faithsilmi
faithsilmi
Faith Silmi
4 posts
Rausyan Fikr
Don't wanna be here? Send us removal request.
faithsilmi · 6 years ago
Text
Standard
Salah satu perkara yang menyeramkan, adalah standarisasi hidup manusia. Itu pekerjaan resiko besar, yang berdampak pada hidup matinya seseorang. Dan celakanya, kita masih sering keliru.
Sejahtera dan kaya masih diukur berdasarkan kilogram nasi yang kita makan dan pendapatan rupiah, padahal tak semua kebudayaan memakan nasi dan ada masyarakat yang kaya sebab berteman dengan alam.
Kesadaran politik diukur dari rendahnya angka golput. Padahal ada banyak golput lahir dari kesadaran terhadap sistem politik yang rusak.
Kecerdasan diukur dari angka nilai dan berapa kali angkat tropi. Padahal banyak penemu malah terusir dari sistem sekolah seperti itu.
Maka, metode standarisasi manusia harus diubah. Ia harus lahir dari bawah, lintas ilmu, otonom dan dialektis. Setiap masyarakat, harus dibaca seperti keinginan mereka, bukan seperti apa yang penguasa ingin baca.
Ini adalah tugas besar ilmu. Dikerjakan oleh cendekia, yang saat ini berkumpul di kampus. Maka, mengelola kampus adalah mengelola nasib sesama. Sepenting itu.
Supaya peradaban manusia ke depan, adalah yang akurat membaca dirinya. Masa depan adalah milik informasi dan data. Kesalahan data adalah fitnah, lebih kejam dari pembunuhan.
Nabi Yusuf sudah memulai itu. Barangkali, Beliau tidak menakwil mimpi Raja tentang sapi dan gandum. Bisa saja itu adalah data statistik Mesir. Dengan itu Beliau memprediksi, ada 7 tahun panen, dan 7 tahun paceklik.
Itulah kenapa Kita diminta membaca Qur'an. Bukan sekedar melafalkannya.
2 notes · View notes
faithsilmi · 6 years ago
Text
Filosof
Kepemimpinan negara, bangsa, umat, atau apapun entitas sosial yang rumit, tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang.
Tidak kepada tukang, kepada tentara, kepada pengusaha, dokter, guru, petani, arsitek, diplomat dan macam profesi lain. Kata Al Farabi, Ia hanya bisa dijalankan oleh dua: Nabi atau Filosof.
Tentang Nabi, kita lewati saja, langsung menuju ke Filosof.
Kepantasan para Filosof, ialah karena mereka memahami rumusan dasar dari setiap ilmu, mengamalkan etika, piawai beretorika dan mahir dalam matematika.
Singkatnya, mereka memiliki apa yang disebut sebagai "Hikmat Kebijaksanaan". Alhasil, mereka memandang segala sesuatu melampaui penglihatan kebanyakan orang. Jauh, dalam dan tajam.
Kalau sulit menemukan seorang seperti itu, maka kata Al Farabi, bentuklah hikmat-kebijaksanaan dalam sebuah kepemimpinan kolektif.
Bisa jadi, usul Al Farabi inilah yang sekarang kita kenal sebagai, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan."
Sekarang, sudah seberapa jauh kita meninggalkan itu?
1 note · View note
faithsilmi · 6 years ago
Text
Ruang Kampus
Kesalahan terbesar kita dalam melihat pasar, terjadi ketika mengira bahwa Pasar adalah tentang uang. Padahal, ia adalah tentang ruang.
Kita ini hanya sebuah perpustakaan. Siapa diri kita, ditentukan dari apa saja referensi yang tersusun dalam “rak” di kepala dan hati kita. Kita menjadi manusia yang lebih baru, ketika referensi kita bertambah. Itu saja sebenarnya. Membentuk diri adalah perkara memperkaya referensi. Itu menentukan sikap kita, emosi kita, cara pandang kita, keberpihakan kita.
Referensi tadi, didapat melalui interaksi. Membaca, tak lain adalah interaksi kita dengan buku. Berdagang menjadi interaksi penjual dan pembeli. Beribadah, ialah interaksi dengan Pencipta. Dan berpikir, adalah interaksi kita dengan diri kita sendiri.
Setiap interaksi, selalu membutuhkan ruang. Sholat, membutuhkan masjid sebagai ruang interaksi. Belajar, membutuhkan sekolah sebagai ruangnya. Perang, perlu medan sebagai tempatnya. Komunikasi, membutuhkan media. Siapa saja yang memahami ruang, maka ia bisa menguasai interaksi di dalamnya. Dan siapa saja yang menguasai interaksi, maka ia bisa mempengaruhi manusia.
Memahami ruang itu penting. Setiap ruang, memiliki makna. Dan setiap budaya, mempunyai maknanya sendiri terhadap ruang dan cara menyusun ruang. Kita bisa melihat, keraton Jawa, pasti memiliki alun-alun di depannya. Dan di antara itu, terletak sebuah masjid. Lalu, tak jauh dari sana, terdapat pasar. Itu semua adalah metodologi orang Jawa, dalam menyusun ruang-ruang: keraton, masjid, alun-alun dan pasar. Pengelolaan ruang, menentukan bagaimana manusia akan terbentuk.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah mengkritik pandangan Ekonomi Modern yang menjunjung tinggi efisiensi dan pemenuhan self-interested. Ekonomi yang didasari atas ego diri sendiri, perilaku ekonomi yang terpisah dari moral dan etika. Dan sebagai ruang ekonomi, pasar turut memberi referensi dan membentuk diri kita.
Pasar modern, swalayan, mal dan semacamnya, akan mempengaruhi sikap kita, emosi kita, cara pandang kita dan keberpihakan kita. Ia hanya menyajikan kita pengalaman yang serba praktis dan serba mudah. Akibatnya, kita akan terbiasa menyelesaikan masalah yang sepraktis dan semudah mungkin bagi diri sendiri. Ia bersifat terpusat, kaku, semua telah ditentukan harganya, tanpa tawar. Alhasil, kita akan terbentuk menjadi tak kompromis, sewenang-wenang, self-interested. Kita menjadi berpihak pada elit, berpikir seperti elit, dan bertindak untuk menjadi elit.
Sedang pasar tradisional, menyajikan kita pengalaman yang serba rumit, banyak teka-teki, banyak interaksi, banyak konflik dan masalah. Ini membentuk kita untuk terbiasa menyelesaikan permasalahan secara komprehensif dan mengakar. Ia membawa kita pada proses penuh tawar-menawar, menanyakan harga dan membentuk kesepakatan. Semua serba cair dan demokratis. Alhasil, kita menjadi lebih kompromis, mencari jalan tengah dari setiap permasalahan, saling untung. Kita menjadi serba dekat, berpihak kepada akar rumput, dan selalu ingin menjadi mereka.
Ini pun belum termasuk bagaimana pasar digital membentuk kita.
Membaca pasar sebagai ruang, artinya memahami bahwa pasar adalah tentang jejaring interaksi, yang saling mempertukarkan keuntungan. Dan seperti di ruang-ruang lain, masalah utamanya adalah pada tidak seimbangnya pembagian keuntungan dalam proses interaksinya. Ada pihak yang paling diuntungkan dan juga dirugikan.
Rerata pasar, membentuk rantai yang hanya mengutungkan segelintir orang. Jangan mengira hanya pasar modern saja, ini juga berlaku pada pasar tradisional. Pasar akhirnya menjadi sebatas etalase. Sedang kasirnya, ada di tangan satu mata rantai yang disebut tengkulak. Ia menjadi makelar distribusi, yang menekan harga di hulu dan meninggikan harga di hilir. Na’asnya, mereka kerap berkongsi dengan penguasa dan mengatur harga. Produsen dan konsumen dirugikan.
Maka, ide mengajak orang untuk pergi ke pasar bisa menjadi ide yang tidak tepat. Ia keliru, apabila hanya dimaksudkan untuk menambah omset bagi para pedagang. Cara itu hanya akan menyentuh permukaan, tidak menyelesaikan apapun dan malah memperkuat carut marut dengan semakin menguntungkan tengkulak. Sebuah cara yang lahir karena melihat pasar sebagai uang, bukan ruang. Lebih keliru lagi apabila diusung untuk membesarkan keuntungan pribadi, seperti mencari harga yang lebih murah.
Ide megajak orang ke pasar ini, harus dimaknai ulang, dilakukan re-orientasi. Setidaknya, ada dua hal yang bisa dilihat dari pasar: sebagai ruang belajar untuk membentuk diri dan karakter; dan sebagai ruang yang harus dipahami secara radikal permasalahannya, sehingga kelak bisa diperbaiki.
Bermain ke pasar, akan membentuk orang-orang yang ketika memegang kuasa, tidak akan menggusur seenaknya. Orang yang tidak berkoar tentang meninggikan produksi sawit, tapi abai pada proses pembakaran hutan untuk membuka lahan sawit. Orang yang lebih mengutamakan adanya pangan, daripada bandara. Orang-orang semacam Soekarno, yang belajar dari semua. Ia yang pergi ke sawah, untuk bertemu dengan Pak Marhaen, saling belajar dan menghasilkan Marhaenisme. Bukan pergi ke sawah untuk sekadar berfoto seolah swasembada.
Lagi, pergi ke pasar akan membentuk pemahaman kita tentang masalah akar rumput. Sehingga, ketika kita memiliki kemampuan, paham dan mempunyai akses, kita bisa ubah kondisi itu. Atau ketika bisa bersuara, kita bisa teriakkan kencang-kencang ke semua orang. Atau ketika tidak juga bisa, kita benci itu di dalam hati dan menjadi sikap kita selamanya.
Uang bisa membantu, tapi tak menyelesaikan masalah. Orang menjadi miskin bukan karena tak punya uang saja, tapi karena dimiskinkan. Jika orang kaya ingin memberi solusi dari hartanya, ia cuma akan menjadi pion solusi, bukan pemain caturnya. Perlu sistem yang dibentuk dari kepahaman akar rumput dan wawasan luas. Perlu sekelompok orang yang sadar, paham dan mau. Ayo tebak, di ruang mana seharusnya interaksi antar orang-orang semacam itu dibentuk?
Jawabannya bisa dilihat di dua kata pertama esai ini. Hehe~
3 notes · View notes
faithsilmi · 9 years ago
Quote
Siapa yang bisa menjaminmu tetap hidup sampai dzuhur, sedangkan saat ini engkau adalah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap nasib rakyatmu?"
Putra Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(Ketika itu Umar bin Abdul Aziz mengatakan hendak tidur sampai waktu dzuhur karena letih setelah menguburkan Khalifah sebelumnya dan mengikuti acara pelantikannya sebagai Khalifah yang baru)
3 notes · View notes