Sekadar tulisan untuk mengisi waktu luang. Kebetulan waktu luangnya cukup banyak
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
PERMISI
Heza duduk termenung di pelataran rumahnya sore itu. Situasi yang cukup mendung diiringi semilir angin kencang membawa ingatannya kembali pada momen dua hingga tiga pekan sebelumnya. Momentum yang awalnya ia percayai sebagai titik balik dari segala kehampaan yang dirasakan selama beberapa tahun belakangan.
Sebelum dimulai, penulis hendak mengingatkan bahwa akan begitu banyak "singkat cerita" pada cerita ini karena beberapa hal hanya bisa dideskripsikan dan dirasakan oleh Heza dan Annie.
Sedikit pengantar sebelum masuk ke inti cerita, sekitar dua bulan sebelumnya, Heza berkenalan dengan Annie, wanita mandiri berparas manis yang setiap berbicara memiliki keunikan tersendiri di telinga Heza. Annie adalah satu dari sedikit orang yang, walaupun kehadirannya hanya sejenak, mampu meninggalkan memori yang cukup terpatri di ingatan Heza hingga kini.
Kendati sudah berkenalan sejak dua bulan sebelumnya, Heza dan Annie baru intens berhubungan sejak tiga minggu lalu. Mereka berkenalan lewat salah satu dating apps yang sangat populer di masyarakat. Selama ini, mereka hanya bercengkrama lewat chat dan telfon yang untungnya, Heza merasa nyambung dengan topik obrolan yang dilakukan bersama Annie. Mereka memiliki satu hobi yang sama, menyukai satu bacaan yang sama, dan kesamaan-kesamaan komedi lainnya yang mendorong Heza pada akhirnya mengajak Annie untuk bertemu.
Pertemuan pertama diawali ketika diketahui ternyata letak kantor Heza dan Annie sangat berdekatan, hanya sekitar 1.5km. “Annie, nanti pulang bareng, aja, yuk?” Begitu tanya Heza lewat aplikasi WhatsApp Messenger-nya. “Serius gapapa? Aku pulang malem, lho, Mas.” Jawab Annie. Singkat cerita setelah beberapa percakapan, akhirnya Annie mengangguk setuju.
Menerima chat tersebut, Heza bergegas bersiap-siap menjemput Annie. Mungkin tidak disadari, tetapi malam itu ketika hendak menjemput, Heza menata ulang rambutnya agar terlihat rapi, walaupun ujung-ujungnya percuma karena tertutup helm, sih. Heza mengonfirmasi ulang terkait letak kantor Annie. Setelah dijawab, Heza langsung menancap gasnya menuju lokasi tersebut. Tibalah Heza di depan halte yang terletak persis di depan kantor Annie. Sambil harap-harap cemas, Heza menunggu Annie muncul dari balik pintu kantornya.
Tak lama kemudian, Annie keluar. Heza melambaikan tangan memberi tanda bahwa dirinya sudah ada di situ. Mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka, tentu saja Heza khawatir Annie tidak mengenalnya karena selama ini hanya saling melihat melalui foto masing-masing. Melihat lambaian Heza, Annie bergerak pasti ke arah Heza. “Halo, Mas. Maaf buat kamu nunggu. Sudah lama, po?” Sapa Annie dengan aksen kental daerahnya yang hingga kini masih bergema di telinga Heza. Tak lupa, senyumnya menyungging dengan indah saat menyapa Heza. “Ngga, kok. Yuk, pulang?” Jawab Heza tersipu malu sambil mempersilakan Annie untuk segera duduk di motornya. “Permisi…..” Kata Annie seraya mengangkat kakinya untuk menaiki motor tersebut. Saat itu, Heza tidak tahu bahwa kalimat “Permisi” ketika hendak menaiki motor, akan begitu memorable di ingatannya kelak.
Motor yang dikendarai Heza melaju cepat menembus kegelapan malam dan mengantarkan Annie ke depan pintu rumahnya. Sepanjang perjalanan, mereka bercengkrama tentang beberapa hal. Tak lupa, aroma Zara Gardenia yang menyeruak ke hidung Heza menjadi salah satu kenangan indah malam itu. Wangi khas Annie yang sampai saat ini masih menghantui alam bawah sadarnya.
Singkat cerita, setelah malam itu, Heza dan Annie semakin sering bertemu. Jarak lokasi Heza dan Annie yang cukup dekat sangat mengakomodir intensitas pertemuan mereka. Pertemuan sederhana seperti minum STMJ, makan di warkop, makan eskrim, makan bakso, membantu Heza packing, hingga menonton bersama cukup sering mereka lakukan selama dua hingga tiga pekan. Heza pun menawarkan Annie untuk membaca tulisan-tulisannya di masa lalu agar mereka lebih saling mengenal. Heza sangat senang dengan kehadiran Annie. Tak lupa kalimat khas Annie yang selalu ada setiap Heza menjemputnya, “Permisiii…” yang kemudian menjadi bahan obrolan setiap mereka bertemu kembali. Ah, how sweet that was…..
Ketika tidak sempat bertemu pun, mereka selalu menyempatkan diri untuk sleepcall menjelang tidur. Tidak ada satu hari pun bagi Heza tanpa mendengar suara merdu Annie. Saling berbagi cerita terkait keseharian mereka dan menertawakan hari itu hingga tertidur lelap adalah hal yang rutin dilakukan.
Sayangnya, intensitas tersebut nampaknya membuat Heza salah mendefinisikan posisi mereka berdua. Heza berpikir bahwa Annie sudah official menjadi miliknya, sehingga output yang dihasilkan membuat Heza cenderung apa-apa selalu ingin bersama Annie. Bahkan ketika Annie tidak merespon, Heza panik mencari-cari. Hal itu cukup membuat Heza overthinking yang justru membuat Annie kurang nyaman, kurang aman, dan merasa Heza menjadi memaksanya untuk selalu bertemu. Padahal, Annie pun juga berjuang agar mereka bisa cocok untuk menjadi pasangan yang official.
Singkat cerita, Heza dan Annie mengalami pertengkaran hebat yang amat pahit bagi ingatan mereka masing-masing. Perdebatan sengit yang mereka lakukan tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata. Ketika dua kepala panas bertemu, hasilnya hanya duri tajam yang harus ditelan mentah-mentah. Perseteruan diakhiri dengan kedua belah pihak saling membuang muka untuk tidak bertemu kembali. Bahkan, Heza tidak sempat melihat senyum terakhir Annie.
Mari kembali ke situasi sore yang diselimuti angin kencang tadi. Kini, awan mendung sudah tak kuasa membendung airnya. Seketika, hujan deras menerpa. Petir menyambar seolah-seolah menyadarkan Heza dari lamunannya. Ia berpikir bahwa dari pertengkaran hebat yang terjadi sekitar satu pekan lalu, sebenarnya Heza bisa menjadikan hal itu sebagai evaluasi untuk kembali mendekati Annie dengan cara yang lebih baik. Heza ingin sekali mengulang semuanya dari awal namun dengan versi terbaik dirinya yang bisa ia berikan untuk Annie. Heza tidak mau menyia-nyiakan wanita sebaik Annie begitu saja. Namun, Heza menghormati keputusan Annie yang menyatakan bahwa dirinya saat ini ingin sendiri terlebih dahulu. Annie memiliki banyak luka yang masih perlu disembuhkan.
Unfortunately, semakin merelakan dan menghormati keputusan tersebut, Heza semakin mengingat sosok Annie. Senyuman manis Annie selalu terlintas tatkala Heza memejamkan mata. Sepercik bayang-bayang aroma parfum Annie kerap menyerang hidungnya. Suara khas Annie selalu terdengar ketika Heza menutup telinga. Memori “permisi” yang sering dilantunkan Annie selalu terngiang setiap Heza mengendarai motornya. Kini, tidak ada lagi suara Annie yang terdengar lewat sambungan telfon menjelang tidurnya. Andaikan bisa, Heza pun untuk sekali ini saja ingin mengutarakan kata sakti tersebut kepada Annie, “Permisi… bolehkah kita ulang lagi?"
1 note
·
View note
Text
DILARANG PULANG DI MERBABU
DISCLAIMER: Silakan baca cerita ini. Gua cuma menulis sesuai dengan kenyataan yang gua alami, dari sudut pandang gua, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Segala penilaian terkait rentetan peristiwa yang ada di sini, gua serahkan sepenuhnya kepada pembaca. Jadi, silakan menilai semau kalian. Oia, tempat kejadian gak gua sensor, tapi semua nama yang gua hadirkan di sini terpaksa gua edit. Contohnya, lo boleh panggil gua Kale.
----------------------------------------------------------------------------------------------
PART I: NOTIFIKASI
Kali ini gua mau cerita tentang pendakian ke Gunung Merbabu yang gua lakukan bareng teman-teman sekelas. Pada pertengahan Oktober, Gua merencanakan trip ini bareng Japra, salah satu orang yang gua tau memang hobi naik gunung. Singkat cerita, kami berhasil ngumpulin massa yang terdiri dari Cakso, Hana, Dara, dan Sarif. Setelah diskusi via Zoom yang cukup panjang, akhirnya ditetapkan bahwa jadwal yang cocok untuk naik gunung ialah awal Desember 2021 dengan durasi pendakian 2 hari 1 malam.
Oia, sedikit informasi. Di sela-sela diskusi via Zoom sebelum keberangkatan, Hana sempat menjelaskan kepada kami bahwa dia memiliki ‘iga jarang’ yang mengharuskannya untuk ekstra hati-hati ketika berada di gunung. Hana berulang kali menekankan kepada kami agar saat pendakian nanti, sebaiknya kami sudah sampai di camp area sebelum malam tiba. Mengapa demikian? Singkatnya, Hana menjelaskan kepada kami bahwa bagi makhluk gaib, Hana termasuk ‘wangi’, sehingga khawatir gampang ketempelan. Ingat, GAMPANG KETEMPELAN ya, bukan GAMPANG KEMASUKAN. Karena yang GAMPANG KEMASUKAN itu gawang Manchester United.
Akhirnya tibalah hari yang dinantikan. Gua, Japra, Hana, dan Cakso yang berdomisili di sekitar Ibukota, berangkat dengan menaiki kereta api dari Jakarta menuju Stasiun Kutoarjo. Di Kutoarjo, Dara dan Sarif sudah berjanji akan menjemput kami dengan mobilnya.
Sebelum berlanjut lebih jauh, ada baiknya gua memperkenalkan secara singkat profil teman-teman gua kepada pembaca. Japra adalah lelaki Sunda yang kebetulan usianya sepantaran dengan gua. Hana berusia di bawah gua dan Japra. Hana adalah tipikal teteh-teteh Sunda yang sopan santunnya amat terjaga. Cakso adalah yang paling tua di antara kita. Cakso merupakan mas-mas Jawa yang menjunjung tinggi tata krama, bahkan dia gak bisa ngomong lo-gua. Dara dan Sarif mungkin yang termuda di antara kita. Mereka berdua baru menikah dan saat ini tidak tinggal di Jakarta. ((kenapa huruf ujungnya A semua? Gua lagi nge-rap apa gimana?))
Tepat jam 18:45, kereta yang kami tumpangi bergerak maju menuju Kutoarjo. Tidak ada yang aneh dalam perjalanan tersebut, semuanya lancar. Namun, kami sangat sulit untuk tidur. Mungkin karena fisik masih prima. Seinget gua, di sela-sela perjalanan, Japra sempat berbisik ke Hana, “Han, ini kayanya bakal jadi perjalanan spiritual buat kamu, deh.”. Gua lupa reaksi Hana kaya gimana setelah itu, karena gua sambil fokus main game online.
Jam 01:45 kereta tiba di Kutoarjo. Dara dan Sarif sigap menjemput dan langsung mempersilakan kami masuk ke mobilnya. Setelah kami masuk, mobil melaju kencang menembus kegelapan malam menuju rumah Dara. Sementara Japra tertidur di kursi belakang, gua bercanda bareng yang lain di kursi tengah. 90 menit berlalu. Mobil yang dikemudikan Sarif semakin meninggalkan area perkotaan dan menuju suatu pelosok desa yang belum tersentuh, bahkan oleh sinyal Telk*msel sekalipun. (Damn you, Grap*ri!)
Sekitar jam 3 pagi, kami sampai di rumah Dara dan Sarif. Kami bergegas mencari posisi untuk tidur sejenak mengingat pendakian harus dimulai sepagi mungkin. Di teras, terdapat sebuah sofa tua yang modelnya berbentuk huruf U. Gua tidur di sisi yang bersebrangan dengan Japra, Cakso tidur di dekat kaki Japra, dan Hana tidur di bawah dengan menggunakan extra bed.
Kejadian pertama dimulai ketika Japra sudah terlelap. Ketika itu, gua dan Cakso masih mencoba untuk memejamkan mata. Tiba-tiba, kami mendengar Japra melenguh sambil mengucapkan kalimat yang tidak terlalu jelas di kuping kami. Gua dan Cakso tidak ambil pusing lalu melanjutkan untuk tidur hingga alarm berbunyi pukul 5 pagi.
Ketika bangun, Japra sontak melayangkan komplain ke gua dan Cakso. “Gua dari tadi teriak minta tolong ke kalian, tapi gak ada yang bantuin!”. Mendengar itu, gua langsung bereaksi sambil nengok ke dia, “Hah? Emang lo kenapa?”. “Gua ketindihan tadi, Gak tau kenapa, tiba-tiba gua melayang di atas kalian.”, jawab Japra sambil ngedumel. Cakso membenarkan posisi duduknya dan langsung berkata, “Oia, tadi aku sayup-sayup denger Mas Japra teriak. Kirain ngigo, Mas.”. “Engga ngigo, gua beneran merasa melayang di atas kalian!”. Jawab Japra dengan suara yang semakin naik. Gua pun menyudahi obrolan itu dengan menginstruksikan mereka untuk langsung mandi dan packing. Karena sebaiknya, perjalanan naik gunung dilakukan dengan positive vibes. Gua gak mau mikir hal yang aneh-aneh.
Setelah mandi dan packing selesai, kami langsung berangkat menuju Basecamp bernama Thekelan. Sesampainya di sana, kami diharuskan untuk mengikuti briefing singkat dari pengurus basecamp. Ada beberapa hal yang sangat kami notice dari penyampaian beliau, yaitu: dilarang mengenakan pakaian berwarna merah, dan hijau. Serta ketika nanti melewati tempat sakral bernama Watu Gubuk, kami hanya boleh lewat, jangan menetap. Kami pun dilarang untuk buang air kecil maupun besar di sana. So far, rombongan kami aman karena tidak ada yang memakai kostum dengan warna tersebut.
PART II: INTUISI
Pendakian dimulai jam 09:30 dengan panjatan doa yang gua pimpin. Selesai mengamini, rombongan kami berjalan secara perlahan meninggalkan basecamp untuk menuju pintu masuk Gunung Merbabu. Sejak pendakian dimulai, Dara dan Sarif memutuskan untuk menjadi sweeper di belakang, mungkin agar sekalian bisa berbincang-bincang sambil jalan santai ala suami-istri pada umumnya. Dara bahkan mempersilakan kami berempat untuk jalan duluan saja. Alhasil, kami berempat berjalan sedikit lebih dahulu daripada mereka, sehingga gua harus beberapa kali menahan laju rombongan agar kami tidak menciptakan jarak yang terlalu jauh dengan Dara dan Sarif. Perlu diketahui, Hana dan Cakso merupakan pendaki pemula, sehingga gua dan Japra harus berada di urutan satu dan empat secara bergantian agar Hana dan Cakso selalu berjalan di posisi tengah.
Gua berjalan sambil sesekali membuka peta yang digambarkan oleh petugas basecamp. Di secarik kertas tersebut tertulis urutan tempat yang akan kami kunjungi berupa:
a. Pos 1 Pending
b. Pos 2 Pereng Putih
c. Pos 3 Gumuk Mentul
d. Pos 4 Lempong Sampan
e. Watu Gubuk
f. Pos Pemancar
g. Hellipad
h. Geger Sapi
i. Puncak Syarif
j. Puncak Kentengsongo
k. Puncak Triangulasi
Di tengah-tengah perjalanan menuju Pos 1, tiba-tiba gerimis turun. Gua yang kala itu berada di paling depan sontak menghentikan pergerakan rombongan sambil berdiskusi dengan Japra apakah kita harus pake jas hujan sekarang atau engga. Waktu itu gua gak engeh berhenti di mana, semacam tempat teduh, ada batunya gitu. Japra memutuskan untuk lanjut saja karena masih gerimis. Kami pun meneruskan perjalanan dengan Japra memimpin di garis depan. Benar saja, tidak lama setelah itu gerimis mereda dan cuaca cerah.
Kami tiba di Pos 1 sekitar pukul 10:30. Pos tersebut berupa bangunan tua semacam gubug kosong. Di tengah pos, terdapat tempat duduk yang terbuat dari semen. Gua meletakkan tas dan langsung rebahan, diikuti oleh Japra, Cakso, dan Hana. Kami duduk sambil menunggu kedatangan Dara dan Sarif yang akhirnya datang sekitar 10 menit kemudian.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2. Gua inget, sepanjang perjalanan menuju Pos 2, bahkan sejak sebelum mencapai Pos 1, kami seringkali memparodikan lagu Tiktok yang healing itu. Termasuk gua juga, sih. “Healing Healing… Niatnya Healing Malah Sinting.” begitu celetuk gua yang kemudian mengundang gelak tawa dan diikuti oleh yang lainnya. Japra, Cakso, bahkan Hana terlihat sangat ceria bercengkrama dan berfoto di jalur pendakian.
Setelah sampai di Pos 2 sekitar pukul 1 siang, kami lanjut berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya tiba di Pos 3 sekitar pukul 16:00. Pos 3 merupakan padang sabana terbuka yang anginnya gedar-gedor, sehingga kami harus turun sedikit menuju lembah yang posisinya cukup tersembunyi untuk bisa mendirikan tenda dengan aman. Ternyata kami adalah satu-satunya rombongan yang berkemah di Pos 3 hari itu.
Jarum jam menunjukkan pukul 17:15 ketika semua tenda sudah berdiri. Kami lanjut duduk bersama di sekitar kompor sambil membantu Dara dan Hana yang sedang memasak. Definisi ‘membantu’ versi gua lebih tepatnya nyomot-nyomotin makanan yang baru mateng. Tak terasa, waktu terus berjalan hingga langit semakin gelap. Mentari yang telah berada di ufuk barat sedikit demi sedikit mulai meredupkan sinarnya pertanda sudah saatnya untuk bertukar peran dengan sang rembulan.
Seiring dengan menghilangnya cahaya dan hangatnya matahari, gua menengok ke arah Hana yang semakin bengong. Matanya seolah memandang ke arah cakrawala, namun tatapannya kosong. Gua cukup paham apa yang terjadi dengan dia, tapi sebisa mungkin gua tahan untuk tidak berpikir ke arah sana. “Han, jangan bengong. Ayo sambil dimakan aja tempenya.”. Tegur gua kepada Hana. Kita berdua memang lagi duduk sambil goreng tempe saat itu. Hana menoleh ke gua, lalu tersenyum tipis sambil membolak-balikkan tempe yang sisinya sudah matang.
Selepas waktu maghrib, semua hidangan sudah matang. Kami memutuskan untuk makan di luar tenda sambil menikmati waktu malam. Japra yang memang seorang juru foto handal, tentu mengabadikan momen ini ke dalam kameranya. Seusai mengambil foto pemandangan kota dari kejauhan, Japra memotret tenda kami yang dihiasi oleh cahaya lampu tumbler khas kamar-kamar yang sering FYP di Tiktok. Lampunya kami pasang memanjang dari ujung satu ke ujung tenda lainnya sehingga tampak sangat instagrammable.
“Besok summit, gak?” Japra melempar pertanyaan kepada rombongan sambil tetap fokus melahap segala jenis makanan yang ada di hadapannya. “Terserah, emang pada nyari puncak?” Respon gua sambil menatap ke arah Cakso dan Hana yang merupakan first time hiker pada pendakian kali ini. Diskusi pun mengalir dengan khidmat. Setelah mengukur waktu dan jarak tempuh dari Pos 3 menuju puncak, dan mempertimbangkan bahwa kami sudah telanjur membeli tiket kereta untuk pulang pada pukul 23:16 di keesokan harinya, maka akhirnya kami memutuskan untuk berangkat summit menuju puncak Merbabu pukul 01:00 dini hari dengan estimasi jam 08:00 sudah sampai di puncak Merbabu. Dara dan Sarif memutuskan untuk tidak ikut pendakian ke puncak dan tinggal di tenda saja karena sudah pernah ke sana sebelumnya. Sementara Hana belum bisa memutuskan apakah akan ikut summit atau tidak mengingat kami akan berangkat dini hari. (SUMMIT = BERANGKAT MUNCAK. Maknanya kurang lebih begitu)
Sebelum bergegas tidur, kami buang air kecil secara bergantian di semak-semak. Seperti yang kita ketahui bersama, sebagai bentuk antisipasi, lebih baik tidak sendirian jika mau buang air di gunung. Apalagi kami adalah satu-satunya rombongan yang camping di tempat ini. Tentu prinsip kebersamaan harus dipupuk dalam tiap aspek. “Di sana aja, yuk, Han?”, tanya Dara sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah semak-semak kepada Hana. “Hmm… jangan di situ, deh. Tempat lainnya aja gimana?”. Jawab Hana sambil memalingkan pandangannya dari area yang ditunjuk oleh Dara. Gua yang kebetulan saat itu sedang duduk di samping mereka dan mendengar percakapan mereka sebenarnya paham mengapa Hana menolak, tapi gua berusaha stay positive thinking. Akhirnya, Dara menunjuk opsi semak-semak lainnya yang kemudian disetujui oleh Hana.
Kami memutuskan untuk tidur sekitar pukul 20:00. Formasi tidur dibagi menjadi dua tenda. Gua, Sarif, Japra, dan Cakso tidur di tenda A, sedangkan Hana dan Dara di tenda B. “Kal, gua pasang alarm jam 00:55 biar kita berangkat jam 1 teng.” Kata Japra sambil menepuk pundak gua seraya membaringkan tubuhnya. “iye, iye… awas lo kalo gak bangun.” Ancam gua pelan karena memang gua udah ngantuk banget lantaran malam sebelumnya mengalami insomnia di kereta.
Malam itu sebenarnya agak aneh. Angin berhembus kencang, namun situasi di tenda kami terbilang cukup hangat untuk tempat dengan ketinggian sekitar 2.153 MDPL. Terlebih seperti yang tadi sempat gua mention, Pos 3 tempat kami berkemah merupakan padang sabana. Memang, sih, kami agak ke lembah sedikit. Namun harusnya tidak sehangat ini. “Kal, gak pake sleeping bag?” tanya Cakso dan Japra. “Anget, njir. Gua jadi males ngeluarinnya. Males packing-nya juga nanti.”, jawab gua sambil setengah tidur. Lantas, mereka pun sempat mengikuti jejak gua untuk tidak pakai sleeping bag, hingga akhirnya sekitar lewat tengah malam, mereka tidak tahan dingin lalu mengenakan sleeping bag mereka masing-masing. Terus, gimana dengan gua? Aneh juga. Tumben gua kuat melewati malam di gunung tanpa sleeping bag. Padahal kalau tidur di kamar sendiri gua mesti pake selimut di seluruh badan. Info mereka, sih, malam itu gua tidur sangat pulas.
PART III: DESTINASI
“Kal, bangun, Kal…” Japra menepuk-nepuk pundak gua hingga gua terbangun. “Eh, jadi summit?” tanya gua sambil perlahan membuka mata. “Hehehe… sekarang jam 02:55, Kal…” jawab Japra dengan sedikit tertawa sambil mengantuk. “Lo makan tuh berangkat summit jam 1 pagi.” Respon gua singkat sambil menggerutu lalu lanjut memejamkan mata seraya memunggungi Japra.
Setelah dibangunin Japra tadi, gua langsung tidur lagi sampai jam 03:20. Gua terbangun karena mendengar suara Japra yang lagi ngobrol dengan Cakso dan Hana di pekarangan tenda. Sayup-sayup gua dengar Hana bilang bahwa dia semalaman tidak bisa tidur. Lalu diiringi dengan celotehan Cakso dan Japra yang semalam tiba-tiba harus pakai sleeping bag lantaran mendadak kedinginan. Berdasarkan tone suara mereka yang level semangatnya tidak seperti tadi malam, gua ngerasa bahwa kayanya memang gak akan berangkat summit, nih.
“Cuy, yakin gak mau summit?” Teriak gua dari dalam tenda. Niatnya hanya iseng. Japra yang mendengar teriakan gua sontak menjawab dengan semangat, “ayooooo!!!”. Gua tau bahwa Japra sebenarnya memang masih semangat dan ingin banget summit. “Oke, 10 menit lagi kita jalan, ya!” Jawab gua sambil bersiap-siap bangun dari tidur dan bergegas keluar tenda.
“Mas Cakso, sepatu gua mana, ya?” Tanya gua sambil gelagapan mencari sepatu dalam kegelapan. “itu, Mas, di tenda perempuan.” Jawab Cakso sambil mengarahkan cahaya headlamp-nya ke arah sepatu gua. Setelah menemukan sepatu yang gua cari, entah kenapa gua langsung terkekeh sambil bilang, “Wah, tumben, nih, gua naik gunung, sepatu gua gak basah.”. Gua gak tahu bahwa kalimat sesumbar ini akan menjadi petaka ke depannya, seenggaknya bagi gua sendiri.
Selesai bersiap-siap, kami berkumpul di halaman tenda untuk kroscek perlengkapan masing-masing. Seusai memanjatkan doa, kami berangkat beriringan dengan Japra berada di posisi depan, sedangkan Cakso di paling belakang. Hana pun pada akhirnya memberanikan diri untuk ikut summit. Selama perjalanan, matanya agak tertunduk dan cenderung melihat ke bawah. Ya, gua paham, kok. Jadi, rasanya gak perlu gua tanya kenapa.
Perjalanan dimulai dengan Puncak Merbabu sebagai destinasi utama. For your information, mungkin ada yang belum tahu, Merbabu memang memiliki 3 Puncak, yaitu Syarif, Kentengsongo, dan Triangulasi yang merupakan puncak tertinggi. Kami berjalan sesuai dengan urutan yang gua sebutkan di atas. Mengingat kami tidak membawa beban tas carrier, Japra memimpin rombongan dengan gerakan yang lebih cepat daripada kemarin siang. Hana mengikuti dari belakang Japra, masih dengan tatapan ke bawah. Gua dan Cakso berurutan mengikuti dari belakang.
“Mas Kale, tukeran posisi, dong, Mas.” Panggil Cakso sambil mengeluarkan suara sedikit panik. “Kenapa, Mas?” Tanya gua sambil menoleh ke belakang. “Aku takut di belakang, Mas.” Jawab Cakso dengan terbata-bata. Sebenarnya gua mau ketawa saat itu, cuma gua tahan. Gua meminta Japra untuk menghentikan pergerakan dan mengatur ulang formasi. Perlu diingat, Cakso termasuk orang yang paling hati-hati dan berantisipasi selama perjalanan summit. Setiap melewati area gelap yang ada pohon atau batu besar, tak lupa Cakso mengucapkan salam sebagai bentuk penghormatan kepada ‘penghuni’ sekitar. Cakso menekankan bahwa tindakan ini ibarat sedang bertamu ke rumah orang, tentu kami harus menjaga sopan santun.
Tak lama setelah itu, kami kembali memulai perjalanan. Kali ini gua berada di depan, diikuti oleh Hana, Cakso dan Japra secara berurutan. Kami membelah kegelapan malam sambil menyusuri jalur hutan dari Pos 3 menuju Pos 4. “Mas Kale, pelan-pelan jalannya, ya. Aku ngeliat kaki Mas Kale soalnya, gak ngeliat ke depan.” Ucap Hana sambil tetap menundukkan pandangannya. “Iya, Han. Tenang aja.” Jawab gua sambil menoleh sekejap ke arah Hana dan lanjut berjalan dengan lebih pelan. Pada perjalanan summit, Hana sangat pendiam. Padahal saat pendakian di siang sebelumnya, Hana adalah orang yang paling ceria. Tentunya gua paham dan mencoba meyakinkan diri gua bahwa semuanya baik-baik saja asalkan kami tidak ada niat buruk di sini. Tanpa terasa, kami tiba di Pos 4 dan menemukan rombongan pendaki lain yang berkemah dan juga sedang bersiap-siap untuk summit. “Alhamdulillah ketemu orang juga.” Gumam gua sejenak mengingat sejak kemarin sore gua tidak menemukan pendaki selain rombongan kami.
Perjalanan berlanjut menuju Watu Gubuk. Keadaan jalur pendakian selepas Pos 4 lebih terbuka karena padang sabana yang terhampar semakin luas. Hal ini tentu ekuivalen dengan semakin kencangnya hembusan angin. Sepanjang perjalanan summit, kami sepakat untuk tidak membiarkan Hana berada di paling belakang. Jadi, gua, Japra, dan Cakso bergantian mengisi pos depan dan belakang. Ada satu kejadian di mana formasi pendakian kami terlalu mepet. Saat itu posisi gua ada di depan Hana dan Japra. Perut gua tiba-tiba mules dan mendadak gak bisa nahan kentut. “Han, sorry, ya…” rintih gua sambil perlahan menengok ke Hana yang saat itu berada tepat di belakang gua. Tengokan gua tersebut langsung diiringi dengan keluarnya suara kentut yang menggelegar khas orang yang lagi nahan buang air besar. Suara dan getaran itu menyerang langsung ke wajah Hana. Seketika Hana tertawa sambil mengeluarkan gestur orang yang sedang muntah-muntah. Japra yang posisinya berada di sebelah Hana, tentu terkena sisa-sisa angin kentut. Seketika Japra bergerak sekelabat cepat melewati Hana sembari menutup hidung dan bilang, “Aduh, Kal, bangke lo! Sorry, Han, terpaksa gua tinggalin, ya!” Japra tak kuasa menahan tawa ketika bergerak cepat melewati Hana dan gua. Momen laknat itu berhasil memproduksi tawa pertama Hana pada perjalanan summit ini. Ada hikmahnya juga ternyata kentut gua. Mules di perut hilang, keceriaan pun datang. Win win solution, bukan?
Tidak jauh dari situ, azan subuh berkumandang. Cakso mengajak kami untuk solat. Kami melipir sedikit dari jalur pendakian dan bergegas melakukan tayamum untuk menunaikan ibadah solat subuh. Hana mengaku agak takut untuk berada di barisan paling belakang saat solat, namun Hana tetap memberanikan diri. Toh, niatnya beribadah. Seusai solat, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya, Watu Gubuk yang sedari basecamp sudah diwanti-wanti terlihat dengan jelas di pelupuk mata kami.
“Assalamualaikum.” Ucap Cakso saat rombongan kami melewati Watu Gubuk. Kami otomatis mengikuti jejak Cakso untuk mengucapkan salam juga. Situasi di Watu Gubuk terbilang cukup adem. Terdapat sebuah batu yang amat besar di sana. Gua sibuk mengambil foto pemandangan sekitar sambil fokus berjalan melewati Watu Gubuk. Sekilas. gua langsung teringat wejangan penjaga basecamp yang bilang bahwa Watu Gubuk adalah tempat sakral, sehingga baiknya langsung dilewati saja, dan dilarang untuk buang air kecil maupun besar di sini. Parahnya, dengan mengingat itu, perut gua malah mules secara tiba-tiba. Perut sialan. Berasa kena prank gua!
Begitu melewati Watu Gubuk, kami terus berjalan menuju Pos Pemancar. Tiba-tiba angin kencang menyerang kami pagi itu. Jarum jam menunjukkan pukul 07:00 saat kami tiba di Pos Pemancar. Kami berteduh sebentar sekaligus memasak sarapan. “Heh, udah mau jam 8, nih. Gimana? Balik?” Tanya gua kepada Japra yang sedang memasak oatmeal. “Terserah, gua mah udah dapet dokumentasi bagus. Gapapa kalo gak ke puncak juga.” Jawab Japra sambil mengaduk masakannya. “Hana sama Mas Cakso gimana? Gapapa gak ke puncak?” Gua melempar pertanyaan tersebut sambil menatap mereka. “Gapapa, Mas Kale. Badai juga, nih. Ngeri.” Jawab Cakso yang kemudian disetujui juga oleh Hana. “Yaudah, gini aja. Kita tunggu badai reda, abis itu kita naik aja sedapetnya kira-kira sampe mana. Kalaupun mau ke puncak, kita ke Puncak Syarif aja yang paling deket dari sini. Itu pun kalau bisa. Intinya, kita udah otw turun menuju camp area jam 8 nanti. Gimana?” Tanya gua kepada rombongan. Mereka menyetujui keputusan ini.
‘Badai Pasti Berlalu’. Begitu kata orang-orang. Ajaibnya, badai hilang setelah kami selesai menyantap sarapan. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di Puncak Kentengsongo pukul 10:00. Melenceng jauh dari niat dan perkiraan, ya. Namanya juga naik gunung, gaes. Kadang, rencana matang untuk pulang yang sudah dipersiapkan kalah dengan, “udah jauh-jauh ke sini masa gak sampe puncak?”, dan “tuh, puncak dikit lagi. Nanggung, ih.”. Bibir terus mengeluh kelelahan, namun otak masih memberi sinyal kepada kaki untuk terpaksa semangat melangkah. Sering terjadi, nih. Khususnya bagi gua, sih. Setelah mencapai puncak, kami hanya perlu turun ke camp area, lalu packing, dan pulang. Namun sayangnya, perjalanan pulang kami tidak semudah perjalanan pergi. Little did we know, sederet rintangan yang dalam hidup ini belum pernah gua lihat dengan mata kepala sendiri, sudah menunggu untuk menghalangi kepulangan kami.
PART IV: MISTERI
30 menit setelah berjalan turun dari Puncak Kentengsongo, kami disambut oleh angin yang berhembus dengan sangat kencang. “Mas, ini badai, ya?” Tanya Cakso dengan sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh kami. “Angin biasa ini, Mas. Bukan badai. Kalau badai ada airnya.” Jawab Japra sambil berlalu. Bagai dicinta ulam pun tiba, seketika angin kencang yang sejak tadi menyerbu kami berkolaborasi dengan rintikan air hujan yang amat deras. “Nah, Mas Cakso, ini baru badai…” Teriak Japra seraya menunjuk ke arah langit sambil ‘tertawa karir’ seperti karyawan yang sedang menertawakan ocehan bosnya yang sebenarnya tidak lucu.
“Bangke Japra kalo ngomong kaga ditakar, sih.” Gerutu gua sambil melakukan pose rukuk sejenak karena kelelahan. Gua menengok ke bawah dan gua temukan sepatu gua akhirnya basah kuyup karena hujan yang terlalu deras. “Anjir, ini efek omongan gua juga yang gak dijaga tadi pagi pas bilang ‘tumben sepatu gua gak basah pas naik gunung’ kali, ya”. Teriak gua sambil ‘tertawa karir’ bareng Japra. Akhirnya gua dan Japra ‘tertawa karir’ bareng sampai jadi CEO Gojek. (jiah, komedi lo, Kal!)
Jarum jam menunjukkan pukul 12 lewat. Badai yang semakin kencang sangat memperlambat pergerakan kami, sehingga membuat kami harus bersembunyi di balik sebuah batu besar yang terdapat di jalur pendakian. Japra melihat kondisi Hana yang wajahnya pucat pasi karena badannya menggigil. Khawatir hipotermia, Japra memberi komando kepada kami agar segera mengenakan jas hujan. Cakso pun sambil membuka tasnya dan mengeluarkan biskuit untuk kami makan bersama.
“Han, ayo pake jas ujannya.” Perintah Japra sambil membukakan tas Hana untuk mengeluarkan jas hujan. Setelah kami semua selesai memakai jas hujan, kami makan biskuit sejenak. Perut terasa sangat lapar mengingat sarapan tadi pagi hanyalah sepiring oatmeal yang dimakan bersama-sama. Tentu tidak proper, dong. “ayo turun. Kalo ada tenda, nanti kita numpang aja, yang penting gerak dulu. Jangan sampe diem aja nanti malah kedinginan.” Japra mengisyaratkan kami agar segera bergerak walaupun badai masih menerjang. “Iya, yuk gerak. Pelan-pelan aja. Udah jam segini juga.” Jawab gua sambil melihat jam tangan yang jarum pendeknya sudah hampir menyentuh angka 1.
Semakin lama berjalan, kami sadar bahwa persediaan air minum semakin menipis. Gua membuka peta dari petugas basecamp dan melihat bahwa ternyata ada pos persediaan air minum (sebut saja pos air) di dekat Pos Pemancar, namun untuk mencapainya, kami harus berjalan keluar dari jalur utama. Hal ini sebenarnya sudah disebutkan oleh petugas basecamp kemarin, akan tetapi kami tidak berniat untuk ke sana saat perjalanan naik tadi pagi karena merasa persediaan air masih cukup. Ternyata kami salah perhitungan. Kami tidak mengira kondisi akan badai seperti ini sehingga menghambat perjalanan.
Japra membuka ide untuk mampir ke pos air itu sendirian agar lebih cepat. Gua sedikit memberikan perlawanan karena sepertinya akan jauh, dan juga kondisi hujan badai. Sebenarnya cukup mangap saja jika mau minum. Air hujan juga layak diminum, kan. Toh, sedari tadi kami menggunakan metode itu untuk minum. “Gapapa, Kal. Gua turun duluan. Gua lari biar cepet, nih. Lo tunggu di persimpangan pos air, ya.”. Jelas Japra sembari berlari turun duluan. Saat itu, Japra hanya konfirmasi ke gua, tentu tanpa sepengetahuan Cakso dan Hana karena saat itu mereka berjalan di depan kami. Lantas Cakso dan Hana hanya bisa melihat sambil kebingungan begitu melihat Japra berlari turun melewati mereka.
Kami bertiga pun lanjut berjalan turun hingga akhirnya sampai di persimpangan yang dijanjikan oleh Japra tadi. “Mas Kale, tadi Mas Japra beneran ngambil air ke sana?” tanya Hana sambil memandang ke arah belokan yang mengarah ke pos air. “Iya, Han. Tadi Japra udah bilang ke aku. Katanya mau ambil air di sana, soalnya stok air kita udah abis. Buat antisipasi juga kalau kita butuh banyak air.” Jawab gua seraya menatap penasaran ke arah belokan tersebut. Kondisinya seperti hutan yang memang jarang dilalui oleh pendaki. Pepohonan yang tumbuh seperti masih natural sehingga tampak liar. Alhasil, kondisi jalurnya sangat tertutup, tidak seperti padang sabana yang sejak tadi pagi kami lalui.
‘POS AIR 100 METER’. Begitu kata papan kayu penanda yang terdapat di persimpangan. Seharusnya dekat. Jalurnya pun landai. Selambat-lambatnya mungkin memakan waktu 5-10 menit untuk pulang–pergi, namun Japra belum juga kembali padahal sudah hampir 15 menit. “Mas Japra! Mas Japra!” teriak Hana dan Cakso mencari keberadaan Japra. “Oiiii”. Seketika kami mendengar respon yang suaranya mirip dengan Japra, namun bukan dari arah pos air, melainkan dari arah jalur utama. “Mas Kale, Mas Japra beneran ke pos air? Soalnya tadi dia lari cepet banget ngelewatin aku tanpa bilang apa-apa.”. Tanya Hana dengan nada yang terdengar panik. “Iya, Han... Beneran.” Jawab gua dengan intonasi yang sebenarnya kurang meyakinkan. “Terus tadi suara siapa yang nyaut dari jalur utama, Mas?” Tanya Cakso kebingungan. “Harusnya Mas Japra tunggu kita sampai di persimpangan ini dulu sebelum belok ke pos air.” Tambah Hana yang semakin panik. “Entah, tapi gak mungkin Japra. Kalo itu emang Japra, pasti dia bakal naik ke atas nyari kita. Mungkin yang barusan nyaut itu pendaki lain, Han.” Jawab gua berusaha berpikir positif. Padahal sepanjang perjalanan pulang, posisi kami terpaut cukup jauh dari pendaki lain yang sudah terlebih dahulu turun, tapi lagi-lagi, gua gak mau mikirin hal yang bukan-bukan.
Gua sempat kepikiran untuk menyusul Japra ke pos air, namun gua mempertimbangkan tiga hal. Satu, gua gak mungkin ninggalin Cakso dan Hana di persimpangan ini. Dua, gua gak mau rombongan semakin terpisah. Tiga, gua juga ngeri kalau nyusul ke pos air sendirian. Opsi terbaik sebenarnya adalah menyusul Japra bersama dengan Cakso dan Hana, atau tetap menunggu di persimpangan hingga Japra datang.
‘drap drap drap DRAP DRAP DRAP’ perlahan terdengar suara langkah orang berlari dari arah pos air. Suara itu semakin mendekati kami. Seketika Japra muncul dari arah suara langkah tersebut dengan kostum yang lebih basah kuyup daripada sebelumnya. Wajahnya Nampak kalut. “Kal, gak ada airnya.” Ucap Japra sambil mendekati kami. “Serius? Yaudah gapapa. Lagian, lo tadi bukannya nunggu dulu di sini sebelum ke pos air.” Jawab gua sambil berdiri. “Tadi gua sampe sana, cuma ada kolam yang airnya kotor. Terus ada beberapa kendi.” Japra langsung menjelaskan kepada kami sambil ngos-ngosan. “Gua tadinya mau ambil air yang di dalam kendi, tapi gak jadi.” Japra menambahkan dengan suara yang semakin parau. “Terus gua dengar kaya ada suara orang ngobrol di tenda gitu. Gua teriakin ‘Oiiiii’ tapi gak ada respon. Terus gua mikir ‘gak mungkin juga ada orang camping di sini’ yaudah gua langsung mengarah pulang.” Ujar Japra tanpa jeda.
Atmosfer di sekeliling kami mendadak berubah mencekam setelah Japra mengutarakan ceritanya. “Yaudah, yuk langsung turun aja.” Cetus gua berusaha memupuk semangat dan menjaga pikiran positif rombongan dengan cara mengajak mereka untuk langsung turun. Namun kami masih belum bisa berjalan dengan cepat karena badai masih menerpa. Di tengah perjuangan melawan badai, kami menemukan sepasang tenda yang berkemah di Pos Pemancar. Japra meminta gua untuk menyapa pemilik tenda dengan niat untuk meminta air. Syukurnya, bukan hanya air yang diberikan, mereka malah mengajak kami untuk masuk agar bisa berteduh di dalam tendanya. Kami pun masuk secara bergiliran.
Kami menumpang sejenak di dalam tenda. Kebaikan hati mereka menjadi penolong kami siang itu. Tanpa diminta, mereka memasak bubur untuk kami semua. Sementara Japra mencoba bercengkrama dengan mereka untuk mencairkan suasana, gua duduk terdiam sambil melihat Cakso yang termenung, mungkin kangen istri, dan Hana yang entah kenapa malah ngobrol sendiri. “Ada yang mau masuk, ya?” Celetuk Hana sambil mengerlingkan mata ke arah pundak kanannya. Di situ hanya gua yang sadar dengan perilaku Hana, sedangkan Cakso dan Japra tidak. Gua pun mencoba menegur Hana, “Han, kamu tidur dulu aja. Nanti kalo buburnya udah mateng, aku bangunin.”. Hal itu direspon Japra dan Cakso dengan anggukan agar Hana tidur saja mengingat dia hampir hipotermia tadi. Hana merebahkan badannya dan tak lama kemudian tertidur.
Gua membuka obrolan dengan Japra dan Cakso terkait jadwal kereta yang tiketnya sudah kami beli. “Gaes, sekarang kan kondisinya begini, udah jam segini juga, kalau gak memungkinkan untuk pulang sore ini, gimana kalo kita extent satu malam? Jadi, pulangnya besok pagi.” Kata gua sambil melihat jam yang menunjukkan hampir pukul 2 siang. Japra dan Cakso legowo dan menyetujui keputusan ini. Sekarang yang harus dilakukan adalah secepatnya mengabari hasil diskusi ini ke Dara dan Sarif yang berada di camp area. Kalau mereka juga setuju, berarti kami secara resmi akan menginap satu malam lagi.
Setelah sekitar satu jam kami menumpang berteduh di tenda orang, akhirnya badai mereda. Masih ada, namun tidak sekencang tadi. Kami berpamitan dengan pemilik tenda sambil mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka. Kami melanjutkan perjalanan turun bersama dengan pendaki lain yang kebetulan kami jumpai juga di Pos Pemancar. Jalur pendakian yang becek membuat kami kesulitan untuk melangkah sehingga kami cukup sering terpeleset. Tak lama setelah itu, kami kembali menjumpai Watu Gubuk, namun kali ini kami melewati jalan pintas dari sisi luarnya saja karena menemukan jalan pintas.
Tanpa sadar, Pos 4 akhirnya terlewati. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai ke Pos 3, tempat kami berkemah. Jam menunjukkan pukul 3 sore. Gua mencoba untuk membuat kalkulasi ulang terkait estimasi waktu yang kami butuhkan untuk turun ke Pos 3, packing, hingga lanjut pulang ke basecamp. Perhitungan gua, sebenarnya bisa saja jika kami ingin mengejar kereta di Stasiun Kutoarjo yang malam ini berangkat pukul 23:16.
“Gaes, kalo abis ini kita lanjut pulang aja gimana? Udah telanjur basah kuyup juga, nih.” Tanya gua kepada rombongan. “Iya, gitu aja. Mendingan kita langsung pulang aja.” Jawab Japra. Gua menoleh ke arah Hana yang untuk berjalan saja sudah kepayahan. Lantas gua bertanya, “Han, gimana? Kamu kuat?”. Hana menghembuskan napasnya seraya menjawab lemah, “kayanya gak kuat, Mas. Kakiku udah lemes banget. Gimana nanti kalau turun sambil bawa carrier? Makin berat. Kayanya aku gak kuat.” Jawab Hana sambil sesekali memegangi lutut kakinya yang pegal. “Gapapa, Han. Nanti aku bantu bawain carrier kamu. Kita turun pelan-pelan aja nanti. Gak usah ngejar kereta juga. Yang penting, malam ini kita udah di basecamp aja. Perkara nginep di mana nanti malam, itu kita pikirin belakangan.” Kata Japra. Kami pun menyetujui ide Japra. “Oke kalo pada setuju. Kan kita udah keluar dari camp area sejak jam 3 pagi, sekitar udah 12 jam yang lalu. Dara dan Sarif pasti nyariin kita. Sekarang gimana kalo gua lari turun sampe camp area untuk ngabarin mereka? Sekalian langsung packing juga. Gimana?” Tanya Japra kepada kami. Setelah kami mengangguk setuju, Japra langsung melesat dengan cepat menuju Pos 3. Sambil berjalan perlahan, gua kembali menyusun mental untuk siap-siap segera pulang sore ini.
“Aaahhhh”. Tiba-tiba Hana berteriak mengaduh kesakitan. Gua yang berada di depan langsung kembali mundur untuk mengecek Hana yang ditemani oleh Cakso. “Kenapa, Han?” Tanya gua. “Kakiku sakit, Mas. Engkelnya kena.” Hana meringis kesakitan sambil memegangi kakinya. Seketika mental yang telah gua susun sempat kembali berantakan. “Kayanya emang harus prepare for the worst, nih.” Gumam gua dalam hati. “Han, masih kuat jalan?”. Tanya gua dan Cakso. “Sakit, Mas…” Jawab Hana simpel. “Yaudah, kayanya kita gak usah maksain pulang malam ini. Pos 3 udah deket, Mas Cakso bantu Hana jalan, ya? Aku susul Japra supaya ngebatalin packing-nya. Takutnya tenda udah dirobohin, Mas. Soalnya kan kita resmi extent 1 malam, nih. Jangan sampe tendanya udah gak ada.”.
Setelah Cakso mengiyakan, gua bergegas menuju camp area yang untungnya sudah dekat dari tempat Hana keseleo. “Japra! Japra!” teriak gua lirih. “Batalin packing-nya, Pra! Mas Sarif, lo batalin juga ya. Soalnya Hana udah gak kuat.” Kata gua sambil menghampiri Japra dan Sarif yang sudah melipat baju dan sleeping bag. Japra pun memahami dengan santai sambil kembali membuka barang-barang yang sempat dimasukkan ke carrier. Tak lama kemudian, Hana dan Cakso menyusul hingga akhirnya sampai di camp area. Kami semua segera mengganti pakaian untuk istirahat karena fisik sudah lelah sekali. Perlu diingat, cuaca di luar masih hujan cukup deras saat itu.
“Mas Sarif, bisa bantu pijitin Hana, gak?” Panggil Dara dari tenda sebelah. Sarif pun mengiyakan dan bergerak meninggalkan gua, Japra, dan Cakso di tenda ini. “Pra, ini pertama kalinya gua nginep 2 malem di gunung.” Kata gua sambil rebahan di samping Japra. “Sama, Kal…” Jawab Japra sambil menghela napas. “Keren juga Mas Cakso sama Hana, ya. Pendakian pertama udah ke Merbabu, lewat jalur Thekelan, nginep 2 malam pula.” Kata gua sambil tersenyum simpul. Japra dan Cakso hanya merespon dengan tertawa kecil. Hanya butuh waktu singkat bagi Japra untuk terlelap, sedangkan gua baru setengah tidur. For your information, kondisi camp area tidak lagi sepi seperti semalam. Kali ini, sudah banyak pendaki lain yang berkemah di sini. Jadi, suasana agak berisik sehingga gua agak sulit terlelap.
“Mas Cakso? Mas Cakso?” gua yang setengah sadar mendengar panggilan Sarif dari tenda sebelah. Namun bukan hanya suara Sarif yang gua dengar. Sayup-sayup terdengar suara tangisan kecil entah dari mana. Karena camp area kali ini ramai, gua pikir mungkin pendaki lain. Cakso yang memang belum tertidur, segera merespon Sarif dengan bersuara dari dalam tenda kami, “Iya, Mas Sarif ada apa?”. Sarif melanjutkan, “Bisa panggilin Mas Japra, gak? Hana urgent, nih…”. Ajaibnya, gua dan Japra seketika langsung membuka mata dan beranjak bangun secara bersamaan seolah sudah paham. Kami menghampiri tenda sebelah, dan ternyata, hal yang paling kami khawatirkan akhirnya terjadi: Hana kemasukan!
Japra menghampiri Hana di sudut tenda. Hana kerap memegangi engkel yang sebelumnya mengalami cedera sambil menangis. Gua bertanya kepada Dara dan Sarif, “Awalnya gimana?”. “Tadi Hana minta diurut, Mas. Terus aku panggil Mas Sarif buat ngurut kakinya. Pas diurut, tiba-tiba Hana nangis begini.” Jawab Dara agak panik. Gua pun panik tapi gua tahan. Karena sejujurnya gua belum pernah melihat hal semacam ini seumur hidup gua.
Fokus kami lalu beralih kepada Hana yang terus menangis. Japra yang saat itu berada paling dekat dengan Hana, bertanya dengan suara lembut nan parau, “Ini siapa?”, tanya Japra sambil memegang tangan Hana. “Ini Sinta…” Jawab seseorang dari dalam tubuh Hana dengan suara yang tak kalah parau sambil mengaduh kesakitan. “Sinta dari mana?” Tanya Japra. “Dari Puncak.” Gua, Cakso, Dara, dan Sarif langsung melantunkan ayat-ayat Quran sambil menyimak percakapan yang terjadi di antara Japra dan Sinta.
Japra: Sinta mau ngapain?
Sinta: Saya suka sama anak ini. Di gunung ini juga banyak yang suka sama dia. Saya mau ajak dia main. Tapi gak dibolehin sama ‘Macan’-nya
Japra: Hmm gitu… Nah, kan udah ada ‘Macan’ yang gak ngebolehin, sekarang Sinta keluar, ya…
Jujur, gua semakin bingung untuk bereaksi saat itu. Gua menengok ke sekitar, Cakso pun nampaknya juga bingung. Tapi, tidak gua konfirmasi dengan bertanya langsung ke dia. Dialog Japra dan Sinta pun berlanjut
Sinta: Saya gak mau keluar. Saya suka sama anak ini.
Di sini gua makin bingung. Aslinya, pikiran gua penuh komedi. Namun saat itu sama sekali tidak terpikirkan celah komedi apapun. Gua sempat mikir, “Lah, gimana kalo dia bersikeras gak mau keluar gini?” Jujur, gua benar-benar awam perihal masalah ini.
Japra: Sinta keluar, ya. Yuk, dibantu keluar. Kan udah gak dibolehin sama ‘Macan’-nya anak ini. Keluar, ya…
Tiba-tiba Hana memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Setelah muntah, kedua mata Hana memandang lesu ke arah kami sambil bilang, “Makasih, ya, Mas Japra udah bantu keluarin.”. Gua termenung melihat fenomena yang baru saja terjadi di depan mata. “Dia nempel dari Puncak, Han?” tanya gua mencoba memperjelas situasi. “Iya, Mas Kale. Tadi pas kita numpang di tenda orang pun aku sempet komunikasi sama ‘Macan’ aku karena ada yang ‘nempel’ di badanku”. Jawab Hana. Gua pun teringat momen di mana Hana ngobrol sendiri sambil mengerlingkan mata ke arah pundaknya tadi siang.
Setelah itu, Hana menceritakan kepada kami tentang sosok ‘Macan’ yang dari tadi sempat disebutkan. Jujur, bahkan jauh sebelum perjalanan ini, Hana sudah pernah cerita ke gua. Singkatnya, Hana mempunyai ‘penjaga’ yang diwariskan oleh keluarganya. Hana juga menerangkan kepada kami bahwa sejak tiba di pintu masuk gunung Merbabu, bahkan hingga turun dari Puncak Kentengsongo siang tadi, sudah banyak makhluk gaib yang berusaha masuk ke dalam dirinya, namun ditahan oleh ‘Macan’. Hana juga menjelaskan bahwa relasi antara dia dan ‘Macan’ sebenarnya belum terlalu akrab karena sebenarnya Hana kurang memercayai keberadaan ‘Macan’. Selain khawatir berdampak pada keimanan, Hana juga sempat berpikir bahwa ‘Macan’ sebenarnya tidak ada karena hingga saat ini, ‘Macan’ belum pernah menampakkan dirinya di mata Hana. Selama ini, Hana hanya bisa merasakan kehadirannya saja, tanpa sekalipun pernah melihat sosoknya. Hana menambahkan bahwa jika saja hubungannya dengan ‘Macan’ baik, – Re: sudah saling percaya, hingga bisa ‘berlatih’ bersama – maka akan mempermudah Hana dalam menghadapi tantangan-tantangan yang datang dari makhluk gaib. Tentu karena secara teknis, mereka jadi akan ‘bertarung bersama’. Bingung? Gua coba kasih analogi sederhana.
Saat itu, di otak gua gak terbayang imajinasi yang mewakilkan keadaan Hana selain Naruto. Kok bisa? Naruto juga punya semacam ‘penjaga’ berwujud Siluman Rubah yang ‘diwariskan’ oleh orangtuanya. Kalau kita baca komik Naruto, di awal-awal perjalanannya, Naruto belum bisa mengontrol kekuatan Si Rubah, sehingga Naruto selalu berjuang berdarah-darah di tiap pertempuran. Pada akhirnya, hubungan Naruto dan Si Rubah menjadi akrab, lalu sering berlatih bersama, dan selalu menang mudah dalam tiap pertarungannya. Sumpah, sore itu gua hanya kebayang Naruto. Hal ini langsung gua konfirmasi ke Hana apakah benar cara kerjanya demikian? Hana setengah mengangguk. Mungkin separuhnya benar, mungkin tidak. Seperti yang telah gua tulis di atas, Hana pun masih dalam kondisi yang kurang percaya terhadap keberadaan ‘Macan’.
Selesai bercerita, kami membiarkan Hana untuk tidur dengan ditemani oleh Dara dan Sarif di tenda B, sedangkan gua, Cakso, dan Japra kembali ke tenda A. “Pra, lo tadi ngapain? Kok si Sinta bisa keluar dari Hana?” tanya gua keheranan sambil menyelonjorkan kaki di sebelah Japra. “Di kampung gua di Kuningan, gua sering liat kejadian kaya gini. Yang udah-udah, sih, yang penting kita bisa negosiasi aja sama jin atau setannya.” Jawab Japra santai. “Mas Japra udah sering ‘ngobatin’ orang kesurupan?” tanya Cakso menambahkan. “Baru sekali ini, Mas. Biasanya mah ngeliatin doang.”. Jawab Japra sambil menghela napas. Gua sadar bahwa deru napas dan air wajah Japra agak berbeda setelah membantu Hana, tapi gua gak mau ambil pusing. “Pra, keren juga negosiasi lo tadi. Tahun depan kan kita nyusun tesis, nih. Gimana kalo tragedi ini lo jadiin tesis aja, Pra? Judulnya ‘Teknik Komunikasi dengan Makhluk Gaib Melalui Pendekatan Negosiasi’. Kebetulan lo kan udah observasi langsung di lapangan barusan, Pra.” Celoteh gua yang kemudian ditertawai oleh Japra dan Cakso.
“Mas Kale, Mas Japra, Mas Cakso, aku sama Mas Sarif mau jalan-jalan sore dulu di sekitar sini, ya. Bosen juga dari pagi kita di tenda terus.” Kata Dara sambil membuka tutup tenda A sekitar jam setengah 5 sore. Cuaca badai sudah berlalu, berganti menjadi gerimis manja. “Hana gimana, Dar?” Tanya gua. “Hana udah tidur, Mas.” Jawab Dara seraya melempar pandangannya ke arah tenda B. “Yaudah, Dar. Atiati.” Kata kami bertiga. Sekitar 10 menit setelah Dara dan Sarif pergi, gua kepikiran tentang Hana yang tidur sendirian di tenda B. Khayalan aneh mulai terbesit di pikiran gua, “Gimana kalo Hana kemasukan lagi?” “Gimana kalo pas kita cek ke tenda B, Hana udah gak ada?” “Gimana kalo Hana kesurupan setan super yang bikin dia lari luntang-lantung sampe Puncak?” Pikiran gua sangat berkecamuk saat itu, namun gua pendam sendiri tanpa mengutarakannya ke Japra dan Cakso.
“Mas Japra, bisa minta tolong, gak?” Tiba-tiba ada suara dari arah katup tenda yang terbuka sedikit demi sedikit. Terlihat bayangan orang terpantul oleh sinar matahari yang perlahan semakin jelas. Saat katup tenda terbuka semua, barulah terlihat. Ternyata bayangan orang dan suara itu adalah Hana yang menunggu di sisi luar tenda. “Eh, Han? Kok kamu bangun? Gak tidur?” Tanya gua dengan sedikit tercengang seraya mencoba membuyarkan khayalan absurd yang tadi. “Aku gak bisa tidur, Mas.” Jawab Hana. “Loh, kenapa, Han?” Tanya Japra. “Mas Japra, bisa bukain, gak? Ada yang mau ‘masuk’ lagi, nih.” Kata Hana sambil sedikit mengaduh seraya memegangi area pundak hingga punggungnya yang sebelah kanan. Japra kemudian menginstruksikan Hana untuk duduk sila di depannya. “Yang mana, Han?” Tanya Japra sambil memindai area punggung Hana dengan menyentuhnya perlahan. “Di situ, Mas… Nah, iya, di situ.” Jawab Hana mengonfirmasi sentuhan tangan Japra yang tepat menyentuh titik sakit di punggungnya.
“Pra? Lo ngapain?” Tanya gua yang dari tadi hanya terdiam kebingungan. Belum sempat Japra menjawab, tiba-tiba Hana tersungkur tak sadarkan diri. Japra menangkap badan Hana agar arah jatuhnya ke pangkuan Japra. “HAH??? KOK??? HAN??? Pra, Hana kenapa?” Reaksi gua kebingungan. Tiba-tiba tangan Hana bergerak dengan sendirinya sambil membentuk gerakan khas Doctor Strange saat merapal mantra untuk membuka Time Stone yang ada di lehernya. Tanpa niat meledek atau apa, tapi silakan browsing kalau mau lihat. Gua gak nemu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan adegan ini. Tapi memang gerakannya mirip seperti itu.
“Halo…” Suara sapaan bernada datar keluar dari mulut Hana. “Ini siapa?” Tanya Japra dengan penekanan suara yang lembut seolah sudah piawai mengatasi momen semacam ini. “Saya Pangeran Pamungkas.” Jawab Hana yang saat itu pingsan. “Pangeran Pamungkas dari mana?” Tanya Japra. “Saya dari Watu Gubuk.” Jawabnya. Mendengar hal itu, gua termenung sambil membatin, “Watu Gubuk yang sakral itu maksudnya, kan?” Selain itu, gua juga bingung gimana caranya Japra bisa ‘membuka’ Hana semacam ahli spiritual seperti tadi. Sementara itu, percakapan mereka pun berlanjut.
Japra: Pangeran Pamungkas ada perlu apa?
Pangeran: Tadi pagi saya lihat anak ini melewati tempat saya di Watu Gubuk. Ngapain kalian bawa anak ini? Anak ini spesial. Sejak kemarin, anak ini diincar oleh seluruh makhluk di gunung ini.
Seketika gua, Japra, dan Cakso diam terbujur kaku sambil saling memandangi satu sama lain. Pangeran Pamungkas melanjutkan pembicaraannya.
Pangeran: Saya suka sama anak ini. Tadi saya mau ambil anak ini
Gua menengok ke arah Japra sambil melempar pandangan penuh tanda tanya. Japra menggerakkan bahunya ke atas pertanda dia juga kebingungan. Jujur, selain bingung, kalimat ‘tadi mau saya ambil’ cukup memberi teror ke mental gua sehingga khawatir Hana diambil. “Diambil? Gimana caranya? Definisi ‘diambil’ tuh gimana? Lagian, kenapa banyak banget yang suka sama Hana, sih?” Tanya gua dalam hati, sambil menahan cemas tentunya. Gua tekankan lagi bahwa gua sangat awam terkait masalah ini. Pangeran Pamungkas pun kembali melanjutkan pembicaraannya.
Pangeran: Tapi saya gak jadi ambil anak ini karena saya kenal sama ‘Penjaga’-nya. Saya masih ada hubungan saudara dengan ‘Macan’-nya anak ini. Saya sudah bilang sama ‘Macan’-nya untuk bantu ngejaga anak ini mulai sekarang. Karena anak ini sekarang diincar oleh semua penghuni gunung. ‘Macan’-nya udah kewalahan dan minta bantuan saya.
Japra: Terima kasih udah mau bantu jagain Hana, Pangeran. Tapi bisa, gak, ngejagainnya dari luar aja, Pangeran?
Gua menerka-nerka maksud Japra. Dugaan gua, maksud kalimat ‘ngejagain dari luar’ adalah dari luar tubuh Hana. Jadi secara prinsip, Hana tidak kemasukan siapapun sehingga bisa mengontrol dirinya secara penuh.
Pangeran: Gak bisa. Saya harus jagain anak ini dari dalam. ‘Macan’-nya udah kewalahan. Di luar, sudah banyak makhluk gaib yang mau nyerang anak ini.
Japra: Gapapa, Pangeran. Pangeran Pamungkas jagain Hana dari luar aja, ya? Biar kita yang jaga Hana dari dalem. Bisa, ya?
Setelah perdebatan singkat yang cukup rumit, Pangeran akhirnya setuju untuk ‘dibantu’ keluar oleh Japra. Seketika Hana kembali menggerakan kedua tangannya dan membentuk gestur Doctor Strange seperti tadi. “Kal! Gelas, Kal!” Teriak Japra. Gua dengan sigap mengambil gelas terdekat dan mengopernya ke Japra yang kemudian dia letakkan di mulut Hana. Sesuai dugaan, Hana muntah lagi. Kemudian Hana kembali sadar dan seolah tidak paham apa yang telah terjadi.
Sekitar 5 menit berlalu, Hana kembali merasakan sesuatu di punggungnya. “Mas Japra, ada yang mau masuk lagi…” Sejenak jantung gua berasa mencelat keluar. “HAH? LAGIII???” Tanya gua dalam hati. Japra mengambil posisi dan langsung menekan area punggung Hana yang katanya berat. Seketika Hana kembali pingsan di pangkuan Japra. Gua masih gak habis pikir dan mencoba memproses rentetan kejadian ini secepat mungkin.
“Assalamualaikum.” Ucap suara yang berasal dari mulut Hana. Kami serempak menjawab “Waalaikumsalam”. Seperti sebelumnya, terjadi percakapan lagi yang berlangsung antara Japra dan seseorang di dalam badan Hana. “Ini siapa?” Tanya Japra. “Saya Putri Ratna. Istri dari Pangeran Pamungkas.” Gua mengernyitkan dahi seolah mengeluarkan ekspresi, “Hah? Beneran, nih?” Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Suara yang kami dengar terkesan lebih lembut dari dua suara sebelumnya. Semacam suara seorang Ratu dari sebuah kerajaan di film Disney. Teduh, berwibawa, dan bijaksana.
Japra: Putri Ratna ada keperluan apa ke sini?
Putri: Saya dan Pangeran diminta oleh ‘Macan’-nya anak ini untuk bantu ngejagain. Banyak yang suka sama anak ini.
Japra: Iya, tadi Pangeran juga sudah info ke kami. Putri Ratna juga bisa ngejagain dari luar, kan?
Putri: Saya dan Pangeran sudah kirim serdadu untuk ngelindungin anak ini. Malam ini, tolong jangan keluar dulu. Di luar sangat berbahaya bagi anak ini. Di pohon depan aja udah ada yang nungguin.
Gua dan Cakso mengintip sedikit ke arah luar dan melihat memang ada sebuah pohon yang cukup besar. Sementara itu, gua sempat memicingkan mata ke arah Japra. Di mata gua, entah kenapa, Japra terlihat sangat letih.
Japra: Siap, Putri. Kami emang berencana nginep di sini satu malam lagi. Tolong dijaga dari luar, ya, Putri. Kami akan jaga Hana dari dalam. Saya bantu keluar, ya, Putri…
Putri: Pesan saya, jangan pulang malam ini. Pulang besok setelah matahari terbit, ya. Saya akan pandu sampai basecamp untuk menjaga anak ini. Assalamualaikum…
Seiring gua dan Cakso menjawab salam dari Putri Ratna, Hana duduk sila dan kembali memuntahkan sesuatu ke dalam gelas yang sudah dipakai untuk muntah juga sebelumnya. Saat muntahnya belum tuntas, tiba-tiba sesuatu merasuki Hana dengan sangat cepat, diiringi suara auman yang mendadak keluar dari mulut Hana. Seketika Hana kembali pingsan di pangkuan Japra. “Pra? Kenapa lagi?” Tanya gua. Belum sempat Japra menjawab, tiba-tiba Hana mengomel dengan menggunakan Bahasa Sunda. “Kal, ini ‘Macan’-nya Hana…” Kata Japra lirih.
Otak gua belum selesai mencerna maksud dari ‘serdadu’ yang dikirim oleh Putri Ratna, sekarang malah ditambah ‘Macan’-nya yang masuk. “Gak bisa ntar dulu apa?” Gerutu gua dalam hati sambil tetap menyimak kejadian ini. Japra terlihat semakin lunglai. Sementara, katup tenda kembali terbuka. Dara dan Sarif telah kembali. Mereka sempat kaget sejenak kemudian langsung ikut masuk ke dalam tenda dan menutup katupnya rapat-rapat.
Gua gak bisa memahami percakapan lanjutan yang terjadi antara Japra dan ‘Macan’. Mereka benar-benar full memakai Bahasa Sunda. Setelah ‘Macan’ keluar dari badan Hana, Japra baru bisa menjabarkan apa sebenarnya yang mereka obrolkan tadi. Intinya, ‘Macan’ kelelahan karena sejak masuk area Gunung Merbabu, ‘Macan’ terus ‘bertarung’ melawan pengganggu yang hendak memasuki raga Hana, sehingga ‘Macan’ harus meminta bantuan kepada Pangeran Pamungkas dan Putri Ratna yang kalau kami prediksi, levelnya setara dengan Raja dan Ratu di gunung ini. ‘Macan’ juga melarang kami untuk pulang malam ini. Sebagai penutup, ‘Macan’ sempat menyebutkan bahwa Hana orangnya penakut. Inilah salah satu penyebab ‘Macan’ enggan menampakkan diri kepada Hana hingga saat ini.
Setelah kami mendengarkan penjelasan tersebut, Japra memutuskan untuk tidak membiarkan Hana keluar dari tenda A, setidaknya hingga matahari terbit. Kami mengatur ulang formasi tidur malam itu. Hana terpaksa bermalam di tenda A bareng gua, Cakso, dan Japra, sementara Dara dan Sarif pindah ke tenda B.
“Kal, gua lemes banget. Tadi pas ngobrol sama ‘Macan’ berasa berat banget energinya…” Ucap Japra sambil menyelonjorkan kakinya. Gua reflek mengambil Quran yang ada di tas lalu langsung membaca beberapa ayat yang kemudian diikuti oleh Hana dan Cakso. “Udah, Kal. Udah mendingan. Makasih, Kal.” Ucap Japra. “Alhamdulillah, deh.”. Jawab gua sambil menutup Quran dan mengembalikannya ke tas. Setelah itu, kami solat berjamaah di tenda, lalu bersiap untuk tidur.
Jarum jam menunjukkan sekitar pukul 20:00. Rintik hujan tak henti-hentinya mengguyur camp area kami. Semilir angin kencang pun kembali menyerang tenda. “Ujannya gak kelar-kelar, ye…” Celoteh gua sambil menahan kantuk yang sudah melanda. Cakso dan Japra tertawa, sementara Hana nampaknya sudah tidur.
“DUGH… DUGH…” Tiba-tiba, rentetan hembusan angin kencang menggempur seluruh sisi tenda kami dengan kencang. Suaranya bagaikan samsak yang dipukul di tempat fitness. Gempuran anginnya tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Anehnya, udara malah mendadak hangat, bahkan terlalu hangat. Jujur, levelnya lebih hangat daripada malam sebelumnya. Gua mencoba menerka dan menjahit benang merah dari semua informasi yang gua terima hari ini. “Jangan-jangan, ini yang dimaksud dengan ‘Serdadu’ pelindung Hana yang disebut oleh Putri Ratna tadi? Mereka lagi perang lawan siapa? Makhluk gaib yang mau masuk ke Hana? Beneran, nih?” Gumam gua bertanya-tanya dalam hati.
Pikiran gua melayang ke sebuah adegan di film Avengers: Age of Ultron di mana para pahlawan berdiri membentuk lingkaran untuk melindungi titik sentral dari sebuah pulau yang apabila disentuh oleh pasukan Ultron, maka dunia akan kiamat. Jika berpaku pada analogi barusan, maka tenda kami adalah titik sentral, sedangkan ‘Serdadu’ adalah Avengers, dan para makhluk gaib adalah pasukan Ultron. Malam itu, tenda kami benar-benar seperti medan perang. Gua sadar kalau Japra sebenarnya juga engeh, namun malam itu kami lebih memilih diam dan segera tidur daripada membicarakannya.
“Jam berapa, nih?” Ucap gua ketika terbangun dari tidur. Gua pun mencoba menatap smartwatch yang terpasang di pergelangan tangan kiri dengan mata masih mengantuk. Jam menunjukkan pukul 12 tengah malam. “Njir, gua kira udah pagi…” Gerutu gua lalu melanjutkan tidur. Tidak terdengar suara dari Japra, Cakso, maupun Hana saat gua terbangun. Namun, angin kencang yang sejak tadi malam menggempur tenda kami masih terasa. Gua pun melanjutkan tidur hingga kemudian terbangun jam 1 dini hari. Merasa belum cukup puas, gua kembali meneruskan tidur sampai akhirnya terbangun lagi jam 2 dini hari. “KAPAN PAGINYA INI???” Tutur gua dalam hati sambil ngedumel. Lantas gua menengok ke arah Japra, Cakso, dan Hana yang ternyata juga kesulitan untuk tidur nyenyak. Gua memutar posisi badan agar bisa lebih mudah bercengkrama dengan mereka.
“Lah, gak pada tidur?” Tanya gua ke mereka. Tentu jawaban yang gua dapat dari mereka kira-kira sama dengan apa yang gua alami. Kami terlalu berharap sang mentari terbit secepat mungkin, hingga akhirnya tidak bisa tidur lelap. Kami tidak sabar layaknya siswa sekolah dasar yang keesokan harinya akan study tour ke Kebun Raya Bogor. Saat itu, kami semua kebelet pipis, namun enggan keluar tenda.
Lantaran sudah sulit untuk melanjutkan tidur, kami duduk bersila agar bisa ngobrol sambil melihat satu sama lain. Gempuran angin yang mengarah ke tenda masih terjadi dan seolah semakin kencang. “Pra, ini anginnya kenceng, tapi kok anget, ya? Lo paham, kan, Pra?” Tanya gua pada Japra. “Iya, gua paham, Kal.” Jawab Japra simpel. Kejanggalan tiba-tiba terjadi saat Hana secara mendadak menggerakkan tangan kanannya bak orang yang sedang menari. “Tanganmu kenapa, Han?” Tanya Japra yang menyadari keanehan itu. “Gapapa, Mas. Kayanya pegel aja…” Jawab Hana sambil menarik tangannya perlahan. Japra memicingkan matanya ke arah tangan Hana seolah ada sesuatu yang terjadi, namun Japra tidak mengucapkan apa-apa.
“Han, besok pas sampe basecamp, kayanya kita mesti ‘pamitan’ dengan Putri Ratna yang udah nolongin kita, deh.” Kata Japra. “Iya, Mas. Aku setuju.” Jawab Hana sambil mengangguk. “Ini dari tadi juga sebenarnya banyak yang mau ‘masuk’, aku gak tau siapa aja, cuma aku tahan.” Kata Hana menambahkan omongannya. “Iya, Han. Tahan aja, ya. Dikit lagi subuh, kok.” Ucap Japra sambil menengok ke arah jam yang ada di smartphone-nya. Tak lama kemudian, subuh tiba. Ajaibnya, angin yang sejak malam menggempur tenda kami dari seluruh sisi, kini menghilang. Suhu udara yang tadinya hangat pun langsung berubah dingin selayaknya suhu normal di gunung.
Ketika fajar menyingsing, Dara dan Sarif yang berada di tenda B langsung memberi komando kepada kami untuk bersiap-siap sarapan dan packing. Tepat pukul 07:30 kami selesai berkemas dan langsung berjalan turun dari Pos 3 menuju basecamp. Badai masih berhembus dengan kencang saat itu. Kami harus beberapa kali berhenti di jalur pendakian agar langkah tetap stabil. Sepanjang perjalanan turun, kami bertemu banyak rombongan pendaki yang baru akan naik pagi itu. Beberapa dari mereka bertanya pada kami, “Mas, dari Depok, ya?” Gua jawab, “Bukan, Mas. Kami dari Jakarta. Emang kenapa, Mas?” “Oh, ada rombongan pendaki dari Depok yang udah 2 hari belom balik, Mas.” Kata mereka. Kami tidak ambil pusing dan langsung berpamitan tiap bertemu pendaki yang mengucapkan hal itu.
Sesampainya di Pos 1, kami bertemu petugas basecamp. “Mas Kale, ya?” Tanya dia. “Iya, Mas. Kenapa?” Respon gua sambil memperlambat langkah turun. “Dari Depok, kan, Mas?” Tanya dia mengonfirmasi ulang. “Jakarta, Mas. Tapi rumah saya emang di Depok, sih.” Jawab gua polos. “Rombongan Mas Kale udah kami cariin karena sejak kemarin belum pulang, Mas. Rencananya bukan 2 hari 1 malam, Mas?” Tanya dia. Gua langsung bergumam, “oia, pas kemarin pendaftaran di basecamp ‘kan pakai KTP, ya..… kalo alamat KTP gua mah emang di Depok..... yang di Jakarta mah tempat kerja gua…..” Seketika gumaman gua berhenti, sontak gua menengok ke Japra, “PRA! BERARTI PENDAKI DEPOK YANG DARI TADI DICARIIN TUH KITA, PRA!!!” Teriak gua sambil sedikit tertawa. “Anjir, denial lo sebagai warga Depok. Ngaku-ngaku Jakarta aja dari tadi.” Jawab Japra kesal. Ternyata, rombongan kami dicari oleh basecamp. Kami menjelaskan ke petugas basecamp yang kami temui bahwa semalam terperangkap badai. Petugas tersebut memaklumi dan mempersilakan kami untuk melanjutkan perjalanan ke basecamp.
Akhirnya kami sampai di basecamp tepat pukul 10:30. Kami beristirahat sejenak sambil browsing tiket kereta atau bis yang mengarah ke Jakarta. Perlu diingat, tiket kereta yang seharusnya membawa kami dari Kutoarjo ke Jakarta resmi hangus semalam. Seusai mandi, gua membuka obrolan dengan Hana dan Japra. “Jadi ‘pamitan’ sama Putri Ratna?” Tanya gua. “Jadi, Kal.” Jawab Japra sambil mendudukkan Hana di sudut basecamp agar tidak menarik perhatian para pendaki yang berlalu lalang. Japra menekan punggung Hana yang kemudian langsung tertidur di pangkuan Japra. Setelah tertidur, Hana kembali membentuk gestur Doctor Strange seperti kemarin sore. “Assalamualaikum.” Ucap seseorang dari dalam tubuh Hana. “Waalaikumsalam, ini siapa?” Tanya Japra. “Saya Putri Ratna. Anak ini sudah sampai basecamp. Tugas saya dan Pangeran menjaga anak ini sudah selesai.” Ujar Putri Ratna. “Terima kasih atas bantuannya, Putri Ratna.” Respon Japra. “Sepanjang perjalanan, banyak yang menempel di anak ini. Tolong ‘dikeluarkan’ dulu, jangan sampai terbawa pulang. Saya pamit, ya. Assalamualaikum…” Ucap Putri Ratna sambil kembali membentuk gerakan tangan seperti Doctor Strange lagi. Mendengar penjelasan Putri Ratna, Japra mengangguk lalu membantu Putri Ratna ‘keluar’ dari tubuh Hana. Seperti biasa, Hana langsung memuntahkan sesuatu dari mulutnya.
Sebagai catatan, sejak semalam Hana selalu merasa ada banyak makhluk gaib yang ingin ‘masuk’ ke dalam tubuhnya. Ibarat antrean, mereka sudah mengantre di punggung Hana, menunggu gilirannya masing-masing. Namun nampaknya ‘kehadiran’ Putri Ratna dan ‘Macan’ cukup menyulitkan ‘mereka’ yang ingin ‘masuk’. Gua melihat ke arah Japra, “Pra, gimana? Lo bisa ‘ngeluarin’ yang masih ‘nempel’ di Hana?” Tanya gua. “Kayanya mesti minta bantuan warga sekitar juga, mumpung di sini udah rame. Pasti ada yang bisa.” Jawab Japra. Cakso yang saat itu sudah selesai mandi dan berada di sekitar kami sontak mendekati petugas basecamp untuk meminta bantuan. Tak lama setelah itu, datanglah seorang bapak-bapak berperawakan seperti pedangdut Jhonny Iskandar dengan mengenakan pakaian dan celana pendek hitam. Sebut saja namanya memang Jhonny. “Ada apa?” Tanyanya seraya menghampiri kami. Japra dan Hana langsung menjelaskan keseluruhan cerita yang terjadi, termasuk menceritakan tentang ‘Macan’, Pangeran Pamungkas, Putri Ratna, dan segala yang terjadi tadi malam hingga barusan. Jhonny mendengarkan penjelasan mereka dengan saksama.
Jhonny lalu mengajak Hana untuk masuk ke sebuah ruangan kosong yang terdapat di basecamp. Hana yang agak panik, mengajak salah satu dari gua atau Japra untuk ikut masuk ke ruangan tersebut. Namun kami mengutus Dara saja sebagai sesama perempuan untuk menemani Hana. “Yaudah gapapa, saya cuma mau ajak ngobrol anak ini, kok.” Ucap Jhonny dengan suara bijaksana sambil menutup pintu ruangan bersama Hana dan Dara.
“MAS JAPRA BISA KE SINI GAK???!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari arah ruangan tersebut. Ternyata suara Dara. Gua langsung mengintip dari celah kecil yang terdapat di pojok pintu. “Saya mau main sama anak ini!!! Pangeran dan Putri sudah berjanji hanya menjaga sampai basecamp. Sekarang mereka gak ada. Giliran saya main sama anak ini!!!” Ucap seseorang dari dalam diri Hana. Gua melihat Jhonny sedang melakukan hal yang sama dengan Japra lakukan sebelumnya, sementara Dara terlihat panik di pojok ruangan. Dara meminta bertukar peran dengan Japra yang dengan sigap langsung masuk menggantikan Dara. “Mas, tadi pas punggung Hana dipegang sama Jhonny, tiba-tiba tangan Hana bergerak kesetanan kaya orang berantem. Aku kaget.” Ujar Dara dengan suara panik. Gua cuma bisa bergumam, “kalau ditotal sama yang kemarin, berarti udah 6 kali kemasukan, nih…”
Tidak lama setelah itu, Hana, Japra, dan Jhonny keluar dari ruangan tersebut. Jhonny menegaskan bahwa semua sudah aman. “Sekarang sudah azan Zuhur, sebelum pulang, ada baiknya solat dulu.” Ucap Jhonny sambil menunjukkan tempat sholat di sebelah basecamp seraya undur diri. Setelah beribadah, kami berencana untuk lanjut berkemas pulang, namun Hana mendekati gua dan Japra sambil bilang, “Mas, masih ada satu lagi yang ‘nempel’, nih.” Mendengar itu, gua meminta Cakso untuk segera mencari Jhonny sekali lagi. Kami pun kembali berjalan menuju sudut basecamp. Tanpa menunggu waktu lama, Jhonny mendekat ke arah kami lagi.
“Saya gak akan apa-apain dia. Anak ini spesial. Saya kembalikan semuanya ke Allah Yang Maha Kuasa.” Ucap Jhonny sambil menepuk-nepuk pundak Hana yang duduk di sebelah Japra. Kali ini, Jhonny tidak sendirian. Beberapa rekan sesama petugas basecamp ikut mengerubungi Hana dari sisi yang berbeda-beda. Gua, Cakso, dan Japra tentu ada di sana sementara Dara dan Sarif memasukkan tas carrier kami ke dalam mobil agar nanti bisa langsung pulang. Entah di tepukan ke berapa, tiba-tiba Hana terjatuh ke pangkuan Japra. Kami langsung merebahkan badan Hana di karpet dengan baik dan benar. Hana kemudian meracau sambil mengeluarkan tawa lirih dengan nuansa horor seperti di film Si Manis Jembatan Ancol.
“Siapa kamu? Keluar kamu! Anak ini mau pulang!” Ucap Jhonny dengan tegas. “Saya Nyi Lorena. Sekarang saya akan bawa anak ini. Pangeran dan Putri sudah tidak ada. ‘Macan’-nya anak ini pun sudah lemah. Saya akan jadikan anak ini sebagai anak saya.” Jawab Nyi Lorena dari dalam tubuh Hana. Suaranya diiringi tawa yang intimidatif, berbeda dengan Putri Ratna. Atmosfer di ruangan seketiba berubah menjadi horor karena suara tersebut.
Jhonny dan segenap rekannya langsung memegangi kepala, dan kedua kaki Hana. Gua cukup takjub melihat mereka tiba-tiba sesigap itu. Japra kerap memegangi tangan kanan Hana sambil mencoba membujuk Nyi Lorena untuk keluar dari tubuhnya.
Japra: Keluar! Anak ini mau pulang. Kami udah gak ada urusan di sini
Respon Nyi Lorena agak heboh setelah ini. Suaranya menggelegar sehingga pendaki lain di basecamp mengerebungi rombongan kami.
Lorena: Saya gak mau. Saya gak punya anak. Pangeran dan Putri juga paham kalau saya selalu pengen punya anak. Bahkan mereka pun sebenarnya pengen anak ini. Tapi gara-gara si ‘Macan’, mereka gak jadi ambil anak ini.
Gua terdiam. Sejenak memikirkan dalam hati, “Njir, udah 7 kali… Pada sinting apa, ya? Terus ini gimana maksudnya, sih? Mau jadiin Hana anak lo? Emang bisa?” Pikiran gua makin berkecamuk tanpa arah. Sementara basecamp semakin ramai oleh pendaki yang kepo menonton Hana, gua mengusir mereka satu per satu demi nama baik Hana. Bahkan gua meneriaki salah satu dari mereka yang hendak merekam adegan ini. Petugas basecamp turut membantu mengusir mereka yang tidak berkepentingan dengan cara menutup pintu basecamp rapat-rapat. Japra yang nampaknya sudah agak kesal dan lelah, lanjut berteriak lantang ke arah Nyi Lorena, “Keluar lo! Keluar sekarang juga! Kasian anak ini udah capek fisiknya!”.
Apa yang gua lihat setelah ini, gak akan pernah gua lupakan, bahkan sampai sekarang. Nyi Lorena berusaha memberontak sambil berteriak tak karuan untuk melepaskan genggaman orang-orang yang memegangi kepala, kaki, dan tangan Hana yang sedang ia rasuki. Saat semua sudah terlepas, kedua alis Hana membentuk pola seolah matanya sedang mengerling ke atas, padahal saat itu kedua mata Hana tengah terpejam. Deru napasnya semakin kencang tak beraturan. Kepalanya bergeleng dari kanan ke kiri secara bergantian. Garis bibirnya membentuk senyum yang sangat lebar. Lalu Nyi Lorena merentangkan kedua tangan Hana ke samping dan mulai menggerakkannya perlahan dengan lemah gemulai seperti orang yang sedang melakukan tarian Jaipong. Kemudian Nyi Lorena mengeluarkan satu kalimat bernada dingin dengan intonasi yang amat menggoda namun mencekam, “HANA, AYO SINI, SAYANG… AYO AMBIL SELENDANGNYA…”.
Seketika gua bergidik ngeri melihat kejadian itu. “DUH, HANA JOGET SENDIRI, NJIR!” Ucap gua dalam hati. Secara reflek, gua dan Japra langsung memegangi tangan kanan dan kiri Hana agar berhenti menari. Cakso yang duduk di sudut ruangan semakin memperbesar suara ngajinya. Nyi Lorena lantas kembali berteriak, “Kalian gak akan bisa ngelawan saya!!! Ilmu saya sudah lebih tinggi dari Tuhan!!!” Gua mengernyitkan dahi seolah bilang, “Hah?? Ya kali? Mabok lo?” Kondisi gua saat itu memang cukup terintimidasi, merinding, dan ketakutan. Namun logika gua tetap menemukan jalan untuk setidaknya…. mengkritisi dalam hati. Ya, hanya dalam hati. Cemen! ☹
Nyi Lorena melanjutkan teriakannya, “Semua orang yang ke Merbabu, kalau pesugihan pasti lewat saya! Ilmu saya tinggi. Saya tau orang-orang yang pesugihan di sini.”. Japra yang seolah sudah tidak peduli dengan apapun yang dikatakan oleh Nyi Lorena membalas teriakan itu, “Bodo amat! Sekarang lo keluar! Anak ini mau pulang. Lo gak boleh ikut!”. Pikiran jahil gua mulai membayangkan jika Nyi Lorena ikut Hana pulang sampai ke Jakarta. “Yakin lo mau ikut ke Jakarta? Cipali macet, woi! Apalagi Cikampek! Apa lo gak bete?” Ucap gua dalam hati. Ya, lagi-lagi hanya dalam hati. ☹
Tiba-tiba Nyi Lorena menarik napas sambil memalingkan pandangannya ke arah langit-langit basecamp. Seketika, Nyi Lorena mengeluarkan senyuman seolah menantang sembari berteriak lantang, “Ngapain kalian datang ke sini, Pangeran, Putri? ‘Macan’-nya anak ini sudah takluk sama saya. Ngapain kalian ke sini? Janji kalian hanya mengantar sampai basecamp! Sekarang giliran saya! Saya mau ambil jiwa anak spesial ini!”
Situasi di basecamp semakin kalut. Jhonny dan rekan-rekannya yang tampaknya sudah menyerah untuk bernegosiasi dengan Nyi Lorena, berusaha berkoordinasi dengan penduduk setempat agar turut membantu. “Apa mungkin mereka nyimpen senjata pamungkas?” Tanya gua dalam hati. Saat itu, gua dan Japra masih memegangi tangan Hana sambil berzikir. Cakso, Dara, dan Sarif mengaji dari sudut ruangan.
Seolah tak kenal lelah, Nyi Lorena kembali meneror kami, “Sekarang saya mau perang lawan Pangeran dan Putri. Serdadu saya, lawan serdadu mereka, dan juga ‘Macan’. Kalau saya menang, jiwa anak ini saya ambil. Kalau saya kalah, saya akan menyerah.” Begitu ucap Nyi Lorena sambil tersenyum seolah sudah menang. Gua dan Japra saling bertukar pandangan. Tiba-tiba, Nyi Lorena terdiam. Teriakan yang dari tadi melengking di kuping kami kini tidak terdengar. Keadaan hening sesaat. Saking heningnya, bahkan suara dentingan uang logam yang terjatuh di lantai bisa kami dengar dengan jelas. Sementara Hana masih tergeletak lemas di karpet tak sadarkan diri.
30 detik berlalu. 1 menit berlalu. Keadaan masih hening. Keheningan ini terlalu mencurigakan. Kami menatap haru ke arah Hana. “Han? Bangun, Han!” Ujar Japra seraya menggoyang-goyangkan pundak Hana. “Han? Ayo bangun. Ayo kita pulang.”. Ucap Japra yang diiringi dengan suara isak tangis dari mulutnya. Japra pun tak kuasa menahan air mata. “Ayo, Han! Bangun! Kamu ditungguin sama Kale, Mas Cakso, Dara, dan Sarif juga. Semuanya nunggu kamu di sini. Bangun, Han!” Ucap Japra sambil menangis seraya memeluk Hana. Gua yang saat itu berada tepat di depan mereka pun ikut menangis. “Ini beneran? Temen gua jiwanya diambil?” Tanya gua dalam hati sambil mendekat ke arah kuping Hana seraya berbisik, “Han, bangun, yuk!”
Tubuh Hana tiba-tiba bergerak dan bersuara lirih, “Saya kalah…” Ternyata ini bukan Hana, tapi masih Nyi Lorena. Japra membentak Nyi Lorena sambil menahan air mata dan isak tangisnya, “Yaudah, lo udah kalah! Keluar!”. Bentakan Japra terlalu keras sehingga ditegur oleh rekan-rekan Jhonny.
“Saya gak mau keluar! ‘Macan’-nya anak ini curang. Dia minta bantuan Pangeran Pamungkas dan Putri Ratna. Saya akan tetap ambil anak ini! Anak ini spesial! Ngapain kalian ajak naik gunung?” Ucap Nyi Lorena dengan penuh intimidasi. Japra semakin emosi, “Gak bisa! Lo udah kalah! Sekarang pergi!”. Nyi Lorena bersikeras tidak mau keluar dari tubuh Hana. Japra tampak sangat kelelahan. Perdebatan berlanjut panjang. Sangat panjang bahkan Japra sampai putus asa dan menangis. Satu hal menarik juga terjadi di tengah perdebatan. Nyi Lorena justru malah mendebat Japra dengan kalimat, “Kamu ngapain bantuin anak ini? Saya tau kamu juga punya garis keturunan yang sama dengan ‘Macan’ anak ini. Tapi ilmu kamu gak seberapa! Ilmu kamu bahkan kalah sama anak ini! Kamu gak akan kuat ngelawan saya!”. Gua memandang ke arah Japra sambil terheran-heran, “Hah? Japra juga punya ‘Macan’? Pantesan…” Tanya gua dalam hati sekaligus menjawab pertanyaan gua mengapa dari kemarin Japra bisa menghandel situasi ini dengan cukup santai bak ahli spiritual.
Situasi semakin memanas dan putus asa. Tiba-tiba ada seorang warga yang masuk ke basecamp lalu bertanya ke gua, “Mas, anak ini nama lengkapnya siapa?”. Setelah gua jawab, warga tersebut langsung berlari keluar dan kembali lagi dengan membawa segelas air. “Jangan-jangan, ini warga yang tadi dimintain tolong…” Tanya gua dalam hati seolah berusaha mengonfirmasi. Seketika, Jhonny dan rekan-rekannya yang tadi kembali mengerubungi Hana dari tiap sisi.
“Air ini diminumin ke Mba Hana sebanyak 7 kali tegukan.” Ucap warga tersebut yang kemudian dibantu oleh Jhonny dan rekan-rekannya. Jhonny Nampak sudah paham bagaimana cara kerja air itu. Jhonny menyandarkan Hana lalu mencekoki mulutnya dengan gelas berisi air tersebut. Setelah satu teguk, Nyi Lorena berusaha memuntahkan air tersebut sambil teriak, “Air apa ini? Saya gak suka!”. Namun Jhonny tetap meminumkan air itu sampai 7 kali, sambil dibantu oleh beberapa dari kami dengan memegangi anggota tubuh Hana yang lainnya seperti tangan, dan kaki. Situasinya benar-benar panik seperti pemotongan sapi pada saat Iduladha. Hana lalu memuntahkan sesuatu, namun kembali terjatuh sedetik kemudian.
“Assalamualaikum.” Ucap seseorang dari dalam diri Hana. Kami keheranan. “SEKARANG SIAPA LAGI???” Tanya gua dalam hati. “Saya Putri Ratna…” Ucapnya. “OOOHHH…” Gumam gua cukup lega mendengar suara bijaksananya yang bagaikan Ratu di film Disney. “Saya dan Pangeran sudah mengusir Nyi Lorena. Sekarang saya titip anak ini, tolong dijaga sampai pulang.” Kata Putri. “Baik, Putri Ratna. Terima kasih. Akan saya jaga sampai rumah.” Jawab Japra dengan suara lemas karena sudah kelelahan. Putri Ratna kemudian pamit dengan kembali membentuk gerakan tangan ala Doctor Strange. Gua hanya bisa terdiam setelah menyaksikan kejadian yang terjadi secara berurutan ini. Tak lama kemudian, Hana kembali memuntahkan sesuatu.
‘HOOEEEEEEEKKK’ seketika Hana muntah sangat banyak. Gua dan Japra langsung berusaha mendekatkan wajah kami ke arah Hana yang sedang duduk bersila. Kami ingin memastikan bahwa kali ini benar Hana atau bukan. “Han? Ini Hana, kan?” Tanya gua dan Japra sambil memegangi pundak Hana. Pandangan mata Hana nampak linglung ketika melihat banyak orang di sekitarnya. “Kok rame banget, Mas? Abis ada apa?” tanya Hana kebingungan seraya melihat ke arah kami berdua.
“HUAAAAAA” Tangis Japra seketika pecah sambil memeluk Hana dengan erat. Gua otomatis merangkul mereka berdua sambil ikut menahan haru yang cukup dalam. “Gila, gua gak begitu ngerti teknisnya gimana, tapi di momen hening tadi gua kira jiwa Hana diambil.” Ucap gua dalam hati sambil memeluk mereka berdua. Hana masih terlihat bingung namun dari aura wajahnya, nampaknya dia sudah paham apa yang terjadi.
Hana mulai bangkit perlahan dari duduknya. Sementara gua masih merangkul Japra karena fisiknya sangat kelelahan. “Pra, lo punya ‘penjaga’ juga? Pantesan lo bisa ngehandel Hana, ya?” Tanya gua. “Gak paham juga, Kal. Ini juga gua baru pertama. Gua ngerasa, di beberapa momen tadi, yang marah-marahin Nyi Lorena tuh bukan gua doang, tapi ada sesuatu di belakang gua yang ikut kesal sama Nyi Lorena.” Jawab Japra sambil tertatih.
Perlahan tapi pasti, kerumunan petugas basecamp dan warga sekitar mulai meninggalkan kami untuk berkemas. Hana membuka obrolan dengan kami.
Hana: Tadi aku denger suara Mas Japra, Mas Kale, sama yang lainnya manggil-manggil aku.
Gua: Itu kamu lagi di mana, Han?
Hana: Entah, Mas. Semacam tempat di tengah hutan, aku terperangkap di antara dua pohon. Aku gak bisa gerak. Badanku berasa ditarik-tarik sama Nyi Lorena. Tapi ada yang bantu nahan. Kayanya itu ‘Macan’ dan kalian, deh.
Gua: Kamu liat Nyi Lorena? Kaya apa wujudnya, Han?
Hana: Cantik, Mas. Mungkin kaya sinden-sinden yang sering kita liat di televisi gitu. Oia, Nyi Lorena juga pake selendang warna hijau, Mas.
Gua termenung sejenak. “Selendang hijau? Sebentar…” ucap gua dalam hati. Di sudut ruangan, gua melihat Japra sedang berkemas dengan lemas sambil dibantu berdiri oleh Cakso. “Kalo Pangeran dan Putri, kamu liat juga, gak?” Tanya gua sambil mengajak Hana menuju mobil. “Kalo Putri Ratna, kayanya aku gak begitu inget, tapi aku inget liat wujud Pangeran Pamungkas kemarin sore pas dia ‘masuk’. Sosok Pangeran Pamungkas gagah, Mas. Kostumnya warna merah.” Jawab Hana. Gua dan Japra berjalan menuju mobil sambil saling menatap seolah memahami sesuatu. Gua rasa, kalian (pembaca) juga akhirnya paham kenapa pendaki Merbabu dilarang pakai kostum warna merah dan hijau, kan?
PART V: MEMORI
“Pra, kalo ini pendakian pertama gua, kayanya gak akan ada lagi pendakian selanjutnya, deh. Lo bayangin aja. Hujan badai, angin ribut, halilintar, kesurupan…” Ucap gua sambil tersenyum kepada Japra saat kami hendak memasuki bis. Japra mengangguk setuju sambil tertawa kecil. Selepas dari basecamp tadi, kami diantar oleh Dara dan Sarif ke Terminal Magelang. Setelah mereka pamit, kami langsung naik bis menuju Jakarta pukul 16:00.
“Han, aman?” Tanya gua yang saat itu duduk bersebelahan dengan Hana. “Ada yang mau ‘masuk’ lagi, Mas…” Jawab Hana dengan suara pelan. Japra mengisyaratkan agar Hana menahannya saja. Kemungkinan, saat kita semakin menjauhi kawasan ini, makhluk gaib yang ‘menempel’ akan semakin lemah dan akhirnya lepas dengan sendirinya. Gua pun hanya bisa berharap kalimat Japra barusan benar adanya.
Kami menaiki bis yang sama walaupun tujuan turunnya berbeda-beda. Japra berencana turun di pinggir tol Cipali, Cakso turun di Tangerang, sedangkan gua dan Hana akan turun di Jakarta Selatan. Ketika malam tiba, Hana bangun dari tidurnya. Gua yang kala itu sedang sibuk memilih foto untuk diunggah, langsung mengajaknya ngobrol.
Gua: Han, kebangun?
Hana: Iya, Mas. Tadi aku sempet ngobrol via batin sama ‘Macan’.
Gua: Oya? Terus gimana?
Hana: Dia nangis, Mas. Kewalahan. Hehe terus aku diomelin…
Gua: Haha… unik juga, ya… Terus kamu gimana pas dia nangis?
Hana: Aku ajak ngobrol, Mas. Aku minta maaf udah ngerepotin dia.
Hana kembali tertidur pulas setelah bercerita. Jujur, gua cukup lega mendengar cerita Hana tentang ‘Macan’ barusan. Gua pun bersyukur kami semua bisa pulang lengkap dengan selamat. Terlebih ketika mengingat kejadian tadi siang yang sangat mengganggu kami. Rentetan tragedi ini tentu menciptakan bercak yang khas di ingatan kami masing-masing. Perjalanan penuh liku, cuaca tak menentu, hingga rintangan yang membuat kami sempat terpaku. Merbabu akan selamanya mengingatkan kami akan peristiwa itu. Pesona dan misterinya akan terpatri kuat di dalam memori kami hingga memiliki anak cucu.
Menjelang jam 3 pagi, bis menurunkan gua dan Hana di Jakarta Selatan. Setelah berpamitan dengan Cakso di dalam bis, kami berdua segera turun dan mencari taksi untuk pulang. Sebelum berpisah, gua memicingkan mata ke arah Hana, lalu bertanya pelan, “Han? Gimana? Sekarang aman?” Hana kembali mengerlingkan bola matanya ke arah pundak kanannya. Dia terdiam sejenak, lalu mengangkat kedua alisnya perlahan sambil menyunggingkan senyum simpul seraya menjawab, “Alhamdulillah. Aman, Mas.”.
0 notes
Text
Kita semua sepakat bahwa beberapa kota menyimpan kenangannya sendiri, yang begitu kamu melihat walau hanya dengan sekilas, semua memori itu tanpa sadar perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam akal sehat.
Bandung, dalam hal ini, selalu bertengger di spot spesial di dalam diri saya. Seolah tak ingin dirinya untuk sedikit pun bergeser dari posisinya, ia tetap berdiri tegap di sana walaupun saya sudah menyambangi kota-kota lain yang lebih indah.
Suatu bulan penuh hujan di 2020
Sumber foto: Twitter Anonim




0 notes
Text
Lone Ranger
Akhir-akhir ini hidup terasa seperti pengamen multitalenta yang sering kita jumpai di pasar-pasar:
Gua yang metik gitar
Gua yang mukul drum
Gua yang niup suling
Gua yang nyanyi
Gua juga yang bayar

3 notes
·
View notes
Text
"Lebih Sedih Daripada Titanic"
Tempat temen gua kerja sedih banget. Atasannya suka nyalahin kinerjanya atas pekerjaan yang sebenernya bukan target dia
Kalo diibaratkan
Misalkan lo kerja di FA (Liga Inggris) sebagai akunting, kebetulan pekan ke-16 Premier League gol yang terjadi cuma dikit
Tapi lo yang disalahin
"Kenapa golnya dikit, bego?"
"Kenapa Lukaku gak ngegolin?"
"Kenapa Liverpool kalah mulu?"
Sedih yha
0 notes
Text
Fair enough (?)
Kamu kehilangan orang yang kamu cintai
Sedangkan
Dia kehilangan orang yang mencintainya
0 notes
Photo

Sudahkah kita benar-benar merdeka atas waktu yang kita miliki dan tempat di mana kita berpijak? #RI72
0 notes
Photo

In the near future You'll be married with the best guy you can ever have In the near future after that I'll be married with the best woman I can ever have You know what's funny? In the near future after those times What if our children become best of friends? You know what's funnier? In the very near future after What if our children become best lovers the world ever seen? You know what's funniest? In the very far away future What if we met again in the same position, same destiny, same status? Just like the Hollywood movie, maybe our children would help uniting us both To be together for one last time Would you accept that funny future thing? It's been written from the past That it'll be our children's duty to unite us All over again. Together. For one final time I'll see you again in the future! - FUNNY FUTURE by TTOE -
0 notes
Text
Masih
Tanpa terasa, hampir 2 tahun berlalu. Namun entah kenapa setiap kenangan yang ada masih menyeruak di dalam hati. Memori akan setiap hal yang kita lalukan bersama masih terus menyerang akal sehat ku untuk memikirkanmu kembali. Bekas pelukanmu masih menghangatkan dinginnya hatiku setiap kali kesedihan menyerang kesendirian ini. Simpul senyummu masih terpatri kuat menyungging dengan indah di palung terdalam hati ini. Suara lembutmu masih terdengar memanggil namaku setiap kali ku berjalan menyusuri kesendirian yang tiada habisnya ini. Aroma tubuhmu masih samar tercium setiap kali ku berada di keramaian, hingga langsung membuatku bergegas mencari-cari, "apa kamu juga di sini?" Nyatanya, aku tau. Kamu tak lagi di sini . . . Namun, bisakah sebentar ke sini?
0 notes
Text
Untuk anakku kelak, Sakha **** Haikal dan Keira **** Haikal... Jika suatu saat nanti, mungkin sepulang sekolah, kamu bercerita, "Ayah, tadi di sekolah pas pelajaran Sejarah, Gurunya cerita seru deh. Tentang tragedi 4 November 2016. Ayah tau itu?". Ayah akan menjawab, "oh, tau, Nak." Lalu jika kamu lantas bertanya, "Ayah ada di mana waktu itu? Ayah ikut jihad turun ke jalan, kan?" Ayah akan menjawab, "Maaf, Nak. Ayah tidak ada di sana.". Lalu jika kamu bertanya lagi, "Kenapa, Yah? Kok gak ikutan?", Ayah akan menjawab, "Maaf, pada waktu itu Ayah sibuk bekerja, Nak. Mencari rezeki halal yang nantinya rezeki tersebut Ayah pakai sebagai salah satu modal untuk Ayah menemukan seseorang yang saat ini kalian panggil 'Ibu'. Sebatas itu jihad yang Ayah lakukan pada hari itu, Nak.".
0 notes
Text
Jangan tiba-tiba datang lalu pergi. Kamu bukan checker listrik PLN, kan?
0 notes
Text
Mungkin aku hanyalah buku pelajaran sekolah usang yang enggan kau buka.
0 notes
Text
Hidup ini singkat; cepat. Lebih cepat daripada jari Abang-abang Gojek mencet order. Manfaatkan! Manfaatkan! - H -
1 note
·
View note