Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gradasi Warna
Setiap insan tercipta dengan warnanya sendiri — persona, prinsip, keyakinan, mimpi, dan kelembutan hati yang unik. Warna itu bukan sekadar tampilan, melainkan catatan perjalanan hidup: jejak luka yang sembuh, tumpuan harap, serta doa-doa yang mengkristal dalam kesunyian.
Dalam galeri kehidupan, jangan pernah redup demi menyamai warna lain. Jangan pula mengaburkan gradasimu hanya agar diterima. Harmoni sejati lahir bukan dari keseragaman, melainkan dari keberanian saling menerima. Saat dua warna berbeda bertemu, saling merangkum tanpa saling meniadakan, di situlah tercipta simfoni keindahan yang alami.
Kita hanya perlu menemukan jiwa yang memandang warna kita dengan mata jernih; bukan yang memaksa kita mengubah rona, bukan yang ingin mencampuradukkan pigmen jiwa, melainkan yang menyelami setiap lapisan warna kita, lalu memilih bertahan dengan sepenuh cahaya.
Jangan gelisah. Setiap warna memiliki ritme dan musimnya sendiri. Percayalah, kelak akan ada jiwa yang tatkala menyaksikan warnamu, ia berbisik: “Inilah tempat semua warna hidupku bermakna.”
Cinta yang tenang tak lahir dari keserupaan, melainkan dari keberkahan saling merangkul keunikan. Bukan dari upaya menyamakan, tapi dari kerelaan saling mengerti. Pada akhirnya, harmoni terindah tercipta ketika warna-warna itu berdansa dalam keselarasan, di bawah aturan Sang Mahawarna yang sempurna.
Cibiuk, 16 Juni 2025
5 notes
·
View notes
Text
OPINI: Refleksi Pendidikan Guru Penggerak dan Kehidupan Setelahnya

Sebagai alumni Pendidikan Guru Penggerak (PGP) angkatan 9 di Kabupaten Garut, saya cukup terkejut ketika menerima Surat Edaran beberapa waktu yang lalu yang menyatakan bahwa Program Sekolah Penggerak secara resmi dihentikan. Padahal, sejak diangkat menjadi kepala sekolah, saya sudah memupuk ambisi untuk mendaftarkan sekolah saya agar menjadi bagian dari program tersebut jika programnya dibuka kembali. Di awal masa transisi pemerintahan, saya sempat optimis bahwa kebijakan pendidikan di era Presiden Prabowo tidak akan mengalami perubahan besar, mengingat adanya beberapa kesinambungan visi dengan pemerintahan sebelumnya. Apalagi, penunjukan menteri pendidikan dari kalangan akademisi sempat menumbuhkan harapan bahwa arah reformasi pendidikan yang telah dirintis akan tetap berlanjut. Namun, kenyataan berkata lain—perubahan yang terjadi terasa begitu drastis, bahkan bertolak belakang dengan ekspektasi.
Meski demikian, saya tetap memandang bahwa setiap kebijakan baru pasti hadir dengan pertimbangan dan tujuan tersendiri. Hal yang menarik selama mengikuti program PGP adalah beragamnya motivasi dari para peserta. Ada yang ingin mencari tantangan baru, ada pula yang sekadar ingin mengisi waktu luang, atau bahkan tertarik dengan peluang pengembangan diri yang ditawarkan. Di balik semua alasan itu, satu benang merah yang saya temukan adalah keinginan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik—baik sebagai individu, guru, maupun pemimpin. Keragaman motivasi ini menjadi kekuatan tersendiri yang menciptakan dinamika pembelajaran yang kaya dan bermakna.
Program PGP memperkenalkan pembelajaran dengan kerangka MERDEKA (Mulai dari diri, Eksplorasi konsep, Ruang kolaborasi, Demonstrasi kontekstual, Elaborasi pemahaman, Koneksi antar materi, Aksi nyata) yang sangat kontekstual dan aplikatif. Salah satu momen paling berkesan dalam program ini adalah ketika saya memulai modul pertama: “Mulai dari Diri”. Saya diajak untuk merenungi alasan saya ada di sini, apa mimpi saya, dan bagaimana saya ingin bertumbuh. Bagi saya, ini bukan sekadar refleksi biasa. Ini adalah perjalanan ke dalam diri sendiri—sebuah percakapan batin yang selama ini mungkin tertunda. Momen ini menjadi ruang refleksi yang kuat—sebuah titik awal untuk memahami motivasi terdalam sebelum benar-benar melangkah. Diskusi-diskusi yang terjadi dalam sesi tersebut membentuk semacam ikatan emosional dan intelektual antara peserta dan fasilitator. Inilah yang membuat pembelajaran menjadi lebih dari sekadar transfer pengetahuan; ia menjadi pengalaman yang mengubah cara pandang dan sikap. Saya melihat langsung bagaimana pendekatan ini mampu menumbuhkan makna, bukan hanya pengetahuan.
Setiap kelebihan, tentu ada kekurangan.
Bagi saya, pengalaman ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang paling bermakna adalah yang berakar pada realitas. Ketika peserta bisa melihat hubungan langsung antara modul yang dipelajari dan tantangan yang mereka hadapi, mereka tidak hanya belajar, tetapi juga tumbuh. Itulah mengapa sesi-sesi reflektif seperti ini sangat penting, karena memberikan ruang untuk peserta mengenali diri, memahami motivasi, dan menautkannya dengan tujuan jangka panjang mereka.
Tidak ada kebijakan yang sempurna, bukan? Seperti halnya PGP. Salah satu kritik yang cukup sering saya dengar adalah soal kebijakan pengangkatan kepala sekolah yang mewajibkan peserta berasal dari alumni PGP. Bagi sebagian kalangan, ini dianggap sebagai ketidakadilan, terlebih bagi mereka yang telah lama melalui proses seleksi kepala sekolah yang sah sebelum program ini ada. Saya bisa memahami keresahan itu. Bahkan secara pribadi, saya pun setuju bahwa pemimpin, apalagi kepala sekolah, tidak bisa dibentuk hanya dalam waktu singkat. Dibutuhkan perjalanan panjang, pembelajaran nyata, dan proses pembinaan berkelanjutan untuk mencetak pemimpin yang matang, visioner, dan berdampak.
Tapi di sisi lain, saya juga tidak menutup mata terhadap kontribusi positif PGP dalam membangun kompetensi kepemimpinan yang reflektif dan adaptif. Program ini menawarkan ruang belajar yang luas, sekaligus menanamkan semangat transformasi pendidikan dari dalam. Dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan kolaboratif, para peserta dibekali keterampilan untuk menjadi penggerak di lingkungan masing-masing, baik dalam pembelajaran maupun dalam pengelolaan sekolah secara menyeluruh. Hanya saja, hal ini masih perlu adaptasi untuk merespon sebagian orang yang tidak memiliki pandangan yang sama tentang PGP.
Walau kini kebijakan berganti, saya percaya bahwa pengalaman dalam program PGP akan tetap relevan dan berdaya guna. Apa yang saya pelajari, refleksikan, dan praktikkan dalam program ini telah menjadi bagian dari proses tumbuh saya sebagai pendidik.
Untuk itu, meski arah kebijakan berubah, semangat untuk terus mengembangkan diri dan memberikan kontribusi terbaik dalam dunia pendidikan harus tetap menyala. Karena sejatinya, pendidikan tidak pernah statis. Ia adalah proses panjang yang dibentuk oleh dedikasi, keberanian untuk berubah, kemauan untuk terus belajar, dan dapat menjadi salah satu upaya untuk menciptakan pendidikan yang lebih inovatif dan relevan. Bagi kita yang terlibat di dunia pendidikan, memahami pro dan kontra dari kebijakan semacam ini adalah langkah penting untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kini, meskipun jalan yang saya tuju tak lagi searah dengan rencana awal saya, saya tahu bahwa mimpi untuk membawa perubahan di dunia pendidikan belum selesai. Justru di sinilah tantangannya—melangkah meski peta telah berubah, berjuang meski arah tak lagi sama. Karena sejatinya, pendidik adalah mereka yang tak pernah berhenti belajar dan menyalakan harapan.
Terakhir, tulisan ini murni lahir dari pengalaman pribadi dan sudut pandang yang terbentuk dari proses panjang dalam dunia pendidikan. Tidak ada maksud sedikitpun untuk menyinggung pihak manapun. Justru, melalui tulisan ini, saya ingin berbagi semangat dan mengajak kita semua untuk terus berupaya memperbaiki dan memajukan pendidikan dari tempat kita masing-masing.
Mewujudkan pendidikan yang baik dan berkualitas bukanlah perkara instan. Ia menuntut komitmen, ketekunan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Terlebih lagi, jika arah pendidikan yang kita cita-citakan adalah pendidikan yang melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga kuat secara spiritual—paham agama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salam hangat,
Eko Puspito
*) Kepala Sekolah SDTQ Al-Furqan Garut | Mahasiswa S2 IAI PERSIS Garut Prodi MPAI
3 notes
·
View notes
Text
Terimalah Diri dengan Penuh Keyakinan
Dalam hidup, kita sering kali berhadapan dengan orang-orang yang menilai kita dari masa lalu. Mereka mungkin melihat kesalahan yang pernah kita buat dan menjadikannya sebagai alasan untuk menolak kehadiran kita. Namun, apakah kita harus memaksa mereka untuk menerima kita? Tidak. Kita tidak perlu bergantung pada penerimaan orang lain untuk menemukan nilai dalam diri sendiri.
Allah telah menciptakan setiap manusia dengan keunikan dan kesempatan untuk berubah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Katakanlah, wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az-Zumar: 53)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki peluang untuk memperbaiki diri dan melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu merasa kecil atau terpuruk karena masa lalu. Sebaliknya, jadikanlah pengalaman sebagai pelajaran dan batu loncatan menuju masa depan yang lebih cerah.
Rasulullah ﷺ juga mengajarkan tentang pentingnya perubahan dan kesempatan kedua. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
"Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah mereka yang bertaubat." (HR. Tirmidzi)
Maka, jangan biarkan penolakan orang lain menghentikan langkahmu. Jika mereka tidak bisa melihat siapa dirimu sekarang dan hanya terpaku pada masa lalumu, biarkan mereka pergi. Teruslah melangkah dengan keyakinan bahwa perubahan itu nyata, dan setiap usaha yang tulus akan membawa hasil.
Dunia ini penuh dengan orang-orang yang akan menghargaimu atas siapa dirimu saat ini, bukan atas kesalahan yang telah lalu. Bangkitlah, perbaiki diri, dan jadilah pribadi yang lebih baik tanpa merasa perlu memaksakan diri untuk diterima. Allah adalah sebaik-baiknya penerima hamba-Nya yang berusaha kembali ke jalan-Nya dengan penuh kesungguhan.
Eko Puspito
3 notes
·
View notes
Text
Memasuki 31
Apapun yang Allah takdirkan untukku, aku yakin itu yang terbaik menurut-Nya. Aku tidak berharap banyak, agar aku bisa menjalani hari-hariku dengan tenang, menjadi lebih tabah dalam menghadapi segala hal yang terjadi, menjadi lebih lapang jika ada rencana yang tidak sesuai dengan harapan.
Aku tidak menyalahkan siapapun atas segala rasa yang tercipta, aku kembalikan semuanya kepada diriku, mungkin ada peranku yang Allah tidak ridhoi disana.
Tidak pernah sekalipun aku menyesal atas setiap pilihan yang telah kuambil, baik pertemuanku dengan seseorang, pilihanku dalam pekerjaan, dan langkah yang aku tuju, sungguh aku telah bersyukur atas semua yang telah kupilih dalam mengarungi hidup memasuki usia 31 tahun ini.
Agustus, 2024.
@ekopuspito93
4 notes
·
View notes
Text
Anakku sayang, Unaysah.
Akhir-akhir ini aku merasa banyak sekali pikiran yang tidak bisa aku luapkan. Kegiatanku sehari-hari tetap sama, tidak ada yang berbeda. Tidak ada upgrade. Pagi berangkat mengajar, sore pulang ke rumah. Kemarin malam Unaysah tidur enggak seperti biasanya, Unays tidur “gagah” sekali sampai aku ditendang-tendang olehnya. Saking kesalnya karena ditendang, aku sampai hati membangunkan Unays karena kekesalan itu. Hingga akhirnya aku pindah tidur di sofa di tengah rumah.
Saat subuh, selepas bangun tidur. Aku melamun. Apa aku tidak keterlaluan membangunkan Unays yang sedang tidur karena hal sepele yang dilakukan anak usia lima tahun? Apakah kekesalanku hanya sebatas pelampiasanku saja yang capek karena pekerjaan? Sebelum Unays bangun, aku hampiri Unays yang masih tidur pulas. Aku peluk. Kucium bau keringat tidur yang keluar khas dari tubuhnya. Sesekali aku ucapkan seuntai do’a tepat diatas kepalanya.
Aku menyesal.
Ketika Unays bangun, kutanya, “Unays tadi malam abati marah-marah. Unaysah takut ya?”
“Enggak.” Jawabnya singkat lalu keluar kamar dan langsung bermain seperti biasa.
Maafin abati ya, nak.
Cibiuk, 8 Juni 2024.
0 notes
Text
RTM: Setelah Menikah
Setelah menikah, aku jadi paham bahwa rezeki yang aku terima ini bukan hanya milikku. Lalu apa pantas aku membatasi rezeki ini untuk keluargaku?
@ekopuspito93
0 notes
Text
Kau Terindah, Jangan Resah
Suatu siang di pesawahan pinggiran kota penuh dengan burung yang terbang kesana-kemari yang hendak mencuri butir padi yang sudah menguning. Aku duduk di saung yang beratapkan daun rumbia di pinggir sawah. Sementara dia sedang asyik menikmati hembesusan angin yang sesekali menyingkap kerudung yang di pegang erat olehnya. Bergaya sederhana dengan kerudung warna hijau kesukaannya dan gamis panjang menutupi mata kaki yang berwarna lebih gelap dari kerudungnya. Aku hanya tersenyum saja melihat dia yang sedari tadi duduk di sampingku.
"Mas, mau makan sekarang? Aku bawain, ya." tanyanya.
"Boleh, sekalian buatin teh manis, ya." jawabku diiringi senyuman.
"Oke.." jawabnya sambil berdiri dan menghilang dari pandanganku.
Aku hanya bisa berucap syukur karena telah meminangnya. Awal pertemuan yang tidak pernah direncanakan membuat kami menjadi semakin dekat. Setelah menunggu, dia datang dengan membawa teh manis. Aku bangkit, mengambil gelas teh manis sambil memegang tangannya, lalu aku tersenyum. Dia menunduk, wajahnya memerah tersipu malu.
Singkat cerita, kami makan berdua di saung dengan pemandangan sawah serta gunung dengan cuaca yang cerah. Kami sangat menikmati suasana saat itu. Masakan sederhana yang dibuat olehnya seolah menjadi makanan yang di buat oleh seorang koki terkenal yang sudah mahir memasak. Dia tersenyum melihatku melahap makanan yang dia buat.
"Pelan-pelan makannya, mas. Masih banyak kok." ucapnya sambil menuangkan air minum untukku.
Aku tersenyum. Menganggukkan kepala tanda mengiyakan saran darinya. Selesai makan, kami berdua duduk bersama. Aku bersandar pada tiang yang menjadi penyangga saung, dia pun sama. Kami duduk berhadapan dengan jarak 2 meter sesuai panjang saung. Aku mengalihkan pandanganku ke sekeliling, menarik napas panjang lalu menggerakan bibirku berucap syukur.
"Indah banget ya mas, aku selalu ingin menikmati keindahan seperti ini." ujarnya.
"Iya, jarang-jarang cuaca sebagus ini di musim hujan," jawabku.
Istriku tersenyum. Kami tenggelam dalam obrolan hingga larut dalam kebahagiaan. Setelah puas berbincang, dia mendekat kearahku lalu bersandar di pundakku.
"Aku selalu memikirkan keluarga kita nanti, mas. Kita akan terus seperti ini 'kan?" tanyanya sambil memainkan jari-jari di ujung kerudungnya.
"Selama kita mempunyai keyakinan yang Allah berikan, insyaAllah, kita akan selalu seperti ini." jawabku menenangkan.
Dia terdiam dan terus memainkan kerudungnya seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu. Aku mencoba meyakinkan kembali istriku, bahwa hal seperti ini memang sering terjadi dalam rumah tangga, tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama kita bisa melaluinya.
"Kita akan selalu memohon agar kita bisa selalu melewati hal semacam ini dengan tetap bersabar. Selama ada aku, kamu enggak usah khawatir."
Dia tersenyum sambil menoleh ke arahku. Aku mengusap kepalanya sambil membisikkan sesuatu padanya; "Kau terindah, jangan resah.."
Disela-sela mengerjakan proposal skripsi, 09 Maret 2016
Eko Puspito
Foto: Koleksi Pribadi
8 notes
·
View notes
Text
Banyak dari kita yang tidak tahu bagaimana mengutarakan pendapat, mungkin karena kita banyak memikirkan akibat dari apa yang kita utarakan. Bahkan sampai lidah kita kelu, kita tak pernah bisa mengutarakan pendapat tersebut.
Pada tahap itu, mungkin kita sudah belajar tentang sebab-akibat dari semua perbuatan dan perkataan kita. Dan itu adalah proses bertumbuh dalam kedewasaan. Atau mungkin, kita hanya mengalah dengan pendapat orang lain karena kita merasa sangat jauh berbeda dengannya. Dan itu adalah proses mengurangi keegoisan diri.
2 notes
·
View notes
Text
NIKMAT ALLAH YANG PRICELESS
Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dengan pekerjaan yang sedang saya gandrungi. Pekerjaan saya, gaji saya saat ini mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan tempat lain yang lebih besar.
Tapi disini, waktu-waktu senggang setelah selesai bekerja, tempat dan suasana bekerja yang sangat membantu dalam hal peribadahan.
Saya bisa shalat tepat waktu di masjid, baca artikel atau buku agama atau sekedar istirahat dengan waktu yang cukup lama.
Atasan saya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu ketika pekerjaan saya selesai. Asal semua beres. Banyak sekali kawan yang bekerja di tempat yang qadarullah Allah memberi ujian dengan pekerjaannya. Waktu yang sempit, istirahat yang sebentar hingga tubuh yang letih karena target pekerjaan. Tentu ini adalah nikmat Allah yang patut diperhitungkan jika kita ingin pindah ke tempat yang lain yang lebih besar gajinya, sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang karena di tempat lain belum tentu seperti ini.
Sama dengan kamu yang kerja di tempat lain, pikirkan kembali dengam matang apabila ingin pindah. Barangkali rezekimu ada di tempat kerjamu. Karena keberkahan itu selalu hadir ketika kita bekerja dengan memenuhi hak-hak dan kewajiban kita kepada Allah.
Ambil sisi positifnya dan tetap bersyukur.
Barakallahu fiikum.
0 notes
Text
Kuterima kau dengan segala apa yang bersanding denganmu.
Eko Puspito
0 notes
Text
Di-nomorsatu-kan adalah hal yang paling menyakitkan ketika kita tidak bisa berbagi kebahagiaan secara bersamaan.
0 notes
Note
Karena mencintaimu masih sebatas rasa, belum menyentuh jiwa.
Katanya cinta ? Fyi, mengapa ego yang slalu tersalurkan! Mengapa ego yang slalu juara?!
Karena yang mencintaimu masih manusia, sepertimu.
13 notes
·
View notes
Text
RTM : Untuk Terus Mencintainya, Kamu Harus Berjuang.
Catatan ini mungkin lebih khusus ke laki-laki. Sebab nanti, selepas menikah. Mungkin dalam pandangan matamu, istrimu tidak akan secantik-semanis-sebaik-dan sesempurna sewaktu kamu dulu memperjuangkannya. Saat ini, bisa jadi kamu bisa menyangkal. Tapi, nanti selepas menikah dan menjalaninya, kamu mungkin baru akan memahami maksudku ini.
Kamu harus berupaya untuk bisa terus mencintai istrimu. Perasaan itu tidak tumbuh seperti rerumputan yang terkena hujan. Perasaan itu adalah pohon besar dan kamu menanamnya sejak bibit. Kamu harus merawatnya, menyiraminya, melindunginya dari hama, menyiangi rerumputan disekitarnya, dan juga kamu harus selalu waspada agar ketika nanti ia sudah cukup besar, tidak ada orang lain yang tiba-tiba datang dan menebangnya.
Perempuan yang barangkali adalah temanmu, rekan kerjamu, atau orang yang tiba-tiba kamu temui di jalan. Mereka mungkin tidak melakukan apapun, tapi matamu tidak. Matamu bisa membuat apa yang terlihat menjadi beribu kalilipat lebih baik, lebih cantik, dan segala kelebihan lainnya yang mungkin akan menyulut perasaan lainnya. Tantangan. Seperti kala dulu kamu memperjuangkan perempuan yang menjadi istrimu saat ini.
Untuk itu, ingat-ingatlah selalu kebaikan perempuan yang sedang di rumah menunggumu pulang. Siapa orang yang paling khawatir kala kamu sakit. Siapa orang yang bisa menerimamu apa adanya saat kamu bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa selain kenekatanmu menikahinya dulu. Siapa orang yang rela bersusah payah mengurus segala keperluanmu, juga keperluan anak-anakmu nanti. Ia bersedia bersusah payah mengandung anakmu sembilan bulan dalam kepayahan yang kamu tidak bisa merasakannya. Anak yang mungkin lebih kamu cintai nantinya daripada istrimu.
Sungguh, untuk terus mencintainya, kamu harus berjuang. Bualanmu tentang cinta saat ini, juga bualanmu tentang segala janji itu bisa aku katakan adalah omong kosong. Sebab nanti, jalan yang amat panjang dan mungkin akan membosankanmu telah menanti. Biar tak bosan, kamu perlu menghidupkan setiap ingatanmu mengapa dulu kamu mau memperjuangkannya, setiap rasa syukurmu, dan iman.
Sebab menikah dengan seseorang yang kamu cintai saat ini bukanlah hadiah, melainkan sebagai ujian baru. Ujian yang hanya bisa kamu jawab ketika kamu menjalaninya, bukan dengan lisan, melainkan perbuatan.
©kurniawangunadi | 10 September 2017
4K notes
·
View notes
Photo

••• يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." _________________ Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, yang bisa kita lakukan hanyalah menyiapkan apa yang akan terjadi pada hari itu. Apa yang kita miliki, apa yang menjadi penyebab kesenangan hati, semoga bisa memberkahi hidup kita hingga hari yang dinanti. Apa yang akan kita persembahkan selain ketakwaan kepada Ilahi sebagai penebus diri? #ekobaceo #sastragraphy #ntms #pengingatdiri #hijrah #garut (di Garut, Indonesia)
0 notes
Quote
Dahulukan keimanan daripada perasaan. Itulah sebabnya kenapa laki-laki yang ingin menikahi perempuan harus menemui ayah ketimbang ibu. Karena seorang ayah cenderung berpikir tidak sepenuhnya menggunakan perasaan. Dan ini, tentu membutuhkan keimanan.
0 notes
Text
Jangan Nunggu Ketemu, Baru Menyesal
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الْمُجْرِم��ونَ نَاكِسُو رُءُوسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا إِنَّا مُوقِنُونَ Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” -Surat As-Sajdah, Ayat 12 Allah Swt. menceritakan keadaan orang-orang musyrik kelak di hari kiamat, juga ucapan mereka ketika mereka menyaksikan hari berbangkit, lalu mereka dihentikan di hadapan Allah Swt. dalam keadaan hina, rendah, dan menundukkan kepala karena malu dan segan yang sangat. Betapa diri kita selalu dimanjakan oleh Allah ta'ala. Ketika kita hidup di dunia kita bebas melakukan apa saja dan Allah selalu mencukupi semua kebutuhan kita. Kita meminta semua yang kita inginkan dan Allah ta'ala selalu memberikannya, dan terkadang (atau bahkan sering sekali) melebihi kebutuhan kita. Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk Allah? Padahal tujuan Allah memberi kehidupan untuk kita tidak lain hanyalah agar kita beribadah kepada-Nya. Dan sekali lagi, Allah selalu memberikan kemudahan untuk kita dalam menjalani titahnya itu. Bangunlah! Bangun! Segera sadari! Jangan sampai kita menyesal ketika sudah bertemu bertatap muka dihadapan-Nya. Janganlah kita berpura-pura tuli dan buta padahal telah jelas peringatan dari-Nya. Ketahuilah, ketika kita sudah berada di persidangan, kita tidak bisa kembali lagi untuk melakukan hal-hal yang Allah senangi, kita tidak bisa menyesali perkataan penyesalan kita setelah berada di persidangan. Merendahlah, merendahlah dihadapan Allah, agar kita termasuk orang yang kembali kepada-Nya dengan jiwa yang tenang, dengan hati yang ridla serta diridlai-Nya. Garut, 09-08-17 ©ibnusyarifudin
0 notes