Text
Your Gallery When Saka Was Your Boyfriend

Memori ketika aku sengaja mengabadikan dirimu dalam lensa kamera.
"Saaak, noleeeh!! Ayo, anak mama noleh, mau difoto sini!!"
Aku menggoyangkan lengan besarnya untuk membuatnya menoleh. Kamera yang berada di genggaman tanganku satunya sudah sangat siap untuk mengabadikan lelaki di sebelahku.
"Apaan, sih?" Ia menolak mentah-mentah.
"Sini ih, noleh duluuu! Nggak mau difoto emang?"
"Nggak."
"Iiih, Saka! Kapan lagi coba ke sini bareng?"
Aku masih mencoba untuk membuatnya menghadap kamera. Saka, lelaki itu, kemudian mengembuskan napasnya malas sebelum akhirnya menyerah dan menoleh ke arahku.
"Nah, gituu dong!" Senyumku sontak melebar, lalu dengan satu tangan sedangkan tangan lainnya masih bertautan dengan miliknya, aku mengambil foto.
Dia masih menolak untuk tersenyum padaku saat kamera masih menghalangku untuk menatapnya secara langsung. Tangannya masih menggenggam tangan kiriku, malah ia eratkan lagi, biasanya tidak pernah.
"Ih, nggak senyum, ah, malesiiiin!" Aku merengut malas saat melihat hasil foto tadi. Satria enggan peduli bahkan sedikit pun, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang terus mengarah kepadaku.
"Ke sana, yuk?"
"Kok nggak ada yang senyum sih, Sak!"
"Lihat, tuh! Kayaknya seru di sana."
"Ih, Sakaㅡ"
"Udaaah ah, yuk."
Dia kemudian menarikku sambil mengambil langkah, yang mau tak mau berarti aku harus mengikuti langkahnya.
Foto satu, 2015, New York.

He shrug my hair before picking up his guitar.
"Wuih, ciee, artis mana nih?"
Aku meledeknya yang baru muncul dari pintu. Saka di ujung sana hanya tersenyum malu-malu sebelum akhirnya berjalan mendekat. Tangannya merentang, berhasil menghasilkan kerutan di keningku. Nggak mungkin kalau ini anak satu minta peluk, ya kan?
Tentu saja, sodara-sodara. Bukannya apa, tapi ia malah mengusak-usak rambutku, membuatnya berantakan tak beraturan.
"Heh! Apaan sih, seneng banget kayaknya?"
"Iya, lah!" Suara ringannya kini mendobrak pendengaranku selagi pemiliknya mengambil gitar akustik di sisi lain.
Aku terkekeh. "Yaudah, awas kalo lupain gue pas udah terkenal. Inget yang nemenin waktu ujan-ujanan beli gitar siapa!"
Tawa kecilnya mulai mengudara, yang kemudian aku ikuti. Pada akhirnya, kami berdua tertawa.
Detik kemudian ia sibuk sendiri dengan gitarnya. Aku yang tadinya tenggelam dalam aksi menggulir beranda di ponsel, tergerak untuk mengarahkan kamera ponsel padanya.
Dan dalam satu tekan.
Ckrik!
Foto dua, 2015, Studio, taken by me.

saka0116 posted: "Yes, we're ready!!!"
See 15 replies...
ezaparahita: "Ready mau ngapaaaain, bosss"
devahrnd: "Buset, gua jelek amat bang, setengah doang"
saka0116: "@devahrnd fotonya yang pilih @orenjiday"
orenjiday: "@devahrnd lo selalu keren kok❤"
saka0116: "@orenjiday hah"
Foto tiga, 2015, Nggak tau, accidentally saved from LINE.

"OEEEE KEREEEEN!!!"
"Buset, lu paling berisik, dah, suer. Drumnya Deva nggak kedengeran."
"Bang Eza, ada baiknya lu diem aja, oke? WOOOOOOO KEREN BANGET KALIAN SEMUAAAA."
"Udaaah tauuu gueee."
"... kecuali Bang Eza."
Saka dan yang lain tertawa kecil mendengar perdebatanku dengan Bang Eza. Heran, itu orang tingkat pedenya ngalah-ngalahin monas, tinggi bener!
"Saaak, liat nih, Sak! Foto jepretan gue nih, bagus, kan?"
Aku menyodorkan ponselku yang menyala terang untuk menunjukkan foto yang kuambil tadi pada Saka.
Saka dengan napasnya yang masih belum beraturan usai turun dari panggung kecil tadi dan berkeringat basah mendekat padaku, lalu mengangkat satu alisnya usai melihat jepretanku.
"Nggak ada yang fotonya gue doang?"
Foto empat, 2015, Concert Hall, taken by me.

Aku memandangi layar ponselku sambil menahan tawa. Setengah otakku memikirkan bagaimana Yayan mengelabui Saka supaya mau difoto dengan efek ala-ala seperti itu.
'Wkwkwk, kok mau dia difoto kayak gitu, Yan?'
Send? Send.
Foto lima, 2016, Radio, taken by Yayan.

"SAKAAAAAAAAAAAA!"
Di tengah keramaian, aku berteriak.
Memanggil namamu dengan senyum lebar.
Yang kau balas dengan lambaian tangan.
ㅡlalu kau balas senyum keindahaaaan~ (lah nyanyi)
Foto enam, 2017, Concert, taken by me.

"Bisa nggak, sih?"
"Nggaaaak, huhu."
"Ih, cupu, deh."
Aku mendelik marah padanya. "Enak aja! Cobain nih kalo bisaa."
Dia terkekeh pelan sebelum akhirnya melangkah maju menggantikan posisiku di depan mesin keparat itu. Tangannya menggesek kartu permainan guna mengaktifkan kembali mesinnya. Aku bersedekap tangan di sebelah, memantau apakah lelaki itu bisa mengambil boneka.
Saka kemudian larut sendiri dalam permainannya. Menarik tuas, menekan tombol, lalu berakhir dengan embusan napasnya diiringi suara cekrik dari ponselku.
Ia lalu menoleh sambil tersenyum lebar seolah-olah tak pernah melakukan apa-apa.
"Nggak bisa, hehe, yuk."
Foto tujuh, 2018, Game Center, Taken by me
ㅡㅡㅡㅡ 2020
WhatsApp notification
07.00
[Saka] Di mana? Masih di rumah, kan?
[Saka] Nitip Kirana, yakk
[Saka] Nanti dijemput maknya jam 12
07.15
[Me] Hooh
[Saka] Dah di depan, hehe.
Aku melirik pintu depan setelah membaca pesannya. Detik kemudian, tingtong, terdengar suara bel yang sukses membuatku bangkit dari sofa untuk membuka pintu.
"Haaai, Kirana!" Aku menyapa riang setelah mendapati anak kecil berumur 5 tahun dengan rambut dikuncir dua dan tas ransel pink tersampir di pundaknya.
Ia menghambur ke pelukanku. Wangi anak kecil yang khas seketika menyeruak masuk ke penciumanku.
"Eh, jangan peluk-peluk. Tantenya masih ileran, belum mandi!" Pria di belakangnya memegang pelan pundak gadis kecil tadi.
"Eh, enak aja, Sak!"
Saka, pria dengan balutan jas itu, terkekeh kecil setelah mendapat pukulan pelanku pada bahunya.
"Eza mana?" tanyanya sambil berusaha melihat ke dalam rumah dari celah pintu.
"Belum bangun, habis ngerakit gundam semalem."
"Ah, yang bener? Habis ngerakit gundam apa habis-"
"Sut sut sut suut, nggak usah sok tau, lo. Dah sana kerja, kerja! Heran gue, hari libur juga masih kerja, Kirana ayo dadahin dulu papanya."
"Iya, iya, buset galak amat, bumil."
Aku mengangkat tangan Kirana dan melambaikannya pada Saka yang sudah menjauh hendak menuruni tangga teras.
"Dadah Papaaa!" Suara Kirana cempreng mengalun.
Kemudian aku mengajaknya masuk dan menutup pintu.
"Udah sarapan belom, Kir?"
Kirana sudah duduk anteng menonton televisi, sedangkan aku melangkah ke dapur setelah mengambil ponsel di atas sofa.
"By... aku laper..."
Suara serak khas orang baru bangun tidur terdengar bersamaan dengan munculnya Eza yang rambutnya berantakan.
"OM EJAAAA!"
"Eh eh, udah ada Kirana cantik. Mau ngapain nih?"
"Za, kamu nggak malu sama Kirana baru bangun jam segini?"
Aku ikut menimbrung dari dapur walau sambil menatap ponsel cukup lama,
'Anda yakin ingin menghapus folder?'
'Ya.'
Folder 'Foto Saka' telah dihapus. Urungkan.

orenjiday posted: “Kok nggak malu gitu sama Kirana.”
See 10 replies...
ezaparahita: “Kok nggak malu gitu foto suaminya dipajang-pajang.”
saka0116: “Siapa duluuu bapaknya Kirana... ya gue.”
yayanmasbuloh: “Pagi-pagi junk food, ckck. Mau doooong.”
wiratno_jaya: “Bau Bang Eza kecium sampe tempat gue.”
devahrnd: “Kirana-nya manaaaa??????”
6 notes
·
View notes
Text
Nobody loves you, more than me, baby.

Kalau ada yang mendengar satu dentingan garpu tala, maka lari!
Larilah sejauh yang kau bisa. Selagi ada waktu, selagi ada harapan. Walau yang harus kau arungi adalah panasnya lahar bumi ataupun dalamnya samudra biru, aku harap kamu memutuskan untuk lari.
Lari menjauh, jauhi sang ksatria.
Tidak, dia bukan ksatria.
Tidak ada yang ksatria di sini.
Semuanya terlalu semu, terlalu asing, terlalu ber-resiko tinggi. Kau mau mati dalam dentingan garpu tala? Tidak ada yang mau!
Maka dari itu, lari.
Larilah karena tidak ada yang pernah mencintaimu,
melebihi cintaku.
0 notes
Text
Lelah setelah berlayar, tak ada lagi alasan untuk tidak menepi.
Kenapa kadang kita menyia-nyiakan apa yang sebelumnya kita usahakan?
Kondisi kafe itu cukup bising dan penuh akan polusi suara. Harum kopi menyerbak bersamaan dengan bau keringat orang-orang. Cukup menyebalkan memang. Padahal pendingin ruangan yang tersebar di segala penjuru sudah bekerja keras untuk mengeluarkan udara sejuk. Hanya manusianya saja yang suka bertindak semau mereka, contohnya membiarkan pintu depan terbuka lebar yang notabenenya adalah ruangan ber-AC tanpa inisiatif untuk menutupnya.
Mensinyalirkan betapa tidak peduli dan borosnya manusia di kehidupan yang sementara ini.
Begitu mungkin sambatan gadis yang duduk di sana di hadapan layar laptop dan serakan kertas di mejanya. Ia kembali mengunyah es batu entah untuk keberapa kalinya. Tatapannya menatap nanar layar di hadapannya. Sesekali mengembuskan napas kasar sebagai pelampiasan keluhannya.
Menjadi mahasiswa baru yang mulai menghadapi keras nan pahitnya realita. Tidak ada acara santai-santai di hari libur, tidak ada tidur tepat waktu, tidak ada canda tawa dengan teman, tidak ada yang namanya pacar.
Ups, pengecualian untuk yang satu itu karena realitanya, faktanya, menakjubkannya ia punya.
Jangan tanya bagaimana, tapi setelah malam kelulusan itu berakhir, berakhir pula debu yang menghiasi chatroomnya. Kini bukan hanya orang tuanya atau temannya saja yang muncul di percakapan teratas. Bahkan kini, percakapan paling atas selalu didominasi oleh sebuah kontak dengan nama *piip* lalu emoji love di sebelahnya.
Hari demi hari, menit demi menit, detik demi detik. Tidak ada lagi bermain ponsel yang hanya menggulir beranda sosial media dari atas hingga paling bawah. Pasalnya, sekarang sudah ada yang menunggu balasan darinya, ada yang membangunkannya di pagi buta untuk mengajaknya melakukan kewajiban, ada yang memarahinya karena tidak makan demi tugas yang menumpuk.
“Udah lama?”
Suara berat terbawa angin hingga sampai ke telinga gadis itu. Sontak ia mengangkat kepala, untuk mendapati sosok yang sejak setahun terakhir bersemayam di hatinya maupun benaknya. Salah satu sudut bibirnya terangkat kecil selagi ia menggeleng.
Lelaki itu menarik kursi sebelum akhirnya duduk dan mengeluarkan ponselnya. Sedetik kemudian, tidak ada lagi suara antara keduanya kecuali suara ketikan yang ditimbulkan jari-jarinya di atas keyboard dan suara permainan dari ponsel si lelaki.
Sebulan ini memang rasanya ada yang ganjal. Entah itu tak ada lagi semprotan dosennya yang tak pernah puas dengan hasil tugasnya atau mungkin karena berkurangnya frekuensi bertatap muka dua insan ini. Mungkin keduanya memang satu universitas, tapi berada dalam fakultas dan jurusan yang berbeda serta jauhnya bagaikan Sabang hingga Merauke.
Frekuensi kecepatan si gadis dalam membalas pesan dari lelaki itu juga mulai berkurang dan kini ia malah lebih tertarik membaca buku-buku (bahkan jurnal) atau menghabiskan hari luang untuk berbaring di atas kasur. Padahal biasanya ia akan mengajak pacarnya untuk berkeliling kota atau kemana saja asal dirinya terbebas dari kamar kosnya.
“Sesibuk itu?”
Entah sejak kapan, cowok itu sudah menggeletakkan ponselnya yang menampilkan kekalahan dalam permainannya. Raut wajahnya tegas, jelas menuntut sesuatu untuk dikatakan gadis di hadapannya.
“Hmmm.”
“Ini pertama kali akhirnya kita ketemu lagi sejak sebulan dan yang kamu mau dari aku cuman ngelihatin kamu nugas?”
Jari-jari gadis itu berhenti menari di atas keyboard.
“Memangnya aku maksa kamu buat ketemu?”
Surai hitam lelaki itu yang tadinya rapi kini sudah rusak sebab ia usak-usak. Helaan napas gusar terembus begitu saja darinya sebelum ia lanjut berbicara.
“Udah bosen?”
Gadis itu menutup laptopnya kasar dengan wajah memerah ingin menangis. “Kamu sebenarnya mau ngomongin apa sih? Aku ini lagi banyak pikiran juga!”
“Aku mau ngomongin kita yang udah ngalor ngidul nggak jelas gini, Ki! Kamu pikir kamu doang yang banyak pikiran? Kamu tau nggak kalau aku juga lagi banyak deadline? Kamu ngerti nggak kalau aku juga lagi capek? Nyatanya kamu nggak peduli aku, kamu cuman peduli sama dirimu sendiri!”
Lelaki itu berusaha menetralkan amarahnya. Menjalin hubungan bahkan tak pernah semudah memainkan game survival.
“Aku bakal peduli sama kamu seandainya kamu sadar sama tingkahmu sendiri ke cewek lain! Oke, aku nggak peduli kalau mereka cuman temen atau apamu lah, fakta kalau aku pacarmu juga nggak bakal ngaruh apa-apa, kan? Apalagi sama gamemu itu!”
“...tapi kamu ngehindarin aku bahkan di saat-saat terendahku di mana aku butuh kamu tapi kamu nggak ada! Di sini kamu yang jenuh, Bin!”
Air matanya yang sudah ia bendung tak lama lagi akan mengucur mulus di atas pipinya. Ia berusaha menahan mati-matian tangisnya karena sungguh tiada gunanya menangisi cowok di hadapannya ini.
“Terus mau kamu gimana?”
Gadis itu mengusap sudut matanya yang mulai mengeluarkan air mata. Sedangkan lelaki di hadapannya berusaha kuat untuk menenangkan dirinya.
“Nggak tau.”
“But I think we need a break, Ki.”
“I do think so.”
“Untuk berapa lama?”
“Sampai kita sembuh, Bin.”
Keduanya menahan amarah. Keduanya menahan tangis. Keduanya menahan rasa ingin kembali.
“Seberapa lama sampai kita sembuh?”
“Selamanya bahkan kurasa tidak cukup, bukan?”
“Kuharap ini bukan yang terakhir kalinya, Ki.”
Tapi, keduanya tetap menolak meski hati mereka berkata tidak. Mereka berdua saling bertatapan nanar dengan senyum tanpa perasaan yang mengembang.
“Tidak ada yang ingin berharap begitu.”
“Jangan menangis. Apalagi karena aku. Nggak guna.”
Gadis itu mengangguk. Meski begitu, jari-jemarinya tetap mengusap matanya yang memerah. Sengguk tangis tertahan kian terdengar. Ia kehilangan dan kehilangan ini terdengar seperti keinginannya.
Lelaki itu tetap melanjutkan bicara dengan suara bergetar.
“Aku lebih milih kamu bahagia, meski alasan senyummu bukan lagi aku.”
“You too. Your idiot smile, I will miss it, I guess?”
Keduanya berusaha saling melempar senyum, tanpa tau kondisi hati mereka sebenarnya.
“Mau aku anter pulang?”
“Iya, ayo.”
“Nggak usah, Bin. Aku masih lama di sini.”
Harusnya hari ini kamu mendukungku, menyemangatiku karena aku butuh itu. Kurasa kamu pun juga membutuhkannya. Hanya saja gengsi kita yang terlalu besar sukses menghalang segalanya. Kita kalah. Kita berdua.
Lelah setelah berlayar, kini tak ada lagi alasan untuk tidak menepi. Tapi kuharap hatimu tetap tak jatuh, pada yang lain. Setidaknya sampai aku benar-benar berhasil menepi, berhasil tidak mencintaimu lagi.
2 notes
·
View notes
Text
Sebuah alasan untuk tidak menepi.
Dia tak akan pernah tahu sebelum ia mencoba. Setidaknya sebelum ia berakhir dengan perasaan menyesal di kemudian hari.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan acara itu masih berlanjut. Manik mata berbinar-binar terlihat di segala penjuru. Baik kenal maupun hanya sekedar tahu nama, semua berkumpul untuk mengambil foto. Tidak terkecuali gadis itu. Sibuk tersenyum sana-sini demi sebuah memori yang akan dikenang selamanya.
Tapi, bukan hanya itu fokus utamanya. Selagi matanya tak henti-henti menatap kamera, manik hitam legam itu juga terlihat mencari-cari.
Mencari seseorang yang sudah berkeliaran dalam benak tiga tahun lamanya.
Oh, itu dia di sana! Hatinya sukses memekik riang hanya dengan menangkap oknum itu dalam penglihatannya. Satu hal yang mengganggu, yang melunturkan kembali senyumnya. Saat seorang gadis yang tentu ia kenal mengulurkan ponsel pada sosok di ujung sana.
Keduanya berpose pada kamera ponsel, lalu tertawa-tawa setelahnya. Sedangkan, gadis yang di ujung sini juga memegang ponsel yang bahkan sudah membuka aplikasi kamera dari awal. Hanya saja, ia tidak mengulurkannya pada sosok itu. Malah sibuk menerawang, mempertanyakan kapan ia akan berani seperti itu.
Malam kelulusan harusnya (memang) malam yang menyenangkan. Malam di mana tiga tahun belajar (baca: tertekan, depresi, cemas)-mu akhirnya terselesaikan. Seharusnya juga malam yang indah untuk mengambil memori bersama dia yang selalu berada dalam jarak pandangmu.
Namun, bagaimana kalau itu semua hanyalah angan? Angan semu yang tak terwujud akibat keraguan, ketakutan yang tak juga ditiup oleh angin malam.
Angin malam malah menghadirkan kenangan yang tak gadis itu sangka akan ia rindukan. Kenangan di masa-masa di mana gadis itu tak berhenti menaruh lelaki itu dalam benaknya. Di masa paling krusial sekali pun, tak kunjung hilang dalam hatinya dan tak dapat diterima akal sehatnya.
Kala itu, hari pertama masuk sekolah sebagai siswi baru. Ia ingat bagaimana ia melihat lelaki itu tersenyum cerah yang saking cerahnya bahkan matahari sampai tak mau menampakkan diri. Benar saja, hari itu hujan.
Kala lainnya, entah di siang bolong atau di sore yang sejuk, ia bahkan tak ingat jelas waktu kejadiannya. Ia hanya baru mendapati kalau ternyata bukan hanya dia yang jatuh pada senyuman bodoh itu. Ada orang lain yang juga menyimpan rasa. Lebih tepatnya, banyak
Kala lainnya lagi, ketika ia merasa seribu langkah di belakang orang itu dan puluhan ribu kilometer jarak ia berdiri dari sosok itu. Ketika ia merasa mereka mungkin sudah dekat dan rasa putus asa mulai timbul.
Kala lainnya satu kali lagi, di mana ia sudah mulai melupakan setelah mengenal sosok lain yang nyatanya begitu jauh lebih sulit untuk diraih. Namun, tentu tak semudah itu jika sosok yang dari awal sudah ada, jejak-jejaknya pun masih jelas terbaca di hati.
Ada satu alasan. Sebuah alasan mengapa ia tak memutuskan untuk menepi begitu saja. Satu alasan untuk tak berpaling begitu saja meski ia hanya berkesempatan untuk memandang punggungnya. Bukan dari cara lelaki itu mengibas poninya yang tanpa ia sadari telah mengobrak-abrik hati seseorang. Bukan dari senyumnya yang terlihat idiot, karena lebih idiot lagi gadis itu karena jatuh padanya. Apalagi tulisan ‘I love Allah’ yang tersemat di bio sosial medianya dan menjadi ultimatum untuk para gadis yang menginginkan lelaki religius untuk berada di samping mereka.
Bukan, bukan itu. Ada satu. Entah itu apa. Tak ada yang tahu apa karena gadis itu sendiri pun tidak menyadarinya. Hanya perasaan mengganjal selama tiga tahun terakhir yang membuatnya tak berpaling barang sedetik pun dari lelaki itu.
Walaupun ia tau, lelaki itu bahkan tak pernah menyadari keberadaannya yang seperti debu alam semesta di antara ratusan sinar terang bintang.
Akal sehatnya lalu kembali, sembari ia menarik napas berat sebelum akhirnya memencet tombol home pada ponselnya. Menghapus segala kemungkinan kecil tak begitu berguna yang ia nantikan. Pandangannya menatap nanar buket bunga baby breath menawan yang rencananya akan ia berikan. Lengkap dengan seamplop surat berisikan apa yang sebenarnya ingin ia utarakan secara langsung.
Setidaknya, sekali untuk seumur hidup.
Begitu pikirnya saat memutuskan untuk membeli buket bunga dan menulis surat.
Apa daya ternyata ia sepengecut itu. Ya, lagipula bukannya yang seharusnya terjadi adalah lelaki itu yang melakukannya dan bukan dia?
Kalau yang kau bayangkan begitu terus, maka itu tak akan mungkin pernah terjadi, desak hati kecilnya.
“Nggak jadi?” Sebuah suara mengagetkannya. Ia berbalik hanya untuk mendapati tatapan kecewa temannya pada buket bunga itu.
“Nggak foto juga?” Suara itu tak berhenti bertanya bahkan setelah ia mengedikkan bahu tak tahu-menahu.
“Coba aja gih, nanti nggak ketemu lagi loh.”
Napas berat kembali keluar. Temannya benar. Bisa jadi ia tak akan melihatnya lagi untuk jangka waktu yang panjang atau mungkin selama-lamanya. Ia kembali memandang buket itu ragu.
Tiga tahun berlayar dan apakah ini saatnya untuk menepi?
Terlalu banyak keraguan untuk satu aksi yang dapat menentukan ke depannya apa yang terjadi.
Sekali untuk seumur hidup.
Batinnya lalu mengeja, aku tidak akan menepi, setidaknya belum.
Ada beberapa menit sebelum semuanya benar-benar berakhir. Dilihatnya semua orang sudah mulai bergerak ke arah pintu akan kembali ke rumah. Ia meraih cepat buket bunga itu. Manik obsidiannya kembali sibuk melihat ke sana kemari tak menentu, mencari sosoknya. Ponselnya kembali menampakkan tampilan kamera setelah tadi kembali ke layar utama. Jantungnya berdegup kencang seakan ia sedang mengikuti kompetisi lari.
Memang ini kompetisi lari. Lari mengejar waktu yang tersisa dan kemungkinan yang kembali menjauh dan menjadi ketidakmungkinan.
Akhirnya sosok itu kembali berpendar dalam gelapnya bola mata gadis itu. Di depan sana, di depan pintu. Hendak berjalan keluar, namun tersirat cemas dalam langkahnya. Lelaki itu bolak-balik menoleh ke belakang seolah-olah ia menanti atau mungkin kehilangan sesuatu.
Jika boleh berandai, tentu gadis yang mengangkat roknya dan menjinjing sebuket baby breath sambil berjalan cepat melewati lautan manusia itu akan berpikir bahwa lelaki di depan sana menunggunya. Ketidakmungkinan yang cukup lucu dan akan ia tertawakan sepanjang masa hidupnya kalau Dewi Fortuna ternyata sangat berbaik hati mau menghapus kata ‘tidak’ tadi.
Ia melihat lelaki itu kembali berbalik ke belakang. Ia lihat bagaimana lelaki itu memperhatikan sekeliling, memandangi satu persatu yang ada di sana. Ia lihat semuanya dengan perasaan khawatir yang membuncah.
Hingga entah bagaimana, entah apa yang terjadi, tetapi pandangan mereka bertemu.
Pandangan mereka akhirnya bertemu. Terhalang oleh banyak kepala, tapi tetap menyalurkan sengatan listrik.
Gugup menjalari sang gadis, selagi ia berhenti sesaat merasa lelah dan tak berguna dengan semua yang ia lakukan. Ketidakmungkinan itu tak mungkin akan menjadi kemungkinan. Tapi nyatanya kini ia lihat jelas bagaimana lelaki itu memutar arah dan kini mengambil langkah melawan arus. Akal sehatnya mulai hilang meski tadi sempat mewanti-wanti kalau ia hanya membuang waktu. Sementara hati kecilnya meyakinkan kalau ia adalah tujuannya.
Keajaiban macam apa, tetapi lelaki itu kini berdiri di hadapannya yang sedang memegang buket bunga. Raut gugup terlukis jelas di wajah keduanya. Lidah mereka kelu, ingin membuka tapi tak sanggup mengucapkannya. Senyum keduanya kemudian mengembang bersamaan dengan napas yang sama-sama berderu kencang.
“Haha, untung tadi belum pulang duluan.”
Tawa hambar lelaki itu mengudara dan si gadis sama sekali tak merasa sedang berhadapan dengan orang aneh karena malah ia bersemu saat tawa itu didampingi oleh uluran ponsel dengan aplikasi kamera yang terbuka mengarah padanya. Yang juga meyakinkan dia untuk mengulurkan buket itu pada lelaki di hadapannya.
Keduanya lalu tertawa setelah mengambil foto bersama. Membuat memori tak terlupakan yang akan terabadikan sepanjang masa. Persis seperti khayalan gadis itu.
Satu alasan itu. Sebuah alasan untuk tidak menepi dan tetap berlayar di tengah tenangnya lautan,
karena senyum itu terlalu sayang untuk dilewatkan, karena hatinya sudah terlalu betah untung menaruh harap.
Setidaknya jangan menepi, daripada berakhir dengan perasaan menyesal di kemudian hari.
3 notes
·
View notes
Text
Sunset With The Pouring Rain,
Location Unknown.
Rain, can you hear me?
Bet you’re not.
But, i hope you can tell her,
either with your water, petrichor, or even your splash on the ground.
Tell her, that she is the one i will be miss until my last breath.
Whenever cloud start crying and the sun is going down, it always reminds me of her.
Always.
The girl, who smile no matter what happen and owning the eyes that never stop sparkling,
also the eyes that never stop making tears.
Rather than seeing her smile, i would prefer seeing her cry.
Because she is the cloud, the rain. They supposed to fall.
The waterㅡtears they have, it’s their fate to be spilled.
Rain, she is you.
With me as the background who makes it ten hundred more dramatic,
i am the Sunset.
Her Sunset.
ㅡㅡㅡ
But after she is gone, i never see rain pouring again when the sun is going down.
Where is she?
I don’t know,
location unknown.
7 notes
·
View notes
Text
Sunset Behind Your Back

“Do you miss me?”
He asked.
I cleared my throat, trying to answer him but my voice doesn’t want to come out.
Hyuck gaze always amaze me. And sunset behind his back make it ten thousands more beautiful than is it. That is exactly what i thought five seconds before i realize something.
“Do. you. miss me?”
He emphasize the words ‘do you’ while staring at me right into my eyes.
I want to scream. Scream loudly on his ears. Saying that i miss him every day. Every seconds, every minutes,
every time i breath, and will always miss him until my last breath.
But i can’t.
--- Tears started falling, as i woke up from that dream.
Hyuck is already gone,
that one day in last week,
when sunset was behind his back.
----
english is not my first language and this is my first time writing drabble in english, so i apologize for any grammar mistakes in that fic. feel free to correct me:)
5 notes
·
View notes
Text
Hi, Sun

Everytime i look at you in the eyes, i know i've been fall in love.
And the only question that remain, does hazel hole really exist?
Because i think i found it in your eyes.
I’m falling too deep for you.
But you are a sun. Full sun.
If you go deeper for a sun, you will get burn.
Nobody will save you.
3 notes
·
View notes
Text
Traffic Jam Confession
Sabtu, 20.30 pm
Dan aku masih duduk di dalam mobil menatap padatnya jalan raya disaat seharusnya aku sudah terlelap di atas kasur empukku. Menikmati indahnya tidur di akhir pekan.
Jam tidurku memang cepat. Tak ada yang perlu diherankan.
Udara dingin dan bau khas mobil yang sedaritadi menguar, membuat hidungku sakit bukan main. Ditambah pula dengan suara klakson mobil-mobil dari belakang maupun depan mobil kami yang saling beradu, menambah penat kepalaku. Atensiku kemudian beralih kepada sosok lelaki yang duduk di kursi kemudi. Raut wajahnya tak jauh beda denganku. Iris cokelat menatap lurus ke arah depan, kening mengerut silau terkena lampu mobil di depan kami, dan tangan kirinya yang sesekali mengusap wajah tampannya kasar. Rambut hitamnya yang tadi pagi tersisir rapi kini sudah acak-acakan tak keruan. Garis wajahnya yang sempurna kini sangat terlihat sedang kelelahan.
“Udah puas belum ngeliatinnya?”
Suara berat memasuki pendengaranku. Membuatku sedikit terkejut dan kemudian mengalihkan pandanganku ke arah lain gelagapan. Aku mencoba mengembalikan ekspresi datarku yang tadi sempat tergantikan dengan ekspresi kagum saat menatapnya. Kini aku seperti seorang maling yang tertangkap basah mencuri mangga oleh pemiliknya. Tapi bedanya ini seorang sekretaris yang tertangkap basah mencuri pandang oleh atasannya sendiri. Aku meremas ujung satu-satunya pencil skirt termahal yang kupunya. Dari tempatku duduk, dapat kurasakan lirikan matanya ke arahku.
“Aduh, kaaak. Mau sampai kapan sih kita gini terus?” Nada dari pertanyaan yang ia tanyakan padaku terdengar frustasi.
Aku tak berani menjawab ataupun menatapnya. Membiarkan keheningan kembali menyelimuti kami.
“Am i too young for you?”
Aku diam untuk yang keseribu kalinya.
“Irina! Look at me, i’m your boss!”
Suaranya meninggi. Aku kembali terkejut. Kata-katanya membuat diriku mau tak mau menatap wajahnya. Dia benar. Dia atasanku. Tak seharusnya aku mengabaikan atasanku sendiri saat ia sedang bertanya pada sekretarisnya. Hanya sekretaris gila yang mengabaikan bosnya, aku salah satunya. Aku berusaha mempertahankan raut datarku saat menatapnya. Rasa canggung luar biasa menghampiri kami. Mata elang lelaki itu lurus ke arahku seakan ia bisa membunuhku dengan tatapannya. Ya, sebenarnya semua wanita di kantorku sepertinya juga akan mati mengenaskan walau hanya ditatap atasanku yang guantengnya bukan main ini.
Atasanku ini memperkecil jarak diantara kami. Tak memerdulikan klaksonan mobil belakang maupun lampu hijau yang menyala di ujung jalan sana.
“Kak, i love you.” Intonasinya kembali merendah seperti sedia kala. Lelaki yang berusia lima tahun lebih muda dariku itu menatapku intens kemudian kembali memfokuskan dirinya pada jalan raya yang mulai lenggang.
Ia menancap gas pelan mengikuti mobil di depannya. Sedangkan aku sedaritadi hanya mendengarkannya yang sedang berbicara dan menatapku sambil menahan napas. Aku benar-benar tidak kuat. Bocah sialan yang sialnya lagi adalah bosku ini benar-benar membuat wanita manapun akan jatuh hati padanya. Kalau dia bukan atasanku, mungkin daritadi segala makianku yang tertuju padanya sudah keluar. Tapi, kalau dia bukan atasanku, mana mungkin aku bisa duduk bersanding dengannya menikmati kemacetan malam di mobil ini.
Aku meliriknya dengan ujung mataku. Sosok itu tengah mengeratkan genggamannya pada setir kemudi sambil mendesah malas. Seingatku dulu ia hanya bocah dekil yang sering bermain bola di lapangan sebelah rumahku.
Tapi lihat dia sekarang?
Dia atasanku! Wajahnya tampan! Disukai banyak wanita! Dan sekarang kemejanya sudah kusut dengan dasi dilonggarkan ditambah lagi dua kancing teratasnya terbuka! Wanita mana yang berani menolaknya? Ya, tentu saja wanita ini!
Mobil berhenti bergerak. Aku mendesah kesal melihat macet yang tak berujung ini. Setelah mendengar pengakuan yang dilakukan lelaki di sebelahku ini sepertinya pipiku sudah seperti pantat babi sekarang. Tidak perlu menyanggahnya, aku juga menyukai dia. Bisa dibilang kami saling menyukai. Hanya saja, dia bisa menemukan wanita seumurannya atau yang lebih muda darinya. Kenapa harus wanita tua ini?
Keheningan dalam mobil ini juga membuatku tersiksa. Harusnya aku tidak mengiyakan ajakannya untuk pergi bersama. Lebih tepatnya ancaman bukan ajakan. Ia menyalahgunakan jabatannya.
“Pak?” panggilku formal.
Lelaki yang menopang kepalanya dengan tangan yang tersandar di pintu mobil itu menoleh ke arahku. Alisnya terangkat satu dan itu membuat ketampanannya bertambah sekian persen. Aku bisa melihat sedikit kesenangan dalam matanya saat aku memanggilnya.
“Ah, Eh itu, Hong Group mau—“
“Kalo urusan kantor, saya gak mau jawab.” Dia kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan. Aku mengangguk canggung.
“Kenapa harus saya? Kenapa bapak gak suka sama yang lain aja?” tanyaku yang kembali mengambil alih atensinya.
“Bisa gak sih kita gak seformal ini? Bisa gak sih kakak lihat aku kayak cewek ke cowok bukan kayak sekretaris ke bosnya?” Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah melontarkan pertanyaan lain. Dengan gaya bahasa yang berubah. Mengesampingkan jabatan dan berbicara layaknya teman biasa.
Pandangannya kembali ke arahku. Namun kini menatap sayu, bukan tatapan tajam seperti biasa. Aku memberanikan diri menatapnya balik. Sekitar beberapa menit kami dalam posisi ini. Saling bertatapan cukup lama. Ditemani klakson dari mobil belakang yang bak pengisi suara drama menye-menye ini. Dan acara tatap-tatapan ini berakhir dengan dia yang kembali fokus pada jalan raya. Mobil belum bergerak normal, masih tersendat-sendat melihat banyaknya mobil di depan sana.
Yah, sepertinya aku akan terjebak dalam kemacetan yang tak berujung ini seperti aku terjebak dalam cintanya lelaki di sebelahku.
11 notes
·
View notes