Tumgik
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
2 notes · View notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 4 years
Photo
Tumblr media
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
KETENTUAN TERIMA KONTRIBUTOR PUISI
KETENTUAN PESERTA
1.    Peserta bersifat umum atau setiap orang boleh ikut kegiatan “Terima Kontributor Puisi”
2.    Wajib follow IG: @_diluarbatas dan subscribe youtube: Di Luar Batas (Bukti follow discreenshot dan dilampirkan saat pengumpulan karya dalam 1 file)
3.    Peserta pameran karya bersifat perorangan
4.    Peserta tidak dipungut biaya (gratis)
5.    Peserta wajib mengirimkan karya melalui email [email protected] dengan format subjek: Nama_Judul Puisi
KETENTUAN KARYA
1.    Peserta hanya diperbolehkan mengirimkan satu karya terbaiknya
2.   Batas pengumpulan karya tanggal 20 April 2020, pukul 23:59.
3.    Karya tidak mengandung hal yang dapat menyebabkan provokasi, unsur SARA, Pornografi, dan Politik.
4.    Karya belum pernah dipublikasikan serta belum pernah diikutkan lomba dan pameran
5.    Naskah puisi tidak lebih dari 1 halaman dan diunggah dalam bentuk word melalui attachment bukan ditulis di badan email.
6.    Ukuran naskah A4 margin normal font Times New Roman 12 spasi 1,5
7.    Naskah puisi bertema “100 Tahun Perjalanan Sastra Indonesia” dengan pilihan subtema berikut.
-Revolusi sastra Indonesia (perkembangan sastra Indonesia dari masa-ke masa)
-Sejarah sastra Indonesia (kilas balik atau catatan peristiwa penting dalam perjalanan sastra Indonesia)
-Masa depan sastra Indonesia (bayangan/mimpi bagaimana perkembangan sastra Indonesia ke depannya)
8.   Format Naskah
-Judul
-Nama Penulis
-Isi
-Titimangsa
-Biodata Narasi Penulis Maksimal 30 kata. (Biodata dapat ditulis pada halaman yang berbeda)
9. Kriteria Penilaian Puisi yang lolos Pameran
1.    Sesuai dengan tema dan ketentuan lomba
2.    Memiliki kebaruan dan orisinal
3.    Tidak mengandung unsur SARA dan ujaran kebencian
4.    Menggunakan diksi yang estetik/menarik
Ketentuan Pengiriman Pembacaan Puisi (khusus bagi tiga puisi terbaik)
1.    Wajib mengirimkan pembacaan puisi karyanya dalam bentuk video (Konsep video bebas)
2.    Durasi video maksimal 10 menit
3.    Pengiriman  video melalui email [email protected] dengan format subjek: Nama_Judul Puisi
Penghargaan
1.    Seluruh peserta yang karyanya sesuai dengan ketentuan akan mendapatkan E-Sertifikat 
2.    Peserta terpilih lolos untuk dipamerkan mendapatkan E-Sertifikat sebagai kontributor terpilih
3.    Akan dipilih 10 puisi terbaik untuk “Pameran Karya Sastra Online” yang akan diunggah di website tumblr Di Luar Batas dan  IG: @_diluarbatas, 10 puisi terbaik akan mendapatkan E-Sertifikat sebagai 10 puisi terbaik.
4.    Dari 10 puisi terbaik akan dipilih 3 puisi terbaik untuk dipamerkan pembacaan puisinya di  youtube: Di Luar Batas, 3 puisi terbaik akan mendapatkan E-Sertifikat sebagai 3 puisi terbaik.
Catatan:
1.    Keputusan dari panitia mutlak dan tidak dapat diganggu gugat
2.    Panitia berhak mediskualifikasi peserta apabila tidak sesuai dengan ketentuan
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Liburan semester ganjil baru saja dimulai, satu bulan lamanya. Dila mahasiswa semester 2 yang menempuh pendidikan diluar kota. Tepat tanggal 12 juni 2018 jam 04:42 hp Dila berbunyi ternyata ada sebuah DM instagram yang masuk. Dila mengambil hp segera,   melihat isi DM tersebut.
“Galau arek e” isi DM tersebut
Rupanya DM yang masuk dari Yoga, dia adalah kakak kelas Dila waktu SMA. Akhir-akhir ini memang dia suka mengomentari story instagram milik Dila.
“Engga e” jawab Dila membalas DM tersebut
“Percayalah memendam rasa rindu tak sesakit memendam rasa cinta. Loo wes tak jawab”  Yoga yang mengejek dina dengan emoji menutup mata
“percayalah cinta tak ada, jika tak ada rindu” Dila dengan santai dan emoji tertawa
“Engga aku ngga percaya. cinta itu bukan, kamu sudah makan apa belum? Tapi ayo temenin aku makan kamu pasti laperkan”  Yoga semakin mengejek
“Oke fine bisa diterima” seraya emoji mengejek
“Ayo dari kemarin libur, bosen di rumah, ayo jalan-jalan nonton aku yang ngajak” kata Yoga dengan ajakan mengajak Dila untuk jalan
Berlanjutlah pesan itu di wa, akhirnya Yoga menjemput Dila di rumahnya. Ketika itu jam 3 sore. Dila yang bingung mau pakek baju apa, karna itu kali pertama bertemu. Yoga memang kakak kelas Dila dari SMA, kenal waktu Dila mengikuti organisasi osis, tapi ketika itu hanya sekedar kenal dengan Yoga gak pernah jalan keluar bareng apalagi hanya berdua.
Tiba-tiba Dila keluar rumah dan ternyata Yoga sudah ada di sebrang jalan rumahnya.
“Kak...” seru Dila memanggil kak Yoga
Yoga menghampiri Dila di depan rumahnya dan memarkir motornya. “wahh ternyata tinggi” dalam hati Dila terheran, karna sudah lama nggak ketemu. Dia sudah rapi memakai kaos putih turun dari motor dan melepas helmnya, dan ternyata Dila baru sadar kalo bajunya sama warna putih padahal gak janjian. Kebetulan sekali di depan rumah ada ibunya Dila. Yoga bersalaman dan meminta izin mengajak Dila untuk keluar
“Ternyata dia berani minta izin ke ibuk, padahal baru sekali ketemu” dalam hati Dila terheran “sudah buk aku berangkat”
“ iyaa ti ati di jalan” sahut ibu Dila
Di atas motor dua-duanya saling diam
“ini mau kemana kita?” tanya Yoga ke Dila sambil tersenyum
“terserah kak yog, kan kak yoga yang ngajak hehehe” sahut Dila
Setelah selama 30 menit sampaila kita di cafe, kita milih tempat di ujung belakang tapi nggak terlalu belangkang. Sebenernya sih kita mau di tempat lantai 2 tapi katanya sudah dipesan. Bingung memulai percakapan dari mana.
“ehh kak kok kepikiran ngajak aku keluar kenapa?” tanya Dila santai
“iya soalnya mumpung libur karna gak ngapa-apa juga di rumah” jawab kak Yoga“ bagaimana dek kuliahnya lancar?”
“ iya kak lancar” jawab rima seraya tersenyum
“memang kamu kuliah dimana?”
“Malang kak”
“Kak yoga juga gimana kerjanya”
“iyaa lancar-lancar aja” sambil tertawa menjawab pertanyaan Dila.
Karna memang kak Yoga kakak kelasku waktu SMA jadi kita bahas masa-masa kita dulu waktu SMA, padahal waktu SMA kita gak pernah jalan bareng cuman kenal sebatasa teman Osis.
*Berjalan 11 bulan tepat 29 April adalah hari ulang tahun Dila
Tepat waktu menunjukkan pukul 00:00 aku menunggu ucapan dari kak Yoga tapi ternyata nggak ada. Tapi aku tahu dia tadi pamit kerja, karna sebelum jam 00:00 dia bilang kalo hari ini lembur sampe malem. aku tertidur karna menunggunya.
Tepat ketika jam 03:00 bunyi nada dering  Hpku berbunyi, aku angkat telfonnya ternyata kak Yoga dong....
“Keluar o aku didepan rumah....”
Kaget dong aku padahal dia baru pulang kerja belom tidur, karna jam 7 pagi dia harus kerja lagi. Tapi masih nyempe-nyempetin ke rumah.
“Masak iya di depan rumah? Sekarang?”
“iyaaa keluar o”...
Aku masih pakek baju tidur, masih ngantuk banget. Nyari jaket seadanya .aku ambil wkwkwk. Ternyata bener dia masih pakek baju kerja terharu banget, baru pertama kali disurprisesin jam segitu dan berani ke rumah langsung pula.
“sini tiupen lilinnya.. make wish dulu”
“Makasih... <3
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Apa itu rasanya pulang? Aku pernah mendengar pulang seperti tegukan teh hijau pada pagi hari. Hangat menyejukkan badan, namun tak berlebihan. Ada juga yang pernah berkata, bahwa pulang rasanya perih seperti irisan jeruk nipis yang tertancap pada kulit yang terluka. Sakit, tapi lucunya punya efek menyembuhkan. Tapi, apapun makna pulang itu, aku tetap pada spekulasiku. Bahwa pulang, dirasakan menyenangkan bagi setiap orang. Karena, pulang menandakan hati yang riang saat bepergian cukup lama di rantau orang.
Tanpa sadar jemariku menekan nomor handphone ayahku. Ia seakan tahu, kalau hati tuannya sedang dilanda rindu. Kumantapkan hatiku, dan menunggu sambungan panggilanku dijawab oleh ayahku............!!!!!!
“Yin ingin pulang, Yah.”
“Jangan pulang dulu, selesaikan urusanmu. Pulanglah dengan hati yang menang, jangan pulang jika kamu masih merasa kalah.”
“Ayah, Yin butuh pulang.”
“Jangan, tahanlah sebentar”, Kata ayahku lagi.
Aku terdiam, kutahan kristal putihku yang tertahan di kedua kelopak mataku.  Dalam benakku, jika kembali pasti membuat Ayah kecewa. Apalagi, Aku belum pernah membuatnya bangga.
“Assalamualaikum, apa kabar, Yin?” Disusul suara ibu, saat ibuku merebut handphone dari ayahku.
Getar kerinduanku makin betambah, saat kudengar suaranya dari balik telepon. Wajahnya bermain-main dalam pandanganku. Kulihat pelipis matanya yang mulai dihiasi kerutan. Binar matanya mulai samar-samar saat memandangiku. Namun, lengkung senyum ketulusannya tak pernah pudar dari wajahnya. Damai meneduhkan. Ia selalu tersenyum sumringah dalam segala keadaan.
“Alhamdulillah. Ibu gimana?”
“Alhamdulillah, Ibu sehat, nak.”
Setiap kali aku balik bertanya, ibu pasti selalu berkata bahwa keadaannya baik-baik saja. Padahal aku ingin sekali mengetahui bagaimana kabar hari – harinya yang ia lewati tanpaku dan yang paling terpenting adalah kabar hati ibuku saat ini. Karena kutahu, Ia memang pandai menyembunyikan keadaannya yang tentu tidak baik-baik saja.
“Yin, sudah maem?” Pertanyaan itu tidak pernah Ia lupakan.
“Sudah, Bu.”
“Tadi maemnya pakai apa?”
“Pakai capcay, celotehku tanpa basa - basi.”
Aku terpaksa berbohong. Aku hanya tidak ingin ibu khawatir. Sejak pagi tadi sampai menjelang sore aku masih diam di atas tempat tidur. Sekadar rebahan dan bermalas – malasan tanpa tahu harus berbuat apa. Aku mencoba membaca buku, namun otakku tak menyerap isi di dalam buku itu. Pikiranku tak bisa diajak kompromi karena kejadian kemarin selalu bermain – main dalam benakku. Pengalaman pahit itu selalu menghantuiku. Aku berusaha mencoba melupakan kegagalanku. Kegagalan setahun lalu yang pernah kualami dalam perlombaan yang sama.  Hal itulah yang membuat semangatku luluh lantah. Aku beranjak dari tempat tidur hanya untuk menunaikan ibadah salat saja. Aku berharap, setelah curhat kepada – Nya hatiku dapat membaik.
 “Yin, lagi apa?”, suara Ibuku mengaitkan lamunanku
“Nggak lagi nga-ngapain, Bu.”
“Gimana lombanya kemarin?”
Pertanyaan ini terasa menohok sekali. Seolah ibu tahu bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Mungkin benar, bahwa firasat seorang ibu kepada anaknya sangatlah kuat.
“Maaf, Bu. Kemarin Yin nggak sempat ngabari. Yin sampai kos malam sekali. Maaf, Bu. Yin belum bisa buat Ibu sama Bapak bangga, Yin gagal lagi.”
“Nggak apa-apa,” ujar ibuku. “Walaupun belum juara, setidaknya kamu sudah mau berusaha. Semangat ya, nak. Jangan pernah putus asa. Kalah menang itu biasa, yang penting kamu punya pengalaman yang meski gagal tapi masih mau berusaha untuk mencoba lagi, lagi, dan lagi. Semangat terus dan pantang menyerah yah, Yin.”
Tiba – tiba bulir bening mataku jatuh tak terelakan. Kata-kata ibu seakan obat penawar bagi hati yang sempat kecewa. Kecewa karena kegagalanku terulang dalam sebuah perlombaan yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Pelan-pelan,semangatku terangkai kembali setelah mendengar nasihat bijak dari ibu.
“Ibu, doain Yin ya, Bu?”
“Pasti. Bahkan tanpa kamu minta, sudah Ibu doakan.”
Lagi-lagi kata ibu membuatku mengalirkan air mata. Seketika aku membayangkan ibu hadir dalam kesedihanku, menghiburku dengan dongeng-dongeng menjelang tidur yang ia pernah ceritakan ketika aku kecil dulu.
“Ya sudah, tugas-tugas kuliahnya jangan lupa segera dikerjakan.”
“Baik, Bu. Yin janji akan selalu mematuhi perintah ibu”.
Ibu menutup teleponnya. Padahal aku ingin sekali benar-benar memastikan kabarnya, masih ingin menanyakan hari ini Ia memasak apa. Menanyakan bagaimana kabar adik-adikku. Aku masih ingin mendengar suaranya lebih lama lagi, mendengar satu dua cerita tentang harinya yang bahagia atau barangkali yang membuatnya menjengkelkan.
***
Aku masih asyik  berkutat dengan ponselku, membalas chat yang masuk, menyimak grup kelas yang sedang membahas tugas untuk besok, dan bolak-balik membuka akun instagram hanya sekadar melihat snapgram para followers. Aku kembali membuka whatsapp, dan tidak sengaja membuka grup keluarga. Ternyata ada beberapa pesan yang belum kubaca. Aku menemukan dan membaca pesan dari ayah dengan kata - kata puitisnya, ternyata pesan itu ayah tulis sebelum keberangkatanku ke medan perlombaan.
Kata perkata kurakit menjadi kalimat, kalimat perkalimat kurakit menjadi bait.
Narasi kemenangan di setiap bait. Semangat berjuang dan bangkit.
Makna kemenangan bukan juara, namun juara adalah hasil perjuangan.
Panggung yang hakiki adalah ikhlas dan ridho.
Selamat berjuang doa-doa menyertaimu.
Ayah memang jago berpuisi atau sekadar membuat kata-kata indah. Dulu ketika di rumah, aku  pernah menemukan buku yang berisi beberapa puisi yang ayah tulis. Keindahan bahasanya melampaui anak sulungnya yang kuliah di jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Kemahiran ayah menurun pada sosok si Sulung. ‘Buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya’. Pepatah lama yang tepat untuk menggambarkan keduanya. Aku tersenyum sambil menahan kerinduan saat kubaca tiap bait yang beralaskan makna. Sejenak, Aku ingin pulang untuk sekadar bercengkrama dengan ayah dan ibu. Bercanda gurau dengan adik - adikku. Melupakan tugas kuliahku, serta kegagalan yang baru saja kualami.
Pada akhirnya, aku menemukan bahwa pulang itu memiliki makna yang terdalam seperti spektrum warna yang beragam coraknya. Terkadang berwarna kuning, menyenangkan seperti sinar baskara pagi. Terkadang berwarna putih, menyembunyikan kegetiran di belakang definisi suci untuk sedakar dimaklumi. Semua mungkin ditentukan dengan bagaimana orang-orang menyambut kepulangan. Sebagian ada yang tidak sabar hingga mereka mati-matian. Sebagian yang lain penuh harap cemas menanti kepulangan walau masih sebatas angan. Seperti kepulanganku yang dapat bermakna kekalahan dan kegagalan atau bisa saja disambut helaan kebahagiaan. Tapi tidak apa, semua spektrum warna itu tidak selalu sama bukan? Jadi, aku takkan  terpuruk dalam lubang kenanganku karena takkan mungkin aku temukan jalan pulangku. Aku tak akan memikirkan hal buruk tentangku di masa lalu, tapi aku jadikan ia sebagai pelajaran bukan bebanku. Karena Tuhan pun tahu, telah ku temukan muara untuk berlabuh.
2 notes · View notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Di sebuah kota perantauan terdapat dua anak manusia yang menjadi teman kos, mereka sama-sama merantau ke kota tersebut untuk menempuh pendidikan, jauh dari rumah masing-masing. Terlihat semua baik-baik saja meskipun sama-sama berasal dari jawa timur tetapi ada beberapa bahasa mereka yang ternyata berbeda dan membuat kesalahpahaman, sebut saja mereka adalah ayu dan indah.
Di hari minggu yang cukup cerah namun tidak terlalu panas mereka menikmati hari libur itu untuk bermalas-malasan di kos. Pertemanan mereka cukup akrab meski masih terbilang baru menginjak beberapa minggu sebagai teman kos. “hee umak betah ndak di Malang?” (heh kamu betah gak di Malang) tanya ayu sambil memainkan hp nya di tempat tidur.
Indah hanya menengok melihat ke arah Ayu sambil mengerutkan dahi. “kalo aku ndak betah wes ku tinggal dirimu, yu.” Ungkap indah seraya diberikan anggukan kecil oleh Ayu. “Percuma duwitku  seng wes tak tokne, iso-iso dihapus tekan KK aku kuliah gae dulinan tok” (percuma uang yang aku keluarin, bisa-bisa dihapus dari kartu keluarga aku kalau kuliah cuma buat main-main) tambah Indah pada Ayu.
“eh ayuk nikah aja, gak usah ngetokne uang lagi deh” (eh ayo nikah aja, gak perlu ngeluarin uang lagi) tiba-tiba Ayu dengan mudahnya membahas tentang pernikahan yang akhirnya menjadi bahan ghibah mereka dalam kos. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Indah menggerutu sendiri “duh, sih Paijo lagi kumat, yaudah nikah gih ku tunggu undangannya”.
“tunggu dulu dong, calonnya masih nyelip nih” gerutu Ayu yang membalas perkataan Indah. “dipikir buku kali bisa nyelip-nyelip” timpal Indah pada Ayu yang membuat keduanya akhirnya tertawa bersama. Mereka memang sering berdebat dan bertengkar tetapi hal itu justru yang membuat keduanya makin tidak bisa terpisahkan, apalagi perdebatan mereka kadang tidak masuk akal.
Tiba-tiba indah merasakan hal aneh pada tubuhnya, hingga tidak dapat dideskripsikannya. Setelah ia menjawab pertanyaan dari Ayu tadi Indah hanya diam dan mendengarkan temannya itu bermonolog sendiri. Dari tadi Ayu hanya mengoceh sendirian tanpa ditanggapi oleh Indah. Ayu merasa ada yang aneh dengan teman satu kosnya itu, tidak biasanya ia diam tanpa menanggapi ocehannya itu.
“umak iku lapo toh, kok meneng wae kaet mau?” (kamu itu kenapa sih kok diam saja dari tadi?”) tanya Ayu heran. Ayu merasa teman satu kosnya itu sedang kesambet makhluk halus yang mendiami kamarnya itu. Pasalnya temannya itu anti sekali dengan yang namanya diam berlama-lama, maklumlah mereka adalah tipe orang yang diam di luar tapi berisik di dalam, mereka juga tipe orang yang gampang bergaul dan akrab dengan orang lain. Hanya saat keduanya berkumpul keramaian itu muncul.
Di sisi pikiran yang lain Indah tengah berpikir bagaimana cara agar rasa magernya (malas gerak) itu bisa sedikit keluar dari dirinya, agar rasa aneh yang ia rasakan mampu terkendali. Ya benar saja, ternyata pemikiran kedua anak manusia itu berbeda.
“umak kesambet tah, Ndah?” ( kamu kesurupan ya, Ndah?) tanya Ayu pada Indah. “setane kan umak seh, Yu” (setannya kan kamu Yu) canda Indah membalas Ayu. Pada akhirnya Indah memberitahukan apa yang dirasakannya pada sahabatnya itu. “aku lesu, Yu. Makane gak kuat ngomong” (aku lapar, Yu. Makanya tidak kuat bicara) ucap Indah dengan nada rendahnya. “wah pantesan nih anak diem aja” batin Ayu yang tak bisa didengar oleh Indah.
Kedua anak manusia itu memiliki pemikiran sendiri-sendiri sekarang. “aku tau, yowes tak belikan sesuatu yah biar ndak lesu lagi” (aku tahu yaudah aku belikan sesuatu biar tidak lapar) tiba-tiba Ayu menyeletuk. Dalam batinnya Indah sangat amat bahagia ketika Ayu berbicara seperti itu kepadanya, ia berpikir hanya mengkode seperti itu saja yang diinginkannya bisa dibelikan oleh Ayu. Pikirnya betapa temannya itu sungguh baik padanya.
Ayu akhirnya pergi berpamitan pada Indah pergi keluar membelikan sesuatu yang akan membuat Indah menjadi bersemangat lagi seperti biasanya. “aku pergi dulu yah, Ndah. Tenang nanti kamu gak lesu lagi” kata Ayu sambil bersiap-siap akan keluar dari kamar kos mereka. Kamar mereka memang terletak di lantai 2, maka dari itu jika ingin keluar kos harus turun ke lantai 1 terlebih dahulu. “iya, hati-hati duh makin sayang sama Ayu deh” goda Indah pada Ayu. “dih giliran gini aja ngomongnya gitu” maki Ayu sambil melangkah keluar. “Assalamualaikum” yang dibalas oleh Indah “waalaikumsalam”.
Waktu telah bergulir lama, entah kenapa Ayu belum kembali sejak tadi padahal setahu Indah warung makan atau tempat makan tidak begitu jauh dari tempat kos mereka. Bahkan untuk berjalan kaki saja ke tempat makan biasanya tidak ada 15 menit tetapi justru temannya itu belum juga kembali. Benar sekali lesu yang dirasakan Indah sebenarnya adalah rasa lapar, ia merasakan hal aneh pada tubuhnya karena perutnya keroncongan hingga membuatnya terlihat lemas. Indah mengira Ayu akan dengan sukarela membelikannya makanan mengingat tempat makanan tidak jauh. “ini anak beli makan di Cina kali ya, terus ketemu Corona gak balik-balik malah hidup bahagia di sana tuh sih Ayu.” Batin Indah. Ia masih berpikir apa mungkin tempat makan yang didatangi Ayu sangat ramai, tapi ia yakin bahwa Ayu akan membelikannya makanan.
“assalamualaikum” tiba-tiba muncullah orang yang dinanti-nantikan Indah sedari tadi. “waalaikumsalam” jawabnya cepat. Indah bingung kenapa Ayu tidak membawa apa-apa di tangannya, bahkan tangannya terlihat kosong tidak memegang apapun. “kok lama banget kamu keluarnya, Yu?” tanya Indah penasaran. “iyalah lama, tempate adoh loh” (tempatnya jauh).  Tiba-tiba Ayu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya “nih, kanggo kowe supoyo ndak lesu mane” (nih, buat kamu supaya tidak lapar lagi) Ayu memberikan itu sambil tersenyum polos pada Indah. Ada tanda tanya besar yang menyelimuti otak Indah pada saat Ayu mengeluarkan suatu yang dibelinya tadi. “Yu kowe dungakno aku loroh ta yo?” (Yu, kamu doain aku sakit ya?) tanya Indah pada temannya itu. “piye, aku baik kan nukokne iku gae kowe?” (gimana, aku baik kan membelikan itu buat kamu?) saut Ayu bangga sambil melihatkan senyumannya pada Indah. Seketika Indah langsung menepuk jidatnya itu, sungguh ia merasa amat kesal pada temannya yang terlihat polos itu.
“aku lesu Ayu, ora anemia. Darahku masih full ini” (aku lapar Ayu, bukan Anemia. Darahku masih penuh ini” geram Indah saat itu. “lah benerkan lemes, letih, lesu” kekeh Ayu. Mereka berdua sama-sama saling pandang. “Lesu itu lapar Ayu, ndak darah rendah” jelas Indah. “lah salah sendiri gak ngomong yang jelas, ngerti ku kan itu gejala darah rendah. Ya aku beliin aja kamu obat itu biar gak lesu lagi” jawab polos dari Ayu dan Indah hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka berdua memang sering bertengkar dan beradu argumen yang terkadang itu tidak penting untuk dibahas dan disimak. Sejujurnya pertemanan seperti itulah yang menjadikan mereka makin dekat dan melebihi keluarga sendiri.
 #Cerpen #Sastra
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Pagi itu matahari kembali terbangun dari horizon, seperti sebagaimana mestinya, setelah kemarin¾selama tiga hari berturut-turut¾hanya ada hitam, gelap, dan malam. Bahkan peristiwa yang rutin terjadi setiap tahunnya itu terlalu eksentrik untuk mereka, untuk kaum mereka.
           Puluhan derap langkah kaki yang tergesa-gesa bergemuruh deras seakan mereka hendak memanggil badai dan mengusir matahari kembali ke peraduan barat. Para murid bergegas menuju kelas Sejarah, bukan, bukan sejarah kalian para manusia, melainkan sejarah kaum-kaum mereka:
witch dan warlock, ahli sihir;
banshee, pembawa pesan kematian;
nephilim, setengah iblis, setengah malaikat;
faerie, makhluk bersayap;
nymph, roh alam;
vampire, penghisap darah;
lycan, manusia serigala.
           Lelaki tua dengan dua tanduk sewarna karbon di kepalanya yang sangat kontras dengan rambut silvernya itu bangkit dari kursinya dan memulai pelajaran tanpa peduli apakah semua murid telah hadir di kelasnya.
G H O S T S .
           Tulisnya dengan spidol merah (barangkali untuk menambah kesan menyeramkan, entahlah, tak ada satupun jiwa yang tahu) di papan tulis selebar 240 centimeter itu. Seorang gadis berambut cokelat dengan pakaian dan aksesoris serba hijau yang duduk di barisan nomor dua dari depan mengacungkan tangan,
“Sir, mohon maaf tetapi saya ingin bertanya,”
Sang Nephilim pun menghentikan aksi menulisnya dan berbalik menatap ke sumber suara, “Aku bahkan belum memulai pelajaran hari ini, tapi kau sudah mempunyai pertanyaan,” ujarnya dengan nada mengeluh,
“Tapi baiklah, silakan bertanya, Ms. Macbeth.” lanjutnya.
Dengan sedikit ragu ia pun bertanya, “Apakah tidak terlalu cepat jika kami harus mempelajari tentang hantu setelah insiden kemarin, Sir?”
Seisi kelas bergumam setuju akan perkataan gadis itu, namun tidak dengan seseorang yang baru saja menuliskan  G H O S T S di papan tulis, “Tidak ada hal yang terlalu cepat, terlebih lagi untuk kalian, kalian harus terbiasa dengan hal ini,” ujarnya yang lalu kembali menuliskan materi di papan tulis, “tulis dan catat!” serunya yang diikuti dengan suasana hening kelas pagi itu.
Sepasang iris emerald memindai seisi ruang kelas, mencari-cari keberadaan gadis berambut lilac yang berteman dengan hantu di seisi Scarlet Falls Academy, tetapi ia tak ada di ruang kelas sejarah membosankan itu. Ia tak pernah melewatkan kelas¾tidak satu pun, pasti ada sesuatu yang tidak beres batinnya. Ia berusaha membuang segala kemungkinan negatif yang barangkali terjadi pada gadis itu saat ini dan memutuskan untuk menyelami sejarah membosankan namun cukup mengerikan mengenai segala jenis hantu yang dipaparkan oleh Sir Alder.
 ***
 “…dan tugas kalian untuk pertemuan minggu depan adalah mengidentifikasi jenis-jenis hantu yang kalian temui di Scarlet Falls¾dan kalian semua wajib menemukan!” seru Sir Alder sebagai tanda akhir dari kelas Sejarah hari itu.
Ia bergegas membereskan buku catatannya yang sedikit berserakan di meja, lalu bersiap untuk keluar dari ruangan itu untuk sekadar mengecek keadaan gadis itu¾sampai sebuah tangan menepuk pundaknya, “Kau mau kemana? Terburu-buru sekali,” celetuk Aiden yang menyadari bahwa temannya sedikit tergopoh-gopoh seakan ia sedang dikejar oleh hantu yang paling mengerikan di akademi¾atau sesederhana gelisah akan keadaan si pemanggil hantu itu sendiri.
Ia menggaruk tengkuknya, tidak yakin dengan apa yang akan ia katakan selanjutnya, “Baiklah, ini akan terdengar sangat aneh…, tapi aku harus ke asrama perempuan sekarang juga,” ujarnya mengharap tidak mendapat respon yang salah dari Aiden¾sampai akhirnya ia benar-benar kecewa dengan respon temannya itu,
Matanya melebar, barangkali sedikit terkejut¾atau sangat, “Apa yang kau-”
“Kurasa ada sesuatu yang salah dengan Aelyn, dia tidak pernah melewatkan kelas sekali pun,” potongnya sebelum Aiden menyelesaikan ucapan delusifnya.
Aiden memicingkan matanya, “Tidak terlalu meyakinkan, tapi baiklah. Boleh aku ikut?”
Namun, sebelum ia menolak permintaan Aiden, “Ya! Tentu saja, Aiden. Kau, kan, teman baikku,” lanjutnya, “Ya ampun, Raivel. Terima kasih banyak, aku sungguh tersanjung!” lanjutnya lagi, dengan nada yang sangat dibuat-dibuat dan Raivel hanya memberinya tatapan baiklah-terserah-apa-katamu-saja.
Mereka berjalan di sepanjang koridor yang menghubungkan main hall dengan asrama perempuan, tak ada seorang pun yang berlalu lalang di sepanjang koridor itu kecuali mereka, barangkali para murid sedang melepas penat di kafetaria setelah pelajaran sejarah yang membosankan setengah mati itu.
“Sudah sampai,” celetuk Aiden ketika koridor yang mereka lalui terhenti di depan sebuah pintu mahogany setinggi 4 meter dengan tulisan Girls Dorm di atasnya, “Kau yakin akan masuk kesana? Jelas-jelas kau tahu kalau kau tidak boleh-”
“Screw the rules, Aiden.” ujar Raivel sebelum Aiden menceramahinya dengan daftar ratusan larangan tertulis Scarlet Falls.
           Mereka pun membuka pintu asrama perempuan yang diikuti dengan bunyi kriiiekk yang berkepanjangan, mereka telah menyiapkan keberanian untuk menerima mantra-mantra terkutuk yang akan dilemparkan oleh para murid penyihir perempuan yang menyadari keberadaan mereka, namun yang mereka temukan hanya sunyi, tak seorang pun berada di common room. Mereka pun bergegas menaiki anak tangga di ujung ruangan menuju lantai dua¾deretan kamar para murid perempuan.
“Aku bisa saja membuka semua deretan pintu kamar ini dengan pikiranku, tapi itu akan terkesan sangat barbar,” celetuk Aiden yang dibalas dengan tatapan sinis Raivel.
“Atau kau bisa menggunakan kemampuan psychometrymu,” lanjut Aiden.
“Itu akan sama barbarnya dengan ide pertamamu,” ucap Raivel.
Mereka pun berpikir bagaimana caranya untuk menemukan kamar Aelyn dengan cara yang tidak barbar sama sekali, dan tentunya tanpa tertangkap basah oleh siapapun, namun sedikit mereka ketahui, seseorang telah memantau mereka sedari tadi,
“Hei!” seru seseorang yang seakan langsung mencabut roh dari tubuh fana mereka.
           Raivel dan Aiden menoleh dan mendapati seorang gadis berambut hitam sebahu dengan seekor laba-laba kecil di telapak tangannya, Elle, “Apa yang kalian lakukan? Kalian tidak seharusnya di sini!” serunya.
“Eh.., kami hanya ingin mengecek keadaan Aelyn, dia tidak masuk di kelas Sejarah tadi pagi, dan yah…,dia tidak pernah melewatkan kelas sebelumnya,” jelas Raivel.
Elle mengembuskan napas kesal, “Tetap saja, kalian tahu peraturannya,”
Raivel dan Aiden menatap satu sama lain, berpikir bagaimana caranya agar Elle mau menutup mulutnya dan membantu mereka, “Bisakah kita membicarakan ini nanti saja? Aku mendapat firasat yang buruk tentang Aelyn, dia bisa saja dalam bahaya,” mohon Raivel agar Elle mau bekerjasama dengannya.
“Baiklah, baiklah. Kalian berhutang padaku!” ujar Elle yang lalu menuntun mereka menuju kamar Aelyn. Beberapa kali ketukan, namun tidak ada jawaban seakan tak ada seorang pun di dalam. Elle pun mencoba membuka pintu kamar Aelyn namun pintu itu terkunci, “Sepertinya ia tidak di dalam,” ucap Elle sambil menggidikkan bahunya.
Namun Raivel masih bersikeras bahwa Aelyn pasti ada di sana, entah apa yang membuatnya begitu yakin, ia hanya tahu, “Mungkin kau bisa ‘mengomando’ laba-labamu itu untuk memantau dari lubang kunci, kau tahu…barangkali?”
“Kalian SANGAT berhutang padaku,” lalu Elle memejamkan matanya, memerintah laba-laba kecilnya untuk merayap menuju pintu dan memantau keadaan di dalam ruangan itu hanya dengan menggunakan pikirannya.
Elle membuka matanya dengan tatapan ngeri, “Kau benar, kurasa ia sedang dalam bahaya,”
“Kau rasa?”
“Maksudku, aku melihat Aelyn bersembunyi di balik selimutnya, ada banyak hantu yang mengelilinginya. Aku tahu bahwa kemampuan Aelyn adalah untuk mengendalikan hantu, tapi aku yakin bahwa ia terlihat sangat ketakutan di dalam sana,”
Raivel menoleh pada Aiden, “Kau tahu apa yang harus kau lakukan,”
Aiden mengarahkan tangan kanannya pada pintu kamar Aelyn, telapak tangannya terbuka dan jemarinya gemetar seakan berusaha memecahkan kode kombinasi kunci pada pintu itu, ia memfokuskan pikirannya untuk membuka pintu itu. Buka, buka, buka. Lalu pintu itu terdorong terbuka tanpa ada seorang pun yang menyentuhnya¾secara fisik.
Mereka lantas menghambur memasuki ruangan itu, ruangan itu dikelilingi dinding berwarna ungu pucat¾sewarna dengan rambut lilac Aelyn, dengan rak buku di ujung ruangan yang terisi dengan berbagai buku yang ditata rapi sesuai dengan warna covernya. Benar apa yang dikatakan oleh Elle, Aelyn bersembunyi di balik selimutnya seakan memohon pertolongan agar seseorang­¾siapapun itu¾dapat mengusir hantu-hantu yang mengepungnya sekarang. Anehnya, hantu-hantu itu tak mengusik kehadiran Raivel, Aiden, dan Elle sama sekali, roh-roh pucat dengan mata gelap dan tatapan kosong itu hanya terdiam di posisinya yang mengelilingi tempat tidur Aelyn.
“Mengapa mereka tidak bergerak satu inchi pun dengan kehadiran kita di sini?”
“Kurasa satu-satunya yang bisa menjawab pertanyaanmu hanya Aelyn, mengingat dialah yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan roh-roh ini¾walaupun itu terlihat cukup tidak meyakinkan untuk sekarang,” ucap Aiden yang terdengar tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
           Raivel berjalan menerobos satu hantu yang berdiri (tentu saja tanpa menapakkan kakinya!) di kanan tempat tidur Aelyn dan berusaha membujuk gadis itu untuk keluar dari persembunyiannya dan menjelaskan tentang misteri siapa-hantu-hantu-yang-menatapnya-kosong-dan-seakan-tak-mau-meninggalkan-kamarnya ini.
           Oh, dan ya, Raivel benar-benar “menerobos” hantu itu, secara teknis tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh roh-roh mati itu, kecuali mereka yang memutuskan untuk menyentuhmu secara fisik­ (ya, walaupun “secara fisik” terdengar kurang tepat mengingat mereka tidak memiliki tubuh fana) atau jika kau adalah Aelyn Archers, dia satu-satunya yang mampu membuat kontak fisik dengan roh manapun, bahkan memanggil mereka dan memerintah mereka untuk melakukan sesuatu.
           Aelyn terus memejamkan matanya dan tubuhnya gemetar seakan ia sedang demam tinggi, namun suhu tubuhnya normal ketika Raivel menyentuh tangan gadis itu, “Aelyn, kau bisa mendengarku? Ini aku, Raivel. Kita harus keluar dari sini secepatnya, kumohon. Aelyn…?”
           Ia perlahan membuka matanya, sedikit heran bagaimana Raivel dan dua temannya yang lain dapat memasuki kamarnya, karena ia sangat yakin bahwa ia telah mengunci pintu kamarnya. Barangkali Raivel, Aiden, dan Elle harus menjelaskan aksi barbar mereka “mendobrak” pintu kamar Aelyn setelah masalah ini selesai nantinya.
“M-mereka terus mengikutiku,” ucap Aelyn terbata-bata, ia tidak pernah sekalut ini dalam menghadapi roh-roh di Scarlet Falls, pasti ada sesuatu yang benar-benar salah.
“Dan kita harus keluar dari sini secepatnya, bisakah kau bangun?” ucap Raivel yang lalu membantu gadis itu bangun dari persembunyiannya dan berjalan keluar dari ruangan dengan lingkaran roh mengerikan itu, entah mengapa mereka masih saja tidak bergerak, yah, setidaknya itu adalah hal yang bagus karena kini mereka tidak mengikuti Aelyn. Aiden langsung menutup pintu kamar Aelyn dengan kekuatan pikirannya begitu mereka berempat keluar dari ruangan itu, “Kau tahu? Aku bisa menutupnya dengan cara yang normal tanpa perlu menimbulkan aksi yang terlalu mendramatisir sepertimu,” celetuk Elle sambil menghela napas kesal.
           Raivel menuntun Aelyn menuju sofa yang terletak tak jauh dari kamarnya dan membiarkan gadis itu duduk sejenak untuk menenangkan dirinya, ia duduk berlutut dihadapan gadis itu dan tetap menggenggam kedua tangan Aelyn, kemampuan psychometrynya membuatnya mampu merasakan apa yang dirasakan gadis itu, segala rasa ngeri yang datang dari roh-roh itu, “Semuanya akan baik-baik saja,”
           Aelyn menggelengkan kepalanya, “Tidak, mereka akan terus mengikutiku. D-dan…dan mereka terus memintaku untuk membebaskan mereka,”
“Membebaskan mereka?”
“Ya. Tapi aku tidak memiliki kekuatan sebesar itu untuk membebaskan mereka semua secara langsung, walaupun jika aku bisa, aku tidak tahu caranya karena mereka bukan roh-roh dari Scarlet Falls,”
“Lalu darimana mereka datang?”
“Neraka, mereka datang dari dimensi gelap yang tidak sengaja dibuka oleh portal milik Maddy Macbeth tiga hari yang lalu, mereka terjebak di sini,”
           Tiga hari yang lalu terjadi sebuah gerhana bulan yang berlangsung selama tiga hari lamanya, tiga hari yang dipenuhi dengan kegelapan dan hanya kegelapan. Maddy mengelilingi akademi melalui dimensi gelapnya¾ya, kemampuannya adalah berteleportasi melalui kegelapan¾dan ia tidak sengaja menemukan gerbang neraka yang terbuka di ruang bawah tanah Scarlet Falls, ketika ia keluar dari dimensi gelapnya, entah bagaimana, beberapa roh dari neraka mengikutinya dan kini mereka terjebak di Scarlet Falls, itulah mengapa mereka meminta pertolongan Aelyn untuk membebaskan roh mereka yang terjebak di tempat ini. Bahkan sebelum terjadinya insiden hantu-yang-terjebak-di-Silver-Oak ini, Maddy sempat dirasuki oleh salah satu roh yang mengikutinya dan menyebabkan ia lepas kendali dan menjahili seluruh murid di Scarlet Falls selama gerhana berlangsung, mengingat kemampuannya adalah berteleportasi melalui kegelapan.
           Raivel menoleh pada Aiden dan Elle, bertanya-tanya barangkali kedua temannya itu memiliki ide untuk menyelesaikan masalah ini, tapi tak seorang pun dari mereka yang memiliki jalan keluar.
“Apa kau sudah mencoba bertanya pada mereka bagaimana caranya untuk membebaskan roh-roh tersesat mereka dari tempat ini?”
“Belum, mereka terlalu sibuk membisikkan tolong, tolong, dan tolong kepadaku terus menerus, kurasa aku hampir kehilangan akal sehatku,”
“Mengapa kau tidak mencoba menanyakan hal itu pada mereka sekarang? Maksudku, kau yang memegang kendali akan hal ini, tak ada seorang pun di Scarlet Falls yang mampu mengendalikan mereka kecuali kau, dan aku yakin bahwa kau bisa membuat mereka patuh dan mendengarmu seperti biasanya¾ya, walaupun mereka bukan benar-benar roh dari Scarlet Falls­¾tapi aku yakin kau bisa, aku tidak tahu bagaimana aku bisa begitu yakin mengenai hal ini, tapi aku percaya padamu, Archers,” ucap Raivel, sepasang iris emerald itu bertemu dengan sepasang iris sapphire milik Aelyn, berharap menemukan setitik keberanian dan keyakinan di balik sana.
           Aelyn beranjak dari duduknya, “Kau benar, aku yang memegang kendali,” ucapnya yang lalu berjalan menuju depan pintu kamarnya yang tertutup, matanya terpejam,  kedua tangannya bergerak gestur yang mistis seakan ia sedang memanggil hantu-hantu itu¾yah, memang itu yang sedang ia lakukan. Kelopak matanya terbuka dan binar ungu terang memancar dari matanya, satu persatu hantu “berjalan” menembus pintu kamar Aelyn dan mereka membentuk sebuah barisan, gadis itu bergiliran menanyai hantu-hantu itu satu persatu mengenai bagaimana caranya ia dapat membebaskan mereka dari Scarlet Falls.
           Selang 10 menit atau lebih, Aelyn selesai dengan “sesi tanya jawab”nya dengan para hantu itu, ia pun berjalan menuju Raivel, Aiden, dan Elle yang sedari tadi menunggunya di sofa, “Aku tahu bagaimana cara membebaskan roh mereka,”
 ***
             Aelyn berjalan memasuki perpustakaan Scarlet Falls, ia berjalan melalui lorong buku-buku pertahanan sihir, lalu belok ke kanan menuju lorong buku-buku sejarah Banshee, sampai akhirnya lorong itu menuntunnya pada ruang tengah perpustakaan yang terdiri atas sofa-sofa merah marun yang tertata rapi di depan sebuah perapian bergaya kuno dengan warna krem dan aksen hijau tua, di atas perapian itu berjajar beberapa vas keramik dengan berbagai macam warna, tapi yang ia butuhkan hanyalah satu, yang berwarna coklat keemasan yang terletak di ujung kiri. Ia pun menarik salah satu sofa itu mendekati perapian dan menaiki sofa itu untuk meraih vas berwarna coklat keemasan yang terletak lumayan tinggi itu. Ia merogoh isi vas itu dan menemukan patahan-patahan tulang rusuk yang tak lain adalah milik salah satu roh yang terjebak di Scarlet Falls.
           Aelyn, Raivel, Aiden, dan Elle berpencar di seluruh penjuru Scarlet Falls untuk menemukan tulang belulang roh-roh itu agar mereka bisa membebaskan para roh tersesat itu dari tempat ini. Untungnya, roh-roh itu dengan senang hati menunjukkan dimana saja letak tulang belulang mereka yang tersembunyi di tiap sudut akademi. Selang beberapa jam, mereka bertemu di bawah pohon ash di halaman belakang Scarlet Falls. Masing-masing dari mereka membawa satu karung berisi potongan tulang para roh itu, dan Aiden juga membawa sekop yang ia temukan di gudang akademi.
“Kau yakin akan menguburnya di sini?” tanya Raivel untuk sekadar memastikan.
“Ya, tepat seperti apa yang mereka katakan, di bawah pohon ash di halaman belakang Scarlet Falls,”
           Aiden pun mulai menggali tanah yang cukup dalam untuk mengubur tulang belulang roh-roh yang tersesat itu, setelah mereka menyelesaikan pekerjaan mereka mengubur tulang para roh itu dengan layak¾seperti yang para roh itu pinta sebagai syarat pembebasan mereka dari akademi¾mereka kembali memasuki akademi dan tak menemukan satu pun dari roh itu yang masih berkeliaran di sepenjuru Scarlet Falls.
  “Nothing is ever as simple as it seems. At the egde of perception, weird things dance and howl.”
 M.H. Boroson
 Malang, 2 Maret 2020
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Suatu hari, di suatu sekolah menengah atas yang bernama SMA Negeri 1 Kateman akan segera mengadakan penghijauan, menanam pohon di sekitar halaman sekolah yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Andi, selaku ketua kelas XI IPA 2 yang mengetahui hal tersebut terlebih dahulu, bergegas pergi ke kelasnya untuk memberitahu teman-teman sekelasnya.
Andi masuk ke ruangan kelas. “Hai, teman-teman semua! Mohon perhatiannya sebentar!” Andi melambaikan tangan dengan intonasi suara yang lantang, lantas membuat suasana senyap seketika dan teman-teman lainnya pun menoleh ke arahnya. “Kita mendapatkan instruksi dari kepala sekolah bahwa kita akan segera mengadakan penghijauan dengan menanam pohon di halaman sekolah besok
Jadi, diharapkan kalian semua membawa tanah ya! Per orang, hanya satu karung”. “Yah… bawa tanah terus nih…” jawab Dika yang langsung memasang muka malas. “Hmmm… iya, eh? Tapi asyik jadi gak belajar deh besok!” ucap Riko senang, Dika yang mendengar ucapan Riko, wajahnya pun berubah menjadi senang. Lantas, membuat seisi kelas menjadi heboh.
“Sudah… Sudah! Lanjutkan belajar lagi!” ucap Andi menenangkan, dan langsung duduk ke tempat duduknya. Dina, yang sejak tadi saat mendengar penjelasan dari Andi langsung memasang muka tidak senang. Menggerutu. “Ih… ngapain juga sih harus menanam pohon segala, malah pegang tanah lagi. Kotor!” ucapnya dalam hati.
Esoknya, saat akan dimulai penghijauan tersebut, ramai-ramai siswa dan siswi saling bekerja sama, membantu, ada yang mencangkul, memindahkan tanah, menggali tanah, dan lain-lain. Sementara itu, di pojokan ujung kelas sana, terlihat Dina yang hanya duduk-duduk saja melihat teman-temannya tanpa membantu.
Santi, teman sekelas Dina yang melihatnya pun langsung menghampiri. “Hey, Din.. kok kamu duduk-duduk saja? Tidak membantu?” tanya Santi penasaran. “Tidak ah… aku tidak mau pegang tanah, kotor” jawab Dina dengan santai. “Kamu tidak boleh begitu, teman-teman lain sibuk bekerja seharusnya kamu ikut membantu!” ucap Santi sambil menunjuk teman-teman yang sedang bekerja. “Biarkan saja…” sambil memasang muka malas, jawab Dina.
Andi yang kebetulan lewat melihat Santi dan Dina sedang berbicara, tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka dan langsung menghampiri. “Dina, seharusnya kamu tidak boleh begitu!” ucap Andi sambil berjalan mendekat. “Kita sebagai manusia yang tinggal di bumi ini sudah seharusnya menjaga lingkungan sekitar agar tidak rusak, seperti menanam pohon misalnya.
Walaupun kita cuma melakukan di lingkungan sekolah saja, setidaknya kita sudah melakukan tindakan yang bermanfaat yang hasilnya bisa kita rasakan untuk di masa yang akan datang. Sekolah kita pun nantinya akan dipenuhi pohon-pohon yang hijau sehingga kita bisa menghirup udara yang segar” Andi menjelaskan.
“Ehm… Iya, Ndi” jawab Dina pelan, dia merasa bahwa apa yang diucapkan Andi benar. “Ayo, kita bekerja bersama-sama! Yuk, Din, San!” sambil tersenyum, Andi mengajak Dina dan Santi untuk menanam pohon. Dan, Dina pun mengangguk, tersenyum. Setelah mendengar ucapan Andi, Dina pun sadar bahwa menjaga lingkungan alam itu sangatlah penting.
1 note · View note
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Peluh perjuangan dilupa kuasa
Peluh persaudaraan direnggut paksa
Dahulu saudara kini tak bersama
Dahulu rasa kini SARA
Golongan di atas segala daya
Saudara bukan lagi kita
 (BREAKING NEWS) Pagi tadi tepatnya pukul 07.25 telah terjadi ledakan bom di Gereja Santa Kristus, Jakarta Selatan. Para jemaah yang saat itu sedang melaksanakan Ibadah Minggu pun berhamburan keluar. Akibat ledakan bom tersebut sedikitnya 5 orang meninggal dunia dan 15 orang luka-luka. Informasi terkait jumlah korban jiwa ini masih bisa terus berubah. Hingga saat ini, polisi juga masih melakukan olah tempat kejadian perkara dan melakukan identifikasi di lokasi kejadian.
Sayup-sayup telingaku mendengar berita menakjubkan dan mencengangkan yang sedang ditayangkan di televisi. Ya, pagi ini Indonesia digemparkan oleh peristiwa ledakan bom di tempat peribadahan, yakni gereja. Tempat ibadah umat nasrani yang juga aku pergunakan untuk beribadah selama hidupku. Aku sangat menyayangkan kejadian ini terjadi di negara yang “katanya” menjunjung tinggi toleransi karena kekayaan ras, agama, suku, keyakinan, dan budaya yang beragam. Aku tidak tahu harus bagaimana mengambil sikap. Satu sisi aku sebagai umat nasrani begitu jengkel dan marah atas apa yang telah terjadi, namun di sisi lain aku tidak mau menyalahkan kepercayaan atau agama yang dianut oleh tersangka pengeboman. Bagiku ini adalah salah orang tersebut sebagai individu.
Pagi tadi seharusnya aku bersama kedua orangtuaku hendak beribadah di gereja yang menjadi lokasi ledakan, namun batal karena aku bangun kesiangan. Akhirnya kami beribadah di gereja dekat rumah. Perpindahan lokasi yang diakibatkan olehku ternyata membawa berkah, tetapi apakah boleh bersyukur dengan apa yang kita peroleh ketika orang lain mendapat musibah dan duka?.  Daripada aku memikirkan hal yang sulit ditemukan jawabannya lebih baik aku pergi ke minimarket membeli camilan. Bukankah lebih indah apabila menghabiskan akhir pekan bersama camilan beraneka ragam.
“Ayah, Ibu, Aku pergi ke minimarket dulu ya. Aku ingin membeli beberapa camilan” ucapku.
“Jangan pergi ke mana-mana Lian. Di luar berbahaya. Apa tadi kamu tidak mendengar berita di televisi tentang ledakan bom yang baru saja terjadi?” ucap Ayah melarang.
“Ayah, aku hanya pergi ke minimarket yang jaraknya hanya 300 meter dari rumah. Haruskah ayah secemas itu ?” tanyaku heran.
“Tapi Lian, Di luar sedang tidak aman. Kamu turuti saja kata ayahmu” pinta Ibu
“Aku hanya sebentar. Hanya 10 menit. Aku janji. Aku pamit ya” ujarku final dan tidak ingin dilarang.
Aku bergegas keluar rumah. Aku heran mengapa kedua orang tuaku secemas dan sekhawatir itu. Padahal saat ini aku hanya ingin pergi membeli cemilan. Lagipula jarak rumah dan minimarket hanya 300 meter dan tidak lebih. Aku tahu mereka khawatir terhadapku, apalagi aku ini anak tunggal, tapi menurutku ini terlalu berlebihan. Aku menyusuri jalan di komplek perumahan dengan berjalan kaki. Aku akui jalan-jalan sekarang cukup sepi. Bahkan bisa dikatakan hanya aku sang pengguna jalan. Aku segera masuk setiba di depan minimarket. Aku ambil beberapa cemilan rasa cokelat dan keju  serta satu minuman soda kesukaanku. Aku pikir ini sudah cukup untuk bisa menemaniku hingga malam nanti.
Aku menuju kasir sambil bersenandung kecil. Aku menikmati suasana minimarket yang tergolong sepi yang mungkin disebabkan oleh berita di televisi atau lainnya. Aku tidak peduli dan tidak mau ambil pusing. Aku mengantre di depan kasir minimarket tersebut. Saat ini ada seorang perempuan yang aku yakini beragama muslim. Dia sedang dilayani oleh petugas minimarket, namun aku melihat sesuatu yang aneh dan tidak semestinya terjadi. Aku melihat petugas tersebut memandang perempuan muslim itu dengan sinis namun penuh akan kecurigaan. Awalnya aku hanya diam dan terus memperhatihan, tetapi tiba-tiba perempuan muslim itu protes seakan tidak terima.
“Mbak, kenapa ya lihat saya kok sebegitunya? Apa ada yang salah dari saya ?” protes perempuan muslim itu kepada petugas minimarket.
“Tidak, mbak. Saya biasa saja kok” jawab petugas minimarket tersebut mengelak.
“Mbak takut sama saya karena saya menggunakan pakaian seperti ini?” tanya perempuan muslim itu sekali lagi.
“Ya siapa yang tidak takut mbak. Siang-siang seperti ini mbak menggunakan pakaian panjang warna hitam. Apalagi tadi ada berita di televisi tentang ledakan bom. Saya khawatir saja jangan-jangan mbak salah satu jaringannya” tutur petugas minimarket seraya melirik sinis.
“Waspada boleh mbak, tapi tolong menghormati dan mengargai sesama jangan dikesampingkan. Saya bukan jaringan teroris kok mbak. Terima kasih. Saya permisi” ujar perempuan muslim yang kemudian berjalan keluar.
 Aku cukup terkejut menyaksikan peristiwa tersebut. Sebegitu besarnya dampak ledakan bom terhadap masyarakat Indonesia. Bahkan sesama muslim pun saling mencurigai satu sama lain. Aku tahu dan paham kewaspadaan itu diperlukan, namun kewaspadaan yang berlebihan dapat menimbulkan intoleran dan diskriminasi. Apakah itu hal biasa dan dirasa adil apabila menganggap semua muslim yang mengenakan pakaian tertutup dan bercadar adalah teroris. Tentu tidak bukan, kalau aku saja yang beragama katolik bisa berpikir demikin mengapa yang sesama muslim tidak ?. Aku rasa masyarakat Indonesia harus mulai belajar menumbuhkan  kembali toleransi antar sesama.
Tiga hari pasca ledakan bom gereja tidak membuat perbincangan hal tersebut surut. Berita-berita tentang ledakan bom, korban jiwa, pelaku, maupun motif ledakan masih berkeliaran di televisi. Bahkan berita-berita tersebut menjadi topik utama tayangan televisi. Tidak hanya di televisi saja, kedua orang tuaku juga terus membicarakan hal tersebut setiap waktu. Apalagi setelah ada berita siapa pelaku dan dugaan motif ledakan tersebut, mereka semakin menyudutkan dan menyalahkan orang-orang muslim yang sebenarnya sejak dulu kurang mereka sukai. Aku sudah jengah dengan apa yang mereka bicarakan.
“Ayah, Ibu, haruskah kalian selalu membicarakan ledakan itu terus menerus ?” tanyaku tidak suka.
“Lian, kami ini sedang berdiskusi agar senantiasa waspada terhadap orang-orang Islam itu.Coba bayangkan bagaimana mungkin mereka setega itu terhadap kita padahal mereka sering berkata bahwa agama islam itu cinta damai tapi mengapa mereka bertindak berlawanan dengan apa yang mereka katakan” ujar Ayah.
“Tidak semua orang islam seperti itu Ayah dan itu bukan salah agama yang mereka anut, melainkan murni kesalahan orang tersebut sebagai individu. Mengapa ayah terus menyalahkan semua orang islam dan agama islam?”ucapku kesal.
“Orang tersebut memiliki agama Lian. Mau tidak mau, suka tidak suka agama pastilah mempengaruhi perilaku orang tersebut. Apalagi baju yang dikenakan dapat menunjukkan “kefananikan” mereka terhadap agama Islam itu. Atau jangan-jangan memang agama Islam mengajarkan seperti itu” ujar Ayah sinis.
“Benar yang dikatakan Ayahmu. Kamu itu masih kecil Lian. Kamu masih belum bisa membedakan dengan jelas mana yang baik dan mana yang benar”ucap Ibu membenarkan perkataan Ayah.
“Lalu apakah karena Ayah dan Ibu sudah dewasa kalian bisa menyamakan semua orang Islam itu tidak baik dan memanggil mereka semua sebagai teroris. Kalian tidak pernah merasa menjadi orang tidak tahu apa-apa namun mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan diskriminatif”
Aku menceritakan semua yang pernah kualami pada Ayah dan Ibu. Aku lahir dari orangtua penganut agama katolik. Ibuku merupakan seorang keturunan “Cina”. Wajah dan perawakan khas ‘Cina” juga terlihat jelas pada diriku. Sejak kecil aku belajar di sekolah umum (negeri). Semua berjalan lancar dan aku menikmati hari-hariku di sekolah. Hingga pada suatu waktu isu SARA menjadi topik hangat di Indonesia. Bahkan agama dijadikan senjata ampuh saat perebutan kekuasaan para petinggi di Indonesia. Isu tersebut digunakan untuk saling menjatuhkan, menghina, dan memperoleh suara tertinggi. Hal tersebut tentunya berdampak kepada sebagian masyarakat. Mereka yang biasa hidup berdampingan dengan damai kini saling menyikut dan memandang sinis satu sama lain.
Sebelum isu SARA menjadi topik hangat di masyarakat, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan berbeda dari teman-temanku. Mereka tidak pernah memedulikan dari mana aku berasal, aku keturunan apa, maupun agama apa yang aku anut, namun di suatu pagi aku dipanggil “cina” oleh teman-temanku. Pada mulanya aku menganggap mereka hanya bercanda, namun kejadian itu terjadi berulang dan dalam jangka waktu yang lama. Akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa mereka memperlakukanku demikian aku karena keturunan Cina. Aku baru tahu apa yang mereka lakukan terhadapku memiliki sebuah sebab dan alasan. Ternyata saat itu sedang ada sebuah kasus penistaan agama yang didakwakan pada seorang tokoh keturunan Cina. Kejadian tersebut membuat sebagian besar umat muslim murka. Jujur saja aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, namun apabila memang orang tersebut bersalah haruskah dampaknya dirasakan oleh semua keturunan Cina, tentu tidak bukan.
“Orang-orang muslim memang kurang ajar. Bisa-bisanya mereka memperlakukan kamu seperti itu. Mereka ternyata teroris sekaligus orang-orang culas” ujar Ayah sinis.
“Benar yang dikatakan Ayah kamu. Mereka itu membangga-banggakan agama sendiri, menganggap diri mereka paling suci tetapi ternyata mereka seorang teroris” ucap Ibu.
“Ayah, Ibu bukan itu maksudku menceritakan ini semua. Aku tidak ingin kalian terus memandang orang-orang beragama islam sebelah mata” ucapku kesal.
Lagi dan lagi aku terhenyak mendengar tanggapan yang diberikan oleh Ayah dan Ibu. Mau tidak mau aku menceritakan kisahku yang lain. Kisah ini aku alami karena isu SARA yang semakin meraja lela. Ketika itu sepulang sekolah aku menaiki bus umum. Tidak ada seorang pun yang duduk di sebelahku. Orang-orang lebih memilih mencari tempat duduk lain atau bahkan berdiri daripada duduk sebelahku. Memang kala itu masalah penistaan agama masih menjadi topik hangat di masyarakat, namun apakah ada yang salah dengan duduk di sebelahku?.Apakah aku ini seorang pendosa yang harus diasingkan?. Apakah aku ini virus yang harus dihindari? Apakah aku harus menerima semua ini di antara ketidaktahuanku?
Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sebelahku. Dia bernama Sarah. Dia adalah seorang muslim, namun dia bersedia menemaniku di sepanjang perjalanan. Meskipun banyak pasang mata yang memandang sinis akan perbuatannya, dia seolah menuli dan tidak peduli. Dia mengajakku berbicara, bergurau, dan bertukar pikiran. Dia seakan tidak terpengaruh dengan apa yang sedang terjadi saat itu. Ada sebuah perkataan yang amat membekas untukku “Kita adalah bangsa yang besar. Bagimu agamu bagiku agamaku. Maka mulai saat ini tugas kita adalah mengajarkan dan mewariskan toleransi bukan kekerasan. Kita adalah saudara. Persaudaraan kita ada dengan cara yang istimewa”. Kemudian ketika hendak turun dia juga berkata kepada semua penumpang bus “Kita memang manusia yang tidak luput dari kesalahan, namun alangkah bijaknya bila kita dapat memandang semua pada porsi dan tempatnya. Tidak semua hewan yang hidup di laut bernama hiu, begitu juga dengan manusia yang ketika satu dari mereka salah maka semua ikut dipersalahkan.Toleransi itu indah dan damai. Lalu mengapa kita harus seperti ini? ”
Semua diam. Terhenyak. Tertunduk. Tidak bergerak. Tanpa kata. Hanya bisu. Semua diam.
  Catatan: Cerita ini dibuat tanpa maksud menyinggung salah satu agama, ras, suku, maupun kepercayaan. Cerita ini dibuat dengan tujuan agar semua senantiasa menjaga toleransi.
0 notes
diluarbatas · 5 years
Text
Tumblr media
Rabu, Pukul 15:30
  “Ya Tuhan!” seru Maharani. Napasnya terengah-engah seketika. Ia tidak percaya dengan apa yang Ia lihat. Niatnya ingin pergi ke toilet diurungkan. Ia memilih kabur secepatnya dari tempat terkutuk itu, yang bisa saja menjadi tempat kematian dininya.
#
~Flashback~
 Rabu, Pukul 10:00
 “Tepuk tangan untuk Yani, antologi puisinya baru saja diterbitkan seminggu yang lalu,” ujar Pak Yudi di sambut dengan tepukan meriah sekelas.
Yani seperti biasa hanya tersenyum cerah memandang penuh terima kasih kepada dosen yang selalu memotivasinya, Pak Yudi. Ketika samar-samar tepuk tangan itu hilang, Vindra, pemuda tinggi yang terkenal jail di kelas dan suka duduk di belakang berbisik pada Nurva di sebelahnya. “Kalah kamu Va sama Yani,” ujarnya dengan wajah sumringah.
Ari yang duduk di sebelahnya menendang kaki Vindra “ Sudahlah!” serunya.
“Emang bener kok, Ri,” Bisik Umamah. Ari memasang wajah kesal pada Umamah.
Di kelas, hanya Nurva yang belum menerbitkan karya. Karyanya tak pernah sampai satu buku. Sementara teman-temannya sudah menerbitkan buku beberapa kali ke penerbit indie. Nurva memilih diam dengan wajah kakunya, mendengarkan ceramah sastra dari dosennya.
#
Rabu, Pukul 10:00
 “Nurva, saya rasa kamu berbakat untuk menulis genre horror,” ujar Pak Yudi dengan wajah bangga. Ia baru saja membagikan hasil koreksi cerpen yang dikumpulkan mahasiswanya.
Di belakang, Vindra mencibir pada Nurva yang duduk di sebelahnya. “Sesuai dengan kelakuannya, Pak,” ujarnya sambil tertawa cekikikan.
Ari yang duduk di sebelahnya menendang kaki Vindra “ Sudahlah!” serunya.
“Emang bener kok, Ri, Nurva itu misterius,” Bisik Umamah. Ari memasang wajah kesal pada Umamah. Nurva masih memilih diam dengan wajah kakunya, mendengarkan ceramah sastra dari dosennya,  dua jam lamanya.
           “Kamu mau ke mana Va?” Tanya Yani ketika di kelas tersisa dia dan Nurva.
“Pulang,” jawab Nurva cepat.
“Mau ke perpus nggak bareng aku? Kita nulis bareng, mungkin kamu jadi lebih semangat nulisnya kalau ada temannya”
Sontak Nurva tidak menyukai nada bicara Yani. Pandangannya, Ia sosok yang tak (ber) pucuk di atas enau. Hingga akhirnya, Yani ditinggalkan tanpa sepatah katapun.
#
Rabu, Pukul 12:30
 Ari baru saja mendapatkan buku incarannya. Dengan hati senang Ia melangkah menuju lantai dua namun pandangannya terarah pada sosok diujung ruang. Sosok itu sedang membaca sembari berdiri di depan lemari buku. Segera Ia dekati “Wah, penggemar Stephen King.”
“Dan kamu penggemar Lexie Liu,” balas Nurva.
Ari menatap sebentar bukunya dan tersenyum. “ Bukan, aku hanya ingin melihat gaya penulisan Lexie ini, genre horror sebenarnya aku kurang menyukainya. Tapi khusus untuk tulisan Stephen King kurasa dia punya khas memberi kejutan di setiap ceritanya, karya mana yang kamu sukai milik Stephen King?”
Nurva hanya menunjukkan buku yang di pegangnya, malas menjawab pertanyaan Ari, Pet Sematary.
“Oke, aku duluan,” ujar Ari. Nurva hanya menatapnya datar, menyilakan.
Ketika menuruni tangga ke lantai satu Ari melihat sesuatu di terselip di bawah lemari dekat tangga. Kartu mahasiswa itu sudah pudar dan tidak telihat lagi fotonya. Namun dia bisa melihat inisial N di bagian namanya, hingga akhirnya terbaca olehnya “Nurva”. Ia memilih menunggu Nurva turun sembari melihat-lihat buku di lantai satu, namun Nurva tak kunjung turun. Akhirnya Ia naik kembali dan mencari Nurva. Tak ada. Dari ujung ke ujung.
“Nurva?!” Ari terkejut ketika menuruni tangga, dan Nurva mendahuluinya tanpa rasa bersalah. Entah rasa bersalah karena Ari sejak tadi mencarinya atau rasa bersalah sebagai teman Ia harusnya menegur Ari.
“Ini punyamu?”
Nurva langsung menerima sodoran kartu dari Ari. "Kamu dapat dari mana?”
“Di bawah lemari lantai dua”
“Makasih banyak yaa!” Seru Nurva senang, menunjukkan gigi putihnya yang terawat rapi. Dan Ari hanya mengangguk melihat Nurva kembali menuruni tangga. Ini pertama kalinya Dia melihat Nurva sesenang itu.
#
Rabu, Pukul 15:30
             “Halo, ada orang nggak di sana? Lama banget!” seru Vindra. Tak ada balasan ataupun suara gemericik air dari dalam namun pintu tetap terkunci. Detik selanjutnya hanya terdengar jeritan.
“Ya Tuhan!” seru Maharani dalam hati. Napasnya terengah-engah seketika. Ia tidak percaya dengan apa yang Ia lihat. Niatnya ingin pergi ke toilet perempuan diurungkan. Ia memilih kabur secepatnya dari tempat terkutuk itu, yang bisa saja menjadi tempat kematian dininya.
#
Rabu, Pukul 09:30
 “Vindra ke mana?” Tanya Pak Yudi.
“Masuk rumah sakit Pak. Kepalanya pendarahan,” jawab Ari.
“Kenapa? Kecelakaan?” Tanya beliau lagi.
“Kurang tau, Pak.”
Maharani celingukan, memasang wajah pura-pura tidak tahu. Nurva menatapnya tajam.
 #
Rabu, Pukul 15:30
 “Eh, mau nyari apa ke Gramed?” Tanya  Liana.
“Bentar, aku mau nyari buku Five Feet A Part,”jawab Farah.
“Oh, gara-gara abis nonton filmnya kemaren?” Tanya Liana lagi.
“That’s right! Ini dia!!” Seru Farah senang.
“Ih, kalau gitu aku juga mau” Liana meraih satu buku dengan cover yang sama dengan milik Farah.
“Eh, itu bukannya Nurva?” Bisik Liana
“Oh iya, ngapain Dia ngeliat buku sampai segitunya?” Tanya Farah curiga.
“Yok, samperin,” ajak Liana.
“Eh, jangan dulu,” cegah Farah.
Farah mengambil gawainya dan merekam, berharap ada kejadian menarik setelahnya. Nurva terlihat mengambil gawai dan memotret sebuah buku lalu Ia berlalu tanpa tahu jika Farah dan temannya sudah merekam dirinya dari kejauhan. Ketika Nurva tak terlihat lagi, Farah dan Liana mendekati tempat Nurva berdiri tadi.
“Dia motret buku ini?” Tanya Liana sembari menyodorkan novel berjudul Midnight Campus. Farah memicingkan mata, meneliti seluruh tulisan yang tertera di cover.
“Hey, lihat nama penulisnya!”
“Wah, kenapa Dia nggak ngasih tahu Pak Yudi?” Tanya Liana penasaran.
“Entah, Dia diam-diam menerbitkan buku di penerbit mayor, sumpah keren.”
Farah mengembalikan buku bergenre horror itu kembali ke rak buku.
 #
Rabu, Pukul 09:30
           “Ada yang tahu Nurva ke mana?” Tanya Pak Yudi.
           Sunyi. Tak ada yang menjawab.
           “Apa kalian tidak pernah bertemu dengannya di luar kelas?”Pak Yudi bertanya lagi.
           “Mmm, Terakhir, saya bertemu dengannya di Gramedia Pak” Farah angkat suara.
           “Dan itu, sudah seminggu yang lalu Pak,” timpal Liana.
           “Kalau saya terakhir waktu saya kecelakaan itu Pak, Dia yang menolong saya,” ucap Vindra sambil mengernyit perih karena pelipis kanannya masih diperban. Maharani mendengar itu sontak kaget, Ia berencana bertanya pada Vindra setelah kuliah berakhir.
#
Rabu, Pukul 09:30
           “Masih belum ada yang bertemu dengan Nurva?” Tanya Pak Yudi selesai mengisi presensi. Mahasiswa yang ditanya saling celingukan. “Tidak ada, Pak” Ari mewakili menjawab.
           “Hmm, Farah, kemaren waktu kamu bertemu Nurva. Apa yang Ia lakukan di sana?”
           Dengan ragu Farah bercerita “Eeee, waktu itu saya dan Liana melihat dia memotret sebuah buku. Dan ket ika saya dekati ternyata Dia memotret sebuah novel yang penulisnya adalah namanya sendiri. Tapi anehnya, kan waktu itu saya tanpa izin merekam dia dari jauh dan ketika saya lihat lagi videonya sama sekali nggak ada Dia di dalam video itu. Tembus pandang! Dan setelah itu saya dan Liana memilih diam, nggak cerita ke siapapun karena takut dianggap gila sama temen-temen.”
           “Pak, saya juga sebenarnya merasa aneh waktu di tolong oleh Nurva di toilet waktu itu. Teman yang membenci dan berencana membunuh saya itu ketakutan sekali ketika melihat Nurva. Padahal Ia tidak membawa apa-apa,” Vindra menimpali cerita Farah.
           “Ih, beneran?!” tanya Yani tak percaya.
           “Sumpah,Yan!” Vindra membalas cepat.
           “Sejujurnya tiap masuk kelas ini saya mencoba untuk biasa, Nurva yang biasa kalian lihat tidak seperti yang saya lihat. Saya melihat bentuk aslinya yang mengerikan, dan itu menghantui saya, setiap setelah masuk kelas kalian. Kalian tidak melihat setengah wajahnya yang sebenarnya sudah hancur akibat Ia jatuh dari lantai tiga di gedung A3, dan itu sudah terjadi empat tahun yang lalu. Dan Ia hadir lagi di kelas saya untuk menepati janjinya menerbitkan sebuah novel, Ia tak tenang sebelum mimpi besarnya itu terwujud— ” Pak Yudi bercerita dengan mata berkunang-kunang.
           Mereka yang mendengar, berada di posisi antara percaya dan tidak percaya, kejadian yang pernah mereka dengar ternyata bukan bualan. Bukan mitos belaka.
#
Rabu, pukul 16:00
Sore itu, di antara sepoi angin. Bunga kamboja terjatuh lunglai. Tangkainya tak kuat lagi menopang. Ari memandang pusara sembari mengingat wajah senang Nurva saat di perpustakaan. Maharani memandang pusara dengan rasa bersalah karena salah terka pada Nurva yang baik. Farah, Liana dan Yani memandang pusara dengan rasa haru namun getir. Vindra memandang pusara dengan berucap terima kasih berkali-kali di hatinya.
 Tak ada yang tahu bentuk sepoi angin
Tak ada yang tahu keletihan tangkai menopang bunga kamboja
Tapi Nurani selalu tahu, kapan Ia harus ber-ada dan meng-ada.
 Malang, 27 Februari 2020
1 note · View note