dininyas
dininyas
dindin
109 posts
a little journalist
Don't wanna be here? Send us removal request.
dininyas · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Langit, ditemani matahari hingga disebut sunrise atau sunset. Ditemani bintang atau bulan, bahkan awan gelap. Si langit tetep istimewa. Bukan baru ini saja mengagumi si Langit. Sudah nggak keitung sih, mulai kapan frame foto saya isinya ekspresi langit. Mulai dia yang sendu, tersenyum gembira, cerah ceria, garang, ganteng, cantik, sampai marah. Semua ada dan tetap akan mengagumkan. Mungkin bukan aku aja yang jadi fansnya. Ada banyak orang yang juga mengagumimu, Dear langit. Mungkin, kalo para Pengagummu ini dikumpulin, bisa bikin fans club. Hai, para pengagum langit :)
0 notes
dininyas · 8 years ago
Text
Nggak ada yang salah saat berusaha menjadi baik. Berusaha selalu ada saat siapapun butuh bantuanmu. Menjadi sangat baik kepada siapapun tanpa peduli siapa orang itu. Menjadi lebih baik lagi tanpa peduli kamu sudah ada yang punya. Yang disayangkan saat menjadi baik seperti itu, hanya kamu kelewat baik dan orang lain salah mengartikan kelewatanmu. Bukan soal kemudian kamu juga dibatasi harus berbuat seperti apa untuk orang lain. Tapi ada kalanya kamu harus mengerti dan ada hati lain yang harus kamu jaga.
1 note · View note
dininyas · 8 years ago
Quote
Memilih melepaskan setelah lelah berjuang tak selalu mengartikan kau menyerah. Mungkin kau sudah terlalu kuat bertahan dan tak terlalu bodoh untuk memilih tetap tinggal.
(via mbeeer)
2K notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Sekali, bisa ditolerir. Dua kali, mencoba memaafkan tapi susah dilupakan. Ketiga kali, mungkin memang sudah saatnya untuk pergi.
0 notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Berhenti datang-datang lagi selayaknya kau ingin menjadikanku tempatmu pulang. Kita berdua sama-sama tau, kau itu hanya kesepian.
(via mbeeer)
Senyumin aja
1K notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Tuhan sedang menyiapkanmu menjadi orang yang jauh lebih baik. Jadi, sekarang Dia sedang mengujimu lewat kesabaranmu. -His Time, Not Mine-
0 notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Terlalu baik, membuat mereka berpikir bahwa kamu itu mau dimintain tolong apa saja. Hingga bagi mereka, batas meminta tolong dan menyuruh akan menjadi berbeda tipis.    Belajarlah berkata tidak jika hatimu memang enggan. Agar kau bisa menghargai dirimu sendiri, dan mereka juga belajar untuk menghargai sosokmu dalam meminta bantuan.
(via mbeeer)
2K notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Kini tibalah kita di saat yang dulu benar-benar paling kutakuti dari hubungan yang tak berstatus ini. Kau pergi; dengan mudahnya.   Membuatku dan semua orang yang pernah mengenal kita bertanya-tanya, kemarin-kemarin itu kita siapa?
(via mbeeer)
1K notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
People come and go. Then, I can't make them stay
0 notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Bagi sebagian orang, jatuh cinta itu sulit. Maka berhentilah untuk sekedar mampir lalu kemudian pergi.
(via mbeeer)
Bekerjasamalah
1K notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Teruntuk Kekasih yang Bukan Kekasihku. Tahukah Kau, Aku Mencintaimu?
Iit Sibarani (via mbeeer)
Dan tak berani mengatakannya.
523 notes · View notes
dininyas · 8 years ago
Quote
Selalu ingatkan saya, percaya berlebihan itu tak baik.
1 note · View note
dininyas · 8 years ago
Quote
Selamat merayakan bulan yang paling membahagiakan, wahai para Capricorn~~
(via mbeeer)
262 notes · View notes
dininyas · 9 years ago
Text
Ketika teman mejadi tempat mengeluhmu menjalani hari - harimu, aku tau kamu sedang bersenang-senang dengan pacarmu. Kenapa keluhan itu tak dibagi dengan pacarmu saja. Bukan maksud temanmu ini menolak keluhanmu. Tapi, kamu tau, kamu terlalu memanjakannya sampai kamu lupa batasan teman dan pacar. Saat menemui jalan buntu, temanmu kau cari cari. Tapi, mungkin memang pacar hanya untuk bersenang-senang
0 notes
dininyas · 9 years ago
Text
Ketika kamu merasa temanmu meninggalkanmu atau sekedar mendiamkanmu, coba berpikir apa sebabnya. Tak selamanya temanmu yang bersalah. Bisa jadi kesalahan ada di kamu. Pertemanan itu bukan soal bersenang-senang atau bermain bersama. Mengertilah, temanmu juga butuh dimengerti. Bukan cuma pacarmu. #DearTeman
0 notes
dininyas · 9 years ago
Text
Tuhan Kita Sama, Kita yang Berbeda.
Mungkin sudah lebih dari puluhan kali aku menjejakkan kaki di sini. Di sebuah parkiran motor yang tidak terlalu banyak motornya, namun mobilnya begitu membeludak. Beberapa orang mulai pada berdatangan, para penjaja makanan terlihat bahagia pagi ini.
Aku beranjak turun dari motorku, melepas helm sebentar sebelum tiba-tiba dari belakang ada yang menggandeng tanganku erat.
“Dimas, masuk yuk!” Ucapnya manis sekali. Mungkin lebih manis dari bapau isi kacang merah yang dijual di depan etalase parkiran.
“Bercanda aja kamu. Sana masuk dulu. Ibadah yang bener, aku tunggu di tempat yang biasa. Nyanyinya jangan terlalu semangat, kasihan Tuhan. Suara kamu jelek soalnya.” Aku meledeknya sambil pelan-pelan melepaskan tali helm yang masih mengikat di antara dagu dan pipi-pipinya.
Setelah satu kening berhasil kukecup hangat, dia tersenyum dan pergi masuk ke dalam gereja. Meninggalkanku sendiri di tempat biasa setiap minggu pagi. Di pojok gereja ada satu kantin kecil, aku sering duduk di sana dan menyapa seluruh penjualnya. Kita sudah cukup akrab, bahkan mbok Murni– sang punggawa pentolan warteg, sudah hapal diluar kepala kalau aku pasti memesan segelas kopi hitam pekat.
“Rajin amat mas Dim nganter pacarnya.” Ucap mbok Murni sembari mengelap meja di sebelahku.
“Iya bu, kewajiban. Calon imam yang baik mah gini.” Jawabku.
“Calon imam? Sudah yakin si neng mau pindah?”
DEG!! Aku tertohok dengan pertanyaan mbok Murni. Sebenarnya aku sudah yakin hubungan ini tidak akan bertahan lama. Kita sama-sama sudah terlalu mencintai agama kita sendiri. Dia itu anak Tuhan. Kitab Injil sudah khatam dia baca setiap pagi. Dan aku gini-gini juga lulusan pesantren. Walaupun orang tuaku dulu juga beragama Kristen, tapi kini keluargaku menganut agama Islam. Begitu juga dengan orang tuanya. Ibunya dulu Islam sebelum pada akhirnya pindah agama menjadi Kristen. 
Maka tak sulit bagi kita untuk saling memperkenalkan diri walau berbeda agama di depan kedua keluarga kita. Kita berlagak serius, namun sayangnya, di mata Tuhan kita tidak seserius itu.
Suatu pagi, aku masih terlelap kelelahan karena di malam sebelumnya kita habis mengunjungi salah satu pesta ulang tahun teman. Namun, tepat pukul setengah lima pagi, dia menggoyang-goyangkan badanku.
“Dimas.. Dimas kebo! Bangun dulu, subuhan gih.” Ucapnya manja.
Sedangkan aku yang mendengarkannya hanya terus pura-pura belum terbangun hanya agar bisa mendengarkan suara parau manjanya lebih lama. Sebenarnya ingin aku segera membuka mata, melihat dia yang baru bangun, lalu memeluknya erat dan melewatkan segala ibadah pagi. Ibadah pagiku, dan Ibadah paginya.
Walaupun kita berbeda, dia selalu setia menyuruhku sholat. Begitupun aku yang selalu setia mendampinginya berdoa tiap pagi dengan berdawai gitar. Aku bahkan sampai pernah khatam dengan lirik lagu pujian Tuhan yang dia dendangkan setiap hari. Dan tanpa sadar, aku pernah ikut bernyanyi. Lantas apa aku pernah merasa berdosa karena melakukan itu? Tidak. 
Aku pernah ikut Misa dengan nenekku di gereja, meminum wine merah dan memakan roti. Pernah juga aku ikut berdoa di kuil buddha bersama kakak Iparku, sebelum pada akhirnya dia yang ikut berdoa bersamaku di masjid daerah Yoyogi di kota Tokyo. Bagiku, melihat cara mereka beribadah, adalah salah satu cara aku bersyukur kepada Tuhan bahwa ternyata ada banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk tak berhenti memujaNya.
Suatu malam, sehabis kita makan malam, aku cukup telat pulang ke kosannya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10. Dia sedang tidur-tiduran di kosannya, sedangkan aku buru-buru mengambil air Wudhu untuk sholat Isya. Begitu aku keluar dari WC, sajadah sudah disiapkan begitu rapih. Aku menatapnya, dan ia tersenyum kecil sambil menggenggam telepon genggamku.
Sudah menjadi kebiasaan bagiku jika sholat sendiri namun tetap berucap lantang di dua raka’at awal ketika sholat Isya dan Maghrib. Namun karena tidak mau terlalu mengganggu pacarku, aku tetap mengucapkannya sepelan mungkin.
“Bi Allaihim Walad Dholin…” Ketika aku selesai membaca Al-Fatihah, tiba-tiba aku mendengar sautan dari belakang.
“Amin..”
Aku sempat terkejut, aku sempat terdiam sebentar, aku benar-benar terbata. Aku tidak tahu apa yang ia sedang lakukan di belakangku sekarang. Konsentrasiku hilang. Di tiap aku selesai membaca Al-Fatihah, dia ada di belakangku mengaminkan. Aku bahagia– sekaligus tidak percaya. Aku langsung membaca surat Kulhu dan An-nas saja supaya cepat menyelesaikan ibadahku ini. 
Setelah Attahiyat terakhir dan mengucapkan salam, aku langsung menengok ke belakang. Aku cukup terkejut ketika melihat dia ada satu shaf di belakangku, duduk dengan cara yang sama seperti aku duduk sekarang– duduk attahiyatul akhir. Memakai mukena, dan tersenyum kepadaku. 
“Assalamualaikum, Imam..” Katanya manis sekali.
Mendengar itu, tanpa sadar ada beberapa air mata turun di kedua mataku. Entah aku tengah merasakan apa, ini baru kali pertama aku menangis setelah sekian lama. Air mata itu turun begitu saja tanpa ada emosi tergambar di wajahku. 
Dengan cepat aku langsung menghampiri dan memeluknya erat. Aku kecup sedikit keningnya. Dan tiba-tiba, ia ikut menangis di pelukku. Di pelukan yang paling dalam yang pernah aku berikan kepada wanita. 
“Kamu cantik sekali malam ini.” Ucapku lirih.
Sambil masih terisak-isak, dia menjawab, “Aku pernah menemani kamu Sholat di Mushola kecil kampus kita dulu. Kamu jadi Imamnya, dan ketika kamu selesai membaca doa itu, mereka mengaminkan. Aku iri melihat hal itu. Lalu setelah selesai sholat, kau sempat berdoa dulu sedangkan mereka langsung keluar. Dan kau tahu apa yang mereka ucapkan? Mereka memujimu, memuji caramu berdoa, caramu melafalkan. Aku sakit, Dim. Sakit hati sekali. Seakan mereka lebih mengerti kamu ketimbang aku. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka puji darimu. Bagaimana bisa? Aku kan pacarmu! Ternyata aku benar-benar pacar yang tidak berguna!” Ucapnya yang semakin erat meremas bajuku yang sudah basah karena air matanya.
Aku memeluknya semakin erat, kucium keningnya sekali lagi. 
“Aku bahagia mencoba berdiri di belakang kamu saat ini. Kamu juga pasti bahagia mencoba bernyanyi memuji Tuhanku di gereja nanti.” Tambahnya parau.
Aku terdiam.
“Kenapa kita harus berbeda, Dimas..” Kini tangisannya pecah dalam pelukku, begitupun tangisanku. 
Malam itu, kita berdua mendekap hingga larut malam. Aku masih di atas sajadahku, dia masih dengan mukena-nya yang entah dapat darimana. Seakan di tempat aku sering bersujud dan bersimpuh dalam doa ini, kita mengadu kepada Tuhan yang sama, meminta diizinkan untuk bisa hidup bersama. Namun sayangnya, kita tetap berbeda.
Setahun kemudian.  Di depan gereja tempat aku sering mengantarnya dulu, aku melihat dia kini tengah menggandeng tangan seseorang yang beragama sama, mereka masuk ke dalam gereja dengan bahagia. Melihat hal itu, aku ikut bahagia. Akhirnya ada yang menemaninya beribadah. Akhirnya dia tidak menyanyi sendiri lagi. Akhirnya ada yang menemaninya mengucapkan Amin pada doa yang sama. Aku menatapnya lama sekali, sampai ia masuk ke dalam pintu gereja yang megah itu.
“Dimas! Kenapa Diam?” Tiba-tiba ucapan seseorang di belakangku mengaggetkanku.
“Eh iya, gapapa. Yuk jalan lagi.” Jawabku.
Dan kini, di belakangku, tengah ada seseorang yang benar-benar tulus mengaminkan segala doaku tepat satu shaf di belakangku ketika aku bersujud.
Tuhan. Bolehkah aku bertanya? Kenapa manusia memanggilMu dengan nama yang berbeda-beda?
Mungkin Tuhan menjawab, Untuk mengetahui seberapa besar cinta umatKu pada Tuhannya masing-masing.
Mungkin..
Tumblr media
722 notes · View notes
dininyas · 9 years ago
Quote
Tapi kita masih berusaha saling berbicara. Setidaknya supaya kita masih tetap berkomunikasi. Lucu.
0 notes