Tumgik
dewatama11 · 4 months
Text
Di rentang waktu menuju subuh, kokok ayam jantan bersautan. Membuat suatu keriuhan pagi itu. Keheningan dini hari berganti menjadi bising. Membangunkanku dari tidur malam tadi.
Aku terbangun mendengar ayam jantan dibalik tembok kamar. Sembari mencoba membuka mata, aku meraba-raba gelap kamar. Udara dingin membalut tubuh berselimut selembar kain sarung. DInginnya menusuk. Membuat bulu kudukku bergidik.
Sembari meraba-raba sekeliling, aku mencari telepon genggan. Untuk memberi tahu dan mengabari pada pasanganku. Bahwa aku masih hidup dan terbangun kembali.
Berbeda dengan orang-orang desa yang lain. Atau berbeda dengan orang desa yang benar-benar orang desa. Bangunku selalu membuka handphone. Sedangkan orang-orang desa seumuran Ibu atau Simbah Putri, atau pakde. Mereka selepas bangun selalu disibukkan dengan bekerja. Secara perlahan. Ada yang memasak, menyiapkan alat-alat untuk berkebun atau menggarap sawah, atau sekedar menikmati kopi sebelum pergi mencari pakan ternak.
Mengikuti ritme orang desa, aku memutuskan untuk memanaskan air dan membuat satu gelas kopi pekat. Sembari mengambil beberapa gorengan yang telah dibuat Simbah Putri selepas sholat subuhnya. Sembari menikmati di teras rumah, merokok, dan membaca artikel atau buku.
Aku lihati orang-orang sepagi itu sudah hilir mudik bekerja. Entah menggarap sawah, atau mencari pakan ternak. Mereka melintas jalan depan rumahku. Sebab, jalan ini menjadi salah satu jalan menuju sawah dan kopen (hutan perkebunan).
0 notes
dewatama11 · 7 months
Text
Tanya Emak Tentang Ibu-Ibu Partai Yang Tetap Cantik
Terakhir kali pulang ke rumah di Kabupaten Semarang, suasananya riuh sekali saya rasa. Sebab, di rumah dan di segala sisi rumah dipersiapkan dan disiapkan untuk mendak ke dua kalinya alm. kakek saya. Mendak berarti untuk memperingati satu tahun kepergian kakek, artinya, mendak kali ini memperingati dua tahun kepergian kakek. Yah, bagaimana pun juga, semoga alm. kakek berkumpul dan party, serta bahagia dengan leluhur-leluhurku sebelumnya.
Kepulanganku kali ini amat berbeda dan terasa membosankan. Barangkali bukan karena rumah dan orang-orangnya. Tetapi tentang perbincangan di sosial media dan saluran televisi yang disesaki oleh perbincangan politik. Muak rasanya melihat kontestasi politik yang itu-itu saja.
Hari itu bertepatan dengan hari dimana Cawapres Ganjar Pranowo diumumkan-- Prof. Mahfud M.D. Siaran pers disesaki oleh pidato ketua partai yang mengusungnya-- Megawati. Kebetulan dalam ruangan tengah yang menyetel televisi ada Mbah nenek, Ibu, dan Bude Ngatinah. Seketika, Bude Ngatinah memusatkan perhatian ketika Megawati berbicara. Lalu celetukan yang ditujukan entah ke mana menggulir dari mulutnya. "Kok bu Mega uwes tuo tapi iseh mulus bening ngono ya?"
Mbah Nenek dan Emak berpendapat serupa. Seakan mereka takjub dengan keelokan wajah yang tidak termakan oleh umur meski sudah tua.
Di sisi lain, aku duduk di kursi dan menahan ketawa. Emak memperhatikan keanehan yang terjadi dalam diriku. Lantas bertanya "Ngopo kok guya-guyu dewe Mas?" kepadaku.
Aku menahan jawaban yang sebenarnya ingin membalas ucapan Bude Ngatinah. Karena tidak lagi mampu menahan, aku kemudian berujar "Iyo mulus, wong uripe neng duwur kok." Sontak mereka ikut ketawa dan kemudian menyadari bahwa hidup di atas tanpa memperhatikan perjuangan bertahan hidup di bawah memang jadi alasan kenapa Bu Mega masih mulus di umurnya yang senja.
0 notes
dewatama11 · 1 year
Text
Tentang Pulang, Rumah, dan Ikatan
Semoga aku dan engkau -yang membaca tulisan ini- dalam keadaan yang baik dan berbahagia. Hmm, baiklah, sudah lama aku tidak menulis di laman ini. Meskipun entah siapa yang membacanya, siapa yang menemukan tulisan ini, aku pun tidak tahu hehe. Oke, setidaknya aku menulis untuk bercerita tentang kehidupanku akhir-akhir ini.
Kembali aku dihadapkan pada satu titik terendah dalam hidupku, meskipun bukan paling rendah, tapi aku sempoyongan menghadapinya. Ini semua ditandai dengan berakhirnya semester 6. Di mana perkuliahan teori sudah berakhir. Semester esok, aku harus melangkahkan kaki untuk KKN-PK dengan ketidakjelasannya. Memikirkannya saja sudah menguras mental dan batin. Sebab, kebutuhan diriku saja aku sulid untuk memenuhinya. Sesederhana untuk makan, membayar kos, dan transportasi. Maklum donatur paling jor-joran -orang tua- tidak semapan orang tua kebanyakan teman di perkuliahan. Yahhh. Ambil nafas dulu. Ini permasalahanku, aku harus menyelesaikannya. Atau, aku harus menyelesaikan kehidupanku. Setidaknya, pilihan menyelesaikan permasalahan jauh lebih diterima daripada menyelesaikan hidupku.
Karena terlalu penat dalam pikiran, rasa kesepian yang selalu mengejar diriku. Bahkan aku berlari kemana pun rasa sepi itu terus mengejar jiwa ini. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Mungkin rumah memang tidak memberikan kebebasan. Namun, rumah -tempatku pulang- adalah tempat untuk kembali pada ikatan yang rumit untuk diurai. Setidaknya, itu yang aku pahami. Secara mutlak, kamu boleh sepakat atau tidak. Tapi, aku tegaskan sekali lagi, aku mempercayainya.
Perjalanan pulang kali ini aku mencoba suasana baru-- menggunakan Kereta Api. Dari kontrakan di Kota Yogyakarta, aku diantarkan oleh seseorang yang cukup dekat, setidaknya ia mencoba untuk membersamaiku. Suatu kehormatan pada diri ini karena telah repot-repot menghantarkan #menyusahkanhehe. Lalu, dari Stasiun Tugu menaiki KRL sampai kota Solo. Pemandangan sepanjang perjalanan tampak familiar. Sebab, ini kali kedua aku menaiki KRL. Tidak banyak berubah di sekeliling perjalanan.
Sesampainya di Solo, aku melanjutkan untuk transit ke KA Banyubiru-- KA yang baru beroperasi bulan ini, Juni. Sewaktu keberangkatan, kereta ini cukup sepi. Sampai-sampai, dalam satu seat tempat duduk yang harusnya berisi empat orang, aku duduki sendiri. Aku merasakan secuil kemewahan dalam gerbong kereta ekonomi #halahalay. Pemandangan yang tertangkap oleh mata nampak asing dan baru. Di sekeliling perjalanan, hamparan pertanian jagung dan pagi luas memanjakan mata. Ada yang baru ditanam. Ada yang baru tumbuh. Ada yang dipanen. Ada juga yang baru mengolah tanah. Ramai-ramai petani membuat suatu pemandangan yang membuatku seakan melihat kakek-nenek dan orang tua lain di desa tempatku tinggal.
Seketika itu, isi kepalaku serasa penuh akan ingatan bersama almarhum kakek. Terutama saat kami menggarap sisa sawah yang habis dibagi ketiga anak kakek-- kedua paman dan ibuku. Sawah itu tidak terlalu luas untuk ukuran seorang petani. Setidaknya cukup untuk menyambung hidup, ucap kakek meyakinkan bahwa hidupnya ditopang oleh sawah yang tidak seberapa. Sawah itu juga yang telah membesarkan ibuku, dibantu oleh hewan ternak yang dulu amat disayangi kakek. Begitu juga, membantu membesarkanku. Kini, hewan ternak itu hanya membekas dalam ingatanku.
Kembali aku menikmati suasana perjalanan menuju Stasiun Tawang, Semarang. Selain hamparan sawah, aku juga melihat perkebunan pohon Jati luas. Seperti kebanyakan sawah di tempatku tinggal. Kini, orang-orang menjadi malas menggarap sawah. Mereka mengolah tanah sawah secara ringkas saja saya kira. Cukup dengan membeli bibit pohon Jati, lalu tanam, dan tunggu beberapa tahun. Kalau sedang mujur, belasan tahun kemudian akan tumbuh besar bibit pohon Jati yang ditanam. Dan simsalabim, uang puluhan juta akan masuk ke dompet si penanam Jati. Sawah tidak lagi sebagai sumber kehidupan. Sawah hanya lahan untuk menghasilkan uang yang nantinya digunakan untuk bersekolah, membeli motor, atau paling menjijikkan untuk berjudi. Mereka tidak seperti kakek yang menghargai tanah. Sama sekali tidak.
Meski kakek tidak memiliki ikatan dengan tuhan begitu dekat. Bahkan, Kakek tidak pernah shalat. Baik shalat idul fitri atau hari raya lain. Kakek tetap bersembahyang. Meminta doa kepada yang memberi kehidupan. Sawah salah satunya. Ia meyakini, sawah memberinya kehidupan. kala musim tanam dan musim panen, kakek berdoa padanya. Pada tanah yang telah menumbuhkan tanaman. Pada air yang telah menyuburkan tanaman. Kini tiada lagi yang berdoa dan merawat sawah seperti dirimu. Sedalam dirimu. Begitu juga aku. Maafkan. Aku tidak seperti dirimu. Tapi aku belajar banyak dari dirimu.
Di sela perjalanan sembari mengingat kenangan bersama kakek waktu kecil. Aku membaca buku yang berisi seorang tua bangka yang hendak mengakhiri hidupnya. Ncek, tokoh utama dalam buku ini, tidak memiliki alasan lain untuk terus hidup. Satu-satunya alasannya untuk hidup adalah istrinya. Sewaktu istrinya meninggal, ia juga merencanakan kematiannya dengan tenang.
Aku kembali mengingatmu, Kek. Sampai saat ini, aku masih yakin bahwa kau juga merencanakan kematianmu. Tidak ada alasan lagi untukmu hidup. Hewan ternak yang kamu cintai telah dijual, meski bukan kehendakmu untuk menjualnya. Aku membaca kesedihanmu waktu itu. Engkau menjadi malas untuk ke saawah. Dan hanya duduk termenung memandangi kandang sapi yang hampir reot itu. Sawah yang memberimu kehidupan tidak menjadikan alasanmu untuk terus melanjutkan hidup. Namun, dua ekor sapi dan rasa cintamu merawat mereka menjadi alasanmu untuk merawat sawah yang menumbuhkan rerumputan liar. Rerumputan hijau yang juga kau potong dan berikan pada sapi itu.
Orang-orang menyebutmu gila dengan alasan yang tidak masuk akal. Mereka menyebutmu gila karena kau sering berbicara sendiri dan pikiran yang tidak masuk akal. Namun, menurutku kau tidak gila kek. Bagaimana bisa orang gila itu merawat anak-anak yang bodoh. Untuk bersekolah saja mereka menggantungkan pada sapi yang kau rawat. Sampai-sampai, hanya tersisa dua sapi yang amat kau cintai. Aku tidak akan bodoh kek. Aku tidak ingin menjual sapimu. Meski kini telah dijual oleh orang-orang bodoh itu. Aku tidak ingin menikmati kehidupan yang diberikan oleh cintamu yang dibunuh oleh orang-orang bodoh itu. Pada akhirnya, aku hanya bisa mengingatmu dan memandangi sawah yang tidak terurus dengan baik, Kek. Selamat jalan, Kek. Tenanglah dalam keabadian. Aku sesekali mengingatmu waktu malam sebelum kepergianmu. Aku menyuapimu dengan bubur-susu yang aku beli di apotek. Engkau tidak mau makan dan minum jika bukan aku yang menyuapinya. Aku menurutimu. Aku menyuapimu. Lalu, di suapan kedua, engkau meneteskan air mata tanpa sepatah kata terucap dalam dirimu. Bahkan bergeming saja tidak. Sepertinya, kau memang sengaja memberi kesan terakhir yang paling membekas dalam hidupku. Ingatan itu mengendap dan meninggalkan rasa bersalah karena aku tidak mampu mencegah kematianmu. Tetaplah tenang seperti saat kau duduk di gubuk tua setelah mencangkul sawah saat sore hari. Tetaplah tenang saat seperti engkau memberi pakan sapi yang rewel. Tetaplah tenang seperti saat engkau menenangkan sapi yang diganggu oleh lalat-lalat nakal. Ketenanganmu itulah yang juga aku jaga. Ketenanganmu yang menenangkanku di tengah dunia yang kacau ini, Kek. Ketenanganmu yang menenangkanku di tengah orang-orang bodoh dalam rumah ini, Kek.
0 notes
dewatama11 · 1 year
Text
Sabtu, 27 Mei 2023
Semalam aku berkumpul dengan teman-teman yang berjuang untuk kejelasan PKKMB di UNY. Mereka sebelumnya mengontak saya untuk membantu mengolah data. Karena saya merasa terdapat kepentingan publik, setidaknya untuk Maba, saya memutuskan datang untuk membantu.
Pukul sepuluh malam saya mengendarai motor dari kontrakan menuju tempat yang sebelumnya telah diputuskan untuk bertemu. Sesampainya di sana, beberapa kawan telah menanti. Aku tidak mengenal mereka cukup jauh. Bahkan, aku tidak menyimpan nomor telepon mereka. Orang-orang yang biasanya di gerakan kini nampak asing. Baru saya sadari, bahwa memang memperjuangkan gerakan itu pasang-surut. Orang terus saja berganti dengan massa yang berbeda pula.
Ketika diminta tolong mengolah data, saya agak kebingungan, sekaligus jengkel dengan survei yang mereka buat. Sebab, survei ini terlihat ngawur dan penuh kecacatan. Saya pun bingung mau dijadikan apa hasil ini. Beruntung aku dan Arinda memiliki secuil gagasan agar hasil ini tidak sia-sia. Setidaknya, survei ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuktikan bahwa mereka -yang mengisi survei- lebih dari 95% sepakat untuk PKKMB dilaksanakan secara luring. Tentu dengan alasan berbeda, kadang juga sama.
Setelah mengolah data, kami berbincang banyak soal BEM KM yang cacat secara internal dan gagasan. Mereka seakan-akan hilang dan menjauhi dari keberadaannya. Terlebih pada ketua BEM. Terlebih pada indikasi politik praktis yang ia lakukan. Sungguh menjijikan mengetahuinya. Lebih menjijikkan lagi aku mengenal dia dan cukup banyak obrolan sebelumnya. Kawan-kawan ingin memberontak. Melawan terhdap kepasifan ketua BEM. Sungguh suatu kesadaran yang jauh lebih maju dari ketua BEM itu sendiri.
Selepas pulang subuh, atau lebih tepatnya menjelang subuh. Aku kemudian menidurkan badan dan merehatkan pikiran sejenak. Tidurku kembali tidak nyaman. Beberapa kali aku terbangun dengan suasana yang sama-- Sepi.
Sekitar pukul 12 siang, menuju Rektorat untuk bersua dan merayakan wisuda seorang teman lama. Ia adalah seorang sastrawan -aku menyebutnya begitu- karena tulisan dan kajiannya yang cukup baik dalam bidang ini. Kemudian berswafoto dan mengambil foto untuknya. Sekiranya, itu yang bisa aku lakukan untuknya saat ini. Terima kasih kawan.
Melanjutkan hari, aku bersama Adam, Zhafran, kiron, Hisyam, Dian, dan Ariska menuju lantai 4 ISDB FIS. Atau sekarang disebut FISHIPOL. Namun aku mengurungkan niat mengakui nama FISHIPOL. Sebab, mahasiswa ini cenderung apatis dan menjauhi politik tanpa suatu kejelasan. Bukan juga apolitis, mereka pasif. Tidak ada pengorganisiran dan advokasi yang dilakukan. Sungguh kurang apatis apa mereka.
Alergi diskusi, selalu mengiyakan dan menghamba pada dosen, dan tentu penuh seremonial dan kultur seksisme.
Selanjutnya, menjelang magrib. Bertemu kawan lama yang cukup aktif di gerakan. Kami berencana untuk membuat serangkaian diskusi dan tentu kaderisasai di tubuh gerakan. Kami bosan melihat orang-orang itu saja.
Malam hari aku bersama Kiron, Zhafran, dan Adam menuju Jomboran. Darah konflik tambang pasir yang kini kian parah. Di sana sudah berkumpul beberapa kolektif dan Persma.
Kami memutuskan untuk membuat serangkai liputan panjang guna mengkuliti persoalan yang ada di Jomboran. Semoga terealisasikan.
0 notes
dewatama11 · 1 year
Text
Tidak Ad Judul
Ini semua seperti malam yang mendung. Aku was-was. Berjalan di tengah keramaian, megitari parkiran disesaki bus hangat. Hujan tak kunjung reda kala itu. Engkau berjalan seperti kilatan cahaya, hampir-hampir aku tak mampu mengejar. Tapi engkau bukanlah cahaya, cahaya datang dan pergi ke berbagai tempat. Cahaya meninggalkan satu jiwa ke jiwa lain. Engkau berbeda. Engkau menungguiku, memandangku, sesekali mengumpat.
Malam kala itu panjang. Hujan reda. Bulan tidak menunjukkan giginya. Namun kilaunya menerangi, hingga menghampar ke tanah. Duduk di atas bangku panjang. Namun hanya kita yang memilikinya malam itu. Kereta datang pukul sembilan. Lampu sorotnya, yang paling aku suka, menembus gelap. Semua berkilau, dan hatiku ikut berkilau.
Kembali rasa waswas mengguncang. Tapi mendung mendadak seperti malas. Langit cepat berganti muka. Kadang kelam, kadang bersinar, kadang pucat. Dan dalam rangka mententramkan hati, aku berkata pada diri sendiri: alangkah enaknya menikmati malam dengan dirimu, hujan, dan sorot lampu kereta beserta keramaian lalu-lalang.
Dan malam itu aku kembali berkata pada diri ini. lihatlah aku sekarang ini. muda, segar, punya cukup rasa percaya diri tinggi, dan yang paling penting di atas segala itu adalah, aku merdeka semerdeka-merdekanya.
Tapi lihatlah orang yang cukup sial ini. Ruang tidurku getir. Tidak ada yang tertawa riang di sana. Aku menonton televisi sendirian. Aku menonton film sendirian. Malam-malam hadir seperti laknatan. Membolak-balik buku, membolak-balik pikiran. Tak ada suara orang yang bernyanyi di sampingku.
Semua yang ada di ruang dapur terasa sempurna, ta pi semua tetap kosong. Aku memasak air sendiri, menyeduh minumanku sendiri. Mengaduk minumanku dengan keheningan yang mengiris dan sunyi. Menghabiskan berbatang-batang rokok sambil menyeruput sedikit demi sedikit cangkir minumku. Musik bersuara serak. Waktu terasa hambar. Malas mandi. Malas menyukur kumis dan jenggot. Malas beranjak dari kursi. Musik berteriak serak. Abu dan puntung rokok menggunung. Bangkit. Mempersiapkan makanan. Selesai memasak, selera makan tidak juga datang. Masakan dingin. Mencicipi sesendok, dan enggan meneruskannya lagi.
Lalu datang masa gigil itu. Angin membuat amarahku membeku. Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai pada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai pada hening yang paling bening. Sampai pada gunung hijau tinggi. Sampai pada langit biru tinggi. Sampai pada pucuk daun lembut tinggi. Sampai padaaku yang kecill dan terbang. Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri.
Aku ingin duduk tenag di sebuah kursi. Sesekali berdiri dan memandang langit, sambil menunggu terbitnya matahari. Aku ingin menahan diri untuk tidak meninggalkan seseorang. Aku ingin menghadang diriku sendiri ketika ingin menghampiri orang yang lain.
Aku ingin membakar masa laluku. Aku ingin membakar karmaku. Aku ingin meluruskan dan melenturkan tulang punggungku. Aku ingin napas yang ringan mengalir di seluruh tubuhku. Aku ingin ada titik pusat yang terletak pada tiga jari di atas pusarku. Tapi aku tidak ingin sakti. Aku tidak ingin ada keajaiban lagi. Aku tidak ingin dibawa ke sebuah dunia dimana aku merasa sudah bukan manusia lagi. Aku ingin tetap menjadi manusia. Aku tetap ingin kadang bersedih. Tapi aku juga ingin sesekali bahagia.
Aku ingin mereka yang disekelilingku menyadari bahwa aku hanya seseorang yang iseng menuliskan sesuatu, dan sialnya banyak yang orang beranggapan aku begitu serius dan hebat. Mereka tertipu oleh sesuatu yang bahkan tidak pernah terbesit dalam pikiranku.
Aku ingin bilang ke mereka semua, berhentilah bertanya padaku. Berhentilah menunggu kalimat-kalimatku selanjutnya. Berhentilah membuat diriku tiba-tiba merasa aku memang hebat.
Jangan biarkan aku membenci diriku terus-menerus. Jangan biarkan. Aku hanya ingin sembuh, dari duniaku yang sakit ini…
Aku tidak ingin cinta sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk belajar setia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang beruntung mendapatkannya. Mencintai banyak orang. Banyak orang. Banyak orang.
Sebenarnya, aku hanya ingin kebahagiaan yang sederhana. Dan kembali ku tengok engkau. Kebahagiaan itu datang. Sesederhana melihat tatapmu. Sesederhana melihat senyummu. Sesederhana melihat tawamu. Sesederhana melihat tangismu….
Engkau sering berucap, aku lebih kerap mendengar. Tapi aku harap ucapmu bukan ucapan seorang yang berdusta. Sebab, dengan mulutnya yang berdusta, hatinya hanya mengabdi pada dirinya sendiri. Sesederhana berkata hendak mencariku, mengikutiku, dan berkata tentang rindu. Sesederhana itu aku merasa menjadi manusia. Seutuh-utuhnya, sehormat-hormatnya.
0 notes
dewatama11 · 1 year
Text
Essay Pertama Tuk Philosofis
Nama saya Dewa Saputra Adi Pratama, yang dilahirkan pada hari senin pahing, tanggal 06 Mei 2002. Saya adalah orang semarang asli, bisa dibilang begitu, karena baik dari bapak ibu serta kakek nenek saya adalah keturunan asli semarang. Secuil perjalanan saya, setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah saya akhirnya diterima di perguruan tinggi negeri-- Universitas Negeri Yogyakarta. Namun beban yang masih saya pikirkan adalah bagaimana saya tetap dapat bertahan mempertahankan suatu yang saya awali, atau saya mulai, sehingga mampu mengakhiri pula dengan semestinya. Jujur saya tidak memiliki segudang prestasi, saya hanya mencari arti untuk apa saya diciptakan, dalam pemikiran saya hanya ingin menjadi orang berguna dimana bermimpi keadilan dalam masyarakat serta alam dan lingkungan.
Bagi saya, tidak ada kesempurnaan dalam hidup ini, seseorang mencari kesempurnaan dalam hidupnya hingga melupakan rasa syukur tentang apa yang dimilikinya. Begitu pula saya, tiap detik terus memikirkan kesempurnaan hidup hingga melupakan semua yang saya miliki saat ini. Mencoba dan terus mencoba mencari arti tentang apa dan untuk apa saya dciptakan dalam dunia ini, aneh memang, tapi itulah saya.
            Saya terpikirkan suatu kalimat yang begitu dalam, kiranya begini tuturnya "didalam sebuah kendi, baik dan buruknya kendi tersebut dipengaruhi oleh apa yang ditampung didalamnya, begitu pula seseorang, apabila dalam dirinya hanya diisi oleh hal-hal yang baik maka kendi tersebut akan dipandang baik."
Hal tersebut selalu saya pedomkan dalam diri ini, namun sebuah kendi pun bila didiamkan, satu tetes keburukan yang mengisinya sangat mempengaruhi isi tersebut maka bijak-bijaklah dalam menggunakan serta mengisi kendi tersebut. Tidak hanya didiamkan sampai isi tersebut mempengaruhi isi dalam kendi tersebut. Beberapa tetes yang membuat tidak baik ataupun didiamkan sampai isi dalam kendi tersebut habis. Dari hal tersebut saya mengibaratkan diri sebagai kendi, kemudian memutuskan untuk mengisi kendi tersebut dengan berkuliah, harapan saya sederhana, sesederhana mengisi kendi tersebut, mengisi diri ini. Meskipun saat ini tidak tau bagaimana saya harus membayar ukt, dll. tidak adil rasanya bila saya meminta untuk orangtua saya membayar biaya tersebut dimana adik saya juga sedang ingin berkuliah, tidak adil rasanya apabila saya menjadi alasan untuk adik saya tidak berkuliah.
            Lebih lanjut saya berkeinginan masuk dalam philosofis karena ingin mengisi kendi tersebut agar terlihat lebih baik serta bermanfaat baik masyarakat, alam, dan lingkungan. Saya dapat diibaratkan kendi tersebut yang berkeinginan hal-hal baik dalam philosofis. Sekian essay ini saya buat dengan segala kekurangannya saya mohon maaf karena saya mengerti diri sendiri saja sulit, terimakasih.
1 note · View note