Text
Jelang 9 Juli
Empat hari lagi rakyat Indonesia memilih presiden untuk periode lima tahun ke depan. Pilihannya, (1) Prabowo Subianto - Hatta Rajasa; (2) Joko Widodo - Jusuf Kalla. Siapa yang saya pilih? sori, enggak ada.
Saya punya alasan kenapa enggak mau dukung salah satunya, tapi mungkin panjang kalau dijelasin satu-satu. Dan, hal itupun kian malas dengan kelakuan para pendukung keduanya di media sosial, yang seakan-akan rela mati demi calon presiden yang didukungnya tersebut.
Fitnah di mana-mana, ejekan di mana-mana, dukungan membabi-buta tanpa dilihat dulu informasi yang dibagi atau retweetnya benar apa kerjaan penyebar fitnah. Makin dekat tanggal 9, semakin kerasa, duh!
Sebenarnya saya lebih sensi ke para pendukung No.2, karena timeline twitter saya isinya mereka semua. Sama sekali gak ada yang heboh dukung No.1. Ya mungkin kalau ada pun, saya bisa jengkel juga. Ada sih sebenarnya, satu orang, tapi di BBM, dan itu pun gak berlebihan. Tapi, emang pada dasarnya media sosial dikuasai sama No.2 sih.
Mudah-mudahan 9 Juli cepat selesai, supaya saya enggak geram lagi liat timeline atau berita-berita isinya rumor/konfirmasi rumor/sejenis. Udah semacam infotainment. Mudah-mudahan pemenangnya orang baik, atau yang dulu enggak baik dan sekarang membawa kebaikan. Siapapun. Buat yeng heboh: Kalem we atuh, rek kamarana?
Di kamar. Setengah jam lagi buka puasa.
1 note
·
View note
Text
Malam Final, Piket Malam
Malam ini hari ketiga (terakhir) piket malam saya di Mei. Kebetulan (apa kesialan?) ada pertandingan wajib yang bakal ditonton banyak orang, yaitu final Liga Champion 2013/14 antara dua tim satu kota, Real Madrid dan Atletico Madrid.
Satu sisi, kayanya bakal rada ripuh, soalnya di viva setiap piket malem sendirian. Tapi di satu sisi lagi tantangan juga, gimana caranya, dengan 10 jari ini, menyajikan gol per gol, hasil pertandingan, komentar-komentar, dan catatan-catatan lain tentang pertandingan itu.
Karena di viva piketnya dari rumah (saya di kosan), salah satu hambatan saya adalah enggak punya tv. Tapi tenang, masih bisa streaming. Mudah-mudahan dapet yang enakeun. Senjata saya cuma laptop, modem berisi kartu Mentari yang baru ngeuh ternyata tinggal 400mb lagi dan kartu XL (bisa dipakenya 00.00 sampe 09.00) yang tinggal 1.2 Gb. Semoga lancar-lancar saja.
Jakarta. Baru mau mandi untuk lanjut beli makan.

1 note
·
View note
Text
Kucuban yang Tertunda
Sebelumnya saya perkenalkan dulu istilah ini. Kucuban adalah kependekan dari ‘kucuran bulanan’ alias gaji. Istilah itu saya temukan, sekitar satu menit yang lalu.
Jadi, di kantor saya itu gajiannya tanggal 28, tapi pas April kemarin, tiba-tiba jadi tanggal 25. Katanya sih emang udah berubah tanggal. Tapi, sekarang tanggal 25 Mei itu hari Minggu, dan hingga kini, tanggal 23 (karena 24 dan 25 hari libur) kucuban belum turun. Entah, baru turun Senin atau balik lagi ke tanggal 28. Ngepets kan.
Jakarta. Kenyang abis makan siomay.
1 note
·
View note
Text
Jumat Panas
Pagi-pagi sarapan di McD, bareng sama pacar yang ngantornya ditelatin. Pagi yang menyenangkan, soalnya kemaren ada dinamika gitu, hehe.
Si pacar ngantor, saya jalan kembali ke kosan. Di dekat hotel Cemara Wahid Hasyim lihat pemandangan tak biasa. Apa itu? Masa ada satu bajaj berisi lima orang. Si supir di depan, di belakangnya ibu-ibu berempat, desek-desekan. Meni ripuh ih, apalagi badannya badan ibu-ibu tea.
Siangnya Jumatan di masjid biasa. Enggak ngerti, kenapa di bawah pada penuh banget dan ga mau pada ke atas, padahal lumayan lengang.
Makan siang belum ada. Nggak tau mau makan apa, karena sekarang mau tidur dulu setelah jadi kalong semaleman. Dah.
Jakarta. Yang sedang hareudang.
1 note
·
View note
Text
Debut Penyet
Akhirnya sejarah tercipta. Saya makan ayam penyet untuk pertama kalinya.
Pada dasarnya, saya gak suka sambel yang ada di warung-warung nasi biasa. Tapi kalo sambel di pecel ayam atau rumah makan kaya Ampera, Ibu Imas, dan lain-lain mah suka.
Sementara ayam penyet, sebelumnya cuma liatin si pacar makan, soalnya kayaknya pedes banget nget. Tapi nggak tau kenapa, sejak beberapa hari kemarin selalu kepikiran ayam penyet dan berpikir untuk debut.
Dan, perisitiwa bersejarah itu pun terjadi di Ayam Penyet Ibu Sri, Menteng. Saya pesen yang pedesnya sedeng aja, kalo si pacar, yang emang hobi yang pedes-pedes, pesen yang pedes. Ternyata, enak juga…. karena emang cocok dengan kapabilitas lidah saya, yang enggak bisa sama makanan yang terlalu pedes.
Ngomong-ngomong, kalo abis makan pake sambel yang terkandung terasi, terus cucinya cuma di kobokan, baunya pasti suka masih nempel kan tuh. Tapi ga tau kenapa, aromanya nagih, suka pengen terus nge-bauin tangan. Orang lain juga emang pada suka gitu juga kan? Iya aja lah.
Oiya, sampe kosan, lanjut makan pempek yang dibeliin si pacar di deket kantornya. Pedes banget, tapi pempeknya enak. :9
Jakarta. Malam yang seketika berubah suram.
1 note
·
View note
Text
1995-2014: Antara Siliwangi dan Jakabaring
Terekam dalam ingatan, bagaimana saya menyaksikan pertandingan final Liga Indonesia pertama, musim 1994/95 dari televisi. Tentu, itu adalah laga yang sangat dinanti, karena mempertemukan tim idola saya, Persib Bandung dan Petrokimia Gresik. Bisa dibilang, Liga Indonesia I adalah masa-masa pertama saya menyaksikan dan mengikuti segala perkembangan sepakbola nasional. Asal-usul kenapa saya suka Persib? Saya asli Bandung. Lahir dan besar di Bandung. Itu sudah amat cukup menjawab, saya pikir.
Saya tak ingat menit per menitnya, tapi saya ingat betapa emosionalnya saya ketika striker Maung Bandung saat itu, Sutiono mencetak gol. Juga bingung kenapa ada gol Petrokimia yang dianulir, meski senang-senang saja. Persib pun dipastikan menjadi juara, dengan mengalahkan Petrokimia 1-0. Senang bukan main, karena saya mengikuti betul perjalanan Persib musim itu. Lampu stadion dipadamkan dan ada laser-laser menghiasi lapangan sebelum perayaan. Ada logo Telkom. Juga sambutan Ketum PSSI, Azwar Anas.
Bandung berpesta! Ada arak-arak tim Persib bersama trofi Liga Indonesia. Ketika itu saya kelas 3 SD. Kebetulan, saya sekolah di SD Banjarsari yang lokasinya di Jalan Merdeka, berseberangan dengan Balai Kota Bandung. Demi menyaksikan pawai, saya dan beberapa teman nekat keluar kelas dan menunggu iring-iringan tim Persib di pinggir jalan. Namun, karena takut dimarahi, sebelum pawai tiba, kami sudah masuk kelas. Sial. Tak jadi ikut pesta, Ibu Ida, wali kelas kami, juga tetap marah-marah di dalam kelas. **
Musim selanjutnya, saya masih (dan makin) cinta sepakbola nasional. Tentu, masih dengan rasa bangga kepada Persib. Bahkan, ketika tim asal Bandung lainnya, Manstrans Bandung Raya menjuarai Liga Indonesia II. Saat itu, saya malah ingin finalis lainnya, PSM Ujungpandang juara, karena tak ingin ada tim dari Bandung selain Persib yang juara Liga Indonesia. Padahal, jika berpikir dengan cara lain, kurang keren apa, Bandung merajai sepak bola Indonesia dalam dua tahun berturut-turut! Tapi saya tetap tak rela.
Musim-musim berikutnya, sepakbola Indonesia tetap menarik. Mulai dari Persebaya yang juara Liga Indonesia III, Bandung Raya yang membubarkan diri, kompetisi tiga wilayah, hingga situasi politik Indonesia yang membikin Liga Indonesia IV berhenti di tengah jalan. Sayangnya, pencapaian Persib seakan begitu-begitu saja. Kendati demikian, hal itu tak membikin saya absen dari sepak bola Indonesia. Tentu saya juga tak melewatkan final Liga Indonesia V, di mana ada pemain bernama Tugiyo yang seketika populer.
Singkat cerita, saya memasuki masa SMP, atau era 2000an, di mana ada striker Persib yang tak jarang dielu-elukan bobotoh, Sujana. Padahal skill biasa saja, postur kurus, dan jersey kegedean. Tapi, dia cukup rajin mencetak kala itu, maka muncul sebutan Sujagol. Mungkin, bisa dibilang dia Filippo Inzaghi-nya Persib. Lalu, bagaimana prestasi Maung Bandung? Masih begitu-begitu saja. Harapan untuk menjadi juara selalu tenggelam di tengah jalan. Dan era ini pula muncul perselisihan antara Viking dan Jakmania.
Beranjak SMA, saya lebih bergairah dalam mendukung. Di masa ini pula lah saya pertama kalinya menonton langsung Persib dari stadion. Dalam dua musim, saya juga terdaftar resmi sebagai anggota Viking Persib Club. Tribun Timur/Utara Stadion Siliwangi, konvoi, kibar bendera, rela hujan-hujanan adalah hal-hal yang saya kerap temui/lakukan ketika itu. Tapi, Persib masih begitu-begitu saja, bahkan nyaris terdegradasi pada 2003, sebelum akhirnya lolos dari playoff. (Pelatih) Juan Paez jadi penyelamat Persib saat itu.
Zaman kuliah, mendukung langsung dari stadion agak berkurang, tapi fanatisme, rasa cinta terhadap Persib, ya masih sama. Hanya mungkin, masa gila-gilaan konvoi pakai motor, bawa-bawa bendera dan hal semacamnya sudah berakhir bagi saya, meskipun beberapa kali tetap menonton di Si Jalak Harupat, yang letaknya tak jauh dari tumah saya. Di era Indonesia Super League (ISL), Persib sempat menapaki papan atas, tapi tetap saja, gelar juara tampaknya masih belum mau dekat-dekat dengan kami. **
Sampailah pada ISL 2014, di mana kompetisi kembali dibagi menjadi dua wilayah. Persib asuhan Djadjang Nurjaman sukses masuk 8 besar, dan berhadapan dengan Arema Cronus di semi final, di Jakabaring, Palembang. Arema bukan tim sembarangan. Saya bilang, Persib cukup beruntung di laga ini, karena dua andalan lini tengah Singo Edan, Gustavo Lopez dan Ahmad Bustomi tak main full, karena cedera. Menurut saya, ini menentukan. Dan, lewat perjuangan luar biasa, Persib menang 3-1 via extra time.
Di final, Persib bertemu Persipura, si raja Liga Indonesia, di Jakabaring. Sudah empat kali mereka juara. Secara kualitas tim, harus diakui, Persib kalah dibanding tim langganan AFC Cup itu. Tapi, entah apa kami harus menyebutnya, ada hal yang membuat yakin kalau Persib bakal juara kali ini. Sampai-sampai, puluhan ribu bobotoh hadir di Jakabaring, yang lokasinya beribu-ribu km dari Bandung! Ungkapan paling cocok: “Now or Never” dan “Kagok Juara”. Sudah 19 tahun berlalu sejak Persib merasakan gelar juara liga.
Tak sampai 10 menit laga berjalan, Persib langsung dihentak oleh gol Ian Kabes. Kecolongan menit awal! Gila. Selanjutnya, Persipura menunjukkan kualitas sebagai rajanya Liga Indonesia. Teknik individu mumpuni, tenang, dan sabar. Meskipun, barisan depan kerap dibendung para pemain bertahan Persib. Sebaliknya, Persib jauh dari harapan. Kalah dalam organisasi permainan, mereka mengandalkan bola-bola panjang dan berhasil. Tapi, lini depan buruk. Beruntung ada gol bunuh diri Manu Wanggai.
Babak II, Persib sedikit lebih percaya diri. Mereka unggul jumlah pemain, karena pada akhir babak I, bek Jayapura, Bio Paulin dikartu merah. Dan, Persib pun berbalik unggul lewat gol M. Ridwan. Namun, Persipura –yang hanya 10 pemain– justru dominan dan memaksakan extra time berkat gol Boaz Solossa. Extra time, Persib mencairi gol, sedangkan Persipura tampaknya mengincar adu penalti. Sampai akhirnya, dilaksanakanlah adu penalti. Gawat. Persipura, jelas, unggul mentalitas.
Satu pertanyaan, Kenapa Djanur tak mengoptimalkan dua jatah sisa pergantian pemain? Keputusan cukup aneh menurut saya, karena pemain fresh seharusnya bisa dimanfaatkan. Paling tidak, sisakan satu saja jatah pergantian pemain. Tapi, pada akhirnya semua itu tak penting atau terlupakan, karena apapun keputusan Djanur, dia lah pria yang pada akhirnya mengatasi kerinduan 19 tahun juara Persib. Ya, asisten Indra Thohir saat juara Liga Indonesia I itu melakukannya lagi! Persib menang adu penalti dengan skor 5-3.
Penantian pun berakhir di angka 19. Saya berpesta, kami berpesta. Bandung biru berpesta. #PersibJuara

Sumber foto: ANTARA
*Diposting di Wordpress 9 November 2014
0 notes
Text
Pergantian Kiper Ala Van Gaal, Brilian atau...

Adu penalti antara Belanda dan Kosta Rika mungkin akan menjadi salah satu yang paling diingat di Piala Dunia. Bagaimana tidak, pelatih Oranje, Louis Van Gaal melakukan hal tak lazim jelang adu tos-tosan tersebut. Pada pengujung extra time atau tepatnya 120+1, kiper utama Jasper Cillessen ditariknya, untuk digantikan oleh Tim Krul, yang notabene merupakan kiper cadangan.
Bisa jadi, ini merupakan satu keputusan agak gila di sepakbola. Bagaimana bisa, kiper yang bermain total sepanjang 120 menit, dan menciptakan clean sheet, diganti oleh kiper yang sepanjang laga hanya duduk di bangku cadangan. Spesialis penalti? Rekornya di level klub –bersama Newcastle United di kancah Premier League– saja hanya menahan dua (dari 20) penalti.
Tapi kenyataan (atau mungkin keberuntungan) akhirnya berpihak pada Krul dan Belanda. Dalam debut tak wajarnya di Piala Dunia itu, Krul menahan dua penalti pemain Kosta Rika, Bryan Ruiz dan Michael Umana. Hebatnya lagi, arah bola dari tiga penendang lainnya pun mampu dia baca, meski bola tetap bersarang di gawang. Oranje pun dibawanya ke semifinal.
Yang menjadi pernyataan adalah, apakah saat melakukan pergantian tersebut, Van Gaal tahu soal catatan buruk Krul saat menghadapi penalti bersama klubnya? Tapi, tahu atau tidak, saya rasa Van Gaal tak peduli, karena dia yang tahu betul tentang seluk beluk timnya, termasuk spesialisasi dari para pemain asuhannya. Dalam hal ini, Krul memang dipersiapkan untuk adu penalti.
Dan, di saat orang-orang memuji keputusan brilian Van Gaal, saya ingin mencermatinya secara dari sudut pandang lain. Benar, apapun itu, keputusan Van Gaal telah membawa Belanda sukses melaju ke semifinal Piala Dunia 2014. Dan, jika pun Krul ternyata gagal, toh dia adalah Van Gaal, “Si Tulip Besi” yang tak akan menyesali keputusannya dengan menarik kiper utama di saat genting.
Tapi, apa yang saya permasalahkan adalah mental kedua kiper itu sendiri, khususnya Cillessen. Kiper asal Ajax berusia 25 tahun itu menjadi kepercayaan di bawah mistar gawang sejak pertandingan perdana fase grup dan tampil baik. Dari tiga laga fase grup plus babak 16 besar, gawang Belanda bobol sebanyak empat kali. Beberapa penyelamatannya pun terbilang gemilang.
Dan, di saat-saat menentukan, Van Gaal malah menarik kepercayaan dan memberi kesempatan pada pemain lain. Saya pikir, bagi kiper, kepercayaan dan mentalitas bertanding sangatlah penting. Sekalinya tak dipercaya bukan tak mungkin, mentalnya drop sehingga gagal kembali menunjukkan permainan terbaiknya. Jadi, konsistensi permainan menjadi taruhan di sini.
Begitupun bagi Krul. Menjadi kiper kedua, di belakang pemain yang lebih muda yang “hanya” berlaga di Eredivisie bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Kegemilangannya pada adu penalti melawan Kosta Rika sendiri boleh jadi meningkatkan kepercayaannya. Tapi, bukan tak mungkin kepercayaannya kembali turun, setelah Van Gaal dengan tegas mengatakan, “Tak usah ditanya lagi, Cillessen yang akan main pada laga selanjutnya (pertandingan semifinal kontra Argentina).”
Dinamika inilah yang mungkin menjadi kekhawatiran sebagian orang –termasuk saya– jelang partai semifinal melawan Argentina. Ya, semifinal. Masih ada dua tahap lagi sebelum Oranje bisa memastikan titel Piala Dunia mereka. Mungkin, jika memang senang berjudi, akan lebih pas jika Van Gaal melakukannya di partai final, karena setelahnya, kedua kiper tak perlu terbebani soal “siapa yang paling dipercaya”. Bagi Van Gaal sendiri, itu akan menjadi perpisahan hebat.
Apakah Cillessen tetap tampil dengan permainan terbaiknya, atau justru menurun karena dinamika akibat adu penalti kemarin? Lalu bagaimana dengan Krul, yang ternyata memang dipersiapkan khusus untuk adu penalti? Apakah dia bakal kembali dipercaya saat Belanda melakoni tos-tosan? Yang jelas, persoalan kiper tidaklah simpel, terlebih di turnamen sebergengsi Piala Dunia. Jawabannya akan terlihat pada laga kontra Argentina, 10 Juli 2014 mendatang.
*Diposting di Wordpress 7 Juli 2014
0 notes
Text
3 Hari di Pulau Bacan
Akhirnya merasakan juga Waktu Indonesia Timur (WIT). Jadi, 6-9 Juni 2014 kemarin, saya dapat kesempatan untuk menginjakkan kaki di Kepulauan Halmahera, Maluku Utara. Saya ke sana dalam rangka meliput acara Kemenpora, perlombaan renang massal di pesisir pantai, di Pulau Bacan, Halmahera Selatan.
Hari 1. Awalnya agak bingung, karena enggak ada informasi agenda acara, kumpul di mana, jam berapa. Saya hanya dikirim tiket online pesawat Jakarta-Ternate dan Ternate-Jakarta via email. Alhasil, dengan dibantu pacar terkasih, saya berkemas dan akhirnya berangkat pukul 22.30 WIB, menggunakan taksi. Ternyata, dari Kalipasir ke Cengkareng hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Karena sudah malam juga.
Terminal 2 dalam keadaan sepi. Saya hanya mencoba untuk menghubungi cp di emai tiket pesawat tadi. Ternyata langsung berkumpul di dalam, di lounge Garuda Indonesia. Di sana sudah ada beberapa staf kementrian dan juga beberapa awak media yang juga berangkat. Pesawat pun akhirnya lepas landas pukul 01.15 WIB.
Mendarat di Bandara Sultan Babullah, Ternate, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3,5 jam. Sampai di sana, kami naik pesawat kecil, Express Air menuju Bandara Usman Sadik, Labuha, Pulau Bacan. Dari sana, dijemput mobil-mobil rentalan, kemudian makan di RM Apollo, mungkin ini salah satu yang terkenal. Di sini, obrolan sudah tentang batu. Ya, Batu Bacan memang terkenal. Bagus dan harganya mahal.
Selepas makan, kami ke penginapan dan tidur. Teman sekamar saya beda kloter berangkat, jadi saya tiduran pulas memanfaatkan kamar sendirian, sampe akhirnya terbangun untuk Jumatan. Lalu makan siang, kembali ke hotel, istirahat lagi, makan malam, sampai tidur menuju hari berikutnya. Hari pertama ini lebih banyak diisi makan dan istirahat. Oya, penginapannya bernama Habibi, tepat di depan Pelabuhan Labuha.
Hari 2. Pagi-pagi diajak ke daerah sekitar Pelabuhan Babang, tempat berlabuhnya kapal-kapal dari Ternate, oleh anak MetroTV, yang hendak mengambil stok gambar. Kami langsung ke Pantai Dermaga Biru. Pantainya kecil, tapi sangat bersih. Katanya, itu milik pribadi. Sempat foto-foto, kami langsung balik arah menuju Bandara Usman Sadik, karena pak menteri tiba. Dia akan menghadiri perayaan Ulang Tahun ke-11 Kabupaten Halmahera Selatan. Selain itu, kementrian juga memang memiliki rangkaian acara di sini, bernama “Lintas Khatulistiwa Pemuda”. Lomba renang itu masuk ke dalam bagiannya.
Saya kembali ke hotel untuk mandi, dan lanjut ke lapangan utama, lupa namanya, tempat dilangsungkannya upacara HUT Halmahera Selatan. Setelah itu, ada acara makan-makan di pusat kota, yang merupakan bagian dari tradisi di Bacan. Saya dan beberapa kawan memilih makan di RM Apollo saja, sebelum akhirnya kembali menuju Pelabuhan Babang guna mengikuti agenda pak menteri berikutnya: meresmikan Tugu Khatulistiwa di Pulau Kayoa, masih di Halmahera Selatan. Menuju Kayoa, kami, beserta rombongan menteri, naik kapal Bahari Ekspress, dengan waktu tempuh dua jam.
Tiba di Kayoa, kami jalan menuju tugu Khatulistiwa. Jaraknya tak begitu jauh. Masyarakat tumpah ruah menyambut kedatangan menteri dan rombongan, seperti sedang menyambut pahlawan yang habis bertanding di Piala Dunia atau Liga Champions. FYI, ini merupakan tugu Khatulistiwa kedua yang diresmikan pada 2014 ini. Yang pertama letaknya di Pulau Kawe, Kepulauan Raja Ampat, beberapa pekan sebelumnya. Berikutnya ada di Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat.
Selepas itu, kami kembali ke Bacan, tapi ada acara terlebih dulu di Pulau Nusara, yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Labuha. Pulau Nusara sendiri sebenarnya salah satu gugusan indah yang ada di Halmahera Selatan. Namun, sayangnya keindahan itu tak bisa dinikmati, karena malam hari. Apa daya. Setelah makan dan acara utama, salah satunya pertunjukan aksi bambu gila, kami kembali ke penginapan untuk tidur pulas.
Hari 3. Dari pagi sudah siap, karena perlombaan renang dimulai pagi. Dilepas oleh menteri, sekitar 1700 peserta berenang di pesisir pantai Labuha, sejauh 1,5 km. Antusiasme masyarakatnya cukup seru. Acara selesai, kami kembali ke penginapan, untuk, lagi-lagi tidur. Sebenarnya ada waktu untuk jalan-jalan, namun karena kami rombongan, ya karena enggak ada di agenda, jadi agak sulit untuk inisiatif bergerak.
Siang hari, kembali makan, dan kembali di RM Apollo. Setelah itu, kami kembali ke penginapan dan mulai bersiap-siap. Saya memilih jalan kaki ke pasar untuk mencari oleh-oleh. Saya juga membeli bongkahan batu biasa, yang hargnya Rp10 ribu saja. Warnanya lumayan. Tapi batu itu enggak ada apa-apanya jika dibandingkan Batu Bacan yang harganya ratusan ribu hingga jutaan. Sedangkan oleh-oleh makanan, saya beli Kamplang, kerupuk yang terbuat dari sagu dan ikan. Saya juga beli ikan asap.
Malamnya, kami siap pulang dan menuju Pelabuhan Babang untuk menaiki kapal menuju Ternate. Ada kamar-kamar di kapal ini. Satu kamar berisi dua tempat tidur yang bersusun tingkat. Ada AC nya juga. Mengobrol-ngobrol di luar kapal, saya pun kemudian terlelap di tengah dinginnya udara AC dan goyangan kapal.
Hari 4. Akhirnya kapal pun tiba di Ternate sekitar pukul 05.00. Selanjutnya, kami dijemput mobil menuju Bandara Sutan Babullah. Sempat ngopi-ngopi, akhirnya pesawat pun berangkat menuju Cengkareng sekira pukul 08.15 WIT. Menempuh perjalanan 3,5 jam, alhamdulillah kami mendarat dengan selamat di Jakarta.
Perjalanan yang cukup jauh,meskipun tak puas-puas amat. Karena tak bisa mengeksplor Pulau Bacan lebih banyak. Selain memang cukup jauh untuk menuju pantai-pantai untuk berenang, daerah tersebut memang belum jadi salah satu tujuan utama wisatawan. Tapi, terima kasih untuk tiga hari yang cukup menyenangkan.
*Diposting di Wordpress 12 Juni 2014
0 notes
Text
HP Saya Pernah Masuk Saku Pencopet
Pernah dengar atau lihat seseorang panik karena kehilangan HP/dompet di angkutan umum? Nah, saya pernah jadi orang yang panik itu. Ini terjadi pada 22 Oktober 2013, saat saya hendak liputan acara bulu tangkis di Taman Barito, Jakarta. Untuk menuju lokasi, dari kosan di Kalipasir, saya naik Kopaja 502 untuk dilanjutkan bus Transjakarta jurusan Kota-Blok M.
Sebelum naik Kopaja, seperti biasa saya masukkan dompet ke dalam tas ransel, sementara tas sendiri saya balikkan arahnya ke depan. Kalau HP (BB), biasanya saya biarkan di saku samping kiri, karena saya pikir kalau ada apa-apa, saku samping lebih kerasa ketimbang saku belakang celana. Terlebih, saya juga sudah merasa cukup rajin mengecek keberadaan dompet atau HP.
Sampai perempatan Bank Indonesia, tepat saat Kopaja berhenti karena lampu merah, saya pun turun. Baru jalan beberapa langkah, saya kaget karena enggak ada BB di saku samping kiri celana. Di dalam tas pun enggak ada. Lagian, saya emang yakin kalau HP enggak dimasukin tas. “Ah euy, kecopetan ini mah. Yaudah lah mau gimana lagi, mungkin bukan rezeki saya atau kurang beramal,” ucap saya pasrah dalam hati, ketika panik sekitar tiga detik itu.
Dalam kepasrahan, saya menoleh ke kiri ke arah Kopaja tadi, yang masih ada karena memang ketahan lampu merah. Bisikan dalam hati bilang kalau saya enggak boleh menyerah, saya harus naik lagi ke Kopaja itu. Naik lah saya, dan langsung bilang ke kondektur kalau saya hilang HP, tapi dia tampak gak peduli.
Meski bisa saja si pencopet sudah turun dari tadi, saya tetap penasaran. Kemudian saya mengeluarkan HP satu lagi, yang disimpen di dalam tas, dan menelepon ke BB saya yang raib itu. Masih nyambung! Saya kemudian sibuk sendiri memperhatikan bunyi ringtone BB, tapi sayangnya suara mesin Kopaja terlalu berisik. Nah, saat saya nelepon, bus jalan. Kemudian ada satu orang yang beranjak dari duduknya dan berdiri di pintu kopaja yang terbuka, sambil menelepon. Saya lihat, yang dia pake bukan BB saya. Tapi dia tetap mencurigakan. Dia juga langsung turun setelah Kopaja melewati perempatan. Insting: Ikutin orang itu!
Saya kemudian ikut turun dan ngikutin dia ke mana dia jalan. Dia mulai keliatan agak panik karena saya ikutin. Pada titik ini, saya udah mulai yakin dia pencopetnya. Lalu dia nyeberang, dan tentunya saya ikutin juga. Saat dia udah di seberang jalan, saya masih ketahan di tengah-tengah, di pembatas antara kedua jalur. Saya nyaris tertinggal, karena dia nyoba berhentiin Metromini. Beruntung, Metromini enggak berhenti, karena mobil-mobil yang lewat sedang kencang dan dia juga berhentiinnya ngedadak. Udah makin yakin nih dia pencopetnya. Saya kemudian nyeberang dan nyamperin orang itu.
Dia di trotoar, sementara saya di bahu jalan. Kami terpisahkan tumbuhan dan pagar dari tali. Ini tepat di depan/samping Bank Indonesia. Dia berjalan menjauh, sementara saya langsung manggil dan memulai percakapan.
Adit: Mas, bentar dong, saya hilang HP
Copet: Apa? Jadi kamu nuduh saya? (nada tinggi)
A: Saya minta waktunya bentar, cuma pengen mastiin. Saya ngomong baik-baik.
C: Saya buru-buru mau ke sana (nunjuk ke arah Tanah Abang). ~udah makin aneh nih tingkahnya~
(Dia jalan, saya terus ikutin sampe dia makin annoyed dan kesudut)
C: Yaudah periksa sini (nyuruh saya ke trotoar yang memang sepi)
A: Enggak, situ yang sini, saya cuma pengen meriksa.
C: Nih, silakan periksa (sambil ngasih tas selempang mininya) ~dan di tas itu emang gak ada~
A: Sekarang saya mau periksa sakunya.
C: (Lagi-lagi mengelak) saya buru-buru!
A: Saya minta udah baik-baik nih. Saya juga buru-buru.
Setelah makin kesudut, dia nyamperin ke bahu jalan. Bukannya langsung ngaku, tapi masih sempet-sempetnya bilang, “Tadi yang ngambil HP itu yang di belakang kamu waktu di bus.”
A: Udah buruan, saya cuma mau periksa sakunya! (emosi)
Checkmate! Dia pun akhirnya ngaku dan bilang HP saya emang ada. Dia bilang lagi butuh uang. Saya enggak peduli dan langsung minta HP nya. Dan~ dia pun mengeluarkan BB saya satu-satunya itu dari saku. “Alhamdulillah bener masih ada,” kata saya dalam hati. Sedikit bentak-bentak, saya pun langsung pergi, karena emang udah harus buru-buru ke tempat liputan.
Fiuh, itulah pengalaman dicopet pertama kalinya di Jakarta. Intinya, harus hati-hati, bener-bener hati-hati di manapun, khususnya di tempat umum. Saya saja, yang merasa cukup sudah sering memeriksa hp/dompet, perhatiannya bisa teralihkan -entah lewat apa. Pokoknya, selalu hati-hati ya teman-teman!
*Diposting di Wordpress 7 Januari 2014
0 notes
Text
Lulus dari Kebon dan Lanjut ke Industri

Akhirnya selesai juga macul di kebon. 16 Oktober 2013 adalah hari terakhir saya bekerja di oke#one, media massa online yang berkantor di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat banget. Total, 1 tahun 7 bulan saya diupah oleh mereka. Suka-duka? Banyak, banyak banget. Semua hal yang mudah-mudahan bermanfaat dapet. Pacar juga dapet lho
Terima kasih tim bola.sports yang berisi orang-orang baik, santai, kalem, suka bercanda, gila, dll. Sebenernya udah merasa cocok dan nyaman dengan tim. Tapi mau gimana lagi, pintu depan udah terbuka, dan emang udah saatnya menggerakkan kaki, maju satu langkah supaya kaki tetap luwes saat mengambil langkah-langkah berikutnya. Jadi, pelabuhan saya saat ini adalah V#VA, juga media online, yang kantornya di Kawasan Industri, Pulo Gadung.
Makasih untuk: Juragan, bos paling enakeun dan metal. Bung Hendro, wakil bos paling legend penggila MU. Ki Daus, wakil bos yang baik dan berdedikasi tinggi. Indra, pemuda musik teman nyundaan. Apoy, pria Islami penyayang kaum hawa. Randy, pecinta sejarah paling puitis (kepada wanita). Rintani, teman seangkatan yang WAGs wanna be. Anang, MU maniak yang kribo & sepatunya banyak. Alfa, pemuda religius paling ceria. Juga buat Ojan, temen nyundaan dan sealmamater, yang udah jadi pewarta TV dan Windi, pemuda botak, penakluk rekan perempuan kantor, yang sekarang sekantor lagi.
Makasih dan sampai jumpa lagi. Pasti jumpa lagi
*Diposting di Wordpress 6 Januari 2014
0 notes
Text
Yahya!
Cuma cerita sederhana. Jadi, kosan saya di Jakarta ini dekat dengan pangkalan ojeg. Salah satu tukang ojeg yang suka mangkal di situ namanya Yahya. Hampir setiap hari saya dengar ada orang memanggil “Yahyaa!” dengan nada tinggi, sampe terdengar ke dalam kamar saya. Ya, yang memanggil pun orang nya itu itu saja, dengan intonasi yang sama, dengan tinggi nada yang sama. Sekian.
*Diposting di Wordpress 10 Desember 2013
0 notes
Text
Cerita P20
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, naik kendaraan umum Lebak Bulus – Jakarta Pusat/ sebaliknya, pasti sudah tahu apa yang dimaksud jika mendengar ‘P20’. Betul, itu adalah salah kode trayek Kopaja untuk jurusan Lebak Bulus – Pasar Senen. P20 ini ada dua tipe, yang pertama adalah reguler dan yang kedua, AC. Untuk reguler, ya seperti Kopaja klasik biasa -sekarang tarifnya jauh-dekat Rp 3 ribu. Sedangkan P20 AC baru eksis sekitar satu tahun lalu. Kelebihannya, ya iyalah ber-AC, busnya lebih bagus, melewati busway, dan supirnya berkendara lebih ramah ketimbang reguler -tarifnya Rp 5 ribu.
Saya pun salah satu pengguna P20 ini. Awalnya, saya hanya menggunakan jasa angkutan ini setiap kembali ke Jakarta, setelah menikmati masa liburan di Bandung. Tapi seiring perkembangan cinta (hahaa), saya makin sering naik angkutan yang melewati Rasuna Said & Mampang ini. Dan, dari segala cerita yang saya dapat selama naik P20, ada satu cerita yang saya pengin bagi di sini. Mari kita mulai. Oiya sebelumnya, FYI, ‘P’ di P20 itu mengacu pada kode wilayah yg dilalui Kopaja. ‘P’ maksudnya adalah Pusat, karena P20 memang melewati Jakarta pusat.
Saat itu, yang jelas Minggu pagi menjelang siang, saya kembali ke Jakarta dan langsung menuju kantor. Berangkat menggunakan bus Primajasa tujuan Lebak Bulus, saya -seperti biasa- berhenti di Trakindo, Cilandak untuk kemudian menyeberang dan langsung naik P20 AC hingga Gondangdia. Nah, saat P20 tersebut mulai memasuki jalan Rasuna Said, sang supir membawa kendaraannya keluar busway dan ke jalur biasa, padahal semestinya sampai sebelum Jembatan Latuharhari, mereka terus berada di jalur itu. Jadi, halte Trans Jakarta terakhir yang disinggahi oleh P20 yang saya naiki itu adalah Kuningan Timur.
Beberapa menit setelah P20 itu mulai melewati jalur biasa, ada seorang ibu, yang duduk di dekat pintu depan bus, protes. “Loh, kok enggak lewat jalur busway? Saya kan mau ke Dukuh Atas. Kalau saya mau naik busway, berarti harus bayar lagi dong?!” ujar si ibu tersebut dengan nada kesal. Ya, karena P20 sudah keluar busway -untuk kembali masuk busway sudah tak memungkinkan-, dan si ibu itu mau naik Trans Jakarta, dia harus naik dari jembatan di trotoar, dan otomatis dia harus membayar lagi Rp 3500. Lain halnya jika P20 tetap lewat jalur busway, karena si ibu hanya perlu transit di salah satu halte untuk kemudian naik Trans Jakarta menuju Dukuh Atas, jadi tak perlu bayar apa-apa lagi.
Si ibu itu pun kian berang, karena dia tentunya dia merasa sangat rugi. Sementara kondektur dan supir hanya bisa ngeles tak puguh dengan bilang: “Seharusnya ibu tadi turun di halte Kuningan Timur…”. Dalam hal ini, secara aturan, mereka salah. Si ibu pun menjawab dengan nada yang semakin meninggi, “Kalau memang lewat jalur biasa, buat apa saya naik yang AC?! Kan sudah jelas, terintegrasi dengan busway! Pokoknya gak mau tau, saya harus sampai ke Dukuh Atas!”
Mengingat enggak mungkin P20 nya dibawa ke Dukuh Atas, karena banyak penumpang lain di sana, si kondektur pun menyarankan si ibu untuk turun di Latuharhari dan naik kopaja lain yang melewati Dukuh Atas. Si ibu pun menurunkan tuntutannya, “Yaudah pokoknya saya enggak mau bayar lagi nanti, saya minta ongkosnya!” Dikasihlah Rp 5 ribu, sesuai dengan tarif P20 AC itu. Si ibu puas? Nggak juga tuh. “Saya enggak mau goceng, Kopaja (yang akan dinaikinya nanti) kan dua ribu, saya mau uang pas!” Akhirnya, si kondektur pun memberi Rp 2 ribu, hingga akhirnya si ibu turun dari P20 AC setelah melewati jembatan Latuharhari, masih dengan raut wajah penuh kekesalan.
Siapa yang salah? Si ibu jelas meminta haknya, sementara P20 AC sepertinya sengaja lewat jalur biasa, demi mendapat banyak muatan, karena mungkin saat itu, penumpang dari halte Trans Jakarta sepi. Saya pribadi menyayangkan adanya kesetengah-setengahan ini, walaupun di Indonesia, hal-hal seperti ini lumrah terjadi. Semestinya, kalau peraturannya P20 AC itu melewati busway, ya sudah, seperti itulah seterusnya. Jangan ada alasan apapun yang membuat si P20 melenceng dari aturan. Tapi, yaa mau bagaimana lagi, untuk urusan seperti ini, di negara kita sepertinya terlalu banyak maklum. Hmm…
*Diposting di Wordpress 8 Agustus 2013
0 notes
Text
Saya dan Manchester United

Ada dua poster yang terpampang di dinding kamar saya saat menginjak kelas 5 SD, Timnas Jerman dan Manchester United. Ya, saya menyukai segala hal tentang sepak bola sejak masih berseragam putih-merah, tepatnya kelas 3 SD. Kenapa saat itu saya memfavoritkan Timnas Jerman, Manchester United, dan AC Milan? Karena dua teman dekat saya saat itu -mereka lebih tua dan lebih dulu mengenal sepak bola- menyukai tim-tim tersebut. Singkatnya, saya terbawa-bawa oleh mereka. Dan saya benar-benar jadi gila sepakbola. Gila pada MU, gila pada Milan, dan gila pada Timnas Jerman.
Seiring saya bertumbuh, ada dua tim pujaan kemudian yang luntur di hati saya. Pertama, Timnas Jerman. Saat kelas enam SD, sebenarnya saya masih mengidolai mereka. Der Panzer adalah kojo (jagoan) saya di Piala Dunia 1998. Saya masih ingat, betapa sedihnya melihat Andreas Kopke, Jurgen Klinsmann, Oliver Bierhoff dll. dibantai Kroasia 0-3 pada babak perempatfinal. Namun setelah itu, entah kenapa, kecintaan pada Jerman terus meluntur. Piala Dunia-Piala Dunia berikutnya pun saya tak punya kojo. Mungkin, condong ke Italia. Itu pun karena saya a big fan of AC Milan, yang notabene klub Serie A.
Tim kedua adalah MU. Ini yang menarik -makanya saya taruh di judul. Sejatinya, saya adalah benar-benar penggila tim dengan julukan Setan Merah tersebut. Tak dipungkiri, selain karena terbawa-bawa oleh teman dekat saya tadi, saat itu saya adalah bocah yang benar-benar kagum pada MU saat memenangi treble winners pada musim 1998/99. Saya selalu bersemangat setiap melihat cuplikan gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer pada masa-masa injury time Final Liga Champions 1999, yang membawa MU membalikkan keadaan menjadi 2-1 atas Bayern Munich. Bisa dibilang, saya semakin tergila-gila pada MU, yang pada musim itu menggunakan jersey bersponsorkan Sharp, dengan strip logo-logo Umbro di bagian bahu.
Beranjak SMP, SMA, saya masih menyukai MU, meskipun klub yang paling saya utamakan untuk diidolai adalah Milan. Begitupun saat duduk di bangku kuliah, saya juga masih suka MU. Dan, segalanya pun berubah saat saya memasuki semester lima perkuliahan. Perlahan demi perlahan, saya mulai tak suka MU. Awalnya, saya juga tak mengerti kenapa. Dan, setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata saya tak sejalan dengan mayoritas sikap fans MU di Tanah Air, atau silakan sebut oknum. Dalam pandangan saya, mereka terlalu arogan dan kerap tidak respek kepada tim-tim lain. Sesederhana itu? Cuma karena hal itu saya jadi anti MU? Entahlah.. tapi yang jelas, saya sejak saat itu, saya benar-benar bukan pendukung Setan Merah.
Hingga sekarang, terkadang saya hanya bisa senyum kasihan kalau ada fans MU yang saking cintanya pada tim tersebut -beberapa orang bilang layaknya orang Manchester asli- menjelek-jelekkan tim/fans lawan dengan cara yang bikin saya pengin bilang, “oh come on, grow up!”. Tapi, saya tekankan, tidak semuanya seperti itu. Saya pikir, ada juga fans Setan Merah yang menunjukkan sikap respek pada tim atau fans manapun yang merupakan lawan MU. Dan saya pun respek pada fans dengan tipe seperti itu. Yang jelas, saat ini, cuma ada satu klub mancanegara yang saya idolai, Rossoneri!
*Diposting di Wordpress 28 Juli 2013
0 notes
Text
Karas, Citumang, dan UFO Sinting!



Perjalanan ini sebenarnya dilakukan berbulan-bulan lalu, dan nyaris setahun. Tapi karena kesibukan melanda (silakan semuanya serempak bilang: WAE!) jadi baru sempat menulisnya sekarang. Saya mikirnya sih, sayang banget kalau enggak ditulis di sini. Jadi, mari, langsung, aja. Ya?
Saat awal puasa 2012, saya dan teman-teman selingkungan rumah memang merencanakan jalan-jalan ke pantai pascalebaran. Tujuan kami (saya, Erdi, Bobbi, Rizal) adalah Pantai Batu Karas, Pangandaran. Alasannya simpel, Batu Karas salah satu pantai yang masih agak bersih, seru buat main pasir, dan di sekitarnya juga banyak objek wisata lain. Selain itu, penginapan di sana juga sudah cukup banyak dengan berbagai varian fasilitas dan harga. Fixed, kami sepakat ke nge-Batu Karas.
Kamis (6/1/2012), perjalanan kami berempat pun dimulai dari… rumah masing-masing, kecuali saya yang baru pulang piket di kantor. Kami ke sana pakai mobilnya Erdi. Normalnya, jalur ke Pangandaran dan sekitarnya itu ya lewat Ciamis dan Banjar. Tapi, saya sukses meyakinkan teman-teman untuk ikut arahan saya. Ya, sejak beberapa tahun lalu, saya memang terobsesi menyusuri pantai Selatan. Jadi, saya pun menggiring si Erdi dan mobilnya agar ke Cipatujah, lalu menyusur pantai ke timur sampai Batu Karas, meskipun saya juga tahu, pasti bakal memakan waktu lebih lama.
Awalnya, saya pikir pemandangan pantai selatan Jawa akan terus menemani kami sampai Batu Karas. Tapi ternyata, enggak. Saya salah perkiraan, dan hasilnya pun di luar ekspektasi. Selain kerap terhalang pohon, semak-semak atau apapun itu, ternyata beberapa jalan kondisinya tak mulus. Tapi, saya enggak menyesal. Coba kalau saat itu enggak mencoba, saya enggak akan tahu dan rasa penasaran menyusur pantai selatan akan terus menghantui (iya iya, ini memang berbau pembelaan :p).
Setelah menempuh enam jam perjalanan, kami pun sampai di Batu Karas, sekitar pukul 19.00. Sempat tanya beberapa penginapan sana-sini, akhirnya semua setuju menginap di Penginapan Teratai -yang terkenal itu. Harganya lupa, yang jelas sangat terjangkau. Kamarnya lumayan luas, isinya: kasur besar satu (tapi cukup buat berempat), kipas angin, dan kamar mandi. Hari pertama cukup melelahkan, apalagi saya yang malam sebelumnya begadang untuk piket di kantor. Jadi, pada pengujung hari pertama ini, kami hanya cari makan, dan kemudian tidur. Zzz..
Hari kedua. Pada hari ini, tepatnya Jumat, kami punya waktu seharian penuh untuk bermain-main. Awalnya, susunan acara belum terencana. Pukul 09.00 kami pun memutuskan beranjak menuju Sungai Citumang. Jadi, sehari sebelumnya, lewat BBM, teman saya Giwang memberi saran untuk mencoba body rafting di Citumang. “Caina jernih minta ampun,” kata Giwang saat itu. Jadi, untuk acara pagi hari, diputuskanlah main ke sana. Letaknya? Antara Batu Karas dan Pangandaran. Kalau dari Karas, belokan masuknya setelah Batu Hiu, sebelah kiri.
Setelah sempat bertanya-tanya ke penduduk sekitar, dan melalui jalanan yang cukup sempit, akhirnya kami sampai di Citumang. Di sekitar parkiran, masih belum tampak si sungai yang katanya jernih itu. Harus jalan kaki dulu katanya. Pas di depan mobilnya Erdi diparkir, ada rumah, seperti base camp para pecinta alam. Awalnya, kami kira beli tiket di situ, ternyata mereka menawarkan paket body rafting, pake life jacket gitu nyusuri sungai. Harga? 75 ribu. “Buset, mahal banget,” kata saya dalam hati. Setelah dipikir, kami menolaknya, dan rela hanya bermain-main di sungai tanpa nge-body rafting.
Usai berjalan sekitar 200 meter, barulah ada loket untuk beli tiket masuk Citumang. Dan di situ juga ada yang menawarkan life jacket untuk disewa. Saya lupa harganya, tapi kami masih nahan dulu, karena liat sungainya aja belum. Dan… beberapa meter kemudian, kami pun sampai di sungai itu. Wow, memang jernih! Lalu kami main-main air. Tapi, tanpa life jacket, katanya dilarang berenang. Melihat jernihnya air sungai, kami luluh juga. Nggak tahan ingin berenang dan nyusuri sungai. Tapi, kami yakin kalau sewa life jacket plus nyewa guide buat body rafting, harganya bisa ditawar. Berapa harga yang akhirnya didapat? 45 ribu. Lumayan lah. Yay, mari berenang!
Ternyata, sebelum memulai, kami diajak untuk loncat dari tebing dengan ketinggian tujuh meter. Kami pun tertantang. Pertama-tama, si aa-nya kasih contoh gimana naik ke tebing dengan manjat akar pohon hingga akhirnya loncat ke sungai. Satu per satu dari kami sampai di atas dan loncat. Sensasinya? GILA! Serem-serem seru! Saya berniat teriak untuk membuang segala rasa takut saat meloncat. Tapi, yang ada teriakan saya bunyinya terputus-putus, karena saking tegangnya waktu ada di udara. Seperti sesak napas! Karena seru, saya pun naik dan loncat lagi. Tapi, yang kedua berakhir menyeramkan bagi saya, karena saat nyebur, ternyata posisi kaki saya dekat dengan karang. Saya hanya beberapa meter dari maut! Astagfirulloh. Jadi, ternyata saya salah. Harusnya, pas dari tebing, saat loncat, jangan ambil langkah terlalu jauh, karena sungainya pun enggak lebar.
Selanjutnya, kami pun menyusuri sungai alias body rafting tea. Keren juga, ada sungai yang jernih kaya gini. Tapi, selama body rafting sensasinya standar-standar aja, ga ada yang istimewa. Untungnya, kami enggak ngerasa rugi soalnya ngerasain sensasi loncat dari ketinggian tujuh meter tadi. Oiya, body rafting tadi itu, finisnya di dekat parkiran. Jadi setelah sampai, kami pun ganti pakaian dan kembali menuju Karas. Sebelumnya sempat terpikir ke Green Canyon, tapi karena baju kering tinggal yang terpakai, plus agak malas juga, yasudah rencana itu pun batal. Kami makan, dan setelah itu langsung ke penginapan. Tiba sekitar pukul 14.00, kami langsung istirahat.
Sore hari, sesuai dengan rencana, kami main wahana-wahana di pantai Batu Karas. Paketannya adalah untuk dua wahana: Banana Boat dan Crazy UFO. Untuk wahana yang disebut terakhir, saya belum pernah menaikinya, jadi agak-agak penasaran. Kemudian, kami memulainya dengan UFO. Bentuknya bulat dan seperti Banana, ditarik oleh speed boat. Awalnya terasa biasa dan seru-seru saja, terutama saat berbelok arah. Tapi, segalanya jadi gila -seperti namanya ‘Crazy’- saat dalam kecepatan tinggi, UFO menabrak deburan ombak. Kami -yang terus berusaha untuk tidak terlempar ke laut dengan berpegangan pada alat pegangan yang ada- pun berloncatan tak jelas. Tangan, kaki, membentur badan UFO. Posisi mendarat pun tak jelas. Kami minta dipelankan. Tapi, kemudian malah kian parah, dan kami melihat ada darah di sekitar mulut Bobbi. Itu akibat benturan keras ke badan UFO.
Main Crazy UFO selesai. Kami protes kenapa bisa kaya gitu, tapi ya sudahlah. Kalau kata si Erdi, di Bali, main kaya begini ada asuransinya, makanya harganya bisa lebih mahal. Bobbi akhirnya mendapat perawatan dari ‘UKS’ setempat. Dan dia gak ikut naik Banana Boat. Kami bertiga? Tetep naik, karena udah terlanjur bayar paketan sama si Crazy UFO. Tapi saat naik Banana boat sensasinya garing, karena udah ketakutan duluan naik UFO. Salah strategi emang, harusnya naik Banana dulu baru UFO. Yasudahlah, yang jelas, itu UFO benar-benar sinting. Tangan, kaki kami pun sakit-sakit setelahnya. Dan, hari kedua kami pun berakhir dengan sedikit tragis, khususnya buat Bobbi. Padahal, sebenarnya, sebelum UFO jalan, dia paling semangat dan langsung milih tempat paling depan. Haha. Sing sabar, Bob!
Hari ketiga, tepatnya Sabtu, adalah waktunya pulang. Tapi, pagi-paginya kami sempat berenang dan susurfingan di pantai, untuk selanjutnya foto-fotoan. Khusus hari ini (mungkin Minggu juga), Karas rame banget. Dan, seiring keramaian itu hadir, kami pun beranjak pulang. Tentu, kali ini jalur yang dilewati adalah jalur biasa, Banjar-Ciamis. Sempat mampir di salah satu rumah makan, hingga akhirnya… alhamdulillah kami sampai di rumah masing-masing.
*Diposting di Wordpress 27 Juli 2013
0 notes
Text
Ruby Sparks (2012)
Diceritakan, Calvin Weir-Fields (Dano) adalah seorang novelis yang baru menelurkan novel laris manis yang membuat namanya mulai tenar. Calvin tinggal di rumah mewah. Namun, karena kurang bisa bergaul, boro-boro punya pasangan, teman pun dia tak punya. Orang yang selama ini menjadi teman ngobrolnya adalah kakaknya sendiri Harry dan psikiaternya Dr. Rosenthal.
Calvin pun berencana untuk membuat novel berikutnya. Tapi, ia mulai kehilangan ide sehingga kerap stuck saat berada di depan mesin tik -ya, di era modern ini, Calvin tetap menggunakan mesin tik. Suatu malam, dalam tidurnya, ia mimpi bertemu dengan seorang perempuan, yang kemudian ternyata memberi inspirasi dalam menulis karya terbarunya. Akhirnya, Calvin pun menjadikan gadis tersebut sebagai tokoh utama dalam karyanya. Perempuan itu ia beri nama Ruby Sparks (Zoe Kazan).
Jadi intinya, Calvin sedang menuangkan kisah manis bersama Ruby Sparks, yang hanya ada di dalam mimpi, menjadi sebuah novel. Suatu ketika, Calvin bermimpi (atau nyata?) kencan dengan Ruby di mana akhirnya mereka pun saling tertarik dan jadian. Dan, pagi harinya, saat bangun, Calvin terkejut ketika melihat Ruby -yang kini sudah menjadi pacarnya- hadir di dunia nyata. Awalnya, ia menganggap itu hanya halusinasi, tapi ternyata semua orang pun bisa melihat sosok Ruby. Ya, Ruby, sosok perempuan yang ia karang sendiri.
Harry, yang awalnya tak percaya dengan hadirnya sosok Ruby, kini tak kalah terkejut. Penasaran dengan keanehan ini, Harry pun menyuruh Calvin menulis di mesin tiknya kalau Ruby adalah perempuan yang fasih berbahasa Prancis. Setelah itu, mereka berdua kembali menghampiri Ruby, dan voila! Ruby pun kini berbicara layaknya orang Prancis. Ya, apapun yang diketik oleh Calvin, itulah yang ada pada diri Ruby.
Selanjutnya, hidup Calvin pun lebih berwarna, karena ia tak kesepian lagi, tak jomblo lagi, dan tak galau lagi. Ia benar-benar menikmati hari-harinya bersama Ruby. Namun, yang namanya pasangan, pasti menemukan perbedaan pendapat di tengah jalan. Sayangnya, karena merasa memiliki kontrol absolut terhadap Ruby, Calvin pun bertindak semaunya. Saat Ruby marah, ia tulis menjadi senang. Saat Ruby merasa bosan, ia tulis Ruby ingin selalu berada di dekatnya. Bukannya membawa kesenangan, tindakan Calvin itu justru malah memperparah keadaan. *
Bagi saya, Ruby Sparks adalah salah satu film 2012 terbaik yang saya tonton. Dengan cerita yang sederhana dan bisa diterima semua kalangan, Ruby Sparks dikemas dengan rapi, indah, sweet, sehingga menjadi hiburan yang berkesan. Chemistry antara Dano dan Zoe Kazan juga menjadi salah satu kekuatan di film ini Tak aneh sebenarnya, mengingat keduanya memang menjalin asmara di kehidupan nyata. Bagi penonton berstatus single, terutama laki-laki, nikmatilah keindahan ini, hahaha. Ya, keindahan 104 menit dalam Ruby Sparks.
Kredit juga untuk Zoe Kazan, yang menjadi penulis cerita ini. Keren!
*Diposting di Wordpress 25 Januari 2013
0 notes