Text
Asmaul Husna Eps. 3
Okay, sekarang kita akan lanjut lagi bahasan Asmaul Husna. Untuk episode ke-3 kali ini kita akan bahas nama yang cukup jarang disebut, yaitu: ٱلْمَتِينُ Al Mateen yang berarti The Firm, The Steadfast. Yuk kita mulai pembahasannya!
1.Definisi Dasar Berdasarkan Lane Lexicon Al-Mateen berasal dari kata mim-ta-nun atau kata kerja matan yang artinya menjadikan sesuatu kuat, kokoh atau keras.
Kata tersebut merujuk ke otot punggung (erector spinae), yaitu otot yang mendukung punggung tulang belakang dan terdiri dari bagian seperti sacro-lumbalis dan longissimus dorsi.
Berdasarkan wikipedia erector spinae adalah:
The erector spinae (/ɪˈrɛktər ˈspaɪni/irr-EK-tər SPY-nee)[1] or spinal erectors is a set of muscles that straighten and rotate the back. The spinal erectors work together with the glutes (gluteus maximus, gluteus medius and gluteus minimus) to maintain stable posture standing or sitting.
Makna lainnya adalah punggung, khususnya bagian tengah atau daging keras di sekitar tulang belakang.
Selain itu artinya adalah sisi tengah pedang, yang seringkali adalah bagian paling kokoh.
Atau bagian keras atau luar dari sesuatu, seperti busur atau tombak.
Ditambah juga, artinya adalah tanah yang datar dan keras.
Dan merupakan sebutan untuk salah satu bintang terang di kontelasi Pegasus.
Kata ini juga merujuk kepada hadist atau tradisi yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat. Jadi, hadist itu dibagi dua bagian yaitu sanad dan matan. Sementara Sanad adalah sumber rujukan (e.g., Dari Abu Hurairah), matan adalah isinya (e.g., Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat).
Dan terakhir, kata ini sering digunakan untuk menunjukan sesuatu yang kuat, tegas, atau kokoh dalam sifat atau struktur.
Dalam Al-Quran, kata Ma-ta-nun disebutkan tiga kali:
QS Adh-Dhariyat (51): 58: إ��نَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ ﴿٥٨ الذاريات﴾ Ayat ini berada di surat adzariyat yang banyak mendiskusikan tentang kekuasaan Allah di alam semesta dan berada di ayat yang sama dengan Ar-Razaq dan disambungnan dengan Dzul-Quwah. Ayat-ayat sebelumnya menerangkan bahwa Allah tidak butuh diberikan rezeki. Justru Allah yang memberikan rezeki kepada makhluknya, dan Allah tidak dapat dilemahkan. Ia akan selalu dapat memberikan rezeki walaupun manusia tidak menyembahnya sekalipun. Beberapa catatan: Ayat setelanya kemudian menerangkan bahwasanya orang kafir pasti akan mendapatkan bagian dari adzab, oleh karena itu janganlah minta untuk disegerakan. Beberapa ayat sebelumnya dari ayat ini membahas bahwasanya tidaklah Allah menciptakan manusia dan jin melainkan untuk beribadah kepada Allah SWT.
QS Al A'raf (7): 183 وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ﴿١٨٣ الأعراف﴾ "Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku sangat kokoh." Ayat ini berada di surat Al-Araf yang banyak mendiskusikan terkait peringatan kepada orang-orang kafir dan pendusta risalah Rasulullah. Ayat ini menceritakan bagaimana rencana Allah yang kokoh dan tidak dapat tergocangkan. Beberapa catatan: Beberapa ayat sebelumnya mengatakan jikalau Allah telah menakdirkan kebanyakan dari manusia dan akhirat masuk neraka. Ayat ini juga menerangkan terkait adzab yang jangan minta untuk disegerakan. Ayat sebelumnya mengatakan "…We will gradually draw them to destruction in ways they cannot comprehend." dan ayat tersebut diawali "As for those who deny Our signs,…" atau memberikan penekanan kepada orang orang yang menolak ayat Allah SWT (menggunakan kata ayat).
QS Al-Qalam (68): 45 وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ ﴿٤٥ القلم﴾ "Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku sangat kokoh." Ayat ini berada di surat Al-Qalam yang secara umum merupakan pembelaan terhadap Rasulullah yang dicemooh oleh kaum musyrikin Quraisy. Beberapa catatan: Sama halnya dengan Al-Araf ayat sebelumnya mengatakan "…We will gradually draw them to destruction in ways they cannot comprehend." Tapi ayatnya diawali dengan "So leave to Me ˹O Prophet˺ those who reject this message…" Atau intinya adalah menolak pesan ini (menggunakan kata hadist)
2. Refleksi dan Kritisasi.
Ayat pertama menggabungkan Al Matiin dengan Dzul Quwah dan Ar Rhazaq. Artinya jika Allah memberikan rizki tidak ada hamba yang dapat menggoyahkannya. Rezeki itu pasti sampai. Sebagaimana rencana Allah yang tidak dapat dilemahkan.
Selain itu, bagaimana kata ini dimenegerti oleh orang-orang di jaman Rasulullah SAW sebagai bagian kokoh pedang dan otot tulang punggung mencerminkan bahwa Allah adalah "pusat kekuatan" atau kekokohan dari segala sesuatu, seperti tulang punggung menopang tubuh atau seperti tanah yang stabil menopang bangunan. Hal tersebut menunjukan jika Allah yang Maha Memeberikan Rizki, Maha Memberikan Kekokohan ke seluruh mahluk di dunia ini. Tanpa adanya Allah kita tidak dapat mencari rizki, tidak dapat berdiri dan tidak dapat berbijak.
Hal yang menarik adalah ayat sebelum Al Araf (183) dan Al Qalam (45) yang memiliki ayat yang sama persis, hanya berbeda di jenis penolokan yaitu Hadist (pesan/perkataan ini) dan Ayatina (ayat-ayat kami).
3. Momen Didoakan.
Sekarang Saya akan menambahkan rubrik lagi yaitu momen berdoa Al-Matiin. Hal ini diinspirasi karena ketika sedang riset Al-Araf, ayat 180 mengatakan jika Allah memerintahkan kita untuk memanggil Ia dengan nama-nama tersebut. Maka, momen yang tepat memanggil Allah dengan nama Al-Matiin adalah: a. Momen ketika dimasa-masa ketidak pastian atau penuh dengan ketakutan seperti kehilangan pekerjaan dan tidak ada penghasilan. Karena Allah menggabungkan dengan Ar-Razaq, maka berdoa kepada Allah dengan Ar-Razaq meminta rezeki agar dapat mengokohkan diri sendiri, dapat berdiri untuk diri sendiri, mengokohkan keluarga.
b. Selain itu juga untuk hal-hal spritual seperti ilmu, rumah tangga, bisnis dan lainnya.
0 notes
Text
Asmaul Husna Eps.2
Di epsiode kedua Asmaul Husna, kita akan bahas nama Allah SWT yang gak umum lagi, yaitu ٱلْنَّافِعُ Al-Nafi' yang berarti The Propitious, the Benefactor. Mari kita refleksikan.
Definisi Dasar Berdasarkan Lane Lexicon, Nafi' artinya memberikan manfaat (manfaat bahasa serapan dari nafa'a, btw), keuntungan, dinikmati, atau kegunaan kepada seseorang. Nafa'a dahulu digunakan untuk obat atau yang bersifat 'remedy' untuk melawan sesuatu seperti penyakit. Ia juga dapat bersifat kausatif, atau berarti "sesuatu yang menjadikan sesuatu bermanfaat" Dan juga memiliki arti sarana untuk mencapai keinginan ("means of attaining one's desire) Kata ini juga merupakan antonim dari ضرّ atau yang berarti kerugian. Dalam Al-Quran ayat menggunakan kata nafa'a dikelompokan sebagai berikut: 1. Ayat yang mengatakan jika semua manfaat berasal dari Allah, dan selain-Nya tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat. Ash-Shu'araa 73, Al-Hajj 12, Al-Anbiyaa 66, Yunus 106, Al-Furqan 55, Al-Ma'idah 76, Al-Furqan 3, Saba 42, Ta-ha 89, Yunus 18, Al-An'am 71, Ar-Ra'd 16, Al-Hajj 13, Az-Zukhruf 39. 2. Ayat tentang harta dan anak tidak bermanfaat diakhirat bagi orang kafir. Ash-Shu'araa 88, Al-Mumtahina 3, Al-Mumtahina 3, Ash-Shu'araa 88, Al-Baqarah 123. 3. Ayat tentang anak yang bermanfaat di dunia. Al-Qasas 9 - Nabi Musa diangkat keluarga Firaun Yusuf 21 - Nabi Yusuf diangkat keluarga Al-Aziz 4. Ayat tentang syafaat tidak bermanfaat bagi orang kafir. Ash-Shu'araa 88, Al-Mumtahina 3, Al-Mumtahina 3, Ash-Shu'araa 88, Al-Baqarah 123 5. Upaya orang kafir di hari akhir Al-Ahzab 16 - Kabur Ar-Rum 57 - Beralasan Ghafir 52 - Beralasan 6. Nabi tidak dapat memberikan manfaat di hari akhir. Yunus 49, Al-Fath 11, Al-A'raf 188 7. Ayat peringatan bermanfaat hanya bagi sebagian orang Al-A'la 9, 'Abasa 4, Adz-Dzariyat 55, Hud 34 8. Keimanan bermanfaat jika sebelum terlambat. Yunus 98 - Kaum Nabi Yunus beriman sebelum Adzab datang 9. Keimanan tidak bermanfaat jika terlambat As-Sajda 29 - terlambat di hari akhir Al-An'am 158 - terlambat jika Malaikat turun Ghafir 85 - terlambat jika sudah melihat adzab 10. Satu-satunya yang bermanfaat di akhirat? Shidiq. Al-Ma'idah 119. 11. Allah menciptakan dunia dan seisinya untuk dimanfaatkan manusia. Ar-Ra'd 17, Al-Baqarah 164. Ayat tematik satuan: 1. Judi dan Alkohol bermanfaat, tapi mudhorotnya lebih banyak. Al-Baqarah 219. 2. Sihir itu mudhorot, dan tidak ada manfaatnya. Al-Baqarah 102. 3. Hanya Allah yang tahu pembagian warisan yang bermanfaat: An-Nisa 11
Kritisisasi Konsep. Beberapa hal dapat disimpulkan dari pengelompokan diatas, diantaranya adalah: Semua manfaat di dunia ini berasalah dari Allah. Tidak ada hal lain di dunia ini yang dapat memberikan manfaat dan mudhorot selain dari Allah SWT. Jangan beranggapan jika kita minum obat (sebagaimana penggunaan nafa'a di masa lalu) artinya obat tersebut yang memberikan kita kesembuhan. Tapi Allah yang memberikan kesembuhan. Menariknya hal tersebut berhubungan dengan konsep sihir yang disebutkan yaitu hanya mudharat saja dan tidak ada manfaatnya karena segala sesuatu sebenarnya dari Allah. Ketika kita percaya bahwa ada sihir atau jin yang dapat melukai kita, pada hakikatnya semua terjadi atas izin Allah dan dari Allah semata. Jika kita merujuk kepada arti dari kata nafa'a tadi yang berarti berguna atau menjadikan berguna, semua kegunaan berasal dari Allah. Ketika kita dapat bermanfaat/berguna ketika dapat membantu orang lain, jangan katakan bahwa kebaikan tersebut berasal dari diri kita sendiri. Tapi katakan syukur bahwa Allah telah memberikan kita kebermanfaatan atau kemampuan untuk bermanfaat bagi orang lain. Juga, nafa'a memiliki arti sarana yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Ketika Allah berkata bahwa Ia adalah Yang Maha Bermanfaat, maka ingatlah bahwa semua kesuksesan semua keberhasilan hanya datang dari Allah SWT, bukan karena usaha kita sendiri. Salah satu hal yang menurut saya menarik adalah bagaimana sering kali Allah menyandingkan nafa'a dan syafaat di hari akhir. Syafaat atau yang berarti intercession atau sesuatu yang dapat melakukan intervensi (dalam hal ini konteksnya adalah akhirat) memiliki dasar kata syifa--dan, syifa sendiri memiliki arti obat. Hubungan antara intercession dan obat adalah karena obat dapat melakukan intercession bagi seseorang yang mau meninggal, sebagaimana syafaat adalah intercession sebelum adzab ketika dihadapan Allah SWT. Sebelumnya kita bahas jika di masa lampau, orang arab menggunakan syifa (obat) yang menyembuhkan adalah nafa'a atau bermanfaat. Namun di Al-Quran, arti tersebut dikembangkan menjadi penggunaan konteks akhirat yaitu syafaat yang bermanfaat. Kelompok-kelompok ayat juga menunjukan bagaimana upaya yang dilakukan orang kafir agar dapat menyelamatkan dirinya di hari akhir. Seperti contohnya adalah dengan kabur tapi tidak bisa, apalagi hanya beralasan. Ia berusaha menukarkan harta dan anaknya tapi itu pun tidak bermanfaat. Ia berusaha berlari ke para Nabi, tapi tidak bisa karena tugas Nabi adalah memberikan peringatan. Hanya saja peringatan itu seringkali tidak bermanfaat bagi sebagian orang. Sampai akhirnya ada yang pada akhirnya beriman, dan ada yang terlambat beriman. Padahal, satu-satunya yang bermanfaat diakhirat adalah keimanan. "Allah mengatakan, "Ini adalah hari dimana orang orang shidiq akan bermanfaat ke shidiq-annya. Bagi mereka syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai untuk tinggal selamanya disana. Allah ridho kepada mereka, dan mereka ridho kepada Allah. Itulah kemenangan yang besar" Al Maidah 119. Kenapa shiddiq ya? kenapa bukan keimanan? harus dilakukan riset lebih lanjut kenapa Allah memilih kata shiddiq.
Pengalaman Pribadi dan Tindakan Salah satu yang harus kita sadari ketika dalam membantu orang lain atau menjadi bermanfaat pada hakikatnya semua berasal dari Allah SWT. Jangan mengatakan bahwa kebaikan yang kita lakukan berasal dan merupakan hasil dari usaha dari diri sendiri. Padahal, kebermanfaatan hakikatnya dari Allah. Allah yang menjadikan kita mampu dan dapat memberi. Ketika kesempatan kebaikan itu datang, maka Allah yang memberikan kesempatan itu, menawarkan kita agar kita dapat bermanfaat dan berbuat kebaikan untuk orang lain. Oleh karena itu, ambil peluang kebaikan segera ketika kesempatan itu datang. Mudah bagi Allah untuk menarik kesempatan tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Selain itu, kebalikan dari Nafa' adalah Dharra yang berarti mencelakai atau harm. Dengan mengetahui jika yang dapat mencelakai hanya atas izin Allah SWT, maka hal tersebut selayaknya jadi kekuatan dan kepercayaan sebagai muslim untuk tidak takut terhadap hal ghaib setan, hantu, jin, santet, dan lainnya begitu juga dengan harm atau ancaman yang hendak diberikan dari kalangan manusia.
Sekian dulu dari refleksi ini. Masih banyak dari kata Nafa'a yang belum terbahas . Tapi Saya akan kembali lagi kalau udah ada inspirasi. Seperti manfaat anak, manfaat dunia, dan syafaat.
1 note
·
View note
Text
Asmaul Husna: the Series
Belajar dari kisah Yusuf AS yang ketika kecil menceritakan mimpinya kepada Nabi Yakub AS. Disana, Nabi Yakub AS berpesan kepada Yusuf.
"Dia (ayahnya) berkata, "Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu ... Sungguh, Tuhanmu Maha Mengetahui, Mahabijak-sana."
Yang ingin Saya garis bawahi adalah bagian dimana di akhir pesan tersebut, disampaikan jika Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui.
Sebagaimana kita ketahui, setelah kejadian tersebut kehidupan Nabi Yusuf penuh dengan ujian. Seolah-olah Ia semakin jauh dari mimpinya. Semakin tidak mungkin jika seorang anak yang dibuang, yang menjadi budak, yang terfitnah, yang dipenjara pada akhirnya akan menjadi seorang yang dihormati oleh orang lain, atau keluarganya sendiri.
Tapi Nabi Yusuf AS berpegang teguh tidak hanya kepada mimpinya, tapi juga kepada ucapan ayahnya yang mengatakan jika Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui. Kedua hal tersebut menjadi dasar kekuatan dan kesabaran Nabi Yusuf AS hingga diucapkan kembali di akhir surat ketika mimpi tersebut menjadi kenyataan.
"Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf) ... Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
hal tersebut menunjukan pentingya mengenal nama Allah SWT untuk kemudian menjadi pegangan hidup seseorang. Apalagi kalau mengenal semua nama Allah!? Luar biasa bukan!?
Metode yang digunakan adalah metode relfeksi supaya lebih kuat dan nempel. Pertanyaan yang akan direfleksikan adalah:
Pemahaman Dasar
Pengalaman Pribadi
Kritisisasi Terhadap Konsep
Dampak dan Implikasi
Tindakan dan Penerapan
Nah, di episode pertama ini kita akan bahas nama Allah yang gak umum, yaitu:
ٱلْرَّؤُفُ - Ar Rauf - The Most Kind.
Pemahaman Dasar berdasarkan Lane Lexicon, Rauf itu adalah pitied (merasa kasihan) atau compassionated (merasakan sympathy) at utmost degree (dengan derajat tertinggi) -- synonym dengan kata rahiim. Bahkan, menunjukan kasih sayang yang lebih spesial, lebih spesifik, dan lebih lembut dibandingkan kasih sayang yang umum yaitu Ar Rahiim. Kata Rauf digunakan Allah sebanyak 13 kali dalam Al-Quran. Terkadang menceritakan sifat manusia juga dapat memiliki sifat Rauf. Tapi Rauf yang disebutkan untuk manusia dapat menghalangi seseorang dari menegakan keadilan. Berbeda halnya dengan Rauf yang disifatkan kepada Allah, Rauf digunakan pada saat: Kelompok Perbuatan yang Luar Biasa: a. ketika Allah meminta Rasulullah SAW merubah arah kiblat. b. ketika ada hamba yang mengorbkan dirinya untuk Allah (kisah Ali bin Abi Thalib mengganti posisi Rasulullah di kasurnya. d. ketika 3 sahabat (Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi', dan Hilal bin Umayyah) diterima taubatnya oleh Allah setelah tidak ikut perang tabuk. Kenapa Allah memaafkan? Para 3 sahabat bersabar dalam menjalani pengasingan 50 hari. Kelompok Peringatan Allah adalah kasih sayang: c. ketika Allah memberikan peringatan tentang siksa akhirat--yang menunjukan jika peringatan adalah bentuk kasih sayang Allah--spesifik bagi orang-orang yang berfikir. f. Ketika Allah memberikan rasa takut dengan adzab agar manusia bertaubat. Kelompok ketika Allah menundukan bumi dan seisinya untuk manusia: e. ketika Allah menciptakan binatang-binatang sebagai bentuk kasih sayang Allah. g. Ketika Allah menjelaskan jika Allah menundukan alam semesta dan seisinya untuk manusia. Kelompok Hubungan Orang Muslim: j. masuk kedalam doa untuk mengampuni orang terdahulu dan tidak iri dengan orang beriman. k. ketika Allah menjelaskan bahwa Rasulullah menyayangi orang-orang mumin. l. ketika Allah berikan kasih sayang kepada rahabiyah Nabi Isa AS. h. ketika Allah membebaskan Aisha dari fitnah yang ditunjukan kepadanya. Kelompok Hidayah/Intervensi Allah: i. ketika Allah mengeluarkan dari kegelapan ke cahaya atau dengan kata lain hidayah.
Pengalaman Pribadi. Maha Suci Allah dan Maha Rauf. Pengalaman pribadi tentang Ar Rauf ini adalah pembahasan ini sendiri! Tidak ada yang kebetulan. Allah menentukan jika nama ini menjadi yang pertama dibahas. Jika dilihat, sejalan dengan kata Rauf itu sendiri yang merupakan kasih sayang spesifik dan lebih tinggi, Allah menggunakan kata Rauf kepada hambanya di kasus-kasus tertentu seperti kepada Rasulullah SAW, kepada Ali bin Abi Thalib, karena perbuatan-perbuatannya yang menyenangkan Allah. semoga Allah memilih kata ini menjadi yang pertama dibahas menunjukan jika Allah menyukai perbuatan pembahsan nama-namannya sehingga Allah memberikan Raufnya kepada Saya dan keluarga.
Kritisasi kepada konsep. Ar Rauf digunakan Allah dalam Al-Quran ketika menjelaskan kasih sayang yang luar biasa kepada hamba-Nya karena perbuatan-perbuatan yang luar biasa. Seperti contohnya ketika momen Rasulullah SAW bersedih dari hal 'sederhana', atau bagaimana Ali bin Abi Thalib berkorban jiwanya untuk Allah, atau kepada ketiga sahabat, atau kepada Aisha. Hal tersebut menunjukan sebagian perbuatan sangat Allah sayangi hingga pantas Allah memberikan kasih sayang yang luar biasa terhadap hal tersebut. Di momen lain, Ar Rauf juga Allah gunakan ketika memberikan peringatan dan ketakutan yang sering salah kaprah padahal bentuk kasih sayang tertinggi yang Allah berikan. Kemudian Allah juga mengatakan bahwa dunia dan seisinya, para binatang dan hewan yang disediakan untuk manusia manfaatkan merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada manusia. Ketika Allah menjelaskan bahwa hidayah adalah salah satu bentuk Rauf yang Allah tidak berikan kesetiap orang tapi merupakan kasih sayang spesial. Ketika Allah menjelaskan kasih sayang antara umat beriman haruslah spesial, bagaimana kasih sayang antara Rasulullah dengan para sahabat, Nabi Isa dan para pengikutnya, kaum mumin antar satu sama lain.
Dampak dan Implikasi Setelah memahami sifat Ar-Rauf, saya menyadari jika untuk mendapatkan kasih sayang Allah yang spesial kita juga mesti melakukan sesuatu yang spesial seperti menghargai apa yang Allah perintahkan (seperti Rasulullah), berkorban jiwa di jalannya (seperti Ali bin Abi Thalib), dan bertaubat sungguh-sungguh (speerti 3 sahabat). Kita juga harus menyadari jika peringatan dan rasa gelisah adalah kasih sayang Allah yang spesial untuk manusia. Kita dapat mengimplementasikannya ketika menyampaikan kepada anak kita bahwa larangan dan ancaman Allah adalah bentuk kasih sayang. Kita juga mesti mensyukuri dan melihat bahwa dunia dan seisinya, termasuk mahluknya, adalah Allah ciptakan khusus untuk mahluk manusia memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Kemudian, kita juga harus menyayangi sahabat muslim kita dengan sayang yang spesial, respect terhadap para sahabat terdahulu, jangan berfitnah (seperti kisah Aisyah) atau iri dan menyadari sebegitu sayangnya Rasulullah kepada umatnya. Terakhir, kita harus sadar jika hidayah, termasuk apa yang saat ini saya tulis adalah kasih sayang Allah yang luar biasa karena tidak semua orang diberikan hidayah.
Tindakan dan penerapan. a. Melakukan hal-hal khusus untuk Allah yang tidak dilakukan muslim lainnya. b. Meningkatkan rasa takut dan gelisah atas adzab Allah dengan cara mempelajari ayat-ayat Al-Quran dan mawas diri. c. Melihat alam dengan penuh syukur dan terhubung kepada Allah SWT. d. Memberikan perhatian khusus kepada sahabat muslim seperjuangan dari tutur kata dan bantuan. e. Selalu bersyukur atas hidayah yang Allah berikan.
1 note
·
View note
Text
Hikmah 1 Tahun Pernikahan.
Dari sebelum menikah, sudah menanti-nanti, hikmah apa yang akan Allah berikan. Sampai pada akhirnya, satu tahun pernikahan terlewati, dan Aku menemukan ada beberapa hal yang bisa diambil pelajarannya.
1) Alasan Menikah Karena Agama.
"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung." (HR Bukhari)
Ya, betul. Rasulullah memperbolehkan kita memilih pasangan hidup atas dasar hal yang kita senangi, baik harta, keturunan, kecantikan, dan --memberikan penekanan pada-- agamanya, karena dengan memilih agama, Rasulullah mendoakan untuk mendatangkan keberkahan dan keberuntungan.
Setelah satu tahun ini, Aku baru sadar betapa penting dan beruntungnya orang yang memilih seorang istri karena agamanya. Sang istri akan menjadikan hubungannya, nurutnya, mengalahnya kepada suami sebagai ibadah. Sehingga begitu keras keinginannya untuk berubah menjadi lebih baik dikarenakan untuk mencapai ridho Allah, dan begitu lembut ucapan yang dibutuhkan untuk meningatkannya, terutama dengan kematian dan akhirat.
Beruntung dapat didefinisikan sebagai suatu hal yang menguntungkan yang tidak diduga-duga sebelumnya, jujur aja, Aku merasa banyak hal yang dapat disyukuri dari hal yang tidak pernah terpikirkan sebelum menikah.
2) Penyempurna Agama
“Siapa yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu bertaqwalah kepada Allah untuk setengah yang kedua.”
Hadist ini menjadi berbeda setelah menikah. Aku baru sadar jika 50% adalah angka yang sangat besar! Kehadiran seorang istri akan mempengaruhi banyak hal dari pengambilan keputusan yang besar hingga pengambilan keputusan sehari-hari.
Contoh keputusan besar seperti istri yang memiliki visi yang sama untuk akhirat akan meng-iya-kan ketika diajak suaminya untuk mendahulukan mendaftar haji dibandingkan membeli rumah, dan menolak untuk membeli rumah dengan riba.
Contoh keputusan kecil sehari-hari seperti memaksakan makanan halal (termasuk daging dan non-daging) walapun sedang tinggal di luar negeri. Padahal lingkungannya sangat toleran terhadap makanan yang abu-abu atau tidak halal.
Betapa berbedanya kehidupan sehari-hari dan akhir dari kehidupan kelak, jika Aku menikahi orang yang berbeda!
3) Keistimewaan Suami dan Istri
"Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara.." QS An-Nisa:34.
Aku sadar betul, bahwasanya setelah menikah, seorang suami dan istri diberikan keistimewaan oleh Allah. Berbeda halnya dengan hubungan tanpa pernikahan (pacaran) yang sering menganggap hubungan pria dan wanita itu setara (sehingga bisa terjadi bertengkar hebat dll.), suami diberikan keistimewaan oleh Allah sebagai pemimpin, dan istri sebagai yang dimpimpin.
Dan penekanannya disini adalah Allah yang telah memberikan keistimewaan tersebut dengan pernikahan, bukan karena kepintaran, kehebatan, atau badan besar suami.
Contohnya kalau pacaran, cewek gak nurut, yasudah! Tapi, kalau istri gak nurut dengan suami, maka Allah tidak menyukainya, dan cenderung kepada hilangnya keridhoan Allah kepada sang istri.
Dan jujur aja, Aku ngerasa ini adalah amanah besar, karena kita diberikan kelebihan oleh Allah yang tentunya akan dimintakan pertanggung-jawabannya di akhirat kelak.
Tapi.. Jujur Aku juga gak bisa membayangkan kalau seandainya sang suami tidak bertakwa dan berhati-hati maka keistimewaan tersebut akan menjadi kesewenang-wenangan atau perintah menuju ke-jahil-an. Begitu juga dengan Istri yang tidak bertakwa, alih-alih untuk nurut kepada suami, bisa-bisa Ia akan terus memberi makan egonya.
Dan terakhir...
Kalau kita refleksikan lagi sirah Rasulullah dan para Nabi. Tidakah yang Rasulullah perangi adalah kaum Quraisy yang merupakan keluarganya sendiri? Tidakah suku Auz dan Khazraj di Yathrib selalu bertengkar kemudian Islam menyatukan mereka? Begitu juga dengan Muhajirin dan Anshar yang dipersatukan oleh Islam? Tidakah Allah bilang bahwa anak dari Nuh AS bukanlah keluarganya?
Seharusnya dengan banyak contoh tersebut, kita bisa tersadarkan, bahwa hubungan tererat adalah keislaman, satu kesamaan visi dan misi -- bukan suku, bukan keluarga, dan bukan darah.
Bagaimana pernikahan bisa kokoh kalau bukan Islam yang menyatukannya? juga bukan pula satu visi untuk mencapai akhirat?
Semoga Allah memberikan barakah kepada hubungan yang kita semua miliki.
2 notes
·
View notes
Text
Since the beginning of the Romance era, after Shakespeare's Romeo and Juliet was a hit back then - either it reflected or changed how people behave toward love - we glorified love needs sacrifice. The apogee of the relationship between one another requires compromising to the greatest extent.
Looking back further, sacrifice for love was not a new idea. In the era of the Prophet Muhammad, martyrdom in battle is the life purpose for many Muslims. They were not only fighting to win the war but also to pursue higher -- the Ridho of Allah.
However, In recent times, blinded by mundane responsibility, we consider sacrificing only for something unattainable and for worldly benefits; it should not. We limited sacrificing only to humans, but not to The Most Lover. And we forgot that it could go as simple as walking amidst the rain just to have a prayer in a mosque.
1 note
·
View note
Text
The “Mansukh”
Recently, Indonesia was astonished by a suicide bomber from a terrorist in one police department office, a sub-sector office of Astana Anyar. As a person appointed by my company to liaise with them, I got an elaborate story regarding the issue firsthand. Most of the information was negligible, such as the kind of expression the culprit had when he died and how the corpse ended up cutting his legs. However, one story stands out in my mind: a verse from the Quran that he put in front of his motorbike, showing the foundation of his terrible action.

It mentioned a Quran verse: 9:29, which says: "Those who do not believe in Allah and the Last Day26 - even though they were given the scriptures, and who do not hold as unlawful27 that which Allah and His Messenger have declared to be unlawful, and who do not follow the true religion - fight against them until they pay tribute out of their hand and are utterly subdued."
Based on what is written, I think he (falsely) considered the police department defiant and the enemy of Allah SWT, which was total nonsense. I did not see a correlation between them and what he had been through before his action. Maybe someone out there brainwashed him that killing himself was glorious and one of the good actions.
Regardless of his reasons, I wanted to point out that the verse written in it is in the ninth chapter of the Quran, At-Taubah, the one and only chapter without "Bismillahirrahmanirrahim" before it begins. "Bismillahirrahmanirrahim" means "In the name of Allah the Most Merciful and the Most Beloved." But have we ever truly pondered why this is the only chapter without Bismillah in it?
The most compelling argument for me is coming from Ust. Nouman. He said that every time Allah gave an Adzab (punishment) to people, He stopped His love for a while before re-continuing his endless love for humankind, like in the story of Pharaoh and the people of Noah AS when they were drowned in the sea. Allah SWT chose not to help certain people because of their wrongdoings, but it was more important since it gave lessons learned for the rest of the world and time.
Ust. Nouman continued his lecture, telling us that the same thing also applied in At-Taubah. A chapter, which came very last of the Quran, showed an Adzab for the enemy of our Prophet PBUH. The context was when Muslims conquered Makkah, the Kaafirun(s) were given four months either to accept Islam or to be expelled from the holy city. If the Kaafirun did not make one of those circumstances, either still being a Kafir or in Makkah, Muslims were allowed to kill them whenever and wherever the Muslims saw them. Based on the context, it makes sense that At-Taubah revelated without Bismillah in it; At-Taubah is a form of punishment for the Kaafirun. Most of the verses talk about how cruel the Muslims could be to the Kaafirun, which is basically a lesser punishment for Kaafirun rather than Allah SWT sending the punishment Himself.
However, those kinds of verses were maybe becoming the foundation of terrorist organizations when they wanted to brainwash and mislead people to join their armies. They had strong reasons to convince the culprits (or maybe the victims) to follow their order to bomb the police's offices.
Ust. Nouman then said about a concept named Mansukh. The word means "to repeal or do away with (a law, right, or formal agreement)." In other words, one order from Allah SWT that is written in the Quran can be changed with another order that came later. Allah SWT put both verses before and after being Mansukh (changed) so that people could benefit from all circumstances after the Quran finished revealing.
For example, the law prohibiting alcohol came in three times in the Quran. The first one came to limit people from drinking alcohol in excess. The second one was forbidding people from doing Shalat in drunk. And the last one was saying that alcohols were the drink of Satan. If Allah SWT wanted to, He could tell it since the first time the verses about alcohol revelated. But He chose to show them one by one so that people could understand that changing the habit of drinking, or other bad habits, require time and effort to stop.
In this case, the Mansukh of the verses within chapter At-Taubah was the context and the period given, which means that it only applied at some point at that time (like the concept of Adzab), and after that, it expired. Therefore, we were not allowed to harm Kaafirun - which the terrorist considered police as - after the period given came to an end. Other verses advocate the issue in which Allah said that we should be kind to other people, whether they are Muslims or not, or when Allah said that we should call them to the straight path.
By the statement given and the knowledge from Ust Nouman, I wanted to conclude that this action is unlawful to Muslims. We condemn such terrible acts, and I suggest every Muslim have a right and comprehensive understanding of how to perceive verses in the Quran to avoid making people afraid of being Muslim.
0 notes
Text
For me, privilege is now more obvious than ever.
I still remember the first time I used English in a formal setting. When I graduated from SBM ITB, I looked for a job in Jakarta. While my shohib Jafar had already secured his position in the largest Indonesian unicorn, the widely-known raid-hailing app, I still had to figure out where my bread and butter was. Going back and forth between Jakarta and Bandung led me to an interview with a multinational company in the FMCG industry. I successfully managed the early stages of the interview process with the Indonesian interviewer. But when I had to speak with a native English speaker from Singapore, I froze. It was vague to recall that my issue was related to my English ability or confidence in using the language. Of course, at the end of the interview process, I asked the interviewer for feedback about my performance. She said my English was good, but it wasn't good enough, and as predicted, the result has never come.
Then it suddenly changed when I was granted a scholarship from Telkom to take a master's degree in the United States. I have to catch up with the requirements, asking me to score 7 on the IELTS test for admission. To tell a little bit more about my condition, Telkom gave me a placement test, and my score was 5.5, a really poor proficiency score. But now the situation is different. I'm a worker and have a job to pay for any English courses I need. I went to British Council, cambly.com, Fondi apps, and even subscribed to the New York Times, which only cost me a dollar for a month, something that I had to think about over and over again when I was a student. I saw that the changes were significant. I ended up getting a 7.5 band overall score, a score that I never thought I could achieve. Then, when I had to present myself in front of a professor from the United States, he said: "you don't need to take any English courses prior to the classroom because your English is really good." To be honest, I almost spend 10 million IDR on English courses in a very limited amount of time, just around two months, but the result was considerably high.
I couldn't imagine if I was born into a rich family, had the ability to take courses as young as possible, and even traveled to distant countries for holidays; what would that be? I knew that some of my friends did, and of course, their skills were different.
I don't blame my parents because of the situation. After all, they gave me many more important things than privileged funds: one of them is the ability to be aware of the competition, including with the privileged ones. My mom told me that the competition for an elementary school is on a district level, for a junior high school is on a city level, for a senior high school is on a regional level, and for a university is on a national level. So, I don't have any trouble competing when looking for a job, competing with people from all over Indonesia (other than because of my previous English ability) because I have done it earlier.
*(And now, I have to compete with people from all over the world! Thanks, mom, for saying that to me!)
I read the research that says that the latest generation in a wealthy family has a more favorable chance of being wealthy if we compare it to the latest generation in an unsuccessful family. It means that the wealthier our family is today, the higher the chance we are going to be wealthy in the future. By looking at my parents, they had already done their best for their generation. I saw the stepping stones of improvement within my family trees. When she said that they had to live in an unfinished home because my grandparent did not have the money to finish their home, I could see how struggling they were. But now, I'm not underprivileged; just be on the middle of this community.
And now, my job is to create a more successful generation than me - with more privileges - while also penetrating the right mindset. So my children could excel in worldly things (being wealthy) while bringing Islamic value as well. That's my goal. But If they are not wealthy, that’s okay; at least, they have the value.
1 note
·
View note
Text
The Takfiri(s)
The Indonesian Muslim Tragic Story.
My current thinking is mostly based on Ust.Nouman’s speech. He construes the religious teachings of our Holy Book in a meticulous manner, focusing on every word and their etymologies so that the audience can easily comprehend the implicit meaning of the verses. One plausible thought that stayed in my mind was when he told the story of Rasulullah SAW in the late Makkah era. Specifically, after the occupation of Makkah, when the Muslims retake the leadership of the holy sites, many indigenous people rush to become Muslims. The community is now a hodgepodge of people who came to Muslim a long time ago and newly reverted sides.
The story continued when this amalgam community won a war with the Kaafirun (sorry, I don’t remember the name of the war), and It left with significant spoils of war. However, the issue came out when one Sahaba named Dzul Khuwaishiroh At Tamimi said to Rasulullah SAW, “Please, be just Rasulullah!” It surprised many other famous Shahabas, including Umar R.A who wanted to cut Khuawaishirah’s neck right away. Actually, the reason why he said that was understandable, especially because Rasulullah SAW gave the newly reverted Muslims, the Mualafs, more spoils than the long-time friends who have fought alongside Him SAW for a long time. Of course, as Muslims, we believe that Rasulullah SAW is the justest person in human history, and Mualaf is one of the criteria that deserved zakat based on Allah SWT’s decree. But questioning Rasulullah’s acts is considered a deadly sin. It was easier to accept what Rasulullah SAW did if we love and believed in Him SAW and then do the reasoning process afterward. Some reasons are maybe because giving the neophytes a material gain can make it easier for Rasulullah to control them since He gave them what they want rather than rules and obligations in the first place, which can give them reluctance.
Many Islamic scholars said that this event was the first time came out the terms of Khawarij. If someone is belligerent to the main source of Muslim teachings, how about respecting the other Muslim? They are likely to diatribe the people who have the same belief system with lesser credibility than Rasulullah. It can lead to the worst call: the Kaafirun, and the verb for calling someone Kafir is Takfiri.
Now, we shift a little bit to the Indonesian story about a famous Indonesian religious lecturer, Ust. Oemar Mita. After giving lectures in many cities with strict and detailed attitudes, people, or even another Ustadz, misnomer him as a Kafir, which is indifference to him but not to the audience. Ust. Oemar Mita never brought up the topic unless somebody was asking him about it. He reacted in a calm manner and started explaining the history of Khawarij, as mentioned earlier. He said that just because there is a discrepancy in different schools of thought, it doesn’t mean that the other side is wrong and one’s view is right. As long as we do not differ on the core beliefs of Islam, the way we act is quite flexible. Many Shahaba and Tabi’in, the generation who meet the Shahaba but not the Rasulullah, were given different answers from Rasulullah based on the context, who the asker is, and what the circumstance is. Rather than making a deterioration of the teachings and the Ummah, I think that it gave the same urgency and importance to every aspect people asked.
Looking at those events, I saw that there is a correlation between what Rasulullah experienced before and what the Ustadz had; the situation of the late Makkah era represents the situation of Indonesia nowadays. Particularly here in Indonesia, which is the largest Muslim country in the world, people hold the Islamic status not because they have critical reasoning for the teachings but because their families and surroundings make them Muslims. Indonesia is the new amalgam/hodgepodge of people who staunch their beliefs and people who oscillate in their understanding. Some people who “re-find” Islam at a later age call themselves doing Hijrah, which also explains the trend of why it is occurring. But without a proper understanding of the core beliefs, it is easy for people to say the others as Kafiruun.
So, the question is, how should we close this problem? I would suggest two ways to address this issue.
The first one is increasing the people’s understanding of Islam. In Indonesia, Islamic knowledge is already taught since we are in kindergarten. But what we learn about Islam is only on the surface level, like the events of Rasulullah’s history without actually taking the lesson to learn, or like how to pronounce the Arabic verses of the Quran without actually extracting the ideas. The analogous is that this teaching is like teaching English grammar without actually learning the context of the culture and like memorizing the Indonesian histories without actually grasping the reason behind those events. Arabic learning should give more emphasis on the grammatical syntax of the scripture, which can extract the beauty of the Quran. The learning of Rasulullah’s history should also give more respect to the correlation with our daily. By increasing the understanding of core beliefs and teachings of Islam, while also developing the love for Rasulullah SAW, we can avoid seeing people attacking each other verbally on social media because we know that the unity of the Ummah is much more important than holding negligent matters severely.
The second one is quite general, increasing the reasoning skills of Indonesian people. While some Islam teachings are easily acquired by a low-level thinking process, some others are required a good level of comprehension. For example, it is easy to understand why we have to give zakah to other people or have to fast in Ramadhan because it is beneficial for our health. But in a complex situation, such as whether we should pray together in the mosque when the pandemic started, it requires deep measuring which one is better to do or to react. I already mentioned this solution in my previous writing that people are mixing the “Hakekat,” the reason why something happens when everything is coming from Allah, and “Shariat,” the reason why something is happening because of the worldly reason like in the environment of science and psychology.
To conclude, the solutions that I gave are related to increasing the level of people’s thinking ability, both in knowledge and reasoning ability. And by doing so, I believe that we can avoid saying one another as a Kafir because we have the common ground that unity is much more important than factious.
The last thing to mention is that this problem is already mentioned in the Quran as well, which means that it must be happening in the future after the Quran comes down for humanity. I am totally afraid that the verses are related to the Indonesian’s situation today because the signs indicate the issue. Our job is to stop this from happening in Indonesia since the Quran’s purpose is to guide people. To guide means that the All-Knowing already predicted that this would happen and tell how to overcome the issue.
1 note
·
View note
Text
Hi guys, long time no see.
I’ve been really busy lately. I don’t want to be pretentious, but I’ve been granted a scholarship from my company to go abroad for studying. I’ve done the IELTS test on Monday and still waiting for the result. But, because I don’t know what the score is going to be, I have to practice a lot in my writings to avoid any grammatical mistakes from slipping through my eyes.
However, answering a writing test question is really boring. I keep using the same words and sentences over and over again. So today let’s do a writing practice on more relaxed way.
I’ll try do my daily blogging with English, using complex sentences and some vocabs I have learned for the GRE. I think this method will be effective, since I try to put my speech into writings. So, I can figure out if there are any grammatical mistakes in my spoken English as well, like ‘killing two birds with one stone.’
And today, I want to tell you a story I had this morning.
I have been working on my essays and resumes since the rudimentary process, and I have to move on to the other requirements as well. And the next one is creating reference letters.
I thought it wasn’t easy to approach someone and ask them to be my referee, but it went well this morning. I chose Mr. Achmad, my former client in West Bandung Regency, and Mr. Erik, my former supervisor. Both of them seem delighted when I asked them to give me a recommendation letter.
And, one of the most interesting parts is: when I asked Mr. Achmad to be my referee, he sent me this message:
I suddenly froze. I said to him that I am tearing. Actually, I wasn’t. I burst into tears. I can’t handle myself. It struck right into my heart.
As we know, preparing for graduate degree requires a lot of time and effort. Sometimes, you will find yourself lonely because there is no one understand about what you face. You have to study a lot, isolate yourself in a room, and practice something that you haven’t mastered yet.
Absolutely, I want everything that I put into this process is considered as a good deed. Not only about the money I spent but also the efforts and the uncertainty I faced. And being lonely is not fun at all.
Deep down inside my heart, I feel uncertain about what events are going to be in the future. Can I pass the selection test? Can I really improve my skill? Can I get back what I have invested in?
But only to Allah I can rely myself.. If I can’t make it.. Allah SWT must be written this as a good deed.
1 note
·
View note
Text
Kalimat Penenang Rasulullah.
Berawal dari niatan untuk men-khattam-kan Al-Quran perlahan-lahan tidak hanya sambil membaca artinya, tapi juga dengan membaca tafsir dari Ibnu Katsir.
Sekarang ini baca tafsir jauh lebih mudah, pake aplikasi Al-Quran setelah ayatnya selesai, langsung dikasih tafsir Ibnu Katsir pakai bahasa Indonesia.
Manfaatnya aku rasakan banyak, terutama ketika recalling ayat, walaupun gak hafal tapi kalau udah pernah memaknai, jadinya lebih mudah untuk di recall ketika dibutuhkan. Apalagi ketika dengerin ceramah ustadz-ustadz, seketika inget, “Ah iya ini ayat di Al-imran!”
Naah yang pertama ini, justru denger ceramah dulu, dari Ustdz. Oemar Mitta baru nemu tafsirnya dalam perjalanan.
Diceritakan kalau seandainya ada kalimat yang bisa membuat Rasulullah SAW tenang yang diucapin sama Umar Bin Khattab. Kalau bahasa Arabnya pasti tau deh :
“رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد صلى الله عليه وسلم، نبياً ورسولا “
“Rodhiitu billahi rabba, wa bil islaami diina, wa bi muhammadin shollallahu alaihi wassalam nabiyya wa Rasullaa.”
“Aku ridho Allah sebagai Rabb-ku, dan Islam sebagai agamaku, dan Nabi Muhammad sholawat dan salam atasnya sebagai Nabi dan Rasul”
seketika Rasulullah SAW tenang setelah mendengarkan ucapan dari Umar ra. tersebut.
Kalau dari project root list, definisi ridho secara singkat adalah menerima dengan senang hati. Kita menerima dengan senang atas hadirnya Allah sebagai Rabb. Islam sebagai Agama dan Muhammad SAW sebagai Rasul.
Adapun bagi kita, keutamaan membaca kalimat tersebut ada pada hadits :
Barang siapa yang mengucapkan ‘Radhiitu billahi rabbaa wa bil islaami diinaa wa bi muhammadin shallaa allahu ‘alaihi sa sallama rasuulaa’ Maka surga merupakan suatu kepastian baginya." (HR. Abu Dawud).
Selain enak untuk disenandungkan, keutamaannya luar biasa!
0 notes
Text
Kembali Menulis (di Tumblr)
Setelah sekian lama gak menulis disini, terpaksa harus menulis lagi (di tumblr). Sempet ditinggalkan karena cukup sulit buat nulis di tumblr karena harus buka laptop dulu baru bisa nuangin isi kepala. Dan akhirnya kembali kesini karena HP rusak. Kemarin-kemarin nulisnya merasa cukup di close friend IG, dilingkungan yang gakan di-judge sebagai anak sholeh kalau nulis-nulis tentang ayat (karena takut dibilang sholeh hiii)
Menulis di IG emang gampang, inspirasi dikit langsung tulis. Tapi efek negatifnya ide atau inspirasi yang dituliskan gak banyak dan bisa hilang gitu aja, gak ke trace perjalanan kepala ini udah sampai mana.
Jadi sehubungan lagi rusak, mau kembali nulis-nulis disini aja. hehehe
0 notes
Text
Pendapat Pribadi. Ndak Usah Triggered.
Satu hal yang menurut saya yang berpotensi menyeramkan dari musik.
Orang bisa tergila-gila sebagaimana tergila-gilanya dengan agama.
Artisnya sebagai nabi. Ritualnya adalah konser. Ajarannya ada didalam lirik-lirik.
Waw gak? Ekstrim banget mikirnya?
Iya, ada sesuatu yang tersandingkan dengan agama menurut saya ekstrim.
0 notes
Text
Alasan Untuk Tidak Percaya Karma.
Karma pada hakikatnya adalah percaya bahwa yang terjadi pada hari ini adalah dikarenakan hal yang dilakukan di masa lalu. Kebaikan yang kita dapatkan hari ini adalah dikarenakan hal baik yang kita lakukan dahulu, begitu juga ketika terjadi hal buruk dikarenakan hal buruk yang kita lakukan di masa lalu.
Hal tersebut menurut saya dapat berpotensi bermasalah secara psikologi dan kepercayaan.
Kenapa? alasannya banyak. Dan akan saya coba jelaskan dan bagi satu per satu berdasarkan kelompok kausanya dan efeknya.
1. Jika melakukan hal baik kemudian datang hal baik. 2. Jika melakukan hal baik kemudian datang hal buruk. 3. Jika melakukan hal buruk kemudian datang hal baik. 4. Jika melakukan hal buruk kemudian datang hal buruk.
Dari yang pertama, jika melakukan hal yang baik kemudian datang hal baik. Maka seorang manusia yang percaya akan karma cenderung membanggakan kebaikannya walaupun sebenarnya kebaikannya sangat sedikit, atau bahkan tidak ada. Menimbulkan perasaan sombong atas pencapaian dan kebaikan pribadi di masa lalu. Ketika sudah sombong, maka akan bangga atas kebaikan yang sedikit, dan mengabaikan keburukan karena merasa diri sudah baik.
Kemudian yang kedua, jika melakukan hal yang baik kemudian datang hal buruk. Maka dampaknya adalah orang tersebut kecewa terhadap dunia, dan lingkungannya. Merasakan bahwa sudah melakukan kebaikan, tapi tidak dihargai oleh dunia dan kehidupan sehingga menghasilkan kesedihan yang amat dalam. Muncul persaan menjadi korban dan menyalahkan semua orang dan semua hal, bahwa tidak ada yang mengerti atas kebaikan yang sudah dilakukan dirinya.
Kemudian yang ketiga, melakukan hal buruk kemudian datang hal baik. Maka dampaknya adalah hilangnya keinginan berbuat baik, toh berbuat buruk saja mendatangkan hasil yang baik untuk diri sendiri, sehingga perbuatan buruk tidak akan diberhentikan dan terus dilakukan. Maka hilang juga keinginan untuk menambah hal baik dalam kehidupan.
Dan yang terakhir, melakukan hal buruk kemudian datang hal buruk. Maka dampaknya adalah keterpurukan dan perasaan menyalahi diri sendiri secara berlebihan yang dapat mengakibatkan depresi yang berkepanjangan. Seperti masuk dalam sebuah pusaran air keburukan tanpa tahu bagaimana harus keluar dari keterpurukan tersebut.
Setelah dilihat, menurut saya, percaya karma tidak membantu seseorang pribadi menjadi lebih baik secara psikologis. Alih-alih, karma sering kali dijadikan ujaran pelampiasan ketika seseorang tertimpa musibah dikarenakan kebencian personal pada orang tersebut.
Oleh karena itu, satu hal yang bisa memberhentikan dampak psikologis kepercayaan seperti ini adalah memutus hubungan sebab dan akibat sebuah kejadian. Bahwa kejadian dimasalalu tidak ada hubungannya dengan hari ini, baik dan buruk.
Jauh lebih menenangkan dan berdampak positif pada psikologis jika percaya bahwa semua hal yang terjadi hari ini adalah hal terbaik yang dapat terjadi.
Terlepas dari semua pendapat kita bahwa hari ini adalah baik atau buruk, jauh lebih menenangkan jika percaya bahwa takdir Allah SWT adalah pasti yang terbaik.
Ar-Rahmaan & Ar Rahiim. Allah SWT Yang Maha Sangat Menyayangi hamba-Nya, dan Yang Maha Selalu Menyayangi hamba-Nya.
Tidak ada keinginan bagi Allah SWT selain memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Ia memiliki kewenangan penuh atas apa yang dimiliki dan tidak dimiliki hamba-Nya. Ketika Allah SWT memberi adalah yang terbaik, ketika Allah SWT mengambil pasti juga yang terbaik.
Ketika sebuah kebaikan yang terjadi. kita akan anggap sebagai bonus dari Allah SWT, kita tidak lagi berbangga diri atas pencapaian kebaikan yang kita lakukan di masa lalu, alih-alih efeknya adalah bersyukur karena sudah diberikan lebih, dan tetap berusaha menambahkan perbuatan baik.
Sementara, ketika hal yang (menurut kita) buruk terjadi, pemikiran kita akan aktif untuk mencari hikmah/lesson learn dari sebuah kejadian, karena kita percaya ini adalah takdir Allah SWT yang terbaik, maka pasti ada kebaikan dibalik semua yang terjadi. Kita tidak lagi menyalahkan lingkungan dan merasa menjadi korban. Alih-alih jauh lebih mudah untuk bersabar dan bertanggung jawab atas kejadian yang terjadi dan move on ke fase kehidupan selanjutnya.
Ayat yang saya ingat dalam hal ini adalah :
Katakanlah, “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu. Ali Imran:26
0 notes
Text
Belajar dari Sabrang.
Mas Sabrang atau bisa dikenal dengan Noe Letto, ternyata merupakan anak dari seorang penceramah terkenal, Cak Nun (iya, saya baru tau). Pendidikan yang ditanamkan oleh Cak Nun ke Sabrang betul dibuat setinggi-tingginya, dan sebebas-bebasnya. Hal tersebut yang membuat Sabrang merupakan pemikir bebas, kuliah keluar negeri, bahkan sempat atheis, hingga akhirnya kembali pada Islam berdasarkan pemikirannya sendiri. Buah pikirnya luar biasa, gak hanya menggambarkan agama dari sudut pandang lain, tapi juga kontemplasi terhadap diri sendiri dan problematika di masyarakat juga sangatlah menarik. Salah satu hal yang saat ini masih terngiang-ngiang di kepala saya adalah terkait keberadaan hirarki di masyarakat yang pasti tercipta dengan adanya interaksi sosial. Hirarki ini tidak selalu buruk, melainkan alamiah untuk keberlangsungan hidup manusia dari dulu hingga sekarang. Sebagai contoh, pada jaman dahulu, seseorang yang paling kuat fisiknya dalam sebuah komunitas akan ditunjuk menjadi ketua suku, karena meiliki kemampuan untuk mencari makan dan mempertahankan kelompoknya dari serangan dari luar. Kemudian, dengan perlahan berjalannya waktu, hirarki tersebut bertambah, mulai dari segi keilmuan, bahwa semakin tinggi strata pendidikan seseorang, maka semakin tinggi kedudukannya di masyarakat. Bayangkan cita-cita orang tua dahulu di desa, ketika kedua orang tua merasa status sosialnya dipandang rendah oleh masyarakat karena tidak mengikuti jenjang pendidikan, ia tanamkan ke anaknya untuk sekolah yang tinggi. Karena bagi keduanya, hal tersebut adalah hirarki yang penting untuk meningkatkan status sosialnya. Kemudian juga setelah era industri dan konsumerisme munculah hirarki kekayaan atau kapitalisme, semakin banyak seseorang memiliki uang dan aset, maka semakin tinggi hirarkinya di masyarakat. Begitu banyak orang yang meng-halal-kan segala cara, bahkan melakukan hal-hal yang kotor untuk mencapai tingkat teratas dari hirarki ini. Sampai dengan hari ini, hirarki tersebut bertambah dan semakin kompleks, terutama dengan berkembangnya sosial media, muncul hirarki baru yaitu hirarki eksistensi. Semakin banyak likes dan followers yang dimiliki oleh seseorang maka semakin tinggi kedudukannya ditengah lingkungannya. Gak sedikit juga kita denger para influencer yang sebenarnya harus memaksakan diri membeli barang yang tidak sanggup untuk dibeli demi terlihat sukses dihadapan orang banyak. Atau mungkin dengan prank-prank yang tidak manusiawi hanya demi eksist dan berbeda ditengah jenuhnya konten yang ada. Bisa jadi, kedepannya, hirarki ini akan terus muncul dan semakin banyak, masyarakat akan memunculkan standar-standar baru dimasyarakat yang tidak akan ada habisnya. Dan hirarki ini sudah sangat jauh dari kebutuhan utama manusia, untuk sekedar bertahan hidup! Hal yang menyedihkan adalah, seringkali hirarki ini tidak dapat dicapai oleh semua orang. Karena setiap orang lahir dan tumbuh dari keluarga dan lingkungan yang berbeda, hal ini sering kita sebut dengan "privilege". Yang terlahir cantik akan lebih mudah mendapat likes dan followers, yang terlahir kaya akan lebih mudah untuk mendapatkan kekayaan lagi. Tidakah dunia tidak adil apabila kita menggunakan standar hirarki ini? Sementara agama menawarkan hirarki yang lain. agama menawarkan hirarki ketaqwaan. Kata taqwa sendiri artinya adalah awareness/kewaspadaan akan Allah SWT. Merasa bahwa diri selalu diawasi dan dilihat oleh Allah SWT. Sehingga impactnya adalah kita akan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Hirarki yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, yang tingkatannya hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah SWT. Tidak dapat ditunjukan seberapa besar taqwa saya kemudian dibandingkan dengan taqwa orang-orang disekitar saya. Perlombaan itu tertutup. Semakin ditutup maka semakin tinggi skornya. Sangat berbeda dengan penilaian manusia yang kasat mata, bukan? Ketaqwaan juga berperan berimbang, tidak ada ketidakadilan, semua memiliki kesempatan yang sama untuk bertaqwa. Dan memiliki hubungan dengan hirarki-hirarki lainnya yang berlaku. Yang
terlahir kaya, akan
dilihat ketaqwaannya
terhadap kekayaannya, yang terlahir menarik dan cantik akan dilihat juga ketaqwaannya. Begitu juga yang tidak kaya dan tidak cantik, dilihat bagaimana menyikapinya. Bukankah dunia dengan hirarki ketaqwaan jauh lebih indah dan lebih adil? "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa." [Al-Hujurat:13]
0 notes
Text
Barnum Effect
adalah salah satu bias (kecatatan berfikir) dari sifat otak kita yang cukup terkenal. Contoh kejadiannya adalah kalau seandainya kita mikirkan satu jenis mobil, terus kita jalan-jalan, maka kita merasakan kalau seandainya mobil itu banyak banget dibandingkan mobil lainnya. Ketemu lagi, ketemu lagi. Kenapa disebut kecacatan berfikir, karena sebenarnya dari dulu mobil tersebut jumlah persebarannya sama aja, tapi karena yang ada dipikiran kita mobil itu terus, jadinya yang jadi titik perhatian hanya mobil itu. Kalau perhatian dirubah ke mobil lainnya, otomatis barnum effect ini pun berubah. Barnum effect juga adalah yang sering terjadi ketika kita baca ramalan, kita jadi menganggap ramalan kita benar dikarenakan kita selalu memikirkan ramalan tersebut terjadi. Kalo kata ramalan hari Rabu akan ditimpa kesialan, hal kecil kaya kesandung atau terlambat meeting akan kita anggap ramalan tersebut benar. Padahal, mungkin pada hari-hari lain kejadian kaya gitu ya biasa aja apa adanya.
Kejadian ini dikelompokan oleh peneliti sebagai kelemahan dari otak manusia.
Kalau dari sisi Islam, Ya, memang betul, kita semua setuju kalau seandainya Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan lemah, tertuang dalam Al-Quran :
وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
"Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah" An-Nisa:28
termasuk juga Barnum Effect ini, tapi apakah sia-sia dan gak ada manfaatnya? kalau dilihat hasil riset malah cenderung merugikan. Belakangan ini, saya lagi memperlambat bacaan Quran saya. Kalau seorang khattam Al-Quran, insyaAllah banyak yang sudah melakukannya. Tapi seberapa banyak yang khatam dan kemudian mengetahui isi/intisari dari masing-masing surat? Jadi, saya mencoba memelankan bacaan saya, terus berusaha bertafakur dan bertadabur dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti kenapa Allah SWT menurunkan ayat ini? kenapa urutannya seperti ini? apa tujuan Allah SWT menurunkannya? tentu aja sambil membaca tafsir dan sumber lainnya. Dengan bertanya seperti ini, saya cenderung untuk mencari jawaban, mencoba memahami dan Allah SWT selalu menjawab pertanyaan saya dengan kejadian-kejadian yang terjadi disekitar saya, atau ceramah ustadz-ustadz yang lewat ke feed social media saya. Perlahan ayat-ayat tersebut seolah ada dimana-mana. Setelah saya sadari lebih lanjut, bisa jadi kalau sebenarnya, saya mengalami Barnum Effect. Pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan membuat saya terus memikirkan tentang ayat-ayat Allah SWT. Dan sebenarnya implikasi ayat-ayat tersebut dari dulu sudah ada, tapi sayangnya tidak pernah saya sadari. رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ "..Ya Rabb kami, tidaklah sama sekali Engkau menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.." Ali Imran 191
Ini tuh seru banget :)
0 notes
Text
Cinta Kepada Rasulullah SAW.
Sebelum Ramadhan sempet berdoa, “Ya Allah, ingin seperti muslim lainnya, bisa cinta banget sama Rasulullah SAW..”
pernah gak sih mempertanyakan hal yang sama? kok orang lain bisa ya se-cinta dan se-respect itu, tapi kok aku nggak ada perasaan itu.. Bisa jalanin sunah dengan sepenuh hati, dan membicarakan beliau dengan penuh kehati-hatian.
Akhirnya, aku mulai perjalanan mencari ilmu tentang Rasulullah SAW..
dimulai dari ngedengerin podcast dari Ust. Khalid Basalamah yang cerita tentang Sirah Nabawiyah, yang lengkap banget, bahkan dari sebelum Rasulullah SAW lahir, kemudian anak-anak, kemudian diangkat menjadi Rasulullah, dan kejadian-kejadian penting seperti perang, hijrah, perdebatan, kisah mualaf para sahabat, dan banyak lainnya.
Setelah dengerin dan pelajari, kisah sirah dari Ust. Khalid menjadi kerangka utama informasi tentang Rasulullah SAW. Karena podcastnya fokusnya dikejadian besar jadi selesai ngedengerin muncul banyak rasa penasaran lanjutan. Terutama pada sikap-sikap Rasulullah SAW dalam menjalani kejadian-kejadian tersebut.
Sampai akhirnya, selama Bulan Ramadhan kemarin ngikutin keseharian Rasulullah SAW dari igtv imam omar sulaiman, setiap harinya kurleb 10 menit video. Mulai dari bagaimana Rasulullah ke anak-anak, berperang, bercanda, nongkrong, dimintai pertolongan, bersedih, seeemuanyaaa..
Sampai di tengah Bulan Ramdhan rasanya perasaan suka, cinta, dan kagum mulai muncul. Ngebayangin pertemuan dengan Rasulullah SAW, rasanya gak kebayang.. mata langsung cirambay dan nangis .
Jujur aja. Saat ini, perasaan tersebut sudah muncul, tapi masih terus dikembangkan. Masih banyak ilmu yang harus terus dicari, sampe tujuannya rasa cinta kepada Rasulullah SAW bisa mengalahkan cinta kepada diri sendiri.
0 notes
Text
Diagram menghadapi ujian kehidupan.
Ini mah kata aku aja, kata pengalaman. Gak ada dasar teorinya. Termasuk self diagnosis yang diperbolehkan gak ya hahaha
Jadi pingin S2 psikologi. Biar tau manfaatnya spiritualitas dalam menghadapi hidup.
0 notes