Tumgik
edhisaputraedsa · 11 months
Text
PRIA YANG MENCINTAI HUJAN
Tumblr media
Segelas coklat panas rasanya sangat pas menemani kegiatan menulis Arisa sore ini. Sepulang dari kantor Arisa memang selalu menyempatkan diri mampir ke Rose Caf' untuk sekedar menikmati coklat panasnya yang terkenal sangat enak. Ditambah hujan deras yang mengharuskan dia lebih lama di cafe itu. Saat masih asyik dengan laptopnya. Tiba tiba, cringgg… suara pintu caf' terbuka. Seorang pemuda masuk dengan baju yang sedikit basah. Ia mengarahkan pandangan ke setiap penjuru caf', dilihatnya Arisa yang sedang lincah mengetik. Pemuda itu tersenyum dan berjalan menuju Arisa.
'Permisi' kata pemuda itu, 'Ya' sahut Arisa tanpa melepaskan pandangannya dari monitor.
'Apa aku boleh duduk disini?' tanyanya lagi.
Arisa memandang pemuda itu sekilas 'Its okey' sambil terus melanjutkan kegiatannya.
Tak lama kemudian pelayan caf' datang, pemuda itu memesan segelas vanilla latte. Setelah pelayan pergi pemuda itu memulai lagi pembicaraanya dengan Arisa.
'Kau masih sama seperti dulu' katanya membuka pembicaraan
Arisa menghentikan jari jari lentiknya.
'Maksudmu?' kata Arisa dengan nada tak acuh.
'Masih sama cantiknya' jawab pemuda itu lagi.
'Cihh, kau juga masih sama. Masih pintar merayu'. Sepertinya Arisa tak suka dipuji demikian. Tak berapa lama pelayan caf' itu mengantarkan pesanan si pemuda, obrolan terhenti sejenak.
'Hahaha, itu memang kelebihanku Arisa' pemuda itu melanjutkan.
'Sudah berapa wanita Amrik yang kau dapatkan dari hasil merayumu?' nada sinis Arisa terdengar.
'Tak satu pun' jawabnya lemah.
'Hah? apa mungkin wanita Amrik terlalu pintar untuk dibohongi dengan rayuan murahanmu' ejek Arisa yang mulai mengalihkan laptopnya.
Pemuda itu terdiam, suasana hening di antara mereka. Pemuda itu menghembuskan nafas dalam-dalam.
'Itu semua bukan karena mereka pintar, tanpa kurayu pun mereka banyak yang suka padaku' ungkapnya. Arisa menatap pemuda itu lekat-lekat, setiap garis muka pemuda itu ditelusurinya, hidungnya mancung, wajahnya yang putih bersih, bola matanya tajam dan berwarna kecoklatan memang sulit jika tak menilainya tampan.
'Terus kenapa tak kau pacari salah satu dari mereka, membawanya ke Indonesia dan kau kenalkan padaku!' sungut Arisa.
Pemuda itu menatap Arisa tajam, hal ini membuat Arisa salah tingkah ia menyeruput coklatnya yang mulai mendingin sampai habis tak tersisa.
'Karena cintaku telah dimiliki oleh gadis Indonesia' jawabnya sambil tetap menatap Arisa
'Dan gadis itu sekarang ada di hadapanku' lanjut pemuda itu sambil tersenyum.
'Kali ini aku takkan hanyut oleh rayuanmu lagi, Rafa' Arisa menyebut nama pemuda itu.
'Ternyata setelah sekian lama, kita dipertemukan lagi oleh Tuhan lewat hujan' kata Rafa tak mempedulikan kalimat terakhir Arisa. Otak Arisa berputar mengingat peristiwa lima tahun yang lalu, dimana ia dan Rafa untuk pertama kalinya dipertemukan, memori yang sudah lama ingin ia lupakan.
Mei 2007, Halte Bus
Langit hitam, butiran air turun dari langit dengan derasnya. Gelegar petir melengkapi datangnya hujan sore ini. Arisa yang pulang dari klub Karate terpaksa berteduh di sebuah halte bus yang tampaknya sudah tidak terpakai. Ia menepikan motornya.
'Hah sial!! kenapa bisa lupa bawa mantel sih' umpatnya kesal
Tiba tiba sebuah motor sport berhenti di depan halte, pengendara motor itu berlari menghampiri Arisa dan melepaskan helmnya. Arisa merapatkan tasnya rapat rapat selain takut dengan pemuda itu udara dingin juga mengusik kenyamannya. Pemuda itu tersenyum ke arah Arisa. Pemuda sudah basah kuyup. Ia membuka tasnya dan mengambil sebuah jaket dan menyerahkannya pada Arisa.
'Pakai aja, itu punyaku!!' kata pemuda itu sambil tersenyum ke arah Arisa
'Kenapa kamu tak memakainya?' tanya Arisa heran
'Aku suka hujan' jawabnya pendek
'Hah?' Arisa masih tak mengerti maksud pemuda itu
Pemuda itu masih saja tersenyum, sepertinya ia senang melihat kebingungan Arisa
'Aku mencintai hujan, bagiku hujan itu anugerah tuhan. Saat aku mencintai hujan sama halnya aku mencintai anugerah tuhan, dan kalau aku memakai jaket itu sama aja aku menghalangi kulitku tersentuh oleh tangan tuhan'
'Dasar aneh!!' batin Arisa dalam hati
'Kau pasti mengiraku aneh' kata pemuda itu seperti mengerti apa yang difikirkan Arisa.
'Emang' sahut Arisa pendek
'Ternyata kau orang yang jujur ya!' sindir pemuda itu sambil memandangi Arisa
'Oh ya kita belum berkenalan, aku Rafa'
'Arisa'
'Nama yang cantik, sama seperti orangnya' rayu Rafa yang berhasil membuat Arisa tersipu malu
'Senang bisa bertemu denganmu, aku pergi dulu ya!!' pamit Rafa
'Tapi hujannya kan masih deres banget!'
'Justru aku harus pergi sebelum hujan reda'
'Jaketmu?' tanya Arisa
'Kau bisa kembalikan jika kita bertemu lagi'
'Jika kita tidak bertemu?'
'Aku yakin suatu saat kita akan bertemu, Bye' Rafa menghilang dibalik lebatnya hujan
Perkenalan singkat yang mempertemukan mereka cukup memberi kesan pada hati mereka masing masing. Cukup menunggu skenario tuhan untuk mempertemukan mereka kembali, yah dan mereka berdua yakin itu.
Malam tahun baru 2008, Puncak
Suasana riuh memang selalu mengiringi malam pergantian tahun. Terompet, kembang api, pesta barbeque seakan menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Kali ini Marsha merayakan tahun baru bersama sama dengan teman teman kampusnya.
'Sa, apa harapan loe di tahun ini' tanya Miranda, sahabatnya
'Gue pengen tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya' jawab Marsha singkat
'Semua orang juga berharap gitu kali Sa'
'Nah terus?'
'Harapan yang lebih khusus'
'Gak ada sih, ehm gue pengen kuliah gue cepet kelar deh'
'Kalau itu sih kayaknya bakal terkabul deh, tahun ini pasti loe bakal dapet gelar sarjana ekonomi'
'Aminnn' mereka kompak mengamini
'Oh ya Sa, loe gak pengen punya pacar gitu?'
'Haduh Nda gue masih belum kepikiran tuh. Masih pengen sukses dulu baru deh seneng seneng!!'
'Masa sih selama ini loe belum ketemu someone yang loe rasa special gitu'
Arisa terdiam dan kemudian tersenyum simpul, 'Ada sih' ungkapnya malu malu
'Hah? Siapa? Ahh curang loe gak cerita cerita!!' Miranda pura pura kesal
'Namanya Rafa' ujar Arisa pelan
'Orangnya gimana ganteng? Loe udah seberapa deket sama dia? Ketemu dimana?' tanya Miranda membombardir Arisa
'Orangnya aneh. Gimana deket, ketemu aja cuman sekali di halte bus yang udah gak kepake!!'
'Hah?' Miranda mengaruk kepalanya yang tidak gatal
Akhirnya Arisa menceritakan kronologis pertemuannya dengan Rafa.
'Gue doain loe bisa ketemu deh sama pangeran loe itu'
'Tapi aku masih belum yakin sih Nda' ujar Arisa ragu
'Oh ya kalau hubungan loe sama Kevin gimana?' tanya Arisa mengalihkan pembicaraaan
'Kayaknya gue udah gak pengen jadiin Kevin pacar deh'
'Hah? Maksud loe?' Arisa terkejut
'Ya gue udah bosen pacaran sama Kevin!!'
'Serius loe? Loe udah mikirin ini semua mateng mateng kan?'
'Iya Sa, masa gue bohong sih. Gue udah bosen jadiin dia pacar, gue pengen dia jadi suami gue'
'Hah?'
'Iya, bulan depan rencananya Kevin mau ngelamar gue hehehe'
'Hah? Gue fikir… Congrats ya Nda' kata Arisa memeluk Miranda
'Sumpah ya, loe emang paling bisa bikin gue shock'
April 2008, Pesta pernikahan Miranda dan Kevin
'Selamat Miranda sayang' Arisa memberi selamat kepada kedua mempelai
'Makasih Dear'
'Kev, jagain Miranda ya!!'
'Oke bos'
'Oh ya gue nyari minuman dulu ya, auss banget nih' pamit Arisa pada pasangan pengantin baru itu
Setelah asyik memilah milih minuman yang berwarna warni, Arisa menegaknya sampai habis. Kelihatan sekali ia sedang kehausan, tiba tiba terdengar seseorang yang memanggil namanya
'Arisa' sontak Arisa menoleh pada pemilik suara itu
'Masih ingat aku?'
'Rafa' pekik Arisa
Rafa tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. Setelan jas yang ia kenakan semakin membuatnya memukau.
'Apa kabar Sa?'
'Baik, kamu?'
'Aku juga baik, kamu kesini sendiri?'
'Seperti yang kamu lihat, kalau kamu?'
Sebelum Rafa menjawab, seorang wanita bergaun ungu muda menghampiri mereka berdua dan bergelanjut mesra di lengan Rafa
'Sayang, kita kasih selamat pengantinnya yuk. Oh ya ini siapa yang? Temen kamu?' tanya wanita itu
'Oh ya ini Arisa'
'Arisa ini Tifanny'
'Arisa'
'Tifanny'
'Arisa temen kamu? Kok kamu gak pernah cerita sih sayang?'
'Ehh Raf, aku permisi dulu ya!!' pamit Arisa pergi menjauh dari kedua pasangan itu. Arisa tak bisa membendung air matanya. Pertemuan hari itu cukup membuat hatinya hancur.
September 2008 kantor Arisa
'Sa, ada yang mau ketemu sama kamu tuh!!' kata Yuna, rekan kerja Arisa
'Siapa?' tanya Arisa heran
'Kurang tau sih Sa, katanya sih penting. Dia nunggu di lobi!!'
'Oke thanks Yun'
Arisa menghentikan pekerjaaannya dan segera menuju ke lobby.
'Arisa'
'Oo kamu Raf' ujar Arisa dingin
'Sa, aku mau ngomong sesuatu sama kamu!!'
'Ngomong aja!'
'Bisa kita keluar sebentar?'
Arisa mengangguk dan mereka berdua menuju coffe bean yang tak jauh dari kantor Arisa
'Kenapa bisa sampai disini?' tanya Arisa dengan sedikit ketus
'Selama lima bulan ini aku nyari kamu Sa'
'Oo kamu mau ambil jaket kamu? Masih ada kok!'
'Sa, aku serius!!'
'Rafa, aku juga serius'
'Dua bulan lagi aku akan ke Amerika buat ngelanjutin studiku!!' ujar Rafa pelan
'So?'
'Sebelum aku pergi aku pengen kamu tau. Semenjak pertama kita ketemu aku sudah menaruh hati padamu Sa!'
Arisa tercekat, seakan tak percaya dengan apa yang telah didengarnya
'Aku cinta kamu Sa'
'Hah? Gak mungkin Raf, kita baru beberapa kali bertemu. Gak ada alasan untuk kamu suka aku!'
'Dan gak ada alasan juga untuk gak suka kamu Sa. Dan entah mengapa aku merasa kau juga merasakan hal yang sama!' ungkap Rafa
'Geer kamu Raf, terus pacar kamu waktu itu?'
'Maksud kamu Tifanny? Aku gak cinta sama dia, dia anak dari teman bisnis papaku yang akan dijodohkan denganku Sa!'
'Raf, aku gak ngerti jalan fikiran kamu? Kamu mau ke Amerika dan bilang cinta aku disaat kamu udah dijodohin. Maksud kamu apa sih Raf?' Arisa terisak
'Maafin aku Sa. Ini semua keinginan papaku Sa. Aku diberi dua pilihan, menikah dengan Tifanny atau kuliah di Amerika. Aku terpaksa memilih option kedua Sa'
'Aku gak harap kamu akan nunggu aku Sa, aku hanya ingin kamu tau perasaanku sama kamu!'
'Aku gak bisa Raf, aku harus kembali ke kantor banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan' ucap Arisa sambil pergi meninggalkan Arisa
Langit mendadak mendung, semendung hati Arisa. Turunnya air hujan bersamaan dengan meluruhnya air mata Arisa.
Juli 2012, Atap Sebuah Gedung
'Sa, langitnya cerah banget ya?'
Arisa mengangguk 'Iya Raf, bintangnya bagus banget!'
'Aku udah lama pengen nunjukin tempat ini ke kamu, tapi baru sempet sekarang' kata Rafa sambil memandangi Arisa
'Sa, maafin aku ya' lanjutnya
'Maaf untuk?'
'Semuanya' ucap Rafa diiringi dengan nada menyesal, Arisa hanya mengangguk.
'Oh ya Sa, aku sudah berhenti mencintai hujan'
'Kenapa?' tanya Arisa heran
'Aku sadar Sa. Aku bisa berhenti mencintai hujan, tapi aku tidak pernah bisa berhenti mencintai kamu!'
'Sa, maukah kamu menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?' tanya Rafa sambil membuka kotak kecil berwarna merah hati yang berisi cincin permata yang sangat indah.
Untuk kesekian kalinya Arisa mengangguk diiringi dengan senyum bahagianya, Rafa memasangkan cincin tersebut pada jari manis Arisa kemudian memeluk wanita yang sangat dicintainya itu. Malam ini terasa begitu indah bagi mereka berdua. Walaupun tanpa hujan, bintang dan bulan cukup menjadi saksi bersatunya kedua insan itu.
0 notes
edhisaputraedsa · 11 months
Text
GERIMIS AWAL DESEMBER
Tumblr media
Awal Desember. Langit mengganti lazuardinya jadi putih kelabu, menyembunyikan matahari yang sedang malas. Membuatnya jadi muram. Udara terasa lebih dingin. Bumi yang ini jadi basah. Sementara di belahan bumi lain jadi putih di mana-mana. Orang-orang jadi malas beraktivitas pula. Mereka lebih suka di rumah untuk tidur dan orang-orang di belahan bumi lain itu akan duduk di depan perapian beralaskan karpet bulu yang hangat. Tetapi aku heran dengan mereka di bawah sana. Berlarian ke sana kemari, menendang, menggulirkan sesuatu yang bundar menggelinding di tanah yang keras, rata dan halus. Sementara di sekelilingnya orang-orang yang lain bersorak-sorak, tak peduli dengan hembusan angin desember. Dan kejadian ini bukan yang pertama kali. Sudah beberapa hari ini aku menyaksikan hal yang sama. Bahkan ketika aku mulai 'bertugas', mereka seakan tak peduli dengan kehadiranku!
Malam ini aku kembali melaksanakan tugasku. Tepatnya masih belum. Aku masih di atas, dan terlihat dari sini mereka lagi-lagi ada di tanah keras dan rata itu. Tanah keras dan rata. Huuh! Aku paling benci apabila harus jatuh di tanah macam itu. Menyakitkan. Aku akan terpelanting lalu menggenang untuk waktu lama. Lebih parahnya lagi aku akan lebih sering terinjak-injak. Sepertinya malam ini aku akan jatuh di sana lagi. Sesekali aku ingin jatuh di tanah yang gembur, lekas terserap, melewati siklus yang selalu sama dan kadang tersangkut di berbagai tempat. Terserap Akar tumbuhan, lalu keluar lagi lewat pucuk dedaun di pagi hari. Jalan yang berliku, namun akan kembali lagi menguap ke langit. Siapa aku? Apa pekerjaanku? Aku benda yang mati. Sebentuk zat. aku adalah setitik air yang terkadang menjelma sebagai rintik kecil gerimis, atau rinai hujan. Tapi beberapa hari ini aku masih melakukan tugas sebagai gerimis. Lebih kecil dari pada gerimis. Aku tengah menjelma serpihan halus gerimis yang mudah di tiup angin. Desember masih dini. Belum saatnya menjadi rinai hujan.
Perintah dari langit sudah terdengar. Sudah waktunya terjun bebas. Semoga kali ini aku tidak terbanting di tanah keras itu. Dan…
Aku mendarat di permukaan yang lunak, berwarna hitam pekat dan menjuntai panjang. Aku tahu. Ini rambut di kepala seseorang. Seorang gadis.
'sudah mulai gerimis' pemuda di sebelah gadis ini menggumam sambil menengadahkan tangannya.
'ya, aku tahu'. Jawab gadis berjaket ini. Hei! Seharusnya kau pakai tudung jaketmu! Karena aku dapat membuatmu pusing. Tapi aku sudah terlanjur mendarat di rambutmu. Semoga kau tidak pusing.
'masih mau di sini?' tanya pemuda itu.
'pertandingan belum selesai, masih baru masuk babak kedua…' jawab gadis itu. Kali ini ia merapatkan jaketnya. Rupanya kau merasa dingin juga.
'ayo geser sedikit, tribun ini tak beratap… bagaimana kalau hujan?' pemuda itu mengajaknya bergeser.
'ah! Masih gerimis halus… belum hujan kok… lagi pula aku tidak akan bisa melihatnya dengan jelas kalau bergeser' tolaknya.
'hhhh' pemuda itu menghela nafas. 'memangnya dia tahu kalau sejak kemarin kau nonton?'
'aku juga tidak tahu, sih…'
'jadi kau hanya sekedar berspekulasi? Nonton sambil dingin-dingin begini tanpa kepastian…? wuih! Dramatis sekali!' ujar pemuda itu sinis.
'yaah… setidaknya aku sudah memberitahunya sejak kemarin, bahwa aku akan datang melihat pertandingannya…'
'ck! Hanya memberitahu lewat jejaring sosial seperti itu bukan jaminan!'
'tapi dia membalas pesanku!'
'oh ya? Lalu apa katanya?'
baiklah, lihat saja kalau memang kau ingin lihat.
'hanya itu? Kedengarannya datar-datar saja. Tidak ada kesan antusias dalam kalimatnya…'
'jadi maksudmu dia tidak peduli dengan kehadiranku? Dia tidak penasaran dan mencariku?'
'entahlah…' jawab pemuda itu.
Gadis itu terdiam. Lalu menghela nafas berat.
'aku harap dugaan itu juga masih spekulasi. Bisa iya, bisa tidak. Tapi aku harap tidak…' ujar gadis itu dengan tatapan menerawang.
'semoga saja. Tetapi, apa kau hanya akan berdiam diri seperti ini terus? Terus-terusan 'berbicara' padanya lewat dunia maya? Padahal pesan yang kau kirim pun hanya sekedar basa-basi!'
'bagaimana menurutmu? Aku perempuan, ruang gerakku terbatas. Tidak mungkin aku langsung menyatakan perasaan kan?'
'terbatas? Itu kan hanya pemikiran konservatif-mu! tidak ada salahnya juga kau bertindak, menunjukkan sedikit eksistensi-mu padanya. Berdiam terus juga percuma dan melelahkan! Dia bukan pangeran yang akan menghampirimu dengan sendirinya dan datang tiba-tiba seperti dongeng!'
'jadi apa yang harus aku lakukan?'
'lakukan dengan cara yang sesuai dengan pemikiran konservatif-mu itu!' jawabnya. Sepertinya kesal.
Gadis itu terdiam lagi. Kali ini seperti memikirkan sesuatu. sebenarnya situasi macam apa yang aku saksikan saat ini? ada apa dengan gadis ini? mengapa matanya tak lepas menatap orang-orang yang berebut benda bundar itu?
'GOLL!!!' tiba-tiba terdengar teriakan dari orang-orang yang bersorak itu. Kali ini seruan itu lebih keras lagi.
'lihat! Tim-nya menang! dia masuk semi final! Lusa aku masih bisa melihatnya!' gadis yang sejak tadi diam terpaku, kini melonjak-lonjak. Membuat posisiku goyah, dan perlahan aku merosot mengikuti helai rambutnya, lalu akhirnya…
Aduh… Sakit!
Aku jatuh lagi di tanah yang keras dan rata.
***
Masih di awal desember. Lusa setelah malam kemarin. Seperti biasa aku masih di awan menunggu perintah dari langit. Kali ini aku akan menjadi rintik gerimis. Dan lagi-lagi aku harus bertugas di tempat yang gaduh ini. semoga aku tidak langsung terjatuh di tanah itu lagi. Aku berharap mendarat di atas permukaan yang lunak seperti rambut gadis yang kemarin. Hei, bagaimana kabar gadis itu ya? Bukankah dia akan datang lagi? Tetapi, siapa sebenarnya yang dia lihat di sini? Apakah seseorang di antara belasan orang-orang yang berebut benda bundar itu?
***
Lagi. Aku terjatuh di kepala seseorang. Tetapi rambutnya tidak menjuntai seperti gadis itu. Siapa lagi ini? oh! Rupanya seorang laki-laki, salah satu di antara orang-orang yang berebut benda bundar itu. Karena kali ini cukup deras, mereka berhenti. Akhirnya mereka sadar juga akan keberadaanku.
'aduh! Di tunda, deh!' nampaknya ia mengeluh karenaku. maaf, ini sudah perintah.
'maklum-lah… musim hujan!' celetuk pemuda di sebelahnya. 'hei! Lihat!' lanjutnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh pemuda ini. hei! Hati-hati! Aku bisa terpelanting ke tanah itu!
'iya. Aku tahu!' jawabnya.
'dia selalu menonton sejak awal kita bertanding!'
'aku juga tahu.' Jawabnya datar.
'hmm.. kau tidak menghampirinya? Lumayan kok…'
Pemuda ini tersenyum. Sesekali ia memandang ke arah seberang. Aha! Aku tahu! Mereka pasti membicarakan gadis yang kemarin. Apa benar orang ini yang gadis itu lihat?
'entahlah…'
'menurutku dia cuma ingin kau tahu…'
'tahu apa?'
'jangan pura-pura bodoh! Masa kau tidak bisa merasakan?'
'ya, ya, ya! Aku tahu kok! Tapi apa kamu yakin, kalau dia…'
'dia punya perasaan padamu!' potong pemuda di sebelahnya.
'tetapi dia hanya diam saja. Dia hanya mengirimkan pesan-pesan yang isinya basa-basi. Tidak ada yang berarti! Yaah, terkadang dia memberi semangat padaku. Aku juga merasa sedikit aneh…'
'dia muncul tiba-tiba di hadapanmu, membuatmu heran, dan dia tidak pernah absen melihat kita bertanding, walau hujan sekalipun! Hei, asal kau tahu ya… aku sering memergokinya melihat ke arahmu saat kita break!'
'benarkah? Lalu kenapa dia tidak menyapa atau menghampiriku?'
'mungkin malu. Beberapa perempuan merasa ruang geraknya terbatas untuk mengekspresikan perasaannya saat ia menyukai laki-laki. Apalagi kau tak mengenalnya! Dan pesan-pesan yang dia tulis itu adalah cara yang dia pilih untuk berkomunikasi denganmu!'
'begitu ya? Lalu aku harus bagaimana? Sementara aku mengharapkan seseorang yang lain untuk melihatku bertanding hari ini…'
'hufth! Rupanya kau masih mengharapkannya! Pantas saja kau tidak peduli dengan gadis di sana itu!'
'kau dan gadis itu sama saja. Sama-sama mengharapkan seseorang yang tidak pasti. Dia mengharapkanmu, kamu mengharapkan orang lain. Padahal orang yang di harapkan itu sama-sama tak jelas! Yaah… dia pasti sakit hati bila tahu kau tidak peduli dengannya…'
'jadi menurutmu aku bersalah? Aku orang yang jahat? Aku tahu sakitnya perasaan yang bertepuk sebelah tangan, aku tahu letihnya mengharapkan sesuatu yang tanpa kepastian! tapi aku tak bisa memaksakan untuk menyukainya! Butuh waktu untuk itu!' nadanya meninggi. 'Dan inilah caraku untuk menunjukkan padanya, bahwa…' imbuhnya. Kali ini nada suaranya lebih tenang. Tetapi ia memutus perkataannya. Seakan enggan meneruskan. Dia terdiam lama dengan kepala tertunduk. lalu menyambung lagi;
'bahwa bukan dia yang aku harapkan..' terdengar lirih.
Hmm… sepertinya aku sedikit memahami apa yang terjadi. Situasi ini situasi yang 'muram'. Semuram langit bulan desember.
'hahh..! ok, ok… tidak ada terdakwa dalam kasus macam ini. kau dan gadis itu hanyalah 'korban'!'. katanya. 'korban perasaan' ia menambahkan.
***
Aku terpelanting lagi di tanah keras dan rata ini, ketika pemuda itu kembali berebut benda bundar menggelinding. Aku menggenang lagi, menjadi satu kesatuan dengan titik-titik air yang juga turun dari mendung.
Aku, setitik gerimis yang menjadi saksi bisu dari pembicaraan-pembicaraan itu. Banyak kata-kata yang tidak aku mengerti. Aku hanya tahu bahwa gadis yang kemarin lusa itu sama sepertiku yang masih menjadi serpih halus gerimis. Ada, terasa, tapi tidak terlalu dipedulikan. Bahkan tidak di harapkan. Aku jadi kasihan padanya. Seandainya bisa, aku akan menceritakan padamu bahwa pemuda yang kau harapakan untuk peduli denganmu, ternyata mengharapkan orang lain untuk peduli dengannya.
Sepertinya kau harus menjadi rinai hujan agar dia sadar dan peduli akan kehadiranmu. Atau setidaknya menjadi rintik gerimis sepertiku hari ini yang bakal jatuh di rambutnya…
Walaupun…
Walaupun nantinya kau akan kesakitan karena jatuh terpelanting di tanah yang keras dan rata ini….
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
DUA DETIK TERAKHIR
Tumblr media
Hp ku berbunyi aneh dari dalam kamar.. Tiritt.. Tiritt.. Tiritt..
Itu nada apa ya..? Nada sms bukan, nada alarm bukan, nada telpon juga bukan..
Aku berjalan menuju kamar sambil membawa sepiring nasi. aku memang lagi makan di dapur semenjak tadi dan hp ku kutaruh di sofa yang berada di kamar..
Kulihat hp ku masih berdering dan menyala-nyala, oh kalender.. Ya aku ingat ini dering catatan di kalender.. hari ini ada momen apa ya..? Barang kali ini hari ulang tahun temanku atau apalah yang pasti aku pelupa orangnya.. Akhirnya aku buka pemberitahuan di hp ku itu dengan tangan kiri, karena tangan kananku sedang memegang makanan..
kcl2…?
Kcl2.. itu catatan di hp ku. Dan aku lupa maksudnya apa.. Yah, udah tau pelupa masih aja disingkat-singkat kalau buat catatan.. Padahal udah di tulis di catatan kalender. Tapi Ini apa ya.. Kucel-kucel, apa kancil-kancil..? Jadi penasaran..
akhirnya sambil makan aku masih memegan hp itu dan mencoba mengingat-ingat apa maksud dari singkatan yang aku buat dulu..
Aku gulir ke bawah dan Melihat tanggal pada catatan itu..
Di tandai dari tanggal 16 maret 2008..
16 maret.. 16 maret.. 16 maret.. Sepertinya aku tidak asing dengan tanggal itu. 16 maret…
Kalau 2008 berarti itu 5 tahun yang lalu.. Ada peristiwa apa ya lima tahun lalu, kenapa sampai aku mencatatnya.. Jadi bingung..
16 maret lima tahun yang lalu..?
Deeggg.. KECELAKAAN…
mulutku langsung diam dan berhenti mengunyah karena aku baru ingat itu hari apa.. Iya.. Kecelakaan.. Kecelakaan yang sangat tragis.. Benar-benar tragis..
kejadian yang dulu sangat membingungkan bagiku. Ya.. Sangat membingungkan, sampai-sampai aku mencatatnya..
Cerita ini dulu berawal dari suatu malam di tanggal 16 maret 2008.. Malang.
Malam yang bising.. Ya karena hari itu hari minggu dan kost ku berada di tepi jalan raya.. Aku sedang asik memainkan gitarku sambil duduk santai di teras sendirian, meskipun suara gitarku nggak kedengeran gara-gara bisingnya kendaraan yang lalu lalang aku tetap memainkanya..
Belum lagi gara-gara truck besar yang mogok di samping jalan yang membuat jalanan agak macet karena harus lewat bergantian dan yang pasti makin bising…
Bodo amat lah yang penting nyanyi..
Dua jam berlalu aku masih duduk di teras dan malah membuat kopi agar dapat menghangatkan tubuhku, malam itu memang malam yang dingin..
Main gitar sambil minum kopi, sendiri.. dan suasana jalan sudah mulai sepi. Cukup memberiku ketenangan dari kepenatan aktifitasku sehari-hari. Namun tiba-tiba ketenanganku terusik oleh suara orang bertengkar di jalan raya..
Ya sudah kalau itu maumu…
Aku menoleh kejalan mencari orang yang bertengkar itu tadi.. Ada sepasan muda-mudi sedang berboncengan dan tiba-tiba berhenti di depan kost ku..
Kikkk… wanita itu terlihat turun dari motor dengan kesal. Yaa.. Sepertinya mereka sedang bertengkar.. Dan wanita itu tak mau di bonceng lagi oleh si pria..
wanita itu lantas berjalan melintasi depan kost ku di iringi si pria yang mengikutinya sembari membujuk agar wanita itu mau di bonceng kembali..
Tapi wanita itu tetap marah-marah dan berlalu.. Yang membuat si pria itu terlihat sangat kesal..
Entah apa yang mereka bicarakan, aku juga tak begitu jelas karena suara gemuruh truck besar tadi yang mulai berjalan.. Huuuhh..
Moment yang sayang untuk dilewatkan sebenarnya.. Tapi suara mereka tidak terdengar jelas..
Tapi sekilas melihat wanita tadi, cantik juga sepertinya.. Dia terus saja berjalan, sedangkan si pria masih mengikutinya dengan motor yang masih menyala..
si pria itu sudah kehabisan akal spertinya untuk membujuk wanita itu.
Lalu terdengar suara aneh. Seperti suara berdecit dan tiba-taba..
BRRRAAAKKK…
kecelakaan.. kontan aku pun meletakkan gitarku dan berlari mencari lokasi kecelakaan itu, sepertinya tidak jauh..
Aku lihat kekanan dan ke kiri ternyata benar.. Ada orang tergeletak setelah menerobos semak-semak..
Aku dan warga sekitar pun berlari hendak menolong orang tersebut. Sepertinya kecelakaan tunggal, ya dia jatuh sendiri entah karena sebab apa dan menerobos semak-semak.. baru juga kami membantunya untuk duduk, tiba-tiba terdengar suara berdecit lagi..
Ciiitttt… BRRRAAAKKK…
ASTAGHFIRULLOHALADZIIMM…
Kecelakaan lagi.. kami menoleh kesana kemari dan menemukan ada seorang bapak menabrak pos kamling yang berada di tepi jalan..
Sontak sebagian dari kami pun berlari menolongnya dan sebagian lagi membantu korban kecelakaan yang pertama tadi..
Baru beberapa langkah dari kami berlari terdengar suara berdecit lagi..
Ciiittt… Cepprrraaakkkk…
Yaa Alloh.. Kecelakaan lagi. Dan kali ini orang itu menabrak tiang lampu penerangan jalan yang terbuat dari besi.. Kami pun cepat mengetahuinya dan membagi orang lagi untuk membantunya..
Apa ini yang sebenarnya terjadi.. Kejadian begitu cepat hampir kurang dari satu menit sudah tiga insiden kecelakaan terjadi, aku dan dua temanku segera bergegas lari mendekatinya..
Yang ini sepertinya agak parah, karena dia menabrak tiang besi sampai mulutnya berdarah dan motornya rusak..
Aku melihat sekitar untuk memastikan apa penyebab yang membuat ini semua terjadi..?
Dan saat aku melihat ke kanan terlihat ada benda yang sedang terbang… Lalu berdecit keras lagi..
Ciiittt…
Astaga… Terlihat dari kegelapan ada motor oleng… dan motor itu oleng menyerong ke kanan.. Lalu aku memalingkan pandanganku ke kemana motor itu akan menabrak…
Wanita tadi…
Mbaaakkk… Awaaassss…
Teriakku dengan sangat lantang… Kepada wanita yang habis bertengkar tadi.. Dan dia sepertinya tidak mengetahui bahwa dia akan di tabrak. Karena memang kondisi jalan yang rimbun, dan lampu penerangan jalan tidak dapat menerangi jalan itu..
[KLIK.. DETIK PERTAMA. Wanita itu sadar akan teriakanku dan menyadari bahwa dirinya akan tertabrak. Namun kejadian begitu cepat dan reflek wanita itu kurang peka, dia hanya menutup wajah dengan kedua tanganya dan bergeser beberapa senti meter dari tempat asalnya berdiri]
[KLIK.. DETIK KEDUA.. Si pria dari wanita itu pun sadar akan teriakanku. Entah apa yang ada di pikiran pria itu. Waktu tercepat dalam kehidupanku ya waktu menyaksikan tragedi ini.. tanpa berfikir panjang dia memutar handle grip motornya dan motornya pun melaju kencang. Inilah mengapa aku merasa ini adalah waktu tercepat dalam hidupku. Pria itu melajukan motornya seperti hendak melindungi wanita itu tadi. Saat motor yang sedang oleng tadi mengarah ke wanitanya dia seperti menghadang laju motor oleng tersebut dengan cara menabraknya] akhirnya..
BRAAAKKK…
Pria itu tertabrak sangat keras..
Tuhan.. Semoga dia selamat…
Terdengar jeritan wanita tadi yang histeris.. Oh ya Tuhan.. semoga tidak parah..?
Aku langsung berlari menyebrangi jalan raya tanpa melihat kanan kiri apakah ada mobil yang lewat atau tidak.. Entah kenapa aku tak menghiraukanya.. Ya.. Aku sendiri yang berlari karena dua temanku juga sedang memegangi orang yang menabrak tiang lampu penerangan jalan tadi..
ASTAGHFIRULLOH HAL ADZIIMM..
Aku tak dapat melihat apapun, gelap karena masih banyak debu yang berterbangan hingga mengaburkan pandanganku.. Saat aku mulai mendekat.. Terlihat pria itu tergencet kepalanya oleh motor dan kursi yang terbuat dari bambu.. Kursi besar dari bambu yang biasa kita jumpai di tepi jalan.. Kepala belakangnya tepat membentur ujung dari kursi itu..
Aku tak bisa berbuat banyak, yang ku lakukan hanya menarik motor yang menggencet kepalanya sekuat tenagaku.. dan akhirnya motornya bergeser lalu pria itu jatuh ke tanah..
Allohu Akbar.. Sekali lagi kejadian itu benar-benar terjadi sangat cepat. Hanya ada aku, wanita, dan pria itu.. Orang yang menabrak dia pun sepertinya tak apa-apa. Satu hal yang membuat aku kaget, wanita itu benar-benar selamat.. Dan pria itu masih sadar meskipun kondisinya kacau dengan luka parah di kepala.. Wanita itu memangkunya sambil menangis melihat wajah pria itu sambil berteriak-teriak histeris. Entah apa yang dia teriakan aku lupa seakan tuli karena kondisi saat itu sangat kacau..
Tapi tiba-tiba pria itu memegang pipi wanita tersebut dengan tangan yang terluka dan berlumuran darah.. Sambil menatap matanya dia berkata..
AKU…
Dengan satu tarikan nafas terahir yang keras.. Akhirnya pria itu meninggal dengan masih menatap mata wanita itu..
Yaa Alloh… Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun…
Wanita itu semakin erat memeluk pria itu. Dia berteriak histeris sambil menangis dan menggoyang-goyangkan tubuh pria itu berharap masih bisa membuatnya sadar..
Tapi pria itu masih saja diam membisu..
rasanya aku pun ingin menangis melihatnya.. Melihat wanita itu yang berusaha membangunkan pria tersebut rasanya..
Aku tak bisa menggambarkanya..
Benar-benar hancur hatiku melihatnya..
Sekilas tanpa sadar aku melihat kartu ID yang terjepit di saku baju wanita tersebut..
Aliya…
itu namanya… Sepertinya ia baru pulang kerja dan dia di antar pulang pria ini. Karena terlihat dari setelan baju kantor yang ia pakai..
Beberapa detik kemudian orang-orang sekitar mulai banyak yang mengerumuni.. Lalu terdengar seseorang tidak jauh dari tempat kejadian kecelakaan berteriak ..
Kejaarrr… Kejarrr… Truck besar yang mogok di sini tadi…
aku melihat tempat yang gelap dari munculnya motor oleng itu. tampak seseorang yang sedang berlari membawa dua balok kayu besar..
Supir Truck tadi lupa tidak mengambil balok pengganjal ban-nya..
Kontan orang-orang yang sedang menyaksikan runtutan kecelakaan tersebut mengejar truck tadi dengan motornya masing-masing..
Jadi singkat cerita..
Di daerah kost ku jalananya agak menanjak dan gelap karena tertutup rerimbunan. Ada truck besar mogok tepat di tanjakan yang gelap itu. Memang gelap sekali sampai dua balok kayu besar tidak terlihat oleh pengendara yang melintas. Melihat ukuran balok kayu tersebut yang sangat besar hampir satu jengkal tingginya, pastilah orang yang menabraknya akan terpelanting..
Waktu berjalan, dan orang-orang pun semakin banyak mengerumuni. Namun masih kudapati aliya memangku pria itu.. Aliya… Nama itu tak mudah kulupakan..
Entah apa yang terjadi sampai larut malam aku tak mendengar kalau truck itu ditemukan. Aliya dan pria itu sudah di bawa ke rumah sakit.. Sedangkan korban yang lain pergi melanjutkan perjalanan karena kondisinya tidak terlalu parah..
Empat kecelakaan terjadi dalam kurang dari satu menit.. Gila…
Kelalaian yang harus di bayar mahal semestinya.. Terlebih telah membuat satu nyawa melayang.. Oh aku sangat menyesalkan hal ini terjadi.. Terlebih aku menyaksikan detik-detik kematian pria itu..
Tragedi yang memilukan…
Hari-hari setelah kejadian itu masih menyisakan pertanyaan di benak ku.
AKU..
Itu kata-kata terakhir pria itu, dia sebenarnya ingin mengatakan apa ya? Aku cinta kamu, aku sayang kamu, aku benci kamu, atau apa? Mungkin Aliya juga memikirkan hal yang sama..
Di hari aku ingat akan peristiwa itu aku mencoba mengintari tempat kecelakaan itu terjadi.. Loh.. Balok ini kenapa masih ada disini.. Balok ini tergeletak di got begitu saja.. Seharusnya kan ini jadi barang bukti..
Jadi kecelakaan itu tak pernah di laporkan ke polisi.. Oh tidak…
Balok kayu pembawa maut.. Aku lempar lagi balok itu ke got..
Terkadang setiap kali aku melewati jalan tersebut aku masih saja melihat balok itu disana.. Entah kenapa dengan balok kayu itu..
Lalu terkejutlah aku ketika aku melewati jalan itu lagi di hari yang lain. Balok kayu itu tak ada..
Akhirnya .. Balok sial itu sirna juga. Entah ada yang membuangnya atau mengambilnya aku tak peduli, yang terpenting balok kayu itu sudah raib dari perhatianku…
Agar tak menggangguku saat lewat jalan ini..
23 maret 2009 ..
Setelah tak pernah ke kost lagi karena aku memang sudah keluar dari kosan.. Aku memutuskan untuk kembali mengunjungi kost ku yang lama, karena ada undangan pernikahan seorang kawan dekat rumah kost.. Jauh-jauh lagi deh aku harus pergi kesana.. Ya sekalian sillaturahim dengan ibu kost. Sudah lama aku tak kesana..
empat jam aku harus berkendara untuk sampai kesana. Kota yang jauh memang..
Sesampainya disana aku melewati jalan yang dulu sering aku lewati. Yaa.. Jalanan depan kost. Jalan dimana kecelakaan dulu itu terjadi..
Lohh.. apa ini..?
Ada banyak tanda lingkaran dan silang di jalan raya.. Lalu garis melintang momotong jalan berwarna putih.. area ini penuh dengan corat coret…
ASTAGA.. INI TANDA POLISI..
Sepertinya telah ada kecelakaan yang banyak.. Tapi garis melintang ini… Lingkaran dan tanda silang itu..
Polanya seperti… ?
pandanganku mencari ujung garis melintang itu..
HAAAHHHH…
BALOK KAYU …
aku segera mematikan motorku dan berlari mendekatinya.. Ini siapa yang meletakkanya disini.. jujur aku takut waktu itu.. Aku tak tahu aku takut akan apa.. Tapi jantungku berdegup sangat kencang.. Ini aneh.. Balok ini dicat hitam.. Meskipun di cat tapi aku yakin ini balok kayu yang dulu. Karena ada tonjolan besi di dua sisi.. Yaa.. Ini pasti balok yang dulu, aku tak mungkin salah.. Tapi apa maksud semua ini..?
Seperti ada sesuatu…
Aku lari mengambil motorku dan segera ke kost.. karena rasa aneh itu sangat mengganggu pikiranku tanpa basa-basi ke bapak kost aku langsung menanyakanya..
Aku_ pak.. Habis ada kecelakaan ya pak?
Bpk kost_ iya.. Banyak yang kecelakaan..
Aku_ banyak maksudnya..?
Bpk kost_ yaa.. Banyak. Banyak seperti dulu..
Aku_ seperti dulu ..?
Bpk kost_ iya.. Yang dulu sekali kecelakaan langsung empat terus mati satu itu lho..
Aku_ heehhh.. itu kejadianya kapan pak..?
Bpk kost_ minggu kemarin kayaknya..
Aku_ deggg… Ada yang meninggal pak?
Bpk kost_ ada satu.. kasihan. Perempuan lagi
Aku_ deggg… Yang menolong pertama siapa pak?
Bpk kost_ pak Rt.
Langsung aku beranjak dari kost dan pergi ke rumah pak rt..
Singkat cerita aku bertanya tentang wanita yang tewas kecelakaan minggu lalu..
Pak Rt_ iya.. Kejadianya sama seperti dulu..
Aku_ dia meninggal di tempat pak?
Pak Rt_ iya. Tapi masih sempat sadar, sepertinya dia akan masuk surga..
Aku_ hah..? Maksud bapak..?
Pak Rt_ iya.. Wajahnya berseri-seri waktu itu. Bahkan dia tersenyum sebelum menghembuskan nafas yang terahir…
Aku_ yaa.. Alloh..
Pak Rt_ tapi bapak bingung dengan perkataanya..
Aku_ perkataan..?
Pak Rt_ iya.. Sebelum dia meninggal dia mengatakan aku tau.. sambil dia tersenyum.. Dan kemudian meninggal. Bapak ndak tau apa maksudnya.. Lalu jenazahnya dibawa ke rumah sakit..
Deeggg… Aku tau..
kata-kata itu…
Pak Rt_ lha ini lho fotonya, lalu pak rt menunjukkan ID card perempuan itu padaku.
Alangkah kegetnya. Aku ingat itu benar-benar wanita yang dulu.
Aliya Nafisa Al-Faqih.. Iya itu nama lengkapnya.. Bapak dapat ini dari mana pak..? Tanyaku keheranan..
Pak Rt_ dari TKP. ini jatuh dan tertutup plastik bungkus makanan. Niatnya bapak bawa pulang ya untuk bapak berikan ke polisi, tapi untuk apa juga ya. Bapak berikan ke orang tuanya juga sepertinya ini tidak penting. jadi bapak simpan saja barang ki nanti ada yang mencari.. Karena pak polisi juga sudah menemukan KTP korban kok.
Aku_ ya sudah terimakasih pak, saya pamit dulu..
Pak Rt_ iya Al.. hati-hati
Sambil berjalan ke luar rumah aku masih saja tertegun mengetahui semua ini.. Kenapa wanita itu melakukan hal yang sama setahun yang lalu.. Apa yang ingin dia buktikan..? Mungkinkah dia depresi.. Atau dia penasaran dengan kata terakhir si pria itu.. Aku tau..
apa yang dia tau sebenarnya..?
rasa penasaranku semakin besar, jadi aku mengurungkan niatku untuk pulang ke rumah, aku tinggal disana 2 hari semalam sambil mencari informasi tentang kematian wanita itu.. Tapi sepertinya tak banyak yang sadar. Akan keganjilan kematianya.. Yang hanya orang-orang tau kecelakaan itu sama seperti tahun lalu. Tapi mereka tidak menyadari bahwa wanita yang meninggal itu adalah wanita setahun yang lalu di kejadian yang sama persis. Aku masih ingat karena akulah yang pertama menolong kecelakaan tahun lalu. Aku masih ingat dengan wajah wanita itu. beserta namanya.. Bagaimana aku bisa melupakanya..?
Sungguh hal ini membuatku tak bisa tidur nyenyak.. Kecelakaan ini sepertinya di rekayasa.. Tapi untuk apa?
Untuk tau bagaimana rasanya? Ah.. Tidak mungkin.. Atau untuk bunuh diri…
Bunuh diri… Bunuh diri…
Astaga.. Apa yang ada di pikiranku ini..
Apa yang mengambil balok kayu adalah wanita itu.. Lalu dia meletakkanya lagi untuk merekayasa kejadian seperti dulu lagi..?
Ahhh… Pusing memikirkanya..
Hari terakhir di kosan.. Aku hanya tiduran sambil memainkan hape dan browsing internet… Entah apa yang aku pikirkan..
tanpa sadar aku menulis nama Aliya Nafisa Al-Faqih di form pencarian..
ADA..
Ada namanya.. Nama yang sama persis.. Dan itu hanya ada satu.. Aku coba lihat alamat situs-nya ternyata menuju ke facebook.com ..
Penasaran aku klik tersebut tersebut.. Dan memang..
Iya.. Itu miliknya.. Itu akun faceboook milik korban kecelakaan kemarin..
aku lihat pemberitahuan di dinding tampak banyak sekali kiriman ucapan dari teman-temanya.. Ahh.. Ucapan belasungkawa..
Aku coba turun ke bawah terus sampai ke januari 2008.. Tapi aku tak mendapati Aliya menulis sesuatu dari semenjak januari. Kesimpulan singkatku, akun ini sudah tidak di pakai Aliya lagi.. Mungkin dia tidak ingin memakai facebook lagi. Aku tak tau..
Pencarianku berlanjut ke tab info di situs facebook.com
Sepertinya Aliya orang yang baik.. Terlihat dari halaman-halaman dan grup facebook yang ia sukai..
Aku gulir turun sampai ke status hubungan.
Dan aku menemukan status..
Bertunangan dengan Ahmad Mehdy Ghazali..
Ohh.. Sudah bertunangan ya.. Tapi mungkin juga tidak..
Fotonya tidak jelas jadi aku klik nama itu agar aku bisa melihatnya dalam ukuran besar..
Tiba-tiba aku merinding.. Iya sampai tiga kali aku merinding.. Melihat foto profil itu..
Tampak sepasang muda mudi sedang duduk bersender pada motor sembari tersenyum sangat ceria.. Yaa Alloh..
Pria yang tewas setahun yang lalu itu ternyata benar tunanganya..
Terlihat di jari manisnya yang terselipi sepasang cincin..
Dan belum lagi.. Motor di foto itu.. Motor yang sama yang digunakaan saat kecelakaan tahun lalu..
Tanganku masih bergetar mengetahui itu semua.. Aku lihat foto-foto mereka.. Status-status mereka.. Sepertinya mereka punya kenangan yang indah, Tak ada yang aneh dari itu semua..
Kecuali status Ahmad mehdy Ghazali..
Yaa.. Kecuali statusnya…
Status terahir di tulis pada tanggal 15 maret 2009.. Pukul 18.46 ..
Aneh kan.. Yaa sangat aneh.. Dengan komentar sebanyak 57 orang.
Dan status sebelumnya ditulis bulan februari di tahun 2008
Kalau di ingat-ingat lagi tahun status terakhirnya ditulis semestinya bukan pria itu yang menulisnya. Karena saat itu adalah hari dimana genap 1 tahun kematianya..
Kesimpulan sementaraku adalah. Pasti ada seseorang yang dapat menggunakan akun itu selain pria itu.. Dan orang yang paling masuk akal untuk dapat memiliki password si pria itu adalah Tunanganya..
Yaa.. Pasti Aliya yang menulisnya..
lalu kemudian aku gulir ke atas lagi untuk membaca status yang Aliya Tulis menggunakan akun tunanganya.. Alangkah terkejutnya aku melihat tulisan yang begitu panjang dan isi statusnya membuat bulu kuduk ku merinding..
Maafkan aku mas..
Aku yang salah, terlalu mementingkan diriku sendiri.. Maafkan aku selalu marah padamu..
aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Mas janji kan akan menjagaku..
Mas ingin bilang apa sebenarnya
Katakan saja mas, aku akan menurutinya..
dulu kita pernah berjanji, bila aku meninggal lebih dulu mas harus ke makam ku selama 30 hari berturut-turut dan sebaliknya kan..
Sekarang aku sudah ke makan mas untuk mendoakan mas setiap hari..
aku tau mas menabrak orang itu agar aku selamat.. Tapi yang tak aku mengerti mas mau bilang apa.. Aku apa mas..?
Jawabbb… Mas mau bilang apa..?
Jangan diam terus mas..?
Hidupku hancur mas sekarang..
Entah ada kebahagiaan lagi untuk ku atau tidak..
Maafkan aku mas..
Satu tahun ini hatiku begitu gelisah..
wajah mas tiap hari muncul di fikiranku..
Mas mau bilang apa..? Tolong kasih tau aku mas..?
Aku sudah tak kuat..
Aku ikut mas saja ya.. Aku ingin juga bisa jagain mas.. Aku janji nggak akan bandel lagi kok mas..
Nggak akan suka marah-marah lagi..
Aku akan menurut sama mas..
Besok jemput aku mas ya..
Di tempat terakhir kita bertemu..
Aku akan kesana mas..
tapi mas harus janji bilang sebenarnya mas mau bilang apa..?
Ya mas ya.. Janji ya..
Aku mencintaimu mas..
Aku mencintaimu dengan hidup dan matiku..
Ya.. Seperti itulah yang ditulis Aliya..
Aku membacanya berulang-ulang kali.. Hari demi hari aku membacanya lagi.. Sampai akhirnya akun itu tidak dapat di akses lagi entah kenapa. Akun Aliya juga tidak bisa dibuka. Sepertinya ada yang meretas kedua akun tersebut, dia mematikanya entah untuk apa. Tapi memang sepertinya lebih baik seperti itu.. Sayang sekali aku tak sempat mengambil screen shootnya..
Kata-kata terahir dari Aliya..
Masih bisa kuingat dengan sangat jelas..
Memang kejadian ini membingungkan dan serasa ditutup-tutupi. Mungkin orang mengira ini kecelakaan murni. Tapi bagiku dan orang-orang tau.. kejadian ini memang disengaja..
Ya.. Keduanya memang bunuh diri..
Kalau waktu diputar dari belakang sepertinya aku faham maksud dari kejadian ini..
Tapi sampai saat ini aku tak pernah tau, apa yang ingin dikatakan Mehdy waktu itu dan apa yang diketahui Aliya saat menemui ajalnya.. Memang hanya aliya yang tau apa yang sebenarnya akan di ucapkan Mehdy saat itu..
Dia terlihat bahagia di detik-detik terakhir dalam hidupnya..
dua detik yang diberikan mehdy untuk menyelamatkan hidup Aliya..
Namun dua detik itu juga memberi Aliya sebuah pertanyaan besar dalam kehidupanya..
hingga Aliya harus mengorbankan nyawanya untuk mengetahui jawabannya..
Sepertinya mereka bahagia..
Di dua detik terakhir dalam kehidupan mereka..
Ahmad Mehdy Ghazali ~ Aliya Nafisa Al-Faqih
16 Maret 2008..
Kisah yang tak akan ku lupakan.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
CINTA DI BAWAH GERIMIS
Tumblr media
Hari itu tidak hujan tapi hanya lebih menyerupai sebuah gerimis. Aku cuma bisa terdiam, memandang gerimis yang seakan menari mengikuti alunan desir angin sore itu. Sebenarnya aku ingin menangis, menumpahkan semua air mata.
Aku ingin berlari ke luar halaman agar gerimis itu bisa bersanding dengan gerimis air mataku. Tapi, aku mencoba membendung semuanya. Aku tak mau laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku melihatnya. Aku takut dia berpikir aku masih mengharapkannya, walaupun kenyataannya aku memang masih mengharapkannya.
'Dir, kita tidak bisa terus-menerus seperti ini.' ucap Asta. Laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku.
'Lalu kamu mau hubungan ini berakhir?' aku menoleh ke arahnya. Dia hanya terdiam. Kubuang lagi pandanganku dari wajahnya.
Gerimis masih menari bersama irama angin. Hanya suara jatuhnya bulir-bulir air yang menjadi pengiring saat kami hanya terdiam. Aku masih mencoba menenangkan diri dan pikiran yang mungkin sudah sedikit berantakan. Tidak mungkin menyelesaikan masalah saat hati dan pikiran sedang kacau.
'Ta, kalau kamu memang ingin kita berakhir. Oke. Aku tidak masalah. Aku juga tidak bisa terus-terusan kamu buat seperti ini.' suaraku memecah keheningan. 'Percuma aku datang kesini untuk menjenguk kamu. Alasanmu sakit tapi ternyata kamu memberiku kejutan dengan sebuah pertujukan yang-'
'Dira, cukup!' Asta memotong pembicaraanku.
Seketika bayangan itu datang lagi. Bayang-bayang sebuah pertunjukan yang mampu membuat hatiku seperti tersayat lalu menyisakan luka yang menganga. Pertunjukan memuakkan kala ia sedang mesra merangkul seorang wanita. Dengan lebih mesra lagi dia mendaratkan ciuman di kening wanita itu. Mesra, bukan? Aku sudah terlalu sering menyaksikan Asta bersama wanita (lebih tepatnya mesra bersama wanita). Tapi, untuk kali ini sudah terlalu berlebihan. Terlalu menyakitkan. Terlalu membuat patah hatiku.
Aku bisa saja dari dulu meninggalkan Asta ketika dia pernah menyakitiku. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih mencintai Asta dan aku masih ingin bersama dia. Mungkin aku sudah terlalu mencintai Asta, hingga sudah berapa kali dia menyakitiku, aku masih tetap bertahan dengannya. Semakin dia menyakitiku, semakin aku tak bisa melepasnya. Tak mudah meninggalkan begitu saja orang yang kita cintai, meskipun dia sering menyakiti kita. Karena satu alasan: cinta.
Dewasta Deriandri. Dia laki-laki yang mengajariku mengenal cinta serta segala tetek bengeknya. Dari dirinya pula aku mengenal apa itu sakit hati, apa itu patah hati. Asta adalah cinta pertamaku. Kami bertahan sejak duduk di bangku SMA, hingga akan menjadi seorang mahasiswi. Mungkin itu yang membuat aku sulit melepasnya meski telah sering aku disakitinya.
'Dir, a-aku minta maaf…' ucap Asta ragu. Aku menoleh ke arahnya. Kulihat dia menunduk dan seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. 'Aku pikir… lebih baik kita putus.' lanjutnya.
Putus? Secepat itu dia mengatakan putus. Aku masih seperti tidak percaya saat itu. Aku mengira itu hanya sebuah mimpi buruk karena aku lupa membaca doa sebelum tidur. Tapi, saat itu bukan mimpi. Aku yakin sekali itu bukan mimpi karena seketika kata itu keluar dari mulut Asta, hatiku langsung perih.
Sejujurnya aku tidak bisa menerima kata itu harus terucap. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau aku harus mengakhiri hubungan dengannya. Aku menyadari bahwa aku sudah terlalu sering disakitinya dan memang sudah seharusnya aku pergi. Tapi kalau aku masih belum bisa?
Tapi, tidak mungkin juga aku memintanya menarik kata-katanya lagi.
'Aku masih sayang kamu, Dir. Tapi, sepertinya kita-'
Sebelum Asta menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyambar tasku. Aku berlari ke luar halaman menembus gerimis sore itu. Saat itu hatiku benar-benar hancur. Tidak pernah terbayang sama sekali bahwa pada hari itu akan menjadi hari terakhirku bersama Asta. Cinta yang telah kita pelihara selama tiga tahun itu pun harus berakhir pula. Tak ada pilihan lagi bagiku selain harus segera beranjak pergi meninggalkannya. Aku harus segera menjauh darinya walau aku tahu itu akan sangat sulit kulakukan. Tapi, tak mungkin aku memohon padanya agar kembali menarik ucapannya itu.
Cinta membuatku harus tersakiti lagi. Padahal, aku pikir cinta akan memberiku kebahagiaan. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan? Mengapa harus ada sesuatu yang menyakitkan sebuah anugerah Tuhan? Kini, cinta membuatku takut untuk mencintai lagi.
Air mataku sudah tertumpah bersama jatuhnya kawanan air yang membasahiku.
'Tapi, aku tidak bisa.'
'Dir, sudah cukup Asta menyakitimu. Kau perlu mengasihi dirimu sendiri, Dir.' Rai menasihatiku setelah aku menceritakan tentang kejadian saat gerimis kala itu. Sudah berulangkali dia mencoba meyakinkanku untuk pergi dari kehidupan Asta. Tapi, dia tidak cukup bisa untuk meruntuhkan dinding asmara yang kubangun untuk Asta.
'Tapi aku masih menyayanginya, Rai. Kamu tahu kan?'
Aku masih menyayanginya. Aku masih tidak bisa melepaskan Asta untuk pindah ke pelukan orang lain. Mata dan hatiku juga belum cukup kuat jika harus melihatnya bergandeng mesra dengan wanita lain. Aku tidak bisa melihat itu semua. Cinta sudah terlalu jauh membawaku pada dunia Asta. Cinta telah mengurungku dalam penjara cinta Asta. Meskipun Asta telah memilih untuk tidak bersamaku lagi.
'Dir, aku sahabatmu. Aku tidak bisa terus-menerus melihatmu seperti ini.' ucap Rai. 'Asta sudah jelas-jelas tidak mengharapkanmu lagi, lalu kenapa kamu masih memikirkannnya?' suara Rai begitu keras hingga membuat beberapa pengunjung caf' lain menoleh ke arah kami.
Aku tidak mengerti apa yang sedang ada di pikiranku. Perasaanku masih mengharapkan Asta dan aku berharap bisa kembali lagi padanya. Meski Rai telah berulang kali memberitahuku untuk tidak berharap pada laki-laki seperti Asta lagi, tapi hatiku tak bisa dibohongi. Dan untuk saat ini aku masih belum bisa melepas bayang-bayang Asta. Mungkin aku akan melupakannya tapi tentu tidak sekarang. Semua butuh waktu.
'Dira, aku sudah berusaha meyakinkanmu. Tapi, kau tetap pada pendirianmu.' Rai beranjak dari kursinya. 'Kau tahu kan besok aku akan pergi? Jadi, anggap ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi.' Lalu dia pergi keluar dari caf'. Kulihat dia menyeberang jalan di tengah gerimis.
Aku terdiam dan mencoba mencerna satu per satu kata yang Rai ucapkan barusan. Benar, memang. Besok siang Rai akan pergi ke Austria untuk melanjutkan kuliahnya disana. Dia ingin mewujudkan mimpinya sebagai designer grafis yang handal. Maka dari itu, kami sengaja menghabiskan malam ini di caf' sebagai malam perpisahan kami sebelum Rai pergi. Kulihat keluar caf', Rai sudah tidak terlihat.
Mataku tertuju pada sebuah block note yang terletak di atas meja. Aku ingat itu milik Rai. Aku mengambil block note tersebut. Aku ragu untuk membukanya, karena aku tahu Rai tak pernah mengijinkanku untuk melihat apa yang dia tulis di block note tersebut. Dengan rasa penasaran dan keberanian secukupnya, aku membuka lembar demi lembar block note itu. Lalu, tatapanku terhenti pada sebuah halaman yang bertulis 'Ini Tentang Sahabat atau Cinta?'.
Kubaca kelanjutan tulisan itu. Tulisan yang membuat jantungku seperti ingin berhenti berdetak. Tulisan yang membuatku tidak percaya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca. Aku tidak mengerti kenapa bisa-bisanya Rai menulis seperti ini. Lalu, beberapa bulir air menetes di wajahku.
Kulempar blocknote itu ke meja Rai. Dia terkejut dan langsung wajahnya menengadah ke arahku.
'Eh, Dira!' ucap Rai sambil beranjak dari kursinya. 'Kau akan mengantarku juga?' tanya Rai.
'Apa maksud tulisan di halaman terakhir itu?' tanyaku dengan nada serius. 'Kau mencintaiku, Rai?' lanjutku dengan sedikit berteriak. Rai hanya diam tak menjawab. Wajahnya memperlihatkan kalau dia sedang kebingungan.
'Jawab, Rai!' aku membentaknya. Rai masih tidak mau membuka bibirnya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dan tak berani menatap wajahku. 'Kenapa tidak jawab, Rai?' aku kembali bertanya dengan nada yang parau.
'Dir, ini tidak seperti yang-”
'Kau selama ini mencintaiku 'kan?' Air mataku mulai mengalir. 'Iya, kan?'
'Iya. Aku mencintaimu, Dir.' jawab Rai sambil menatap wajahku lekat-lekat. Air mataku semakin tidak bisa kutahan. Aku benar-benar tidak percaya kalau selama ini Rai menyimpan perasaannya padaku. Sahabat yang setiap hari mendengar curhatku tentang kekasihku.
Rai mendekatiku dan langsung memelukku. Aku merebahkan kepalaku di dada bidangnya.
'Maaf, Dir.' ucap Rai dan aku merasakan detak jantungnya lebih cepat. 'Sudah lama aku menyimpan perasaan ini, mungkin 3 tahun, tapi aku tak pernah berani mengatakannya. Aku tahu kamu sangat mencintai Asta. Aku juga takut ini akan menghancurkan persahabatan kita, Dir.' lanjutnya sambil membelai-belai lembut rambutku.
Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba aku merasa nyaman saat berada di pelukan Rai. Tak seperti sebelumnya, dimana pelukan Rai terasa biasa bagiku. Sebuah pelukan seorang sahabat. Wajahku yang menempel erat di dadanya merasakan detak jantung Rai begitu cepat, dan seketika menular ke jantungku. Aku juga merasa detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Aku yakin Rai mengetahuinya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku. Aku masih tidak ingin lepas dari pelukan Rai saat ini. Aku ingin terus didekapnya.
'Dira, aku harus pergi. Maaf, ya!' Rai melepaskan pelukannya. Dia mengambil tasnya lalu melangkah keluar rumah. Sementara aku masih terdiam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Perpisahan ini tidak seperti perpisahan dua orang sahabat. Tapi, perpisahan ini adalah perpisahan dua orang yang saling jatuh cinta. Ya, aku mencintainya juga sekarang. Setelah kurasakan nyaman di pelukannya dan seketika detak jantung lebih cepat dari biasanya. Aku mengerti bagaimana perasaan Rai selama ini. Tidak mudah memendam perasaan kepada seseorang selama itu. Tapi, Rai bisa melakukannya. Aku tahu dia benar-benar mencintaiku.
'Dira, jaga dirimu baik-baik.' Tiba-tiba Rai berbisik di telingaku. Dia memelukku dari belakang. Rai membalik badanku dan membuat kami berhadap-hadapan. 'Aku mencintaimu.' kata Rai lalu mengecup keningku.
Dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dalam hati, kurelakan kepergian Rai. Mobilnya melaju di bawah guyuran gerimis siang itu. Perlahan aku melangkah keluar halaman dan mengamati mobil Rai sebelum hilang di ujung jalan kompleks. Tak terasa titik-titik air gerimis membasahi rambut dan bajuku. Wajahku menengadah. Kulihat awan masih terlihat kusam dan wajahku sudah dipenuhi bulir-bulir air gerimis dan air mataku.
Di gerimis yang membasahiku, air mataku harus kembali mengalir. Aku harus kehilangan cinta lagi. Dulu, gerimis memisahkanku lewat sebuah pengkhianatan. Kini, saat aku menemukan cintaku yang baru gerimis membentangkan jarak di antara kami.
3 notes · View notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
BINGKAI KECIL FANIA
Tumblr media
Terhitung telah sepekan sepi merajaiku. Yang seharusnya mendekap kini lenyap. Yang semestinya tertawa bersama kini entah kemana. Cinta tak memberi kabar.
Senja telah menjemput. Angin lembut berkenan hadir menyeka jiwa-jiwa yang rentan. Aku telah memposisikan diri pada sebuah bangku yang menghiasi taman ini seraya menggenggam sepucuk surat pemberian sang pesona, pemilik jiwa ini.
“Dear Rama,
Hai Ram, apa kabar? semoga baik ya. Maaf untuk kita yang belakangan ini nggak bisa saling ketemu satu sama lain. Mungkin cuman dari sini aku mau sampaikan sesuatu tentang kita.
Makasih udah jadi seseorang yang bisa hadir di tengah ceritaku, tapi sekali lagi maaf, di antara kita udah nggak ada kecocokan. Ternyata prinsip kita beda Ram, dan aku nggak bisa jalanin itu semua. Yang berjalan akan membuat kita malah saling tak menentu. Biar hidup ini memilih mana yang terbaik, lantas kurasa inilah jawabnya.
Kita selesai Ram. Berat rasanya mengungkap keluh ini, tapi aku musti lakuin sebelum ini lebih jauh lagi. Dengan surat ini kutitipkan rindu dariku untukmu.
Dengan Cinta,
Fania Lestari”
'mana janjimu? kenapa musti begini sih Fan, arggghhh!'. Emosiku tersulut.
Ya, aku dengannya telah berakhir. Namun tak berarti bersedih harus terlampau larut. Akan tetap ku lanjutkan hari meski harus berjalan dengan satu kaki.
'sampai nanti cinta!'. Ujarku pula meremas surat yang menyedihkan itu.
Setahun Kemudian
Dalam sunyi ku mulai menata nurani. Bersama cinta yang selalu menemani detik melawan logika. Dengan hati yang berusaha agar tak lelah berjumpa mentari, bintang, nan rembulan sebagai pengisi langit-langit yang tiada tepi. Tanpa luka yang tak pernah terharapkan, tanpa perih walau terkadang merasa sepi, seraya merasakan gemerlapnya pinta pula harapan. Tuhan, hidup ini luar biasa, terlebih pernah Engkau kirim satu karya-Mu lewat keindahan surga dari tangan seorang hawa.
Tepat hari ini. Disaksikan awan kelabu dan sapuan angin lembut, aku tiba di sebuah pesta perayaan dari sahabatku, sebut saja Jaka. Persahabatan ini telah ada semenjak kami belum mengenal dosa.
'Rama!'. Jaka memanggilku.
'eits, iya bro sorry telat'. Jawabku datar padanya.
'sendiri aja nih? mana pasangan?'.
'nyindir atau gimana nih? sialan!'. Aku sedikit kesal.
'hehehe, kenapa? masih nggak bisa lupain Fania ya?'.
'udahlah, ini waktunya pesta!'.
'bilang aja masih suka, iya kan?'.
'terserahlah! by the way, selamat ulang tahun ya!'.
'hmm, oke-oke thanks Ram'.
Lantas tiba-tiba segelas cairan mendarat di kemeja putih yang aku kenakan malam ini. 'cluppp'. Otomatis basah kuyup. Sebut saja cobaan.
'aduh, ini apa? jadi basah kan'. Gerutu aku.
Asal muasalnya dari belakang ku, pula disusul dengan rangkaian kata berwujud suara untuk meminta maaf dari sebuah pita suara yang tak asing bagiku. Itu sangat aku kenali. Hati ini merasa terpanggil.
'maaf-maaf, aku enggak sengaja'. Pintanya padaku. Lantas aku menoleh padanya.
'haa?'. Aku terkejut.
Ya, benar firasat ini. Ternyata cinta telah datang kembali. Kembali setelah setahun lamanya meninggalkan janji. Membawa pribadi yang pernah terjaga. Manusia yang pernah melukis sejarah di liku-likunya sebuah romansa sederhana berbalut ketulusan. Manusia yang pernah membuatku mengerti betapa indahnya jatuh cinta. Mengajarkanku untuk berbagi dalam kasih dan sayang. Menegaskan tentang indahnya perbedaan walau pada akhirnya 'perpisahan' adalah pilihan yang sulit untuk dijalani. Dia yang pernah meninggalkanku bersama surat pemberiannya. Fania Lestari.
'Fania?'.
'Rama?'.
Fania terkejut, lantas ia melangkah untuk mencoba menghindar dariku. Takkah ia menyimpan sedikit rindu pada raga ini? atau justru ia membenci masa lalunya ini? Yang jelas ia seperti tak meng-iyai kehadiranku.
'Fania, tunggu!'. Tegurku padanya.
Dia masih terus berjalan. Kini dengan derap langkah yang semakin dipercepat. Tak ku lewatkan momen seperti ini.
'Fania!'. Kembali ku coba.
Setelah mencoba mengeja nama itu, akhirnya ia berhenti dengan nafas yang tak menentu. Namun tak menoleh sedikit pun. Aku semakin tak sabar untuk segera mendekat padanya.
'Fania?'.
'hmm, hai apa kabar, Ram?'. Ucapnya seraya menoleh dan melepas senyum.
'aku baik'. Aku menatapnya tajam.
'kamu kenapa? kok ngelihatnya gitu?'.
'harusnya aku yang tanya kenapa. Kenapa kamu ngehindar pas aku lagi manggil kamu? Masih punya masalah sama aku?'.
'ha? masalah? itu udah masa lalu Ram. Enggak seharusnya kita ributin itu'.
'tapi ini penting buat aku, Fan!'.
'apanya yang penting?' Fania mulai tersulut. Kini ia yang menatapku tajam. Belum pernah aku melihat Fania yang sekeras ini. Aku tergertak.
'….'. Aku diam dengan tetap menatapnya.
Tiba-tiba ia kembali mencoba pergi dariku. Tatapanku padanya tak berhasil membuatnya terpaku. Ku mohon berhentilah cinta.
'Fania!'. Ucapku seraya menarik lengannya.
'….'. Fania diam dan tersentak.
'apa harus begini?'.
'maksud kamu apa?'.
'tentang kita. Apa kamu nggak sadar kalau selama ini ego kita udah bikin semuanya kelar?'.
'aku masih nggak ngerti maksud kamu apa!'.
'setahun lalu. Kamu pergi ninggalin aku hanya karena prinsip kita yang nggak akan pernah sama'.
'terus?'.
'sekarang yang aku pertanyakan adalah janjimu. Kamu pernah bilang kalau perbedaan bisa bikin kita jadi pasangan yang istimewa. Tapi nyatanya? apa?'.
'memang Ram, kita yang dulu adalah keindahan yang nggak akan terjadi di pasangan lain di muka bumi ini. Tapi janji itu ada sebelum keadaan bikin semangatku sirna'.
'maksud kamu apa sih?'.
'aku rasa ini bukan tempat yang pas buat aku ungkap semuanya, Ram. Besok aku tunggu di taman tempat kita dulu biasa ketemu. Selamat malam!'. Fania pergi dengan tangisan yang menemaninya berjalan.
Kini aku semakin terjebak pada kerancuan. Cinta yang kembali ternyata tak tersenyum padaku. Air matanya lah yang menjabat kerinduanku padanya, secara perlahan membebaniku dengan butiran rasa bersalah. Ada apa dengan cinta? Bukan maksud hati memeras kristal di matamu.
Di Taman Rindu
Hari kemarin berlalu. Kini tiba dengan sinar rembulan yang baru dan tak hentinya menaungi aktivis cinta. Bangku taman yang sedikit reot sudah cukup lama menemani raga menanti hawa yang kemarin meminta untuk datang di tempat yang pernah menyisakan tragedi lumayan pilu ini, di Taman Rindu.
'Rama!'. Cinta telah datang.
Fania telah menginjakkan kaki di taman ini. Aku menatapnya sangat dalam. Malam ini ia benar-benar membuatku seperti bersemi kembali. Matanya indah, mata yang mengajakku bersenandung. Bibirnya manis, bibir yang tercipta hanya untuk satu kepastian, yakni 'tersenyum'.
'segitu pentingnya ya sampai niat dateng ke sini?'. Tanya Fania padaku.
'ini penting fan, bukan main-main'
'lantas?'.
'aku cuman mau kita bisa balik kayak yang dulu lagi'.
'tapi Ram?'.
'apalagi? kamu mau nolak aku? atau kamu udah punya yang lain?'.
'sebenernya ada yang mau aku jelasin ke kamu'.
'jelasin? Apa?'. Aku mulai terbawa suasana.
Fania diam untuk beberapa saat. Ia gugup dan kaku. Butiran keringat mulai menghiasi wajahnya yang ekspresif itu. Aku merasa heran menyaksikan itu semua.
'Fan?'. Aku memintanya.
'Ram…'.
'iya?'.
'aku bukan Fania!'.
'ha? maksud kamu?'. Aku terkejut mendengar ucapan itu.
'iya, aku bukan Fania. Ini aku Sania, kembaran Fania. Kamu ngerti kan?'. Ujarnya berusaha tenang.
'Sania? Nggak mungkin! mana bisa? ini ada apaaa?'.
'dengerin aku, Ram!'.
'mana mungkin kamu Sania?'.
'mungkin sekarang waktunya aku jelasin. Apa kamu inget setahun lalu Fania pernah ninggalin kamu lewat sepucuk surat dengan alasan prinsip kalian yang nggak sama?'.
'ee ii ii iya?'.
'asal kamu tau! Fania nggak pernah punya niat ninggalin kamu, apalagi karena alasan prinsip. Fania wanita baik-baik, Ram. Mungkin buat dia cuman itu cara yang halus untuk kelarin semuanya'.
'aku nggak ngerti, ini kenapa sih hah?'.
'yang kemarin malam numpahin air di kemejamu, itu aku'.
'hah?'.
'Fania udah enggak ada Ram, setahun lalu tepatnya. Dia meninggal setelah aku sembuh. Sebagian raganya sekarang ada di aku'.
'APA? please, nggak usah becanda, kamu pasti Fania, bukan Sania!'.
'ini aku Sania, Ram!'.
'nggak mungkin!'.
'Fania meninggal setelah terjadi gagal ginjal. Dia donorin ginjalnya buat aku. Kamu musti bisa terima keadaan Ram, bukan cuman kamu yang merasa kehilangan tapi aku juga'. Tiba-tiba air mata Sania datang tak diundang.
'NGGAK! kamu pasti Fania'.
'aku Sania, Ram, Sania Lestari'. Ia berusaha meyakinkan.
'tapi? nggak, nggak mungkin!'. Aku panik.
'ini aku Sania!'. Ia membalasku.
Sejenak aku sulit berkata-kata. Ruang di hati terasa kosong, seperti tak lagi menampakkan diri yang biasanya. Ada apa dengan cinta? haruskah perpisahan setahun yang lalu berbalut kebohongan? yang jelas hati tersentak.
'jadi? kamu?'.
'iya, ini aku Sania'.
'Ya Tuhaaan…'.
Kini aku mengimbang Sania untuk mengeluarkan kristal dari sudut mata ini. Betapa kehilangannya aku. Ini antara bermimpi dan berhalusinasi yang terlampau jauh dan memaksaku untuk tak kembali, tapi ini semua nyata.
'udahlah Ram, kita sama'. Ujar Sania seraya mengelus pundakku.
'tapi San…'.
'Ram, cinta sejati adalah yang mengerti dan rela bahwa ia harus pergi setelah cukup terjaga bersama seseorang yang menurutnya istimewa, raga Fania udah nggak ada, tapi jiwanya di sini, di ragaku'. Sania menuturkan dengan masih bernuansa air mata.
'Faniaaaa…'.
Sania memeluk erat berusaha menenangkan aku yang masih dinaungi ketidak percayaan atas penjelasannya tadi. Fania benar-benar telah tiada. Aku merasa bersalah karena telah berprasangka buruk terhadap cinta. Atas nama ketulusan, maafkan aku cinta.
'ada yang Fania kasih ke aku buat kamu, Ram'.
'apa?'.
'ini'. Sania memberiku sebuah bingkai kecil dengan foto di dalamnya.
'foto ini?'.
'itu kenangan kalian'.
Ya, Sania memberiku sebuah bingkai kecil dengan fotoku bersama Fania di dalamnya. Sebuah potret yang menampilkan keceriaan antara aku dengannya. Itu adalah kenangan terakhirku bersama Fania setahun lalu. Aku tak menyangka ternyata selama ini benda tersebut selalu Fania simpan tanpa cacat sedikit pun. Terima kasih cinta.
'Fania suka benda itu, jadi aku mohon kamu simpan itu untuk Fania, Ram'. Ucap Sania.
'ii iya, pasti, makasih San'. Balasku berkaca-kaca padanya.
Semenjak saat itu, cinta telah merubahku. Menyadari bahwa betapa agungnya kekuatan cinta adalah hal yang mulia. Ia memang pergi, namun jiwanya selalu menemani. Andaikan waktu bergulir kembali, tak akan ku lewatkan sedetik pun dalam hidup untuk menjaganya. Sekali lagi maaf telah menoreh noda pada sempurnanya sebuah kisah.
Kini hanya dengan melihat Sania aku seperti memandangi Fania. Hampir tak ada celah untuk berbeda di antara keduanya. Dua keindahan yang kurangkum dalam satu catatan seumur hidup. Beribu rasa terima kasih untukmu Sania yang telah sedikit menuntunku demi Fania meskipun hatiku tak lagi bisa berlabuh.
Maka denganmu dan demi cinta, akan ku jaga bingkai kecil ini sampai hariku tak berlanjut lagi.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
JINGGA TERSENYUM UNTUK KITA
Tumblr media
Matahari mulai menebarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia. Namun, Salwa baru saja sampai di gerbang sekolahnya. Terburu-buru ia melangkahkan kakinya, mencari ruang kelas barunya. Hari ini hari pertama Salwa memulai kembali rutinitasnya sebagai pelajar SMA. Tapi, kebiasaan buruknya yang sering terlambat datang ke sekolah rupanya masih sulit dia hilangkan.
'Akhirnya sampe juga' gumamnya dalam hati. Matanya memandangi satu-satu wajah teman-teman sekelasnya yang baru.
'Salwa!' terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga Salwa, memanggil dari salah satu bangku di sudut kelas. Itu suara Nida, teman sebangku Salwa sejak kelas 10. 'Telat mulu sih, Wa. Baru juga hari pertama sekolah.'
'Iya nih, aku kesiangan, Da, terus juga tadi jalanan macet banget' Salwa beralasan sambil meletakkan tasnya di bangku sebelah Nida. Lalu Salwa duduk di bangkunya. Dan selanjutnya memandangi mejanya heran. 'Ini punya siapa, Da?'
'Nih kan ada tulisannya, 'Buat Salwa'' jawab Nida menunjuk kertas kecil 'yang biasa disebut 'post it'- di atas setangkai mawar merah dan sebatang cokelat.
Pelan-pelan Salwa mengangkat mawar itu dengan tangan kanannya dan si cokelat dengan tangan kirinya.
'Dari siapa, Da?' tanyanya lagi.
'Aku nggak tau, Wa. Tadi Aku emang dateng pertama di kelas, tapi abis naruh tas, Aku ke kamar mandi bentar, eh pas balik ke kelas udah ada bunga sama cokelat itu, tapi nggak ada siapa-siapa' tutur Nida menjelaskan.
'Terus siapa dong yang iseng gini? aku kan ulang tahunnya masih bulan dep…'
'Cieee Salwaaa, baru hari pertama masuk sekolah aja udah dapet bunga sama cokelat, cieee Salwa cie cie cieee' tiba-tiba Dol dan Vino muncul memotong kalimat Salwa.
'Apaan sih Dol' wajah Salwa memerah.
'Cie muka Lo merah tuh, Wa. Gue tau, Gue tau, itu pasti dari seseorang yang memendam rasa ke Elo, Wa. Hahaha' goda Dol.
'Iya tuh, Wa. Bener kata si Dol, jangan jangan itu dari 'secret admirer' Kamu. Cie Salwaaa' Nida tiba-tiba ikut ketularan isengnya Dol.
'Apaan sih Kalian, nggak mungkinlah ada yang sampe segitunya ke Gue. Paling ini cuma salah alamat' Salwa membantah tuduhan teman-temannya tentang bunga dan cokelat itu.
'Eh bisa aja, Wa. Kenapa enggak, Lo kan alim dan pendiem. Ya nggak, Vin?' tanya Dol meminta dukungan kepada teman sebangkunya. Vino yang memang tipe cowok cool cuma manggut-manggut sambil senyum-senyum mendengar banyolan Dol.
Guru mereka datang dan spontan menghentikan perbincangan muda-mudi itu.
Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, setangkai bunga dan sebatang cokelat terus menghantui hari-hari Salwa. Nida dan Dol yang setiap pagi melihat wajah kebingungan Salwa pun tidak pernah berhenti meledeknya dan selalu meminta cokelat milik Salwa dari si penggemar rahasia yang jumlahnya hari ini genap 18. Tapi Salwa juga selalu menolak untuk memberikan cokelatnya kepada teman-temannya atau memakannya satu pun. Semua cokelat disimpannya dalam satu kotak makan ukuran besar. Begitupun dengan 17 tangkai bunga mawar yang ditaruhnya dalam satu vas di kamarnya.
'Heh Wa, bengong aja dari tadi' Nida menyenggol sahabatnya yang termenung sejak tadi di atas sajadah masjid sekolahnya dengan mukena merah muda yang belum dilepasnya.
'Eh… Astaghfirullah' Istighfar Salwa terdengar menggantung. Ia dan Nida terdiam sejenak. 'Aku bingung, Da' sejenak Salwa menghela napas. 'Aku bingung, sampe kapan bunga dan cokelat itu bakal mendarat di mejaku? Sampe kapan Aku harus dibuat bingung sama orang iseng yang sampe sekarang Aku pun nggak tau siapa Dia? Dan sampe kapan orang yang kamu sama Dol bilang 'penggemar rahasia'Ku itu harus buang-buang uangnya buat setangkai bunga dan sebatang cokelat? Sampe kapan, Da?' suara Salwa bergetar.
'Ya… mungkin sampe Dia bosen ngisengin Kamu. Atau mungkin sampe ada yang tau siapa Dia dan ngaduin Dia ke Kamu. Atau… mungkin juga sampe Kamu mau cari tau siapa Dia dan suruh Dia berenti neror Kamu' kalimat Nida membuat keadaan hening lagi.
'Iya sih Kamu bener. Tapi gimana caranya? Dia aja nggak pernah ngasih petunjuk atau ninggalin jejak tentang identitas dirinya' Salwa mulai kesal.
3 minggu sudah Salwa dibuat bingung oleh penggemar rahasianya itu. Mungkin jika gadis lain yang ada di posisinya, Sang Gadis akan tetap setia menunggu sampai si Penggemar muncul dan menyatakan cintanya. Toh, nggak ada ruginya, malah untung tiap hari dapet bunga sama cokelat. Tapi, Salwa justru merasa bersalah dan kebingungan.
Salwa terbiasa untuk selalu menutup malam-malamnya dengan muhasabah (evaluasi diri). Dan 3 minggu ini sebagian besar muhasabahnya dihabiskan Salwa untuk mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya selama ini sampai membuat seseorang jatuh hati padanya. 'Kenapa bisa sampe ada orang yang rela membuang uang, waktu dan tenaganya hanya demi merutinkan mawar dan cokelat untukku? Dosa apa Ya Allah yang hamba buat hingga ada orang yang sebagian perhatiannya tersita untuk hamba? Ampunilah dosa hamba dan dosanya, Ya Rabb'. Itulah isi renungan Salwa selama 3 minggu terakhir.
'Em… Gimana kalo Kamu coba tanya sama petugas kebersihan yang biasa bersihin kelas Kita atau sama satpam sekolah? Mereka kan pasti ada di sekolah dari pagi' ujar Nida mencoba memberi saran kepada sahabatnya yang terlihat stress.
'Aku udah coba Da minggu lalu, tapi hasilnya nihil. Pak satpam nggak tau. Soalnya tiap pagi Dia nggak pernah merhatiin siapa aja yang dateng pagi. Kalo kata Pak Mimin yang tiap pagi bersihin kelas Kita, bunga sama cokelat itu selalu ada lebih pagi sebelum si Bapak bersihin kelas Kita, kebetulan juga kelas Kita yang terakhir dibersihin sama Pak Mimin dari seluruh kelas di lantai 2, Da. Gimana dong, Da? Cokelat sama bunganya udah ada tujuh belas nih di rumah, sama yang hari ini jadi delapan belas' Salwa semakin putus asa.
'Ya udah Kamu selidikin aja sendiri. Tapi, ya Kamu harus rela dateng pagi. Kalo perlu abis subuh Kamu langsung jalan, Wa' Nida kembali mengajukan saran yang dipikirnya sulit dijalani Salwa yang suka kesiangan datang ke sekolah.
'Masya Allah Nida Kamu pinter banget' Salwa spontan memeluk tubuh sahabatnya itu. 'Aku bakal usaha bangun pagi. Kamu doain ya Da supaya aku berhasil nangkep basah si 'Tukang Teror' itu'
'Iya insyaa Allah' Nida merasa lega melihat senyum Salwa yang mengembang.
'Menurut Kamu apa yang bikin orang iseng itu rajin naruh mawar sama cokelat tiap pagi buat Aku, Da?' Salwa kembali berujar sambil melipat mukenahnya.
'Ya pasti ada perasaan suka yang ngedorong Dia buat ngasih cokelat sama bunga ke Kamu tiap hari, Wa. Mungkin dia pengen bikin Kamu terkesan sama cara Dia nunjukin perhatianya. Salahnya, Dia nggak tau siapa Kamu dan prinsip Kamu buat nggak ngurusin hal-hal yang berhubungan sama suka-sukaan kaya gitu' jawab Nida.
'Tapi, Da Aku kan nggak pernah ngelakuin hal-hal yang narik perhatian lawan jenis. Temen cowok yang paling deket sama Aku pun cuma Dol, itu juga masih dalam batasan-batasan tertentu. Dan Aku tau Dol nggak bakal tertarik sama Aku, begitupun Aku' Salwa masih tidak bisa menerima bahwa seseorang di sekolah itu sedang jatuh hati padanya.
'Salwa, Kamu harus inget suka sama lawan jenis itu nggak dosa. Dan bikin lawan jenis suka sama Kita juga nggak dosa kalo nggak disengaja. Aku tau Kamu, Wa. Kamu itu cewek tersolehah sesatu sekolah. Nggak pernah kamu berinteraksi sama lawan jenis diluar batas atau ngelakuin hal-hal yang dilarang Islam yang bisa bikin mereka ngelirik kamu' Salwa berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. 'Tapi Kamu cantik, Wa. Kamu sopan, alim, pinter, nggak banyak gaya, pendiem, siapapun bisa aja suka sama kamu. Dan bagiku itu wajar apalagi buat anak seusia Kita yang masih labil'
'…' Salwa terdiam, memaknai kata-kata Nida. Dia tidak menyangka kata-kata bijak seperti itu bisa keluar dari mulut Nida, sahabatnya yang periang itu.
19 Agustus 2012, pukul 03:30.
Salwa baru saja selesai menunaikan salat Qiyamul Lail-nya. Dia sudah bertekad untuk memergoki penggemar rahasianya pagi ini. 'Ya Allah lancarkanlah urusanku hari ini, luruskanlah niatku agar semua kegiatanku hari ini dapat kulakukan hanya karena mengharap ridho-Mu, aamiin'.
Salwa pun bersiap-siap menuju sekolahnya usai salat shubuh. Dia menembus gelapnya pagi bersama Abang Ojek karena kalau menunggu di antar Ayahnya bisa-bisa dia baru sampai di sekolah begitu bel berbunyi. Maklum Ayah Salwa harus mengantar Adik Salwa dulu setiap pagi, yang arah sekolahnya berlawanan dengan arah sekolah Salwa, sehingga setiap pagi Salwa harus mengalah hingga terlambat sampai di sekolah. Tak lupa dibawanya 18 tangkai bunga dan 18 batang cokelatnya dalam paper bag yang ditentengnya menyusuri jalanan yang masih sepi.
Salwa melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai 2 sekolahnya. Salwa memberanikan dirinya melewati kelas demi kelas dalam keadaan gelap dan sepi. Begitu sampai di depan pintu kelasnya jantung Salwa mulai berdegup lebih cepat dari biasanya. Sesudah melafadzkan Basmallah, ia mendorong pelan salah satu daun pintu kelasnya. Dilihatnya sesosok laki-laki sedang meletakkan sesuatu di atas mejanya. Lebih seksama Salwa memperhatikan gerak-gerik orang itu. Samar-samar dilihatnya wajah seseorang yang sedang asyik dengan rutinitasnya, meletakkan mawar dan cokelat untuk Salwa. Salwa membatin, ia mengenal jelas wajah itu.
'Tapi, masa iya sih?' Salwa justru meragu saat mengetahui siapa sosok yang menerornya dengan 18 tangkai mawar dan 18 batang cokelat itu. Detak jantung Salwa semakin tak beraturan. Kepalanya penuh dengan fakta tentang penggemar rahasianya yang tidak bisa dia percaya. Sudah beberapa detik Salwa berkutat dengan rasa tidak percayanya, hingga akhirnya ia ingat kata-kata Nida '…siapapun bisa aja suka sama kamu dan bagiku itu wajar…'.
'Vino…' panggilnya lirih. Salwa melangkah ragu-ragu memasuki kelasnya. Menatap wajah yang selama ini dicarinya. Misinya berhasil, menangkap basah Vino, si penggemar rahasianya.
'Eh…' sebentar wajah tampan Vino memerah dan terlihat salah tingkah. 'Akhirnya ketauan juga' senyum Vino yang terlihat aneh membuat suasana canggung mulai memasuki sudut demi sudut kelas mereka.
'Jadi… Elo yang selama ini naruh ini di meja Gue?' tanya Salwa memastikan, mengangkat paper bag-nya lalu menyodorkannya ke arah Vino.
'Iya. Hehe. Maaf ya jadi bikin Lo bingung tiap hari' tawa Vino terasa garing, ia melanjutkan kalimatnya, memecah keheningan. 'Sebenernya tanpa Lo pergokin, Gue juga bakal berenti neror Lo kok mulai besok. Soalnya kan bunga sama cokelatnya udah pas sembilan belas. Sembilan belas tangkai bunga mawar buat huruf ke-sembilan belas atau huruf S. Yang buat Gue artinya Salwa. Em… soalnya Gue suka sama Lo, Wa sejak akhir semester kelas sepuluh kemaren' Vino berhenti sebentar, mengatur nada bicaranya. 'Dan sembilan belas cokelat buat kado ulang tahun Lo. Happy Birthday ya' Vino menyodorkan cokelat dan mawar ke 19 yang belum sempat diletakkannya tadi karena keburu dipergoki Salwa. Salwa memang berulang tahun ke-16 hari ini.
'Maaf, Gue nggak bisa nerima ini semua' Salwa kembali mengangkat peper bag-nya. Logikanya masih belum menemukan alasan untuk percaya dengan semua ini. 'Mana mungkin Vino suka sama Aku' pikirnya.
Vino terkenal seantero SMA-nya sebagai cowok terkeren dan terganteng. Dari awal masuk ke SMA tersebut Vino sudah menjadi incaran banyak kakak kelas dan teman seangkatannya. Walaupun di kelas 10 Vino dan Salwa tidak sekelas, tapi, yang Salwa tau Vino belum pernah pacaran selama di SMA ini. Karena setiap ada cewek yang nembak Dia satu sekolah bakal heboh membicarakan akhir cerita Vino yang menolak si cewek. Otomatis kalau Vino punya pacar bakal lebih heboh lagi. Tapi belum pernah terdengar kabar tentang Vino yang punya pacar baru. Karena itu bagi Salwa agak sulit menerima kenyataan kalau sekarang Vino sedang di hadapannya, menyatakan cinta padanya. Kalau diingat-ingat semua cewek yang gosipnya pernah nembak Vino itu lebih cantik dan gaul darinya, sehingga membuat Salwa semakin tidak percaya dengan kondisi yang dihadapinya sekarang.
'Tapi itu semua Gue beli buat Lo, Wa' Vino tidak menyambut paper bag Salwa. Dibiarkannya tangan Salwa menggantung 1 meter di hadapannya.
'Kenapa? Gue kan nggak pernah minta' Salwa tidak juga menurunkan tangannya.
'Ya soalnya Gue suka sama Lo. Gue suka sama Lo soalnya Lo beda sama cewek-cewek lain. Lo anggun dan… cantik. Bukan cantik karena bedak atau rambut bagus, tapi cantik karena sikap Lo yang nggak macem-macem dan karena jilbab Lo yang rapih' Vino menuturkan alasannya menyukai Salwa.
Salwa merasa sesuatu mulai menyusup ke dalam hatinya, entah perasaan apa tapi yang jelas ia ingin cepat pergi dari hadapan Vino.
'Sorry Vin, Gue tetep nggak bisa nerima semua ini dengan alasan sesederhana itu' Salwa menjatuhkan paper bag-nya yang berisi bunga dan cokelat, spontan kelopak-kelopak bunga yang menyembul keluar paper bag berjatuhan karena hentakan yang cukup keras. Salwa berbalik, melangkah mendekati pintu kelasnya, dibawa serta tas sekolah yang masih menggantung di pundaknya. Sejenak Salwa berhenti di depan pintu kelasnya, di sana ada Nida yang tanpa Salwa dan Vino sadari mendengar beberapa bagian pembicaraan mereka. Kelopak mata Salwa tidak kuat lagi menahan air mata yang akhirnya menetes, membasahi pipi Salwa yang memerah. Salwa berlari kecil, menjauh dari Nida, dia malu, entah karena apa.
'Wa!' panggil Nida yang segera mengejar Salwa.
Satu-satunya tempat yang terbayang di pikiran Salwa hanya Masjid. Dia tidak tau lagi harus kemana, mengadu pada siapa. Sekolah masih sepi, yang terdengar hanya suara cicitan burung dan sedikit suara mesin kendaraan dari jalan raya yang jaraknya kira-kira hanya 50 meter dari sekolah Salwa.
Salwa terduduk lemas, sesenggukan ia menangis. 'Ya Allah, ternyata orang yang selama ini kucari ada di depan mataku. Terus setelah ini hamba harus apa Ya Allah, hamba takkan sanggup berbuat apapun tanpa-Mu Ya Rabb'. Penyesalan itu datang lagi. Penyesalan terdalam karena ada cinta di atas cinta di hati Vino yang tertuju pada Salwa.
'Wa, maaf ya, tadi Aku ngupingin Kamu sama Vino' Nida datang, memeluk Salwa dari belakang. 'Bukannya harusnya sekarang Kamu lega, kan Kamu udah ketemu langsung sama si Tukang Teror yang selama ini Kamu cari-cari'.
'Tapi Da, kenapa Vino?' Salwa menyeka air mata di pipinya. Mengatur napasnya. 'Apa yang bikin orang kayak Dia tertarik sama orang kayak Aku?'
'Ini kan bukan soal siapa yang suka sama Kamu, Wa. Tapi ini tentang gimana cara Kamu ngakhirin semuanya dan ngasih pengertian ke Vino, Wa. Vino atau siapapun sama aja kan?' Nida menghapus air mata Salwa yang belum berhenti mengalir.
'Aku cuma ngerasa oon aja, jauh-jauh Aku nyari siapa yang tiap pagi ngisengin Aku, ternyata orangnya tiap hari duduk di belakang Kita' Salwa memandang langit-langit Masjid yang selalu terasa nyaman dan sejuk. 'Terus cara ngakhirinnya gimana, Da? Aku pasti jadi canggung deh sama Dia'.
'Aku rasa Kita harus minta bantuan Dol. Dia kan temennya Vino dari SMP, mungkin Dia bisa bantuin ngomong baik-baik ke Vino' kata Nida memberi jalan keluar. 'Gimana?'
Saran Nida disambut anggukan Salwa tanda setuju.
Salwa ditemani Nida mulai bercerita tentang kejadian pagi tadi kepada Dol pada jam istirahat di kantin sekolah mereka.
'Serius Lo?!' tanya Dol kaget mendengar cerita Salwa. 'Jadi si Vino? Yaampun, kenapa bisa Gue nggak nyadar kalo Dia yang ngelakuin kegilaan ini? Huft' Dol mulai lebay seperti biasanya.
'Lo beneran nggak tau apa-apa, Dol?' tanya Nida memastikan, karena Dol adalah orang terdekat Vino selama ini.
'Yaelah sumpah deh Gue nggak tau apa-apa'. Dol mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berusaha meyakinkan Salwa dan Nida kalau dia sama sekali tidak terlibat masalah ini.
'Ya udah, kan nanya doang, Dol. Nggak usah pake sumpah-sumpah kali' Nida protes.
'Iya iya maap' Dol menurunkan tangannya. 'Tapi sih, Wa, semenjak kelas sebelas ini si Vino tuh jadi rada pendiem. Tobat deh Dia kayanya' ujar Dol sambil mengunyah somay yang dipesannya beberapa menit lalu.
'Maksudnya? Tobat?' Salwa bingung.
'Iya, Dia tuh sekarang kalo Gue ajak ke kantin pasti nggak mau, alesannya salat. Salat Dhuha kek Shalat Zuhur kek, pokoknya salat mulu deh. Pas Gue tanya kenapa Dia tiba-tiba jadi rajin salat Dia jawabnya gini, 'Gue mau belajar jadi imam yang baik Dol kalo nggak mulai dari sekarang, kapan lagi? Kalo nggak mulai dari jadi imam salat jadi imam apalagi, Dol' Gue sih nggak ngerti maksudnya, tapi kedengerannya keren kata-kata kayak gitu bisa keluar dari mulut Vino yang sebelumnya buta agama, sama kayak Gue' tutur Dol panjang lebar.
Hati kecil Salwa bergetar. 'Lo mau kan, Dol bantuin Gue ngomong ke Vino?'
'Ngomong apa?' Dol yang sedang konsen melahap somaynya malah balik bertanya.
'Tolong bilangin ke Dia, buat berenti usaha deketin Gue. Gue nggak mau diganggu sama hal-hal yang berhubungan sama cinta yang nggak seharusnya bersemayam di hati Gue. Gue mau konsen belajar, Gue mau serius memperbaiki diri Gue dalam banyak hal. Bisa kan Dol bilang gitu ke Vino? Soalnya kayaknya Gue belum bisa ngomong langsung ke Dianya' pinta Salwa.
'Maksudnya gimana sih, Wa? Ada kata-kata yang lebih simple nggak? Lo nolak Dia gitu?' ujar Dol tak mengerti.
'Intinya gimanapun caranya Dia harus berenti ngasih perhatian ke Salwa mulai hari ini, Dol. Kalo Dia mau suka-sukaan cari cewek lain aja, Salwa nggak minat sama hal-hal kayak gitu, ngerti?' Nida mulai geregetan sama Dol yang pentium otaknya nggak nambah-nambah.
'Oh, iya iya, ngerti kok sekarang'.
Kalimat Dol menutup pembicaraan mereka karena pada detik berikutnya bel tanda istirahat berakhir berdering.
Salwa dan Nida menunggu, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Vino. Sepulang sekolah Vino mengajak Salwa untuk berbicara di kantin dengan ditemani Nida dan Dol.
'Lo mau ngomong apasih, Vin? Gue sama Salwa ada rapat Rohis nih' Nida mulai nggak sabar.
'Tau Vin, buruan ah, Gue mau pulang nih, laper' Dol ikut mendesak Vino.
'Iya iya' Vino mengatur napasnya sejenak. Memandang wajah Salwa yang menunduk dari tadi. Wajah yang selalu meneduhkan hatinya. 'Em… gini, Wa. Sebelumnya Gue mau minta maaf atas semua hal yang Gue lakuin yang udah bikin Lo keganggu. Gue nggak maksud bikin Lo nggak nyaman kok. Gue cuma mau kenal sama Lo lebih jauh aja. Dol udah nyampein semua pesen Lo ke Gue. Eng… Sorry ya… Gue nggak tau kalo Lo punya pemikiran sejauh itu soal… soal cinta-cintaan'.
Suasana hening menyelimuti mereka berempat. Dol dan Nida yang hanya bisa menjadi saksi bisu perbincangan ini pun terlihat serius memperhatikan wajah Salwa dan mendengarkan seksama kata-kata Vino.
'Tapi, bunga sama cokelat ini… diterima ya, Wa' Vino meletakkan paper bag Salwa di atas meja kantin, mendorongnya ke arah Salwa.
'Tapi…'
'Plis, Wa. Anggep aja ini kado ulang tahun dari Gue' Vino memotong Salwa yang hendak mengelak. 'Ya, Wa?'
'Ya udah, tapi nggak papa kan kalo cokelatnya Gue bagi ke Nida, Dol dan temen-temen Gue yang lain?' tanya Salwa menatap Vino sekilas.
'Oh, iya nggak papa kok' Vino lega, tersungging senyum di bibirnya.
'Yess' jerit Dol dan Nida berbarengan karena akhirnya mereka bisa mendapat cokelat yang selama ini mereka inginkan.
'Kalo temenan boleh kan, Wa?' Vino kembali bertanya.
'Iya boleh kok' Salwa tersenyum kecil, dia senang karena Vino bisa mengerti prinsipnya.
19 bunga itu disimpan Salwa dalam satu vas sedangkan 19 cokelat dibagikannya pada teman-teman Rohisnya, teman-teman sekelasnya serta ibu dan adiknya. Beberapa bulan kemudian, Vino dan Dol yang mulai tertarik dengan Rohis akhirnya resmi bergabung dalam organisasi itu. Mereka pun semakin soleh dari hari ke hari.
7 tahun kemudian,
19 Agustus 2019,
Salwa sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu TK Islam di Jakarta. Hari itu sepulang mengajar ia terburu-buru menuju suatu Masjid, tempatnya janjian dengan guru ngajinya. Tadi pagi ia ditelepon guru ngajinya, dia bilang ada seseorang yang mau mengajak Salwa ber-ta'aruf. Karena sudah mendapat izin orang tuanya untuk mulai mencari pendamping hidup, akhirnya Salwa berniat mencoba memulai ber-ta'aruf dengan calon yang diajukan guru ngajinya itu. 'Orangnya soleh kok De insyaa Allah, ibadahnya bagus dan udah kerja sebagai penulis buku-buku Islami'. Kata-kata Kak Aini, guru ngajinya di telepon tadi pagi terbayang-bayang di benak Salwa. Dengan mantap ia memasuki pintu masjid yang terbuka, terlihat Kak Aini sudah menunggunya. Disalaminya Kak Aini seperti biasa saat mengawali pertemuan dengan Kak Aini.
'Orangnya udah nunggu De dibalik hijab sama guru ngajinya' bisik Kak Aini.
Hati Salwa berdegup. Proses perkenalan dimulai. Dibuka oleh guru ngaji si laki-laki. Dan dilanjut dengan perkenalan dari sang pria yang mengajak Salwa ber-ta'aruf. Betapa terkejutnya Salwa saat mengetahui siapa yang berada di balik hijab Masjid siang itu. Vino! Dialah yang sekarang sedang ber-ta'aruf dengan Salwa. Vino yang setelah lulus SMA tak pernah terdengar kabarnya oleh Salwa. Air mata Salwa tumpah, ia tidak percaya takdir kembali mempertemukan mereka. Getar itu masih ada, getar yang selama ini disimpannya jauh di dalam lubuk hatinya. Kini getar itu kembali muncul ke permukaan hatinya.
Tahap perkenalan mereka pun berlanjut hingga lamaran. Tak lama setelahnya, cinta mereka dikukuhkan dalam ikatan pernikahan.
'Saya terima nikah dan kawinnya Salwa Mutmainnah binti Ridwan Muhammad dengan mas kawin dan seperangkat alat salat dibayar tunai' suara Vino terdengar lantang mengucap ijab qobul dalam akad nikahnya dan Salwa.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
TANGKAI BUNGA
Tumblr media
Matahari mulai menebarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia. Namun, Salwa baru saja sampai di gerbang sekolahnya. Terburu-buru ia melangkahkan kakinya, mencari ruang kelas barunya. Hari ini hari pertama Salwa memulai kembali rutinitasnya sebagai pelajar SMA. Tapi, kebiasaan buruknya yang sering terlambat datang ke sekolah rupanya masih sulit dia hilangkan.
'Akhirnya sampe juga' gumamnya dalam hati. Matanya memandangi satu-satu wajah teman-teman sekelasnya yang baru.
'Salwa!' terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga Salwa, memanggil dari salah satu bangku di sudut kelas. Itu suara Nida, teman sebangku Salwa sejak kelas 10. 'Telat mulu sih, Wa. Baru juga hari pertama sekolah.'
'Iya nih, aku kesiangan, Da, terus juga tadi jalanan macet banget' Salwa beralasan sambil meletakkan tasnya di bangku sebelah Nida. Lalu Salwa duduk di bangkunya. Dan selanjutnya memandangi mejanya heran. 'Ini punya siapa, Da?'
'Nih kan ada tulisannya, 'Buat Salwa'' jawab Nida menunjuk kertas kecil 'yang biasa disebut 'post it'- di atas setangkai mawar merah dan sebatang cokelat.
Pelan-pelan Salwa mengangkat mawar itu dengan tangan kanannya dan si cokelat dengan tangan kirinya.
'Dari siapa, Da?' tanyanya lagi.
'Aku nggak tau, Wa. Tadi Aku emang dateng pertama di kelas, tapi abis naruh tas, Aku ke kamar mandi bentar, eh pas balik ke kelas udah ada bunga sama cokelat itu, tapi nggak ada siapa-siapa' tutur Nida menjelaskan.
'Terus siapa dong yang iseng gini? aku kan ulang tahunnya masih bulan dep…'
'Cieee Salwaaa, baru hari pertama masuk sekolah aja udah dapet bunga sama cokelat, cieee Salwa cie cie cieee' tiba-tiba Dol dan Vino muncul memotong kalimat Salwa.
'Apaan sih Dol' wajah Salwa memerah.
'Cie muka Lo merah tuh, Wa. Gue tau, Gue tau, itu pasti dari seseorang yang memendam rasa ke Elo, Wa. Hahaha' goda Dol.
'Iya tuh, Wa. Bener kata si Dol, jangan jangan itu dari 'secret admirer' Kamu. Cie Salwaaa' Nida tiba-tiba ikut ketularan isengnya Dol.
'Apaan sih Kalian, nggak mungkinlah ada yang sampe segitunya ke Gue. Paling ini cuma salah alamat' Salwa membantah tuduhan teman-temannya tentang bunga dan cokelat itu.
'Eh bisa aja, Wa. Kenapa enggak, Lo kan alim dan pendiem. Ya nggak, Vin?' tanya Dol meminta dukungan kepada teman sebangkunya. Vino yang memang tipe cowok cool cuma manggut-manggut sambil senyum-senyum mendengar banyolan Dol.
Guru mereka datang dan spontan menghentikan perbincangan muda-mudi itu.
Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, setangkai bunga dan sebatang cokelat terus menghantui hari-hari Salwa. Nida dan Dol yang setiap pagi melihat wajah kebingungan Salwa pun tidak pernah berhenti meledeknya dan selalu meminta cokelat milik Salwa dari si penggemar rahasia yang jumlahnya hari ini genap 18. Tapi Salwa juga selalu menolak untuk memberikan cokelatnya kepada teman-temannya atau memakannya satu pun. Semua cokelat disimpannya dalam satu kotak makan ukuran besar. Begitupun dengan 17 tangkai bunga mawar yang ditaruhnya dalam satu vas di kamarnya.
'Heh Wa, bengong aja dari tadi' Nida menyenggol sahabatnya yang termenung sejak tadi di atas sajadah masjid sekolahnya dengan mukena merah muda yang belum dilepasnya.
'Eh… Astaghfirullah' Istighfar Salwa terdengar menggantung. Ia dan Nida terdiam sejenak. 'Aku bingung, Da' sejenak Salwa menghela napas. 'Aku bingung, sampe kapan bunga dan cokelat itu bakal mendarat di mejaku? Sampe kapan Aku harus dibuat bingung sama orang iseng yang sampe sekarang Aku pun nggak tau siapa Dia? Dan sampe kapan orang yang kamu sama Dol bilang 'penggemar rahasia'Ku itu harus buang-buang uangnya buat setangkai bunga dan sebatang cokelat? Sampe kapan, Da?' suara Salwa bergetar.
'Ya… mungkin sampe Dia bosen ngisengin Kamu. Atau mungkin sampe ada yang tau siapa Dia dan ngaduin Dia ke Kamu. Atau… mungkin juga sampe Kamu mau cari tau siapa Dia dan suruh Dia berenti neror Kamu' kalimat Nida membuat keadaan hening lagi.
'Iya sih Kamu bener. Tapi gimana caranya? Dia aja nggak pernah ngasih petunjuk atau ninggalin jejak tentang identitas dirinya' Salwa mulai kesal.
3 minggu sudah Salwa dibuat bingung oleh penggemar rahasianya itu. Mungkin jika gadis lain yang ada di posisinya, Sang Gadis akan tetap setia menunggu sampai si Penggemar muncul dan menyatakan cintanya. Toh, nggak ada ruginya, malah untung tiap hari dapet bunga sama cokelat. Tapi, Salwa justru merasa bersalah dan kebingungan.
Salwa terbiasa untuk selalu menutup malam-malamnya dengan muhasabah (evaluasi diri). Dan 3 minggu ini sebagian besar muhasabahnya dihabiskan Salwa untuk mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya selama ini sampai membuat seseorang jatuh hati padanya. 'Kenapa bisa sampe ada orang yang rela membuang uang, waktu dan tenaganya hanya demi merutinkan mawar dan cokelat untukku? Dosa apa Ya Allah yang hamba buat hingga ada orang yang sebagian perhatiannya tersita untuk hamba? Ampunilah dosa hamba dan dosanya, Ya Rabb'. Itulah isi renungan Salwa selama 3 minggu terakhir.
'Em… Gimana kalo Kamu coba tanya sama petugas kebersihan yang biasa bersihin kelas Kita atau sama satpam sekolah? Mereka kan pasti ada di sekolah dari pagi' ujar Nida mencoba memberi saran kepada sahabatnya yang terlihat stress.
'Aku udah coba Da minggu lalu, tapi hasilnya nihil. Pak satpam nggak tau. Soalnya tiap pagi Dia nggak pernah merhatiin siapa aja yang dateng pagi. Kalo kata Pak Mimin yang tiap pagi bersihin kelas Kita, bunga sama cokelat itu selalu ada lebih pagi sebelum si Bapak bersihin kelas Kita, kebetulan juga kelas Kita yang terakhir dibersihin sama Pak Mimin dari seluruh kelas di lantai 2, Da. Gimana dong, Da? Cokelat sama bunganya udah ada tujuh belas nih di rumah, sama yang hari ini jadi delapan belas' Salwa semakin putus asa.
'Ya udah Kamu selidikin aja sendiri. Tapi, ya Kamu harus rela dateng pagi. Kalo perlu abis subuh Kamu langsung jalan, Wa' Nida kembali mengajukan saran yang dipikirnya sulit dijalani Salwa yang suka kesiangan datang ke sekolah.
'Masya Allah Nida Kamu pinter banget' Salwa spontan memeluk tubuh sahabatnya itu. 'Aku bakal usaha bangun pagi. Kamu doain ya Da supaya aku berhasil nangkep basah si 'Tukang Teror' itu'
'Iya insyaa Allah' Nida merasa lega melihat senyum Salwa yang mengembang.
'Menurut Kamu apa yang bikin orang iseng itu rajin naruh mawar sama cokelat tiap pagi buat Aku, Da?' Salwa kembali berujar sambil melipat mukenahnya.
'Ya pasti ada perasaan suka yang ngedorong Dia buat ngasih cokelat sama bunga ke Kamu tiap hari, Wa. Mungkin dia pengen bikin Kamu terkesan sama cara Dia nunjukin perhatianya. Salahnya, Dia nggak tau siapa Kamu dan prinsip Kamu buat nggak ngurusin hal-hal yang berhubungan sama suka-sukaan kaya gitu' jawab Nida.
'Tapi, Da Aku kan nggak pernah ngelakuin hal-hal yang narik perhatian lawan jenis. Temen cowok yang paling deket sama Aku pun cuma Dol, itu juga masih dalam batasan-batasan tertentu. Dan Aku tau Dol nggak bakal tertarik sama Aku, begitupun Aku' Salwa masih tidak bisa menerima bahwa seseorang di sekolah itu sedang jatuh hati padanya.
'Salwa, Kamu harus inget suka sama lawan jenis itu nggak dosa. Dan bikin lawan jenis suka sama Kita juga nggak dosa kalo nggak disengaja. Aku tau Kamu, Wa. Kamu itu cewek tersolehah sesatu sekolah. Nggak pernah kamu berinteraksi sama lawan jenis diluar batas atau ngelakuin hal-hal yang dilarang Islam yang bisa bikin mereka ngelirik kamu' Salwa berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. 'Tapi Kamu cantik, Wa. Kamu sopan, alim, pinter, nggak banyak gaya, pendiem, siapapun bisa aja suka sama kamu. Dan bagiku itu wajar apalagi buat anak seusia Kita yang masih labil'
'…' Salwa terdiam, memaknai kata-kata Nida. Dia tidak menyangka kata-kata bijak seperti itu bisa keluar dari mulut Nida, sahabatnya yang periang itu.
19 Agustus 2012, pukul 03:30.
Salwa baru saja selesai menunaikan salat Qiyamul Lail-nya. Dia sudah bertekad untuk memergoki penggemar rahasianya pagi ini. 'Ya Allah lancarkanlah urusanku hari ini, luruskanlah niatku agar semua kegiatanku hari ini dapat kulakukan hanya karena mengharap ridho-Mu, aamiin'.
Salwa pun bersiap-siap menuju sekolahnya usai salat shubuh. Dia menembus gelapnya pagi bersama Abang Ojek karena kalau menunggu di antar Ayahnya bisa-bisa dia baru sampai di sekolah begitu bel berbunyi. Maklum Ayah Salwa harus mengantar Adik Salwa dulu setiap pagi, yang arah sekolahnya berlawanan dengan arah sekolah Salwa, sehingga setiap pagi Salwa harus mengalah hingga terlambat sampai di sekolah. Tak lupa dibawanya 18 tangkai bunga dan 18 batang cokelatnya dalam paper bag yang ditentengnya menyusuri jalanan yang masih sepi.
Salwa melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai 2 sekolahnya. Salwa memberanikan dirinya melewati kelas demi kelas dalam keadaan gelap dan sepi. Begitu sampai di depan pintu kelasnya jantung Salwa mulai berdegup lebih cepat dari biasanya. Sesudah melafadzkan Basmallah, ia mendorong pelan salah satu daun pintu kelasnya. Dilihatnya sesosok laki-laki sedang meletakkan sesuatu di atas mejanya. Lebih seksama Salwa memperhatikan gerak-gerik orang itu. Samar-samar dilihatnya wajah seseorang yang sedang asyik dengan rutinitasnya, meletakkan mawar dan cokelat untuk Salwa. Salwa membatin, ia mengenal jelas wajah itu.
'Tapi, masa iya sih?' Salwa justru meragu saat mengetahui siapa sosok yang menerornya dengan 18 tangkai mawar dan 18 batang cokelat itu. Detak jantung Salwa semakin tak beraturan. Kepalanya penuh dengan fakta tentang penggemar rahasianya yang tidak bisa dia percaya. Sudah beberapa detik Salwa berkutat dengan rasa tidak percayanya, hingga akhirnya ia ingat kata-kata Nida '…siapapun bisa aja suka sama kamu dan bagiku itu wajar…'.
'Vino…' panggilnya lirih. Salwa melangkah ragu-ragu memasuki kelasnya. Menatap wajah yang selama ini dicarinya. Misinya berhasil, menangkap basah Vino, si penggemar rahasianya.
'Eh…' sebentar wajah tampan Vino memerah dan terlihat salah tingkah. 'Akhirnya ketauan juga' senyum Vino yang terlihat aneh membuat suasana canggung mulai memasuki sudut demi sudut kelas mereka.
'Jadi… Elo yang selama ini naruh ini di meja Gue?' tanya Salwa memastikan, mengangkat paper bag-nya lalu menyodorkannya ke arah Vino.
'Iya. Hehe. Maaf ya jadi bikin Lo bingung tiap hari' tawa Vino terasa garing, ia melanjutkan kalimatnya, memecah keheningan. 'Sebenernya tanpa Lo pergokin, Gue juga bakal berenti neror Lo kok mulai besok. Soalnya kan bunga sama cokelatnya udah pas sembilan belas. Sembilan belas tangkai bunga mawar buat huruf ke-sembilan belas atau huruf S. Yang buat Gue artinya Salwa. Em… soalnya Gue suka sama Lo, Wa sejak akhir semester kelas sepuluh kemaren' Vino berhenti sebentar, mengatur nada bicaranya. 'Dan sembilan belas cokelat buat kado ulang tahun Lo. Happy Birthday ya' Vino menyodorkan cokelat dan mawar ke 19 yang belum sempat diletakkannya tadi karena keburu dipergoki Salwa. Salwa memang berulang tahun ke-16 hari ini.
'Maaf, Gue nggak bisa nerima ini semua' Salwa kembali mengangkat peper bag-nya. Logikanya masih belum menemukan alasan untuk percaya dengan semua ini. 'Mana mungkin Vino suka sama Aku' pikirnya.
Vino terkenal seantero SMA-nya sebagai cowok terkeren dan terganteng. Dari awal masuk ke SMA tersebut Vino sudah menjadi incaran banyak kakak kelas dan teman seangkatannya. Walaupun di kelas 10 Vino dan Salwa tidak sekelas, tapi, yang Salwa tau Vino belum pernah pacaran selama di SMA ini. Karena setiap ada cewek yang nembak Dia satu sekolah bakal heboh membicarakan akhir cerita Vino yang menolak si cewek. Otomatis kalau Vino punya pacar bakal lebih heboh lagi. Tapi belum pernah terdengar kabar tentang Vino yang punya pacar baru. Karena itu bagi Salwa agak sulit menerima kenyataan kalau sekarang Vino sedang di hadapannya, menyatakan cinta padanya. Kalau diingat-ingat semua cewek yang gosipnya pernah nembak Vino itu lebih cantik dan gaul darinya, sehingga membuat Salwa semakin tidak percaya dengan kondisi yang dihadapinya sekarang.
'Tapi itu semua Gue beli buat Lo, Wa' Vino tidak menyambut paper bag Salwa. Dibiarkannya tangan Salwa menggantung 1 meter di hadapannya.
'Kenapa? Gue kan nggak pernah minta' Salwa tidak juga menurunkan tangannya.
'Ya soalnya Gue suka sama Lo. Gue suka sama Lo soalnya Lo beda sama cewek-cewek lain. Lo anggun dan… cantik. Bukan cantik karena bedak atau rambut bagus, tapi cantik karena sikap Lo yang nggak macem-macem dan karena jilbab Lo yang rapih' Vino menuturkan alasannya menyukai Salwa.
Salwa merasa sesuatu mulai menyusup ke dalam hatinya, entah perasaan apa tapi yang jelas ia ingin cepat pergi dari hadapan Vino.
'Sorry Vin, Gue tetep nggak bisa nerima semua ini dengan alasan sesederhana itu' Salwa menjatuhkan paper bag-nya yang berisi bunga dan cokelat, spontan kelopak-kelopak bunga yang menyembul keluar paper bag berjatuhan karena hentakan yang cukup keras. Salwa berbalik, melangkah mendekati pintu kelasnya, dibawa serta tas sekolah yang masih menggantung di pundaknya. Sejenak Salwa berhenti di depan pintu kelasnya, di sana ada Nida yang tanpa Salwa dan Vino sadari mendengar beberapa bagian pembicaraan mereka. Kelopak mata Salwa tidak kuat lagi menahan air mata yang akhirnya menetes, membasahi pipi Salwa yang memerah. Salwa berlari kecil, menjauh dari Nida, dia malu, entah karena apa.
'Wa!' panggil Nida yang segera mengejar Salwa.
Satu-satunya tempat yang terbayang di pikiran Salwa hanya Masjid. Dia tidak tau lagi harus kemana, mengadu pada siapa. Sekolah masih sepi, yang terdengar hanya suara cicitan burung dan sedikit suara mesin kendaraan dari jalan raya yang jaraknya kira-kira hanya 50 meter dari sekolah Salwa.
Salwa terduduk lemas, sesenggukan ia menangis. 'Ya Allah, ternyata orang yang selama ini kucari ada di depan mataku. Terus setelah ini hamba harus apa Ya Allah, hamba takkan sanggup berbuat apapun tanpa-Mu Ya Rabb'. Penyesalan itu datang lagi. Penyesalan terdalam karena ada cinta di atas cinta di hati Vino yang tertuju pada Salwa.
'Wa, maaf ya, tadi Aku ngupingin Kamu sama Vino' Nida datang, memeluk Salwa dari belakang. 'Bukannya harusnya sekarang Kamu lega, kan Kamu udah ketemu langsung sama si Tukang Teror yang selama ini Kamu cari-cari'.
'Tapi Da, kenapa Vino?' Salwa menyeka air mata di pipinya. Mengatur napasnya. 'Apa yang bikin orang kayak Dia tertarik sama orang kayak Aku?'
'Ini kan bukan soal siapa yang suka sama Kamu, Wa. Tapi ini tentang gimana cara Kamu ngakhirin semuanya dan ngasih pengertian ke Vino, Wa. Vino atau siapapun sama aja kan?' Nida menghapus air mata Salwa yang belum berhenti mengalir.
'Aku cuma ngerasa oon aja, jauh-jauh Aku nyari siapa yang tiap pagi ngisengin Aku, ternyata orangnya tiap hari duduk di belakang Kita' Salwa memandang langit-langit Masjid yang selalu terasa nyaman dan sejuk. 'Terus cara ngakhirinnya gimana, Da? Aku pasti jadi canggung deh sama Dia'.
'Aku rasa Kita harus minta bantuan Dol. Dia kan temennya Vino dari SMP, mungkin Dia bisa bantuin ngomong baik-baik ke Vino' kata Nida memberi jalan keluar. 'Gimana?'
Saran Nida disambut anggukan Salwa tanda setuju.
Salwa ditemani Nida mulai bercerita tentang kejadian pagi tadi kepada Dol pada jam istirahat di kantin sekolah mereka.
'Serius Lo?!' tanya Dol kaget mendengar cerita Salwa. 'Jadi si Vino? Yaampun, kenapa bisa Gue nggak nyadar kalo Dia yang ngelakuin kegilaan ini? Huft' Dol mulai lebay seperti biasanya.
'Lo beneran nggak tau apa-apa, Dol?' tanya Nida memastikan, karena Dol adalah orang terdekat Vino selama ini.
'Yaelah sumpah deh Gue nggak tau apa-apa'. Dol mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berusaha meyakinkan Salwa dan Nida kalau dia sama sekali tidak terlibat masalah ini.
'Ya udah, kan nanya doang, Dol. Nggak usah pake sumpah-sumpah kali' Nida protes.
'Iya iya maap' Dol menurunkan tangannya. 'Tapi sih, Wa, semenjak kelas sebelas ini si Vino tuh jadi rada pendiem. Tobat deh Dia kayanya' ujar Dol sambil mengunyah somay yang dipesannya beberapa menit lalu.
'Maksudnya? Tobat?' Salwa bingung.
'Iya, Dia tuh sekarang kalo Gue ajak ke kantin pasti nggak mau, alesannya salat. Salat Dhuha kek Shalat Zuhur kek, pokoknya salat mulu deh. Pas Gue tanya kenapa Dia tiba-tiba jadi rajin salat Dia jawabnya gini, 'Gue mau belajar jadi imam yang baik Dol kalo nggak mulai dari sekarang, kapan lagi? Kalo nggak mulai dari jadi imam salat jadi imam apalagi, Dol' Gue sih nggak ngerti maksudnya, tapi kedengerannya keren kata-kata kayak gitu bisa keluar dari mulut Vino yang sebelumnya buta agama, sama kayak Gue' tutur Dol panjang lebar.
Hati kecil Salwa bergetar. 'Lo mau kan, Dol bantuin Gue ngomong ke Vino?'
'Ngomong apa?' Dol yang sedang konsen melahap somaynya malah balik bertanya.
'Tolong bilangin ke Dia, buat berenti usaha deketin Gue. Gue nggak mau diganggu sama hal-hal yang berhubungan sama cinta yang nggak seharusnya bersemayam di hati Gue. Gue mau konsen belajar, Gue mau serius memperbaiki diri Gue dalam banyak hal. Bisa kan Dol bilang gitu ke Vino? Soalnya kayaknya Gue belum bisa ngomong langsung ke Dianya' pinta Salwa.
'Maksudnya gimana sih, Wa? Ada kata-kata yang lebih simple nggak? Lo nolak Dia gitu?' ujar Dol tak mengerti.
'Intinya gimanapun caranya Dia harus berenti ngasih perhatian ke Salwa mulai hari ini, Dol. Kalo Dia mau suka-sukaan cari cewek lain aja, Salwa nggak minat sama hal-hal kayak gitu, ngerti?' Nida mulai geregetan sama Dol yang pentium otaknya nggak nambah-nambah.
'Oh, iya iya, ngerti kok sekarang'.
Kalimat Dol menutup pembicaraan mereka karena pada detik berikutnya bel tanda istirahat berakhir berdering.
Salwa dan Nida menunggu, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Vino. Sepulang sekolah Vino mengajak Salwa untuk berbicara di kantin dengan ditemani Nida dan Dol.
'Lo mau ngomong apasih, Vin? Gue sama Salwa ada rapat Rohis nih' Nida mulai nggak sabar.
'Tau Vin, buruan ah, Gue mau pulang nih, laper' Dol ikut mendesak Vino.
'Iya iya' Vino mengatur napasnya sejenak. Memandang wajah Salwa yang menunduk dari tadi. Wajah yang selalu meneduhkan hatinya. 'Em… gini, Wa. Sebelumnya Gue mau minta maaf atas semua hal yang Gue lakuin yang udah bikin Lo keganggu. Gue nggak maksud bikin Lo nggak nyaman kok. Gue cuma mau kenal sama Lo lebih jauh aja. Dol udah nyampein semua pesen Lo ke Gue. Eng… Sorry ya… Gue nggak tau kalo Lo punya pemikiran sejauh itu soal… soal cinta-cintaan'.
Suasana hening menyelimuti mereka berempat. Dol dan Nida yang hanya bisa menjadi saksi bisu perbincangan ini pun terlihat serius memperhatikan wajah Salwa dan mendengarkan seksama kata-kata Vino.
'Tapi, bunga sama cokelat ini… diterima ya, Wa' Vino meletakkan paper bag Salwa di atas meja kantin, mendorongnya ke arah Salwa.
'Tapi…'
'Plis, Wa. Anggep aja ini kado ulang tahun dari Gue' Vino memotong Salwa yang hendak mengelak. 'Ya, Wa?'
'Ya udah, tapi nggak papa kan kalo cokelatnya Gue bagi ke Nida, Dol dan temen-temen Gue yang lain?' tanya Salwa menatap Vino sekilas.
'Oh, iya nggak papa kok' Vino lega, tersungging senyum di bibirnya.
'Yess' jerit Dol dan Nida berbarengan karena akhirnya mereka bisa mendapat cokelat yang selama ini mereka inginkan.
'Kalo temenan boleh kan, Wa?' Vino kembali bertanya.
'Iya boleh kok' Salwa tersenyum kecil, dia senang karena Vino bisa mengerti prinsipnya.
19 bunga itu disimpan Salwa dalam satu vas sedangkan 19 cokelat dibagikannya pada teman-teman Rohisnya, teman-teman sekelasnya serta ibu dan adiknya. Beberapa bulan kemudian, Vino dan Dol yang mulai tertarik dengan Rohis akhirnya resmi bergabung dalam organisasi itu. Mereka pun semakin soleh dari hari ke hari.
7 tahun kemudian,
19 Agustus 2019,
Salwa sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu TK Islam di Jakarta. Hari itu sepulang mengajar ia terburu-buru menuju suatu Masjid, tempatnya janjian dengan guru ngajinya. Tadi pagi ia ditelepon guru ngajinya, dia bilang ada seseorang yang mau mengajak Salwa ber-ta'aruf. Karena sudah mendapat izin orang tuanya untuk mulai mencari pendamping hidup, akhirnya Salwa berniat mencoba memulai ber-ta'aruf dengan calon yang diajukan guru ngajinya itu. 'Orangnya soleh kok De insyaa Allah, ibadahnya bagus dan udah kerja sebagai penulis buku-buku Islami'. Kata-kata Kak Aini, guru ngajinya di telepon tadi pagi terbayang-bayang di benak Salwa. Dengan mantap ia memasuki pintu masjid yang terbuka, terlihat Kak Aini sudah menunggunya. Disalaminya Kak Aini seperti biasa saat mengawali pertemuan dengan Kak Aini.
'Orangnya udah nunggu De dibalik hijab sama guru ngajinya' bisik Kak Aini.
Hati Salwa berdegup. Proses perkenalan dimulai. Dibuka oleh guru ngaji si laki-laki. Dan dilanjut dengan perkenalan dari sang pria yang mengajak Salwa ber-ta'aruf. Betapa terkejutnya Salwa saat mengetahui siapa yang berada di balik hijab Masjid siang itu. Vino! Dialah yang sekarang sedang ber-ta'aruf dengan Salwa. Vino yang setelah lulus SMA tak pernah terdengar kabarnya oleh Salwa. Air mata Salwa tumpah, ia tidak percaya takdir kembali mempertemukan mereka. Getar itu masih ada, getar yang selama ini disimpannya jauh di dalam lubuk hatinya. Kini getar itu kembali muncul ke permukaan hatinya.
Tahap perkenalan mereka pun berlanjut hingga lamaran. Tak lama setelahnya, cinta mereka dikukuhkan dalam ikatan pernikahan.
'Saya terima nikah dan kawinnya Salwa Mutmainnah binti Ridwan Muhammad dengan mas kawin dan seperangkat alat salat dibayar tunai' suara Vino terdengar lantang mengucap ijab qobul dalam akad nikahnya dan Salwa.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
SATU BINTANG DALAM HATI
Tumblr media
Matahari kini mulai tenggelam malam kini mulai larut, seperti biasa aku berada dekat jendela kamarku dan aku selalu menanti hadirnya akan bintang. Aku menanti penuh harap. tapi, hari ini ku tak beruntung awan gelap menerpa hingga tiada sedikit cahaya terlihat, aku termenung dengan sedikit rasa kecewa.
Pada akhirnya aku tutup kembali jendela kamarku dan aku beranjak di tempat tidurku, sebelum ku pejamkan mata aku berdoa pada sang pencipta agar esok aku dapat melihat cahaya bintang yang selalu temani hari-hari ku selama ini.
Aku pun mulai lelap hingga tak sadar fajar sudah hampir terbit, aku pun bergegas meninggalkan kamarku dan menjalankan kewajibanku sebagai muslim, setelah selesai. aku pun bersiap untuk pergi sekolah. aku sangat berharap hari ini cepat berlalu.
“mahhh” teriakku"sayang ada apa” sahut mamahku, “mah hari ini aku berangkat sama rudi ya…” pintaku, “ya sudah, tapi hati-hati di jalan ya” nasihat mamahku. “iya sudah aku berangkat dulu ya mah mmuchhh” sambil ku kecup pipi mamahku.
Saat di tengah perjalanan aku melihat dodi, dia cinta pertamaku hingga kini tapi, aku tak mampu menjelaskan perasaanku ini pada dia hingga saat ini rasa itu masih sama seperti dulu tidak ada yang berbeda. Ingin ku menyahutnya tapi sayang dia sedang berdampingan dengan cika. “hmmm” hela nafasku.
Akhirnya kita pun sampai di sekolah, aku dan rudi berbeda kelas, jadi kami selalu bepisah saat kita sampai di gerbang sekolah, hehehe tapi, kami selalu bertemu kembali saat istirahat dan pulang sekolah karena ia adalah sahabat terbaikku.
Bunyi bel pulang pun berbunyi ;
(kring, kring, kring, kring, “huhhh akhirnya pulang juga” celetukku. “indah” teriak rudi, “dalem rud, hayu pulang” ucapku, “hmm ndah, kita nggak jalan-jalan dulu nih” “hmmm rud maaf ya aku lagi bete hari ini aku mau langsung pulang aja deh..!!” “ya sudah kalau begitu hayu cepat naik”
Kami pun pulang, senja mulai naik, dan hatiku selalu berharap senja cepat berlalu hingga datang sang malam. tanpa sengaja aku bertemu kembali dengan dodi, entah ini keberuntungan atau hanya kebetulan. kali ini aku dibuat canggung, karena dodi mengahampiri aku dan rudi
“hai ndah, gimana kabarmu?”
“aku, aku, aku baik kok kamu sendiri” jawab ku dengan gugup
“kok, yang ditanya cuma indah gua nggak nih?” celetuk rudi
“hehe, sorry sob” dengan ekspresi candaanya, “oh ya ndah Nanti malam ada waktu tidak?”
“hemm emang ada apa dod?” tanyaku penasaran
“enggak aku cuma mau mengajakmu makan malam saja”
“ya elahh gua jadi obat nyamuk lagi nih, sudalah ndah kamu mau saja kan itung-itung ngilangin bete lu aja” jawabnya yg se’enak jidat
“ya sudah aku mau”. jawabku penuh ragu
“ya sudah aku tunggu kamu di restoran pinggir kota itu ya jam 07:00 ok?”
Akhirnya dodi berlalu. aku pun pulang kesorean, hatiku hari itu tak karuan bertabur bahagia, “mahhh” teriakku, “ada apa sayang ” tanyanya “mah nanti malam aku mau makan malam sama temanku mah boleh ya?” “hmmm ya sudah asal kamu jangan larut-larut pulangnya” “ok deh”
Detik demi detik berlalu akhirnya jam mulai menunjukan pukul 07:00 aku segera bergegas berangkat, dan ternyata dodi ada di depan rumahku dan menjemputku
“hai ndah udah siap?”
“hati-hati di jalan. jagain juga anak tantenya!” jawabnya menyela atas pertanyaan dodi
“ia tan, kita berangkat dulu ya tan”
“ya udah mam aku berangkat dulu ya, mmmuchh” seperti biasa aku mencium pipi mamahku
Aku dan Dodi pun pergi, dan pada akhirnya sampai di tempat tujuan, entah apa yang dipersiapkan dodi untukku. ia menyuruhku menutup mata, aku tak tau ada dimana, dan saat aku membuka mata aku berada di tengah lapangan yang terhiaskan tanda love dengan mengunakan lilin warna merah.
aku tertegun tidak menyangka ini terjadi aku dipersilakan duduk di meja yang penuh hiasan itu, hatiku berdebar tak menentu dan, dodi pada malam itu menembakku
Ndah....sebenarnya aku sudah suka kamu dari dulu. tapi aku baru sanggup mengungkapnya sekarang kamu mau nggak jadi pacarku?
Pertanyaanya yang buatku bergetar hebat tak menentu.
tapi cika bagaimana dod?” tanyaku penuh curiga.
Yaelah ndah kamu nggak tau siapa cika? dia adikku ndah.” “apa? adikmu?” jawabku penuh heran “iya ndah”.
Hmm dod, sebenarnya aku pun menyukaimu sedari dulu tapi karena prasangkaku terhadapmu. aku tak berani menemuimu bahkan hanya menyahutmu saja aku tidak sanggup, dod.
Aku selalu menatap bintang tiap malamku karena aku selalu berharap bintang itu jadi nyata. aku selalu berbicara pada bintang itu, dan aku tunjuk salah satu bintang itu. yang kini jadi nyata ya itu kamu, dan aku mau jadi kekasihmu.
Kami saling lempar senyuman dan saling menggenggam erat tangan dan aku menunjuk satu bintang yang ku sebut engkau dodi.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
CAHAYA MALAM DI BUMI JABALIYAH
Tumblr media
Di bawah sinar matahari yang teriknya, gadis kecil itu masih berdiri sambil meneteskan air matanya. Bajunya kotor dan ada sedikit bercak-bercak darah. Jilbab yang dipakainya tak seluruh menutupi rambutnya. Mungkin pada bagian poni yang terlihat. Penampilannya sungguh acak-acakan. Air matanya juga tak henti turun. Dia masih berdiri di ujung siang sampai detik ini. Tak ada sedikit pun gerakan darinya. Hanya gerakan air mata yang turun dan membasahi pipinya. Ya. Membasahi pipinya yang kecil, lusuh dan kotor.
Matanya memandang padang pasir yang sangat luas. Tenda-tenda berdiri lemah di belakangnya. Nafasnya sedikit tersendat. Orang-orang yang ada di sana sama sekali tak mengerti bagaimana penderitaannya. Tentu saja. Karena mereka sama-sama menderita. Mungkin. Sebagian.
“Hey gadis kecil! Ayo ke sini! Di sana panas. Bagaimana kalau tiba-tiba para tentara zionis itu meneyerang!?” Teriak seorang pria dari sana.
Gadis kecil itu masih terdiam tak bergeming sama sekali. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika akhirnya akan seperti ini.
“Assalamualaikum.” Ucap seorang pria padanya.
Gadis itu mendongak.
“Waalaikumsalam.”
“Kau sendiri di sini?” Tanya pria tersebut. Gadis itu diam.
“Adakah orang yang kau kenal di Jabaliyah?”
Gadis itu menggeleng lalu berjalan pergi dari pria tersebut. Pria itu menatap gadis yang tak tahu siapa itu aneh. Ada apa dengannya?
Gadis kecil itu berjalan menuju pengungsiannya. Terdapat banyak orang di sana. dia tak mengenal satu pun dari orang-orang tersebut. Termasuk pria tadi.
Dia pun mengambil selembar foto. Foto kenangan dari orang yang amat dicintainya. Orang yang menyayanginya. Dan orang yang bisa mengerti perasaannya.
“Abi, Ummi, Abdillah, mengapa kalian harus pergi secepat itu? Tak tahukah bahwa ada seorang gadis kecil yang kesepian di sini?” Ucapnya sambil meneteskan satu tetes air mata.
Dia menggigit bibirnya. Dia menegadah untuk mencegah air matanya turun. Dia sungguh tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya nanti. Dia benar-benar telah kehilangan orang yang benar-benar sangat dia sayangi. Segalanya kini hanyalah tinggal seberkas kenang.
“Kau kehilangan keluargamu?” Tanya pria tadi.
Dengan cepat gadis itu menyembunyikan foto yang dia lihat. Dia terlihat kaget ketika pemuda itu datang.
“Kau tidak usah menyembunyikannya. Banyak mereka di sini yang sama sepertimu. Termasuk aku.”
Pemuda itu duduk di samping gadis kecil. Gadis itu sedikit bergeser. Dia memeluk lututnya.
“Kau tak usah takut padaku. Aku tak termasuk ke dalam tentara Israel itu. Namaku Yaasir.” Ucapnya.
Gadis itu menatap pemuda tersebut. Dia pun menunduk lagi.
“Siapa namamu, gadis kecil?”
“Nur. Nurlaila.”
“Cahaya di malam yang gelap? Namamu bagus. Kau harus seperti namamu.”
Gadis itu mendongak lagi dan menatap pemuda tersebut. Dia menyunggingkan seulas senyum kecil di bibirnya. Walau sangat jelas ada raut kesedihan di wajahnya.
“Kau masih berumur delapan tahun?”
Gadis itu mengangguk.
“Kau punya saudara yang berumur dua belas tahun?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Sepertinya banyak sekali masalah dalam pikiranmu. Kau harus mengikhlaskan mereka. Insya Allah, mereka meninggal sebagai syuhada. Hidupmu masih panjang. Mungkin Allah lebih menyayangi mereka.”
“Mengapa hal ini harus terjadi di sini? Mengapa Allah tidak adil terhadap tanah ini. Kapan Palestina bisa bebas dari kekangan para zionis kejam itu? Kapan Palestina bisa hidup damai dari para Israel laknattullah itu? Kapan? Hidup ini sungguh tak adil bagiku dan bagi mereka. Palestina selalu hidup seperti ini. Selalu gugur sebelum mekar. Mengapa? Apakah karena mereka benci terhadap agama Allah? Apakah yang mereka inginkan dari bumi Palestina? Tanahnya? Tanah itu milik Allah. Mengapa Allah tak melindungi tanah Palestina? Apakah terlalu banyak dosa di sini? Padahal sudah ribuan do’a terpanjat untuk-Nya. Kapan tanah ini akan damai?” Lirihnya sambil mengeluarkan air mata perlahan. Yaasir mengelus kepala gadis itu.
“Kau tak boleh berprasangka buruk terhadap Allah. Allah selalu mengikuti prasangka kita. Apa yang telah dikehendaki-Nya, itulah yang terbaik.” Nasihatnya.
“Aku tahu. Kau benar. Aku tak boleh berkata seperti itu.”
“Aku percaya kau gadis yang baik. Aku percaya kelak nanti kau akan menaburkan kesejahteraan di tanah ini. Aku percaya. Kau harus percaya.”
“Aku harus menuntut balas. Aku harus meluapkan dendam ini kepada mereka. Aku tak harus diam. Negeri ini butuh keadilan.” Ucapnya.
Yaasir terdiam. Perkataan gadis kecil berumur delapan tahun itu sangat dewasa. Dia tak pernah melihat gadis setegar Nurlaila. Dia belum pernah mendengar perkataan bijak dari seorang gadis yang sangat kecil. Sekecil dia.
“Apa cita-citamu?”
“Aku ingin menjadi seorang Hamas seperti Abi. Dia adalah Abi terbaik. Dia hebat. Aku ingin membela tanah Palestina. Menjadi seorang Hamas. Aku ingin melepaskan belenggu Israel di tanah ini. Bagaimana pun juga! Aku harus melepaskannya. Kita di sini hanya sama seperti ikan di laut yang tertangkap. Tak bisa berenang bebas lagi.”
“Abimu, sudah meninggal?”
“Aku tak tahu. Dia di penjara mungkin. Jika Israel bertemu Hamas, pasti mereka akan ditangkap. Dan sepertinya Abiku mungkin ditangkap.”
“Kau harus bersabar, Nurlaila. Aku tahu ini sulit bagimu. Apalagi di umurmu yang baru delapan tahun. Aku bisa mengerti bagaimana perasaanmu. Kau harus tangguh. Allah bersama kita.”
“Aku harus bisa balas dendam pada mereka.”
“Nurlaila! Laila!”
Yaasir terus berteriak melihat gadis kecil itu terus berlari menuju sekawanan tentara zionis itu. Gadis tersebut terus berjalan tanpa henti dan peduli terhadap Yaasir.
“Nurlaila! Kau bisa tertangkap!”
“Aku tak peduli! Aku harus membunuh mereka! Aku juga harus menemukan Ayahku!”
“Tapi Laila, itu bahaya! Kau harus kembali!”
“Aku tak peduli!”
Laila terus berlari menjauhi Yaasir. Sementara Yaasir terhenti ketika melihat Laila berdiri di hadapan para tentara zionis yang sudah siap siaga untuk menembak Laila jika dia dianggap membahayakan.
“Hey anak kecil! Kau siapa!?” Sahut seseorang.
“Aku tak membawa bom. Aku hanya ingin bertemu dengan Ayahku. Kemarin aku melihatnya di sini.” Ucap Laila.
Para tentara itu masih bersiap akan menembak Laila.
“Kalian bisa memeriksaku. Aku tak membawa apa-apa.”
Salah satu dari mereka pun berbisik. Sedikit ada senyum sinis di wajah mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tiba-tiba mereka menurunkan senjatanya.
“Siapa nama Ayahmu?”
“Badrussalam.” Ucapnya sambil tersenyum.
Salah satu dari zionis itu, yang tak lain bernama Mascow mengajak Laila.
“Ayo ikut aku!” Ajaknya.
Laila pun mengikutinya dari belakang. Mascow memegang tangan Laila kecil. Dilihatnya banyak sel-sel berisi orang-orang Palestina yang telah mereka tangkap. Banyak di antara mereka yang terlihat tersiksa dan kelaparan. Laila mulai takut ketika melihat mereka semua. Tiba-tiba dia jadi ingin keluar. Di tengah semua itu, seseorang tiba-tiba berisyarat padanya untuk segera keluar. Namun sayang, orang itu terlihat oleh Mascow. Mascow pun langsung memandangnya dan menyuruh seorang pengawal untuk membawanya. Entah untuk apa.
“Mengapa kau membiarkan dia keluar?”
“Dia akan tahu akibatnya.” Ucap Mascow.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras dari arah orang tadi dibawa. Laila semakin tak karuan. Dia menjadi takut. Dia takut akan dipenjarakan.
“Apakah kau akan mengurungku?”
“Tidak. Bukankah aku akan mempertemukanmu dengan Ayahmu?”
Laila diam. Hatinya masih tak sepenuhnya percaya pada yang dikatakan Mascow. Dia semakin ketakutan.
“Aku.. aku ingin keluar dari sini.” Ucap Laila gelagapan.
Mascow langsung memandang keji pada Laila. Laila menggulung-gulung kecil bajunya.
“Bukankah kau ingin bertemu dengan Ayahmu? Diam di sini!”
Mascow pun memborgol tangan kanan Laila ke jeruji besi yang kosong. Hati Laila terus merasa tak nyaman. Mascow pun tersenyum sinis padanya. Dia melihat sebuah arti dari senyum tersebut. Ya, seperti menggambarkan kecurangan. Senyum yang penuh kecurigaan.
Tak lama dari itu, Laila melihat Mascow dan seorang temannya sedang membawa Ayahnya. Terlihat dari wajah Ayahnya, sangat menggambarkan wajah yang lusuh dan lelah. Kedua tangan Ayahnya diborgol oleh mereka.
“Abi!” Seru Laila sambil tersenyum bahagia.
Namun sayang, Abinya tak mendengar seruannya itu. Laila mencoba melepaskan borgolnya. Dia benar-benar ingin memeluk Ayahnya.
“Abi!” Serunya lagi.
Namun hasilnya sama, Ayahnya tak mendengar.
“Lakukan saja di sini! Di sana ada anaknya, biarkan dia melihatnya.” Ucap Mascow.
“Baik.”
Mascow pun menghampiri Laila masih dengan senyum sinis. Laila melihat Ayahnya tertunduk pasrah. Salah satu teman Mascow sedang memasukan peluru ke dalam pistolnya.
“Apa yang akan kau lakukan pada Abiku? Apa?!”
“Kau lihat saja sendiri!” Ucap Mascow masih dengan senyum sinisnya. Tiba-tiba saja mata Laila hampir keluar dari tempatnya. Dia melihat Ayahnya hendak ditembak oleh timah panas. Ditembak oleh temannya. Air mata Laila tak sengaja turun membasahi pipi lusuhnya.
“Abi!” Teriaknya keras.
Ayahnya mendongak. Dia melihat Laila dengan setetes air mata membasahi pipinya.
“Laila,” Desahnya.
Laila menangis begitu pun Ayahnya. Bibir Laila bergetaran. Ayahnya menatap sendu Laila.
“Jangan! Jangan tembak Ayahku! Jangan!” Teriak Laila.
Namun teman Mascow itu sudah siap untuk membidik.
“Sudah Laila. Biarkan saja Ayah.” Ucapnya lembut sambil tersenyum.
“Tidak! Itu tidak boleh! Lepaskan! Lepaskan aku!” Tangis Laila.
Dia benar-benar tak kuasa jika akan melihat Ayahnya sekarang ditembak. Ditembak di depan matanya sendiri.
“Tidak! Abi tak boleh mati. Abi harus di sini.” Desahnya.
Duaarrr!
“Abi!”
Mata Laila melotot. Mulutnya menganga. Dia melihatnya, ya. Dia melihat sesuatu bergetar di bibir Ayahnya ketika timah panas itu menancap tepat di lehernya. Ya, dia mengucapkan “Allahu Akbar”. Dia melihatnya. Seulas air mata turun deras lagi di pipinya. Dia terduduk dengan borgol di tangan kanannya. Dia menangis. Dia benar-benar melihat jasad Ayahnya terkulai lemah di atas lantai yang bau dan kotor. Dia melihat banyak darah mengalir di lantai itu. Darah segar Ayahnya. Ya. Darah segar Ayahnya.
“Abi! Abi!” Isaknya.
“Tidak! Ini tidak mungkin ini mimpi! Tidak Abiku tak mungkin meninggal! Tidakkkk!” Jeritnya.
Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia menggigit keras bibirnya sampai berdarah menahan air matanya. Dia terus menggeleng-geleng.
“Lepaskan! Lepaskan aku!”
Dia menggoyang-goyangkan borgol di tangannya agar terlepas. Dia tak kuasa dia tak kuasa.
“Cepat keluar!” Mascow pun melepaskan borgol dan menyeret Laila keluar. Laila masih meronta-ronta minta dilepaskan dan memeluk jasad Ayahnya untuk terakhir kali.
“Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku memeluk Abiku! Tidak!”
Dia melepaskan cepat tangan Mascow. Dia langsung menyambar jasad Ayahnya yang berlumuran darah. Dia menangis terus sambil memeluk jasad Ayahnya.
“Abi,” Lirihnya sambil mengusap-ngusap Ayahnya.
Mascow hanya melihat Laila dari kejauhan. Tak dirasakannya, air matanya meleleh setetes di pipinya.
“Bagi mereka, nyawa orang-orang di sekitarku hanya seperti daun yang jatuh dari rantingnya di musim gugur. Begitu mudah untuk menjatuhkan mereka. Sehingga jelas sekali, nyawa itu seperti tak ada harganya.” – Laila.
Laila masih memeluk lutut dan membungkam mulut. Bajunya masih dipenuhi darah Ayahnya. Air matanya berlelehan jatuh membasahi pipi lusuh. Badannya masih bergetaran tak kuasa menahan segalanya. Yaasir merasa kasihan padanya. Dia benar-benar merasakan seperti apa yang dirasakan Laila.
“Sudahlah Laila. Aku tahu kau tak bisa menerima semua ini. Ayo, kau mandi dulu lalu berwudlu. Kita sholat bersama.”
“Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku hanya sendiri di sini.”
“Sudahlah, kau masih memilikiku di sini. Kau jangan berputus asa. Kita masih punya harapan untuk menang.”
“Hidup adalah perjuangan. Saat kau merasakan pahit manisnya hidup, banyak rasa yang kita rasakan. Saat kau merasakan getir dan kejamnya hidup, janganlah berputus asa. Dan saat kau selalu terjatuh dan terjatuh, bangkitlah. Kapan pun, di mana pun, siapa pun, dan bagaimana pun, bangkit dan jalanilah hidup. Walau lelah, akan tiba saatnya Tuhan meminta kita pulang dan kembali dalam pelukan-Nya.” – Yaasir.
Yaasir terdiam sambil meneteskan air mata. Air mata tulus dan bening. Melihat gadis kecil itu tertidur, sungguh seperti menahan nafas yang menghembus perdetiknya. Dia tak kuasa menahan segalanya. Dia sungguh merasa prihatin melihatnya. Gadis kecil, delapan tahun, ditinggal oleh semua keluarganya. Dan baru sekarang dia melihat Laila tidur dengan nafas tersendat-sendat. Dia seperti mengalami gangguan pernafasan.
“Laila, mengapa gadis kecil sepertimu harus seperti ini? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana tentang dirimu. Kau sakit. Lebih dari sakit yang kurasa. Lebih dari sakit yang mereka rasakan.” Ucap Yaasir sambil meneteskan air mata.
Dia mengelus-elus kepala Laila pelan. Dia sungguh tak bisa membiarkan gadis sekecil dia tersiksa seperti ini. Ya, tersiksa di atas hidup yang kejam.
“Dia memang seperti itu. Ketika dadanya tertembak timah panas, dia mengalami gangguan pernafasan. Banyak orang bilang, dia mengalami kanker paru-paru. Dia beruntung masih bisa selamat.” Ucap seseorang yang duduk di samping Yaasir.
“Assalamualaikum, kau tahu apa yang terjadi pada anak ini?”
“Ya. Dulu dia tinggal bersebelahan dengan rumahku. Dia sangat ceria. Dulu dia bukan seperti ini. Mungkin dia trauma. Semenjak rumahnya roboh, dan Ibu juga Kakaknya meninggal, dia jadi seperti ini. Namun dia masih bisa tersenyum dan mempunyai harapan untuk bertemu dengan Ayahnya. Tapi sekarang semuanya sudah pupus mungkin. Walau pun begitu, semangat juangnya sangat tinggi. Dia adalah satu-satunya anak kecil yang sangat tegar yang pernah aku temui. Aku tak pernah menemukan gadis seperti dia.”
Yaasir terdiam. Benar, apa yang dikatakan orang itu adalah benar. Laila adalah gadis yang tegar. Hidupnya memang penuh dengan ujian dan cobaan. Walau berat, gadis itu masih punya setitik harapan untuk bisa menjalani hidup. Walau keras, walau kejam dan walau penuh dengan rintangan, namun dia tak punya rasa untuk berhenti dan berjuang demi tanahnya.
“Andaikan aku setegar karang, aku mungkin masih bisa bertahan walau ombak besar menerjang. Andaikan aku seperti kaktus, mungkin aku masih bisa tumbuh walau dalam keadaan yang tandus. Andai aku sekuat batu, bagaimana pun aku di hancurkan, tak akan cepat untuk menjadi hancur. Namun, diriku hanyalah bagaikan sebutir tanah yang selalu diinjak-injak. Diremehkan. Dan tak dianggap. Aku selalu bermimpi menjadi air. Air bisa mengalir bebas ke mana pun dia mau. Dia selalu bersama. Menyatu dengan air-air lainnya. Dan air, selalu menjadi sumber dari setiap kehidupan.”-Laila.
“Yaasir, kau akan meninggalkanku sendiri di sini? Aku ingin ikut denganmu. Ayo kita berperang bersama.” Pinta Laila.
Yaasir pun berjongkok di hadapannya.
“Medan perang bahaya, kau tidak boleh ikut denganku. Jabaliyah aman. Di sana tak aman. Kau tak boleh ikut.”
“Mengapa? Apakah aku akan membiarkanmu tewas di sana? Aku tak ingin kehilanganmu, Yaasir. Kau satu-satunya orang yang peduli padaku.”
Yaasir pun tersenyum. Dia melihat ke belakang Laila. Laila mendongak. Banyak anak kecil seumurannya di sana. Mereka tersenyum manis pada Laila.
“Di sinilah Laila, kau bisa berteman dengan kami.”
Laila pun mengangguk. Dia merasa khawatir jika Yaasir harus pergi tanpa dirinya. Namun dia ingat, Allah pasti akan selalu bersamanya. Juga akan selalu bersama Yaasir.
“Marilah menjadi sebatang pohon. Setiap satu daun gugur, maka akan tumbuh seribu daun setelahnya.”-Laila.
“Mana gadis kecil yang kau sebut Laila itu? Mengapa kau tak mengajaknya ke sini!” Teriak salah satu tentara zionis itu.
“Aku tak akan membiarkan anak itu tewas di tanganmu, hay Zionis Laknatullah! Dia tak mudah untuk kau gugurkan begitu saja! Aku tak akan membiarkannya!”
“Hahaha, apakah kau akan menjadiakan dia istrimu? Umurmu terpaut sepuluh tahun dengannya! Apakah kau takut untuk tak bisa menikahinya?”
“Demi Allah, aku rela mati demi dia. Kau bisa membunuhku sekarang, asalkan berhentilah mengganggu hidupnya. Dia masih memiliki hidup yang panjang. Aku tak akan membiarkanmu membunuhnya!”
“Aku di sini!”
Seseorang tiba-tiba saja berucap. Yaasir dan zionis itu langsung mendongak. Laila sudah berdiri di sana dengan tatapan keji pada zionis itu.
“Laila kenapa kau di sini?”
“Demi Allah, sampai aku mati aku akan terus membela tanah ini!” Ucap Laila.
Zionis itu langsung mengarahkan bidikan ke arah Laila. Laila masih terdiam berdiri di sana. Yaasir langsung mengarahkan pedangnya ke arah zionis itu. Namun sayang, satu timah panah menelusup tepat di tangan kanannya.
“Arghhh!” Teriak Yaasir.
“Yaasir!”
Ketika dia hendak berlari menuju Yaasir, bidikan itu hampir ditembakan kepadanya.
“Mengapa kau tak menembakannya? Tembak saja aku!”
“Jangan!”
Zionis itu pun perlahan menarik dan akan membidik Laila memejamkan matanya. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.
“Duaarrrr!”
Suara timah panas menembus dada terdengar begitu mengguruh. Bercak darah segar sedikit terbecak ke arah Laila. Dia membuka matanya. Sudah terlihat zionis yang hendak membunuhnya telah terbunuh di hadapanya. Dia ditembak oleh seseorang. Ya, itu Mascow. Dia telah menembak golongannya sendiri. Dia telah menembak temannya sendiri. Laila merasa aneh, tiba-tiba saja Yaasir memeluk Laila. Laila didekapnya erat. Seperti dekapan perpisahan. Tiba-tiba sebuah peluru menelusup dan masuk lagi ke tangan Yaasir. Namun ini tangan kirinya. Dan peluru itu…
Mascow menatapnya. Ada sebuah air mata yang menetes di sela-sela tetesan air mata mereka. Dia menepuk-nepuk pundaknya. Kini Mascow sudah masuk islam. Itu karena Laila waktu itu. Namanya telah dia ubah menjadi Badrussalam. Ya, Ayahnya Laila. Entah mengapa dia ingin nama itu.
“Sudah Yaasir, ikhlaskan dia. Aku tahu, kau sangat menyayanginya. Seperti adikmu sendiri.”
“Dia memang adikku. Namun aku selalu lupa untuk memberitahunya. Kau mungkin tahu orang yang kau tembak, dia adalah pengawal selku saat itu. Aku sangat menanti kedatangannya. Saat aku bersekolah, aku ditangkap oleh Israel. Aku dipenjarakan ketika Ummi sedang mengandung Laila. Aku sangat ingin melihatnya. Dan kini, saat aku sudah bisa melihatnya, dia malah pergi dariku untuk selamanya.”
“Maafkan aku.” Ucap Mascow.
“Untuk apa?”
“Aku telah menyuruh seseorang untuk menembak Ayahmu.”
“Ya, aku tahu. Aku sudah bisa mengikhlaskannya. Setelah kejadian itu, Laila jadi sering diam. Namun ketika dia tahu aku akan perang, dia malah begitu bersemangat untuk ikut denganku. Aku benar-benar tak tahu ada seseorang yang akan menembak kami. Aku juga tak tahu jika peluru itu bisa menembus lagi ke dalam dada Laila setelah menembus tangan kiriku. Aku tak tahu.” Ucapnya sambil meneteskan air mata.
Mascow menatap sendu Yaasir. Ternyata seperti inilah penderitaan mereka. Golongannya telah menghancurkan kedamaian di Palestina. Entah bagaimana caranya untuk bisa berdamai. Pasti Israel tak mau melakukannya.
“Aku baru mengerti. Betapa kejamnya golonganku. Aku tak pernah bisa memikirkan bagaimana penderitaan kalian. Seandainya aku lebih tahu.”
Yaasir masih berdiri di tengah malam. Pandangannya lurus menatap langit. Setiap hari dia selalu menatap langit Jabaliyah. Dia selalu menatapnya untuk memeriksa, apakah Nurlaila masih ada di bumi Jabaliyah? Apakah cahaya malam itu masih bersinar terang di langit sana? Walau pun cahaya itu telah mati?
Hatinya bisa percaya. Walau pun daun kuat dan tegar bernama Nurlaila itu sudah gugur dan terjatuh lalu menyatu dengan tanah, namun dia yakin. Semangat juangnya masih tertanam kuat di ujung akar dan akan mengalir menuju daun-daun berikutnya untuk menjadi seperti Laila. Walau Laila hanya tinggal sebatas kenangan.
1 note · View note
edhisaputraedsa · 1 year
Text
GORESAN PENA AYAH
Tumblr media
Dunia ini terasa berhenti, ketika Zahra harus siap menerima kenyataan pahit, memiliki seorang Ayah dengan keadaan cacat. Keinginannya mempunyai seorang Ayah yang lebih sempurna, seseorang yang tak cacat seperti Ayahnya semua orang. Seorang Ayah yang dapat mendengar harapannya dan kekhawatirannya. Di rumah petaknya, Zahra tinggal bersama Ayah dan adiknya, sesudah kematian ibunya beberapa tahun yang lalu.
Zahra adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Gadis berjilbab, cantik, alim dan lumayan cerdas. Umurnya baru menginjak 17 tahun, duduk di sebuah sekolah islam kota Solo. Jabatan yang diembannya memaksanya untuk terus berpikir, bagaimana cara untuk mengubah keadaan ekonomi keluarga yang semakin parah, ditambah lagi Salma adiknya sudah menginjak kelas 4 Sekolah Dasar semakin banyak yang Salma butuhkan untuk melengkapi peralatan sekolahnya. Zahra dan Salma bisa melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan yang sekarang adalah karena kecerdasannya. Namun demikian tak membuat keduanya berpangku tangan. Terkadang terbesit untuk melanjutkan studynya di suatu universitas impiannya. Ya Impian. Yang selalu hanya impian. 6 huruf yang mempersulit hidupnya.
Pagi ini seperti hari-hari biasanya, Zahra harus bangun pagi mempersiapkan sarapan untuk makan Ayah dan adiknya. Selain itu dia juga harus memandikan Ayahnya dan membereskan semua ruangan sebelum dia pergi menuntut ilmu. Ayahnya yang cacat dengan tangan yang hanya bisa digerakan membuatnya sulit mengetahui kemauanya. Perkataan yang keluar dari mulut Ayahnya pun tidak begitu jelas, sehingga dia meletakan selembar kertas dan sebatang pena yang digunankan Ayah untuk berkomunikasi.
'Sarapan sama apa kak pagi ini?' tanya Salma kepada kakaknya.
'Seadanya Sal, hanya ada nasi dan lauk tempe' jawab Zahra dengan sedih memandang adiknya.
'Ayah mau sarapan sekarang?' tanya Zahra.
Ayahnya pun hanya mengangguk dan menyodorkan secarik kertas kepada Zahra.
Besok uang dari sekolahan jangan buat berobat Ayah tapi belikan Salma ayam goreng kesukaanya..
Zahra dan Salma bebarengan membaca catatan dari Ayahnya.
'Tidak usah Ayah.. lauk tempe saja udah cukup kok' ucap Salma memeluk Ayahnya yang hanya bisa berbaring di tempat tidurnya.
Sebelum berangkat sekolah Zahra menyiapkan semua perlengkapan untuk Ayahnya. Dan mereka pun berpamitan. Seperti biasa Ayah Zahra menyerahkan kertas kusamnya.
Hati-hati di jalan nak.. belajar yang tekun biar kelak jadi anak yang selalu berguna untuk Ayah dan orang lain. Ayah selalu mendoakan kalian dimanapun kalian berada.
Ayah di rumah akan baik- baik saja.
Zahra dan Salma memeluk Ayah tercintanya. Mereka sebenarnya tak begitu tega meninggalkan Ayahnya sendiri di rumah, namun Ayah tetap memaksa agar mereka harus terus sekolah.
Waktu sudah menunjukan pukul tujuh kurang seperempat sudah saatnya Zahra dan Salma berangkat ke sekolah. Perjalanan menuju sekolah sekitar 2 km. Tidak seperti teman-temannya yang diantar orangtuanya namun kedua gadis ini berangkat dengan mengayuh sepeda tua milik Ayah yang dulu dipakai sebelum jatuh sakit.
Sesampai di sekolah Zahra mengikuti pelajaran dengan seksama. Zahra yang selalu menduduki peringkat pertama di sekolahnya membuat guru-guru sangat bangga denganya. Dan karena prestasi yang didapat membuatnya memperoleh beasiswa sekolah, yang mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Teeet… teeettt…!!
Jam istirahat berbunyi, semua siswa keluar kelas untuk menuju ke kantin. Tidak sama dengan Zahra yang hanya duduk di kelas menunggu bel masuk berbunyi.
Tiba tiba Aulia menghampiri Zahra.
'Ra kamu dipanggail Bu Nasiah tuuh…' kata Aulia sambil makan batagor.
'oh iya.. dimana?' tanya Zahra
'Di kantor guru, tau kan mejanya Bu Nasiah?'
'Iya makasih, Aku segera kesana' jawab Zahra meninggalkan Aulia di kelas.
Zahra pun berjalan menyusuri koridor sekolah sambil memberikan senyuman manis kepada teman yang dia temui. Sesampainya di kantor dia mencari meja Bu Nasiah dan menghampirinya.
'Assalamualaikum Bu…' sapa Zahra kepada wali kelasnya.
'Waalaikumsalam Zahra, gimana Bapak sehat?' tanya Bu Nasiah dengan senyumannya.
'Alhamdulilah Bu sehat, Ibu memanggil saya?' ucap Zahra
'Ibu disuruh oleh kepala sekolah untuk memberikan ini untuk kamu.' Bu Nasiah menyodorkan amplop putihnya ke Zahra.
'Terimakasih banyak Bu..' balas Zahra sambil menerima amplopnya dan menyalaminya.
Bel tanda selesainya istirahat berbunyi. Zahra pun berpamitan untuk segera masuk ke ruang kelas. Pelajaran pun dimulai kembali.
Tak terasa waktu sekolah telah selesai. Semua siswa berlarian menuju pintu gerbang menunggu jemputan orangtua. Begitu juga dengan Salma yang sudah menunggu kakakanya di samping sepeda tuanya. mereka pun pulang bersama.
'Loh kak, kok arahnya kesini? Kita kan belok kanan?' tanya Salma penasaran.
'Coba tebak kita mau kemana?' tanya Zahra.
'Ke pasar ya kak?' Salma mencoba menebak.
'Seratus…' senyum Zahra memberikan nilai untuk adiknya.
Sampai di pasar sepedanya pun di sandarkan di dekat pintu masuk pasar. Mereka mencari ayam potong dan bumbu untuk membuat ayam goreng kesukaan Salma. Salma begitu semangat menyusuri deretan pedagang di pasar. Setelah semua di beli tak lupa mereka membeli obat untuk Ayahnya. Dan perjalanan pulang pun dilalui.
Di rumah mereka langsung menghampiri Ayahnya yang sudah menyiapkan sarung dan pecinya. Zahra segera ganti baju dan bergegas membawa air wudu untuk Ayahnya. Sedangkan Salma menyiapkan makanan untuk makan siang.
Selesai wudu Ayah menyodorkan selembar catatan untuk Zahra
Kamu ambil air wudu ajak Salma untuk solat dzuhur berjamaah selesai solat kita makan bersama
Zahra dan Salma segera mematuhi perintah Ayahnya. Mereka bergegas mengambil air wudu dan melaksanakan solat. Selesai solat Zahra menyiapkan makanan untuk Ayah.
Ketika makan Ayahnya terkejut melihat lauk ayam goreng yang sudah di masak Salma. Ayahnya pun menulis catatan untuk kedua gadisnya
Uang dari sekolah disimpan kamu aja Ra, di pakai buat keperluan kamu dan Salma.
Zahra menjawab catatan Ayah 'Iya Ayah.. tadi Zahra juga udah beli obat buat Ayah sisa uang udah Zahra simpan di lemari untuk keperluan sehari-hari'.
Salma, Zahra dan Ayahnya melahap makan siangnya dengan lauk ayam goreng yang hanya bisa di beli ketika mendapat uang dari sekolahnya. Selesai makan mereka beristirahat tak lupa Zahra memberikan obat untuk Ayahnya.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, mereka dibangunkan oleh kumandang adzan asar. Zahra bergegas memandikan Ayah dan merapikan ruangan rumah. Salma pergi mengaji di surau dekat rumahnya.
'Salma pamit berangakat ngaji dulu Ayah..' pamit Salma kepada Ayahnya
Ayah Salma hanya mengangguk tanda setuju dan tersenyum.
Hari hari yang dilalui keluarga Zahra begitu bahagia walaupun keadaanya kurang mencukupi. Zahra hanya bisa bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepada keluarganya. Melihat sang Ayah yang hanya bisa berbaring di tempat tidur membuatnya merasa iba. Telah berbagai usaha yang dilakukan untuk mengobatinya namun semua nihil.
Di tengah malam ketika Zahra dan Salma sedang tertidur lelap Ayahnya menulis catatan di kertasnya. Dan di sepertiga malam Zahra dan Ayahnya bangun untuk meminta dan memuji ke AgunganNya.
'Kak jam berapa sekarang?' tanya Salma dengan mata sembab.
'Jam tiga pagi, ayo bangun ambil wudu..' pinta Zahra
'Hari ini Salma libur dulu ya kak' ucap Salma memancal slimut kembali dalam tidurnya.
Ayah dan Zahra pun memandang tersenyum. Zahra kembali melakukan dialognya kepada Tuhan untuk semua permohonannya. Dalam hati Zahra berdoa..
Ya Allah, Engkaulah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Tolonglah kami agar kami mengerti, menerima, percaya,
Memaafkan dan dimaafkan.
Memberi dan menerima, mencintai dan dicintai
Serta berani menatap jauh kedepan untuk kehidupan yang lebih baik
Lebih indah dan membahagiakan
Hari ini Jumat 22 Juni 2012. Matahari mulai muncul mengeluarkan cahayanya. Meyinari kegelapan bumi dan menjadikanya terang. Tanda aktifitas manusia mulai dilalui. Tiba-tiba Ayah Zahra menyodorkan catatan setelah selesai di mandikan.
Zahra pakaikan Ayah baju putih pemberian Ibu, hari ini Ayah sangat rindu Ibu
'iya Ayah.. Zahra juga selalu rindu Ibu..' ucap Zahra meneteskan air mata.
'Salma.. tolong ambilkan Ayah baju koko putih yang ada di lemari' pinta Zahra.
'Iya kak…' jawab Salma dengan mencari baju koko putih di tumpukan baju di lemari.
Tak terasa jam dinding di rumahnya menunjukan pukul tujuh kurang seperempat. Waktunya Zahra dan Salma berpamitan meninggalkan Ayah untuk menimba ilmu. Sepeda tuanya sudah siap membawa ke sekolahan. Sebelum berangkat Ayahnya menyodorkan secarik kertas untuk kedua putrinya.
Hati-hati di jalan. Zahra jaga Salma ya..
Ayah rindu Ibu
Zahra dan Salma memeluk Ayah karena terharu.
'Kami juga rindu Ibu Yah…, kami berangkat sekolah dulu ya Yah, Ayah baik-baik di rumah..'.
Sesampai di sekolahan ketika sedang mengikuti pelajaran di kelas, tiba-tiba seluruh ruangan kelas bergetar dan semua gambar di dinding kelas bergoyang. Siswa yang ada di kelas pun keluar dengan panik. Zahra sangat takut dengan keadaan Ayahnya di rumah. Dia tak mempedulikan keadaan di sekolah. Dan dia langsung mencari sepeda untuk segera pulang. Bu Nasiah menahan Zahra untuk tetap tenang di sekolah namun Zahra bersikeras meninggalkan sekolah karena mengingat Ayahnya.
Zahra dengan kecepatan tinggi mengayuh sepeda dan sampailah di depan rumahnya. Dia langsung menuju kamar Ayah dan melihat Ayahnya yang sudah berbaring di lantai kamarnya.
'Ayaahhh…!!!' Jerit Zahra mendekap Ayahnya.
Tiba-tiba Salma berlarian menuju rumah. Setelah tau keadaanya dia pun menangis mencoba membangunkan Ayah.
'Ayah.. bangun… jangan tinggalin Salma…!' isak Salma.
'innalillahi wa inna iliaihi rooji'uun…'
Semua tetangga mendatangi rumah Zahra, dan mengurus jenazah almarhum Ayahnya.
Setelah semua proses pemakaman selesai, Zahra dan Salma mulai membereskan semua ruangan rumah yang rusak karena gempa. Ketika sedang membersihkan kamar Ayah, Salma menemukan secarik kertas catatan Ayahnya. Mereka membacanya bersama..
Zahra… Salma.. maafin Ayah sudah merepotkan kalian..
kalian adalah anak yang paling Ayah banggakan
Jaga sholat dan iman kalian
Hadapi hidup dengan senyuman
Ayah percaya kelak kalian akan menjemput kebahagiaan..
Ayah pergi menyusul Ibu..
Doakan terus Ayah dan Ibu yaa..
Genangan air mata seakan tumpah di pipi kedua ganis itu. Kematian Ayahnya yang begitu cepat membuat mereka sadar bahwa Ayahlah segalanya. Kini Zahra menjalani hidup hanya dengan Salma. Hari-hari berbalut kesedihan dan luka mendalam. Namun mereka yakin Tuhan akan menurunkan seorang malaikat yang akan menemani dan membuat tawa bahagia untuk hari esok dan seterusnya.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
CINTA DIPERPUSTAKAAN UMUM
Tumblr media
Di sebuah rumah yang lumayan mewah, terlihat seorang gadis diam-diam masuk ke rumahnya.
“Untung aku bawa kuncinya” ucapnya dalam hati sambil pelan-pelan membuka pintu itu.
Setelah pintu itu berhasil dibuka, gadis itu merasa lega karena, semua anggota keluarganya sudah tidur. Dian pun mengendap-ngendap masuk ke dalam, tiba-tiba..
“dari mana kamu?” tanya seseorang sambil menyalakan lampu.
“Ayah… kok belum tidur?” tanya gadis itu sambil cengar-cengir.
Satu persatu, anggota keluarga gadis itu pun muncul.
“kalian kok juga belum tidur?” tanyanya lagi mulai ketakutan.
“jam berapa ini?” tanya laki-laki itu.
“baru jam 12 malam kok, yah?” jawab gadis itu yang ternyata namanya Amalia Jihan Lestari (Jihan).
“duduk!” suruh Ayah Jihan.
Jihan pun menuruti perintah Ayahnya, lalu mereka semua menginterogasi Jihan. Keluarga Jihan selalu melakukan interogasi ini kepada setiap penghuni rumah yang melakukan kesalahan atau melanggar aturan Ayah Jihan (kecuali pembantu, sopir dan tukang kebun ya).
Tetapi yang sering terkena interogasi adalah Jihan, gimana gak kena terus. Dia selalu pulang malam pasalnya Jihan adalah ketua geng THE BUTTERFLY, yang mempunyai motto, “anti perpustakaan umum, anti buku pelajaran dan anti keributan alias cinta damai” (kayak slank gitu) dan satu lagi, motto the butterfly adalah “where there is party, there is the butterfly” Biasalah anak ibu kota sekarang, kalau party pulangnya selalu malam.
“Jihan sayang, kenapa sih kamu selalu melanggar aturan Ayah kamu?” tanya Bunda Jihan.
“Bunda, Jihan itu gak melanggar. Buktinya Jihan pulang jam 12 tepat.” Jelas Jihan.
“sama aja,” Sahut Kakak keduanya Jihan.
“Cuma lebih 2 jam aja kok..”
“dua jam Cuma?”
Jihan pun menunjukkan wajah keselnya kepada Kakak keduanya itu.
“udahlah, kita lanjutkan besok. Sekarang kalian tidur.” Ucap Ayah Jihan yang sudah cape menasehati Jihan.
Keesokan harinya, Jihan kembali diinterogasi, biasanya Jihan selalu lolos karena alasan telat ke sekolah. Tapi kali ini dia gak bisa lolos, karena hari ini adalah hari minggu.
Dengan masih memakai baby doll, rambut acak-acak dan mata yang masih ngantuk Jihan duduk di ruang tamu dikelilingi oleh Ayahnya, Bundanya, Kakak pertamanya yang bernama Kelvi dan istrinya yang bernama Sandra, Kakak keduanya yang bernama Samudra, beserta adiknya yang bernama Keykey alias Keyila.
Berbagai pertanyaan pun menghampiri Jihan, mulai dari sama siapa dia pergi, kemana, ngapain aja, sampai kartu atm-nya segala.
Jihan pun menjawab satu persatu pertanyaan itu.
“sama the geng butterfly, ke puncak, ngerayaain ulang tahun Denia, masih ada 1 juta.”
Jawaban terakhir yang membuat semua anggota keluarga Jihan, bahkan Jihan pun terkejut karena keceplosan.
“satu juta? Jihan, uang yang kemarin Ayah transfer tinggal satu juta?!” tanya Ayah Jihan dengan muka marah.
“enggak.. masih banyak kok. Beneran deh.” Jawab Jihan patah-patah alias gagap.
“sekarang gini aja, kamu terus kayak gini. Ayah gak akan ngasih kamu uang bulanan.” Ancam Ayah Jihan
“kok gitu?”
“itu baru adil, yah” ledek Kakak samudra (sam).
“oke deh.. sekarang udah selesaikan interogasinya. Aku mau ke atas dulu.” Pamit Jihan.
“kata siapa? Jawab kelvi.
“apalagi sih Kak?” tanya Jihan malas.
“ini..” jawab Kelvi sambil memberitahukan lembaran yang terlihat jelas nilai 50 dan nama Jihan.
“Kakak menemukan ini di tong sampah belakang.” tambahnya.
Dengan sangat terpaksa, Jihan pun duduk lagi dan mendengarkan ceramah Ayahnya. Jihan selalu protes kalau Ayahnya selalu membanding-bandingkan dengan Kakak-Kakanya.
“Ayah… kenapa sih, Ayah selalu membanding-bandingkan aku sama Kak Sam lah, Kak Kelvi lah. Aku ya aku, mereka ya mereka” protes Jihan.
“Ayah gak membanding-bandingkan kalian, Ayah Cuma ingin kamu mencontoh Kakak kamu.”
Jihan hanya memasang wajah cemberut dan marah.
“Ayah mau, kamu kurangi kegiatan kamu. Dan sekali kali kamu ke perpustakaan umum di komplek ini.”
“ah.. perpus? gak salah yah. Ayah kan tahu kalau aku mulai SD sampai kuliah anti sama yang namanya perpus.”
“kenapa? terserah kamu. Ayah akan menarik semua fasilitas kamu termasuk barang-barang yang kamu beli dengan uang atm kamu.”
“tapi…”
“gak ada tapi-tapian.” Jawab Ayah Jihan sambil meninggalkan Jihan yang masih gak bisa menerima keputusan Ayahnya.
Sandra yang dari tapi melihat adik iparnya diomelin itu hanya menunjukkan wajah prihatin. Sedangkan sam, dia masih belum merasa bersalah.
“Bunda…” renggek Jihan, sambil meneteskan air matanya.
“turuti apa mau Ayah kamu.” ucap Bunda Jihan sambil memeluk anaknya lekat-lekat.
Sampai di kampus, Jihan hanya duduk meratapi nasibnya. Dia lagi dilema, pasalnya, jika dia tidak menuruti Ayahnya semua fasilitasnya akan ditarik, kalau dia menuruti kemauan Ayahnya, dia akan melanggar motto the butterfly yang dia buat sendiri.
“arrghhh…” ucapnya sambil membasuh kedua tangannya di muka.
Karena gak ingin tambah pusing, dia memutuskan untuk gak masuk kuliah jam pertama. Dan pergi ke kantin untuk mengisi perutnya. Setelah pesan makanan, Jihan pun langsung memakan-makanannya dengan lahap.
“permisi Mbak, apa benar, Mbaknya ini anaknya pak Reno”. Tanya seorang laki-laki dengan logat jawanya yang kental.
“iya, kok tahu? kamu siapa ya?” tanya Jihan.
“perkenalken nama saya ArJuna, panggil aja Juna.” Jawab Juna.
“oh… kok kamu tahu aku? kamu teroris ya?”
“oh enggak, saya itu anaknya pak Karto, temannya pak Reno.”
“pak Karto??” tanya Jihan sambil mengingat-ingat nama yang tak asing di telinganya.
“oh.. aku inget. Kamu yang dulu yang menyelamatkan aku dari kebakaran di perpustakaan jogja itu kan?” tanya Jihan mengingat kejadian 12 tahun yang lalu.
“iya betul, oalah.. saya kira Mbaknya sudah lupa sama saya.”
“sedikit sih?, by the way, ngapain kamu kesini?”
“saya di sini kuliah Mbak, baru pindah. Bapaknya Mbaknya yang masukin saya di kampus ini.”
“Ayah?”
Juna hanya menganggukkan kepalanya. Lengkap deh! Penderitaan Jihan kali ini.
Sepulang kampus, Jihan langsung menghampiri Ayahnya di kantornya. Yang ada di benak Jihan saat ini hanya minta kebebasan.
“Syukurlah, kamu sudah ketemu sama Juna.” Ucap Ayahnya setelah Jihan protes semuanya.
“Ayah…”
“Ayah minta tolong sama kamu, turuti permintaan Ayah. Ini semua demi kamu.”
“terserah deh, yah. Jihan nyerah.” Ucap Jihan sambil meneteskan air mata.
Ayah Jihan pun menghampiri Jihan dan langsung memeluknya. Pelukan Ayahnya yang membuat air matanya tak mau berhenti. Pasalnya, Jihan sudah lama gak merasakan pelukan Ayahnya.
Pagi itu, semua mahasiswa dan mahasiswi jurusan sosial melakukan cuti selama satu minggu. Semua anggota the butterfly, diajak liburan oleh orangtuanya masing-masing. Kecuali Jihan. Cuti kali ini dimanfaatkan oleh Jihan untuk mengejar ketinggalan perlajaran yang telah dia sia-siakan selama ini.
Di sebuah perpustakaan umum di dekat kompleks rumah Jihan. Jihan mulai membiasakan diri untuk masuk ke perpus ditemani oleh Juna.
“Juna, kamu kok gak bosan sih di sini?” tanya Jihan saat sudah merasa bosan.
“gak lah, kan kita di sini juga mendapatkan ilmu.”
“oh. kan dari internet bisa?”
“lebih enak di perpus.”
Jihan hanya mengangguk sambil mencerna jawaban Juna. Mereka pun saling diam, tak ada pembicaraan yang mereka lakukan. Sesekali Jihan memperhatikan Juna, dia mulai kagum dengan pahlaawan waktu kecilnya. Dia pun mengingat-ingat kejadian 12 tahun lalu, yang membuat dia paling anti banget datang ke perpus.
Tapi kini, dia duduk di salah satu tempat duduk perpustakaan umum, ditemani oleh ArJuna yang sangat tampan, berkarisma dan baik banget. (ini ceritanya Jihan udah mulai suka sama arJuna).
“emb… Juna, lain kali kalau mau panggil aku jangan pake Mbak ya? panggil aja Jihan” ucapnya saat mereka sudah keluar dari perpustakaan umum.
“iya Mbak.” Jawab Juna.
Jihan hanya memelototi Juna.
“iya Jihan.” Ulangnya.
Mereka pun mampir ke sebuah toko es krim, dan membeli dua es krim yang kelihatannya sangat lezat.
“Juna, aku mau tanya deh sama kamu?”
“ya?” jawab Juna singkat.
“kalau misalnya kamu punya anak. Apa yang akan kamu lakukan, memanjakan dia atahu bersikap tegas?”
“ya pasti bersikap tegaslah. Tegas bukan berarti jahatkan?”
“iya juga sih, tapi kalau Ayahku….”
“kenapa Ayahmu? yang saya tahu, Ayah kamu sangat sayang sama anak-anaknya. Walaupun beliau sakit beliau masuk kerja. Kata bapakku, Om Reno akan melakukan apa saja asalkan anak perempuannya (yang dimaksud itu Jihan) bahagia, terhindar dari keburukan dan dia ingin melihat anaknya sukses dan mandiri. Bukan bisanya ke luar malam, menghabiskan uang dan lain-lain” jelas Juna panjang lebar.
“aku gak tahu itu.”
“ya jelaslah kamu gak tahu. Yang kamu tahu Ayah kamu gimana?”
“jahat, gak peduli sama aku.” Jawab Jihan sambil menundukkan kepalanya.
“itu bukan Om Reno. Percaya sama saya”
Jihan hanya menganggukkan kepalanya
Keesokan harinya, Jihan ke perpustakaan lagi, berharap bisa bertemu dengan Juna. Sekarang, ke perpus menjadi rutinitas Jihan. Bukan untuk membaca melainkan bertemu dengan Juna. Walaupun Jihan bisa ke rumah Juna sewaktu-waktu. Karena rumah Juna berada di sebelah persis rumah Jihan. Tetapi dia memilih untuk bertemu Juna di perpus.
Tapi hari ini Jihan sama sekali gak melihat batang hidungnya Juna.
“Mbak maaf ya? aku mau tanya. cowok atas nama ArJuna udah ke sini apa belum?” tanya Jihan ke petugas perpus.
“belum Mbak..” jawab petugas itu.
“makasih ya?” ucap Jihan, lalu ke luar dari perpus.
Di perjalanan pulang, Jihan berharap bisa bertemu arJuna di jalan. Paling tidak dia bisa ngucapin terima kasih karena sudah membuka pemikiran Jihan yang selama ini dipenuhi oleh pikiran negatif. Tetapi sepanjang dia melangkah, dia masih belum melihat kehadirannya Juna.
“kemana kamu, Juna?.” Lirihnya dalam hati. “apa kamu gak mau bertemu sama aku lagi?” tambahnya.
Sesampainya di rumah, Jihan langsung menaiki anak tangga tanpa menghiraukan semua keluarganya yang lagi kumpul di ruang keluarga.
“dari mana sayang?” tanya Bunda Jihan dengan suara lemah lembut.
Tak ada jawaban yang diucapkan Jihan, tanya senyuman tipis lalu melangkahkan Kakinya menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Jihan langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.
“Jihan… apa yang aku bilang. Jangan pernah datang ke perpus lagi. Kamu selalu sial setiap di perpus” ucapnya menyalakan diri. Air matanya pun mengalir.
“Jihan, ini Ayah, Ayah boleh masuk?” tanya Ayah Jihan, yang beberapa detik kemudian pintu kamar Jihan terbuka.
“Ayah..” ucap Jihan dengan suara serak dan air mata yang sudah membasahi pipinya.
“maafin Jihan, yah. Jihan gak bisa lagi nurutin apa kata Ayah.” Tambahnya.
“kenapa Jihan? sidikit lagi kamu akan skripsi kan?” tanya Ayah Jihan.
Jihan hanya menggelengkan kepalanya.
“apa kamu siap kehilangan semua fasilitas kamu?”
“Jihan siap, yah. Jihan siap. Lebih baik begitu.”
“apa ini ada hubungannya sama Juna?” tanya Ayah Jihan.
Jihan hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Ayahnya.
Keesokan harinya, Jihan masih terbalut oleh selimutnya. Jendela kamar Jihan pun belum dibuka padahal jam sudah menunjukkan pukul 07:00. (Mungkin Jihan kelelahan kali ya) pasalnya dia menangis sampai malam sehingga dia tidak bisa tidur. Mata Jihan baru bisa dipejamkan saat jam menunjukkan pukul 02:00.
“Jihan.. Jihan..” panggil seseorang.
“hem..” jawab Jihan masih memejamkan mata.
“gak mau oleh-oleh ya?” tanya seseorang yang berbeda.
“hem..”
“beneran nih?”
“hem..” jawab terakhir Jihan. Lalu dia membuka matanya. Setelah membuka matanya, Jihan terkejut melihat anggota the butterly.
“kalian?” ucap Jihan sambil mengucek-ngucek matanya.
Jihan pun bangkit dari tempat tidurnya, lalu mencuci mukanya di wastafel sebelah kamar mandinya.
“kalian, dari mana aja sih?” tanya Jihan sambil menyikat giginya.
“dari Bali. Salah sendiri kamu gak mau ikut.” jawab Denia.
“ceritanya panjang.” jawab Jihan sambil membersihkan sisa-sisa sabun.
Selesai membersihkan diri, semua sahabat Jihan termasuk Jihan turun ke bawah, untuk menyantap hidangan makanan yang lezat. Semua anggota the butterfly sudah Jihan anggap menjadi saudaranya sendiri. Bukan hanya Jihan semua keluarga anggota the butterfly kini menjadi saudara.
Perpecahan dalam sebuah grup, bisa saja terjadi. Banyak hal yang menyebabkan suatu grup yang dulunya kompak, selalu bersama, dan lain-lain itu pecah. Pertama ketidaksamaan pendapat, kedua penghianatan yang dilakukan oleh salah satu anggotanya.
Pagi itu, Denia, Jihan, Putri dan Meta, sedang membolos kuliah sore. Merek apun pergi ke suatu mall. Kali ini mereka pergi hanya berempat, padahal anggota the butterfly ada 5. Mereka pun ke luar masuk toko baju. Hingga lelah pun menyerang mereka berempat.
“kita ke resto makanan jepang ya?”
“oke” jawab Denia, Putri dan Meta bersamaan.
Mereka pun melangKakan Kakinya ke sebuah resto.
“Jihan…” panggil Meta.
“apa?”
“itu bukannya Kak sam ya? kok sama Loly?”
“Yang mana?”
Meta hanya menunjuk ke arah tempat duduk no 4 di resto itu.
“kita duduk di belakangnya aja. Kita selediki dulu, oke”
“oke.”
Jihan and the geng pun duduk di meja no 2. Sementara itu di meja no 4, Sam, dan Loly (anggota the butterfly), sedang ngobrol-ngobrol.
“Loly, by the way, makasih ya atas infonya tentang Jihan” ucap Sam sambil memegang tangan Loly.
“iya Kak. tapi kayaknya itu sudah lama deh!”
“Walaupun udah lama. Aku makasih aja. Berkat info dari kamu, Jihan sekarang nurut sama peraturan rumah. Ddan dia lebih sering di rumah.” jelas Sam yang membuat Jihan marah. Tanpa berpikir panjang Jihan pun menghampiri mereka.
“Oh.. gin, bagus. Terusin aja. Aku gak nyangka ternyata sahabatku sendiri yang menjerumuskan aku.” ucap Jihan marah.
“Jihan?!”
“gila kamu… jadi demi dekat dengan Kakakku, kamu beritahu semua ke Kak Sam, iya?”
“bukan gitu Jihan, dengerin aku dulu”
“gak perlu… tega kamu.” sahut Jihan. “dan kamu, Kak Sam. Terima kasih, Kak Sam aku yang dulu udah hilang diterpa angin.” tambah Jihan.
Dalam ke marahannya, Jihan memutuskan “the butterfly bubar.”
“tapi Jihan, kita kan gak salah apa-apa?” protes Meta.
“kamu inget perjanjian dulu? Kamu sendirikan yang membuat perjanjian itu.” jawab Jihan, lalu meninggalkan mereka.
Mobil yang dikendarai Jihan melesat dengan kecepatan tinggi. Dalam perjalanan Jihan hanya menangis.
Mobil Jihan pun berhenti di sebuah perpustakaan yang sepi. Lalu dia duduk di bangku perpustakaan itu. Air matanya Jihan pun tambah mengalir saat dia mengingat kebersamaannya dengan Juna di perpus ini.
“permisi Mbak, boleh saya duduk di kursi belakang anda?” tanya seseorang.
“silakan Mas.” jawab Jihan, yang masih mengharapkan kehadiran Juna.
“patah hati ya, MbAk?” tanya cowok itu.
“enggak.”
“Oh, kok nangis?”
Jihan pun mulai merasa risih sama cowok itu, Jihan pun menoleh dan mencari tahu dengan siapa dia bicara. Jihan kaget saat melihat Juna duduk di belakangnya.
“Juna?”
Juna hanya tersenyum.
“ngapain disini?” tanya Jihan.
“mau pinjem buku.”
“jangan nangis lagi ya?” ucap Juna sambil menghapus air mata yang ada di pipinya Jihan.
“iya.. makasih ya?”
Juna berpindah tempat duduk di samping Jihan.
“Jihan, saya memang gak seperti cowok-cowok yang dekat sama kamu. Aku hanya cowok yang paling suka sama perpus. Tapi dengan percaya diri, saya mau bilang. Kalau saya suka sama kamu.” ucap Juna yang secara tidak langsung menembak Jihan.
“saya, menghilang beberapa hari ini bukan untuk menghindari kamu, tapi saya memastikan apa perasaan ini serius apa bohong. Tapi ternyata perasaan saya sama kamu benar-benar ada.” tambahnya.
Jihan hanya menatap Juna.
Juna pun berlutut ke Jihan sambil berkata “will you marry me?” lalu Juna mengeluarkan sebuah kotak cincin dari sakunya.
Sambil mata yang berkaca-kaca Jihan mengambil cincin itu lalu memeluk Juna.
“jeng, kita besanan” ucap ibunya Juna yang yang sedang bersama Bunda Jihan.
“aneh, Jihan itu. anti sama perpus tapi lamarannya di perpus.” ucap Bunda Jihan.
Jihan pun melepaskan pelukannya, karena mendengar suara Bundanya.
“kamu ngerencanaain ini semua?” tanya Jihan
“iya dong.” jawab Juna.
Jihan hanya manyun, lalu dia dipeluk oleh Juna.
cewek anti perpus dan cowok perpus bersatu di tempat yang menjadi tempat pembelajaran, cinta di perpustakaan umum.
0 notes
edhisaputraedsa · 1 year
Text
BUNGA TERAKHIR
Tumblr media
Aku menyusuri sepanjang Malioboro, melirik setiap jajaran aneka rupa dagangan. Anganku melayang saat dua bulan lalu, disini, ditempat yang sama bersama Yuninda.
Lenta'' lihat deh. Cantik kan!! ' ujar Yuninda sembari menyodorkan sepasang sepatu bermotif batik padaku.
'Iya'' balasku singkat.
'Aku mau beli ini ah, dua.
'DUA??? Buat apa neng? Sepasang juga cukup. Mau dikoleksi?' alisku mengangkat menangggapi kata-kata Yuninda.
'Ya yang satu buat kamu lah kecil' aku ga mau deh kalau aku punya nih sepatu sendirian.'
Aku tersentak. Sebuah batu kecil jatuh mengenai kakiku. Entah darimana datangnya, yang jelas datangnya telah membuyarkan semua kenangan yang melintas dalam ingatanku.
Hmmmhhhh.. jadi kangen sama Yuninda.' Bisikku lemah.
Seaindainya saja aku masih di Jogja. Pasti senja seperti ini aku sedang menghabiskan waktu untuk berkeliling Malioboro bersama Alenta.' Aku bersandar lemah dibibir jendela kamarku.
Senja sudah Nampak sedari tadi di pelupuk mataku. Mengundang kenangan, cerita-cerita indah yang terangkai bersama peri kecilku. Mengusik tenang yang sempat bertengger dalam benakku, menggantinya dengan rasa rindu dan gelisah.
'kamu lagi ngapain peri kecil? Pasti lagi keliling-keliling. Tapi sama siapa? Apa kamu sendirian?' gumamku sembari memandangi senjaku yang mulai berganti dengan gelap.
Dingin mulai menghampiriku. Aku beringsut meninggalkan jendela, meutup penghubung beku antara duniaku yang hampa dan dunia luar yang fana. Membiarkan ingatan akan Alenta tetap menari indah diantara semburat gelap yang kian sempurna.
Semalaman menghabiskan waktu dijalanan Malioboro membuat mataku mengantuk, bahkan seluruh tubuhku kini terasa pegal.
Sesampainya dirumah esok tadi ranjang tercinta sudah bersiap menyambutku dalam dekapannya. Menawarkan tawaran-tawaran menu kenikmatan dari pulau penuh mimpinya untuk tubuhku yang letih.
Kusandarkan tubuhku disamping Teddy Bear pemberian Yuninda. Mencoba memejamkan mata yang sebenarnya sudah tergoda oleh kantuk yang tak bertuan. Ditemani alunan lembut nada-nada How Do I 'nya Threesa Yearwood yang semakin mengantar kelelahanku menuju alam fatamorgana. Melupakan tugas-tugas kuliah yang memadat, menanti untuk segera diselesaikan.
'oohh.. maaf tugas-tugasku aku masih enggan menyuruh tanganku untuk menjamahimu.' Ujarku sembari membalikan tubuhku, memejamkan mataku dan membiarkannya terlelap hingga nanti penat dan kantukku bersedia menghilang.
Senja , gelap , pagi , dan terik siang menghanyutkan angan Alenta dan Yuninda. Menenggelamkan angan dalam dunianya masing-masing. Menyertakan ingatan dan kerinduan akan kenangan indah yang pernah terangkai diantara keduanya. Menghadirkan keinginan untuk kembali ke dua bulan yang lalu, ketika jarak dan waktu belum memisahkan kebersamaan antara mereka.
Aku masih saja menutupi semua ini dari Alenta. Membuatnya mengira bahwa aku benar-benar telah melupakan semua ingatan tentang dirinya. Membiarkannya mengira bahwa aku disini baik-baik saja tanpanya disini.
'Alenta' sebenarnya saat ini aku butuh kamu untuk menemaniku melewati semua cobaan ini. Aku butuh kamu yang selalu bisa menguatkanku''
Sepanjang jalan kota atlas ini sudah aku susuri untuk menemukan peri cantikku. Menemuinya demi memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja.
Aku harus bias ketemu sama kamu nind, aku kangen sama kamu. Aku khawatir. Aku ga tahu kenapa perasaanku was-was, kefikiran keadaan kamu.
Mama , papa dan kakak Yuninda sudah menunggu dengan hati berbalut cemas. Berharap puteri tercinta mampu melewati segala cobaan dengan hati yang ikhlas dan tabah.
'Pa' mama khawatir. Bagaimana kalau ternyata Tuhan berkehendak lain pada puteri kita pa..'
Papa Yuninda bergeming. Tangannya masih saja digerakkan mengikuti bentuk dagunya yang runcing. Kacamatanya yang tebal menampakkan kilau ketika terkena pancaran cahaya.
'itu Alenta sudah dating ma, pa.' ucap Antyo kakak Yuninda.
Dari kejauhan Alenta Nampak mempercepat langkah kakinya. Dengan mata sembab , rambut berantakkan dan hati gemetar dia berharap dapat segera bertemu dengan peri cantiknya. Setidaknya untuk sekedar mengucapkan rindu yang lama menggelayuti.
Alenta
Tubuhku seakan tertimpa besi besar, berat, lemah. Hatiku mendesir kencang saat mendengar berita tentang peri cantikku yang saat ini tergolek lemah tak berdaya.
'Yuninda' aku datang sekarang. Bersabarlah.'
Yuninda
'Tuhan , dia hadir disini. Mengapa untuk menyaksikan kepergianku. Tidak seharusnya dia melihat semua kenyataan pahit ini.'
Aku menahan sakit, menahan rasa yang luar biasa. Membiarkan senyumku tetap menyambut kedatangan peri kecilku.
Alenta langsung memeluk tubuh Yuninda yang lemah tak berdaya. Menguraikan air mata bersama rindu yang telah lama tertahan diantara keduanya.
Wajah cantik Yuninda kini telah berubah menjadi pucat pasi. Seakan tak mampu lagi menahan rasa sakit yang semakin menggelayuti sekujur tubuhnya.
'Nind' ini aku. Ini Lenta.' Alenta sesenggukkan. Menahan perih.
'Lenta' baca ini ya.' Balas Yuninda sembari meletakkan surat kecil keatas tangan Alenta.
'heem..' Alenta mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.
'jangan nangis dong kecil. Senyum ya, biar cantiknya ga ilang. Baik-baik ya , jangan rusak diri kamu lagi setelah nanti aku tinggal.' Yuninda melanjutkan kata-katanya.
'Nind.. kamu ini ngomong apa sih??'
'Lenta.. boleh aku minta permintaan ke kamu?' pinta Yuninda.
Alenta mengangguk.
'nanti tolong kamu taruh Lily diatas peristirahatanku ya. Kamu tahu kan itu bunga kesukaanku. '
'iya nind'' jawab lenta menahan air mata yang siap membuncah.
'satu lagi' kecup keningku sekarang. ' pinta Yuninda lagi.
Alenta menurut. Dikecupnya kening Yuninda dengan perasaan yang terluka. Perasaan tak rela untuk melepaskan sahabat terbaiknya menuju tempat yang abadi.
Alenta
'Yang ku sayangi kini telah pergi. Yang ku miliki kini telah tinggalkan aku sendiri. Tetapi tetap aku akan memegang janji. Memenuhi janji yang terucap.'
Ku letakkan rangkaian bunga Lily putih diatas pusara Yuninda. Dengan berat hati kuucapkan salam perpisahan padanya. Membiarkan perih dihatiku membekas , mengiringi setiap kenangan yang pernah Yuninda untaikan dalam hari-hariku.
Kusandarkan ransel besarku disamping ranjang. Membasuh tubuh yang letih dengan air dingin, berharap letih dan perih hati dapat terobati.
Kubuka surat kecil yang tempo hari Yuninda berikan untukku. Berusaha menahan tangis, menahan ingatan yang muncul akan hari yang lalu.
Dear peri kecilku,
Alenta saying, maaf selama ini aku tidak pernah kasih kabar ke kamu. Bukannya aku lupa atau tidak perduli'
Lent'
Aku kena kanker. Itu alas an kenapa akhirnya mama dan papa menyuruh aku untuk kembali ke Semarang. Mereka mau aku tinggal bersama mereka, alasannya simple , agar mereka bias setiap saat memantau keadaanku.
Lent..
Mungkin kamu marah sama aku karena aku tidak pernah menceritakan semua ini ke kamu. Percayalah, semua itu aku lakuin karena aku tidak mau sampai kamu bersedih.
Kanker yang bersemayam salam tubuhku sudah mencapai stadium akhir. Dan ini lah saat-saat terakhirku.
Kamu ingat bukan? 30 Juli adalah hari ulang tahunku juga kamu.
Selamat ulang tahun ya.. oya, karena selama ini aku tidak pernah minta kado dari kamu kali ini aku mau minta. Bawakan Lily putih untukku ya.. akan aku jadikan bunga itu sebagai yang terindah darimu. Sebagai bunga terakhir yang aku inginkan.
Jangan pernah menangis. Hadapi dunia dengan senyum cantikmu. Aku akan selalu merindukanmu.
Salam rindu,
Yuninda Praba Ayu
Peri Cantikmu.
1 note · View note