Ayah berusaha meralat, tetapi Dirun sudah keburu menerima hasil apa adanya. Yausudah ayah diamkan saja. Hahahaha” ujar ayahnya sambil tertawa kecil.
“Dasar Bidin memang tukang curang. Kebetulan dia memang koordinator RT 5 pak, biar besok malu dia mendengar peraturan yang sebenarnya. Seenaknya saja memenangkan pertandingan mentang-mentang jidatnya benjut.”ujar Susanti kesal.
Selesai menemani ayahnya makan, Susanti pulang duluan. Kali ini langkahnya menjadi cepat dan lebar karena beban dari rantang-rantang makanan sudah berpindah ke perut ayahnya. Dalam waktu cepat, ia sampai diujung pematang sawah. Ia menyempatkan untuk melambaikan tangan kearah ayahnya sebelum akhirnya berlari pulang. Sebelum sampai dirumah, ia pun takjub menyaksikan perubahan yang kentara dalam lingkungan desanya. Di berbagai area, dimana ada halaman luas, disitu ada orang-orang bermain bulu tangkis. Semua bermain tanpa jaring net. Anak-anak kecil bahkan tak mau kalah: mereka bermain dengan piring plastik sebagai raketnya. Susah payah mereka memukul kok ke arah lawan dan lebih sering gagal memukul koknya. Namun, tawa bahagia selalu tergambar diwajah mereka. Mereka tampak menikmati atmosfer baru dalam rangka menyambut ulang tahun kemerdekaan kali ini, sekaligus yang pertama dalam sejarah desa Kedungsongo : turnamen bulu tangkis antar RT. Semua orang berebut ingin ujug gigi.
“aku Taufik Hidayat..” teriak remaja berbaju kuning
“aku Lin Dan ya..” balas remaja berbaju merah.
“Lin Dan kan main pakai tangan kiri..”sergah si baju kuning.
Si baju merah tampak bingung, tetapi akhirnya ia kembali berteriak “pokoknya aku Lin Dan. Udah jangan banyak cincong, ayo mulai babak pertama!”
Kemudian mereka berdua memulai permainan di halaman rumah Enci Yuyu dan Bu Roisah memanfaatkan pagar rumah Enci Yuyu sebagai net. Susanti tersenyum menyaksikan pemandangan tersebut, tetapi didalam hatinya timbul sepucuk kecemasan. Entah mengapa, ia tiba-tiba teringat kata-kata Pak Kades dalam rapat desa tempo hari saat ia tengah memperjuangkan mimpinya untuk membuat sejarah baru bagi perayaan 17 Agustusan di desanya.
“turnamen catur sudah menjadi tradisi di desa ini sebagai salah satu wujud perayaan 17 Agustusan. Tradisi ini berjalan turun temurun sudah selama 20 tahun. Warga pun antusias menyaksikan dan ikut meramaikan. Turnamen ini pun cenderung mudah untuk dilaksanakan karena tidak membutuhkan perlengkapan yang rumit, serta hemat biaya. Turnamen ini juga diadakan sebagai upaya kompetisi kognitif bagi warga : seseorang yang bloon dan tidak berstrategi tentu tidak akan menang. Kenapa harus digantikan dengan turnamen bulu tangkis yang belum jelas bagaimana jluntrungannya?” ucap pak Kades panjang lebar menjawab usulan Susanti.
“Memang betul demikian, Pak. Akan tetapi, tidak diteruskannya satu tradisi bukan berarti kita menghilangkan satu babak sejarah desa ini, Pak. Bukan pula berarti tidak menghormati tradisi. Disini, saya berharap kita semua justru bisa membangun tradisi yang baru. Tradisi yang mengikuti perkembangan zaman, serta mampu membuat seluruh warganya antusias ikut berpartisipasi. Sudah sekitar 4 tahun terakhir, turnamen catur hanya diikuti orang-orang tua diatas 40 tahun. Peminatnya pun semakin menurun, tahun kemarin dari total 20 RT di desa ini bahkan hanya ada 8 RT saja yang mengirimkan wakilnya. Itupun sama dengan delegasi tahun lalu, dan tahun lalunya lagi. Kenapa kita tidak mencoba sesuatu yang baru, Pak? Anak-anak muda di desa ini jumlahnya cukup banyak, dan sebagian besar warga disini bisa bermain bulu tangkis dan gandrung menonton pertandingan bulu tangkis di TV. Apa salahnya kita membangun euforia meriah itu di desa ini Pak? Saya yakin tradisi baru ini akan membuat warga semakin antusias dan lebih bersemangat untuk berpartisipasi. Bukankah sudah sepatutnya generasi muda-mudi diberi kesempatan untuk berkompetisi secara sportif? Saya sudah menanyakan ke perwakilan karang taruna dari berbagai RT, mereka pun sangat antusias dengan ide ini. Selain itu, tiap tahun juga rutin diadakan lomba bulu tangkis di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk menyaring bibit-bibit unggul yang kita punya, Pak. Jika selama ini Bapak bertanya-tanya dimana gerangan anak-anak muda desa ini, maka turnamen bulu tangkis inilah panggungnya Pak. Kami akan tampil, kami akan berusaha maksimal. Kami akan membangun tradisi baru dan akan bersama-sama menjaganya.” Jawab Susanti dengan gamblang, hingga banyak hadirin melongo dibuatnya.
           Sebelumnya, warga hanya mengenal Susanti sebagai anak Pak Sunodo yang sekolah SMA di ibukota kabupaten. Namun, kali ini warga berkenalan dengan sosok Susanti yang baru: pemudi desa yang berani menyatakan pendapat dan mampu mengutarakannya dengan baik. Keberanian Susanti pun memancing keberanian hadirin lainnya untuk berpendapat dan sebagian besar mendukung ide Susanti. Karena waktu diskusi yang terbatas, terpaksa Pak Kades menunda pengumuman musyawarah di pertemuan pekan depan. Susanti pun pasrah, apalagi ia tidak bisa hadir karena minggu depan ia akan mengikuti lomba Olimpiade Matematika tingkat kabupaten. Jadilah ia pasrahkan hasilnya bagaimana nanti, yang penting ia sudah berusaha sebaik yang ia mampu. Saat itu, ia pun tidak menyangka bahwa usulannya akhirnya dikabulkan oleh Pak Kades.
           Setelah ditutup oleh Pak Kades, satu per satu warga mulai meninggalkan balai desa. Tepat sebelum Susanti keluar dari pintu, sesosok pria tua menghalangi langkahnya. Ia tampak kesal dan benci terhadap Susanti disaat Susanti bahkan masih menerka-nerka siapa gerangan pak tua ini.
“Anak bau ingusan, macam-macam saja maunya. Hati-hati kau, jangan asal minta. Jangan asal ngomong. Enteng saja ngomong membangun sejarah baru, membuang sejarah lama. Memangnya siapa kau? Jangan kau pikir hal-hal di desa ini sama dengan teori-teori di buku sekolah yang kau baca. Tradisi lama tidak akan hilang karena hanya karena ia sudah tua. Kau pikir orang-orang tua seperti aku akan diam saja? Lihat saja nanti.”ucapnya tajam menusuk batin Susanti.
Ia belum begitu paham dengan makna ucapan Pak Tua itu, hanya saja cara beliau bicara seakan-akan menyudutkan Susanti ke pojok ruangan. Nadanya terdengar mengancam dan miskin rasa simpati. Begitu Pak Tua itu menjauh beberapa langkah darinya, barulah ia ingat siapa sosok yang menyalakan api gundah dan cemas dihatinya : Pak Tabri. Ialah pemilik semua tambak ikan, penggilingan padi dan pegawai PNS di kecamatan.
Lihat saja nanti. Susanti masih ingat betul kata-kata terakhir orang itu. Dia pun bertanya pada dirinya sendiri, apakah aku sedang diancam? Kenapa Pak Tua yang bahkan jarang ikut turnamen catur disetiap tahunnya seakan-akan tidak rela tradisi itu diganti? Kenapa ia  tampak amat membenci Susanti?
Susanti baru tersadar dari lamunannya tentang diskusi panas minggu lalu setelah tiba-tiba ia terkena pukulan kok dari si baju merah, tepat di pojok mata kanan Susanti.
POKKK!! suara kok yang mendarat paksa di wajah Susanti. Belum sempat ia berteriak kesakitan, si baju kuning sudah berteriak duluan : “PELANGGARAN!! YEAY AKU MENANG!! 
Damprat                      : kena marah
Ngutil                           : mencuri sedikit    demi sedikit
Nyooggol                     : membawa pulang padi    dengan karung dari sawah
Petentang-petenteng    : berkecak pinggang
Cah ayu                       : gadis cantik
Kesambet                     : kesurupan
Ndak                            : tidak
0 notes
Text
KEJUTAN-KEJUTAN UNTUK SUSANTI
Bagian 1
Bunyi kentongan masjid yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahnya agaknya sedikit berhasil membangunkan Susanti dari mimpi indahnya. Mimpi yang membuatnya ingin tinggal lebih lama lagi demi menikmati momen fana yang hanya tercipta dikepalanya kala matanya terpejam: ia menikah dengan Roger Danuarta! Tanpa sepengetahuannya, tampaknya alam semesta sudah menyiapkan pasukan untuk membangunkan Susanti di pagi yang dingin itu dengan bunyi nyaring kentongan masjid sebagai nada pembuka. Terbukti, tak lama setelah itu terdengar suara segerombolan orang-orang yang hendak nglektor di sawah tidak jauh dari rumahnya, lengkap dengan mesin traktor yang juga dinyalakan! Sembarangan betul! “ngik..ngik..ngik..deng..deng..deng..” begitu suaranya terdengar disetiap putaran roda mesin traktor yang berjalan cukup lambat. Celakalah Susanti karena kamarnya tepat terletak disamping jalan menuju sawah.
Bersamaan dengan itu, ayam-ayam di belakang rumahnya kompak berkokok dan berteriak-teriak aneh yang tentu hanya dipahami oleh golongan ayam dan pawang ayam saja. “koek..koek.. kruuk..kruuk..krek..krek..kuooook” begitu bunyinya bersahut-sahutan. Dengan kompaknya, mereka berteriak-teriak kelaparan demi menarik perhatian sang majikan agar segera datang membawakan semangkuk adonan dedak dicampur air dan sisa nasi. Susanti sudah mulai tidak berkonsentrasi dengan mimpinya. Dia duduk disebelah Roger Danuarta tapi entah mengapa ia tiba-tiba mendengar bunyi “ngik... ngik... deng... deng... kruuk... kruuk... kuoook” dari langit diatasnya, pertanda suara mesin traktor dan sekawanan ayam telah sukses mendistorsi dunia mimpinya. Kemudian, datanglah malapetaka puncak dari sekutu semesta yang hendak memisahkannya dengan Roger: dua tangan ayahnya yang dingin terkena air sumur tiba-tiba mencengkeram telapak kaki Susanti. Pori-pori kulit kakinya seketika mengkirut, mengeriput, menutup. Dinginnya air sumur dari tangan Pak Sunodo merambat cepat ketubuh Susanti, menyengat sampai keubun-ubun, meresap ke otaknya hingga membuat Roger Danuarta sekejap lenyap dan dunia di alam tidurnya kiamat mendadak. Saat matanya terbuka, hanya ada penampakkan ayahnya yang bersarung dan berkaos kutang sambil tersenyum lebar.
“ bangun kamu, anak wadon. Itu bantu ibumu masak nasi. Bapak mau ke  mesjid dulu.” katanya sambil memperkuat cengkeraman tangannya di kaki Susanti.
Susanti seketika bangun, membuka matanya dan menarik kakinya kedalam selimut. Dia tahu ini adalah dunia nyata, orang bersarung didepannya adalah ayahnya, Pak Sunodo yang memang suka usil membangunkannya dengan cara yang nyleneh. Hanya saja, dia berharap sekali saja dalam hari-harinya, khususnya hari ini, dia bisa mendapatkan mimpi indahnya dengan tuntas. Sayangnya hal itu tetap menjadi harapan yang sia-sia karena Roger Danuarta dan dunia mimpinya sudah runtuh beberapa detik lalu. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa semua mimpinya tidak berakhir dengan indah karena ayahnya selalu datang membangunkannya dengan cara-cara yang tidak masuk akal? Susanti ingat betul beberapa hari yang lalu ia bermimpi sedang bermain di istana peri dimana ia sebagai penguasanya, lalu tiba-tiba istananya runtuh berantakan akibat teriakan ayam sekencang guntur dari langit. Tidak lain tidak bukan musibah itu terjadi karena ulah ayahnya yang menaruh mulut ayam tepat didepan lubang telinga Susanti dan mencubit si ayam hingga membuatnya berteriak ngeri.
“iya pak iya...” begitu jawabnya dengan bibir manyun.
Sang ayah hanya tertawa geli. Ia pun berpindah kesamping ranjang Susanti dan membuka tirai jendela. Masih gelap. Tapi memang begitulah Pak Sunodo, sengaja membuka tirai agar Susanti bisa melihat bahwa bahkan di pagi yang gelap saja dunia sudah memulai harinya. Setiap orang di desa sudah mulai mondar-mandir kesana kemari demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Ada yang menggiring kerbau ke guyangan, membawa cangkul dan tas jinjing berisi teh hangat dan sega pincuk, ada pula yang naik sepeda ke pasar terdekat. Ya, pagi bagi masyarakat desa Kedungsongo bukanlah saat pendaran sinar matahari mulai menguapkan embun dipucuk daun, melainkan ketika ayam-ayam berkokok sesaat sebulum Azan Shubuh berkumandang. Mau tidak mau, Susanti pun harus bangun sepagi itu, sekalipun malam sebelumnya ia hanya tidur 3 jam saja demi menghabiskan novel yang tengah ia baca: Salah Asuhan karya Marah Rusli.
“bu, masak banyak hari ini? Ada kuli di sawah?” tanya Susanti sambil menahan mulutnya yang menguap untuk yang ketiga kalinya setelah ia beranjak dari tempat tidur.
“iya nduk, bukan untuk kuli disawah sih, tetapi untuk beberapa orang yang akan membuat lapangan bulu tangkis disebelah kantor kepala desa. Tiga hari yang lalu, di rapat rutin desa bapakmu kebagian menyiapkan konsumsi. Jadilah kita masak banyak hari ini” Bu Tori menjelaskan panjang lebar pada Susanti yang kali ini sibuk mengucek mata kirinya dilanjutkan mengusap air liur yang mengering dipojok kanan bibirnya.
Mendengar tidak ada respon apapun dari Susanti, ibu 45 tahun tersebut segera menghampiri anaknya yang hampir ketiduran lagi sambil bersandar di dinding pojok dapur.
“Sana wudhu, sholat shubuh lalu bantu ibu memetik sayur kangkung.” Katanya sambil menggiring anaknya kekamar mandi.
Susanti pun menurut saja. Ia segera mengambil wudhu lalu sholat dengan khusyuk. Setelah memohon doa ini itu pada Tuhan Yang Maha Esa (termasuk keinginannya agar ayahnya bisa sembuh dari kebiasaan anehnya dalam membangunkannya dari tidur), ia tiba tiba terperanjat. Ia baru menyerap kata-kata ibunya didapur sebelumnya. Lapangan bulu tangkis disebelah kantor desa? Apakah ini berarti usulannya pada kepala desa 2 minggu yang lalu untuk mengganti perayaan 17-agustusan dari turnamen catur ke turnamen bulu tangkis dikabulkan oleh kepala desa? Tergopoh-gopoh ia berlari ke belakang mengagetkan ibunya hingga air panas kocar-kacir disekitar termos yang sedang coba diisi penuh oleh Bu Tori. Bukan main kagetnya sang ibu dengan kedatangan anaknya seperti itu.
“Bu, lapangan bulu tangkis betul akan dibangun? Jadi 17-agustusan nanti kita bakal turnamen bulu tangkis bu? Benar begitukah bu?”tanya Susanti sambil mengguncang-guncang pundak ibunya.
“TOKK!!”bunyi gayung yang mendarat di kepala Susanti disusul dengan erangan Susanti menahan ngilu di dahinya.
“Iyaaaa!!! Ngagetin ibu aja sih. Kalo ibu kesiram air panas gimana? Dasar bocah petakilan. Itu mukenah dilepas, dilipet, trus sini bantu ibu.” Protes ibunya.
Susanti segera berlari kembali kekamar, membereskan mukenanya sekenanya, lalu ia membuka jendela kamarnya lebar-lebar dan berteriak kencang.
“Akhirnyaaa!!!! 17-agustusan kali ini kita bisa bersorak-sorai dalam turnamen bulu tangkis!!! BANZAAAAAI!!!!” diteriakannya kata-kata tersebut ke jalan, ke sawah, ke rumah tetangga, ke siapapun yang mendengarnya.
Betapa bahagianya dia, akhirnya ia bisa mencetak sejarah baru di desa Kedungsongo: mengganti turnamen catur yang membosankan dan bikin ngantuk menjadi turnamen bulu tangkis yang seru dan menegangkan. Sudah bosan ia menyaksikan Mbah Karim terus menerus memenangkan turnamen catur tiap tahun tanpa membiarkan siapapun menggeser tahtanya. Setelah 10 tahun tanpa tandingan, kini datanglah sejarah baru di desa Kedungsongo: turnamen bulu tangkis! Bukan main! Bahkan namanya pun sama dengan nama belakang pemain bulu tangkis wanita terhebat di jagad nusantara, Susi Susanti. Bukankah ini adalah pertanda alam? Dia juga akan mencetak sejarah bulu tangkis di Desa Kedungsongo.
“Dasar bapak dan anak sama saja kelakuannya.”  Begitu komentar sang ibu seraya mencuci beras di samping sumur, setelah menutup telinganya sebentar dengan tutup panci.
Wadon                   : perempuan
Nglektor                : membajak sawah menggunakan    mesin traktor
Guyangan             : sungai dangkal tempat memandikan kerbau
Sega pincuk          : nasi dan lauk yang dibungkus    daun pisang dengan bagian ats yang lancip
Nduk                      : panggilan sayang pada anak perempuan
0 notes
Text
Berlari di Lintasan Melingkar
Selamat malam, wahai kertas kosong. Kita sudah sepakat untuk menjadi teman, bukan? Pegang tanganku, kita coba kembali terbang malam ini.
Setelah menunda-nunda cukup lama, sore ini aku dan selvi (beserta pacarnya) pergi untuk jogging. Dari sekian banyak pilihan lokasi jogging, kami memilih Saraga ITB. Perjalanan cukup macet karena kami berangkat sekitar pukul 16.15 WIB, disaat ramai orang di jalan hendak kembali kerumahnya masing-masing. Semuanya saling pepet, ada celah sedikit langsung hajar. Begitulah semboyan pengendara sepeda motor dalam kondisi seperti ini. Pukul 16.45 WIB kami sampai, dan segeralah kami berlari di lintasan masing-masing.
Terdapat 8 lintasan lari di SARAGA ITB ini, dan aku memilih untuk berlari di lintasan nomor 5, masuk ke golongan lintasan luar. Aku menargetkan untuk berlari 10x putaran, seperti biasanya aku targetkan saat masih sering berlari di GOR Jati. Ternyata, ada puluhan orang yang juga sedang berlari disana, dari segala umur, bermacam golongan. Akan tetapi, tidak ada satu orangpun yang berlari sembarangan, berpindah-pindah lintasan seenaknya. Siapa lari dengan ugal-ugalan, langsung disemprot oleh ibu-ibu penjaga lintasan dengan mikrofon! “hei hei itu mbak-mbak yang berdua, tolong jangan lari melawan arah! Balik lagi! Itu plang nya dibaca ya!” begitu aku dengar pengumuman pertama saat lari di putaran yang pertama. Malu bukan main tentunya.
Apabila dilihat-lihat, berlari adalah kegiatan yang monoton. Melelahkan. Kurang seru. Bikin betis membesar dan mengeras bak betis tukang becak. Namun, hal-hal seperti itu tidak berlaku untukku. Bagiku, berlari di lintasan melingkar ini adalah salah satu bentuk olah raga yang simpel sekaligus menjadi media refleksi diri. Ya, berlari sama halnya dengan bercermin. Bagaimana bisa?
Pertama: setiap orang akan berlari di lintasan masing-masing. Disadari atau tidak, dalam hidup ini, kita juga berlari menghabiskan jatah detik yang kita punya sedikit demi sedikit di lintasan kita masing-masing. Tak ada berebut jalur. Semua punya jalan hidupnya sendiri, semua punya cerita masing-masing. Oleh karena itulah, tiada guna kita melulu membanding-bandingkan diri dengan kesuksesan orang lain. Iri, dengki, lalu merasa bahwa hidup tidak adil. Setiap orang sudah punya jalannya masing-masing, apa yang didapat adalah apa yang diupayakannya. Siapa kita berani-berani menggugat? Mulut memang mudah berucap, hati juga mudah merasa, tapi tetap saja kita harus ingat: fokus berlari di lintasan masing-masing. Sibuk melirik lintasan orang lain justru membuat lari kita lambat dan tanpa sadar tahu-tahu kita tertinggal dibelakang.
Kedua: selama berlari, ada kalanya kita bertemu dengan berbagai macam sosok. Ada yang konsisten selalu menyalip kita disetiap putaran, ada pula yang ternyata mengenal kita lalu dengan murah hati ia memberikan seutas senyum kepada kita sambil berlari, ada pula yang berjalan terseok-seok: enggan berhenti, tak kuat kaki dipaksa berlari. Dalam kehidupan, kita juga akan bertemu dengan banyak jenis orang.
Ada orang yang sukses dan mampu menjadikan hidupnya penuh manfaat, hingga kita terpacu untuk bisa seperti dia. Ada pula orang-orang yang biasa-biasa saja dalam hidup kita, tidak terlalu penting, tidak jelas perannya. Hanya saja mereka meramaikan latar dalam hidup kita. Kita juga bertemu dengan orang-orang baik yang senantiasa memberi semangat dan peduli dengan kita. Dengan kehadiran mereka, hidup kita menjadi lebih indah dijalani. Dan, kita juga mungkin akan bertemu dengan seseorang yang memang diciptakan untuk mendampingi kita. Mungkin lintasan hidupnya ada persis di sebelah kita. Orang yang akan mengangkat tubuh kita saat jatuh tersandung bebatuan saat berlari, menarik tangan kita saat kita tertinggal, dan berteriak menyemangati saat kita hendak mencapai garis finish. Dialah belahan jiwa kita. Akan tetapi, karena terlena akan kehadirannya, kadang tidak kita sadari (atau mungkin sengaja kita abaikan) bahwa tetap saja dia berlari di lintasannya sendiri. Kita ingin berlari di lintasan yang sama, dengan kecepatan yang sama dan kekuatan yang sama. Bisakah? Tentu saja tidak. Tuhan sudah menciptakan kita beserta lintasan hidup kita. Egois adalah sifat wajar kita sebagai manusia, dan sering tanpa sadar kita memunculkannya.
Sebelum berlari, atau sembari mulai berlari, kita mulai tang ting tung menentukan target putaran yang akan kita capai: 10x? 15x? Atau berdasarkan hitungan waktu: 30 menit? 1 jam? Semua orang menetapkan targetnya masing-masing, lalu mulailah ia berlari untuk menyempurnakan target itu menjad kenyataan. Selama putaran awal-awal, kaki akan terasa cepat lelah, sakit dan berat. Seakan-akan ia mengemis, cukupkan saja lari di putaran ke 5. Nafas mulai tersengal-sengal, degup jantung pun terasa cepat dan keras, seakan-akan ikut serta menyatakan demo: cukupkan di putaran ke 5!! Sepanjang putaran awal-awal, kita akan memaksakan berlari sambil mencoba berdamai dengan diri: “pasti kuat lah, masak kalah sama bapak-bapak beruban didepan yang bahkan sudah lari 8x putaran?”begitu hati berucap berusaha menegosiasi. Akhirnya, setelah mencapai putaran ke-5 dengan perdebatan internal yang tiada habis-habisnya, mulailah kita merayu diri kita sedikit demi sedikit: “ayo, tinggal 4 putaran lagi, pasti bisa. Sayang kan udah lewat 5 putaran...”kaki pun terasa makin ringan, degup jantung dan bunyi nafas sekalipun masih tetap cepat dan keras, tetapi entah kenapa kini menjadi lebih harmonis dan syahdu.
Dan sampailah kita pada putaran terakhir. Akhirnya!!! Tanpa helai pita dan sorak-sorai penonton pun rasanya tetap ramai karena rasa bahagia yang membuncah hingga tumpah-tumpah! 10 putaran berhasil dicapai dan kita mulai berpikir untuk mulai meningkatkan target di masa depan. Rasa puas dan senang membuat seakan-akan perdebatan sengit di sepanjang putaran-putaran awal tidak pernah ada.
Tentu kita mulai sadar, bukankah dalam kehidupan kita juga terkadang merasakan hal seperti ini? Kita senantiasa menetapkan target-target yang ingin kita capai atas nama pembuktian diri. Sedikit demi sedikit kita mulai mengusahakan target tersebut menjadi nyata. Akan tetapi, saat kita mulai menemukan rintangan  dan cobaan, ada kalanya kita mulai berpikir untuk mundur saja, atau turunkan target yang kita canangkan di awal. “Mumpung belum terlalu jauh, mumpung pengorbanan yang kita lakukan belum terlalu banyak.” Begitu bunyi bisikan di telinga kiri kita.
Kita pun tetap berusaha mengupayakan target-target tersebut, sekalipun dengan terseok-seok tidak karuan. Mencoba menutup rapat telinga kiri dan terus melangkah ke depan sedikit demi sedikit. Hingga akhrinya kesulitan-kesulitan tadi perlahan memudar, diri menjadi lebih kuat dan semakin terdorong untuk menyelesaikan target.
Lihat? Betapa lari 10 putaran bisa menjadikan diri sehat sekaligus hati kenyang akan berbagai pemikiran filosofis yang positif. Sebelum tulisan ini sampai pada titik terakhir, ada satu hal lagi tentang filosofi berlari yang juga penting untuk diketahui: lintasan melingkar! Ada apa pula dengan hal ini?
Lintasan melingkar juga melambangkan lintasan hidup kita. Titik awal kita berlari juga merupakan titik akhir yang kita capai. Ia adalah awal, sekaligus akhir. Tempat berangkat, sekaligus tempat berpulang. Ada kalanya kita berada di titik terjauh, tetapi suatu saat kita tetap akan kembali ke titik kita berasal. Seberapa lama pun kita hidup, tetap saja kita akan menuju ke titik awal takdir kita: ketiadaan. Dari tiada, ada, lalu kembali menjadi tiada. Sungguh sia-sia orang yang sibuk berlari kencang salip menyalip dengan orang lain, padahal sudah tau lintasan hidupnya jelas berbeda-beda. Yang terpenting adalah menuju ke garis finish dengan selamat, sesuai dengan target yang dari awal disepakati dan mengakhiri langkah kaki dengan banyak hal: keringat, kebijaksanaan dan kebahagiaan.
0 notes
Text
Me vs My Blank Paper Syndrome
Tumblr media
Malam ini, sudah kurencanakan kembali untuk terjun ke dunia lamaku yang amat kucintai: menulis. Sudah coba kukumpulkan kembali puing-puing niat dan komitmen yang sudah berserakan disudut-sudut jiwa, baik yang tidak sengaja terbengkalai atau memang mau tak mau harus aku tendang kepojokan, menjadi kecil-kecil berantakan, carut marut tidak keruan, namun tak kan pernah kubuang ke keranjang sampah, sampai kapanpun. Dari dulu, aku selalu punya keyakinan bahwa suatu hari aku akan mendatangi pojok-pojok itu dan memungut puing-puing mimpi itu lalu memeluknya erat. Aku tetap yakin bahwa dikemudian hari, aku akan menjadi penulis. Menulis adalah takdirku. Seperti halnya mur dan baut, atau paku jalanan dan tukang tambal ban. Menulis adalah jodohku.
Setelah sekian lama vakum, mati suri, dorman, atau apapun sebutannya, aku kembali bangun dan berniat serius untuk kembali menyapa kertas dan pena (atau versi canggihnya: microsoft word). Sengaja aku buka kembali novel-novel yang belum habis kubaca serta novel yang baru kubeli untuk bisa semakin membangunkanku dari masa ketiduran panjang dari menulis. Sudah kuputuskan bahwa malam ini aku akan pergi ke kafe, lalu nulis sambil ngopi dan ngemil. Kemudian, berangkatlah aku bersama ochi dan kevin (motorku) ke suatu kafe, dan alhamdulillah kami tersasar terlebih dahulu sebelum akhirnya sampai. Setelah duduk dan menimbang-nimbang menu apa yang akan kupesan, aku pun membuka tas dan segera mengambil laptop. Dan barulah pada detik itu aku sadar: aku lupa membawa charger laptopku.
Laptopku tanpa charger adalah motor tanpa bensin, jangankan untuk berjalan, hidup saja tidak. Aku mengutuki diriku sendiri atas kebodohanku yang seperti tiada habisnya mengikuti hidupku. Atau memang semesta ingin bermain-main denganku saat ini? Rasanya ingin marah, tetapi dengan begitu pun charger laptopku tidak lantas muncul didepanku, sim salabim! Akhirnya, aku hanya bisa melanjutkan membaca novel, sambil memikirkan kira-kira apa yang akan aku tulis sepulang nanti dari kafe?
Akhirnya, kegiatan di kafe berlalu dengan kurang mengasyikkan. Sekali lagi, semesta memang ingin mengerjai aku. Musik di kafe tersebut sangatlah kencang, hingga bahkan pelayan pun tidak bisa mendengar ucapan tamu yang sedang memesan makanan. Miris memang. Kemudian, setelah mencoba berpikir mendalam dalam waktu yang cukup singkat, aku memutuskan untuk menulis tentang “Blank Paper Syndrome”. Sindrom yang kuderita selama ini, membuatku tak bisa menjangkau puing-puing mimpi di pojokkan sana.
Blank Paper Syndrome adalah kondisi ketakutan yang aku alami saat ingin memulai menulis hanya gara-gara melihat kertas kosong. Entah mengapa, aku merasa ada hantu-hantu tak kasat mata dibalik putihnya kertas kosong dihadapanku, siap melahapku kapan saja. Disaat kepala sudah penuh dengan ide-ide, setelah berjumpa dengan kertas kosong,  mendadak boom! Meledak lenyap sudah ide-ide tadi jadi butiran debu, lalu dibawa angin timur menuju tempat yang jauh. Entah ketakutan macam apa ini, rasa-rasanya sangat aneh namun tetap saja tidak bisa kuhindari kehadirannya. Ketakutan inilah yang selalu membuatku gagal. Gagal mencoba, gagal bangkit, gagal memulai, dan gagal menuangkan ide. Kegagalan yang membuatku malu pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku terus menerus gagal bahkan sebelum mencoba? Tak ubahnya seperti atlet yang takut memasuki lapangan, atau penyanyi yang takut terhadap mikrofon didepannya.
Aku menganggapnya sebagai karma. Hukum alam yang tak kenal ampun. Dulu, disuatu waktu yang aku lupa jam dan tanggalnya, aku sering mengabaikan kertas kosong tadi. Disaat aku sudah membuka lembar kosong, siap untuk menulis, tiba-tiba aku akan berpindah mengerjakan hal-hal lain. Mengabaikan kertas kosong tadi, yang siap menampung seluruh isi kepala dan hatiku. Mungkin rasanya seperti diberi harapan palsu berkali-kali, seperti telah diangkat keatas awan, mengira akan diajak terbang lalu tiba-tiba ditinggalkan tanpa parasut.
Tidak dapat dipungkiri, saat remaja dulu, banyak hal yang terasa amat menyenangkan untuk dilakukan selain menulis, hingga jadilah aku mengabaikannya. Bukan berarti aku tidak begitu menyukainya, hanya saja aku mudah tergoda untuk melakukan hal-hal lain, bahkan setelah aku membuka kertas kosong tadi. Dan kini, kertas kosong itu ganti mengerjaiku, menakut-nakutiku dengan teror yang mencekam, sekalipun tak kasat mata. Betapa adil semesta ini, bahkan benda mati pun mampu memberi balasan kepadaku demi menjunjung tinggi keadilan semesta, dimana manusia bukanlah pihak yang berada di pucuk piramida, tetapi pihak yang setara dengan makhluk-makhluk lainnya. Sama-sama sebagai penghuni semesta yang numpang gratisan. Tentu saja ini bukan pengelompokkan berdasarkan asas siapa yang memakan dan dimakan.
Saat ini, sedang kucoba berbaikan kembali dengan kertas kosong itu. Sedikit demi sedikit, aku akan menyapanya dan mengajaknya terbang, walau hanya setinggi pohon turi. Tak apa, dibanding terbang tinggi lalu dijatuhkan. Akan aku coba memantapkan hati, menghapus bayang-bayang hantu gaib yang hobi membawa kabur inspirasi dan ide saat aku mulai ketakutan. Dan wahai semesta, dukunglah aku. Jangan jadikan aku dan kertas kosong ini menjadi musuh. Biarkan kami berteman, bekerja sama hingga mampu membuahkan rangkaian kata-kata yang indah dan bermakna. Biarkan kami terbang bersama diatas awan, dan jangan biarkan halilintar menyambar hendak melahap tubuh kami. Sayap-sayapku baru saja patah, susah payah aku sambung dengan benang dan jarum. Bimbinglah kami terbang mengarungi angkasa, untuk bisa menatapmu dari sudut yang benar dan mengejawantahkan apa yang kami lihat, rasa dan dengar menjadi buah karya yang indah tiada tara.
Dan wahai kertas kosong bekas musuhku, terimalah jabat tanganku ini. Mulai saat ini kita teman. Sahabat. Saudara. Aku tidak akan mengabaikanmu, dan tolong usir hantu-hantu yang mengintip dibelakangmu itu karena kini aku sudah bertekad untuk menjadi tuan penulis yang baik.
0 notes
Text
[DIREXER] DIET MODIFICATION, REGULAR EXERCISE AND POWER NAP : INOVASI TERKINI GAYA HIDUP SEHAT SEBAGAI UPAYA PREVENTIF SINDROM METABOLIK DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS POPULASI DEWASA MUDA DI INDONESIA
Disadari atau tidak, penyakit tidak menular seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, obesitas dan berbagai jenis kanker serta penyakit pernapasan kronis merupakan kelompok penyakit yang banyak menyebabkan kematian di dunia. Menurut WHO, penyakit-penyakit diatas merupakan penyebab 60% kematian warga dunia tiap tahunnya. Sebanyak 80% kasus kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (World Health Organization, 2006, World Health Organization, 2008).
Selain itu, pada tahun 2005 diketahui bahwa penyakit tidak menular diatas menyebabkan 52% dari seluruh kasus kematian di wilayah Asia Tenggara. Persentase di kawasan Amerika dan Eropa bahkan jauh lebih tinggi dari itu. Berbagai fakta diatas menunjukkan bahwa penyakit tidak menular tersebut menjadi beban berat tanpa memandang status ekonomi suatu negara, meskipun sebenarnya penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah (World Health Organization, 2006). Dari sekian banyak faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular tersebut, salah satu faktor risiko yang krusial adalah sindrom metabolik (Monteiro & Azevedo, 2010, Halpern et al., 2010, Kassi, Kaltsas & Chorousus, 2011, Park et al., 2010)
Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan gangguan metabolisme yang ditandai dengan kondisi intoleransi glukosa, obesitas sentral serta dislipidemia (Yassine et al.,2009). Cook et al mendefinisikan sindrom metabolik sebagai terdapatnya tiga atau lebih tanda-tanda berikut ini: meningkatnya trigliserida (>100mg/100ml), rendahnya HDL (<40mg/100ml), obesitas sentral yang ditandai dengan lingkar abdomen >90 persentil sesuai jenis kelamin, meningkatnya gula darah puasa (>110mg/100ml) serta tingginya tekanan darah (>90 persentil).[1.6,7,8,9] Sindrom metabolik secara langsung dapat meningkatkan risiko terjadinya Penyakit Jantung Koroner (PJK), manifestasi lain dari penyakit atherosklerosis kardiovaskuler serta Diabetes Melitus tipe 2 (Kassi, Kaltsas & Chorousus, 2011, Park et al., 2009, Biro & Wien, 2010).
Insiden terjadinya sindrom metabolik tinggi dan terus meningkat seiring berjalannya waktu. Menurut The National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP:ATPIII) prevalensi sindrom metabolik diperkirakan akan terus meningkat sebanyak 5% selama lima belas tahun terakhir (Kassi, Kaltsas & Chorousus, 2011, Yassine et al., 2009). Selain itu, seperti halnya di negara barat, prevalensi Sindrom Metabolik di negara berkembang pun terus meningkat (Park et al., 2010). Sindrom ini pun diketahui terus naik frekuensinya pada anak-anak dan remaja sekalipun belum ada konsesus mengenai diagnosis sindrom metabolik pada anak-anak dan remaja hingga saat ini (Halpern et al., 2010, Park et al., 2010). Peningkatan frekuensi tersebut diduga terkait dengan semakin meningkatnya epidemi obesitas pada anak-anak (Park et al., 2010).
Berdasarkan Pooled Analysis menggunakan dua kohort prospektif the Bogalusa Heart Study (BHS) dan the Cardiovascular Risk in Young Finns Study, terdapat suatu indikasi peningkatan risiko 2.7 – 3.4 kali lebih besar terjadi sindrom metabolik di usia dewasa pada remaja yang mengalami sindrom metabolik. Peningkatan risiko sindrom metabolik ini diduga karena adanya peningkatan jumah komponen sindrom metabolik remaja. Gambar 2 menunjukkan bahwa Indeks Massa Tubuh (BMI) merupakan satu-satunya komponen konsisten yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya sindrom metabolik dewasa pada model-model yang multivariabel (Bruce & Hanson, 2010)
Tumblr media
Gambar 1.       Relative Risk dari Pooled Data untuk Memprediksi Sindrom Metabolik, Tingginya Ketebalan Karotid Intima Media dan Tipe 2 DM di Usia Dewasa sesuai dengan tiap Komponen Sindrom Metabolik Remaja (Bruce & Hanson, 2010)
Dari berbagai komponen sindrom metabolik, prediksi terjadinya sindrom metabolik dewasa menggunakan komponen BMI merupakan metode superior dibandingkan prediksi menggunakan segala definisi sindrom metabolik remaja yang lain. Hal ini menjadi temuan penting yang memiliki  implikasi klinis. BMI diukur menggunakan peralatan sederhana dengan pengukuran yang mudah dan akurat, sehingga melalui pengukuran BMI orang dengan risiko tinggi dapat segera diidentifikasi dan dapat diberikan intervensi melalui kontrol berat badan(Bruce & Hanson, 2010).
Disisi lain, diketahui pula bahwa prevalensi sindrom metabolik meningkat dramatis seiring dengan meningkatnya BMI. Pada kohort NHANES 2003-2006, pria dan wanita dengan kelebihan berat badan (overweight) lebih berisiko 5.5 – 6 kali lebih besar memiliki komponen-komponen sindrom metabolik dibandingkan individu-individu dengan berat badan normal maupun dibawah normal (Kassi, Kaltsas & Chorousus, 2011). Kondisi BMI yang tinggi baik berupa overweight maupun obesitas terbukti memiliki hubungan yang erat dengan terjadinya sindrom metabolik pada individu sekalipun belum ditetapkan sebagai faktor utama (Monteiro & Azevedo, 2010, Biro & Wien, 2010)
Obesitas dan overweight didefinisikan sebagai kondisi akumulasi lemak berlebih maupun abnormal yang dapat mengganggu kesehatan seseorang dan diukur serta diklasifikasikan menggunakan parameter BMI. Badan kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai seseorang dengan BMI >30, sedangkan overweight sebagai seseorang dengan BMI >25 (World Health Organization, 2014, Whitney et al., 2011, Shah et al., 2009, Brown et al, 2009).
Pada tahun 2014 diketahui bahwa prevalensi obesitas di dunia meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1980 (World Health Organization, 2014). Peningkatan obesitas yang juga berkaitan dengan peningkatan insiden sindrom metabolik terjadi karena adanya adopsi gaya hidup kebarat-baratan oleh masyarakat. Aspek negatif utama dari gaya hidup tersebut diataranya adalah stres psikologis jangka panjang, keseimbangan energi positif yang ditandai dengan berlebihnya konsumsi energi dan rendahnya aktivitas fisik serta makanan berkualitas rendah (tinggi lemak dan padat energi serta rendah kadar mikronutrisi) (Monteiro & Azevedo, 2010, World Health Organization, 2014).
Pada kondisi keseimbangan energi positif, terjadi penumpukan lemak terus menerus. Hal ini mendorong peningkatan plastisitas jaringan adiposa melalui mekanisme pembentukan adiposit baru dan pemenuhan rongga tubuh untuk ekspansi jaringan adiposa. Ketika hiperplasia adiposit untuk memenuhi kebutuhan akomodasi penumpukan lemak sudah melewati batas, terjadilah hipertropi adiposit.  Hipertopi adiposit terus menerus  mengakibatkan semakin sering adiposit tersebut pecah dan terjadi penyimpanan lemak diluar jaringan adiposa (umumnya di hepar) yang menimbulkan konsekuensi lokal dan sistemik seperti resistensi insulin (Monteiro & Azevedo, 2010, Shah et al., 2009, Christiansen et al., 2010). Penumpukan lemak berlebih pada tubuh akan menyebabkan peningkatan pelepasan LDL oleh hepar, lalu ketika jaringan lain seperti jaringan subkutan tidak mampu lagi menampung lemak, akan terganggu pula proses konversi VLDL yang menyebabkan hipertrigliseridemia. Obesitas juga akan mengakibatkan peningkatan pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) yang mengganggu proses insulin signaling. Kondisi tersebut yang berlangsung terus menerus menyebabkan terjadinya respons inflamasi tingkat rendah (low-grade inflammation) (Monteiro & Azevedo, 2010, Shah et al., 2009, Christiansen et al., 2010).
Obesitas viseral diduga kuat berperan penting dalam terjadinya sindrom metabolik sekalipun tidak semua penderita sindrom metabolik mengalami kondisi ini (Pierce et al., 2008, Shah et al., 2009, Villareal et al., 2011). Ukuran adiposit abdomen menjadi perhatian penting mengingat  kemungkinannya untuk membesar, lalu pecah dan merangsang respons inflamasi Adiposit tersebut juga dapat mensekresi berbagai adipokin proinflamasi seperti leptin, resistin, PAI-1, IL-6, TNF-α, RBP-4, MIF, berbagai kemokin, IL-18 dan IL-33 yang sebagian besar berperan dalam proses resistensi insulin. Oleh karena itu, pada kondisi obesitas maupun overweight terjadi proses inflamasi yang juga berlangsung terus menerus dan mempengaruhi terjadinya kondisi sindrom metabolik maupun memperburuk kondisinya (Monteiro & Azevedo, 2010, Shah et al., 2009, Christiansen et al., 2010).
Terkait dengan masalah obesitas dan overweight, WHO mencatat pada tahun 2014 terdapat lebih dari 1.9 milyar orang dewasa (usia >18 tahun) memiliki kondisi overweight dan dari jumlah tersebut, sekitar 600 juta diantaranya mengalami obesitas. Dengan kata lain, sekitar 39% populasi dewasa (usia >18 tahun) mengalami  overweight dan 13% diantaranya mengalami obesitas (World Health Organization, 2014). Hal tersebut menjadikan populasi dewasa rentan terhadap kondisi sindrom metabolik yang kemudian mengarah ke berbagai penyakit kardiovaskuler (World Health Organization, 2014, World Health Organization, 2016). Ancaman ini berlaku di hampir seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia yang saat ini tengah menghadapi kondisi double burden of disease (World Health Organization,2014). Obesitas dan overweight merupakan kondisi yang amat sangat bisa dicegah, metode yang paling mudah untuk dilakukan adalah melalui metode diet modification dan regular exercise (World Health Organization, 2014, Shah et al., 2009, Lovato & Lack, 2010).
Langkah pertama yakni Diet Modification dapat diwujudkan dalam konsep upaya penurunan berat badan melalui pengaturan pola makan dan pemilihan jenis makanan yang dikonsumsi (Whitney et al., 2011, Shah et al., 2009, Christiansen 2010). Pada populasi dewasa muda, hal ini sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak adanya risiko berbahaya akibat penurunan berat badan, lain halnya dengan populasi dewasa tua (Shah et al., 2009, Lovato & Lack, 2010). Penurunan berat badan terbukti dapat menurunkan penanda - penanda inflamasi dalam peredaran darah dan hal tersebut berhubungan erat dengan normalisasi produksi dan ekspresi gen penanda - penanda inflamasi. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan berat badan memberikan efek positif pada pencegahan/perbaikan sindrom metabolik (Christiansen, 2010).
Dalam upaya penurunan berat badan, target penurunan berat badan yang ditetapkan harus rasional dan besarnya tergatung berat badan awal individu. Batas aman penurunan berat badan yakni 0.2-0.9 kg/minggu dan untuk individu overweight, idealnya penurunan berat badan tersebut konsisten dilakukan selama 6 bulan (Whitney et al., 2011,).
Setelah menentukan target, hal yang harus dilakukan adalah memilih konsumsi makanan yang bergizi tinggi secara konsisten. Selain itu, nutrisi yang dikonsumsi pun tidak boleh melebihi kebutuhan tubuh. Individu dewasa yang mengalami obesitas dianjurkan mengurangi asupan nutrisi sebanyak 500-1000 kcal/hari dan bagi individu overweight sekitar 300-500 kcal/hari. Secara umum, asupan nutrisi harian dalam rangka penurunan berat badan ini harus memenuhi sekitar 1200 kcal/hari untuk wanita dan 1600 kcal/hari untuk pria (Whitney et al., 2011,).
Tumblr media
Gambar 2.       Spesifikasi Jumlah Makanan untuk Menyediakan Nutrisi 1200 kcal – 1600 kcal sesuai Jenis Makanan (Whitney et al., 2011,)
           Selain itu, strategi lain yang harus diterapkan adalah kurangi porsi makan tiap kali mengonsumsi setiap jenis makanan. Untuk mempermudah perhitungan porsi makanan, kita bisa menggunakan pengaturan porsi makan bagi pasien diabetes yang sudah disesuakan agar kadar gula darah tetap terkontrol. Hal yang perlu juga untuk dilaksanakan adalah perlahan-lahan dalam makan, makan dengan porsi suapan yang sedikit serta kunyah makanan dengan baik. Hal ini akan mempengaruhi pusat pengaturan rasa puas di otak, sehingga dengan makan secara perlahan, individu akan merasa puas dan kenyang dengan jumlah konsumsi makanan yang lebih sedikit. Akhirnya, asupan energi yang masuk pun dapat dikurangi tanpa menurunkan perasaan puas dalam menyantap makanan. Terakhir, makanlah makanan dengan densitas energi yang rendah seperti buah-buahan dan sayuran serta perbanyak konsumsi air atau makanan yang banyak mengandung air (Whitney et al., 2011,).
Tumblr media
Gambar 3.       Proporsi Konsumsi Karbohidrat, Lemak dan Protein bagi Pasien Diabetes Mellitus (Whitney et al., 2011,).
           Langkah kedua yang harus dilakukan adalah melalui regular exercise. Menurut rekomendasi dari WHO, dalam rangka menurunkan risiko penyakit tidak menular serta meningkatkan kekuatan otot dan tulang, individu usia 18-64 tahun dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik berupa aktivitas aerobik intensitas moderat dengan durasi sekurang-kurangnya 150 menit atau aktivitas aerobik intensitas tinggi dengan durasi sekurang-kurangnya 75 menit  selama satu minggu. Rekomendasi ini relevan untuk diterapkan semua individu dewasa yang sehat tanpa membedakan jenis kelamin, ras, etnis, atau tingkat penghasilan. Durasi tersebut dapat dibagi sesuai dengan preferensi tiap individu, misalnya bisa melalui aktivitas aerobik moderat 30 menit/hari selama lima hari dalam seminggu secara rutin (Farmilo, 2014).
           Individu dewasa yang melakukan regular exercise terbukti memiliki risiko lebih rendah untuk mengalami berbagai penyakit tidak menular, kanker, depresi serta sindrom metabolik (Yassine, 2009, Farmilo, 2014). Aktivitas aerobik moderat 30 menit/hari selama lima hari dalam seminggu secara rutin Penurunan kadar lemak tubuh dan peningkatan aktivitas fisik yang teratur terbukti memiliki pengaruh positif terhadap risiko penyakit kardiovaskular dan sindrom metabolik (Brown et al., 2009, Lovato & Lack,2010). Peningkatan aktivitas fisik melalui exercise dapat menurunkan risiko sindrom metabolik melalui perubahan faktor-faktor metabolik seperti peningkatan metabolisme glukosa, sensitivitas insulin, profil subfraksi lipoprotein, dan penurunan penanda - penanda inflamasi serta lemak viseral dan hepar (Yassine et al., 2009, Pierce et al., 2008)
Dalam rangka mengatasi obesitas maupun overweight pada populasi dewasa muda, kombinasi intervensi diet modification dan regular exercise juga terbukti memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan jika hanya melakukan salah satu metode saja (Yassine et al., 2009, Pierce et al., 2008, Lovato & Lack, 2010).
Tumblr media
Gambar 4.       Perbandingan Perubahan Komponen Metabolik pada Individu dengan Intervensi Diet, Exercise, serta Kombinasi Diet and Exercise Christianses, 2010)
Sebagai tambahan, hal terakhir yang perlu dilakukan adalah mempraktikkan aktivitas power nap. Dinges et al. (1987) mendefinisikan nap sebagai periode tidur dengan durasi kurang dari 50% rata-rata periode tidur utama pada individu. Napping atau tidur siang merupakan fenomena global yang terjadi pada individu di masa bayi dan berlanjut hingga masa dewasa bagi sebagian besar orang. Durasi tidur siang tersebut beragam, dari hanya beberapa menit hingga beberapa jam (Santos, Jankavski, Lorenzi, 2016). Disisi lain, power nap merupakan aktivitas tidur siang dengan durasi pendek yang memberikan efek positif pada kesehatan individu (Autumn et al., 2016)Durasi power  nap berkisar antara 20-30 menit (Hoffman, 2010)
Saat ini, dunia industri sedang hangat memperbincangkan kemungkinan anjuran dilakukannya power nap pada karyawannya. Hal ini dikarenakan berbagai studi telah membuktikan bahwa power nap dapat meningktakan kewaspadaan, ketelitian dan krativitas individu, khususnya populasi dewasa muda (Hoffman, 2010, Arnin, 2011). Selain itu, power nap juga memberikan manfaat lain seperti meningkatkan kemampuan memori, motorik dan  pengambilan keputusan (Berger & Hobbs, 2006, Kamal, Wahida & Yunus, 2012). Hal ini juga terkait dengan semakin tingginya kondisi kurang tidur pada populasi dewasa muda di dunia dikarenakan semangat bekerja yang tinggi dan persaingan yang ketat didunia kerja (Hoffman, 2010) .
Oleh karena itu, power nap dapat dijadikan solusi untuk menjaga kondisi tubuh tetap fit dan tetap produktif menjalankan berbagai aktivitas (Arnin et al., 2011, Berger & Hobbs, 2006), Selain itu, studi epidemiologis juga menunjukkan bahwa dengan mempraktikkan power nap beberapa kali dalam seminggu, individu dapat memiliki risiko penyakit kardiovaskuler yang semakin menurun (Hoffman, 2010). Untuk dapat mempraktikkan power nap secara optimal, pastikan untuk menyediakan alokasi waktu yang cukup (20-30 menit), buat kondisi ruangan senyaman mungkin serta hindari paparan zat kimia sebelum tidur (kafein, nikotin, radiasi telepon genggam, dsb (Berger, 2006).
Tumblr media
Gambar 5.       Skema program DIREXER
Pada akhirnya, kita menyadari bahwa populasi dewasa muda berada pada posisi yang rentan terhadap ancaman sindrom metabolik. Oleh karena itu, tentulah bijak untuk melakukan kegiatan pencegaham berupa inovasi gaya hidup baru yang mampu mengurangi risiko tersebut sekaligus meningkatkan produktivitas populasi dewasa muda tersebut. Hal tersebut diwujudkan dalam program DIREXER: Diet Modification, Regular Exercise and Power Nap.
Melalui inovasi gaya hidup baru ini, populasi dewasa muda khususnya bagi inidvidu yang mengalami obesitas maupun overweight dapat memperbaiki kondisi tubuhnya menjadi lebih sehat dan terhindar dari risiko sindrom metabolik. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan manfaat positif dari penerapan inovasi ini seperti peningkatan produktivitas dalam bekerja maupun belajar. Hal ini cukup berpengaruh penting, mengingat populasi dewasa muda merupakan populasi yang berperan penting dalam berbagai sektor kehidupan serta berperan sebagai generasi penerus bangsa yang sangat potensial. Terlebih lagi bagi Indonesia yang diprediksi akan menerima bonus demografi pada tahun 2030. Hal tersebut tentulah akan menjadi sia-sia bila populasi generasi muda nanti tidak berada dalam kondisi terbaik khususnya dari segi kesehatan .
0 notes
Photo
Tumblr media
BUKAN RAMALAN ZODIAK
Setiap awal pekan, aku selalu dag dig dug menanti-nanti bagaimana ramalan zodiakku minggu ini. Apakah minggu ini aku akan sial? Atau aku akan mendapat keberuntungan? Ramalan zodiak pun ikut andil dalam masalah cinta. Ya, cinta pertamaku, Dion, yang saat itu  terdiam kaku melihatku jatuh terpeleset di aula. Seseorang yang sangat kusukai, bahkan sampai saat ini, di detik-detik menyebalkan menunggu pengumuman kelulusan. Dion yang atletis, Dion yang jago basket, Dion yang dingin dan jarang tersenyum, Dion yang selalu terlambat ke sekolah,  Dion yang selalu menganggapku sebagai benalu dalam kehidupannya, dan Dion yang ternyata juga menyukaiku.
Capricorn : kamu akan menemukan seorang pangeran yang sudah kamu idam-idamkan selama ini. Dia akan menyatakan cinta ditempat yang tak terduga, disaat yang tak terduga. Jangan sia-siakan dia. Dia ibarat berlian afrika, kau akan menyesal bila tak memandang keindahannya.
Dan ternyata benar saja, Dion menyatakan cinta ditengah lapangan basket, diakhir pertandingan basket antar kelas. Ramalan itu memang hebat !
Saat itu aku merasa seperti Cinderella yang diajak berdansa oleh pangeran tampan ditengah-tengah kerumunan bangsawan, dan aku membayangkan diriku seperti Kate Middleton yang dicium oleh Pangeran William di beranda istana. Dan seperti cerita-cerita dalam dongeng, aku berharap cerita cintaku berakhir secara happy ending. Seperti tertulis di setiap lembar terakhir buku dongeng. Akhirnya pangeran dan putri hidup bahagia selamanya. Tetapi, semuanya hancur, gara-gara ramalan zodiac !
Capricorn : waspadai gerakan musuh. Kekasihmu mungkin tengah terlena dalam godaan “dia”. Tidak ada yang kekal didunia ini, termasuk urusan cinta. Ibarat langit, pagi ini cerah, esok gelap gulita. Tabahkanlah hatimu.”
Tiba-tiba saja kabar burung itu melintas dikepalaku. Gossip murahan yang awalnya hanya kuanggap sebagai angin lalu kini menyeruak, menyapaku ditengah kebimbangan. “Ta, kamu nggak tau yah? Dion itu selingkuh sama Gita.” Atau kalimat lain seperti “kemarin aku liat Gita diboncengin sama Dion, Ta. Dia udah putus yah, sama kamu?” yang dulu sama sekali tak kuperdulika, kini kalimat-kalimat itu justru menari-nari lembut didepan kelopak mataku.
Apakah Dion menghianatiku?
Hingga sore itu.  Saat pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak memperpanjang rasa curigaku kepada Dion, saat aku tergerak untuk menemui dia di tempat latihannya, menyaksikan dia yang selalu bersinar di lapangan basket, membawakan handuk untuk menyeka keringatnya, menyiapkan sandwich kesukannya, tapi akhirnya dia malah menghempaskan semuanya.
Didepan mataku, kulihat Dion tengah bercengkrama mesra dengan seorang gadis-Gita-. Bersama-sama menggiring bola basket mendekati ring, tertawa bersama saat melihat sang gadis gagal memasukkan bola kedalam ring, mencubit pipi sang gadis, lalu… lalu… aku tak sanggup melihatnya lagi ! cukup!
”maaf Dion, aku rasa kita putus aja…” kataku keesokan harinya.
“Ta.. kamu becanda kan? Kamu kenapa Ta?” Dion tampak bingung. Aku heran kenapa dia begitu. Apa dia sedang mencoba pura-pura bodoh? Apa dia juga sedang berpura-pura amnesia? Aku mencoba menatap matanya, sembari menahan tetesan air mata yang terasa hampir meleleh. Dion tampak semakin bingung melihat ekspresiku.
“Ta….” Ucapnya seraya memegang pipiku dengan tangan kanannya.
“Ternyata ramalan itu emang bener…” kataku seraya berlari menjauhi dia. Aku menangis sehari semalam.
Dan ramalan-ramalan itu terus menemaniku, meskipun isinya sangat menyayat hati.
Capricorn : sabarkanlah dirimu.. ikhlaskan dia dengan orang lain… paginya kulihat Dion bergandengan tangan dan tertawa-tawa bahagia bersama Gita.
Capricorn : kesialan mungkin akan menimpamu, jaga diri baik baik…. Esoknya aku pingsan terkena lemparan bola basket Dion.
Capricorn : minggu ini dewi fortuna belum memberkati Capricorn, kamu harus lebih sabar… esoknya kudengar gossip Dion dan Gita jadian.
Lengkap sudah penderitaanku. Tak ada alasan bagiku untuk tidak mempercayai ramalan-ramalan itu.
Waktu berjalan cepat, tak terasa tiga bulan berlalu setelah aku putus dari Dion. Waktu yang terlalu panjang untuk menyadari betapa aku terlalu bodoh dan konyol, hingga ingin rasanya rasanya aku  menertawakan diriku sendiri.
Hari itu aku membaca tabloid langganan untuk mengetahui bagaimana ramalan zodiakku minggu itu. Tetapi, ada sesuatu yang mengagetkanku. Sebuah tulisan besar di cover majalah itu membuat bola mataku hampir meloncat keluar.
“ Miss Zodiak Dibekuk Setelah Terbukti Melakukan Penipuan dengan Kedok Ramalan Zodiak.”  Tulisan itu membuatku merinding, sekaligus penasaran. Aku segera membaca berita itu.
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya aku hanya bisa menghela napas panjang. Ya Tuhan…… betapa bodohnya aku selama ini. Bisa bisanya aku menggantungkan ramalan kepada seorang psikopat dan penderita gangguan mental? Miss Zodiak, bukan, nama aslinya adalah Sarminah, ternyata seorang penderita gangguan mental akut yang hobi meramal. Dan tak perlu ditanya lagi, semua ramalannya tentu saja palsu!
Dan anehnya, hal-hal lain pun seakan ikut terkuak satu persatu, setelah kedok Miss Zodiak terbongkar. Akhirnya aku tahu bahwa Dion tidak pernah jadian dengan Gita, dan semua kemesraan yang kulihat diantara mereka berdua ternyata tidak berarti apapun, karena Gita adalah adik sepupu Dion.
Dan semua ini membuatku menyesali satu hal, yaitu ketika aku tahu bahwa ternyata setiap hari Dion selalu mencoba menghampiriku, ingin menanyakan padaku kenapa aku memutuskan berpisah dengannya, kenapa tiba-tiba aku bilang bahwa ramalan itu benar, kenapa aku berlari sambil menangis dan meninggalkan sekotak sandwich kesukaannya, dan kenapa aku seakan menjauhinya dan menganggap dia tidak ada. Hingga akhirnya dia berkesimpulan bahwa dia telah membuat sebuah kesalahan besar padaku , yang dia sendiri tidak tahu, dan membuat aku sangat membencinya. Dion menganggap aku membencinya! Kenyataan itu membuat hatiku begitu teriris perih.
Dan sampai saat ini, aku masih merasa sangat bersalah kepada Dion, hingga aku tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk meminta maaf padanya. Bukan. Aku rasa karena aku merasa amat malu, bahkan hanya untuk sekedar tersenyum saat tidak sengaja berpapasan dengannya. Aku telah mengorbankan dia, demi mempercayai ramalan-ramalan bodoh itu. Apa itu bisa termaafkan? Mungkin memang lebih baik begini, membiarkan Dion salah paham. Biar saja dia menganggap aku membencinya, daripada dia tahu bahwa aku meninggalkannya karena ramalan-ramalan sialan itu.
**************************************
Hari ini aku menyempatkan diri untuk melihat Dion dari kejauhan. Yah, memang hanya ini yang bisa kulakukan semenjak kesalahpahaman waktu itu. Dion terlihat sangat keren disana, Semua orang bertepuk tangan, para gadis berteriak histeris menyerukan namanya, dan aku hanya berdiri disini, disudut terpencil, mencoba mengamatinya tanpa ingin diketahui.
“Ta, AWASSS !!!!!!!!!!!!!” Cici berteriak sambil berlari menghampiriku. Kulihat dia memegang  majalah mingguan, ahh, apalagi kalau bukan tentang ramalan zodiac. Dan kutegaskan sekali lagi, aku tidak mau memperdulikannya.
“BRRUKKK!!!!” Bola basket yang tengah melaju kencang menabrak kepalaku. Aku merasa berputar-putar sangat kencang. Dunia terasa begitu gelap, mungkin karena matahari memang hampir tenggalam. Kulihat raut wajah Cici yang ketakutan, lalu tiba-tiba semuanya menghilang seperti asap.
Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan, yang jelas saat aku membuka mata aku melihat Cici yang sudah ketiduran disamping kirik. Tunggu! Kalau Cici sedang terlelap dalam mimpi, lalu siapa yang saat ini sedang memegang tangan kananku?
Dan kulihat Dion disana. Raut wajahnya terlihat sangat cemas, dan aku merasa tangannya sangat berkeringat, apa sudah lama sekali dia memegang tangankku?
“kamu nggak papa, Ta? Aku takut kamu kenapa-kenapa….” Ucapnya lirih.
“aku nggak papa kok, kenapa kamu disini?” tanyaku heran.
“aku nggak tahu kenapa bola basketku suka sekali nabrak kamu..”
Tak lama kemudian Cici bangun, wajahnya sangat kusut dan lucu. Setelah menyadari penampilannya, Cici segera berlari ketoilet, karena kubilang wajahnya seperti monster. Dan anehnya, Dion tidak melepaskan genggaman tangannya, sungguh menyenangkan.
“nanti aku anterin kamu pulang, dan kamu nggak boleh nolak…” ucap Dion seraya membelai pipiku.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“ada banyak hal yang harus aku jelasin ke kamu, Ta..” ucapnya lirih seraya menangkup pipiku, dan menghadapkannya kedepan wajahnya.
“aku juga..”  jawabku seraya mencoba memberikan senyum termanis kepadanya.
“aneh yah Ta, padahal ramalan zodiak bilang hari ini kamu akan dapet kejutan yang membahagikan. Tapi, kamu malah apes gini, mungkin ramalannya bohong, Ta.” Ucap Cici setelah kembali.
“apa aku bilang..” jawabku seraya tersenyum.
Dalam hati aku bergumam,apa yang dikatakan Cici memang benar adanya. Hari ini aku memang mendapat kejutan yang membahagiakan. Genggaman tangan Dion saat ini, tatapan matanya yang menyejukkan hati, degup jantungnya yang sayup-sayup kudengar berdetak kencang, belaian tangannya yang halus dipipiku, hingga hembusan nafasnya yang hangat ditelingaku adalah kejutan yang benar-benar menakjubkan. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ramalan itu! Aku yakin!
ditulis oleh : Devi Agustin Setiawati - 2011
0 notes
Text
Kau Lupa Satu Hal, Alvin!
Hari ini tepat sebulan setelah Alvin memeberikan sepucuk surat padaku. Surat yang kubenci, karena hanya berupa kertas putih biasa. Mungkin dia menyobek kertas itu dari buku tulisnya. Sungguh menyebalkan ! Tapi itu tak mengapa, karena yang terpenting adalah catatan yang tertulis diatas kertas ini. Guratan pena yang aku yakin ia tulis sendiri, karena bayangan tulisannya terlihat begitu jelek, jadi pastilah dia sendiri yang menulisnya.
Alvin menyuruhku membuka surat itu setelah tiga bulan, terhitung sejak dia memberikannya padaku. Apa-apaan coba? Kenapa harus menunggu tiga bulan? Dan kini belum tiga bulan, dia justru pergi entah kemana. Ingin rasanya kubuang surat itu, tapi sayangnya aku sudah terlanjur berjanji untuk menuruti perkataan Alvin.
Alvin adalah segalanya bagiku. Dia selalu ada disaat aku senang ataupun sedih. Dia seperti malaikat pelindung. Dia tidak pernah mengeluh saat harus menggendongku pulang kerumah, dia bersedia mendengarkan ceritaku meskipun sebenarnya dia sudah bosan. Saat kucing kesayanganku mati, dia membantuku menguburkannya dan memberiku kucing Persia yang sangat lucu, yang kuberi nama Alvon. Dan saat aku menangis, dia akan mencubit pipiku sambil berkata “jangan nangis lagi yah, mau aku beliin es krim?” kalimat yang kekanak-kanakan, tapi kini justru sangat kurindukan.
Disaat senang pun dia selalu ada untukku. Saat aku tertawa, dia akanikut tertawa disampingku. Dia tidak pernah lupa memberi kado-kado yang menakjubkan dihari ulang tahunku. Dan dia selalu bersedia menemaniku bermain monopoli atau karambol, meskipun sebenarnya dia sibuk. Segala hal bersamanya terasa begitu indah.
Tapi, kenapa Alvin bagai hilang ditelan waktu? Kenapa dia pergi tanpa memberitahukan apapun padaku? Apakah sesuatu yang buruk tengah menimpanya?
Aku merasa sendirian. Hampa. Bagiku, semua tempat terlihat seperti kuburan, sepi tanpa warna. Tak ada Alvin berarti tidak ada hari-hari yang seru, obrolan-obrolan garing yang tak membuat jemu, atau candaan kecil yang membuat aku tertawa meskipun sebenarnya tidak lucu.
Sepertinya Alvin memang betul-betul hilang. Seperti dompet yang tertinggal ditaman. Tak terhitung berapa kali aku pergi kerumah Alvin dan kulihat pintu pagarnya masih terkunci rapi. Apakah mungkin Alvin pindah sekolah? Anehnya, Pak Guru wali kelasku bilang tidak tahu apa-apa. Ketika kutanyakan lebih lanjut mengenai dimana keberadaan Alvin, beliau hanya bergeming. Setengah mati aku membujuk beliau untuk memberi tahu aku, tetap saja tidak berhasil. Ada apa ini? Kenapa semua serba dirahasiakan?Aku benar-benar tidak habis pikir. Sekan-akan alam semesta bersekongkol menyembunyikan Alvin dariku.
“kenapa kamu nggak tanya sama Bi Sumi? Beliau kan kerja udah lama dirumah Alvin, pastinya dia tahu lah, kemana keluarga Alvin pergi.”  Bujuk Rindu, temanku.
“iya yah.. kenapa aku nggak kepikiran?  Ya udah, makasih yah Rin, tumben banget kamu pinter..”
Terasa ada angin segar berhembus meskipun baru sepoi - sepoi. Mungkin Rindu benar, dan aku akan segera tahu kemana Alvin pergi. Aku berlari cepat ke rumah Bu Sumi, berharap beliau tidak ikut-ikutan bersekongkol menyembunyian Alvin dariku. Dari Bi Sumi aku akhirnya tahu kalau Alvin sekeluarga pergi ke Jepang. Hanya itu saja.
Aku merasa sedikit lega. Setidaknya aku tahu dimana keberadaan Alvin. Semoga kau baik-baik saja Alvin. Tapi, seberkas kesedihan pun muncul . Jepang itu kan jauh sekali dari sini, terpisah lautan yang sangat  luas. Aku tidak akan bisa menemuinya.
Aku khawatir, dan bingung. Kenapa Alvin pergi? Kenapa ia tidak mengatakan apapun padaku sebelumnya? Sudah mentok aku berfikir, tetap saja tidak ketemu benang merahnya. Tidak lucu jika Alvin hanya sedang bermain-main petak umpet denganku.
Belum sempat aku bernafas lega, kabar dari Rindu menghempaskan semuanya.
“Din, aku punya kabar.. ini tentang Alvin.. aku nggak tahu harus ngomong gimana sama kamu..” ucapnya dengan mimik yang aneh.
“aku tahu  Rin, Alvin sekarang di Jepang..” 
“Dia emang di Jepang, tapi tadi pagi dia pulang, dia meninggal Dinda… Alvin.. dia meninggal.. dia sakit Din, …” Rindu segera menangis tersedu-sedu.
Aku tidak bisa berkonsentrasi mendengar ucapan Rindu. Rasanya dunia ini berputar- putar. Tiba-tiba, bayangan wajah Alvin muncul didepan mataku. Dia tersenyum. Senyumnya yang paling manis. Setelah itu, muncul bayangan Alvon. Kemudian, semuanya menghilang seperti asap. Dunia mulai gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Tiga hari kemudian, aku pergi ke makam Alvin sendirian. Tanahnya basah, karena malam sebelumnya hujan. Aku menaruh bunga mawar putih diatas gundukan tanah tempat raga Alvin terbaring. Aku menatap tulisan di nisan itu. Alvin Prayoga. Aku hampir menangis. Tapi, kurasa air mataku habis sudah. Setiap malam aku terus menangisinya.
Aku membuka lipatan kertas yang turut aku bawa. Surat dari Alvin. Surat yang kubenci karena bentuknya jelek. Surat yang benar-benar tidak romantis. Surat yang menjengkelkan karena harus menunggu tiga bulan untuk boleh dibaca. Tapi, maafkan aku Alvin, aku akan membacanya sekarang, dihadapanmu.
Kertasnya penuh dengan rentetan kata. Dan sudah kuduga, tulisannya sangat jelek. Ini tulisan Alvin. Aku hampir menangis lagi.
Dear Dinda, sang gadis jadi-jadian.
Kamu tahu, Dinda?Saat pertama kali aku kenal kamu, hal itulah yang kurasakan, bahwa kamu adalah gadis jadi-jadian.
Kamu suka berlari-lari tak peduli seperti anak kecil. Kamu berteriak-teriak saat gembira, tanpa memikirkan tatapan aneh orang-orang disekitarmu. Kamu suka hujan-hujanan bersama anak-anak. Kamu masih suka minim susu dancow untuk usia 3-6 th, karena manurutmu rasanya lebih enak dari susu merk apapun. Kamu suka nonton sepak bola. Tim favoritmu Chelsea. Kamu bahkan pernah lari-lari keliling komplek dengan seragam Chelsea saat Chelsea jadi juara liga inggris. Saat aku mengajakmu nonton di bioskop, kamu malah mengenakan kaos oblong dan sandal jepit. Mana ada gadis seperti itu coba
Aku tersenyum kecut saat membacanya. Memalukan sekali, Alvin ingat betapa hancurnya aku saat itu.
Lalu saat kamu bercerita tentang kucingmu, momo. Kucing kampung yang kamu bawa saat mudik lebaran. Saat itu, aku berpikir penampilan kucing itu takkan jauh berbeda dengan penampilanmu. Tapi ternyata aku salah. Kucing itu bersih dan lucu sekali. Aneh sekali, kamu merawat kucingmu dengan sangat baik, sementara penampilanmu sendiri tak kau pedulikan.
Sungguh aku selalu tersenyum sendiri saat mengingatmu. Dan aku jelaskan padamu, aku sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu. Aneh yah?Aku jatuh cinta sama gadis jadi-jadian.
Aku bingung sekali, bagaimana mengatakannya padamu. Tapi, aku yakin, sebenarnya kamu sudah tahu perasaanku kan? Karena, semuanya kuungkapkan dalam bentuk perbuatan. Sungguh, aku tak mampu merangkai kata-kata cinta yang indah. Karena itu, kuanggap aku sudah menyatakan cinta dari dulu. Maaf kalau cara itu terasa sangat tidak romantis. Dan bagaimana denganmu sendiri? Aku yakin, kamu juga cinta aku kan, wahai gadis jadi-jadian? Mana mungkin kamu menolak cowok ganteng dan keren seperti aku?Kamu sendiri tahu, berapa banyak gadis yang menyatakan cinta padaku, dan tentunya kutolak. Padahal mereka semua gadis tulen.
Bodoh. Jelas-jelas kamu juga tahu bagaimana perasaanku. Aku terus membaca surat itu.
Tapi, aku sebal dengan diriku sendiri. Kepalaku sering sakit saat aku sedang asyik memikirkanmu. Dan tiba-tiba keluar darah dari hidungku, lalu aku pingsan. Dokter mengatakan aku terkena kanker otak. Hah, penyakit apa itu? Kanker? Itu hanya nama penyakit yang kulihat di bungkus rokok. Dan aku tidak merokok. Lalu kenapa aku divonis mengidap penyakit itu?Aku tidak mempercayai dokter itu hingga saat ini.
Maaf aku tidak mengatakan tentang ini padamu. Sudah kubilang di awal, aku sendiri tidak percaya pada dokter itu sampai akhirnya aku menyerah. Rasanya tubuhku tak sanggup lagi bertahan. Dan aku pasti akan mati tidak lama lagi. Dengan melihat penurunan kondisiku, mungkin hal itu benar. Dan dengan menyesal, aku harus mempercayai dokter itu.
Dinda sayang, aku sebal sekali saat tahu aku harus menelan banyak pil pahit untuk memperpanjang umurku sedikit. Ukurannya besar-besar. Aku hampir muntah, tapi terus kupaksakan. Aku tidak ingin kehilangan waktu untuk bersamamu. Sudahlah, jangan bicarakan tentang penyakitku.
Dan aku punya kejutan.Tarraaaa !!!!!ulangan fisikaku mendapat nilai 80!
Dan ternyata ia memang menyelipkan kertas ulangan fisikanya, dan nilainya 80. Pasti dia nyontek !
Kamu lihat kan? Aku tidak terlalu bodoh. Dan aku akan menagih janjimu, Dinda.
Aku kaget, ternyata dia masih ingat janjiku dulu. Janji yang kuucapkan untuk menghiburnya, karena kurasa kemampuan fisikanya sangat memprihatinkan. Aku  berjanji akan menuruti apapun permintaannya jika dia bisa mendapat nilai diatas 80.
Satu hal saja yang aku minta, jangan pernah bersedih saat kau mengingatku. Tolong buang semua kenangan buruk tentangku, dan terus simpan kenangan indah tentang kita. Jangan pernah menangis karena aku.
Mungkin kau membaca surat ini saat aku sudah meninggal. Ingat kataku, jangan menangis !
Maaf, tapi aku melanggarnya, Alvin. Kau terlalu jahat dengan menyuruhku jangan menangis untukmu.
Baiklah, kiranya aku sudah mengatakan semuanya. Tanganku lelah. Jarang aku menulis sepanjang ini. Tolong rawat Alvon dengan baik. Sebenarnya aku agak sebal dengan nama Alvon. Kenapa namanya harus mirip dengan namaku? Aku kan tidak mirip kucing. Sengaja sekali kamu.
Ahh!! Aku tidak bisa berkonsentrasi lagi. Kepalaku terus berdenyut, rasanya sakit sekali. Aku juga lelah terus –terusan mengusap darah di hidungku.
Dinda, aku sangat mencintaimu.
Aku melihat bercak darah di kertas itu. Dia memang berjuang keras untuk meulis surat ini. Dan entah kenapa, aku tidak menangis lagi setelah membaca surat ini. Aku juga harus menepati janjiku padanya.Tapi ternyata pipiku basah. Ah, Alvin, maafkan aku. Rasanya sulit sekali.
Kamu tahu? Kamu memang benar-benar bodoh ! janjiku adalah, jika kau mendapat nilai diatas 80. Dan nilaimu hanya 80, jadi, aku tidak bisa menepati janjiku. Rasanya tidak bisa untuk tidak menangis saat aku mengingatmu. Dan aku juga tak bisa membuang sebagian ingatanku tentang kenangan kita. Kenapa? Karena semuanya adalah kenangan manis. Tidak ada yang harus kubuang.
Dan lagi, untuk mengatakan hal ini saja menyuruhku menunggu 3 bulan. Bagaimana kalu saat itu aku sudah bertemu pria lain? Tentu suratmu menjadi tak menarik lagi. Tapi hal itu tidak mungkin. Kalau kau bilang kau mencintaiku , aku memang sudah tahu. Jadi untuk apa kau menyatakannya dalam surat ini? Pernyataan cintamu  di setiap hariku saja sudah lebih dari cukup. Dan aku yakin, kau juga tahu betapa aku mencintaimu.
Alvin bodoh, kamu lupa mengatakan satu hal. Kamu lupa mengucapkan selamat tinggal padaku.
***************************************** Ditulis oleh : Devi Agustin Setiawati - 2011
0 notes
Photo
Tumblr media
INTRODUCTION
Assalamu'alaikum wr.wb sebelum bercerita ini itu, tentu alangkah lebih baik kalo aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.selayaknya cerita sejarah dunia, kerajaan, negara maupun dongeng-dongeng anak kecil, kayaknya lebih seru kalo aku menceritakan diriku dalam bentuk kronologis. biar lebih kebayang. hehe
1. Devi Agustin Setiawati >>>> ketika ditanyakan ke ibu mengenai arti nama ini, ibu hanya menjawab "ya karena kamu lahir bulan agustus. jadi agustin!" terus devi? setiawati? byee. nah, setelah aku mulai besar dan mulai merasakan iri melihat teman-temanku yang punya nama yang mengandung arti unik seperti : Uswatun Khasanah (teladan yang baik), atau Elan Gen Dida (elan gen dari ibu dan ayah), aku mulai mencari sendiri, mungkin namaku punya arti yang menarik. dan setelah googling sana sini dan tanya-tanya ke banyak orang, jadilah begini arti namaku: devi agustin setiawati : dewi kebijaksanaan yang setia (woaaaaaa) buat mama, namaku mungkin sekedar devi yang lahir di bulan agustus. tapi, aku percaya arti namaku lebih dari itu. kalo kalian ga percaya, no problemo. sesuai dengan bahasa sansekerta, romawi dan jawa, namaku berarti dewi kebijkasanaan yang setia. titik.
2. Lahir: 30 Agustus 1995 pukul 10.00 WIB nah dulu waktu aku lahir, bapak lagi kerja di Jakarta. mama sendiri dirumah (but she was strong enough to deal with childbirth-things) dan itu nggak masalah buat dia. hampir semua cucu dikeluarga besar aku, semuanya lahir dengan bantuan nenek, karena kebetulan nenek adalah dukun bayi/paraji kebanggan di desa. tidak terkecuali dengan aku. menurut cerita dari mama, sewaktu mama sedang kontraksi menuju persalinan, nenek sedang tidak dirumah. alhasil, mama menyiapkan perlengkapan untuk melahirkan sendiri, semampunya, seperti menyiapkan tikar (?) dsb. singkat cerita, aku lahir di pagi jam 10 hari rabu legi menurut penanggalan jawa, di tanggal 30 Agustus 1995. setelah aku lahir, nenek langsung mengusulkan suatu nama: Siti !untungnya, mama tidak setuju dengan nama itu, dan lebih memilih nama devi. (meskipun seluruh orang dirumah dan didesa kebanyakan memanggil aku depi, bukan devi. LOL) betapa bersyukurnya aku tidak jadi bernama siti, bukan karena jelek atau bagaimana, hanya saja, ketika aku SD, ada 5 teman sekelas yang bernama siti. kalau aku jadi bernama siti juga, tepatlah setengah lusin manusia bernama siti di kelasku. fyuuhtidak banyak cerita tentang kelahiranku, atau kisah-kisah unik saat itu. mama bahkan terkadang lupa tanggal lahirku, entah kenapa. tapi satu hal yang dia sangat ingat mengenai kelahiranku: aku lahir tidak jauh dengan waktu kematian nike ardilla akibat kecelakaan mobil yang diberikan sebagai haidah dari pacarnya! sekian
3. My childhood lahir sebagai anak kedua dan bungsu, membuat aku tumbuh menjadi anak yang sedikit manja. aku ingat dulu tidak pernah mau mengalah saat berebut apapun dengan kakak, aku percaya bahwa mama akan selalu mendukungku, karena aku kecil.lemah.dan bungsu.hehehepun ketika aku meminta sesuatu, selalu saja aku menangis bila tidak dituruti. tidak seperti kakakku yang mampu sabar menahan keinginannya yang tidak bisa terwujud saat itu juga. konon, mamaku punya trik untuk menghentikan tangisanku yang memaksa untuk meminta sesuatu (kebanyakan adalah makanan) yaitu dengan mencubit/memukulku. bukan berarti mamaku jahat, hanya saja aku tidak bisa lagi dihentikan dengan kata-kata manis bujuk rayu untuk mengalihkan aku dari keinginan manjaku saat itu. saat aku sudah "ditabok" satu kali, aku akan diam. lalu menangis sambil tidur, lalu tidur.setelah masuk SD (dulu tidak sempat sekolah TK karena TK yang ada sangat jauh dari rumah, dan mama merasa tidak tega untuk menyekolahkan anaknya yang masih sangat kecil) aku tumbuh menjadi anak yang tomboy. mungkin karena keseringan main dengan tetangga-tetangga yang kebetulan laki-laki. mandi di kali, bermain lumpur saat sawah sedang dibajak menggunakan traktor, mencuri jagung di ladang, berlari hujan-hujanan keliling RT atau bermain layang-layang adalah aktivitasku sehari-hari. pantas saja devi kecil memiliki deskripsi tubuh : kurus, kecil, hitam, rambut cokelat bau matahari, kulit bersisisik (keseringan mandi di kali), dan berpakaian dekil karena keseringan bermain bahkan setelah mandi sore. jauh dari kesan anak kecil yang anggun dan manis.saat belajar di SD pun aku lebih sering bermain dengan anak laki-laki. aku bahkan tidak takut untuk menantang mereka maupun membalas ejekan-ejekan mereka yang biasanya mampu membuat teman-teman perempuan dikelasku menangis. anak laki-laki suka sekali meledek dengan memanggil nama orang tua kita. saat mereka melakukan itu padaku, aku tidak takut dan bahkan melawan dengan memanggil nama orang tua mereka juga. sesungguhnya itu bukanlah hal baik untuk dilakukan, tetapi namanya juga anak-anak.
2. Masa Remaja saat beranjak ke masa SMP, aku masih saja belum insyaf sebagai anak tomboy. suatu hari, nenek pernah bercerita bahwa dulu aku sebenarnya akan lahir sebagai anak laki-laki, tapi entah kenapa, justru lahir sebagai perempuan. sudah pasti nenek hanya sok tau dan mengada-ada saja, tapi aku sangat percaya saat itu. saat SMP, aku bahkan hampir berangkat study tour dengan menggunakan celana jeans selutut yang sudah disilet-silet bagian depannya sehingga terkesan agak compang-camping. bagiku itu sangat keren. bagi mama itu sangat memalukan. sebagai jalan tengah, aku akhirnya memakai celana bahan selutut, disaat semua teman-teman perempuan SMP ku menggunakan celana jeans model pensil. no problemosaat SMP, aku mengikuti ekstrakulikuler pramuka, yang sejujurnya membuat kulitku semakin gosong karena seringnya kegiatan baris-berbaris maupun upacara di siang bolong. akan tetapi, aku merasakan betul manfaatnya saat itu: berani berbicara dan mengungkapkan pendapat!setelah menjadi anggota pramuka, aku menjadi berani berpendapat didepan, bahkan tidak sungkan untuk berbicara dengan guru manapun, disaat teman-temanku selalu malu-malu dan menunduk saat berbincang dengan guru. aku akan dengan kepala tegap berbicara dengan guru-guru, mengungkapkan pendapat, ataupun  sedikit bercanda, tentunya tidak dalam konteks tidak sopan/kurang ajar.menurutku, sebagai manusia normal yang juga mengalami masa-masa kenakalan remaja, masa SMP merupakan masa-masa kenakalan remaja devi. mulai dari cinta monyet (karena penasaran dan juga terbawa pergaulan teman-teman), sering tidak nurut pada orang tua, malas belajar, dan sebagainya. kalau dipikir-pikir sekarang, banyak hal yang membuat aku menyesal, tapi tentu saja tidak ada gunanya. masa lalu adalah sejarah, dan sejarah sudah sepatutnya menjadi guru bagi kita, menjadi cermin kita untuk introspeksi dan menjadi memori yang indah untuk dikenang, karena tidak semua dari babak sejarah kita berisi kisah-kisah buruk. banyak juga hal-hal indah terjadi dimasa remaja.salah satu hal yang paling aku ingat saat masa SMP yakni tentang guru seni rupa ku. beliau adalah seorang pelukis dan senang sekali menceritakan kisah-kisah pelukis dan aliran lukisan yang dibawanya. dari beliaulah devi remajal mengenal siapa itu Pablo Picasso, Affandi, Vincent Van Googh, Raden Saleh ataupun Leonardo Da Vinci dan cerita monalisa serta aliran naturalis yang dia bawa. sejak saat itu, aku jatuh cinta dengan seni. dan melukis. sayangnya, bakatku dalam melukis sangat tidak mendukung. hampir seluruh halaman -halamn akhir buku tulisku berisikan gambar, baik gambar binatang, pohon kelapa, ataupun gambar manusia. seluruh gambarku jauh dari standar. bahkan sampai akhir masa SMP, aku masih saja tidak mampu menggambar hidung manusia yang bagus, oleh karena itu semua gambar manusia yang aku buat tidak memiliki hidung, atau hanya aku beri simbol titik dua (seperti hidung babi) diatas mulut, sebagai simbol hidung. apa daya, bakat tak sampai. 3.  Masa SMA Dimasa SMA, Devi mulai menemukan jati dirinya. sempat mengikuti banyak sekali kegiatan ekstrakulikuler dan organisasi (OSIS, Pramuka, Pecinta Alam SMA/PASMA, English Club, Deutsch Club, Menuju Olimpiade Sains Internasional/MOSI, Rohis) devi akhirnya lelah dan tidak kuat sehingga akhirnya hanya memilih beberapa saja dari itu, dan OSIS dan Pramuka termasuk pilihan yang aku buang.suasana organisasi tidak membuat aku nyaman dan berkembang. selain berisi beberapa orang baik dan menyenangkan tentunya, OSIS juga berisi orang-orang yang ambisius terhadap jabatan dan  hobi lobi sana sini demi menghimpun kekuatan. orang-orang berada dalam satu atap organisasi, tetapi saling sikut-sikutan ataupun saling membentuk kubu-kubu. karena malas untuk terlibat dalam hal gitu-gituan, devi akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan OSIS di tahun kedua SMA.Akan tetapi, tidak dipungkiri, hal inilah yang menjadi titik awal devi menjadi seorang yang introvert. devi kecil hingga remaja adalah anak yang bawel, suka bicara ini itu, dan suka bergaul dengan banyak orang. devi remaja-menuju dewasa menjadi pribadi yang cukup pendiam. sesungguhnya, aku sama sekali bukan pendiam dan tertutup, hanya saja aku akan sangat terbuka pada teman-teman dekatku saja. dan bergaul bersama mereka adalah salah satu babak yang seru dalam hidupku, mungkin dapat aku ceritakan dalam babak yang terpisah nanti.di masa SMA juga devi mulai menyadari hakikat benar-salah, baik-buruk dan berbagai norma-norma kehidupan. oleh karena itu, aku memutuskan untuk berhijab di semester 2 kelas 1 SMA (disamping karena saat itu aku juga takut jika tahun 2012 dunia betulan kiamat dan aku bahkan belum sempat memakai kerudung. Meskipun belum diikuti dengan perubahan perilaku yang  lebih islami, setidaknya aku sudah melakukan satu langkah yang membawa ke kebaikan.di masa SMA aku sangat jatuh cinta terhadap karya sastra. hal ini bermula ketika pada suatu waktu saat aku SMP, kakakku meminjamkan novel Laskar Pelangi yang di kemudian hari menjadi novel best seller dan sangat sukses difilmkan. saat itu aku merasa aneh dan merasa tidak mungkin seseorang kuat untuk membaca buku kecil namun tebal, bahkan tanpa disertai satu gambarpun didalamnya. tetapi, aku sangat keliru. saat membaca laskar pelangi, aku tertawa terbahak-bahak, marah, dan menangis tersedu-sedu. kisah Ikal dan teman-temannya dalam buku itu sungguh sangat menyentuh hatiku. Andrea Hirata mampu menggambarkan Belitong sebagai tanah yang teramat indah, hingga membuat kampung halamanku sekan-akan menjadi tempat yang sangat biasa saja dan tidak menarik. disitulah aku mulai sadar bahwa tulisan memiliki kekuatan yang mahadasyat dalam menggambarkan sesuatu, memberikan suatu pemahaman baru, mengaduk-aduk perasaan, bahkan memancing khayalan-khayalan yang nyleneh. selain sastra, aku juga mulai suka terhadap buku-buku sejarah, termasuk buku-buku sejarah jawa kuno seperti kisah ramayana dan mahabarata. dibalik nama-nama prabu dan pendekar yang tidak bisa aku ingat karena sangkin banyaknya, ternyata kisah didalmnya sangat menarik untuk dibaca. sejarah memang tidak sesederhana penjajahan, perang, berebut kekuasaan, dan penaklukan. sedikit demi sedikit, membaca buku-buku sejarah membuatku memikirkan tentang asal-usul diriku. membaca sejarah sedikit banyak membuatku mulai memahami bagaimana aku bisa sampai dan berada pada titik saat ini.selain itu, menurutku, sastra jawa klasik adalah kisah yang sangat orisinil. meskipun ada banyak versi mengenai cerita itu, secara umum semuanya menggambarkan kisah yang sama. dan aku merasa ada kewajiban untuk mengetahui kisah-kisah tersebut karena aku adalah orang jawa. hahasingkatnya, aku jadi jatuh cinta terhadap sastra. sejarah. dan aku adalah orang jawa. hihi
4. Masa Kuliah mungkin akan aku ceritakan dalam section terpisah ya. hihi mungkin sekian sekilas cerita tentang aku, setelah aku baca sendiri, sepertinya masih kurang menggambarkan keseruan menjadi seorang devi. doakan aku semakin mahir menulis dan menyulap kata-kata menjadi rangkaian kalimat yang asyik untuk dibaca dan indah untuk dikenang. sekian~
0 notes