Tumgik
elmoelma · 4 years
Text
“semoga tidak bertemu lagi. semoga lupa”
10 notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Jika tanpa kau sadari namanya sering kau sebut di sela-sela percakapan dengan teman-temanmu, maka ya, kau memang mencintainya.”
— (via mbeeer)
2K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Siapa yang salah? Kita yang memang tidak tepat? Ataukah waktu kita yang kebetulan saat itu tidak tepat?”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Melihat kau pergi dariku itu memang menyakitkan. Tapi lebih dari itu, mengingat bahwa dulu kau pernah berjanji untuk selalu ada untukku ternyata bisa jadi jauh lebih menyakitkan.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Tolong bilang padanya, aku rindu bisa berbicara dengannya tanpa beban. Membicarakan apa saja. Menertawakan semuanya. Sesuatu yang tak pernah aku dan dia lakukan lagi belakangan ini.”
— (via mbeeer)
2K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Kuharap akan ada satu waktu di masa depan sana di mana kita bisa berbagi cerita bersama tanpa peduli harus menjaga perasaan siapa. Tanpa takut menyakiti siapa. Tanpa perlu bersembunyi dari siapa. Cukup berdua saja.”
— (via mbeeer)
2K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
“Bohong rasanya jika aku tidak merindukanmu. Tapi apa gunanya berharap? Jika sekarang kita tak lebih dari sekedar dua orang asing yang mengetahui rahasia masing-masing.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
elmoelma · 4 years
Text
Dan sama-sama tak bisa diperjuangkan :(
“Sama-sama suka, sama sama saling tahu, tapi tidak bisa bersama, dan sialnya ketemu hampir setiap hari di tempat yang sama.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
elmoelma · 5 years
Text
Refleksi Postpartum
“istri-istri kamu adalah ladang/tempat kamu bercocok tanam” QS Al Baqarah: 223
Pagi ini saya membaca kembali buku Quraish Shihab yang berjudul Pengantin Al-Quran. Mungkin dulu saat pertama kali membuka lembar demi lembarnya, saya belum terkoneksi dengan baik karena seingat saya, saya membacanya di awal usia dua puluh tahun, atau bahkan belasan?
Kini ketika beberapa bagian dibuka kembali, menelusur tiap katanya, jadi ada internalisasi yang cukup terlebih setelah mengalami sepotong demi sepotong kisah berumahtangga. 
Adalah kejadian pascamelahirkan yang begitu saya ingat saat Quraish Shihab menuliskan pembahasan ayat yang tersebut di atas. 
Beliau memaparkan, “Ayat ini tidak hanya berbicara tentang hubungan seks dan perintah untuk melakukannya, atau sekadar mengisyaratkan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma bapak, sebagaimana petani menentukan jenis buah dari beih yang ditanamnya, Tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa bapak harus mampu berfungsi sebagai petani, merawat tanah garapannya (istrinya), bahkan benih yang ditanamnya (anak) sampai benih itu tumbuh, membesar, dan siap untuk dimanfaatkan.”
Lalu ingatan terbang saat detik-detik setelah melahirkan. Saya merasa menjadi seorang yang kuat sekaligus lemah dalam satu tubuh dan jiwa. Saya merasa begitu rapuh sekaligus terpenuhi dalam satu waktu. Dan saya menjadi seperti induk singa sekaligus anak burung yang ditinggal ibunya sebentar di sangkarnya dalam satu kelindan. 
Saat itu secara fisik belum pulih total, secara batin senang sekaligus berkecamuk, kadang cemas, takut kehilangan, merasa bersalah, dan resah datang tidak pakai aba-aba. Misalnya ketika menggendong bayi, takut sekali rasanya tulang-tulangnya patah, “betul tidak ya caraku? dia menangis, apakah aku salah menggendongnya? berkali-kali aku mengangkatnya dari lengan terlebih dahulu, apa tidak masalah?” dan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya jika dikenang, padahal dulunya sangat amat krusial bagiku. Saat itu saya butuh kejelasan, benarkah cara saya? Cukup becuskah saya menjadi ibu? Itu baru urusan menggendong. Belum terkait ASI, jahitan yang tidak kunjung kering, nifas yang berkepanjangan, merasa insecure karena perbedaan pola asuh, stress jam tidur yang berantakan, dan banyak hal lainnya sebagai ibu baru dan perempuan yang bertambah peranannya. 
Dan saya begitu tertolong karena salah satu nikmat yang Allah beri yaitu suami, yang saya tahu tidak sempurna dalam perjalanannya, tapi berusaha menunaikan ayat tersebut. Berusaha menjadi sebaik-baiknya petani. 
Masih saya ingat sampai sekarang betapa sebalnya saya saat kontraksi datang dan saya buru-buru mengajaknya ke Rumah Sakit karena merasa sudah tidak tahan lagi, beliau masih saja mengurusi soal halaman belakang rumah yang belum jadi. Beliau mengontak tukang untuk menggarapnya agar saat saya pulang dari Rumah Sakit, sudah terpasang kanopi sesuai rencananya. Alih-alih mengelus punggung saya atau mengingatkan saya mengatur nafas, beliau sibuk dengan sesuatu yang harus berjalan dengan matang itu: memasang kanopi untuk anak istri.
Rasanya saat itu jika saya boleh marah-marah kepada suami, bapak dari anak yang akan saya lahirkan ini, saya akan marah semarah-marahnya. Tapi saya tahan. Waktu itu seperti tidak ada daya untuk marah saking sakitnya kontraksi yang datang. Sepulang dari Rumah Sakit, saya mensyukuri ketidak marahan saya pada waktu itu, dan memaafkan diri saya sendiri yang memaki suami habis-habisan dalam hati. Alhamdulillah kanopi belakang sudah jadi, saat hujan datang, kami tetap bisa menjemur baju anak, saat pagi dan matahari sudah naik saya bisa menggendong anak saya untuk berjemur tanpa terlalu kepanasan, saat siang saya bisa memasak tanpa harus terlalu takut angin bisa mematikan kompor seperti sebelum-sebelumnya. Dia berusaha maksimal sebagai petani. 
Pun saat kebutuhan kami menjadi dua kali lipat. Aku tahu setiap anak akan ada rezekinya sendiri, tapi juga perlu diikhtiarkan. Dan suamiku begitu gigih berjuang demi popok-popok, kelancaran ASIku, dan benda-benda stimulasi tumbuh kembang anak yang lainnya seperti buku, mainan, kursi, gendongan, dsb. Beliau memutar otak membuka keran-keran rezeki yang lainnya mengingat bertambahnya kebutuhan kami.
Beliau juga menjadi teman terbaik saat aku nyaris terkena baby blues. Meskipun saat itu hanya kata “sabar” yang keluar dari mulutnya, tapi tangannya tiap malam memijat punggungku, kehadirannya utuh membelaku saat mertua, orangtua, keluarga, dan kerabat meremehkanku atau pola asuhku. Dia menjadi benteng yang kokoh sekaligus pintu keluar masuknya unek-unek maupun kata-kataku yang terlontar kurang pantas mungkin saat itu. Kalian tahu, kadang ibu habis melahirkan seberapi-api itu, yang jika tanpa support bagai orang kesetanan. 
Saya jadi paham mengapa para praktisi parenting begitu getol mengajak Ayah untuk kembali dan maksimal dalam perannya di keluarga. Mengapa mereka begitu galak dalam bersuara Ayah harus ikut mengasuh. Karena keluarga yang fatherless memang serapuh itu. Begitu dekat dengan kekerasan, kehampaan, kemiskinan, dan menurunnya kualitas kehidupan. 
Itulah mengapa ayat ini semestinya menjadi bahan renungan kita bersama, tidak semata soal seks dan betapa suami berhak atas istrinya dimana saja, kapan saja, tapi juga berkewajiban atas istri dan keluarganya dimana saja dan kapan saja. 
Para suami, kembalilah pulang, peluk, dukung, dan upayakanlah terus keluargamu…sebagaimana kamu mengupayakan impian dan ambisimu. 
Para suami, temanilah istri-istrimu, bercocok tanam dan perhatikan garapanmu meski itu saat hujan, badai, kemarau, maupun pancaroba. Jangan hanya berharap cuaca bersahabat setiap saat. 
Para suami, para ayah, para lelaki, saya menuliskannya sebagai perempuan yang merasa bahwa saya tumbuh sampai detik ini, juga atas jasa petani saya bercocok tanam meski kadang dia juga kurang betul dalam menyirami, kadang lupa memberi pupuk, pernah juga kepanasan dan agak layu, tapi tak mengapa, dia tengah berupaya. Tak henti doa saya, supaya petani saya senantiasa ada dan berkarya maksimal di ladang garapannya. 
Semangat berjuang petaniku, dan untuk benih-benihnya semoga tumbuh kuat mengakar, juga kian merunduk ketika kian berisi, bagai padi,
1K notes · View notes
elmoelma · 5 years
Text
Refleksi Postpartum
“istri-istri kamu adalah ladang/tempat kamu bercocok tanam” QS Al Baqarah: 223
Pagi ini saya membaca kembali buku Quraish Shihab yang berjudul Pengantin Al-Quran. Mungkin dulu saat pertama kali membuka lembar demi lembarnya, saya belum terkoneksi dengan baik karena seingat saya, saya membacanya di awal usia dua puluh tahun, atau bahkan belasan?
Kini ketika beberapa bagian dibuka kembali, menelusur tiap katanya, jadi ada internalisasi yang cukup terlebih setelah mengalami sepotong demi sepotong kisah berumahtangga. 
Adalah kejadian pascamelahirkan yang begitu saya ingat saat Quraish Shihab menuliskan pembahasan ayat yang tersebut di atas. 
Beliau memaparkan, “Ayat ini tidak hanya berbicara tentang hubungan seks dan perintah untuk melakukannya, atau sekadar mengisyaratkan bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh sperma bapak, sebagaimana petani menentukan jenis buah dari beih yang ditanamnya, Tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah bahwa bapak harus mampu berfungsi sebagai petani, merawat tanah garapannya (istrinya), bahkan benih yang ditanamnya (anak) sampai benih itu tumbuh, membesar, dan siap untuk dimanfaatkan.”
Lalu ingatan terbang saat detik-detik setelah melahirkan. Saya merasa menjadi seorang yang kuat sekaligus lemah dalam satu tubuh dan jiwa. Saya merasa begitu rapuh sekaligus terpenuhi dalam satu waktu. Dan saya menjadi seperti induk singa sekaligus anak burung yang ditinggal ibunya sebentar di sangkarnya dalam satu kelindan. 
Saat itu secara fisik belum pulih total, secara batin senang sekaligus berkecamuk, kadang cemas, takut kehilangan, merasa bersalah, dan resah datang tidak pakai aba-aba. Misalnya ketika menggendong bayi, takut sekali rasanya tulang-tulangnya patah, “betul tidak ya caraku? dia menangis, apakah aku salah menggendongnya? berkali-kali aku mengangkatnya dari lengan terlebih dahulu, apa tidak masalah?” dan pertanyaan-pertanyaan konyol lainnya jika dikenang, padahal dulunya sangat amat krusial bagiku. Saat itu saya butuh kejelasan, benarkah cara saya? Cukup becuskah saya menjadi ibu? Itu baru urusan menggendong. Belum terkait ASI, jahitan yang tidak kunjung kering, nifas yang berkepanjangan, merasa insecure karena perbedaan pola asuh, stress jam tidur yang berantakan, dan banyak hal lainnya sebagai ibu baru dan perempuan yang bertambah peranannya. 
Dan saya begitu tertolong karena salah satu nikmat yang Allah beri yaitu suami, yang saya tahu tidak sempurna dalam perjalanannya, tapi berusaha menunaikan ayat tersebut. Berusaha menjadi sebaik-baiknya petani. 
Masih saya ingat sampai sekarang betapa sebalnya saya saat kontraksi datang dan saya buru-buru mengajaknya ke Rumah Sakit karena merasa sudah tidak tahan lagi, beliau masih saja mengurusi soal halaman belakang rumah yang belum jadi. Beliau mengontak tukang untuk menggarapnya agar saat saya pulang dari Rumah Sakit, sudah terpasang kanopi sesuai rencananya. Alih-alih mengelus punggung saya atau mengingatkan saya mengatur nafas, beliau sibuk dengan sesuatu yang harus berjalan dengan matang itu: memasang kanopi untuk anak istri.
Rasanya saat itu jika saya boleh marah-marah kepada suami, bapak dari anak yang akan saya lahirkan ini, saya akan marah semarah-marahnya. Tapi saya tahan. Waktu itu seperti tidak ada daya untuk marah saking sakitnya kontraksi yang datang. Sepulang dari Rumah Sakit, saya mensyukuri ketidak marahan saya pada waktu itu, dan memaafkan diri saya sendiri yang memaki suami habis-habisan dalam hati. Alhamdulillah kanopi belakang sudah jadi, saat hujan datang, kami tetap bisa menjemur baju anak, saat pagi dan matahari sudah naik saya bisa menggendong anak saya untuk berjemur tanpa terlalu kepanasan, saat siang saya bisa memasak tanpa harus terlalu takut angin bisa mematikan kompor seperti sebelum-sebelumnya. Dia berusaha maksimal sebagai petani. 
Pun saat kebutuhan kami menjadi dua kali lipat. Aku tahu setiap anak akan ada rezekinya sendiri, tapi juga perlu diikhtiarkan. Dan suamiku begitu gigih berjuang demi popok-popok, kelancaran ASIku, dan benda-benda stimulasi tumbuh kembang anak yang lainnya seperti buku, mainan, kursi, gendongan, dsb. Beliau memutar otak membuka keran-keran rezeki yang lainnya mengingat bertambahnya kebutuhan kami.
Beliau juga menjadi teman terbaik saat aku nyaris terkena baby blues. Meskipun saat itu hanya kata “sabar” yang keluar dari mulutnya, tapi tangannya tiap malam memijat punggungku, kehadirannya utuh membelaku saat mertua, orangtua, keluarga, dan kerabat meremehkanku atau pola asuhku. Dia menjadi benteng yang kokoh sekaligus pintu keluar masuknya unek-unek maupun kata-kataku yang terlontar kurang pantas mungkin saat itu. Kalian tahu, kadang ibu habis melahirkan seberapi-api itu, yang jika tanpa support bagai orang kesetanan. 
Saya jadi paham mengapa para praktisi parenting begitu getol mengajak Ayah untuk kembali dan maksimal dalam perannya di keluarga. Mengapa mereka begitu galak dalam bersuara Ayah harus ikut mengasuh. Karena keluarga yang fatherless memang serapuh itu. Begitu dekat dengan kekerasan, kehampaan, kemiskinan, dan menurunnya kualitas kehidupan. 
Itulah mengapa ayat ini semestinya menjadi bahan renungan kita bersama, tidak semata soal seks dan betapa suami berhak atas istrinya dimana saja, kapan saja, tapi juga berkewajiban atas istri dan keluarganya dimana saja dan kapan saja. 
Para suami, kembalilah pulang, peluk, dukung, dan upayakanlah terus keluargamu…sebagaimana kamu mengupayakan impian dan ambisimu. 
Para suami, temanilah istri-istrimu, bercocok tanam dan perhatikan garapanmu meski itu saat hujan, badai, kemarau, maupun pancaroba. Jangan hanya berharap cuaca bersahabat setiap saat. 
Para suami, para ayah, para lelaki, saya menuliskannya sebagai perempuan yang merasa bahwa saya tumbuh sampai detik ini, juga atas jasa petani saya bercocok tanam meski kadang dia juga kurang betul dalam menyirami, kadang lupa memberi pupuk, pernah juga kepanasan dan agak layu, tapi tak mengapa, dia tengah berupaya. Tak henti doa saya, supaya petani saya senantiasa ada dan berkarya maksimal di ladang garapannya. 
Semangat berjuang petaniku, dan untuk benih-benihnya semoga tumbuh kuat mengakar, juga kian merunduk ketika kian berisi, bagai padi,
1K notes · View notes
elmoelma · 5 years
Text
“Entah kamu yang tidak peka, atau sandiwaraku terlalu berwarna, hingga pada akhirnya kamu malah menyangka bahwa aku telah benar-benar bahagia.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
elmoelma · 5 years
Text
Pada dasarnya setiap manusia memiliki potensi bermuka dua
E.O
0 notes
elmoelma · 5 years
Text
“hal tersulit di dunia ini adalah menghindar dari doa ibu.”
98 notes · View notes
elmoelma · 6 years
Text
“Percayalah, aku pun tak pernah menginginkan ini semua berakhir. Tapi ntah kenapa ini semua seperti sengaja tercipta untuk kita.”
— (via mbeeer)
336 notes · View notes
elmoelma · 6 years
Text
“Pernahkah kau merasa seperti seorang figuran dalam kisah yg kau tulis sendiri?”
— (via mbeeer)
571 notes · View notes
elmoelma · 6 years
Text
Jika bukan kepadaku, beri kekuatan kedapa ia untuk mengakhirinya.
E.O
0 notes
elmoelma · 6 years
Text
Entah mundur secara perlahan atau tetap harus bertahan.
E.O
0 notes