diamdibalik
diamdibalik
Diam Dibalik
76 posts
“The only way to get through it is to get through it.”- Cece Parekh, New Girl
Don't wanna be here? Send us removal request.
diamdibalik · 5 years ago
Quote
Let me follow the crowd whining how sucks this year is. Suddenly the idea of short life is not at all bad.
me
0 notes
diamdibalik · 6 years ago
Text
I just want to be invisible. I cannot remember the exact moment when this wish started to pop into my mind. But I'm pretty sure it was years ago. I just want to be invisible. I feel like I'll never be able to cover myself enough. I wish I could, with millions of layer so that no one will ever notice my existence. But, even if it happens, you still recognize me. "Please, just go away," I begged you. "No way. I'm staying, and will eternally stay," you answered me with a sentence which I'm so familiar with.
0 notes
diamdibalik · 6 years ago
Text
It takes courage to say this sentence.
“I’m sorry, I was wrong.”
without a ‘but.’
0 notes
diamdibalik · 6 years ago
Text
Setelah 3 hari liputan di PN Jaksel...
Unpunctuality is a disease. And, it's contagious.
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Tumblr media
Day 54
The first day of snow!
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
God is amazing. He loves me with the highest standard of love. Then, He teaches me how to love, in theory, and also in practice. And, He creates you, to prove to me that loving someone is easy. And, it's safe because real love always protects. Love means no fear. Including fear of losing. And, that's exactly how I feel towards you. The best thing about this love is nothing else matters but surrender.
You are me.
:)
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Jurnal Tesa #18: time spent with JSM is time well spent
Tumblr media
Day 61
It’s 9.15 PM and I just arrived at my dorm. It has been a long yet meaningful day. Berawal dari pagi ini gua ikut prayer meeting lagi, yeahh! (akhirnya setelah 2 minggu terakhir selalu ada acara hari Sabtu). Prayer meeting asik banget... gua seumur-umur gak pernah sesemangat di sini ikutan prayer meeting hahaha. Ah, dan pagi ini dapet ayat Psalms 5:3. It mentioned exactly what has been fundamentally disappearing in me this whole time. Wait expectantly. Jeng jeng! Yah selama ini gua cuma wait impatiently hahaha ga mau menghadapi proses dan maksa ‘hasil akhirnya mana nih!’ Lalu akhirnya demotivasi tak berujung karena lagi-lagi I put my feet in the worldy promises. Kalau di benteng takeshi yang permainan nyebrangin sungai, terus pemainnya harus ngijek batu-batu bulat gitu, dan di antaranya ada batu-batu kopong yang kalu dipijak jeblos. Nah, worldy promises itu semacam batu-batu jeblos itu wkwkwkwk Jadi gua jeblos terus, lalu susah payah berenang ke pinggiran, tapi kemudian jeblos lagi di batu yang amblas itu wkwkwkwk. Emang dasar gua yang nggak mau belajar :)) Yah tapi Tuhan itu baik, gua diingetin lagi, kalau His promises itu sebenernya rahasia terbuka. Kalau ujian ya semacam open book. Everything is on the Bible.
Baik. Lanjut ke kisah hari ini. Pas banget setelah sekian lama nggak prayer meeting, gua cukup rindu makan siang sama temen-temen JSM. Dan, hari ini agak lain. Biasanya kami makan cuma di sekitar Sinchon tapi hari ini agak melipir dikit ke Gongdeok. Di Gongdeok ada Jokbal Alley yang terkenal dan kami makan di sana. Jokbal itu kaki babi. Tapi gua, P. Cindy, P. Alex dan Jungmin kurang suka si Jokbal, jadi kami makan Bossam (sebut saja babi kukus). Haduh enak banget, BABI memang terbaik!
Tumblr media
Lalu kami balik ke gereja untuk latihan nyanyi. Ada di sekitar temen-temen JSM itu bener-bener delighful banget, hubungan-hubungan di dalamnya itu sehat dan membangun. Pernah nggak ngerasa seneng banget ngeliat orang lain berinteraksi? Maksudnya orang lain yang berinteraksi tapi lu yang seneng gitu karena energi positif (atau kadang mereka suka teasing each other dalam konteks bercanda) mereka dalam interaksi itu nular ke lu dan menusuk hati lu sampai ke yang paling dalam hahaha agak lebay. Tapi itu yang gua rasain. Salah satu alasan yang bakal bikin gua sedih dan berat banget ninggalin Seoul itu mereka. Sedih dan kadang suka cemas, pas balik ke Indonesia bisakah gua dapet komunitas yang seperti JSM? Gua berusaha percaya, pasti bisa! Jadi buat temen-temen yang baca doakan aku ya :)) *bentengtakeshi*
Awalnya hari ini gua berencana untuk belajar di asrama. Tapi, akhir-akhir ini gua merasa sumpek banget di asrama. Salah satu dilema musim dingin itu, kadang kamar jadi pengap banget karena heater udah dinyalain. Sedangkan kalu buka jendela terlalu dingin. Ditambah lagi temen sekamar gua agak kurang rapih, dan kalau udah akhir minggu kaya gini dia pasti clubbing. Pulang pagi sekitar jam 10 dan langsung tidur. Jadilah kamar kami sleep mode, a.k.a curtain ditutup, gelap dan semakin sumpek. Oh dan yang menguji kesebarannya adalah bau alkohol. Bahkan tadi pas gua balik udah malam, seisi kamara masih bau. Tapi gua berusaha sabar aja tinggal 5 minggu lagi. Gua menghindari adanya perdebatan yang berlarut dan menghasilkan kecanggungan hahaha (pengalaman semester lalu).
Akhirnya, gua memutuskan stay out sampe malam, dan membatalkan rencana belajar tersebut hahaha gua memilih hari ini mau santai-santai aja. Jadi, gua memutuskan ke Aladdin. Tempat ini ajaib banget pokoknya. Mereka nyediain sudut buat pengunjung duduk dan baca buku di sana, sampe tokonya tutup juga boleh. Gua duduk di sana dan baca buku yang gua bawa sendiri, jadi sebenernya secara teknis gua bukan kustomer Aladdin wkwkwk. Gua lagi baca the Catcher in the Rye, novelnya J. D. Salinger. Setelah gua beli buku ini beberapa minggu lalu, gua ngecek ulasan di goodreads dan menemukan bahwa banyak banget yang benci sama tokoh utamanya. Gak tau kenapa gua malah suka banget, I feel him, asli! Atau memang gua yang freak kaya si Holden dan selera humor gua serenyah crepes. Tapi baru baca 3/4, jadi penilaian gua mungkin masih bisa berubah.
Tumblr media
Hari ini ditutup dengan waffle di BeansBins yang gua beli dengan kupon GSM terakhir di bulan ini. Pengeluaran yang nggak terlalu penting sebenernya 15,000 won untuk waffle. Tapi.... ya sudahlah udah masuk perut. Haduh, self-control dimana self-control?!?
Sekian! gua sudahi kisah hari ini di sini. Sebagai info gua nulis ini di asrama dan ditemani bau alkohol yang masih melayang-layang di udara :’( HAAAAAAAAH!
Dormitory, 17 November 2018 [10:35 PM]
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Jurnal Tesa #17: the unrealistic autumn
Day 65
Time feels unreal. But, do you know what is more unreal than time? Autumn. I remember the question ‘when was the last time you did something for the first time?’ And this year, I can answer so many things. One of those things was gathering autumn leaves. Ah, and also taking pictures of my shoes, like this:
Tumblr media
Okay, back to what I said before. Autumn is unreal. It was that beautiful until I started to think that I was not in the real world. I am not exaggerating. If you think I am exaggerating, it means you never experience autumn before. Or, you never experience autumn in Korea before. Or, you never... Okay forget it, you are not me, so you won’t be able to see like I see, to feel like I feel and to think like I think. That is my opinion. And, yours is yours. I won’t resist. Hahahaha now I am arguing with myself, who’s going to keep up with this blog anyway.
In autumn, what makes it unreal is everytime you walk you are surrounded by green, yellow, orange and red. Nothing can beat the autumn sky. Especially when the weather forecast shows that it will be a sunny day, which means a perfect day to grab my camera and go out. It is crazy how all the colors collide in my eyes. The tree and the sky create colors that I cannot describe. It is just lovely. Sometimes, it leaves me speechless.
Tumblr media
Autumn is unreal like time. It is an illusion. It passed just like that. Within a blink of eyes, my first autumn was over. And it prepared the way for winter. It prepared my way home. Autumn teaches me not to be greedy. It teaches me that beautiful things are not supposed to stay for a long time, or they will lose their charm. All good things are meant to stay just for a while. Therefore, they give the power to people who look forward to their next coming. 
So yeah, I think my whole life in South Korea is just like an Autumn. I need to come home so I can go again. I need to face the reality so I can make up my mind and be sure. I need to finish my responsibility so that the next destination won’t be an escape (again). I will go back in around two months. I don’t want to go home in grief. I am preparing myself so that I will be 100% ready for my homecoming.
Okay, I’ll talk again tomorrow. See ya!
Dormitory, 14 November 2018 [00:08]
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Tumblr media
Farewell lunch with Ps. David (+family) and Ps. Daniel (+family). We send them off back to the State in peace. We will miss you, Pastors, Samonims, Ara, Noa and Hajun! ❤
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
I never belong here. I feel trapped inside this mortal flesh. I always try to find the vision but it only leads me to the craving for resurrection. It is not the time to make the world a better place. It is time to make the world ready for its end.
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Jurnal Tesa #16: Dua Hari di Korea dan Hampir Gabung CULT!
Tumblr media
Ini foto terakhir yang gua ambil di Hongdae sebelum gua dibawa pergi hahaha
Selasa tanggal 20 Februari 2018 menjadi hari pertama gua menginjakkan kaki di Korea Selatan. Selama 8 jam di pesawat gua duduk di sebelah laki-laki India, tapi baru 20 menit sebelum mendarat kami ngobrol. Karena gua tidur sepanjang penerbangan. Ternyata dia mau ke Busan, buat ambil master tekniknya,  dia ngasih tau sebenernya teknik apa, tapi gua belum terlalu sadar dari tidur pada saat itu jadi gua lupa. Gua pun turun dari pesawat dan nunggu bagasi keluar.
Di dalam pesawat sebenernya udah di kasih tau suhunya 4 derajat. Tapi gua nggak punya bayangan sama sekali dingin 4 derajat itu kaya apa. Sampai akhirnya, gua yang sedang berdiri tiba-tiba merasa ada angin semriwing yang menyambar tubuh gua. Gua keinget, kalau di rumah gua rasanya itu kaya kamar nyokap yang di pasang AC dan tiba-tiba pintunya dibuka ketika gua sedang di depannya persis (apasih…) ya pokokya begitu. Gua pun mencari sumber datangnya rasa dingin tersebut, gua menyadari bahwa di sekitar gua nggak ada AC sama sekali, sampai akhirnya ketika gua nengok ke kanan gua melihat ada pintu kaca besar, dan menyadari fakta yang sesungguhnya. Bawha AC itu terpasang di langit Korea Selatan, dan tidak ada yang bisa mematikan, kecuali si musim semi yang masih sebulan lagi.
Dingin banget brader, asli deh. Akhirnya gua bisa ngebayangin dinginnya 4 derajat itu kaya apa, bahkan -9 derajat juga kebayang. Pantat gua beku beneran, karena pas sampe baju gua tipis banget. Nah, perjalanan gua dimulai nih di sini. Sebenernya drama itu sudah di mulai dari hampir ketinggalan pesawat Jakarta-Kuala Lumpur (yang gua ceritakan di tulisan sebelumya). Dari Incheon, gua cuma tahu satu cara mencapai penginapan gua di Hongdae, yaitu dengan menggunakan Subway. Selama ini gua emang denger temen-temen gua itu selalu berangkat barengan, jadi bisa sharing fare taxi, atau ada juga yang dijemput sama pihak kampus. Pada saat itu, perlu diingat bahwa barang bawaan gua itu jika beratnya dijumlah mencapai 40 KG (1 koper bagasi, 1 tas kabin dan 1 tas ransel). Dengan bertanya sana-sini saya sampailah di Subwaynya si Incheon ini. Berbekal pengalaman naik MRT di Singapura (karena sistemnya kurang lebih sama) gua nggak menghadapi masalah yang berarti dalam membeli tiket dan mencari line yang harus dimasuki.
Setelah beberapa stasiun, sampailah gua di Hongik University Subway Station. Dengan berusaha tegar di tengah kedinginan saat itu gua keluar dari stasiun dan berusaha mencari tahu jalan mana yang harus gua tempuh. Waktu itu gua tidak mau memperlihatkan kebingungan gua, jadi gua ikut-ikutan orang yang nyeberang aja karena itu rame banget dan gua jadi sedikit gegabah. Pas gua sampai seberang, dan melihat peta yang udah gua print, gua semakin yakin bahwa gua seharusnya nggak nyeberang. Gua otomatis celingak-celinguk nyari jalan, yang membuat gua murni terlihat kaya turis kesasar, ditambah koper gede gua yang nggak bisa berpura-pura jadi tas LV. Tiba-tiba ada seorang laki-laki, yang perlu digaris bawahi ganteng, berhenti nyamperin gua. Gua tengsin banget saat itu karena gua belum mandi 2 hari, tapi menemukan jalan ke penginapan saat itu nampaknya lebih penting dari harga diri. Dengan bahasa inggris dia yang terbatas, dia ngasih tau kalau gua seharusnya nggak nyebrang dan cukup ikutin jalan aja dari pintu keluar stasiun. Ya, akhirnya gua lagi-lagi diingatkan, kalau seharusnya gua nggak nyebrang.
Perkenalan Gua dengan…….. Microwave
Akhirnya gua menemukan jalan menuju penginapan gua, resepsionisnya mirip yang main While You Were Sleeping, bikin gua jadi panik dan bahasa inggris gua jadi ngaco. Gua yes-yes aja, yang penting pergi dari hadapan dia dan segera istirahat karena badan gua udah mau remuk. Sampai di kamar akhirnya gua tertidur dan terbangun di tengah malam. Karena lapar dan belum buka puasa, gua langsung ke mini market terdekat untuk membeli makanan dingin. Di Indonesia, gua nggak pernah tau cara menjalankan microwave itu gimana. Pertama, gua ga punya microwave di rumah. Kedua, kalau beli makan di Seven Eleven, pasti abangnya yang angetin. Akhirnya habis bayar, kasirnya ngasih ke gua makanan itu dalam kondisi dingin. Waktu itu gua malu banget buat nanya, jadi gua iya-iya aja. Gua akhirnya  duduk di meja, sambil membuka bungkus nasinya, dalam hati meringis, gini amat ya jadi anak rantau. Gua mengunyah dengan pelan nasi yang super dingin itu, tapi karena udah lapar banget gua lahap-lahap aja.
Tiba-tiba, ahjusii kasir itu nyolek gua. Gua kaget. Dia lebih kaget ngeliat gua makan nasi dingin. Lalu dia bilang sambil ngacunigin 2 jari, “Microwave, 2 minutes”. Saat itulah gua baru tahu kalau ada microwave di sana, dan untuk pertama kali gua mencoba mengoperasikan microwave dan langsung berhasil. Tapi asli, gua takut banget mesinnya meledak pada saat itu. Sejak saat itu, gua jadi merasa master dalam hal menghangatkan makanan di microwave. Kebetulan di asrama gua juga ada microwave di setiap lantai. Gua malah jadi sering menghangatkan hal-hal yang nggak penting, kaya misalnya gua baru beli roti yang masih hangat dari oven, tapi karena gua tau cara menggunakan microwave, gua jadi menghangatkannya lagi. Untuk gua nggak perlu bayar token listrik di sini.
Kenaifan Pertama di Korea Selatan
Keesokan harinya gua masih di penginapan. Hari itu gua nggak ada rencana lain selain beli alat mandi dan mencari daiso untuk beli keperluan di asrama. Gua keluar cukup sore waktu itu sekitar pukul 4 sore. Gua jalan sendirian ke arah hongdae untuk cari daiso tapi nggak ketemu. Hongdae itu rame banget, kabarnya itu tempat-tempat anak hipsternya korea berkumpul dan bergaul, sering ada street performance juga, intinya rame. Gua akhirnya nyerah nyari daiso, jadi gua liat-liat aja. Pas banget selama gua jalan sendiri di Hongdae itu gua iri liat orang-orang yang lagi ketawa haha hihi sama temen-temennya. Gua membayangkan kalau gua di situ sama temen-temen gua pasti seru juga. Ketika itulah, dalam perenungan gua akan rindu teman, 2 gadis korea ini (nggak tau sih masih gadis atau enggak xixixi) menghampiri gua dan ngomong ke gua dalam bahasa korea.
Gua otomatis bilang, oh maaf gua nggak bisa bahasa korea. Tiba-tiba mereka ngomong pake bahasa inggris bilang kalau mereka kira gua orang korea, karena muka gua kaya orang korea banget. Hmmm, setelah gua sadari sekarang, kaya orang korea darimananya. Mereka bilang kalau mereka baru di sini dan mereka nanya di mana stasiun terdekat. Gua bilang nggak tau, tapi gua tau kalau di sini ada Hongik Univ Subway Station. Lalu di sini gua mulai banyak ngobrol sama mereka, mereka nanya gua ngapain ke Korea dan lain-lainnya dan gua jawab dengan lugunya. Setelah ngobrol panjang mereka tiba-tiba bilang, kalau mereka sebenernya lagi mau ke acara traditional ceremony-nya korea gitu, karena minggu lalu baru tahun baru Cina. Terus mereka ngajak gua mau ikutan nggak, banyak foreigner juga yag datang ke sana. Soalnya ini budaya korea yang nggak banyak diketahui sama orang asing, karena biasanay orang asing cuma tahu K-Pop dan K-Drama. Sesuai sub-judul di atas, saat itu gua super naïf. Dan gua bilang mau banget. Hadeh…..
Akhirnya gua ikut mereka berdua, setelah gua sadari sekarang dari tempat kita berdiri itu sebenernya udah keliatan pintu masuk stasiun subwaynya. Yang kalau lebih awal gua sadari bikin gua tau kalau mereka nanya itu pura-pura doang. Mereka ngebawa gua itu kira-kira 9 stasiun jauhnya hahahaha. Sampailah kami di suatu tempat, kaya ruko gitu. Mereka ngajak gua ke rooftop dan masuk ke dalam ruangan lewat Rooftop itu. Pas gua masuk ruangan gua emang ngeliat ada beberapa orang asing juga, dan mereka kaya lagi diinterogasi gitu sama orang korea di depannya. Gua juga diajak duduk di lantai gitu dan ada meja lipat di depan gua. Si dua cewe ini duduk di hadapan gua, lulu ngeluarin kertas dan pulpen. Salah satu dari mereka nanya nama dan tanggal lahir gua (gua berasa kaya lagi bikin KTP) katanya buat ngeliat peruntungan atau sesuatu gitu. Setelah mereka ngejelasin tentang ceremony yang kira-kira Cuma gua pahami sekitar 5%nya, gua diajak ke lantai bawah dan mereka nyuruh gua ganti baju pake baju adat korea, Hanbok.
Salah satu cewe ini ngajarin gua beberapa gerakan bowingnya orang Korea. Setelah itu gua gabung sama orang asing lainnya yang udah pake Hanbok juga untuk jalanin Ceremony. Ceremonynya itu kurang lebih 15 menit, tapi capek banget. Karena bowingnya banyak banget dan selama bowing gitu mereka kaya baca-baca doa pake bahasa korea (atau cina) yang gua nggak ngerti. Gua cuma berdoa aja dalam hati, “Tuha Yesus tolong hamba, apakah arti semua ini?” *crying inside*. Tapi sepanjang ceremony itu yang gua takutin cuma satu sebenernya. Gua takut gua kentut, asli. Karena adegan bowingnya banyak banget, dan gua habis diterpa banyak angin winternya Korea Selatan.
Berakhirlah ceremony ini dan setiap orang asing di ajak foto sama yang bawa mereka masing-masing. Tapi anehnya, yang di foto cuma orang asingnya doang. Pas gua ajak si dua cewek ini foto bareng mereka bilang “Aduh nggak ah malu…” sambil cengengesan. Gua maksa, akhirnya salah satu mau, tapi pas foto kan pake hape dia, dan dia yang megang hapenya, muka dia setengah dong….. sisanya muka gua full gede banget. Tapi mereka fotonya pake aplikasi SNOW gitu, jadi muka gua nggak kaya muka gua.
Saat itu saudara-saudara…. gua belum curiga dong. Mereka ajak gua ganti baju, dan makan buah-buahan yang mereka sajikan. Gua inget kalau gua belum buka puasa, jadi gua laper banget, jadilah gua lahap banget makannya. Orang-orang yang udah gua ceritain ini sebelumnya takut banget karena gua bilang gua makan makanan yang mereka kasih. Gua juga jadi takut pas mereka takut. Tap untungnya sampai hari ini nggak ada hal yang aneh-aneh terjadi dalam tubuh tambunku.
Setelah selesai makan, mereka ajak gua ke ruangan yang pertama tadi. Duduk di lantai dan di depan meja lipat yang sama. Di sini mereka mulai menjelaskan hal yang aneh, yang bertolak belakang dengan kepercayaan gua. Ohiya, awalnya gua nggak ambil pusing, karena mreka bilang ini konteksnya budaya, menurut gua dalam konteks budaya kejadian apapun, bahkan yang supranatural sekalipun masih dapat diterima. Tapi semakin mereka jelasin gua semakin yakin, ini berkaitan sama nilai dan norma suatu kepercayaan. Intinya mereka sampaikan kalau ceremony yang gua jalani tadi itu cuma bisa gua lakukan sekali seumur hidup. Dan melalui ceremony tadi gua udah berhasil membuka pintu langit dan membantu nenek moyang gua yang mati dengan keadaan tidak baik dan terjebak di bumi masuk ke langit dan beristirahat dengan tenang. Nah loh, gua jadi berasa di film Goblin si Ahjussi Gong Yoo.  Mereka juga bilang kalau gua harus ngumpulin kebaikan untuk terus bisa bantuin nenek moyang gua, dan kebaikan itu ada syarat-syaratnya. Mereka nggak bisa kasih tau saat itu karena udah kemaleman dan mereka  ngajak gua ketemu lagi hari Sabtu jam 6. Gua mulai curiga ketika gua kasih syarat ke mereka gini, “Gua mau ketemu kalian hari Sabtu jam 6, tapi tempatnya nggak di sini karena gua ngerasa nggak nyaman di tempat asing kaya gini.”
Mereka malah kaya neken gua, “Kenapa emang kalau di sini? Gak apa-apa kok, di sini itu udah kaya rumah buat orang-orang asing, mereka disambut banget di sini.” Setelah mereka bilang gitu, gua cuma bilang iya, karena itu tempat asing dengan orang-orang yang asing dan gua sendiri. Gua tidak mau membuat pembelaan diri karena kalau terjadi apa-apa gua bisa diserang satu gedung ini. Akhirnya gua rapi-rapi, mereka minta kakao gua sampe minjemin WiFi karena gua nggak ada kuota. Mereka anter gua sampe stasiun terdekat dan kita berpisah di situ. Setelah pisah dari mereka, gua ngerasa capek banget, energy gua kaya terkuras banget. Dan gua bener-bener jadi curiga sama apa yang sudah terjadi (telat banget, Tes….). Kalian harus tahu berapa lama waktu yang gua lewati bersama mereka! Gua ketemu mereka di Hongdae jam 5 sore dan gua kembali ke Hongdae lagi jam 11 malam. HAAAAAAAAH!!!!!
Sampe di penginapan gua nggak bisa tidur, jujur gua cemas dan takut banget. Lalu pas dapet internet gua langsung nyari di Google. Langsung keluarlah forum reddit yang diisi oleh orang-orang asing juga yang pernah ngalamin hal serupa. Worst casenya, mereka dipalak, dimintain duit yang jumlahnya beragam dari 10.000 won sampe 50.000 won, dan worst worst casenya katanya ada perempuan yang pernah sampe mati digigit karena ngelawan. Mati banget nggak sih jadi gua, baru dua hari di Korea, dan saat itu lagi di penginapan yang asing banget. Gua nggak bisa tidur sama sekali. Gua nelpon Ncak buat cerita, dia ketawa-ketawa doang, katanya itu udah biasa terjadi di Korea. Malam itu gua cuma bisa nunggu pagi, biar gua bisa langsung pindah ke asrama. Setidaknya di asrama lebih aman.
Jadi begitulah cerita ku. Semoga bermanfaat bagi kawan-kawan yang ada rencana liburan ke Seoul, hati-hati!
0 notes
diamdibalik · 7 years ago
Text
Jurnal Tesa #15: Perjalanan Mengejar Yonsei
Cara terbaik memulai tulisan ini adalah dengan kembali membaca Jurnal Tesa yang ini.
Setahun semenjak tulisan itu, perjuangan pun resmi dimulai. Tapi sebelum gua mulai bercerita, ada satu pernyataan yang harus jadi pembuka. Pernyataan ini sungguh penting, sebab pernyataan ini akan mengubah bagaimana gua dan kalian, yang membaca, memahami bagaimana terlewatinya satu tahun ini. Dan, pernyataan itu adalah…
Everything is only by HIS Grace.
Tumblr media
Akhir Desember 2016, setelah tulisan itu diunggah, kehidupan gua berjalan kembali seperti biasa. Benar-benar seperti biasanya, bangun siang lagi, tidur larut malam lagi karena nonton Drama Korea (kebetulan pada waktu itu masih ada satu bulan sebelum semester baru dimulai), bertengkar lagi dengan Bu Flora, ibu saya, karena satu dan lain hal (pertengkaran yang sewajarnya terjadi jikalau anak gadis tinggal dalam frekuensi yang cukup lama dengan ibunya). Dan pada saat itu menggerutu jadi aktivitas harian yang gua lakukan karena almarhumah Opung masih dalam kondisi sakit dan tinggal di rumah gua. Jadi kondisi rumah sering kelam karena perang dingin antara gua dan Bu Flora, ataupun antara Bu Flora dan Opung gua, yang adalah ibunya.
Berawal dari Tes TOEFL
Jika dibuat linimasa, proses terdekat yang harus gua persiapkan dalam rangka memenuhi syarat daftar seleksi pertukaran pelajar adalah tes TOEFL. Gua awalnya optimis kalau di masa liburan gua akan dengan rajin melahap materi ujian TOEFL, ternyata gagal total. Materinya nggak tersentuh sampai H-1 minggu tanggal ujian. Jiwa deadliner sudah mendarah daging, jadi pas hari-hari menjelang hari H gua lumayan sering latihan-latihan.  Seperti yang kita ketahui bersama, ada kesamaan antara Tes TOEFL dan Tes IQ, yaitu harus sama-sama dalam kondisi sehat dan fokus pas ngerjain ujiannya. Artinya, seharusnya H-1 gua tidur cukup, nggak usah ngerjain soal lagi dan makan-makan yang sehat.
Akan tetapi ada suatu kisah yang terjadi malam sebelum Tes TOEFL itu terlaksana. Alm. Opung gua kambuh, jadi opung gua pada saat itu udah pikun. Dia lupa apa yang baru aja dia lakukan sebelumnya. Sampai-sampai dia bisa mandi sehari 7 kali. Setiap ibu gua liat dia mandi, ibu gua bertanya, “Kok mandi lagi ma?”, dia dengan yakin menjawab “Orang saya belum mandi.”
Nah tapi malam itu yang terjadi sedikit berbeda, dia nggak minta mandi, tapi dia minta ke kamar mandi untuk pipis. Jadi, dia sudah dipasangi selang supaya nggak perlu ke kamar mandi kalau ingin buang air kecil. Tapi dia tetap bersikeras untuk pergi ke kamar mandi. Sedangkan untuk membawa dia ke kamar mandi itu butuh paling sedikit 2 orang, karena pada saat itu dia diinfus dan memakai tongkat empat. Jadi harus ada yang bopong badan dia dan harus ada yang narik tiang infus dia. Kondisinya hanya gua dan ibu gua yang bisa melaksanakan tugas ini, karena bokap dan kakak-kakak gua besok harus kerja.
Kalau di jumlah mungkin bisa 20 kali lebih opung gua bolak-balik minta ke kamar mandi. Akhirnya, gua dan ibu gua nggak tidur sampai jam 5 pagi. Ya, jam 5 pagi di hari gua Tes TOEFL. Tesnya waktu itu jam 1 siang, akhirnya gua sempet tidur sampai jam 11 dan langsung meluncur ke Senayan Trade Center naik bus. Singkat cerita, gua melewati ujian dengan…….susah payah. Waktu gua keluar dari ruang ujian, pikiran gua cuma satu, ‘gua pasti ujian ulang nih’. Untuk memenuhi syarat daftar program ini, gua harus punya TOEFL 550. Hasil Tes TOEFL gua terakhir itu 490an (makanya tahun sebelumnya gua gagal daftar exchange ke Kookmin University).  Dengan pikiran yang udah siap tes ulang, enam hari kemudian gua ngambil hasilnya.
Hari itu gua cuma bisa senyum. Sambil dengerin lagu di bus pulang. Sebelumnya sempet nelpon bapak dan Ncak  ngasih tahu hasil TOEFL. Sebab mereka yang tahu pergumulan TOEFL score gua itu kaya apa hahahaha. Ajaib banget, TOEFL score gua 553. Gimana bisa ya? Dalam kondisi gua nggak siap dan segala kisah-kisah yang terjadi sebelumnya. Tapi gua bersyukur, gua selalu dididik buat kembalikan semuanya ke Tuhan. Makanya ketika gua tahu kalau gua harusnya nggak mampu dan nggak layak, gua nggak berbangga akan pencapaian gua sendiri, atau menganggap itu sebagai keberuntungan. Because there is a power that I can always lean on to, His Grace.
Sekitar 6 bulan setelahnya, opung gua dipanggil Tuhan. Kami sekeluarga pulang ke Medan untuk memberangkatkan opung terakhir kami ke tempat peristirahatan terakhir. Kematiannya meninggalkan pesan dan pelajaran yang dalam buat diri gua secara pribadi. Mungkin gua akan tuangkan dalam tulisan terpisah nanti. Tapi gua belajar satu hal, memang sulit jadi ibu gua ketika harus ngurusin ibunya yang sudah tua dan pikun, air mata kayanya nggak kehitung karena kekesalan. Tapi, sepertinya lebih nggak mudah jadi opung gua, dengan segala keterbatasan ingatan dan kondisi fisiknya yang lemah. Seringkali gua ngerasa capek banget ngehadepin ibu gua, tapi kemudian gua ingat, mungkin lebih melelahkan jadi seorang ibu.
Untuk opung, terimakasih!
Tumblr media
Perjuangan Terus Berlanjut
Setelah TOEFL score sudah aman, gua kembali menjalani kehidupan perkuliahan. Waktu itu sibuk ngurusin pesiapan Comspire. Gua juga jadi postpone pendaftaran exchange gua, tadinya rencana berangkat Fall 2017. Tapi gua merasa terpanggil buat ngejalani Comspire dulu, yang membuat hidup gua di tahun 2017 menjadi sangat drama. Tapi Puji Tuhan, Comspire 2017 terselesaikan dengan pertumpahan keringat dan tentunya….. air mata. Terima kasih untuk crew Cosmpire yang sudah jadi tiang penopang untuk gua tetap berdiri tegak menghadapi semuanya, walau hampir terjatuh dan tak bisa bangkit lagi hohohoho.
Tumblr media
Setelah secara berkala ngecekin international.ui.ac.id untuk liat lowongan exchange. Keluar juga nih Kampus yang sudah gua impi-impikan sejak setahun lamanya. Gua langsung deg-degan, rasanya mendadak jadi nggak siap gitu. Langsung siapin semua berkas-berkas yang diperlukan. Berkas yang paling crusial adalah motivation letter. Setelah konsultasi dengan banyak orang jadilah motlet gua ini. Tanpa berpikir lama-lama lagi gua langsung berjalan ke kantor internasional UI dan nyerahin berkas-berkasnya. Sejak hari itu, entah kenapa detik rasanya jadi 2 kali lebih lama. Hati gua kaya bolong nungguin telepon dari pihak kantor internasionalnya. Tapi di tengah harap-harap cemas gua itu gua menguatkan iman gua dengan lagu ini,  “Why so downcast oh my soul? Put your hope in God!”~ Maklum, gua kadang dibodohi sama rasa takut gua sendiri, jadi iman cuman di mulut aja, tapi hati dan jiwanya enggak xixixi.
Untungnya itu bulan September, gua masih lumayan ada kesibukan Comspire dan kebetulan gua udah mau ulang tahun, jadi pikiran gua lumayan terdistraksi hahahaha. Gua inget banget, waktu itu 15 September 2017,  gua bangun di kamar apartemen gua, waktu itu roommate gua lagu nggak ada. Jadi gua kebangun sendiri, ngecek hape dan kaget karena ada panggilan tak terjawab gitu dari nomer kantor. Gua panic at the disco dong, haduh mana nggak ada pulsa buat nelepon balik. Pas lagi panik panik panik panik, tiba-tiba nomernya nelepon lagi. Gua langsung angkat, ada suara perempuan yang kemudian gua kenal sebagai Mba Meita, bilang “Halo, Theresa. Ini dari Kantor Internasional. Hari senin kamu wawancara ya jam 2 siang.”Gua nggak pake nanya apa-apa, cuma bilang iya doang karena udah keburu sesak napas. Gua langsung ngasih kabar ini ke Grup UFFAT (grup keluarga yang berarti Usdek, Flora, Fany, Anggi, Theresa).
Senin pun gua bolos kelas, karena udah gak fokus juga saking deg-degannya. Gua ready di kantor internasional jam 12 (kerajinan). Eh taunya tim Kantor Internasionalnya ada rapat mendadak, dan gua baru masuk ruang wawancara jam 4. Hmmmm. Dan bahkan di dalam ruangan wawancaranya nggak nyampe 10 menit, setelah dua pertanyaan, udah, selesai. Gua pun berjalan dengan lemas ke FISIP, entah karena lega atau apa, tapi gua merasa tenaga gua terkuras banget saat itu. Saat itu kondisi hati gua udah pasrah banget, gua merasa apapun hasilnya itu pasti yang terbaik, tapi sedetik kemudian deg-degan lagi hahaha. Nah, gua pikir hasilnya itu bakal seminggu gitu, tiba-tiba si Ncak bilang “Oke, tunggu aja tes besok pagi pasti udah dikabarin”, gimana nggak melorot jantung gua. Semaleman nggak bisa tidur, akhirnya tidur jam 4 atau jam 5 pagi gitu, dan kebangun jam 11 siang. Ngecek hape.
Deg.
Ada e-mail masuk Subjectnya [YONSEI U] Greeting…..
Gua langsung buka dan isinya pernyataan kalau UI udah nominasiin gua ke Yonsei. Gua langsung cek whatsapp, ada Whatsapp dari nomer nggak dikenal, yang dikenal kemudian sebagai nomer Mba Meita, dia bilang kalau gua 1 dari 2 orang yang dinominasikan buat exchange ke Yonsei University. Long story short, seluruh grup UFFAT berbahagia mendengar kabar gua pagi itu.
Bersyukur yang Bersyarat
Ternyata setelah dinominasikan gua masih harus terus berjaga-jaga. Pada waktu itu gua diperhadapkan akan dua pilihan, berangkat 1 semester atau 2 semester. Ada beberapa pertimbangan, semacam plus minus antara 1 dan 2 semester. Gua bertanya sama beberapa senior dan teman yang sudah pernah berangkat pertukaran pelajar, jika gua simpulkan jawaban-jawaban mereka , 4 bulan pertama itu masa transisi dan adaptasi sama negara dan budayanya. Jadi biasanya yang berangkat satu semester, ketika baru mulai beradaptasi sudah harus pulang ke tanah air. Melihat testimoni tersebut, gua berharap bisa exchange setahun. Tapi, beasiswa pemerintah korea itu tidak ada jaminan, artinya kalau gua memutuskan setahun, biaya hidup yang harus gua keluarkan lebih banyak. Dan, gua akan lulus lebih lama dari teman-teman seangkatan gua.
Gua merenung beberapa hari untuk membulatkan hati. Ketika keputusan gua sudah bulat, gua buka forum sama bapak soal ini. Gua jelaskan setiap tujuan-tujuan yang ingin gua capai lewat program pertukaran ini, gua jabarin pengeluaran kasar yang dibutuhkan, hasil tanya-tanya dari teman-teman. Setelah gua selesai jelaskan, gua menanti respon bapak. Bapak Cuma bilang, “Nggak usah cemas soal biaya, selama untuk pendidikan, kita cari uangnya.”
Gua tahu betul kondisi keuangan keluarga gua. Keluarga gua cukup transparan soal itu. Uang kami nggak berlimpah, gua lebih memilih kata cukup. Artinya, uang pasti ada tanpa harus berhutang, dalam arti lain bisa saja menjual asset yang kami punya. Waktu itu gua juga sudah memperhitungkan dengan matang. Keberangkatan gua mungkin akan nampak mustahil 4 atau 5 tahun lalu, ketika gua dan kakak gua masih jadi tanggungan bapak. Tapi tahun ini kedua kakak gua udah punya penghasilan sendiri, setidaknya pengeluaran untuk uang kuliah dan uang jajan sudah berkurang.  Dalam proses tersebut gua mau menempatkan diri gua menjadi semacam “nggak tahu diri”, karena kondisinya gua bukan cuma ingin, tapi gua butuh kesempatan exchange ini, dan dalam kondisi bersamaan gua nggak punya uang buat biayain diri sendiri dan gua nggak bisa menjamin diri gua dapet beasiswa pemerintah Korea.
Gua nggak memilih sikap “kalau nggak dapet beasiswa pemerintah, gua nggak berangkat karena gua nggak mau nyusahin bapak gua”. Tapi, gua memilih sikap“nggak tahu diri”, dengan minta “bapak, Echa ingin berangkat setahun. Tolong biayai.” Dan dia nggak keberatan, begitu juga dengan ibu dan kakak-kakak saya. Pikiran gua cuma satu, kesempatan ini bisa memperluas kapasitas gua, sehingga ketika gua lulus dan cari nafkah, gua bisa balikin ke bapak lebih banyak. Harus.
Dalam kesiapan hati bapak gua yang demikian rupa saja gua masih kurang bersyukur. Entah dapat pola pikir dari mana, tapi gua sempet punya pemikiran sekolah keluar negeri dibayarin orang tua itu buang-buang duit. Mungkin karena gua sering denger cerita temen-temen yang dapat beasiswa fully funded dan sebagainya. Sampai akhirnya gua dapet kabar kalau emang gua nggak bisa daftar beasiswa pemerintah korea itu (kalau kalau mau daftar harus dinominasiin sama Yonseinya dan gua serta Arfin nggak dinominasiin). Hati gua sempet tawar, dua gua sempet terintimidasi dengan pikiran bahwa gua nggak cukup kompeten buat dapetin beasiswa.
Lalu gua cerita sama Kak Irma, dia ngasih tahu tentang keserakahan. Bersyukur yang bersyarat, dikasih cukup mintanya berkelimpahan. Itu kondisi hati gua saat itu. Padahal setiap orang dikasih sesuai kasih karunianya masing-masing dan kasih karunia yang Tuhan kasih ke gua itu lewat kesiapan hati bapak buat ngebiayain. Dan setiap orang dipenuhi sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Gua belajar, lagi dan lagi, kalau semunya itu karena Anugerah, bukan hasil usaha gua, tapi pemberian Allah (Efesus 2:8-9).
Akhirnya Berangkat
Setelah mengurus banyak hal seperti pemesanan dan pembayaran asrama, visa, daftar mata kuliah, beli tiket pesawat dan lainnya akhirnya gua berangkat. Oh iya, sebelum berangkat beberapa minggu sebelumnya sempat ketemu dengan Pdt. Peter Auh, dia orang Korea tapi jadi misionaris di Indonesia. Dia yang ngerekomendasiin gua untuk gereja di Changchun dan gua akhirnya bertemu dengan teman-teman dari Jesus Street Ministry, tempat gua beribadah dan berfellowhip (semoga) selama gua berada di Seoul satu tahun ini.
Ini dia Pak Pdt. Peter:
Tumblr media
Tanggal 19 Februari gua meninggalkan tanah air, sedih banget tapi gua berusaha kuat. Gua harus buktiin kalau gua bisa bertahan hidup sendiri, jauh dari orang tua, dengan selamat dan bahagia. Karena selama 21 tahun hidup gua nggak pernah jauh dari rumah dan keluarga. Di bandara gua dianter sama keluarga UFFAT + mamatua Josua (mamatua = bibi). Terus ada juga teman-teman HUMAS HMIK UI 2016 yang turut menghantarkan huhuhu terharu. Pas di rumah juga Ragazza yang nggak full team turut nganterin.
Penerbangan gua nggak langsung, jadi dari Soetta ke Kuala Lumpur, di Kuala Lumpur transit 8 jam. Paginya baru terbang ke Seoul. Waktu check in, petugasnya bilang kalau delay 30 menit, gua bersantai ria dong dadah-dadah sama sanak saudara dan kawan. Pas sampe ke waiting room, kenapa udah pada kosong….. Dari kejauhan gua melihat setitik gate 6, jaraknya kira-kira 500 meter dari gua berdiri, gua baru tahu terminal 3 gedenya ampun-ampunan. Gua berlari dong dengan tas kabin gua seberat 7 kg lebih (ups nggak taat peraturan), sambil lambai-lambai ke petugas yang juga udah lambai-lambai ke gua sambil teriak “Mba Theresa ya? Ayo cepat-cepat sudah ditunggu!”, akhirnya gua tahu, kalau gua orang terakhir yang ditunggu. Dan ternyata pesawatnya nggak delay. Waktu duduk di pesawat, gua udah nggak bisa mikir, gua jantungan banget. Gilak.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Alasan-alasan Berangkat Exchange
Ada banyak, tapi gua akan berusaha menyimpulkannya ke dalam poin-poin berikut ini:
1. Boleh setuju, boleh juga tidak. Gua merasa masa-masa mengejar gelar S1 di UI itu banyak mainnya, itu bagi gua secara pribadi. Gua ngerasa proses gua belajar nggak banyak berevolusi dari jaman SMA. Malah akhirnya gua lebih sibuk ke hal-hal di luar akademis. Nggak salah, tapi nggak sepenuhnya bagus juga. Gua merasa ilmu gua stagnan, gua nggak pernah ngerasa bener-bener belajar. Belajar buat ujian sering, belajar buat ngerjain tugas apalagi, selalu, karean tugas banyak banget. Tapi gua jarang banget belajar yang bener bener belajar, belajar karena gua haus sama pengetahuannya dan ngerasa gua butuh tahu pengetahuan itu. Gua juga orangnya ekstrovert banget, jadi gua suka nongkrong buat ngobrol-ngobrolin apa aja, yang akhirnya memakan sekitar 45-50% waktu gua di kampus. Gua ngerasa, gua nggak bisa gini terus, I need to flee. Tapi masalahnya kalau gua masih terus di kampus, pasti gua tergoda terus buat ngabisin waktu gua buat kongkow-kongkow. Jadi gua merasa perlu pergi ke tempat yang jauh, sehingga gua bisa fokus belajar yang bener-bener belajar. Pas banget, pas gua pulang, temen-temen gua harapannya udah pada lulus, jadi gua tidak tergoda terhadap hal-hal itu lagi.
2. Gua merasa mental gua cemen banget kalau udah di ranah internasional. Pernah beberapa kali join conference atau workshop yang tingkatnya internasional, gila jantung gua langsung drop. Gua cuma diam seribu bahasa sambil menyantap konsumsi yang disediakan. Sama upload foto biar eksis dan cool wkwkwkwk. Tapi itu salah satu yang mendorong gua untuk gua harus paksa diri bergaul sama orang-orang di seluruh negeri (saat ini gua dalam proses beradaptasi, mereka suka banget party cuy, gua berusaha fit in tapi nggak mampu karena nggak bisa dance hahahahahaha. Apalagi kalau dari UK atau US kalau ngomong cepet banget, sampe gua gagal denger). Tapi udah mulai berani kok sekarang, karena bener-bener mau nggak mau harus pakai bahasa inggris. Karena di sini sedikit banget yang bisa bahasa Indonesia, paling ada juga bahasa melayu, itu juga ku nggak paham. Ya prinsipnya yang penting I understand, you understand.
3. Seperti yang udah gua jelasin sebelumnya, gua nggak pernah hidup sendiri sebelumnya. Selalu di sekitar keluarga. Gua nggak menghitung ngekos di Depok itu keluar dari rumah. Karena Depok-Bekasi itu deket banget, gua aja kalau di kampus masih bisa liat-liatan sama ibu di rumah.
4. Nah ini yang terakhir. Gua mau postpone kelulusan gua. Kalau gua nggak berangkat exchange, pasti tahun ini setidaknya gua udah mulai bikin tugas akhir, atau mungkin bisa jadi akhir tahun ini udah sidang. Dan gua nggak siap. Gua merasa kemampuan dan pengetahuan gua nggak cukup untuk jadi seorang sarjana. Gua nggak mau belajar jadi seorang sarjana pas udah kerja, kalau udah kerja gua mau belajar jadi seorang pekerja. Dan, gua merasa 3.5 tahun kuliah nggak cukup buat gua merasa yakin sama kemampuan gua. Emang akhirnya kelulusan gua jadi lebih lama dari standar pada umumnya, bisa jadi 4.5 atau 5 tahun. But for me, it’s okay, selama gua yakin sama kemampuan gua. Gua juga nggak bisa jamin, kalau gua lulus nanti gua yakin sama apa yang mau gua lakukan,  tapi gua bisa jamin kalau gua yakin sama keterampilan dan kemampuan diri gua sendiri. Saat ini gua masih bener-bener terbuka sama semua pilihan pekerjaan, gua membiarkan diri gua diombang-ambingkan sama kelabilan gua sendiri. Hari ini gua yakin tetep mau jadi jurnalis, besok tiba-tiba berubah. Pas liat dosen yang enak banget ngajarnya, tiba-tiba kepikiran, kayanya jadi dosen enak. Pas lagi nikmatin banget proses belajar, tiba-tiba mikir nanti ngambil masternya apa ya, dimana ya, kapan ya? Buat semua umat manusia di usia 20an, familiar kah dengan kelabilan ini? Ya itu yang gua rasain banget sekarang, makanya gua merasa butuh waktu lebih lama buat belajar dan memperluas kapasitas. Mungkin ketika gua nanti lulus, gua tetap belom bisa memutuskan mau jadi apa, tapi yang bisa gua pastikan gua punya keterampilan dasar yang mumpuni buat jadi apapun yang gua pilih.
The End is the Beginning
Perjuangan gua buat dapetin Yonsei sebagai destinasi program pertukaran pelajar gua memang sudah selesai. Tapi perjuangan sebenarnya baru aja dimulai. Setahun ini jadi medium sekaligus jadi tantangan buat gua, untuk mencapai tujuan-tujuan yang udah gua sebutkan di atas. Cerita gua juga nggak akan berakhir  di sini, gua mau terus bagikan apa yang gua alami, apa yang gua rasakan, apa yang gua pelajari selama gua di sini lewat #JurnalTesa selanjutnya.
Rasanya masih kaya mimpi. Gua bikin tulisan ini di lantai 2 Hollys Coffee, di meja yang menghadap ke pertokoan Sinchon yang biasanya cuma gua liat di google earth.
Tumblr media
Mungkin gua udah sering berbagi ayat ini di media sosial gua. Tapi rasanya ayat itu tepat banget buat nutup cerita gua yang udah sangat panjang ini. So here is it!
But he said to me, “My grace is sufficient for you, for my power is made perfect in weakness.” Therefore I will boast all the more gladly about my weaknesses, so that Christ’s power may rest on me. - 2 Corinthians 12:9
Sinchon, 9 Maret 2018 [23:00]
0 notes
diamdibalik · 8 years ago
Text
Jurnal Tesa #14: Lihatlah Gajah di Pelupuk Mata
Tumblr media
Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Peribahasa ini memang biasanya diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk melihat kesalahan orang lain, tanpa menyadari kesalahan dirinya sendiri. Tapi, saya izin untuk mengganti kata ‘kesalahan’ menjadi ‘kesempatan’, ya? Suatu kali pernah saya tergelitik oleh suatu percakapan singkat dengan seorang perempuan yang baru saya kenal. Perempuan ini adalah mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas negeri di Semarang. Kami dipertemukan di salah satu konferensi internasional. Ritual seperti biasa dilakukan, bersalaman, bertanya nama satu sama lain dan lanjut ke pertanyaan klise berikutnya. “Kuliah atau kerja?”, menjadi hal yang patut disyukuri ketika jawaban ‘kuliah’ yang terlontar. Setidaknya kami masih satu frekuensi dalam mencari topik percakapan. Pertukaran angkatan dan nama instansi berlangsung. Saya punya beragam koleksi ekspresi yang pernah saya lihat, ketika saya menyebutkan asal instansi saya. Universitas Indonesia. Ada yang biasa saja, bisa jadi orang-orang dengan ekspresi ini juga berasal dari UI atau sebangsanya. Ada yang kaget, biasanya dilanjutkan dengan kalimat “Aku dulu gagal masuk UI.” dan ada juga yang kagum, seperti melihat manusia berkasta lebih tinggi. Masih banyak ekspresi lain yang tidak saya sebutkan, tapi sebagian besar seperti itu.
Tapi ekspresi gadis ini berbeda dari ekspresi-ekspresi yang pernah saya lihat sebelumnya. Pertanyaan yang langsung terlontar ketika saya bilang saya dari UI adalah, “Berarti kamu diajar sama Ade Armando dong?” dan kalimat itu berlanjut dengan kalimat-kalimat lain yang cukup membuat saya terpukul. Ia mengatakan betapa beruntungnya anak-anak Komunikasi UI bisa diajar langsung oleh para Pakar Komunikasi, betapa beruntungnya kami bisa berada dekat dengan sumber mata air ilmu pengetahuan, yang bisa kami ajak berdiskusi dengan mudah. Ia juga mengatakan, betapa UI berada di lingkungan yang strategis, dekat dengan sumber mata air pengalaman, yaitu Jakarta. Sehingga, kami bisa dengan mudah mencoba magang sambil menyelesaikan kuliah kami, sambil melatih mental kami untuk bisa bertahan hidup di kota semetropolitan Jakarta.
Saya berkontemplasi. Mengingat sudah berapa kali saya berinisiatif untuk mengajak dosen berdiskusi, selama lebih dari dua tahun saya berkuliah di Komunikasi UI. Tidak banyak, yang tidak terhitung justru usaha saya agar tidak bertemu mata dengan dosen yang sedang mengajukan pertanyaan di kelas. Mencari kursi blind spot, dalam mata kuliah yang dosennya membuat ngantuk atau sekadar galak, agar bisa curi-curi waktu tertidur atau membaca materi kuliah yang seharusnya sudah di baca sebelum masuk ke kelas. Terkadang orientasi terhadap IPK membuat saya lupa, kalau-kalau semua buku kuliah sampai mati pun tetap bersama saya di lemari rumah, masih bisa saya baca sampai kapan pun. Terkadang saya juga lupa, tugas-tugas kuliah yang hampir memakan lebih dari setengah waktu saya di kampus, pada akhirnya juga akan menjadi arsip di gudang atau di laptop. Bukan berarti buku diktat dan tugas kuliah tidak penting. Tapi kedua hal ini sering kali membuat saya lupa, untuk memaksimalkan ekosistem diskusi yang saya miliki untuk mencari ilmu yang tidak bisa saya dapatkan dari buku, maupun tugas.
Salah satu dosen jurnalisme saya pernah bilang, “Baca 10 buku tentang suatu bidang, kalah sama satu jam berdiskusi dengan narasumber yang pakar dalam bidang tersebut.” Saya yakin kalimat tersebut berbicara tentang kualitas ilmu, bukan kuantitas. Ketika berdiskusi, percakapan dua arah membuat saya bisa menyampaikan sudut pandang saya tentang sesuatu dan mendengarkan sudut pandang lain dari mereka yang sudah terlebih dahulu menyelami bidang tertentu. Ruang diskusi juga mengajarkan saya untuk merontokkan ego dan arogansi, membuat saya merasa kecil, dalam arti positif, bahwa ada sangat banyak hal yang belum saya ketahui. Ruang diskusi juga melatih diri saya untuk selalu punya hati yang ingin belajar dan jiwa yang haus akan ilmu pengetahuan serta kebijaksanaan.
Jadi begitulah, saya banyak belajar ketika saya diberi kesempatan untuk melihat lingkungan tempat saya berada, dari sudut pandang orang yang berada di luar. Kesempatan ini menyadari saya akan kesempatan sebesar gajah di pelupuk mata, yang selama ini tak tampak.
Depok, 9 September 2017 - [16:03]
1 note · View note
diamdibalik · 8 years ago
Photo
Tumblr media
I am now living in doubt.
0 notes
diamdibalik · 8 years ago
Text
Jurnal Tesa #13: Mengapa Saya Gendut?
Tumblr media
Ini foto pas saya masih singset. Kalau foto saya yang sekarang gabisa diupload, saking gendutnya size filenya sampe 1000 terabyte.
Saya sedang ada di masa dan di dunia yang ketika saya berkunjung ke rumah saudara, bukan lagi kabar, kesehatan dan sekolah yang ditanyakan. Masa dan dunia yang saya jalani saat ini membuat setiap orang yang kembali melihat saya, bukan hanya melontarkan pertanyaan, namun juga pernyataan.
“Gendutan ya?”
“Kamu gendut banget sekarang.”
“Naik banyak ya?”
“Astaga Tesa…..”
Saya nggak bisa menjawab kalimat yang sifatnya pertanyaan, saya juga nggak bisa merespon kalimat yang sifatnya pernyataan.
Mau jelasinnya juga udah bingung, harus mulai dari mana, harus bilang apa. Karena saya juga sesungguhnya bingung cara ngontrol nafsu makan saya gimana. 
Sekarang aja saya nulis post ini sambil makan Tango dicelupin ke susu full cream. Ehem. Tesa, ini sudah jam 10.12 dan PM bukan AM!!!
Hah, rasanya dah menyerah aja yang bisa saya lakukan. Akhir tahun lalu, saya udah coba diet 13 hari untuk ke sekian kalinya. Turun 5 kg, tapi cuma bertahan 2 minggu. Abis itu naik maximal.
2012 berat saya 52 kg. (masuk SMA)
2015 berat saya 64 kg. (masuk kuliah)
2017 berat saya 81 kg. (kuliah semester 4)
Ya ngga bisa dipungkiri masalah penampilan yang muncul pertama ketika saya naik puluhan kilo itu. Kadang malah saya merasa orang akan berhenti dan menutup buku penilaian yang berisi penilaian mereka akan saya ketika mereka baru saja melihat penampilan saya. Begitulah, kalau kata kebanyakan orang kan standar kecantikan itu sudah dikonstruksi oleh media. Media bukan cuma sosmed ya, bisa jadi media itu nenek moyang yang dari dulu udah menetapkan standar kecantikan tertentu.
Tapi terlepas dari itu semua, saya merasa kesehatan saya mulai terganggu. Saya ngantuk setiap saat, sampai akhirnya saya harus meningkatkan jumlah kafein yang masuk ke dalam tubuh. Saya jadi gampang cape, saya ngga bisa lagi jongkok, sesekali suka tiba-tiba sesek napas.
Hal lainya, sekarang dari semua jumlah baju yang saya puya cuma 5% yang masih muat. Jadi jangan kaget kalau saya suka pake baju yang sama berulang-ulang, karena cuma itu yang muat. Atau kalau kalian liat saya pake baju baru, itu brarti baju mama saya, atau saya baru beli baju yang saya beli dengan ngasih syarat ke mbaknya, “Mbak dari semua baju yang ada di sini, yang ada ukuran XL ke atas yang mana aja?”.
Dan, yang paling menampar itu kemarin. Saya abis pulang magang, terus saya berdiri sambil nahan ngantuk, emang muka saya melas banget kayanya. Tiba-tiba ibu yang di depan saya kaya mau ngasih kursi gitu sambil nanya “Mba, lagi hamil ya?” Zzzzzzz…………..
Begitulah fakta-fakta yang ada. Gua masih nggak menyerah kok, masih optimis juga kalau ga selamanya gua akan bertahan di kegendutan ini. Tapi……….ya kita liat saja ya.
Peninsula, 19 Mei 2017 - 10.27
0 notes
diamdibalik · 8 years ago
Text
Jurnal Tesa #12: Surat dari Masa Lalu
Halo Theresa Septiani, Baca tulisan ini ketika kamu sudah dalam keadaan stabil ya. Ketika kamu sudah yakin sama apa yang kamu mau. Ketika kamu sudah sampai di tujuan kamu. Atau, semoga aja, ketika kamu sudah punya seseorang untuk diajak berbagi tulisan ini. Maret 2017. Harap diingat, di bulan ini kamu lagi galau luar biasa. Bukan. Bukan galauin laki-laki kok. Kamu bimbang karena kamu sudah masuk ke peminatan yang kamu pilih sendiri, tapi tiba-tiba kamu sadar apa yang kamu percaya sebagai 'panggilan' itu berubah begitu saja. Tiba-tiba hasrat ingin menjadi jurnalis yang kamu agungkan sejak SMP hilang entah kemana. Mendadak VOA, Metro TV dan media-media lain yang sudah menemani buku mimpimu selama bertahun-tahun menjadi tidak masuk akal. Tiba-tiba juga kamu benci sekali ketika dosen di setiap mata kuliah peminatanmu terus menerus menekankan tentang independensi dan verifikasi, atau ketika mereka mengatakan fakta dan data itu yang utama. Bahkan mereka menambahkan kalimat sarkas "Kalian Jurnalis, bukan Novelis.", yang entah mengapa membuat kamu tidak terima. Bahkan sampai kamu membuat tulisan ini, kamu masih tidak mengerti mengapa kamu merasa tidak terima. Ada satu malam, dimana kamu sudah tidak tahan lagi. Kamu rasa kamu harus memateraikan perubahan pikiranmu dengan memberitahukannya pada seseorang. Dan orang itu adalah teman sekamarmu, Kitta. Kamu mengirimkam barisan kalimat yang intinya menjelaskan seberapa kamu benci mimpi kamu yang dulu, dan seberapa kamu mencintai mimpimu yang baru. Kamu berkata bahwa hanya mimpi barumu yang kamu ingin lakukan selama kamu hidup, dan pekerjaan-pekerjaan lain nampak begitu membosankan. Kamu menceritakan kebencianmu akan menulis fakta, dan hilangnya bahagiamu hanya dengan berpikir tentang menjadi jurnalis. Mimpi barumu masih seputar menulis. Tapi kamu masih belum menemukkan fokusmu, aku berharap ketika kamu baca tulisan ini semuanya sudah menjadi jelas, kamu sudah mengikat hatimu pada pekerjaan yang kamu cintai, bukan pekerjaan yang hanya memberimu timbunan pundi-pundi. Ketidak nyamanan yang kamu rasakan sekarang memaksa kamu untuk segera mencari jalan keluar dan sesegera mungkin kamu melakukan riset sederhana. Kamu menemukan fakta bahwa kamu salah jurusan, tapi kamu menerima hal itu. Karena kamu sangat bahagia dengan tempat kamu belajar sekarang. Dengan jurusanmu sekarang kamu tidak bisa langsung mengambil gelar Master, alhasil kamu harus mengejar gelar sarjana lagi, tapi kamu juga sudah menerima hal itu. Kamu juga sudah mendapatkan universitas yang menjadi cita-citamu yang baru, aku berharap juga ketika kamu membaca tulisan ini, kamu sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di sana. Mungkin kamu bertanya-tanya lalu apa yang membuat aku dan kamu di masa lalu galau? Bukankah semuanya sudah jelas? Yap, semuanya sudah jelas. Akan tetapi kamu galau pada hal-hal yang bersifat teknis, seperti tidak banyak lapangan pekerjaan yang berhubungan dengan mimpi barumu. Hal yang paling membuatmu galau adalah bagaimana cara bertahan dan memaksimalkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan pendidikan 'salah-jurusan'-mu saat ini. Kamu takut ada semakin banyak lagi waktu dan kesempatan yang terbuang. Dan kamu masih berusaha keras mencari pembuktian, bahwa perubahan mimpi ini bukanlah tiupan angin semata. Semoga aku di masa depan, ketika membaca tulisan di atas, tertawa lepas atau menangis bahagia karena sudah melewati masa-masa tanpa arah ini, atau semoga saja aku membaca tulisan ini diselimuti dinginya suhu satu digit di suatu negara bagian berinisial IA :) P.S. This is one of our favorite songs and it always blesses us through the dark times :) Enjoy!
youtube
Perjalanan Menuju Bekasi, 24 Maret 2017 - 22.42
0 notes
diamdibalik · 8 years ago
Text
Jurnal Tesa #11: Ujian Menghafal
Jadi, seminggu ini ada dua lagu yang saya putar berulang-ulang, berulang-ulang, berulang-ulang. Iya, maaf, saya baru kenal sama Steven Universe dan Adventure Time. Ini dia lagunya, ada dua.
youtube
Dan juga ini.
youtube
Bisa satu malam penuh saya habisin cuma buat denger dua lagu ini aja. 
Ohiya, saya lagi minggu UTS, tapi bagian ‘neraka’ (re: sit in) sudah lewat. Tinggal sisa dua take home, PTIK dan Teori Media. Tulisan ini  saya tulis sebagai pemanasan sebelum mulai mengerjakan take home PTIK, tetep, sambil dengerin dua lagu di atas. Saya selalu benci ujian sit in, seriously. Ujian sit in itu super okay untuk ilmu-ilmu semacam matematika dan saudara-saudaranya (menurut saya). Tapi sepertinya kurang cocok untuk ilmu yang sedang saya tempuh. Yang jadi argumen saya adalah semua materi kuliah itu jauh lebih terinternalisasi dalam otak saya kalau saya langsung bisa cari contoh yang relevant dalam kehidupan sehari-hari. Dan, jawabannya ada di ujian take home, yang most of the time nggak dipergunakan dengan maksimal sama mahasiswa buat nyari ilmu lebih banyak dan lebih dalam lagi, termasuk saya, huft, tapi itu juga karena selama semester 3  (karena semester 1 dan 2 belum ada take home) otak saya udah kepenuhan buat ‘menghafal’ mata kuliah lain *tetap membela diri*. Ya, intinya I’ve learned a lot di Limitless Campus, jadi saya nggak mau lagi ‘menghafal’, it just doesn’t make sense. Ada kejadian lucu, yang terjadi di ruang ujian Etika Jurnalisme hari selasa kemarin. Saya melihat beberapa teman saya bergumam menghafal pasal-pasal KEJ buatan Dewan Pers, bahkan ada yang sengaja terlambat 30 menit supaya bisa ‘menghafal’ dulu di depan ruang ujian. Ada kejadian serupa di ruang ujian Dasar-dasar Penulisan, saya memilih tempat duduk paling depan, alasan pertama karena jauh dari AC, alasan yang kedua supaya dekat pintu untuk mempermudah ketika keluar ruang ujian lebih cepat. Saya cuma dengar suara dari belakang. Suara itu terdengar seperti ini “Ya, jadi langkah-langkah menulis itu apa? *disambut teman-temannya yang juga sedang ‘menghafal’ bareng: menghimpun fakta, pelajari bahan dan mulai menulis.” Oh Jesus, I rolled my eyes, c’mon, for example, when I was kid I ‘learned’ how to brush my teeth karena Ibu saya mempraktekan caranya ketika kami mandi bareng. She didn’t give me an hour of lecture explaining ‘how to brush teeth’ and then asked me to memorize it. Ayolah, memang sulit untuk fokus di kelas, karena harum wangi makanan di Takor, Takoru atau Gus yang menggoda, atau karena ketawa anak-anak Polay yang bikin geregetan pengen join, atau karena smartphone yang notifnya nggak berhenti bikin pengen scroll, scroll dan scroll, saya merasakannya juga kok. Tapi ayolah berusaha untuk dapetin ilmunya, bukan sekadar nilai, supaya tidak lagi hanya ‘menghafal’ ketika ujian sit in tiba for the sake of getting good grades. Karena saya yakin, sebagian besar orang yang ‘menghafal’ untuk ujian dengan giat pasti ingin mendapat nilai A++++++. Saya tahu ada beberapa dari orang-orang di sekitar saya yang masih menganggap nilai itu penting (saya baru ditertawakan seorang teman sejurusan karena IPK saya sudah tidak cum laude), saya setuju akan hal itu, tapi nilai bukan yang paling utama, toh. Saya juga tahu dan merasakan betapa sulit menghilangkan kebiasaan SKS (Sistem Kebut Semalam) selama SMA, betapa sulit menghilangkan kebiasaan mengerjakan soal pilihan ganda yang kalau nggak tau jawabannya tinggal tebak, atau tinggal bisik kanan atau kiri, dan saya juga tahu dan merasakan betapa sulitnya menghilangkan kebiasaan ‘gampang-dapat-nilai’ karena bantuan guru yang sangat mendalami ilmu fisika bab katrol hingga turut mengatrol nilai muridnya. Well, hal-hal itu yang akhirnya bikin saya nggak ‘srek’ sama ujian sit in, karena pola pikir dan mental saya (dan mungkin, kebanyakan pelajar seangkatan saya) udah terbentuk dari dulu untuk menghafal, menghafal dan menghafal. So, please stop giving us ujian sit in, karena sebaik apapun niat dibaliknya akan disalah artikan sebagai ujian ‘time-to-memorize-it-all’. Instead, start giving us challenges to explore the knowledge more, seperti yang dilakukan Mba Mila Day dan Mba Titut (atau mungkin ada dosen-dosen serupa lainnya yang saya belum pernah diajar oleh mereka).
Huft, maybe this post won’t change a thing, but at least it relieved the restlessness inside me. It’s just a midnight thought and I don’t have intention of forcing you to agree with me. Tapi saya teringat sama kata-kata Mba Febby Intan di salah satu kelas LC, dia bilang gini “Sadar atau tidak sadar, akhir-akhir ini kita itu cenderung membiarkan hal yang salah, sampai akhirnya hal yang salah itu menjadi sesuatu yang biasa.”
So, I’m trying not to ignore it :)
Udah ah kebelet pipis.
Depok, 23 Maret 2017 - 4:16
0 notes