Text
18022023
Ada banyak hal yang ingin aku dengar dan tidak ingin aku dengar. Beberapa hal itu ketuker kadang. Jadinya sakit. Padahal aku juga nggak terlalu spesifik hal yang ingin kudengar apa dan hal yang nggak ingin kudengar apa. Sebatas akan terasa ketika itu terucap dan rasanya sakit. Mungkin saja aku sudah keterlaluan juga ke orang, jadi itu balesan untukku instan ataupun nggak.
Oiya tadi siang, sampe mikir. Kayanya aku suka punya temen cowok. Iya temen aja. Bukan gimana-mana. Bukan ada rasa ingin memiliki bahkan suka. Bukan. Cuma nggak ribet aja. Simpel. Yang hidupnya simpel aja. Bukan backgroundnya. Cewe juga gapapa ding, cuma syaratnya simpel. Sesimpel ghozia minimal.
Di sini, muncullah temen baru cowok. Dengan pov yang agak lain. Dan muncullah sebuah kesimpulan kecil, "ini kah wujud perlindungan dari Sang Pencipta kalo aku pengen punya temen cowok tapi yang aman?". Tapi seketika aku langsung menepisnya, tapikan di luar konteks yang bisa diperhitungkan. Jadi sebenernya hikmah apa yang harus aku ambil? Baru kali ini aku memikirkan kesimpulan berkali-kali saking tidak yakinnya.
4 notes
·
View notes
Text
08022023
Menikmati hal yang berbeda. Cuma, sedikit larut. Tapi sampe tenggelam beberapa kali. Baru sadar, kesombongan yang pernah muncul. Bahwa tanpa perlindungan penuh-Nya, jalan yang dipilih semakin berkelok. Semakin keluar jalur. Sentripetal.
0 notes
Text
13022021 0151
Sabtu. Enola Holmes. Cukup memberikan sedikit gambaran. Perempuan dengan banyak kode. Banyak simbol. Tidak merasa perlu menyerah.
Kamu dengan hidupmu yang cukup pelik. Tak ada yang bisa kamu ajak main. Sendiri. Tapi kamu menyukainya.
0 notes
Text
28112020
Sabtu yang cukup cerah. Menyambut 2 hari libur dengan lumayan. Rencana berubah Jumat kemarin. Bandungan cancelled. Sebagai gantinya, Allah menakdirkan tempat lain dikunjungi. Yoi, pas. Lempuyangan memanggil. Liburan akan segera dimulai. Perpaduan insomnia yang belum sembuhsembuh hampir 3 minggu dengan pergi main saat waktunya tidur, well sangat profesional.
Siang cukup terik, bergegas pas jam 12 siang melaju ke Lempuyangan. 30 menit berlalu dijalan, wah sampai juga. 3 orang menyambut ramah, "Halo Em!". Basa basi asik setelah 2 minggu vakum berkunjung. 1 orang yang lain sedang rebahan. Tersisa 1 orang lagi, datang 10 menit kemudian. Mas Budhi, Mas Gatra, Nanda, aku, Mas Srumbung (Heru), dan Mas Kencot (Faisal). Kedua nama sapaan aneh itu diambil dari daerah asal tempat tinggal mereka.
Kurang lebih 20 menit setelah relaksasi, perjalanan dimulai. Kami berenam. Mas Budhi leader perjalanan kali ini. Baru sekian meter berangkat, beberapa cukup haus. Aku ikut saja. Jelas. Mampirlah ke minimarket segala umat, Indomaret. Beli Good Day Tiramissu, satu.
Lanjut. Dengan kekuatan gas yang tidak cukup cepat, kami melaju menuju pantai selatan. Rencananya melewati rute rumah Nikita. Seharusnya dia sudah pulang kerja, katanya Sabtu masuk setengah hari. Dan entahlah, estimasinya melebihi ambang. Semi-rodi bergaji. Begitulah alasan kenapa Nikita tak berambisi dan skip.
Sampailah di ujung. Jalan Lintas Selatan. Lumayan juga ya, retribusinya. Belum lagi pertanyaan, "Kemana dulu nih". Pas, ada jalan setapak lepas pantai. Sepertinya. Kami mengikuti jalannya, dengan pelan. Ada atap penyu terlihat dari kejauhan. "Apatuh", kata yang muncul pertama kali. Penangkaran penyu ternyata. Dan sepertinya satusatunya. Tak ada pengunjung, tak juga penjaga. Kami keliling keliling. Ada satu penyu, tertulis turtoice dan turtle di banner cukup usang yang dipasang di atas kandang. Dijelaskan bahwa keduanya adalah famili yang sama tapi berbeda spesies. Spesies dengan jenis kaki yang berkuku dan tidak.
Setelah beberapa menit berhenti dengan humor paten tahun 2000an, kami beranjak ke pantai. Kurang lebih 100 langkah dari penangkaran penyu. Tentu kami tidak jalan kaki, motor kami bawa sampai depan pantai persis. Cukup hardcore, ban belakang Nmax Mas Faisal masuk pasir cukup dalam. Tanpa perlu standar samping dia biarkan begitu saja tanpa parkir.
Anak senjawi mungkin akan menyukai tongkrongan vibes kali ini. Ombak, lamunan, sepoi, tanpa kopi. Cukup untuk membuat stories aestetik selama seminggu. Dan tentu masih dengan jokes tahun 2000an yang sama, dengan modifikasi yang cukup epik mereka menjelaskan banyak hal dengan ilmiah. Cukup sengklek otakotak kali ini.
Lanjut ke jalan lingkar selatan lewat Goa Cemara dengan iringan musik JBL frekuensi sedang, kami lanjutkan petualangan ke Laguna. Vibesnya baubau pedesaan Jepang. Cukup menenangkan mata. Tak terlihat ada jalan bagus untuk diteruskan. Tetap saja, gas. Niatnya "apapun yang terjadi dilarang balik". Dan menyusuri area persawahan, luas. Sampai fasih, 'monggomonggo'. Salam santun untuk penggiat tani. Cukup beradab bukan. Oiya lubang jalannya, cukup metal juga.
Ujung jalan, ah bukan. Ujung sawah, ada jalan besar. Kami ambil arah kanan. Ada beberapa layanglayang naga diterbangkan. Cukup menguras energi sepertinya, butuh lebih dari 2 orang. Satu operator, satu memegang bagian kepala naga, satu yang lain memegangi badan naga bagian tengah, dan satu terakhir memegang bagian ekor. Menantang, tapi tidak savemode.
Lanjut lagi dengan perjalanan hardcore sesi 2. Sekitar hampir jam 3 sore, adzan berkumandang. Kami masih dijalan setapak, dekat tambak udang dengan kincir air untuk sirkulasi udara. Cukup gelap dan suram. Ada aktivitas makhluk hidup terpantau di area yang jarang terjamah. Rumah, lampu, motor, dan listrik. 15 menit sampai diujung, ada jalan besar pedesaan. Oh ternyata. Sampai di daerah Kretek, persis jalan dekat rumah Ivan.
Lanjut ke jembatan Kretek. Sungai Opak yang sungguh aestetik. Terlihat dari atas jembatan, ada mbakmbak atlit kano sedang berlatih mengayuh ditengah sungai besar itu. Tebakan cenayang sih. Mbaknya pakai baju ala atlit Asean Games soalnya.
Menghindari retribusi #2, dulu pernah diajak lewat jalan belakang tembus deretan losemen belakang Pantai Parangtritis. Dulu (SMA kelas VIII), 5 tahun yang lalu. Kami lewat rute itu. Kami suka dengan adrenalin, eh mereka maksudnya. Santai di 700 meter pertama. Tidak dengan setelahnya. Dengan vibes KKN, kami semangat dan berenergi. Tidak ada tandatanda kalau jalan ini jalan favorit. Tidak ada tanda kehidupan. Tidak ada jalan yang layak. Tidak ada penerangan. Hutan jati yang cukup lebat. Dan ya, itu lebih hardcore dari kedua sesi hardcore sebelumnya.
...
Lanjut. Kurang lebih 30 menit lebih lama dari pada bayar retribusi yang cukup 5 menit sampai pantai. Semua motor kami matic dan tidak cukup cocok untuk track rute kali ini. Beberapa kali motor terjebak di lubang jalan. Oh tidak lumpur hisap. Agak ekspresionis berlebih. Untungnya kami berenam, cukup gesit dalam perangkatangkatan. Mereka sih.
Sampai juga dibelakang losemen. Sibuk memantau sekitar, dimana mushola. Tidak ada. Oke, lanjut ke Paralayang. Sudah jam 4 lebih. Retribusi #3. Kami bayar. Sungguh budget yang fana. Tidak ada jalan lain dan sudah sore. Kami berencana secepatnya, sudah ditunggu matahari. Sampaisampai menuju mushola dan toilet.
Indie yang keterlaluan kan. Kami naik dan duduk agak atas. Tetap sama, JBL bluetooth dinyalakan. Suasanya sudah model mau nonton layar tancap. Banyak yang datang soalnya. Tibatiba, nikita telpon. Mau nyamperin sesegera mungkin. Terobsesi lebih tepatnya memaksaan join setelah kerja. Subhanallah. Laut, ombak, dan hijauhijauan yang epik. Belum dengan matahari yang mulai turun. 10 menit sebelum magrib, turun. Lapar, lanjut ke Mides Pundong. Maps googling, "area tercepat ke mides", lewat area metal yang lain. Persawahan gelap arah rumah zaen. Dan sampai di mides, sholat magrib.
Pesen beberapa mides jumbo. Agak barbar pesennya. Menunggu yang sangat lama. Hingga tak terasa sudah jam 8 malam. Sangat lapar dan tidak berenergi. Jam 20.30 makanan minuman sampai. Segera terlahap degan cepat. Tidak main main untuk masalah perut.
Jam 9 pulang. Hujan agak lebat. Aku didepan, sampai manding. Karena terkendala kacamata berembun, kami sepakat ganti posisi dan jelas bermantol. Sampai di Lempuyangan, berhenti dan mencuci motor sebentar. Takut ditanya kemana saja, karena bekas lumpur cukup tebal di bagian roda. Mas Budhi mencucikan dengan faseh. Sungguh masmas yang baik.
Lanjut perjalanan. Ke Gandhok. Siper, Ghozia, dan Yogabagas sudah menunggu. Tidak memesan apapun, hanya say hi. Mendengar cerita yang lumayan mengecewakan. Semuanya tidak mau mengulag cerita yang sebelumnya mereka bahas.
Lelah, pulang.
1 note
·
View note