Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
#MenyusuiRarra: To Do List
Beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk via whatsapp dan DM instagram.
“Adek, bagi tips pumping dong!”
“Mbak, bisa sharing cara naikin produksi ASI gak?”
“Cara ASI tambah banyak gimana mb?”
Sebenarnya... setelah kupikir-pikir, ASInya Rarra ini tidak terlalu banyak. Maksudku, masih ada bu-ibu lain yang baby-nya seumuran Rarra tapi 2 kulkas freezer aja udah mau penuh aja. ASI yang ada alhamdulillah Allah berikan sesuai kebutuhan Rarra. Akhir-akhir ini, frekuensi pumping memang jauh berkurang. Biasanya sehari bisa 5 kantong ASI. Sekarang pumping sehari paling hanya 2-3x aja. Karena saya sendiri merasa kulkas freezer sudah mau penuh, sementara Rarra punya waktu yang (ternyata) cukup banyak dengan saya untuk DBF. Tujuan saya memang lebih ke DBF. Bukan breastfeed dengan media.
Teman-teman yang sharing dengan saya kebanyakan bingung praktik konkritnya, bahkan bila ini adalah pengalaman hamil yang kedua. Ada yang cerita bahwa kehamilan pertamanya tidak ASI ekslusif (dengan berbagai alasan misalnya terkena sufor karena produksi ASI benar-benar seret, atau karena dukungan lingkungan yang kurang) atau tidak pumping karena bisa langsung DBF 24 jam sementara yang kehamilan berikutnya bukan kehamilan tunggal. Cerita saya ini adalah apa-apa yang sudah saya kerjakan di awal demi menggenjot produksi ASI saat itu. Hasilnya mungkin berbeda yaa untuk tiap orang karena kondisi dan masalah tiap orang juga berbeda. Semoga bisa diambil manfaatnya. Dimodifikasi saja sesuai kebutuhan. Saya juga memodifikasi apa yang saya baca di ignya mb @olevelove (mamak pertetean sejagat instagram),@asiku.banyak, teman-teman saya khususon mama 4 anak dr. Rani dan mama Nindy. Hehe.
Pertama, saya perbaiki asupan nutrisi saya. Minum 3L/hari. Lebih mudah bila menyediakan botol khusus 500 cc atau 1 L sehingga mudah mengontrol dan menjamin jumlahnya. Pagi hari, saya sarapan seperti biasa plus asifit dan tablet Fe. Tidak ada sarapan khusus karena waktu itu bulan puasa dan masih rempong dengan urusan memandikan bayi. Siangnya, suami selalu sediakan 1 mangkuk bubur kacang hijau untuk appetizer, makanan utama, air minum, segelas jamu (yang cuma saya minum beberapa hari di awal karena pahit 😭) atau ASI BOOSTER TEA (ABT), asifit dan tablet Fe. Malamnya makan seperti biasa plus ABT dan air minum. Di sela-sela itu saya selalu ngemil. Bukan snack khusus untuk booster asi sih. Pokoknya kudu banyak makan! Bahkan biasanya, setelah nyusui, berasa banget haus dan laparnya. Pasti makan/minum banyak lagi 😄.
Sebenarnya ada banyak ASI booster yang tersedia di pasaran. Tapi, saya hanya mencoba ABT, teh celup dan cookies mama bear. Untuk saya, ABT lebih banyak bermanfaat dibandingkan teh celup mama bear. Aromanya sama, tapi jauh lebih kuat aroma ABT. Bahkan, bau keringat saya pun berubah. Agak berbau rempah-rempah gitu. Aroma mama bear lebih bersahabat dan rasanya lebih ringan dibandingkan ABT. Cookies mama bear menurut saya enak juga. Tapi, lagi-lagi belum banyak efek yang saya rasakan saat itu. Plus, juga karena saya tidak terlalu suka ngemil snack macam cookies begitu. Saya lebih senang ngemil buah-buahan. Lebih segar dan menurut saya juga punya efek hidrasi. Makin banyak minum, makin turah juga ASInya. Hehe.
Selanjutnya, menyusui secara langsung (direct breastfeeding/DBF) dan pumping. Sesungguhnya, di masa-masa menggenjot produksi ASI itu saya dan Rarra belum terlalu pintar menyusu/i secara DBF. Puting lecet, perlekatan belum baik, sehingga efeknya saya emosi terus, nangis terus karena kesakitan. Sedangkan Rarra nangis karena masih lapar dan belum puas. Waktu itu justru saya lebih semangat pumping dibanding DBF.
Jadwal pumping cukup rutin 3-4 jam sekali. Dengan durasi 20-30 menit. Masing-masing PD 10-15 menit. Saya pakai Spectra 9+ yang punya mode massage dan expression. Dalam 10 menit itu, biasanya saya mulai dengan 2 menit massage dan 8 menit expression. Expression kadang saya lanjutkan hingga ASIP hanya berupa tetesan saja. Rata-rata 8-13 menit. Mode massage dibutuhkan untuk menimbulkan let down reflex (LDR). Biasanya, bila sudah biasa pumping, LDR bisa terpicu meski kurang dari 2 menit mode massage.
Sesi pumping ini awalnya kejar-kejaran dengan jam Rarra menyusu. Pada awalnya, Rarra menangis minta menyusu saat saya selesai pumping atau ketika PD sudah hampir kosong. Tentu saja Rarra marah karena masih lapar 😂😅. Akhirnya, jadwal pumping diubah. Sesi pumping dimulai setelah Rarra menyusu dan dimulai dari PD yang baru saja Rarra susui kemudian dilanjutkan ke sisi sebelahnya dan dikerjakan bergantian PD kanan dan kiri. Namun, sesi pumping ini tetap disesuaikan dengan jadwal 2-3 jam sekali.
Misalnya, jam 01.00 Dbf kanan, pumping kiri. 04.00 dbf kiri, pumping kanan.
07.00 dbf kanan, pumping kiri.
Dan seterusnya.
Prinsip pumping dan dbf adalah sama, mengosongkan PD. Semakin sering PD dikosongkan, makin sering pula PD penuh dengan volume yang makin banyak.
Sesi pumping rata-rata 20-30 menit. Di luar ini, saya selalu sempatkan untuk power pumping 1x/hari selama 1 jam. 10 menit PD kanan-10 menit PD kiri, masing-masing 3x bergantian. Baiknya memang dikerjakan di malam hari, karena hormon produksi ASI terbanyak di malam hari. Tapi, karena saya kelelahan, sesempatnya saya saja. Kadang saya lakukan subuh, kadang saya lakukan pagi hari. Jadwal ini juga ada baiknya mempertimbangkan bukan hanya stamina ibu, tapi juga ketenangan bayi. Misalnya bayi lebih lama tidur saat malam hari, maka lebih baik bila dikerjakan saat malam hari. Pokoknya sempatkan sehari 1x.
Untuk DBF, perhatikan betul-betul apakah DBF efektif atau tidak. Beberapa yang mungkin bisa diperhatikan adalah durasi menyusu bayi adalah 15 menit tanpa terputus. Hal ini berkaitan dengan komposisi ASI itu sendiri. Awal menyusu, ASI mengandung banyak laktosa yang memancing bayi untuk menyusu lebih semangat sedangkan di akhir sesi menyusu lemak yang lebih banyak ada sehingga menimbulkan efek kenyang dan bayi berhenti menyusu di menit-menit ke-15. Perhatikan juga perlekatan bayi pada bagian payudara yang gelap. Di banyak literatur disebutkan bahwa bagian gelap payudara bagian atas lebih banyak terlihat dibanding yang bawah karena posisi mulut bayi lebih banyak menutupi bagian bawah, bibir bawah bayi menghadap ke luar, dan dagu menempel ke payudara ibu. Nafas dan suara menelan bayi bersinergi dengan jeda nafas yang agak panjang. Bagian pipi tampak gerakan mengunyah. Jadi, bukan gerakan bibir saja yang tampak mengenyot. Bila beberapa tanda ini tidak ditemui pada bayi, bisa jadi perlekatan belum baik. Biasanya bayi akan sangat rewel karena masih lapar. Kemungkinannya antara lain adalah posisi menyusu yang kurang pas serta bisa jadi ada lip/tongue tie (nah yang terakhir ini bisa diperiksakan ke DSA saja ya).
Kesulitan yang saya alami saat itu adalah latch on/perlekatan yang belum baik. Saya sulit memposisikan bayi agar menyusu dengan efektif. Akibatnya puting lecet. Tanya kanan-kiri, semuanya bilang, ITU WAJAR. Tapi untuk saya, sakitnya tidak wajar. Bikin nangis, ya Allah... coba nonton tutorial di video yang dibagi mama Nindy, belum juga berhasil. Akhirnya, solusi yang saya ambil adalah berobat ke klinik laktasi. Awalnya konselor mengidentifikasi masalah saya apa dan menyampaikan bahwa posisi menyusu saya tidak membuat nyaman saya dan Rarra. Saya duduk terlalu tegak sehingga tidak membuat Rarra mencari puting saya. Posisinya lebih kepada saya memaksa Rarra menyusu. Kurang santai. Padahal aslinya, bayi tahu bagaimana cara menyusu yang nyaman untuk ibu dan dirinya. Konselor saya membantu memposisikan saya waktu itu. Juga mengajarkan posisi menyusu dalam posisi saya berbaring. Selanjutnya, pengasuh Rarra yang kebetulan saat itu juga ikut menemani saya, diajarkan untuk memberi ASIP dengan menggunakan cup feeder. Benar-benar diwanti-wanti untuk tidak menggunakan dot/empeng untuk menghindari bingung puting.
Selanjutnya, tidak stress dan menghindari kelelahan. Saya harus banyak-banyak berterima kasih dan berbakti untuk suami saya. Suami saya saat itu benar-benar membantu saya menyusui dengan baik. Mulai dari menyiapkan dan memastikan nutrisi dan jam istirahat saya, mencuci peralatan pumping, menyusui Rarra di sebagian jam menyusui di malam hari sehingga saya masih bisa istirahat agak lama. Waktu itu memang saya menggunakan sebagian dari stok ASIP di malam hari atau di siang hari bila puting saya terlalu lecet untuk disusukan pada Rarra. Orang tua, kakak-kakak dan ART di rumah juga benar-benar support saya untuk menyusui dengan optimal. Menyediakan menu makan yang bergizi, tidak mengizinkan mengerjakan pekerjaan domestik, membelikan ASI booster dll. Benar-benar rezeki besar untuk Rarra dan saya.
Jadi bisa saya bilang bahwa komitmen untuk menyusui eksklusif haruslah datang dari ibu dan lingkar terdalam ibu.
Menghindari stress juga bisa dimulai dari diri sendiri. Jangan iri melihat kulkas yang penuh ASIP dan dipamerkan ibu-ibu lain ya bu... Sesungguhnya mereka hanya ingin mengapresiasi diri sendiri saja. Tapi, sebenarnya semuanya juga melalui proses yang sama dan bertahap. Yakin aja suatu saat kita akan pamer juga. Haha.
Terakhir dan termasuk tambahannya, untuk menambah semangat, setiap harinya hasil pumping dan frekuensi DBF saya catat setiap harinya. Target saya, hasil total pumping hari itu minimal sama dengan kemarin dan tidak defisit dibandingkan dengan pemakaian stok ASIP hari itu. Saya catat jam berapa saya dbf dan pumping beserta volume ASIP yang saya dapat maupun pakai. Besoknya saya jadikan patokan untuk dbf/pumping hari itu. Mungkin bisa dilihat di lampiran foto ya catatan-catatan saya.
Saya sadar kok, apa yang saya kerjakan gak sempurna. Tapi untuk saya ini sudah sesuai dengan kondisi saya maupun Rarra. Semoga semuanya mudah dipahami, bisa diadaptasi dan membantu teman-teman sekalian ya. InsyaAllah yang berikutnya tentang cara penyimpanan ASIP yaa.
Dokumentasi pribadi: sebagian catatan jumlah ASI perahan dan jadwal menyusui. Dimulai sejak usia kurang lebih 2 minggu.






0 notes
Text
#MenyusuiRarra: Part 3
Apakah kemudian drama per-ASI-an ini selesai? Tentu saja belum. Bahkan saat aku mengetik ini, drama ini belum selesai. ASIku sudah berlimpah. Namun, putingku yang lecet menahanku untuk memberikannya pada Rarra. Tetap kuberi, namun dengan derai airmata kesakitan. Setiap kali Rarra menangis minta menyusu, aku stress, dan langsung terbayang sakitnya. Puting yang lecet kanan kiri pula... tak ada pilihan lain selain tetap memberikannya dengan penuh kesakitan. Bila Rarra menyusu di sisi kanan, nyeri di luka lecetnya terasa menggigit sekali hingga juga terasa di payudara kiri. Payudaraku terasa panas dan kebas saking nyerinya. Berulang kali kubilang pada suamiku, “Kasih jeda panjang untuk punya anak lagi ya.” Atau “aku gak mau punya anak lagi. Cukup 1.” Saking menakutkannya pengalaman menyusui ini. Suamiku tak pernah menjawab pernyataanku yang kedua.
Suamiku pun stress melihat kami berdua. Rarra menangis karena belum puas menyusu. Aku menangis karena kesakitan.
Di tengah kebingungan ini, aku bersyukur karena tak pernah berhenti berusaha mencari solusi. Sebanyak mungkin aku membaca cara menyusui yang benar dari media sosial macam instagram hingga youtube. Kutanya kanan-kiri apakah pengalamanku ini sama seperti pengalaman mereka? Bagaimana dulu mereka menyelesaikannya?
“Wajar kok lecet itu. Dulu putingku itu udah kiwir-kiwir seperti mau lepas. Pernah juga berdarah-darah hingga ke daster. Tapi tetap kuberikan. Kamu pasti bisa.”
Kalimat ini menghiburku. Juga tidak. Seolah bilang bahwa kesakitanku belum ada apa-apanya. Menurut suami, orang lain menganggapku terlalu cengeng.
Kalimat yang cukup menenangkan datang dari mama persusuan Rarra. Dia bilang, dia pun mengalami masalah yang sama. Masalah yang paling sering dialami itu memang masalah perlekatan bayi. Diapun dulu belajar dan tanya sana sini. Dia bagi link youtube dari channel mama panutannya.
“Dulu aku bahkan sampe anak usia 2 bulan masih susah latch on-nya kok mbak... tapi pasti bisa!”
Lalu? Gak mungkin kan aku membiarkan ini semua menunggu Rarra 2 bulan atau bahkan menunggu putingku kiwir-kiwir mau lepas dan berdarah-darah?
Pernah suatu ketika, saya sendiri di kamar. Suami saya entah mengurus apa malam itu. Rarra menangis ingin menyusu. Namun lagi-lagi, perlekatan yang tidak sempurna dan luka lecet itu membuat proses menyusui ini dipenuhi tangisan Rarra yang marah. Saya gendong dan peluk ia erat. Saya menangis tanpa berkata apa namun dalam hati, “naaaakkk, udah dong jangan nangiiis. Tadi kan udah nyusunyaa.. maaf ya nak, ibu ndak kuat sakitnya...” Rarra menangis dan merengek. Terbersit pula pikiran jahat, “parasit apa iniii yg ada di pelukanku??” Kemudian saya istighfar. Sekelebat teringat berita-berita kriminal di tv, “IBU MEMBUNUH ANAKNYA SENDIRI YANG MASIH BERUSIA 1 BULAN.” Terbayang juga isi berita serupa yang bilang “di pipinya penuh cubitan dan sudutan rokok.” Kemudian saya menjadi takut dan memandang wajah Rarra yang masih nangis. Pikir saya saat itu, “astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah... dia masih bayi. Dia menangis bukan karena apa. Dia hanya bisa menangis untuk bilang ‘BU, AKU MASIH LAPAR.’ Bukan karena ingin menguji kesabaranku atau ingin nakal... setelahnya aku peluk ia erat-erat... kami mulai lagi proses (belajar) menyusui yang menyakitkan itu.
2 hari pasca keluar dari RS, malam harinya, Rarra kulihat kuning lagi. Kami panik. Esoknya, kami berencana ke Surabaya karena jadwal kontrolku. Rencananya sekalian ingin kuperiksakan Rarra ke DSA Surabaya. Tapi bila kondisi Rarra begini, kami ragu. Suami menawarkan untuk membawa ke UGD. Aku menolak. Menolak berpisah lagi dengan Rarra karena sudah pasti akan disarankan opname lagi. Tapi aku takut dia kejang karena kuningnya.
Tahu apa yang kulakukan? Menangis (well, apalagi yang bisa dilakukan ketika bingung cobak?). Pada akhirnya kami bertahan. Aku berjuang agar Rarra malam itu banyak menyusu. Tidak peduli putingku mungkin sobek sebagaimana.
Esoknya kami tetap berangkat ke Surabaya.
***
“Alhamdulillah beratnya naik. Meski hanya sedikit. Kuning ya bayinya? Sekarang masih kuning kah? Yuk diperiksa. Oh enggak, ini gak kuning. Diagnosisnya, bayi sehat. Jadi saya tidak beri terapi apa-apa ya. Lanjutkan imunisasi di faskes pertama.” Ucapan DSA Surabaya ini menenangkanku. Tapi kemudian aku ragu.
“Semalam sepertinya kuning dokter...”
Beliau tersenyum seperti paham betul kekhawatiran dan kebodohan orang tua baru.
“Bayi ASI menjadi kuning di awal kehidupannya itu wajar kok. Bahkan bisa berulang selama kurang lebih 1 bulan usianya. Tapi, selama bayinya rajin menyusu, banyak kencing dan bisa BAB, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bawa ke UGD saat bayi tampak lemas dan tidak aktif, kurang menyusu atau BAKnya sedikit. Itu sudah tanda bahaya.”
Lagi-lagi, ini menenangkanku juga tidak. Aku tenang karena tanda bahaya itu tak kutemui pada Rarra. Dia sangat senang menyusu. Cenderung marah karena kadang karena kesakitan, aku paksa ia melepaskan diri dari payudaraku. Hanya saja, bila kuning lagi, aku tak mau Rarra terlambat dibawa ke UGD. Tanda bahaya yang beliau rincikan itu sudah masuk dehidrasi berat menurut takaranku. Tapi, ya sudahlah, mari bersyukur, Rarra sehat dan tidak kuning. Mungkin lampu kamarku saja yang bikin mataku siwer melihat kulitnya.
Keluar dari ruang periksa, Rarra menangis minta menyusu. Kususui ia di ruang khusus laktasi di RS itu. Dalam ruangan itu, ada seorang ibu juga yang sedang menyusui bayinya. Kami berbincang basa-basi dan beliau menyarankan untuk membawa anak saya juga saya konsultasi ke klinik laktasi di RSIA lain.
“Dulu puting saya pun lecet karena perlekatannya kurang baik. Sampai berdarah mbak.. aduh rasanya itu yaa.. setelah ke klinik laktasi disana, saya diajari bagaimana menyusui yang benar, posisinya, perlekatannya.. alhamdulillah sekarang sudah enggak. Anak saya yg pertama waktu itu. Kuning juga. Fototerapi 3 hari. Syukur yang ini tidak. Janjian dulu per telpon. Nanti akan dihubungi lagi oleh operatornya bila jadwal sampeyan dengan konselornya cocok.”
Sepulang dari RS itu, saya meminta suami saya mengantar ke RS yang ibu tadi maksud. Mungkin bisa konsul hari itu juga, supaya penderitaan menyusui ini segera berakhir. Namun, sayangnya, karena hari itu hari Sabtu, pelayanan klinik laktasi ternyata libur. Hanya dari Senin hingga Jumat di jam kerja. Aku tahu, aku masih perlu bersabar menahan perihnya lecet di payudaraku ini...
***
Lupa tepatnya kapan akhirnya saya bisa konsultasi ke konselor laktasi hari itu. Saya menyetir, sedangkan Rarra digendong ART saya. Suami saya tidak bisa ikut karena mertua yang harus dirawat di RS.
Awalnya, bu Zuma—konselor yang menangani saya, menanyakan masalah apa yang saya alami dan bagaimana pengalaman menyusui saya selama ini. Dia periksa kedua payudara saya yang lecet dan setuju bahwa masalahnya adalah perlekatan. Dia meminta saya menyusui Rarra karena dia ingin tahu bagaimana style saya dan Rarra menyusu. Menurut beliau, posisi menyusui saya kurang nyaman untuk saya maupun Rarra. Beliau menyarankan untuk duduk agak selonjor, tidak benar-benar tegap, menghadapkan badan Rarra ke badan saya sehingga perut kami bertemu dan mengajari saya memposisikan mulut Rarra supaya membungkus areola mammae saya, tidak hanya putingnya saja. Begitu badan Rarra menghadap dan menempel ke badan saya, Nyeeeessss... ada rasa hangat yang mengguyur hati saya.
“Oh inikah nikmatnya menyusui?” Terasa begitu dekat saya dan Rarra daripada sebelum-sebelumnya. Kurasa, bonding kali ini full saya rasakan manfaatnya untuk saya.
Terima kasih bu Zuma... terima kasih Rarra sayang. Baru sekarang Umma tahu rasanya, nikmatnya menyusui kamu. Kenapa gak dari awal saja sih saya ke konselor laktasi? Kesel kan jadinya. :”)
Drama ASI ini sementara selesai oleh kesempatan saya bertemu konselor laktasi. Sekarang Rarra alhamdulillah sudah jago menyusu, BBnya naik, tidak kuning lagi dan puting saya yang tidak sering lecet. Lecet sesekali karena penggunaan breastpump atau karena Rarra usil memainkan payudara saya ketika menyusu. Betul kata DSA saya, meski sudah cukup pintar menyusu, Rarra beberapa kali masih kuning. Namun, tidak ada tanda bahaya itu. Saya kembali bekerja, dan Rarra minum ASIP yang sudah saya cicil sebelum masuk kerja. Kenapa saya bilang drama ASI ini SEMENTARA selesai? Saat ini masih ada ketakutan lain yang menghantui saya: bingung puting. Rarra dititipkan ke ART saya, sepupu, tante, mertua, bahkan ibu saya sendiri dengan menggunakan botol, sesuatu yang ‘haram’ dilakukan oleh para konselor laktasi. Lebih baik pakai gelas, cup feeder, pipet atau sendok saja. Tapi, hampir semua orang tidak paham efek botol ini. Mereka cenderung kasihan, tidak tega, dan tidak telaten bila tidak pakai botol. Sementara ini saya berusaha sebisa mungkin hanya menitipkan Rarra sebentar-sebentar saja. Sehingga paparannya terhadap botol tidak sebanyak waktu kebersamaannya dengan saya untuk direct breasfeeding. Setiap pulang dari luar rumah, selalu ada perasaan deg-degan, “Rarra mau gak ya menyusu langsung?” Rasa ini terus ada karena saya tidak mau melewatkan lagi rasa nikmat dan menyenangkannya menyusui langsung. 💜🖤
Hal yang sampai saat ini kusyukuri adalah lingkaran pertemanan yang begitu mendukung ASI penuh. Terutama suami saya yang mendukung dan membantu dengan caranya, sebisanya, Mama susuannya Rarra, teman-teman sesama mama muda di media sosial (yang saat ini sedang hobi ikutan give away sana sini 😂), keluarga di rumah yang mau belajar manajemen laktasi termasuk mau berbagi space dalam freezer bahkan dititipin kulkas freezer, teman sejawat di kantor termasuk ibu-ibu bidan dengan saran domperidonnya untuk ASI booster dan minyak sladanya untuk mengatasi lecet. Terima kasih banyak... kalimat yang pernah diucapkan dr. Rani, mama super dengan 4 anak yang jadi suhu per-ASI-an saya juga menjadi motivasi saya sampai sekarang,
“Bayimu itu juga belajar kok. Nanti-nanti dia juga akan pintar juga. Gak akan ada breastpump manapun yang bisa nandingi hisapannya untuk ngosongkan payudara sehingga ASImu pun nanti akan terus banyak. Percaya deh, payudaramu itu gak akan kosong dan pasti cukup untuk anakmu. Susui terus yaa! Semangat! Pasti bisa!”

0 notes
Text
#MenyusuiRarra (Part 2)
Setelah 50 cc pertama, Rarra tidur hingga sore hari. Kumandikan sore harinya. Kemudian dia minum 50 cc kedua dan tertidur lagi hingga malam hari. Usahaku dari siang untuk menambah produksi ASI diantaranya mempercayai bahwa jamu tradisional Madura mampu menyelesaikan masalah ini dan meminumnya, minum suplemen ASI dalam bentuk tablet, serta memperbanyak makan serta minum, membaca banyak referensi tentang ASI lagi. Rarra tetap kucoba susui. Aku tetap berusaha memompa ASIku. Tapi tetap saja, produksi ASI hanya membasahi pantat botol saja. Malam itu Rarra masih rewel meski sudah mendingan. Kuning di badannya entah bertambah atau tidak. Aku hanya merasa kulitnya lebih gelap dari sebelumnya. Kotorannya masih hitam dan sedikit seperti petis udang. Popoknya belum terlalu basah. Kondisi ini harusnya berarti klinis sesuatu. Tapi aku abai karena Rarra tidak serewel hari sebelumnya dan sudah tidak demam lagi. Menyusu? Masih. Meski aku sudah merasa kesakitan karena putingku mulai lecet.
Lusanya, hari kelima kelahirannya, kubawa ke poli anak RS terdekat. Atas saran DSA, dia diperiksakan bilirubin total dan direct. Aku terbiasa cuek melihat jarum menusukku atau pasien-pasienku. Ya emang sakit. Terus kenapa? Tapi tidak ketika jarum kecil itu menyentuh kulit Rarra. Patah hati entah sudah menjadi berapa kepingan. Hasilnya, DSA menyarankan untuk rawat inap dan mendapat fototerapi. Kemungkinan 1x24 jam. Tanpa infus. Tetap dengan ASI.
Aku yang masih belum pede dengan produksi ASIku, meski sudah mulai bertambah 20-30 cc setiap kali pompa payudara kanan dan kiri, membuang malu dengan meminta lagi ASI dari Ivan-Nindy. Aku khawatir, bila ASIku belum datang ke ruang rawat bayi saat Rarra lapar, maka perawat memberinya susu formula. Ya, aku se-suudzon itu dan setakut itu pada susu formula. 3 kantong ASI Nindy dan beberapa botol kosong wadah ASIPku untuk Rarra.
Harusnya, tidak ada jam berkunjung di ruang rawat bayi. Tapi, karena aku dokter di RS itu, aku punya priviledge untuk melihat bayiku setiap saat. Priviledge itu tidak serta merta kupergunakan. Aku hanya melihat bayiku saat mengantar ASIP.
Bayiku tidur dalam inkubator dengan bertelanjang dada, hanya menggunakan popok. Mata tertutup pelindung mata. Sinar biru menghujani dada, lengan, wajah dan kakinya. Setiap 3 jam, perawat mengubah posisinya agar badan yang terpapar sinar bergantian serta bertambah Jangan tanya pedihnya hati teriris-iris melihatnya. Jangan tanya bagaimana aku menyalahkan diriku sendiri karenanya. “Maaf nak, ibu tidak tahu kamu kelaparan. Maaf karena ibu terlalu bodoh hingga tidak tahu ASI ibu tidak keluar sama sekali sedari hari pertama. Maaf karena kamu kelaparan 3 hari. Maaf bila ibu egois, mempertahankan ego ibu demi predikat ‘bayi asi eksklusif’ meski kamu meraung menangis. Maaf akhirnya kamu kuning, demam dan harus tidur terpisah dari ibu, sendiri dalam ruang kecil inkubator itu.”
Dalam diam aku menangis. Aku tidak sanggup berada di ruangan itu. Pun aku tak sanggup jauh dari ruangan itu. Saat pulang ke rumah untuk istirahat demi menjaga produksi ASI, aku tidak bisa berhenti khawatir dan minta diantar lagi ke ruang rawat bayi.
ASInya bersyukur cukup. Padahal ada drama mesin breastpumpnya mati di tengah-tengah usaha menggenjot produksi ASI untuk memenuhi kebutuhan Rarra di ruang rawat bayi. Rarra diijinkan pulang setelah 25 jam. DSA memberiku pilihan. Secara klinis, kuning di badan Rarra sudah sangat berkurang. Boleh diperiksakan bilirubin ulang setelah 8 jam pasca jam terakhir fototerapi. Tapi, konsekuensinya, Rarra menginap lagi di RS malam itu. Tidak diperiksakan pun tidak apa. Tapi secara kuantitas, kita tidak tahu seberapa banyak fototerapi ini berhasil. Aku menolak memeriksakan darahnya lagi. Selain karena aku sudah rindu tidur berjarak dengan suamiku karena Rarra tidur di tengah, aku tak mau lagi melihatnya ditusuk jarum lagi. Kami pulang sore itu dengan bahagia.
(Bersambung)
Dokumentasi pribadi: ASI perah hari ke-4,5,6. Untuk bekal Rarra di RS.



0 notes
Text
#MenyusuiRarra (Part 1)
Baby R lahir sekitar 2 bulan yang lalu, secara per abdominal dengan operasi SC karena letak sungsang. Alhamdulillah terlahir sehat dan lengkap di suatu RS yang saya pilih karena berharap mendukung penuh ASIX. Lahir 25 menit sejak saya masuk kamar operasi dalam kondisi saya setengah sadar karena pengaruh bius. Selepasnya, saya dirawat di ruang recovery sebelum kembali ke kamar 4 jam setelahnya. Saya baru bertemu dengan baby R ini 5 jam setelahnya. Terharu dan bahagia melihatnya lahir dengan berat diatas 3 kg terbungkus bedong berwarna ungu hingga lupa rasanya sakit di perut. Suster yang mengantar bilang, “sesering mungkin coba diteteki ya bu.”
Ku turuti saran itu. Baby R terus belajar menyusui, mengemut payudaraku. Belum terasa sakit waktu itu, karena ku cuma bergumam, “oh gini rasanya menyusui.” Di sela-sela sesi menyusui itu dia terus tidur dengan tenang, tidak rewel. Dia baru rewel dan tidak berhenti menangis di hari perawatan kedua, malam hari. Start dari jam 11 malam dan baru benar tidur jam 4 pagi. Lelah. Karena saya dan suami yang saat itu hanya berdua saja bertanya-tanya, kenapa dia menangis terus dan rewel sementara saya tidak berhenti menyusuinya. Drama ini terjadi lagi keesokan harinya, lusanya, termasuk selama perjalanan pulang saya dari Surabaya ke Pamekasan. Kami mengira “ya wajar sih, bayi rewel jam segini. Kan ASI terbanyak di malam hari.”
Di hari kelima, pagi hari, baby R mulai teraba lebih hangat badannya dengan kulit terlihat agak kuning. Kami sekeluarga masih merasa ini wajar. Susui yang banyak dan jemur. Kami pikir cukup dengan itu. Namun, jam 10 pagi, tangisnya mengencang tak bisa ditenangkan. Kucoba susui, dia semakin marah dan makin kencang tangisnya hingga wajahnya merah. Aku pikir, dia kesulitan menyusui karena puting payudaraku belum muncul. Jadi aku ambil breastpump machine yang sudah kusiapkan hanya untuk membantu mengeluarkan putingku. Dari situlah aku baru paham bahwa ASIKU BELUM KELUAR. Anakku menangis karena kelaparan sejak 4 hari yang lalu. Aku langsung berinisiatif untuk meminta ASI seorang teman yang pernah pamer di status whatsappnya betapa berlimpahnya ASInya dalam freezer. Sepupu yang bantu telpon saat itu bilang bahwa temanku ini masih meminta izin pada suami dan keluarganya yang lain. Wajar. Karena perkara nasab dalam agamaku. Tapi, naluriku bilang aku perlu cari alternatif lain SELAIN SUSU FORMULA karena aku khawatir baby R kejang karena demam ataupun karena kuning di badannya. Suamiku bilang, minta pada Ivan-Nindy, sahabat saya yang juga punya anak perempuan. Aku masih tenang. Begitu kutelpon, Ivan dengan mudahnya memberi izin. Suamiku langsung menjemput ASI ke rumahnya. Baby R masih terus menangis. Kucoba juga terus menyusui dengan harapan dia lebih tenang. Namun, tidak. Dia menangis meraung-raung. Dia digendong dari satu tangan ke tangan lain untuk ditenangkan. Percuma. Beberapa orang di sekitar yang saat itu membantu, mulai ikutan panik.
“Anakmu itu lapar!”
“Gak mau dibantu susu (formula) kah dek?”
“Ya sedikit sekali itu ASInya (saat melihat botol breastpump yang hanya pantatnya saja yang basah oleh ASI). Ya segitu juga yang anakmu sedot kemarinan. Pantas dia menangis kelaparan.”
“Sudahlah bantu susu saja, menunggu apa?”
“Kamu gak makan sehari saja perutnya perih, apalagi dia sedari awal tidak nyusu.”
Hatiku? Jangan ditanya. Hancur.
Kuambil baby R entah dari tangan siapa. Kususui lagi. Baby R terus menangis meraung-raung hingga merah. Tangisku pecah. Hingga bersuara. Aku bilang padanya, “ayolah nak, ini susunya. Ayo disedot yuk...” sambil berlinang airmata.
“Lah kok nangis? Yang kecil nangis, yang besar juga nangis, yang bantu yang bingung kudu apa!”
Dalam hati, aku mengomel, “SIAPA YANG INGIN ANAKNYA KELAPARAN SEPERTI INI?? AKUPUN TAK TAHU BAHWA PAYUDARAKU KOSONG SEPERTI INI! MANA TEGA AKU MEMBIARKAN ANAKKU KELAPARAN BEGINI!!”
Tapi, aku bergeming meski sekitar memaksaku memberinya susu formula.
“Mau dibelikan susu aja ya dek...”
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa menangis. Baby R kala itu tidak dalam gendonganku. Aku makan pagi dengan sayur yang dipercaya memperlancar ASI masih dengan menangis. Saat itu suamiku datang membawa 3 kantong ASI sekitar 80-100 cc per kantongnya. 50 cc pertama habis tidak sampai 5 menit. Baby R tenang kemudian tidur. Suamiku pergi untuk membeli vitamin pelancar ASI. Aku masih menangis. Tentu saja.
“Sudah jangan nangis dek. Nanti ASInya tambah sulit keluar kalo kamu stress.” Mbak sepupuku menenangkanku. Aku berangsur berhenti. Aku jalan perlahan ke kamar ibuku untuk melihat baby R yang tenang. Alhamdulillah.
Setelah itu, kakakku datang dengan istrinya. Dia menyadari mataku sembab. “Kamu kok nangis?”
Aku tak menjawab, aku menangis lagi. Hpku berbunyi, dan ternyata ada whatsapp dari suamiku.
“Adek dimana? Sini minum vitamin dulu.”
Aku menangis keluar dari kamar itu mencari suamiku. Suamiku tanya, ada apa.
Aku menangis dan aku hanya bisa memeluknya. Sesenggukan kuceritakan kacaunya momen saat dia pergi menjemput ASI.
Dia diam dan terus memelukku. Aku tahu, dia menahan amarahnya...
(Bersambung)
Dokumentasi pribadi: ASI perah hari ke-5 Rarra lahir. 10 cc? Mungkin. Dari 2 payudara.

0 notes