Tumgik
diptra · 4 years
Text
Banyak orang yang hanya tau, tapi sejatinya tidak sadar. Ada jarak antara sadar dan tau.
5 notes · View notes
diptra · 4 years
Text
Harapan Hidup
Belakangan sedang ngeselesaiin bacaan. Tulisannya Pak Viktor E. Frankl. Man's Search for Meaning. Asli ini bukunya pedih banget. Semestinya. Berkisah tentang masa-masa Pak Viktor selama jadi tawanan perang. Ditawan di kamp konsentrasi pasukan Nazi. Dari tahun 1942 - 1945
Bercerita tentang kejadian dan pergulatan batin selama menjadi tawanan perang. Berbekal ilmu sebagai psikolog, Viktor mampu merumuskan kondisi psikologis tawanan perang yang hampir tiap saat berada dalam tekanan.
Saya sampai mengernyitkan dahi dan merasa ngiluu dalam hati membaca tuturannya. Sebagian tawanan merasa kok lebih baik mati bunuh diri saja.
Membandingkan kondisi psikologis manusia dalam kondisi perang tentu berbeda sekali dengan kondisi normal. Ketahanan mental seseorang benar-benar diuji di sini.
Bersyukur sempat nemu dan membaca isi buku ini. Apalagi di masa-masa pandemi seperti ini. Menjadi sadar bahwa kondisi pandemi yang sedang melanda dunia jauuuuh lebih baik daripada kondisi dalam kamp tahanan pasukan Nazi.
Dengan membaca tuturan Pak Viktor, semacam memberikan model bagaimana mestinya kita berpikir, bertindak dan bertahan dalam kondisi darurat seperti saat ini. Bertahan untuk tetap waras.
Sesuai judul buku yang beliau tulis, salah satu cara untuk bertahan dalam kondisi penuh tekanan adalah dengan terus mencari makna yang mampu memberikan harapan untuk tetapi hidup.
Pemahaman akan makna hidup yang mendalam dan kokoh akan mengantarkan manusia mampu menghadapi cobaan dan tekanan hidup. Dan pada dasarnya salah satu chapter dalam kehidupan yang mesti kita lalui adalah tentang pencarian makna kehidupan.
Kita tidak perlu berharap sesuatu dari hidup. Sebaliknya, biarkan hidup mengharapkan sesuatu dari kita. ~Viktor E. Frankl
Jakarta, 05.09.2020
Tumblr media
4 notes · View notes
diptra · 4 years
Text
Tumblrnesia
Keren juga Tumblr punya fitur Group Chat. Temen-temen yang berminat say hi dan menambah pertemanan sesama pengguna Tumblr di Indonesia silakan bergabung melalui link di bawah ini. Nuhun. 🙏🏻
6 notes · View notes
diptra · 4 years
Photo
Mantap jaya. Buku-bukunya Mbah Nun dirangkai jadi satu tulisan apik. Maturnuwun, Mas.
Tumblr media
Musyawarah Para Kiai
: Untuk Emha Ainun Nadjib
Oleh Fahd Pahdepie
‘Dari Pojok Sejarah’, ‘Markesot Bertutur’. Di ‘Seribu Masjid Satu Jumlahnya’, alkisah para Kiai sedang bermusyawarah. Sebagai perwakilan warga, turut hadir di sana ‘Doktorandus Mul’, ‘Mas Dukun’, bahkan seorang lelaki yang terkenal dengan kisah ‘Keajaiban Lik Par’ karena ‘Geger Wong Ngoyak Macan’. Hadir juga beberapa tamu, termasuk ‘Sunan Sableng dan Baginda Farouq’.
Pada musyawarah itu, ‘Pak Kanjeng’ memulai ceritanya tentang ‘Indonesia Bagian dari Desa Saya’. Tentang betapa ‘Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya’. Sebuah negeri yang ‘Sedang Tuhan pun Cemburu’, ‘Kagum pada Orang Indonesia’. Di mana ‘Anak Asuh Bernama Indonesia’ bisa begitu lepas dan bahagia seperti cerita-cerita lucu dalam ‘Folklore Madura’.
Namun, ‘Kiai Sudrun Gugat’. Ia sama sekali tidak setuju dan menganggap apa yang dikatakan Pak Kanjeng hanyalah ‘OPLeS: Opini Plesetan’. ‘Kerajaan Indonesia’ adalah ‘Republik Gundul Pacul’. Negeri ini ibarat ‘Perahu Retak’, katanya, ‘Kapal Nuh Abad 21’ yang justru ‘Allah Merasa Heran’ karena kapal itu dikuasai ‘Iblis Nusantara Dajjal Dunia’ yang berkomplot dengan ‘Kafir Liberal’. Dinahkodai oleh Pemimpin yang Tuhan, padahal itu hanya GR saja, ‘Presiden Balkadaba’ yang hanya mementingkan ‘Yang Terhormat Nama Saya’, membuat bangsanya jadi ‘Gelandangan di Kampung Sendiri’!
Mendengar Kiai Sudrun begitu penuh emosi dan berapi-api, Markesot mengalihkan pandangannya ke sudut masjid. Kemudian menatap seorang Kiai yang tak pernah mengenalkan namanya sendiri, Kiainya ‘Orang Maiyah’, Kiai yang selalu tenang membacakan ‘Syair-syair Asmaul Husna’.
Darinya ‘Markesot Belajar Mengaji’, dari ‘Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai’ bahkan dari ‘Slilit Sang Kiai’. Darinya ia belajar kesabaran bahwa ‘Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem’, seperti laku yang diajarkan ‘Suluk Pesisiran’.
Melalui tutur lembut Sang Kiai ketika ‘Sinau Bareng Markesot’ selama ini, ia belajar bahwa bahkan dari ‘Secangkir Kopi Jon Pakir’ kita masih bisa menemukan harapan dari ‘Sesobek Buku Harian Indonesia’. Belajar memahami ‘Nasionalisme Muhammad’ yang tidak pernah putus asa bahwa ‘Cahaya Maha Cahaya’ tidak akan meninggalkan apalagi berhenti mencintainya. Yang meski kadang wahyu datang terlambat atau nubuat terasa meragukan, tetapi ‘Tidak. Jibril Tidak Pensiun’. Hanya ‘Allah Tidak Cerewet Seperti Kita’ sebab barangkali kadang ‘Tuhan Pun Berpuasa’.
‘Markesot Bertutur Lagi’, bahwa tentang negeri ini kita harus melakukan ‘Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan’, sambil bermain cantik dengan ‘Bola-bola Kultural’, dalam rangka menyelamatkan Indonesia dari ‘Titik Nadir Demokrasi’ agar tak terlempar ke ‘Keranjang Sampah’ sejarah dan peradaban.
Mendengar kematangan dan ketenangan Markesot, Pak Kanjeng mengangguk-angguk. Ia sepakat bahwa ‘Demokrasi La Roiba Fih’ meskipun harus diperkuat dengan ‘Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah’. Jangan sampai kita kembali menerapkan ‘Demokrasi Tolol Versi Saridin’ yang dulu membuat kita gagal ‘Menyibak Kabut Saat-saat Terakhir bersama Soeharto’. Begitu absurd sehingga hampir membuat bangsa ini ‘Mati Ketawa ala Refotnasi’. ‘Urusan Laut Jangan Dibawa ke Darat’, katanya.
Namun, ‘Kiai Hologram’ punya pendapat lain. Ia adalah Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Katanya, Indonesia itu seksi sekaligus agung seperti ‘BH’ seorang ibu. Darinya kita menemukan kegairahan sekaligus kemuliaan, tergantung sudut pandang. Jika otak kita ngeres, maka yang kita lihat hanya kesaruan. Jika pikiran kita jernih, bukankah dengannya air susu kasih sayang dijaga dan dilindungi selama ini? Bayangkan jika ‘Istriku Seribu’, katanya, tidakkah Indonesia begitu Indah seperti ‘Syair Lautan Jilbab’, seperti ‘Sajak-sajak Sepanjang Jalan’ ketika kita bersepeda ‘Jogja-Indonesia Pulang Pergi’?
Mendengar pendapat Kiai Hologram, Kiai Sudrun naik pitam. Ia ‘Terus Mencoba Budaya Tanding’. Ia begitu marah dengan pendapat Kiai Hologram, menunjuk-nunjuknya sambil mengulang-ulang kalimat yang gelisah itu: ‘Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu’. Rasanya ia ingin mendaftar semua kegelisahannya dalam ‘99 untuk Tuhanku’ atau menulis ‘Surat kepada Kanjeng Nabi’ tentang semua kekacauan ini. Ia ingin menggelar ‘Doa Mohon Kutukan’ karena sungguh Indonesia sudah tak bisa diselamatkan lagi. Bahkan kalau bisa, ia ingin ‘Abacadabra Kita Ngumpet’ saja.
Namun, tiba-tiba Kiai Sudrun terjengkang. Kini ia meringkuk kesakitan. Jiwa santri Markesot segera membuatnya bangkit untuk memeriksa apa gerangan yang terjadi pada Kiai Sudrun. Betapa terkejut ia melihat ‘Jejak Tinju Pak Kiai’ di dada Kiai Sudrun. Bagaimana ini bisa terjadi? Markesot menghela nafas, berbahaya memang jika membuat Kiainya Orang Maiyah marah. Bikin semua ‘Kiai Kocar-Kacir’ seperti ini.
Kini, musyawarah itu pun hening. Markesot diminta mendekat oleh Kiai Maiyah untuk mengabarkan ‘Kenduri Cinta’, ‘Padang Rembulan’, dan ‘Kado Muhammad’ untuk Indonesia. Bahwa kita harus mencintai ‘Indonesia Apa Adanya’, lebih banyak mendengarkan ‘Nyanyian Gelandangan’, ‘Tak Mati-Mati’ ‘Menggambar Karikatur Cinta’ untuk negeri ini, menemukan ‘Sastra yang Membebaskan’ sebagai ‘Doa Mencabut Kutukan’ sekaligus ‘Talbiyah Cinta’ dan ‘Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia’.
‘Jangan Cintai Ibu Pertiwi’ jika pada saat yang sama kau ingin menghancurkannya. Berhentilah menyebut dirimu muslim jika gagal memahami bahwa ‘Islam itu Rahmatan Lil Alamin, Bukan untuk Kamu Sendiri’. Jangan menggelar ‘Sidang Para Setan’, jangan ‘Menyorong Rembulan’ di ‘Tikungan Iblis’,  jangan terlibat dalam ‘Segitiga Cinta’ untuk membersamai Iblis ‘Mencari Buah Simalakama’. Sebab sejatinya ‘Iblis Tidak Butuh Pengikut’!
‘Jaman Wis Akhir’, jadilah ‘Santri-santri Khidir’, jadilah ‘Duta dari Masa Depan’, ‘Daur’ lagi cintamu hingga jika negeri ini harus ‘Lockdown 309 Tahun’ sekalipun engkau tetap bisa menemukan ‘Hikmah Puasa’ dari semesta kejadianNya.
Usai Markesot menyampaikan semuanya, tiba-tiba masjid dipenuhi ribuan jamaah. Di luar masjid, bahkan gelombang manusia terus berdatangan. Berjuta-juta. Berpuluh-puluh juta. Markesot kemudian bergerak ke tengah-tengah kerumunan itu. Sambil memegang pengeras suara, ia ‘Terus Berjalan’ membelah lautan manusia. Ia membaca ‘Wirid Padang Bulan’, menyanyikan ‘Dangdut Kesejukan’ yang kemudian diikuti jutaan manusia menyerupai shalawat.
Di ujung kerumunan, Markesot menghilang. Lenyap ditelan shalawat yang terus menggema. Pak Kanjeng, Kiai Sudrun dan Kiai Hologram hanya bisa bertanya-tanya, ‘Siapa Sebenarnya Markesot?’
Bintaro, 27 Mei 2020
FAHD PAHDEPIE
*Ditulis untuk merayakan#67TahunCakNun. Tulisan ini dirangkai dari judul-judul buku puisi, esai, cerpen, novel dan album yang pernah ditulis Mbah Nun. Hampir seluruhnya sudah saya baca, saya dengarkan, saya tonton (Tebak tahun berapa saja?). Meski saya belum pernah sekalipun bertemu secara personal dengannya, Mbah Nun adalah salah satu guru terbesar dalam hidup saya. Berkah dan sehat selalu, Mbah Nun.
34 notes · View notes
diptra · 4 years
Text
Sel otak 🧠 tetep melakukan regenerasi ketika kita menua.
1 note · View note
diptra · 4 years
Text
Tumblr media
Right or Wrong
Pada dasarnya di antara kita semua tak ada yang mau dipersalahkan. Meskipun kita berbuat salah.
Bahkan dalam sidang pengadilan pun, seseorang yang sudah jelas-jelas terbukti salah masih didampingi pengacra untuk membela kesalahan terdakwa.
Maka jangan heran yaa kalo kita dipersalahkan orang lain, atau kita menyalahkan orang lain, maka akan timbul pembelaan. Pembelaan secara spontan malah. Karena pada dasarnya kita ga suka dipersalahkan.
Automatic defense mechanism yang ada di pikiran bawah sadar kita langsung aktif begitu mendengar pernyataan yang menyalah-nyalahkan tindakan yang kita lakukan.
Maka jangan heran juga ketika terjadi sebuah baku hantam atau pertengkaran disebabkan hal ini juga. Salah satu pihak tidak terima ketika dipersalahkan. Melakukan pembelaan malah terus diserang. Jadilah pertengkaran dalam segala bentuknya.
Kalau sudah seperti ini, misal kita berada pada pihak yang dipersalahkan, maka respon seperti apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pertama, yaa diam dulu. Menarik nafas dalam-dalam agar bisa berpikir lebih jernih. Mempertimbangkan apakah aksi pembelaan kita bakal memperunyam keadaan. Atau pembelaan yang kita lakukan apakah urgent untuk dilakukan?
Atau berpikir ulang apakah tindakan yang kita lakukan benar-benar salah? Jika iya lebih baik diam dan tidak melakukan pembelaan. Karena ketika melakukan pembelaan, bisa jadi itu adalah tindakan yang dilandasi oleh ego.
Kedua, yaa tetap diam. Apalagi jika kita sudah benar-benar terbukti salah. Mengakui kesalahan, meminta maaf dan kemudian diam. Tak perlu mencari pembenaran atau pembelaan.
Tentang diam karena merasa bersalah ini, saya jadi teringat kisah dari Gus Banan ketika semasa di Pondok. Tentang lelaku diam ketika Gus Banan berada pada kondisi dibenci teman-temannua karena kesalahan Gus Banan yang beliau lakukan sebelumnya.
Lantas bagaimana ketika kita berada pada posisi pengamat atau orang yang tau kesalahan orang lain?
Pertama, yaa diam juga dulu. Mempertimbangkan apakah teguran terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain itu perlu dilakukan. Atau bakal memperunyam keadaan.
Kedua, mencari situasi, waktu, dan kondisi yang tepat untuk menyampaikan koreksi. Karena momentum yang pas ketika menyampaikan koreksi bakal lebih mudah diterima.
Kondisi ini termasuk memperhatikan apakah ketika memberikan koreksi berada di ruang publik atau di ruang privat. Sebisa mungkin memberikan koreksi ketika di ruang privat atau sedang bicara empat mata. Memberikan koreksi ketika berada di ruang publik itu lebih kurang sama dengan mempermalukan seseorang di depan umum.
Fiuuh selesai sudah, sampai sini saja yaak.. Ahhahaha. Awalnya saya ini pingin curhat. Lah kok malah jadi tulisan nasehat. Yaa anggap saja ini tadi curhat yang ga jadi. Dan nasehat yang sudah tertulis sebenarnya nasehat untuk diri sendiri.
Nasehat agar lebih baik diam saja ketika berada di posisi orang yang dipersalahkan. Karena belakangan ini merasa berada pada kondisi yang selalu disalahkan. Asu.
Malang, 11 April 2020.
1 note · View note
diptra · 4 years
Text
Tumblr media
Berjemur Matahari
Hmm gambar ini nemu di Unsplash.com. Bagus kan? Baru saja, pukul 10:15 WIB mulai berjemur matahari. Sudah cukup panas. Sebentar saja sudah bikin berkeringat.
Tentu sambil minum dalgona coffee. Jenis kopi yang sedang ngehits itu. Emang enak sih.
Kemudian pikiran saya terbang ke pusaran waktu, belasan tahun lalu. Ketika masih kecil. Ketika itu saya sakit. Pilek. Hidung mampet dan badan agak meriang.
Entah pikiran dari mana. Saya berjemur di teras rumah. Pikiran simpel saya berbicara kalau badan sedang terasa dingin maka butuh asupan panas. Padahal badan saya sedang demam. Tapi rasanya dingin sekali.
Setelah beberapa menit berjemur, hidung yang sentrap-sentrup dilalui umbel itu sirna. Demam di badan pun berangsur mereda.
Esoknya saya sembuh dari sakit pilek. Tak lagi meriang. Alhamdulillah.
Dari pengalaman empiris ketika kecil itu, saya menarik satu kesimpulan. Jika badan mulai demam karena flu, maka salah satu usaha penyembuhan yang bisa dilakukan adalah dengan berjemur.
Tentu tak hanya berjemur. Saat itu aktivitas terapi berjemur yang saya lakukan disertai dengan satu aktivitas favorit. Mengupil. Aahh ini jangan ditiru.
0 notes
diptra · 4 years
Text
Tumblr media
Tiba-tiba Keinget
Bagaimana yaa kelanjutan kasus ini. Masih bingung dengan serentetan kasus yang tiba-tiba menyeruak. Tak sampai lama dalam hitungan pekan bakal menghilang dari ingatan komunal.
Kasus yang lumayan menggemparkan. Tentang penyelundupan. Berlanjut dengan ujaran pergundikan. Embuh, jadi bingung mengikutinya sudah sampe mana.
Belum selesai satu kasus, sudah bertambah kepada kasus lainnya.
Malang, 23 Fabruari 2020.
0 notes
diptra · 5 years
Photo
Tumblr media
1 note · View note
diptra · 5 years
Text
Short Notes
Tumblr media
Tentang Short Notes. Tentang blog ini kok. Tagline-nya. Inginnya bikin tulisan pendek-pendek saja. Sekalian belajar menulis.
Belajar nulis dan bertutur seperti Pak DI. Kalo mau nulis tiap hari macam beliau rasanya terlalu jauh. Berat lawannya. Terlalu jauh jaraknya hehe.
Mau niru-niru anaknya, Mas Azrul kok rasanya berat juga. Ikutan lomba berhadiah laptop pekan kemarin aja saya kalah. Ini mau nyaingi nulis tiap pekan dan berisi macam Mas Azrul. Jauuuuh.
Lah kan malah curhat. Anggap ae pelepasan emosi haha.
Lah paling enggak dengan tau maqom, tau bakal mulai dari mana. Ya kan?
Apalagi sejak menyadari kenyataan tentang diri sendiri. Kenyataan kalo saya ini tipikal peniru. Peniru dengan sedikit modifikasi.
Pas intens baca karya seseorang, saya meniru. Lamat-lamat pola tulisan saya yaa mirip-mirip.
Belajar nulis. Belajar merangkai kata lagi pelan-pelan. Yang terlalu panjang dipangkas biar ringan. Yang terlalu pendek dikembangin dikit.
Yaa begitulah. Saya pinginnya bisa nulis tiap hari di blog ini.
comment for this post.
5 notes · View notes
diptra · 5 years
Text
Jangan Kasih Kendor
Tumblr media
0 notes
diptra · 5 years
Text
Pewaris Hujan
Tiba-tiba saja aku ingin menjadi pewaris hujan yang dirindukan oleh manusia paling mulia itu. Manusia termulia bahkan. Sebuah rindu berusia 14 abad. Mereka, para pewaris hujan, meskipun hanya setetes saja yang mereka bumikan di dalam keseharian.
Mereka yang menyebut-nyebut juga nama beliau dengan penuh rindu. Rindu paling syahdu tanpa suara.
2 notes · View notes
diptra · 5 years
Text
Tenangnya Hidup Offline
by. Azrul Ananda
Saya punya akun Facebook, tapi sudah tidak aktif. Saya tidak punya akun Twitter. Saya tidak pakai WA, Line, dan lain-lain. Merdeka!
---
Kita yang lahir pada 1970-an (Generation X?) tergolong generasi ''transisi''. Dari generasi surat manual menuju surel. Dari telepon landline menuju segala alat komunikasi yang ada sekarang.
Pada 1993–1994, waktu SMA, saya pernah merasakan serunya surat-menyurat manual dengan ''teman perempuan khusus''. Saya menulis surat panjang, dikirim pakai pos dari Kansas, dua minggu kemudian sampai ke Indonesia. Dia membalas, kirim pakai pos lagi, dua minggu kemudian saya terima.
Telepon pun benar-benar harus limited dan emergency only, karena tarif telepon internasional waktu itu dari Amerika sampai USD 2 per menit.
Tidak ada yang instan. Seru dan berdebar-debarnya lebih lama.
Kemudian, waktu awal kuliah, mulai muncul e-mail. Pakai komputer kecepatan terdahsyat waktu itu, dengan modem yang lebih dulu bunyi tulat-tulit-ngiiiiiiikkk sebelum nyambung.
Pakai America Online (AOL), kalau ada e-mail masuk, ada bunyi yang sangat menyenangkan: ''You've got mail!''
Bersama roommate saya waktu kuliah, kami juga suka chatting online. Di AOL juga, di ''Indonesian Room''. Saya pakai nama Bemoturbo, yang kemudian ngobrol dengan BajajV12 dan nama-nama aneh lain.
Jadul abis, ya?
Hebatnya zaman itu, dan ini baru saya sadari ketika ngobrol dengan teman kuliah dulu, kita kalau janjian tidak pernah meleset. Besok janji ketemu jam 12, ya ketemu jam 12. Tidak ada SMS atau BBM atau pesan singkat lain untuk memastikan. Kalau janji, tak bisa atau sangat sulit untuk di-cancel.
Telepon pun tidak bisa menyaring siapa yang menelepon. Kecuali di rumah beli servis khusus caller ID. Ada alat tambahan yang bisa membantu melihat nomor penelepon.
Sangat seru ketika pukul 3 pagi, ada telepon masuk, tulisannya ''Sacramento Jail'' alias penjara di Kota Sacramento, kota tempat saya kuliah dulu.
Hehehe… Itu telepon dari teman saya (yang hanya dapat kesempatan menelepon satu kali), yang minta dijemput di penjara gara-gara tertangkap polisi sedang nyetir dalam kondisi habis minum-minum.
Padahal, waktu itu orang tua saya sedang berkunjung. Melihat saya keluar apartemen pukul 3 pagi, tentu ibu saya bertanya mau pergi ke mana. Saya jawab: ''Jemput teman, mobilnya mogok.''
Wkwkwkwkwkwkk…
Hidup di zaman itu begitu sederhana…
---
Saya sempat punya akun Friendster. Saya juga masih punya akun Facebook, walau nonaktif. Dulu, itu alat komunikasi saya dengan teman-teman sekolah, yang sekarang tinggal tersebar di berbagai negara.
Lalu, pada suatu hari, beberapa tahun yang lalu, ketika buka akun Facebook itu, ada lebih dari 3.000 request.
Hari itu juga saya memutuskan untuk nonaktif.
Hari itu juga saya memutuskan untuk offline. Atau minimal-line…
Saya meminimalkan alat komunikasi dengan hanya satu HP. Itu pun selalu silent dan tak ada push e-mail. Bukannya antiteknologi. Saya hanya menjaga kemerdekaan saya untuk memilih dan menerima.
Old school. Tapi tidak kuno.
Toh, orang tidak perlu tahu saya sedang makan di mana, sedang ngapain, sedang mengomentari apa, dan lain sebagainya.
Dan saya kadang juga tidak mau tahu orang lain sedang makan di mana, pakai baju apa, atau mengomentari apa. Dan orang lain silakan habis-habisan mengkritik atau mengomeli saya, karena saya akan tetap hidup tenang karena tidak memedulikannya…
Lagi pula, luar biasa waktu yang bisa kita habiskan untuk memegang dan memelototi itu layar. Kadang sedih juga melihat banyak orang tua (termasuk saya dan istri), kadang sibuk lihat HP, padahal sedang ''quality time'' bersama anak.
Dan sekarang, begitu mudahnya memutus janji lewat beberapa tekanan jempol atau jari lain. Bahkan memutus hubungan dan lain sebagainya…
Yang saya ngeri, skill berkomunikasi via jempol itu sangat variatif. Ada yang pemahaman dan kemampuan ejanya buruk, sehingga gampang sekali miskom dan emosional. Kadang ada keterlambatan sedikit, berakibat salah urut jawaban dan bikin emosional.
Jangan salah. Saya sangat proteknologi. Alasannya sangat klise: Hidup kita jadi jauh lebih mudah, lebih praktis. Dan anak-anak harus terus diajari sedini mungkin tentang pemakaian teknologi.
Di sisi lain, jangan-jangan live communication skill-nya terlupakan. Jago ngetik 140 karakter, tapi sama sekali tidak bisa menulis esai (yang butuh kemampuan logika dan penataan penyampaian dengan cara lebih kompleks). Jago menulis status, tapi tidak jago memenuhi komitmen atau janji. Jago berkomentar via media sosial, tapi tidak mampu berbicara langsung terang-terangan di depan orang.
Karena saya di dunia media, saya merasa perlu menyampaikan ini: Saya paling kurang sreg melihat wartawan wawancara sambil mencatat/mengetik pakai HP.
Dalam wawancara, kita harus bisa menatap mata narasumber dan berkomunikasi secara utuh. Kalau mencatat pakai HP, mata kita selalu ke layar sementara sang narasumber berbicara. Saya merasa ini kok kurang sopan ya?
Waktu mengunjungi sebuah SMA canggih di Amerika tahun lalu, kami kagum melihat sekolah itu menggunakan tablet/iPad untuk sistem mengajar dan mengerjakan tugas. Tidak ada kertas, tidak ada papan tulis. Semua digital.
Keren? Ya. Semua pekerjaan anak terpantau. Semua progres terlihat mendetail.
Tapi, teman saya yang bule tiba-tiba nyeletuk: ''Wah, sekolah sekarang tidak asyik. Tidak bisa lagi cari-cari alasan tidak mengerjakan tugas. Tidak ada lagi alasan 'PR saya dimakan anjing'.''
Dan kami berdua sepakat, berbohong dan cari-cari alasan kepada guru dan orang tua itu termasuk skill penting hidup. Itu termasuk social skill yang juga kita dapat di sekolah.
Anak-anak di sekolah itu mungkin tidak bisa merasakan betapa bangganya perasaan ketika berhasil mengelabui guru.
Yang penting niatnya tidak jahat, hahahaha…
Anyway… Sebagai penutup, tidak berarti saya antiteknologi dan anti-social media. Mereka tetap alat luar biasa yang telah terbukti bisa mengubah dunia. Tapi, apakah kita benar-benar butuh semuanya?
Kadang, kangen juga menulis di selembar kertas, beli prangko, dan menunggu beberapa hari sebelum yang disurati membacanya… (*)
2 notes · View notes
diptra · 5 years
Text
Berbahagialah orang-orang yang selera humornya anjlog. Tak perlu akrobatik logika cerdas untuk tertawa bahagia sampai sakit perut.
DiPtra
1 note · View note
diptra · 5 years
Text
Nulis di Write.as Nyambung ke Tumblr.
Senin lalu, resmi sudah Tumblr diakuisi oleh Automattic. Keren sih menurutku, daripada dibawah bendera Yahoo! atau Verizon.
Sebenernya, tulisan ini semacam percobaan aja. Percobaan cross-posting dari Write.as ke Tumblr. Jadinya ehem, bisa jadi ke depan nulisnya tetep di Write.as, terus nganu eemh disambungin atau autoposting ke Tumblr.
Udah gitu aja. Ga mau panjang-panjang. Namanya juga eksperimen. Eh sesuai judul blog ini, Short Notes.
owh iyaa, kalo ada pertanyaan atau komen atas tulisan ini silahkan pencet link di bawah ini ya. Link di bawah ini nyambung ke fitur Ask di Tumblr. Semoga pihak Automattic tidak menghilangkan fitur Ask ini dalam waktu dekat. Kalau bisa selama-lamanya.
Ask Me Something.
1 note · View note
diptra · 5 years
Photo
Semoga aja setelah ini Karp direkrut sama Automattic. Ameen
Tumblr media
Letter I just sent to my team ♥️
29K notes · View notes
diptra · 5 years
Text
Tumblr media
Pagi tadi, sambil nungguin bubur ayam diracik, saya nemu objek foto menarik. Kucing sedang asik tidur di etalase tempat pedagang kaki lima biasa berjualan.
Ngulet-ngulet tanpa peduli keriuhan di sekitar. Atas ketawakkalan kucing terhadap rezeki dari Allah melalui alam semesta, saya takzim belajar.
0 notes