Querto Bay. I love her my Kokia, she is love of my life.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
"I was born as a king and you complete me."
- Dipay
1 note
·
View note
Photo

she's rainbow but i was born with color-blind to me it's a big deal, not for her the way she gives her pure and authentic loves makes me feel the color she has more even, i can hear the sound of color warm embrace and soft of her color touch i can't see her color but, i can feel her pure color
2 notes
·
View notes
Photo

(the queen of querto bay)
that wasn’t short journey through the dark path, against ghoul, avoid grim’s scyhte, facing anubis. that wasn’t easy path to walk by, yet, precious journey we’ve been through. after all this time, our hearts still connect each others, within solid different. solid, literally … they said i’m a brick, you are sledgehammer we’re suppose to destroy each other, but no, you are help this fundamental brick build as an strong wall, or turn into majestic building, i see you now. you are my quest.
(from your querto bay king).
0 notes
Text
The Uniform of Baby Fitzgerald (4)
Derap langkah kaki terdengar sangar kemudian menghilang begitu saja. Yang Jill rasakan hanyalah kehampaan ruangan gelap dan lembab. Gadis mungil itu dapat merasakan wajah lebamnya belum lagi bekas tinju telak yang merontokkan badannya. Sebenarnya yang direncanakan oleh penculik itu apa? Rasa mual masih mendorong Jill untuk muntah. Namun mulutnya tertutup lakban tebal sehingga ia terpaksa harus menelan kembali cairan empedu yang pahit itu. Perlahan Jill mulai beradaptasi dengan keadaan. Meneliti sudut demi sudut dan suara percikan air hujan di luar sana. Namun rasa takut menuntun Jill untuk memejamkan matanya sekali lagi dan berusaha mengingat kejadian lewat serpihan memori di kepalanya. Ayah dan Ibu pasti sedang kalang kabut mencari Jill. Dimana anak perempuanku yang paling berharga? Dimana Jill sekarang? Jill dapat mendengar isak tangis dan seruan khawatir itu. Semuanya. "Drap." Pintu besar yang terbuat dari kayu terbuka. Menyisakan bayangan besar berdiri gagah di hadapan Jill. Gadis 15 tahun itu sudah siap jika hal buruk terjadi pada dirinya; pemerkosaan atau pembunuhan. Jill telah siap asalkan penderitaan ini berakhir. Matanya masih berat untuk terbuka seperti sedia kala karena luka lebam, lalu pria itu berjongkok di hadapannya dan mengelus lembut helaian rambut Jill yang basah. "Be-bop-a-lula, she's my baby ..." Jill kenal lagu itu lewat senandung yang dimainkan olehnya. Lagu yang biasa Caleb mainkan saat ia sedang kasmaran, kali ini Jill merasakan seorang penculik yang kasmaran dengannya. "Be-bop-a-lula, I don't mean maybe ..." Entah sampai kapan ia akan berhenti. Jill masih belum mampu membuka matanya dengan sempurna, yang dapat ia rasakan adalah hembusan napas hangatnya dan suaranya yang berat. Jill semakin merinding saat pria itu mulai mengelus lengannya. Keringat Jill yang licin membantu pria itu masuk dengan mudah ke bagian dalam tubuh Jill. Inikah saatnya? Seumur hidup Jill belum pernah 'bersentuhan' dengan anak laki-laki. Siapa sangka ia akan melakukan itu dengan ... penculik yang umurnya jauh di atas Jill dengan bau tubuh yang menyengat; seperti pemain football baru selesai bertanding. "Oh ... oh tenanglah aku tidak akan terburu-buru," kata pria itu lalu berhenti mengelus lengan Jill, untuk sesaat Jill merasa sedikit lega dan merasakan detak jantungnya perlahan normal namun, itu tak bertahan lama karena ia memaksa Jill untuk, Telanjang. "Ayo, aku menunggu. Kau tidak suka bukan jika aku menunggu?" lanjutnya sembari membuka tali pengikat pergelangan tangan Jill tanpa membuka lakbannya. "Ayo, gadis kecil. Tunggu apa lagi, tenang saja aku tak akan memukulmu lagi jika kau menurut," pintanya seraya tersenyum tipis. Jill tidak punya pilihan lain. Matanya membelalak lebar dan tubuhnya terasa sedingin es bahkan lantai kayu yang ia pijak seolah membekukan kakinya. Jill sulit bernapas, namun ia tetap melakukannya. Menanggalkan pakaian dan pakaian dalamnya. Tangannya bergetar hebat. Jill malu. Ia takut penculik cabul itu tak puas dengan lekuk tubuhnya, nampak Jill menutupi tubuh mungil dan bagian vitalnya dengan lengan tangannya. Jill malu hingga ia mengompol dan merasa semakin kedinginan. "Nah, beginikan lebih baik. Sekarang ikut aku ke meja makan. Kau pasti lapar, bukan?" tawarnya masih dengan senyum mengerikan yang tersimpul di wajah kotornya. Pria itu menggandeng tangan Jill dengan kelembutannya yang mengerikan. Ruangan yang dipenuhi lilin sebagai penerangan utama dan chandelier menggantung di atas meja makan, berayun mengikuti irama angin yang meniupnya. Hujan masih mengguyur Kota Philadelphia saking perkasanya sehingga tak terdengar suara selain rintikkan air hujan. Pria itu menyuruh Jill duduk di bangku satu lagi tak lupa ia membantu gadis korban penculikannya itu membuka lakban yang sudah lekat menempel di bagian bibir. Ia dapat merasakan bulu tipis terangkat dan itu cukup perih sehingga Jill mengeluarkan air mata. "Oh, that's a lot of puke!" serunya. Jill menangis setelah berhasil muntah. Menangis sejadi-jadinya, padahal ia bukan tipe perempuan yang cengeng apalagi menangis di depan orang bahkan tidak di dekat Ibunya. Pria itu meninggalkan Jill untuk duduk di bangku kayunya yang sudah berdecit. Menatap Jill penuh kepuasan dan rasa tertarik. "Kau sangat cantik sekalipun bibir tipis itu dipenuhi dengan cairan muntah," katanya seraya terkekeh. "Aku harap kau membusuk di Neraka!" balas Jill pelan. Kemudian datang muntahan kedua. "Kau pasti lapar, makanlah. Aku sudah menyediakan ini untukmu." Pria yang mengenakan kacamata itu melempar piring tepat mengenai kepala Jill hingga gadis mungil itu tersungkur tepat di atas muntahannya dan meraskan darah segar mengalir di kepalanya. Lagi-lagi siksaan yang tak ada habisnya. Jill berteriak kemudian. "Jaga sikapmu, dasar murahan! Kau gadis yang tak tahu sopan santun!" "Aku harap kau membusuk di Neraka!" balas Jill lagi. Serpihan beling menjadi saksi bisu pertikaian korban dan sang penculik. Jill merasakan semua yang ada di ruangan itu mengkhianatinya. Tanah, udara, kegelapan, dan waktu semuanya bahkan tak hadir menolongnya. Namun Jill percaya bahwa Tuhan akan menghukum penjahat kejam ini di Neraka. Jill harus mengirimnya. "Kembali ke selmu dasar murahan!" "Aku harap kau membusuk di Neraka!" seru Jill sekali lagi. Argumen itu seperti tidak ada habisnya. Jill dipaksa untuk meminum muntahannya lagi, namun itu tak akan terjadi begitu saja. Jantung Jill berdebar cepat sehingga adrenalinnya memuncak, semakin ia takut semakin memuncak pula insting bertahan dalam tubuh gadis itu. Seketika keadaan berbalik. Jill meraih tangan pria itu dan memelintirnya hingga terdengar bunyi seperti ranting yang diinjak tetapi yang satu ini beda karena yang retak adalah tulang manusia. "Krak!" Pria cabul itu berteriak sejadi-jadinya. Di sisa tenaganya, Jill berhasil menguasai kekuatannya. Ia menggunakan kedua lututnya sebagai tumpuan, lalu melihat penculiknya memohon untuk tidak disakiti lagi. Terlambat. Serpihan beling diambil oleh Jill. Berulang kali ia tusukan ke arah wajah penculiknya. Wajahnya yang halus berubah menjadi berantakan dengan serpihan kulit yang mengelupas dan darah mengalir deras. Kacamatanya retak lalu teriakannya semakin kencang bersamaan dengan petir yang menggerutu dari luar membuat tenaga Jill seolah bertambah dua kali lipat. "Hentikan! Aku mohon, Hentikan!" Dia mencari masalah dengan gadis yang salah. Gadis yang kau anggap lemah, paling diam di muka umum ternyata adalah gadis paling berbahaya jika kau mengusiknya terlalu berlebihan. Ia menaruh jempolnya yang telah berlumuran darah di kedua bola mata pria itu. Lalu mengoptimalkan kuku jarinya seraya menekannya hingga cairan merah yang anyir itu perlahan keluar ... sedikit demi sedikit dari bola matanya ... Jill menikmatinya ... Jill ingin meminumnya. "Nah, sekarang jauh lebih baik," kata Jill lirih, "Kau tidak perlu melihat perempuan lagi dengan matamu yang cabul itu!" Pria itu sulit bernapas. Mulutnya seolah tidak berfungsi mencari oksigen di sekitarnya. Jill masih diam di posisi yang sama seraya menyaksikan pemandangan berdarah ini. Adrenalinnya semakin melemah. Hujan telah berhenti begitupun kesadisan itu. Jill mencoba untuk bangun di atas kedua kakinya dan berjalan menuju dunia luar. Meminta pertolongan siapapun yang dapat menyelematkannya. Jill berdoa di sisa staminanya, berlumuran darah dan sangat membutuhkan pertolongan orang yang baik hati di kala perang Vietnam menjadi tren pada tahun itu. 1967 yang berdarah bagi Jill Fitzgerald. Gadis kecil berumur 15 tahun yang tak mengenakan busana namun darah menjadi seragamnya yang terlihat sangar. -To be Continued-
0 notes
Text
The Uniform of Baby Fitzgerald (3)
Mereka menganggap bahwa penculikan memiliki banyak motif. Salah satunya ada pelaku yang mendefinisikan bahwa menculik adalah suatu terobosan agar dia memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan. Atau definisi lain yang lebih ekstrem menyatakan bahwa korban penculikan ternyata mengidap gangguan Stockholm syndrome. Mungkin satu diantara ribuan korban khususnya perempuan memiliki sindrom tersebut. Setahun lalu, ketika hujan membasahi permukaan tanah Philadelphia yang lembab. Jill merasakan jarum cair terbelah di kulitnya. Pori-porinya basah bahkan hingga ke pakaian dalamnya. Jill terus berjalan mencari tempat meneduh. Bukan ide bagus sebenarnya untuk nekad pulang berjalan kaki dari sekolah hingga ke rumah. Butuh waktu sekitar 30 menit karena Jill sedang tidak ingin bertemu keramaian yang menyebalkan di dalam bus. Namun inilah konsekuensi yang ia terima. Hujan deras di tengah bulan Oktober yang dingin. Jill mendongak melihat langit yang menangis. Rasanya tidak adil jika hampir tiap enam bulan sekali ia merasakan hujan. Sementara saudara mereka yang di Afrika sedang menghadapi kekeringan yang parah. Setidaknya ini yang selalu terlintas di benak Jill. Lalu mobil Cadillac yang atapnya tertutup melaju di sampingnya. Dari jarak sekitar 50 meter di belakangnya nampak seorang pria dengan jaket parasut tebal dan celana training seperti trainer gym terus mengikuti alur langkahnya. Jill paham karena sesekali ia menengok ke belakang. Mengidentifikasi kemungkinan yang sedang ia rencanakan. Wajahnya nampak tak jelas karena hujan mengganggu penglihatannya. Seolah ia tertutup oleh sekelabat kabut. Perlahan Jill mulai beradaptasi dengan cuaca. Pria itu mengenakan kacamata, sekarang Jill mengenalinya. Pria yang biasa ia lihat di sudut toko kelontong memerhatikan aktivitas Jill sewaktu di sekolah. Pria sama yang memerhatikan Jill dengan tatapan misterius di seberang jalan. Bingung dan penasaran. Seakan ada hasrat yang memberontak dalam jiwanya untuk memiliki tubuh Jill. Tubuh mungilnya yang hanya berbalut kain tipis. Sementara hujan masih perkasa, Jill terlihat seperti tak mengenakan pakaian karena kausnya sudah terlalu basah. Pria itu semakin dekat namun Jill tidak memutuskan untuk berlari walaupun otaknya sudah memaksa Jill untuk menggerakkan kakinya. Berlari secepat kuda pacuan. Jill hanya diam terpaku, ia takut hingga sulit mengatur alur napasnya. "Jill maju ... ayo lari, Jill. Berlarilah!" suara itu akhirnya menuntun Jill untuk berlari. Jill sempat menengok, pria itu mengejar Jill penuh nafsu. Ya, penuh nafsu. Jill merasakan lehernya tercakar. Noda merah itu mulai memenuhi bagian tengkuknya. Bercampur dengan peluh yang samar akan air hujan. Pria itu meraih dan mencengkeram pundak kecil Jill. Dengan kasar menggunakan tangannya yang kuat dan besar. Tempat yang strategis untuk sebuah percobaan penculikan. Setelah Cadillac itu, tak ada lagi kendaraan yang lewat di jalan raya tersebut. Jill menjerit namun sia-sia karena air hujan menenggelamkan suaranya. Pertikaian itu membuat Jill semakin tersudut. Pria itu memukul perut Jill. Rasanya tepat di lambungnya. Tidak sekali ia melakukan itu namun berulang kali. Hingga Jill batuk berdarah. Pria itu membantu Jill berdiri. Ia sempoyongan, melihat dunia lewat matanya yang sudah buram. Jill tak tahan dan muntah. Pria itu menggotong Jill ke pundaknya dengan mudah. Terlihat sangat jauh daya kekuatan mereka berdua. Percuma bagi Jill untuk bertahan. Jill tak sadarkan diri kemudian. -To be Continued-
1 note
·
View note
Text
The Uniform of Baby Fitzgerald (1)
Dalam kesehariannya, Jill Fitzgerald melakukan hal-hal yang biasa anak laki-laki lakukan. Mengurus peternakan Ayahnya, mengibarkan bendera kebangsaan mereka di pekarangan rumah, hingga mem-filter gandum yang dipetik di belakang rumahnya. Jill terbiasa hidup dengan kesibukan itu. Ia adalah perempuan berambut cokelat panjang yang memiliki gelombang diujungnya, mata birunya tajam ditambah rahang yang tegas dengan hidung mancung seperti anak murni Philladelphia lainnya. Dapat dikatakan, Jill adalah gadis yang memiliki postur tidak terlalu tinggi untuk anak 16 pada umumnya. Namun, Jill merasa itu bukan hal yang serius.
Keluarga Fitzgerald memiliki dua keturunan titipan Tuhan yang sempurna. Caleb Fitzgerald adalah kakak kandung Jill. Pola pikirnya sangat kental dengan nuansa kemiliteran. Apa pun harus diselesaikan dengan peperangan bukan hanya teritori saja. Caleb bergabung dalam program wajib militer untuk bertempur ke Vietnam pada umurnya yang masih menginjak 18 tahun. Di sana Jill menyaksikan perdebatan antara Ayahnya dengan Caleb. Ayah mereka merupakan pensiunan Kopral pada Infanteri Angkatan Darat Perang Dunia ke-II. Ia terlibat dalam perang Alaska tahun 1943, beberapa orang mengenalnya sebagai “Banzai Charge”.
Ayah tidak ingin Caleb melakukan sebuah tindakan seperti itu walaupun negara membutuhkan semangat perjuangan seperti anaknya. Jill hanya dapat menyaksikan perdebatan mereka dari tempatnya duduk di sofa kulit bersama Ibu. Caleb yang terus membawa nama Ayah serta perjuangannya ketika Perang Dunia membela kedamaian dunia sebagai alasannya untuk memenangkan argumentasi yang tak perlu mereka lakukan, sementara Ayah yang tidak lelah mendoktrin anaknya agar tetap bersama mereka di rumah karena perang bukan jawaban untuk menyelesaikan suatu persoalan.
“Cal, kau tidak perlu pergi ke sana untuk menunjukkan pembelaanmu atas negara ini! Kau bisa melakukan hal lain yang lebih logis,” serunya sambil menunjuk Caleb dengan jari telunjuknya.
“Kau dengan mudahnya berbicara seperti itu. Bagaimana denganmu ketika pergi ke Alaska saat itu? Orang-orang menghormatimu karena rela berkorban demi nyawa orang lain. Semua temanku sudah dikirim ke Vietnam, aku tidak ingin bersantai duduk sambil menonton mereka yang rela mengangkat senjata demi kita semua. Aku tidak tahan!”
Jill meremeas roknya. Ia tak tahu harus berbuat apa. Lagi pula siapa yang mau mendengarkan anak 16 tahun berbicara? Jill merasakan dekapan hangat meredam amarahnya. Lengan Ibunya telah melingkari tubuh kecil Jill. Jawaban paling efektif untuk menangguhkan emosi yang berkecamuk.
“Jangan buat dirimu gila akan kehormatan. Cal, kau tidak tahu apa yang terjadi ketika sudah di medan pertempuran. Mentalmu belum siap untuk menyaksikan semua kekejaman itu. Aku tidak ingin kau melakukan kesalahan yang pernah aku buat sebelumnya, aku ingin kau lebih baik dari itu, Cal!”
Jeda keheningan yang sangat mengintimidasi setelah Ayah selesai memberi tanggapannya. Jill mendongak dan melihat Caleb pergi tanpa mengucapkan sepatah kata kecuali tatapan kecewa. Ayah memegang dadanya seolah ia kehilangan setengah hatinya malam itu. Ibu beranjak dari sofa, membantu Ayah untuk duduk di samping Jill. Ia terlihat rapuh pasca-perang. Ayah tidak lagi sekuat dulu bahkan hidupnya hanya dihabiskan dengan emosi yang sering meledak dan meminum alkohol.
“Dia tidak akan pergi bukan?” Tanya Jill yang akhirnya angkat bicara.
Ayah menatap Jill dengan matanya yang lelah. Ia tidak menjawab apa-apa kecuali dengan gelengan kepalanya. Jill tidak mengerti, entah itu jawaban bahwa Caleb tidak akan pergi atau Ayah tidak tahu jawabannya.
“Sayang, pergilah ke atas sudah saatnya kau tidur,” kata Ibu suaranya nyaris tak terdengar.
Jill menurut walaupun di lubuk hatinya masih bertanya akan konflik ini. Jill melihat ke arah pintu rumah mereka yang masih setengah terbuka, membayangkan apa yang sedang dilakukan Caleb di luar sana. Sejujurnya, Jill tidak ingin Caleb pergi. Mereka memang tidak akrab namun ada perasaan yang berbeda ketika orang yang kau sayang sedang dalam masalah walaupun kalian tidak pernah intens menghabiskan waktu bersama.
Jill merasakan kesunyian di dalam kamarnya. Ia meringkup sambil menatap lagit malam yang dingin seolah berbicara padanya. Kumpulan memori tentang perang di Vietnam yang ia baca lewat surat kabar terekam pada otaknya. Jill merenungkan kata demi kata yang ditulis oleh para jurnalis perang itu. The Hell In Vietnam, begitu mereka menyebut keadaan yang terjadi di sana, saat ini pada tahun 1968.
Ada beberapa hal yang menghantui benak Jill saat ini. Kehilangan Caleb atau menyaksikan kehancuran keluarganya. Jill merasa tidak tahan dengan tekanan ini. Diam-diam ia mengambil bir berlabel Ballantine dari lemari penyimpanan minuman keras Ayahnya kemudian disimpan di bawah ranjangnya. Menurutnya minuman keras dapat membantu melupakan masalah yang sedang dihadapinya, walaupun tidak seratus persen benar setidaknya ada yang setuju dengan Jill. Termasuk Ayahnya si pemabuk.
Perlahan Jill mengambil sekaleng bir itu lalu menyesapnya pada malam yang sangat merusak suasana hatinya. Ini merupakan kali pertama Jill mengonsumsi minuman keras sebelum umur yang dianjurkan. Lambungnya terasa panas dan kepalanya pusing seperti ditusuk oleh jarum. Gadis itu menjatuhkan kaleng birnya yang masih setengah penuh, lalu tertidur karena tak kuasa mengendalikan tubuhnya yang tiba-tiba mati rasa. -To be Continued-
0 notes
Text
The Uniform of Baby Fitzgerald (2)
Tubuhnya sulit digerakkan bahkan membuka mata pun tidak bisa. Jill mendengar deru mesin kendaraan besar terpakir di halaman rumahnya. Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara percakapan yang senyap di lantai bawah. Jill mengenali suara itu, salah satunya Ayah yang masih menginginkan agar Caleb untuk tetap tinggal. Ia membayangkan Ayah yang memeluk Caleb seolah dia anak sematawayangnya, seakan dia tak akan kembali lagi ke rumah mereka yang hangat di tengah Kota Philladelphia ini.
Seluruh badannya sangat tidak enak untuk digerakkan. Jill tetap ingin membuka matanya. Membiarkan serpihan dari sinar matahari mulai masuk menyapa alam sadarnya. Suara-suara itu kembali, senjata laras panjang yang bergerumun menjadi satu bukti bahwa perang adalah hal paling kejam di dunia. Senjata pemusnah masal ditambah teriakan para tentara yang meringis kesakitan namun mereka terpaksa tetap harus bertempur walaupun tengkorak kakinya sudah tak berbentuk sempurna. Setidaknya ini yang menjadi prasangka buruk sehari-hari apalagi setelah mengetahui bahwa Caleb akan pergi berperang.
Deru mesin kendaraan besar itu kembali terdengar. Namun Jill tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Ia kembali tak sadarkan diri.
“A … Ayah?” kata Jill sembari memegang kepalanya yang sangat pusing.
Jill menyipitkan kelopak matanya. Ayah duduk di bibir ranjang lalu memegang sekaleng bir kosong yang isinya bertumpahan di lantai kamar Jill bersama bekas muntahannya semalam. Ayah tanpa rasa jijik menginjak itu.
“Aku bisa jelaskan,” lanjut Jill.
“Kerap kali manusia melakukan kesalahan karena mereka tak dapat mengarahkan tujuannya dengan baik,” jawabnya sesekali membuang tatapannya ke arah dunia di luar jendela itu, “Jill, kakakmu telah pergi ke pos militer pagi ini. Aku tidak bisa menghentikan tekadnya, semua itu hanya mengingatkanku pada masa mudaku yang memiliki kegelisahan untuk membantu negara ini.”
Jill belum bisa membaca arah pembicaraan Ayah. Bahkan ia masih kesulitan untuk duduk karena badannya terasa remuk. Entah apa yang dipikirkan oleh Ayahnya, mengapa ia tidak membahas Jill yang mabuk melainkan memberi analogi Caleb dengan masa mudanya.
“Dia sudah pergi, tanpa mengucapkan selamat tinggal padaku?”
Ayah menggelengkan kepalanya. Pelan.
“Aku sudah menduganya,” Jill menatap selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, lalu jeda itu kembali terulang. Tidak ada yang berbicara, hanya suara lain di dunia luar mengisi kekosongan mereka.
“Sayang, waktunya makan siang!”
Ibu mengetuk pintu kamar Jill. Mereka berdua langsung menatap pintu yang masih beridiri kokoh itu.
“Kami segera turun,” jawab Ayah.
Jill tahu Ibu pasti menguping pembicaraan mereka. Walau pun ia tidak hadir dalam bentuk fisik pada diskusi ini namun, Ibu akan selalu mencari cara untuk mengetahui persoalan keluarganya.
“Jill, aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu lagi. Aku berjanji,” Ayah mengantongi kaleng bir itu di selipan celananya kemudian membuka kausnya untuk mengelap muntahan dan bir yang mengering di lantai kamar Jill.
Pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Jill berdiri—sempoyongan kemudian membantu Ayahnya berdiri diatas dua kakinya kembali.
“Kau tidak perlu melakukan ini. Ayah, aku mohon semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak apa, Caleb pun demikian!”
Jill memeluk Ayahnya. Membiarkannya menggerus perasaan sedih yang mendalam. Jill paham Ayahnya trauma karena beberapa hal; mimpi buruk yang selalu mengganggunya tiap malam, tragedi penculikan Jill setahun lalu, dan sekarang harus melihat anak sulungnya bertempur melawam Viet Cong.
“Aku tidak ingin melihatmu terus terpuruk, itu sangat menyiksaku. Ayah, tolonglah.”
Tangan Ayahnya bergetar hebat. Begitupun napasnya yang panas dan berat meniup pundak Jill.
“I’m not giving up on you,” ucap Jill lirih, “Never …”
-To be Continued-
1 note
·
View note
Text
The rules!
Let the write begin!
Welcome to Querto Bay, technically on this planet system there are some rules and history that you must realise.
1. Our chief on this planet called “King Slàvo” he has been rule this system since 900 years ago. As a first leader to this system, King Slàvo had been throught many battles and protect his kingdom from entire galaxy politician and barbar alien that try to take over Querto Bay.
2. Respect this galaxy! That’s what Slàvo always said to his people. Whenever you come from; whatever you look like. Querto People will always give you respect if you never break our rules.
3. Querto Bay the place among good and bad. We do discuss, we receive opinion and criticizm with open hand but you should know the limit.
4. Querto Bay share what they want. Querto Bay like the stuff they like.
5. Enjoy your Querto Bay trip.
Sincerely, Shadow Dipay
0 notes