Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 6
Pagi itu Zen sedang ada pengajian Kembali. Namun dipandanginya kesana kemari tidak ada sosok Rumi. Sesampainya dirumah muka bingung Zen kembali terpancar, seakan gelisah dan juga penuh harap. Bagaimana ia akan membaca pesan dari Rumi yang sangat misterius kedatangannya. Ia menerima surat disaat yang tak pernah ia sangka-sangka. Sebuah keberkahan ia harus mengisi pengajian di masjid al-Muttaqin sore itu.
Perlahan ia membuka lipatan demi lipatan risalah Rumi. Sesekali ia menutup mata dan enggan membukanya. Namun, kemuraman terjadi. Isak tangis mengalir dari kedua bola mata Zen, menjatuhkan surat putih itu dan ia tersungkur kelantai kamar. Bagaikan petir yang menyambarnya, ia sesenggukan bak bocah yang tersayat sebilah pedang di tangannya
“Datanglah lagi menemui Bapak-Ibuku, aku siap berakad dengan Mu”
Sebuah kalimat pamungkas yang menjawab penantiannya selama ini. Cinta Zen yang tak pernah mati untuk Rumi. Caranya menjaga cinta Rumi yang tak biasa, pendamba cinta yang diam di hadapan dambaan, namun ribut dilangit. Bergemuruh di sepertiga malam, dan berrima disetiap doa. Sesekali ia mengusap peluh di pipinya sembari berucap “Sungguh besar kuasamu ya allah, engkau berikan jawaban atas munajat yang aku curahkan kepadamu” dengan penuh keharuan sosok pria nan pendiam ini.
Begitu indah akhir cinta yang digantungkan kepada-Nya, menyerahkan semua hanya ditangan Sang Pemilik Cinta. Waktu yang lama, penantian yang memilukan, serta beban mental telah tertolak dipertama kali meminang seorang pujaan. Menjadi sebuah kesabaran yang berujung kebahagiaan. Tiada yang bisa menyatukan mereka kecuali kuasa Allah Ta’ala. Jodoh benarlah adanya, Ia telah tertuliskan rapi dalam buku amal kita. Jalan penjemputan yang berliku akan tetap bertemu bila Allah telah berseru. Kun Fayakun! Jadilah, maka jadilah, Bersatulah makan bersatulah atas izin Allah SWT.
Akhir kisah cinta Zen dan Rumi yang menembus jarak, waktu dan juga kemustahilan. Membuktikan cinta yang tak akan pernah mati “Love is never die”, bila cinta digantungkan dengan ketaatan memperbaiki diri dan mendekati Sang Pemilik Cinta Sejati.
2 notes
·
View notes
Text
Elegi Kasih Zainal & Rumia” 5
Catatan Rumi.
“Hai kak, maafkan Rumi yang tidak berani mengatakan hal-hal ini Ketika kaka dulu menemui Abah. Namun Rumi akan menuliskaannya dibuku ini sebagai pengingat Rumi pernah memikirkan apa yang Rumi inginkan.”
Cerita Abah untuk Pendidikan
Baiklah, aku akan menceritakan bagiaman orang tua ku berjuang untuk menjadikan ku manusia berpendidikan di sanubari ku. Aku dilahirkan islam. Namun aku terpapar islam yang jauh dari syariat Nya. Sebatas islam. Sehingga pengetahuan tentang islam, bagaimana islam dan seperti apa cara berislam, bagaimana kami berislam, kami peroleh dengan proses yang panjang, salah satunya lewat pendidikan yang abah perjuangkan. Tentunya atas kuasa Allah. Sampai titik ini, Ternyata masya allah. Pengen nangissss. Berislam sungguh harus dicari keislamnnya.
Perubahan di keluarga tidak serta merta menjadi seperti saat ini. prosesnya panjang. Dan ini masih menjadi PR untuk kami, terus mendakwahkan islam di keluarga. Terutama lewat adab, perbuatan dan budi pekerti sebagai anak. Semoga Islam yang kaffah bisa kami bangun terus di keluarga. Aamiin. Dari proses inilah aku bisa memproyeksikan bagaiman kelak aku akan berkeluarga. Keluarga yang seperti apa yang seharusnya di bangun oleh seorang muslim. Suatu saat aku akan mengatakan kepada anak anak ku “Nak, ibu tidak akan menyuruhmu untuk berbakti kepada ibumu, Cukup kamu berbakti kepada Allah-Tuhanmu maka semua akan mengikuti.”
Abah sangat peduli dengan pendidikan, jika ada penganugerahan bapak pendidikan mungkin sudah dapat award. Hehehe Entah bagaiman pun caranya aku harus sekolah. Aku harus sekolah setinggi mungkin. Urusan gak bisa bayar spp, urusan abah. Kalo kami mau les ini itu lakukan kalo perlu. Mau apapun jika itu untuk ilmu lakukan. Gak usah banyak gaya karena abah gak punya duit banyak. Walaupun abah gak pernah protes gimana hasil ujian kami, gak mau tau kami belajar atau tidak ketika akan ujian. Yang abah tau anaknya harus mendapatkan pendidikan yang layak. Selayak mungkin. Dan ini tertanam di jiwa ku. Kita bisa menahan untuk tidak makan enak, beli baju super ketche, tapi tidak bisa tahan jika ada peltihan ini, seminar ini walaupun berbayar.
Dulu aku seperti semi di wajibkan untuk sekolah di sekolah negeri, plus favorit, dan banyak saingan orang-orang pinternya. Kata abah karena abah gak akan kuat kalo di swasta dan mahal. Kalo banyak saingan orang hebat, kita akan bisa mikir kudu gimana. Begitulah abah, satu-satunya orang langka di dalam keluarga besar kami yang nekat. Nekat dari a to z nya.
Begitulah Abah yang ingin menjadikan anaknya berpendidikan. Sehhingga aku bertekat untuk menjadi doctor termuda dan membahagiakan Abah dan Bunda.
Pernikahan
Dulu aku pernah menggambarkan. Gimana ya menikah itu? Suatu saat ketika aku menikah, dan hidup setelah pernikahan. Kita akan tinggal di sebuah rumah kecil, terbuat dari kayu yang khas baunya, banyak jendela. Di sebuah desa teduh penuh pepohonan. Tidak bising cukup suara kayuhan sepeda dan itik-itik di giring beramai ramai. Di belakang rumah ada bukit banyak bunga mataharinya. Dan mengalir aliran sumber air bergemericik di samping rumah. Kicauan burung nan merdu dan wangi tanah dibasahi hujan sekaligus angin semilir menerbangkan benang sari ke bunga bunga di taman. Cukup kami, sepasang pasangan halal dan anak-anak yang bermain dengan gembira. Hahaha kita bikin kesebelasan untuk bisa bermain bola di lapangan samping rumah. Ya Allah Rumi, kamu kebanyakan nonton fairy tale.
Bangun Rumi woyy...
Ikhtiyar menjemput jodoh itu rasanya nano-nano. Banyak menguras emosi ya. Lama, eh, ketahuan jomblo nya. Hahaha. Aku sempat khawatir akan termakan ucapanku waktu usaiku 12 tahun waktu itu. Tidak akan mau pacaran sebelum halal apapun jadinya. Astaghfirulloh, masa iya aku meragukan Mu. Gustiii ampunilah aku. Mungkin doa terpasrah yang aku panjatkan semacam ini “Ya Allah aku tidak tau berjodoh dengan siapa. Bahkan aku tidak tau harus menyebut nama siapa ketika aku berdoa dihadapanmu. Yang aku tahu Engkau sudah menyiapkan jodoh yang terbaik menurut Mu. Semoga aku engkau jodohkan dengan seseorang yang selalu menyebutkan nama ku di dalam doanya. Setidaknya aku bisa tenang jika nanti dia menaruh rasa cinta kepadaku, dia tidak akan melupakan Mu, tidak akan memalingkan cinta kepadamu Mu.” Hahaha, pertanyaan yang sering kamu pertanyakan, kapan terakhir kali kamu peduli dengan perasaanmu? Eh kemana-mana.
Pandangan pernikahan bagiku itu sakral. Untuk selamanya, dunia & akhirat. Visi misinya harus jelas, harus satu tujuan. kalo belum sama ya disamakan. Sebelum mengayuh perahu lebih jauh. Salah satu perjanjian besar. Mitsaqon Gholidzo. Jadi, jangan main-main. Bagiku visi terbaik dalam pernikahan ialah untuk membangun peradaban baru dimana keluarga sebagai ladang kebaikan menuju surga Allah. Keluarga seperti apa yang akan kalian bangun? Keluarga bahagia, sakinnah mawaddah warohmah di dunia dan akhirat. Tuh kan visi nya saja berat. Kalo gak berdua gak akan kuat. Hahaha. Pernah tidak membayangkan pembebas Al Aqso nanti adalah anak-anak kita? Sepertinya untuk menuju cita-cita itu kita tidak boleh berhenti belajar.
Menikah: Sebuah ibadah memuliakan sunnah until jannah. Sepanjang hayat. Misi nya tidak lepas dari aktivitas Ibadah, Tarbiyah, Dakwah & Harokah.
1. Ibadah (Allah dulu, Allah lagi, Allah Terus dalam menjalankan kehidupan rumah tangga)
2. Tarbiyah (Mencetak, Mendidik dan Menshalih/ah kan anak-anak sebagai kader pejuang islam)
3. Dakwah (Keluarga sebagai mottor penggerak kebaikan dan Bermanfaat lebih banyak untuk ummat)
4. Harokah (Birulwalidain)
Yang ku panjatkan yang terbaik untuk semua. Apa definisi terbaik? Allah. Yang bersumber dari Allah.
Kehidupan Rumah Tangga
Perempuan mana yang gak kepingin hidup enak selepas menikah. Umumnya maunya diperlakukan seperti permaisuri ya, hahaha. Pliss Rumi ini bukan dongeng di tipi tipi. Ini ukiran kisah mu sendiri.
Dulu cita-citaku jadi orang kaya hahaha, jawaban jujur anak TK. Makin kesini makin bener deh wkwkwk. Kaya hati-kaya jiwa yang paling penting: agar selalu bersyukur dan bersabar akan qada’ dan qaadar nya, kaya harta: agar bisa memberikan banyak manfaat kepada yang membutuhkan, membantu mereka yang kekurangan harta, sebagai perantara Allah untuk memudahkan orang lain. Semakin kesini makin paham. Menyoal Rizki itu bukan urusan kita. Itu urusan Allah. Ikhtiyar itu ibadah, maka semakin banyak ikhtiar artinya kita sedang beribadah. Ikhtiyarnya kudu jiwa dan Raga.
Karir
Bagaimana jika di awal kita bersama-sama bekerja sama terlebih dulu? Sehingga di usia 40 tahun aku akan berhenti bekerja. Target utama ku ialah menjadi wanita berkarir surga yang bisa menguatkan suami dan berjuang bersama menuju surga. Namun bagaimana jika aku berfikir sebaliknya? Menjadi full time wife n mom dan produktif di rumah?
“Tok-tok-tok” suara pintu itu pun terdengar dan Rumi pun menutup buku catatannya.
“Rumi, ayo sarapan dulu nak” panggil Bunda
“Iya Bunda, Rumi dating”
Rumi pun bergegas ke ruang makan, sembari mengingat-ingat Kembali catatanya. Seakan dia ingin memberikan catatan itu kepada kak Zen. Dilain sisi hati Rumi berkata lain. Dia ingin segera memutuskan sesuatu.
*******
0 notes
Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 4
Wangi aroma melati kini menggerakkan hidung Rumi dari tidurnya. Sepertinya tidaklah asing dia membau aroma sari melati beserta kehangatan wanginya. Teh melati khas buatan Bunda yang selalu menemani pagi sebangin ia tidur. Guling yang dipeluknyapun terjatuh ke lantai. Muka bantal dan selimut yang tersingkap serta pijakan kaki ke lantai. Pelan-pelan Rumi mengambil secangkir the dan menyeruputnya penuh khidmat.
“Glek-Glek-Glek” suara Rumi menelan teh hangat buatan BUnda dalam tiga tegukan
Serasa kehausan sehabis berlari keliling lapangan. Memang sekangen itu Rumi menikmati teh buatan Bunda.
Rumi pun teringat surat yang dia berikan kepada kak Zen. Apakah kak Zen benar-benar kaget dengan jawabannya. Atau kak Zen mengabaikannya begitu saja.
Dilain sisi dia masih dalam kebimbangan, sembari mengingat-ingat nasihat dari abah dan bunda.
Saat sedang duduk di meja belajarnya, Rumi teringat dia pernah menuliskan banyak sekali kegelisahannya yang saat ini dia rasakan. Perlahan dia mengambil buku bersampul cokelat dengan daun kering didepannya. Perlahan dia membuka dan membaca dengan penuh rasa penasaran.
Rumi pun terlarut dalam ingatan masa lalu, perlahan membaca dan tenggelam dalam catatannya.
Catatan Rumi.
“Hai kak, maafkan Rumi yang tidak berani mengatakan hal-hal ini Ketika kaka dulu menemui Abah. Namun Rumi akan menuliskaannya dibuku ini sebagai pengingat Rumi pernah memikirkan apa yang Rumi inginkan.”
0 notes
Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 3
Malampun berlalu dengan begitu cepat. Terdengar suara adzan subuh bersahut sahutan. Rumi bergegas mengambil air wudhu dan memikirkan beribu banyak jawaban atas surat yang dia berikan kepada Zen.
“Rum, Rum, ihh penasaran deh kemarin kasih apa sih ke kak Zen?” tanya luna penasaran
“Apaan, rahasia dong.” Jawab rumi dengan muka songongnya
“Ih gitu ih, biarin deh main rahasian sama aku.” Jawab Luna manyun
“Iya Luna, sahabat aku paling bawel.” Balas Rumi
“Lun, sorry ya aku belum bisa cerita sekarang. Nanti Ketika waktunya sudah tepat aku pasti akan cerita. Sekarang aku minta doanya ya, semoga Allah kasih yang terbaik. Semoga apa yang menjadi keputusanku ini tidak akan membuatku menyesal dan emang yang terbaik.” Jelas Rumi kepada sahabat baiknya itu
“Iya Rumi sayang, semoga yang terbaik ya. Yuk buruan sholat deh keburu duha nanti.” Sambungnya bergegas untuk sholat
Pagi itu rasanya mendebarkan sekali buat Rumi. Ia masih terngiang-ngiang dengan kabar surat putih yang dia berikan kepada Zen. Dia sedang memikirkan banyak hal sampai-sampai tidak bisa focus denga napa yang dia kerjakan sekarang.
Pagi yang harusnya dia sudah selesai mengerjakan tugas tetapi malah melamun. Pagi yang harusnya dia sudah selesai menyelesaikan pekerjaan domestiknya tetapi malah terbengkalai. Berbagai hal kini serasa penuh menumpuk di pikiran Rumi.
*******
Diperjalanan pulang menuju rumah Rumi masih belum bisa tenang. Sudah seminggu surat itu tidak ada kunjung ada balasan. Hari ini Rumi pulang ke Rumah, suara kereta yang bersahut-sahutan tidaklah menjadi riuh melebihi riuhnya pikiran rumi. Dia masih memikirkan mimpi-mimpi yang masih belum dia capai. Ditambah lagi gerbang pernikahan terbuka lebih dulu dari mimpi mimpi yang belum dia dapatkan.
Rumi terus memikirkan bagaimana jika aku menikah dan mimpi-mimpiku nanti terhempas begitu saja? Bagaimana jika aku menikah aku tidak lagi sebebas sekarang? Bagaimana jika aku menikah ruang gerak ku terbatasi dan tidak bisa berkarya lagi? Bagaimana jika aku menikah aku tidak bisa menyelesaikan tesis dan wisuda dengan tepat? Dan bagaiman bagaiman lainnya.
Tak terasa Rumi sudah sampai di stasiun Tugu. Pertanda sebentar lagi dia sudah akan sampai kerumah. Libur semester kali ini membuatnya tidak sebebas dulu lagi ditambah pikiran-pikiran yang harus dia pikirkan. Entah kenapa Rumi menjadi sangat takut untuk pulang.
Didepan sudah tampak abah dan bunda menjemput putri semata wayangnya itu. Andai saja aku punya kakak, mungkin aku tidak akan seberat ini rasanya. Menjadi anak satu-satunya yang menjadi tumpuan bapak dan ibu. Segala harapan dan keinginan mereka tertuju padauk. Pikir Rumi kemana-mana.
“Bunda sehat kan?” peluk Rumi menahan kangen
“Sehat, adek gimana sehat kan? Balas bunda
“Alhamdulillah, sehat banget.” Balas Rumi dengan senyumnya yang merekah
“Abah, tambah gemukan ya ndak sih bah?” ejek Rumi sembari bersalaman dengan abah
“Mana coba, Rumi kali yang gemukan, Tuh pipinya bulat gitu.” Balas Abah sembari memeluk Rumi
“Bunda, abah ni” manja Rumi keluar seperti biasanya
Merekapun masuk mobil dan menuju perjalanan pulang. Suasana mobil yang dirindukan Rumi. Berkendara bertiga dengan suasana yang sama. Abah, Bunda dan Rumi yang menjadikan momentum paling menyenangkan baginya. Bagiaman rasa itu akan terlupakan, Abah yang begitu menyayangi Rumi sampai siap menjadi bodyguard anak gadisnya. Bunda yang siap menjadi koki andalan Rumi saat lupa makan sampai lupa bekal pula.
“Rumi sudah denger cerita nak Zen?” Abah membuka obrolan dengan sekonyong-konyong membuat Rumi tersedak air minumnya
“Iya Bah, saat Bunda cerita waktu itu, Rumi sudah berjumpa dengan kak Zen. Tapi kak Zen diam saja, sepertinya malu deh ketemu Rumi” cerita Rumi dengan apa yang dialaminya itu
“Ya begitulah dia sedari dulu abah kenal, persis sama Ayahnya Zen juga begitu. Pemalu. Tapi nak Zen santun sekali ya, tidak mau membahas itu duluan menunggu sampai Rumi siap memberikan jawaban.’ Balas Abah
“Rumi bingung Bah, apakah Rumi mau menerimanya atau enggak, Rumi seperti belum siap kalua harus menikah sekarang bah. Rumi masih mau menjadi Doktor muda dan mengejar keinginan-keinginan Rumi yang sangat banyak ini” balas Rumi
“Bunda juga tau kan kalau Rumi sudah siapin buat daftar S3 selepas siding dan wisuda langusng ingin studi lanjut. Apakah nanti adil untuk kak Zen jika aku sibuk dan mementingkan mimpi Rumi.” Balas Rumi lagi
“Bunda, jika bunda diposisi Rumi apa yang Bunda lakuin? Tanya Rumi kepada Bunda
Sejenak Bunda terdiam, Bunda merasa posisi Rumi sama dengan apa yang Bunda pikirkan.
“ Bunda fikir, menikah ataupun sekolah itu dua hal yang berbeda. Kenapa harus dipertentangkan keduanya? Bukankah sekolah juga bisa di posisi sudah menikah? Pun bukankah tidak ada larangan lanjut program doctoral tapi sudah menikah. Ini mana yang salah? Tidak ada kan? Ya gak bah? Bunda Rumi memberikan penjelasan kepada Rumi
“ Tapi nak, diluar itu Bunda dan Abah tidak bisa memaksamu. Memang keduanya bukan sesuatu yang benar atau salah. Tergantung niat Rumi. Bunda sih pengennya Rumi segera menikah, dan kalau mau lanjut sekolah, ya lanjut aja, begitu kan dapat keduanya.” Bunda menambahkan lagi
Mobil pun berhenti. Sampailah mereka di rumah. Rumi yang sudah kecapean bergegas mengambil tas dan menuju kamar yang sudah dia nanti-nantikan wanginya. Kamar yang menjadikan nya selalu kangen untuk pulang. Tempat Rumi mengadu, menangis, tertawa dan menyelami segala bentuk emosi dirinya. Tempat dia menghasilkan karya dan juga menumpahkan rasa. Rumi , Bunda, Abah pun masuk kedalam Rumah.
0 notes
Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 2
Bagaimana mungkin kini Rumi bisa melupakan sosok Madra yang semakin kesini semakin teguh keislamannya. Apakah mungkin dia akan memikirkan sebuah rasa yang Rumi rasakan selama ia menjadi muridnya menuntut ilmu agama. Hati & Rasa! Kedua kata yang tak jarang terdengar di telinga. Hati yang bisa merasakan semua gejolak kehidupan serta rasa yang tak pernah bisa dibohongi kedatangannya. Salah satunya adalah rasa suka, yang lama-kelamaan disebut dengan cinta. Sebagai wanita biasa, virus cinta itu pun menyerang gadis bermuka oval itu. Selayaknya fitrah manusia yang mudah terbolak-balikkan hatinya. Sembari duduk merenung Rumi membolak balik buku catatan ditangannya, sesekali menengok handpone kali aja ada pesan dari Luna.
“Hei Rum, kenapa termenung” Luna datang sembari menepuk pundak Rumi
“Lun, bagaimana bila kamu tak menyukai pria yang ingin kamu nikahi?” Rumi seakan sendu mengatakan kalimat yang tak terpikirkan bakal ditanyakan
“Rum, kamu kenapa?” Luna mengrenyitkan dahi, curiga dengan pertanyaan Rumi
“Kemarin aku mendengar kabar dari Ibu. Ada yang datang melamarku, namun bukan untuk dirinya. Dia ustad dari seorang pria yang sudah lama jatuh hati padaku. Semenjak aku sering nagji di masjid dekat rumahnya” Rumi terlihat bingung dengan cerita yang ia sampaikan.
“Apa kau yakin tidak menyukainya? Ini tentang Zen yang dulu kan?” tebak Luna sembari mengelus tangan Rumi.
“Iya Lun. Ini kedua kalinya ia melamarku. Seperti yang aku ceritakan dulu padamu. Dia langsung melamarku saat beredar kabar kalau aku akan dijodohkan dengan seorang pria anak teman bapakku seminggu yang lalu.” jelas Rumi dengan nafas panjang.
“Maafkan aku Rum, walaupun aku adalah teman dekatmu, untuk masalah hati, aku tak bisa memberikan solusi. Mengadulah pada-Nya, jangan kau tanyakan pada manusia tentang kebingunganmu ini. Hasilnya akan sama saja, bingung dan semakin memusingkan” Luna memeluk sahabatnya dengan penuh kasih sayang.
Lantas pulanglah mereka berdua menuju kos-kosan dia tinggal. Dengan wajah yang telah ceria kembali dan juga seakan telah hilang cuap-cuap mengharu biru semenit yang lalu. Mereka menuju kamar masing-masing dan berbenah untuk mengerjakan amanah lain.
Namun kegelisahan hati Rumi tak kunjung mereda, disisi lain ada lelaki sholeh yang sudah jelas kesungguhannya untuk menjadikan dia permaisurinya. Disatu sisi ia terusik dengan perasaan suka dengan sosok Madra ustad kece yang tak kalah sholeh pula. Lantas disisi lain ia harus mengemban amanah menyelesaikan studi pascasarjananya tahun ini juga, study fast track yang segera harus dia tuntaskan.
Namun dengan tegar ia menghadapinya. Perlahan ia selalu berdoa untuk menentukan pilihan besar yang sudah di depan mata. Seminggu berlalu dengan bermunajat dan memohon petunjuk kepada-Nya. Tak berhenti, berdoa, bedoa dan berdoa memohon jawaban dari Sang Pemilik Cinta.
***
Hari yang cerah, setelah dua minggu berita besar yang Rumi dengan berlalu. Serta hari ini yang begitu menyibukkan, berkutat dengan dosen pembimbing. Rumi merasa lelah dan rehat di kamar tercintanya sembari mendengarkan tilawah dari handphone kuningnya. Sorepun kian menjelang, Rumi segera memulai aktifitas kembali. Ya, membuat materi pengajaran untuk anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran. Inilah kesibukan Rumi lainnya, selain menggarap tesis ia mempunyai amanah untuk mengajarkan ayat-ayat Al-Quran kepada anak-anak kompleks dimana dia nge-kos sekarang. Dengan anak-anak itulah salah satu dia bisa melupakan semua permasalahan pribadinya.
“Lun, aku ke madrasah dulu ya. Ada buku yang harus aku ambil untuk membuat materi yang harus aku persiapkan untuk ngaji besok sore, mungkin juga mau print sekalian” teriak Rumi sembari mengangkat sendal dan pamit untuk pergi duluan
“Oke Rum, nanti aku nyusul ya, masih mau setrika baju” tegas Luna.
Rumipun berjalan menuju Masjid Al-Muttaqin tempat biasa ia mengajar. Tak disangka-sangka ia menjumpai sosok yang pernah ia kenal sebelumnya. Pria nampak mengisi pengajian ibu-ibu di kompleks masjid Al-Muttaqin, tempat Rumi mengajar ngaji anak-anak. Dalam hati Rumi berdesir menanyakan segala macam kecambuk kebingungan.
“Itukah sosok yang tetap menungguku untuk menjadi kekasih halalku? Zen yang masih datang kembali setelah dua tahun lalu aku menolak lamarannya? Itukan Zen yang kini datang kembali melamarku setelah tahu aku akan dijodohkan dengan anak teman bapakku? “
“Itukah Zen yang tak pernah bertegur sapa dengan ku, selalu menundukkan pandangann bila bertemu denganku yang ternyata menaruh hati padaku sebegitu dalamnya?” gumam rumi melontarkan pertanyaan-pertanyaan dalam lamunan.
Gejolak hati Rumi berkejaran, antara hati dan fikiran yang kian berseberangan. Ia tak bisa mengerti apa yang Zen lihat dari dirinya sampai dia begitu berani melamarku lagi. Rumi hanya bisa memandangnya dari luar masjid, tak sampai hati ia berani menampakkan diri di hadapan Zen. Alhasil Rumi pun putar langkah kembali ke kosan memilih menunggu pengajian berakhir dan kembali lagi disaat yang tepat.
***
Ketika adzan maghrib berkumandang, Rumi kembali ke masjid Al-Muttaqin Ia seakan membawa sebuah kertas berwarna putih dalam genggaman. Namun ia tak sendirian lagi, ia sudah bersama Luna disampingnya. Sholat jamaah berlangsung dengan khidmat, kedua gadis itu mengikutinya dengan penuh kekhusyu’an. Dan tak terelakkan, Zen imam dalam sholat jamaah kali ini.
Zen pun tak menyadari adanya Rumi dalam kumpulan jamaah senja ini. Tak pernah ia ketahui, bila ia akan mengisi kajian di masjid biasanya Rumi mengajar ngaji. Setelah jamaah usai dengan lantangnya Luna memanggil Zen dari slasar masjid.
“Kak. Zen....” Teriak Luna sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
Zen pun tertegun melihat Rumi dan Luna, seakan mati kutu rasanya ia harus menjumpai Rumi dalam kondisi seperti ini.
“Assalamualaikum dek Luna, dek Rumi...” ujar Zen dengan senyum khasnya.
Rumi bersikap biasa saja, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Begitun pula Zen, yang masih saja stay cool berharap Rumi belum mengetahui berita itu dari Bapaknya.
“Ada acara apa kak.Zen bisa nyasar dimari?” tanya Luna.
“Oh, jalan-jalan saja kok, sambil belajar bareng ibu-ibu PKK di komplek ini.” jelas Zen.
“Wiiidiiih.........gayanya pak.Ustad merendah...hehe” songongnya Luna mulai keluar
“He..he..Yaudah semoga sukses ya Kak, kita pamit dulu.” ujar Luna sambil cengengesan.
“Baiklah, saya pamit pulang juga, masih ada amanah lain yang musti saya kerjakan. Sampai berjumpa kembali” Zen berpamitan dengan senyum merekah dari wajah nya.
“Sebentar Kak.” cegah Rumi menghentikan langkah Zen yang hendak pergi menjauh dari mereka.
“Terimakasih ya Kak” Rumi memberikan kertas putih kepada Zen lantas Ia beringsut pergi setelah mengucapkan kata-kata pendek itu.
“Ehh laahh....Rum... Rum... asal pergi saja.” Luna kebingungan mencegahnya pergi.
“Ya sudah Kak Zen, saya ikut pergi dulu ya.... Assalamualaikum” Luna mengikuti Rumi pergi sambil tergesa-gesa mengejar teman terbaiknya itu.
Zen sempat tertegun dengan kertas yang diberikan Rumi. Dalam fikirannya ia merasa gundah karena mungkin kabar Ustadnya melamar Rumi untuknya telah sampai ke telingan Rumi. Namun dalam hatinya ia merasa senang dan was-was pula karena sekonyong-konyong Rumi memberikan sebuah surat entah apa isinya. Ia hanya berdoa kepada Allah akan tegar menerima isi coretan bermakna dalm surat itu. Tak berani mengusik lipatan surat suci itu, Zen pun kembali melaju menuju kediamannya, dengan surat putih di saku baju kokonya.
0 notes
Text
“Elegi Kasih Zainal & Rumia” 1
Suara mobil yang menderu-deru menambah suasana malam yang sunyi tersibak olehnya. Betapa kulit ini terasa akan mati karena cekikan dingin yang menggerogoti tulang, menembus hingga jantung dan menusuk hati yang sedang dirundung kerinduan. Cahaya bulan yang kini mulai tampak dilangit yang gelap dengan taburan bintang mengelilingi antariksa. Sungguh benar-benar malam yang penuh kemanjaan.
Sepasang sepatu yang tadinya melangkah dengan terburu-buru terhenti seketika dengan debu-debu basah yang tampak mengotori lantai berwarna putih itu. Sampailan kini Rumia di kamar kos nya, dengan wajah yang penuh kemalasan dia ambruk di atas tempat tidurnya. Selarut ini dia baru tiba, mengerjakan seabrek tugas tesisnya di gazebo 200 meter dekat tempat tinggalnya. Sprei, bantal serta selimut bunga-bunga menjadi tumpuan terakhirnya. Pulas sudah tidurnya tepat jam 23.00 WIB.
Pintu jendela kamarnya yang digantungi burung-burung origami itu tampak terang. Tirai jendela yang menggantung disamping kiri tak sempat di bentangkan untuk menutupi kaca jendelanya. Sinar bulan yang menerobos kaca putih itu mengenai tepat di pipi gadis berlesung pipit itu. Tanpa gerakan apapun Rumia telah memasuki dunia mimpinya.
“Kring....Kring...Kring” tepat pukul 03.00 jam weker berbentuk tokoh kartun kesukaannya, kepala Doraemon berlomba dengan jangkrik yang sedang menyanyi. Berulang ulang jam itu berberbunyi, tapi tiada sedikitpun gadis itu beranjak dari tidurnya. Hingga deringan jam itu tiada terdenganr lagi suaranya, dan menunjuklah panah-panah didalam kaca itu pukul 05.30 WIB.
“tok....tok....tok.....tok.....tok.....tok” berkali kali pintu kamar Rumi sapaan akrab gadis mungil itu berbunyi dan tanpa respon sekecil apapun.
“Rumi....Rumi...., kamu masih molor ya, buruan bangun. Sudah mau Dzuhur nih” teriak Luna, teman se-kos-an Rumi.
“Iya Lun, nanggung nih. Kamu duluan aja ke kampusnya.” Sahut Rumi yang masih saja menutup mata.
“Nih anak pikun deh. Hari Ahad Rum, ngapain gue ke kampus? ya sudah, gue aja yang kencan sama Ustad.Madra. Bye...” sambil nyengir-nyengir bicara di depan pintu Luna beringsut meninggalkan kamar Rumi
“Eh...eh...iya Lun, tunggu-tunggu....” Rumi bergegas ke depan pintu dan membukakannya untuk sahabat karibnya
“Buset yah nih anak, jam segini masih molor. Buruan mandi, acara sebentar lagi nih.” Luna sebel dan menggerutu di depan Rumi yang masih amburadul bak putri tidur yang kesasar bermalam di kuburan.
“ Iya Lun, sorry... aku siap-siap dulu yah. Tungguin, Plisss...” bujuk Rumi
“ Iya, iya...Buruan gih” Luna kesel
Bergegaslah Rumi menuju kamar mandi, dengan wajah tersipu dan keceriaan yang mengembang diraut mukanya. Hingga berlalu lah mereka bersiap untuk menyambut pangeran pujaan yang kemungkinan kini telah menanti di seberang sana. Dengan hijab hijau toska yang berkibar di kepalanya, tampak keanggunan dan pesona meneduhkan. Kedua muslimah ini sangat kompak, selalu berdua kemanapun mereka pergi.
***
Matahari telah naik di ufuk timur, kra-kira 10° dari porosnya. Pukul 07.30 tepat Rumi akan bertemu dengan sosok yang dikaguminya. Berjalanlah mereka menuju Masjid Agung dekat mereka tinggal. Suasana yang cerah, wangi dedaunan pagi yang begitu menyengat, serta gerak selop sepatu dan sandal yang menuju masjid itu kian menggebu. Ya, disinilah istilah “kencan" yang sering mereka sebut-sebut itu diadakan. Kencan ala Rumi dan Luna, mengikuti pengajian setiap hari Ahad. Bukan pengajian biasa, kajian yang unik dan berbeda dengan yang lain. Disaat masjid-masjid dipenuhi dengan ibu-ibu pengajian, kini ruang berkubah asma Allah ini dipenuhi dengan remaja-remaja muslim yang sangat antusias dengan agenda rutin bertema “Ahad Berhijrah” ini. Selain motivasi, belajar Al-Qur’an dan muhasabah diri, sisi istimewanya adalah “Ustad.Madra” salah ustad pengisi acara yang super keren, kece dan cool abis menjadi daya tarik acara itu.
“Dan sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib seorang kaum, kecuali dia berusaha untuk merubah dirinya sendiri”. suara kultum dari ustad. Madra seakan-akan menjadi tamparan keras untuk diri Rumi yang masih suka bermaksiat.
Tak berucap sepatah katapun selama ustad kece itu berpujangga. Meresapi bait demi bait petuah dan wejangan yang kian menohok di relung hatinya. Ia pun beringsut pergi usai pengajian itu selesai.
0 notes
Text
"bilang lagi, jangan pernah takut untuk Mendobrak Batas
Belajar, belajar dan belajar lagi. Jangan batasi diri untuk belajar.
“Jangan mau dibatasi dalam berkarya hanya dengan alasan kamu perempuan", dalami lagi maknanya, jangan nge-judge sebelum tau dari sudut demi sudutnya.
Nyatanya kita selalu perlu untuk di ingatkan, makanya berilah pesan kebaikan sebagai pengingat diri, siapa tahu bisa bermanfaat untuk orang lain, Allah gak akan pernah salah memperjalankan hambanya di muka bumi ini.
Batasan itu siapa yang buat? Kamu sendiri kan? Makasih yaa udah berani mendobrak batas.
Pasti akan ada hambatan, halangan, rintangan entah dari dalam maupun luar, prosesnya tidak akan mudah, berat iya tapi bisa, pasti bisa.
Ketika terhalang biaya, ketika terhalang tempat, waktu dan rupa rupa lainnya jangan jadikan itu batasan. Sampai di titik bisa ini juga tidak akan mudah, dan tentu perlu proses.
Begitu juga potensi diri, yang harus selalu di asah walaupun belajarnya berulang-ulang 1000 kali.
0 notes
Text
"Kalau sudah cukup, buruan pulang bangun rumah sendiri"
Pesan sahabatku di percakapan malam ini. Dulu aku seambisi itu. Kembali merantau untuk membangun daerah. Ketika dihadapkan dengan pilihan. Merantau kembali aku tapaki, kembali. Bukan menyoal uang dan kedudukan. Aku rasa dengan merantau aku banyak belajar. Mendapatkan arti kehidupan yang lebih luas. Aku salut dengan mereka yang bisa banyak belajar tanpa harus merantau. Mereka hebat. Aku selalu berdoa semoga, dimanapun kaki berpijak, Allah ridho & berkahi. Entah merantau atau aku dimintanya untuk kembali mengabdi di tanah lahir diri ini. Semoga Allah meridhoi segala nya.
0 notes
Text
Kaca
Suatu saat aku melihat keanehan setiap kali berada di kaca ini. Aku berdialog dengan dia yang berada dalam kaca. Aku melihat senyummu yang merekah dan matamu yang berbinar. Ketika perlahan kamu memperhatikannya, tiba –tiba hal itu menghilang. Kamu melihat sisi dalam dirimu. Namun tidak terlihat di dalam kaca. Kamu hanya menatap matamu. Matamu sendiri. Seraya merasuk ke dalamnya. Segumpal daging yang bersarang tersembunyi di dalam tubuh mungilmu.
Kamu menyaksikan kepahitan, kehancuran, kekecewaan, kerapuhan, pengharapan yang tak kunjung berujung dan segala hal yang membuatmu tidak bisa lagi tersenyum. Ternyata kamu hanya bersembunyi dalam wajah manismu. Kamu bilang kamu orang biasa. Tidak seperti orang lain yang begitu sempurna di matamu.
Kamu melihat dirimu layaknya orang yang penuh dengan kekacauan. Hingga kamu melupakan sisi lain yang kamu punya. Hingga kamu lupa sampai di titik ini seperti apa.
Coba kamu ingat kembali. Apa saja yang sudah kamu tembus. Kamu bilang kamu orang biasa, dan 'aku akan tetap menjadi orang biasa' katamu. Ya, pada akhirnya 'aku mendambakan menjadi orang biasa'. Biasa bersyukur, biasa bersabar, biasa bekerja keras, biasa tidak mengeluh, biasa menyederhanakan keinginan, biasa untuk tidak mengutuk takdir. "Semoga aku kian tumbuh menjadi orang yang selalu biasa." Ketika senang, senangnya yang biasa biasa saja. Ketika sedih, sedihnya yang biasa biasa saja. Terlalu rumit jika tidak di rasa. Dan terlalu berat jika aku sendiri melaluinya. Dan kamu adalah orang yang akan aku ajak pertama bersamaku. Mungkin. Itupun, jika kamu bersedia.
Yogyakarta, 2019 | ©MR @mirassanti
0 notes
Text
Menjadi Biasa
Kenapa kamu selalu menuntut dirimu menjadi seperti orang lain? Kenapa kamu selalu menuntutmu harus menjadi luar biasa seperti mereka? Memangnya menjadi biasa saja itu berdosa? Apakah kamu yakin yang kamu tuntut itu sudah menurut versi Nya?
Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku takut kamu terjerat oleh rayuan menjadi orang yang berlebihan versi Nya. Aku takut kamu tidak lagi bersyukur seluas samudera. Aku takut kamu tidak lagi memiliki kesabaran seriuh hujan. Aku takut. Takut kamu menjadi tidak seperti biasanya. Yang cukup dengan kata cukup. Secukupnya.
Memangnya kamu yakin dengan menuntut diri menjadi sepertinya akan membuatmu bahagia? Memangnya kamu yakin menuntut diri melebihi dia dia dia, Allah sudah pasti ridho?
Hidup tidaklah seperti dongeng cinderella. Yang jika kamu meminta A sihir sakti akan mengabulkan A. Bukan juga dongen Snow White, yang makan apel beracun lalu tertidur dan menunggu pangeran mendatangi. Bye. happy ending . Tidak juga seperti bawang merah dan bawang putih, yang selalu menginginkan nikmat orang lain sampai menghalalkan segala cara untuk mendapat apa yang orang lain miliki.
Jika hulu yang kita tetapkan sudah tepat. Perasaan cukup menjadi versi terbaik diri sudah lebih cukup. Cukup cukupkanlah menjadi dirimu. Menjadi biasa sudah cukup luar biasa. Kalau aku bilang, aku bahagia dengan kehidupan yang secukupnya seperti ini kamu mau bilang apa?
Merasa cukup memang luar biasa.
Yogyakarta, 2019 | ©MR @mirassanti
0 notes
Text
Untuk 21 Hari ke depan| dengan tantangan 504 Hour "Be Allahminded"
17 desember 219
0 notes
Text
menjadi baik
hari ini kita melihat banyak orang berlomba-lomba dalam kebaikan. tapi sayang, tidak semua berada dalam lintasan lomba menjadi baik. ada bahkan banyak yang berlari-lari ingin memenangkan lomba terlihat baik.
padahal, kebaikan itu tidak pernah bisa dilihat dari apa yang ada di permukaan saja. ya, memang yang ada di dalam akan tercermin di luar. akan tetapi, tidak semua yang ada di luar adalah kebenaran.
hari ini ramai betul seruan dan ajakan untuk berhijrah. tapi sayang, sebagian dari kita menilai bahwa hijrah diukur dari hal-hal yang tampak–seperti apa yang dipakai, apa yang dilakukan, apa yang dikatakan atau diunggah di media sosial. orang-orang yang belum segolongan–yang belum memakai baju serupa, tidak melakukan hal yang sama, membicarakan hal selain seperti obrolan orang-orang “hijrah”–lantas disebut belum berhijrah.
padahal, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi kepada seseorang, apalagi apa yang ada di dalam hatinya. bisa jadi seseorang itu sedang berhijrah dari keterpurukan hati kepada hidup yang lebih bahagia. bisa jadi seseorang sedang berhijrah dari gaya hidup yang kurang sehat kepada gaya hidup yang sehat. atau berhijrah dari kemalasan kepada hidup yang lebih produktif.
setiap orang memiliki jalan hijrah–jalan bertumbuhnya masing-masing. kita tidak perlu ikut-ikutan melabeli apakah seseorang sudah berhijrah atau belum. sekali lagi, sejatinya semua orang berhijrah sendiri-sendiri. terutama, kita harus berhenti menghakimi atau menyindir orang-orang yang belum/tidak melakukan yang kita lakukan. berhenti karena itu bisa menyakitkan bagi yang menerima.
pula, tak perlulah kita menyindir orang yang sedang “berhijrah” meskipun itu hanya bercanda. kita tidak tahu bagaimana perjuangannya untuk bisa sampai pada titik itu. jangan sampai omongan kita malah membuatnya tidak termotivasi lagi untuk menjadi baik.
oh ya, dan apa yang baik menurut kita belum tentu benar, belum tentu baik untuk orang lain. tugas kita adalah menjadi sebaik-baik diri tanpa menjelek-jelekkan orang lain. tugas kita adalah menciptakan suasana yang nyaman bagi siapa saja yang ingin bertumbuh menjadi lebih baik.
mari kita berhijrah: dari berada pada lintasan lomba kebaikan “terlihat baik” kepada lintasan lomba kebaikan “menjadi baik”. ini adalah saat yang tepat untuk membuktikannya.
1K notes
·
View notes
Text

Fajar Bilang..
Tetaplah bersinar _just like me_
Semendung apapun langit pagi ini.
- kameraman
Desember, 2019
0 notes
Text
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. [13]: 11).
Manusia itu Kuat.
Serius.
Apakah benar move on itu susah?
Atau jangan-jangan memang kamu yang ndak mau move on?
Kamu mau di tolong, tapi tidak siap untuk di tolong.
Please,
Semesta tak akan bisa mengubahmu selain diri sendiri mau berubah.
Iyaa,
Tidak ada orang lain yang bisa menolong jiwa yang lainnya, selain pemilik jiwanya.
Percayalah,
Kamu kuat,
Kamu punya pendahulu yang sangat teramat kuat.
Nabimu, betul bukan?
Apakah iya masih ada keraguan?
Jatuh memang sakit,
Ada yang memilih berguling-guling menikmati & menunggu pertolongan, tanpa upaya ingin berdiri.
Ada yang memilih menerima, menikmati & bangkit untuk duduk, berdiri & berlari.
Menerima, artinya kamu juara
Menikmati, artinya kamu berdamai mengalahkan batasan yang kamu buat sendiri.
Dan selamat, kamu bangkit.
Hempas jauh keterpurukan yang kamu yakini itu, kamu hanya tidak siap untuk bangkit. Kalau kamu tahu, keterpurukan pada akhirnya adalah jembatan emas.
Jangan capek-capek
Jangan sia siakan hidup dalam kejatuhan,.
Terkadang kamu lupa,
Ketika orang lain berada di posisi terpuruk,
Kamu datang memberikan dia pertolongan tanpa di minta,
Tapi seakan sia sia usahamu,
Dan kamu terbawa
Sekali lagi,
Kamu perlu ingat,
Tidak ada orang lain yang bisa menolong jiwa yang lainnya, selain pemilik jiwanya.
Hidup memang sebercanda itu,
Mau di tolong, tapi ndak siap di tolong.
Berhenti mencoba menolong mereka yang ndak mau di tolong.
Ya kayak kamu ini sekarang,
katanya butuh pertolongan.
Tapi nyatanya kamu yang gak siap di tolong.
Menuruni jalan turun itu memang lebih mudah dari pada menanjak naik, ke atas.
Akhirnya, memiliki jiwa penolong sama baiknya dengan siap di tolong.
Orang lain bisa menolongmu, tapi apakah kamu siap untuk di tolong?
Lagi lagi Tidak ada orang lain yang bisa menolong jiwa yang lainnya, selain pemilik jiwanya.
©MR | Yogyakarta 19
0 notes
Text
Bahwa segala cita-cita manusia yang sama.
"Untuk Menjadi Pribadi Lebih Baik Lagi"
Semoga kamu tahu baik seperti apa yang kamu butuhkan,
sehingga tiada prasangka lagi antara baik menurutmu dan menurut Nya.
Breakdown lagi spesifiknya menjadi "Lebih Baik yang Seperti Apa"
tidak gagal bangun pagi kah?
tidak lagi hidup dengan value orang lain kah?
tidak lagi bermindset 'yang penting sholat' kah?
biar gak merasa sudah naik level padahal (masih) diam di tempat.
bolehlah manusia merencana dan Allah memeluknya, memilihkannya, sekaligus mentakdirkannya.
seistimewa itulah manusia, namun
Ketika ditanya,
Mau merugi, beruntung atau celaka?
tak jarang
inginnya dan aksinya masih berbeda,
sungguh aku malu.
Semoga Apa Apa yang sedang diperjuangkan muaranya ialah Keridhoan & Rahmat Nya.
©MR | Yogyakarta 19.
0 notes
Text
Penolakan, perasaan & perempuan.
Kita akan mendalami makna penolakan. Sekiranya, sudah seberapa banyak penolakan yang menghampiri?
di dunia ini?
sekolah kenamaan,
kampus idaman,
beasiswa unggulan,
pekerjaan,
pertemanan,
event masa kini,
organisasi,
do'i?
orang tua?
alias (calon) mertua?
hiaaaa
hiaaaa
apa lagi kira-kira?
Apa kamu sudah mampu
menerimanya?
atau menolaknya?
Lantas kenapa?
Oiya,
setiap kepala pasti berbeda pengartiannya.
coba
masuk
sisi yang (lebih) dalam ya.
Tentang penolakan:
pada 60 detik kamu mendapat penolakan akan apa yang diinginkan,
pada 60 menit kamu melakukan penolakan terhadap penolakan itu,
pada 24 jam kamu masih melakukan penolakan akan penolakan- penolakan itu.
Dan kamu masih menolak penolakan itu
sampai hari ini.
kamu sedih,
kamu nangis,
kamu sesak,
kamu masih tidak terima,
Iya
Iya.
sebentar kamu pengen cerita
dan apa
"udah berfikir positif saja"
"sabar ya, aku lebih parah darimu"
"itu belum apa-apa, kamu masih mending"
pernah?
Iya
Iya
nyatanya itu yang sering kita terima,
sampai kata yang mana yang pernah kamu katakan?
satu
dua
tiga
atau semuanya?
Tentang Perasaan:
Mungkin rasa-rasa itu yang dirasakan.
(Sebagian) perempuan rasakan.
Entah, apakah lelaki sama?
bisa jadi tidak,
mungkin juga sama,
mungkin serupa,
dan
Itu gak papa.
sah sah saja,
manusia.
bagi (sebagian) perempuan hal semacam itu gak masalah,
gak ngefek
gitu.
tapi,
bagi (sebagian) perempuan,
atau malah (kebanyakan)
itu menyebalkan
itu menyesakkan
itu menyedihkan
sampai tahap mana kamu semengerti itu?
Tentang Perempuan:
Untuk hati mu wahai perempuan,
mulai perluas penerimaanmu,
entah pahit
entah manis
telan.
tiada penyembuh terbaik selain penerimaan.
Inagt, tidak semua yang kau inginkan terkabulkan.
tidak semua akan semengerti yang kau inginkan.
mulai sederhanakan keinginan.
keinginan untuk dimengerti.
ubahlah cara pandang hati,
untuk mengerti diri sendiri,
lebih mengerti untuk mengerti.
aihh belibet ya...
ya udah,
cukup kan.
Oiya ya, dunia ini didiami oleh macam warna manusia.
dan tiada yang lebih mengenali hati selain Sang Pemiliknya.
semoga apa apa yang sedang kau perjuangkan berakhir penerimaan.
dan apa apa yang telah menerimamu kau perjuangkan.
Penerimaan itu
Sakral.
Yogyakarta 19
0 notes
Text
Hujan Bulan L(n)ovember
Kehadiranmu seakan menjawab rindu yang terbendung dan sudah tak ada lagi ruang untuk menampung.
Tak ada yang se gembira malam ini, saat engkau hadir.
Menunggumu sebenarnya mengajarkanku, bahwa rindu tidak bisa di bunuh.
Walaupun dengan waktu.
Seperti mereka yang tidak pernah berheti berdoa, mengharapkan kehadiranmu.
Pun aku,
Yang tidak pernah pesimis dalam berdoa. Pun sekecil memohonkan semoga pagi esok gak males nyuci,
gak di rendem lagi.
Dan merelakan basah, kala engkau hadir di waktu yang benar benar engkau ingin membasahi.
Aku hanya berharap,
Semoga saat kau telah hadir,
Lebih sering,
Hujatan tidak teramat nyaring,
Kamu mengerti kan?
Pasti akan ada yang seperti itu.
Bagiku,
Hujan, yang menumbuhkan.
Hujan, yang menenangkan.
Hujan, yang membuatku berlama lama berdiam di ruangan.
Insyaallah, hujan satu November yang menguatkan.
1/11/2019
0 notes