fitryharahap
fitryharahap
nulisbiargakpapa
207 posts
Hal-hal indah tidak meminta perhatian.
Don't wanna be here? Send us removal request.
fitryharahap · 10 hours ago
Text
Tak Denganku, Tak Apa
Aku marah, aku sedih, aku takut. Aku terus bertanya kenapa aku sakit. Selama ini, aku berpikir keras, tapi tetap saja tak kutemukan damainya.
Namun, ada yang berbeda hari ini. Seperti disentil oleh sesuatu yang lebih besar dari logika. Angin yang menembus jendela lukaku yang terbuka tak lagi terasa nyeri.
Di sudut kamar yang lampunya selalu remang, tempatku biasa menyimpan mimpi-mimpi patah—aku, yang namanya sudah lama hilang dari mulut-mulut yang menyebutku dengan cinta, duduk dengan membuka telapak tangan. Ada sesuatu yang tak kasat mata di sana, sesuatu yang selama ini kugenggam erat. Itu adalah cintaku. Adalah rindu yang kubungkus dengan doa, air mata yang tak jadi jatuh, kata-kata yang tak pernah sampai.
Entah sudah berapa lama kugenggam. Waktu di duniaku sudah lama tak dihitung dari matahari terbit atau rembulan naik. Waktuku ditandai dengan senyum lelaki itu: senyum pertama saat kami berjumpa, saat ia bicara tentang dunia, namun sudah jarang kulihat sejak perempuan lain datang dengan harum tubuh yang tak kupunya.
"Tuhan," bisikku pelan, "aku titipkan ini, ya?"
Sesuatu yang tak kasat mata yang selama ini kugenggam erat itu kuangkat perlahan. Tanganku gemetar.
Angin berhenti sejenak. Waktu seperti berhenti juga. Air mataku jatuh. Tapi, aneh. Ada hangat yang tak bisa kuberi nama. Kurasakan sepotong kelegaan perlahan merayap masuk ke pori-pori. Seolah aku baru pertama kali merasa ringan. Seolah aku baru pertama kali percaya, lelaki itu akan baik-baik saja jika kutitipkan dalam penjagaan yang lebih setia dari seluruh penjagaan dunia.
"Tuhan, malam ini, aku cuma mau menyerahkan yang tersisa di hatiku. Aku titip cintaku. Aku titip dia. Aku titip semua yang tak pernah sampai padanya. Buatlah dia tersenyum. Lebih sering. Dengan dan karena siapapun. Tak apa meski tak satupun lagi tentangku menjadi alasannya tersenyum."
Cintaku mungkin tak benar-benar hilang. Tapi cinta yang tak digenggam, akan lebih tahu ke mana ia harus pulang.
16 notes · View notes
fitryharahap · 22 hours ago
Text
Wajah-wajah Sepi
Tumblr media
Dari balkon, aku menatap atap rumah kosong yang telah bertahun-tahun ditinggalkan pemiliknya. Panas terik membalut, semilir angin membisikkan kenangan.
Di sela-sela genteng tanah liatnya, ilalang tumbuh. Sembarangan. Liar. Mungkin alam memang sengaja membiarkannya tumbuh, agar bisa mengklaim kembali apa yang dulunya miliknya.
Dan aku, seakan mampu merasakan sepi yang dipancarkan rumah itu, sampai ke tulang. Mungkin rumah itu menunggu. Atau sudah berhenti menunggu. Aku tak tahu bedanya. Tapi aku tahu perbedaan kami. Meski kami sama-sama sepi, rumah itu sudah lebih dulu jujur dalam diamnya, sedang aku masih sibuk berpura-pura hidup.
Sekarang aku tahu, mengapa aku betah berdiri di sini, menatapnya berlama-lama.
Aku iri pada rumah itu. Iri karena ia sudah selesai berharap.
5 notes · View notes
fitryharahap · 3 days ago
Text
Reuni Para Penjaja Bom Moral
Terselip sebuah planet kecil di sudut semesta yang malu menyebut namanya. Planet ini tak berisi laut, tak berisi gunung, hanya dataran datar yang seluruh tanahnya terbuat dari pecahan cermin. Tiap melangkah, kaki mereka berdarah, tapi mereka berpura-pura tidak.
Hari itu, para manipulator mengadakan reuni. Sebuah jamuan megah dengan kursi dari tulang nurani yang patah. Mereka datang membawa bom moral masing-masing, dibungkus kertas kado penuh slogan suci: “Aku korban, aku paling benar, aku paling tulus.”
Mereka saling lempar bom itu, satu ke wajah yang lain. Bomnya meledak jadi semburan standar ganda, “Kau jahat karena kau tidak mengerti aku!” “Aku hanya membela diri, sedangkan kau dusta!” “Aku suci, aku korban!”
Ledakan demi ledakan menggema, menampar langit. Awan-awan pun turun, jijik, enggan menyaksikan pertunjukan sirkus moral murahan itu.
Mereka pikir semua orang hidup pakai standar rusak mereka. Mereka pikir, setiap orang mau menari di irama kebohongan yang mereka tiup lewat seruling mulut busuk. Mereka lupa, di tanah cermin, bayangan mereka sendiri adalah musuh sejati. Setiap bom moral yang dilempar cuma memecahkan lebih banyak cermin yang sudah pecah, memantulkan kebusukan diri yang mereka tolak lihat.
Dan di ujung perjamuan, tak ada pemenang. Hanya tubuh-tubuh penuh luka dari pecahan standar yang mereka ciptakan sendiri.
8 notes · View notes
fitryharahap · 5 days ago
Text
Terlalu Banyak PR, Mending Nggak Usah?
Seorang teman pernah bercerita. Sudah lama sekali sebenarnya. Katanya, memulai hubungan dengan seseorang yang masih banyak banget hal yang “perlu disesuaikan” tuh capeknya bukan main. Banyak PR-nya.
Dalam pembahasan waktu itu, detailnya dia bilang begini, "Aku cari yang berjilbab. Saat aku dapatnya kenalan nonjilbab, itu kan PR, yah? Kalau bisa PR yang itu di-skip, ngapain repot-repot ngerjainnya? Mending aku langsung cari yang memang sudah berjilbab sejak lama."
Waktu itu, instingku langsung ingin menyanggah. Tapi makin ke sini, kusadari kalau itu, ya... valid juga.
Mau orang bilang dia terlalu praktikal, terlalu efisien seolah-olah relasi itu kayak ngisi spreadsheet. Which fair secara logika, tapi juga bisa terasa terlalu transaksional kalau soal hati. Tapi mungkin yang dia maksud bukan itu. Dia cuma jujur kalau ada hal prinsip yang bisa dia pilih dari awal, kenapa nggak?
Hijab, dalam konteks dia, bisa jadi simbol. Entah itu simbol kesamaan nilai, spiritualitas, visi hidup, bahkan preferensi visual. Apapun itu, dia tahu apa yang dia cari—dan itu bukan dosa. Punya standar di awal juga bukan bentuk keegoisan. Justru itu tanda bahwa kita sadar apa yang penting buat kita dan berani jaga itu.
Di awal-awal, memang lebih sehat kalau kita jujur soal apa yang kita cari. Misalnya kamu butuh pasangan yang punya nilai spiritual sejalan, atau pola komunikasi yang udah matang. Ya sah-sah aja kalau kamu langsung cari dari jalur itu. Preventif, bukan judgmental. Biar nggak kelamaan ngerjain PR yang seharusnya bisa kamu skip dari awal.
Mungkin yang perlu dibedain adalah PR yang masih manusiawi — kayak beda selera makanan — vs PR yang bentuknya fondasi hidup.
Bukan “aku suka sambal, kamu nggak.” Tapi PR di level dia nganggep tanggung jawab emosional itu opsional, sementara buat kamu itu fondasi rasa aman. Atau kamu pengin hubungan yang sehat, tapi dia masih pikir marah bisa dibungkus cuek.
Capeknya di proses memahamkan hal-hal yang menurutmu udah basic buat koneksi sehat, tapi ke dia harus kamu ajarin dari nol. Padahal itu bukan teori roket.
Bukan berarti kita pengen semuanya sama kayak kita. Tapi kita pengin ketemu orang yang, at the very least, punya kemauan untuk saling nyambung. Karena jujur aja, yang bikin lelah bukan beda nilai atau sudut pandang—yang bikin lelah itu kalau cuma kita yang mikir keras supaya bisa ‘masuk’ ke mereka, tapi mereka nyantai aja kayak nonton sinetron.
Kalau PR-nya satu-dua dan ada willingness dua arah buat nyelesain bareng, kita bisa tumbuh. Tapi kalau PR-nya puluhan, dan kita doang yang ngerjain, sementara dia bahkan nggak bawa pensil? Capek. Abso-freakin-lutely.
Sah untuk punya preferensi atau checklist dari awal. Tapi sambil jalan, kita juga belajar bedain mana yang prinsipal dan mana yang bisa dinego. Karena itu semua cuma bisa ketahuan lewat perjalanan, bukan lewat first impression doang.
11 notes · View notes
fitryharahap · 5 days ago
Text
Usaha berdamai dengan takdir katanya, saat kita menghitung kehilangan, lalu melempar tuntutan gantinya pada Tuhan. Padahal Tuhan mungkin sedang tidak menukar, tapi sedang menguji bentuk cinta kita, apakah tetap percaya meski tak diganti?
22 notes · View notes
fitryharahap · 10 days ago
Text
Perasaan saya bukan wilayah yang kamu bisa duduki. Kamu bahkan bukan bagian dari cerita yang terukir panjang di dalamnya. Jadi, jangan mencoba menjadi penentu arahnya.
25 notes · View notes
fitryharahap · 12 days ago
Note
Apa arti cinta?
Menurutku, cinta itu pengalaman. Pengalaman itu personal. Yang personal nggak selalu, dan mungkin nggak seharusnya diseragamkan.
Tiap orang mengalami cinta dengan cara yang beda, jadi wajar kalau tiap orang juga mendefinisikannya dengan cara yang beda. Buat satu orang, cinta bisa berarti rasa aman. Buat yang lain, mungkin perjuangan, atau justru keikhlasan melepaskan.
Arti cinta bisa berubah-ubah, bisa berbeda-beda, tergantung siapa yang kamu tanyai, kapan kamu bertanya, dan pengalaman macam apa yang sedang mereka genggam. Mungkin nggak ada yang paling benar, yang ada cuma yang paling jujur menurut experiencer-nya sendiri.
Dan buatku, hari ini, cinta adalah tahu kapan harus pulang ke diri sendiri.
Thanks pertanyaannya. ✨️
7 notes · View notes
fitryharahap · 12 days ago
Text
Para Penafsir yang Tak Pernah Bertanya pada Bulan
Di malam keempat setelah bulan penuh, para lelaki kembali berkumpul di serambi yang menghadap langit. Mereka membuka kitab, bukan untuk mencari Tuhan, tapi untuk memastikan keinginannya sah. Ayat pun dibaca, setengah bibir, setengah nafsu. Yang dipilih adalah yang memihak keinginan, yang ditinggal adalah yang menguji keadilan.
“Dua, tiga, empat,” ulang mereka seperti mantra. Padahal langit tahu, mereka belum pernah berhasil setia pada satu perempuan pun. Setia dalam arti diam di saat ingin pergi. Setia dalam bentuk punggung yang tak berbalik saat tangis terdengar lirih.
Di antara mereka, ada satu perempuan. Ia duduk bersila, tidak berbicara, hanya mendengar. Ia bukan ustazah. Ia bukan feminis. Ia bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang pernah dijadikan nomor dua oleh seorang yang mengaku ingin masuk surga.
Perempuan itu, suatu hari, bertanya pada bulan, “Apakah Tuhan menciptakan cinta untuk dibagi rata seperti zakat?”
Dan bulan menjawab, “Aku pun hanya punya satu wajah, walau kulihat banyak malam.”
Tapi pertanyaan itu tak pernah diajukan para lelaki. Mereka sibuk mencari kutipan, bukan keadilan. Mereka ingin menikah karena ayat, bukan karena tanggung jawab.
Mereka lupa bahwa ayat itu turun saat dunia hancur, saat janda tak punya rumah, saat anak-anak memanggil udara sebagai ayah. Ayat itu turun bukan untuk merayakan hasrat, tapi menanggung luka.
Kini, ayat itu disematkan dalam proposal cinta yang mahal, dalam podcast tentang “kembali ke syariat,” dalam video pendek yang hanya hafal tiga kata: "asal bisa adil."
Tapi Tuhan, aku yakin, tak menurunkan wahyu hanya untuk dijadikan tameng birahi.
12 notes · View notes
fitryharahap · 12 days ago
Text
Kompas di Bawah Tulang Dada Perempuan
Waktu lahir, setiap perempuan diberi kompas kecil yang ditanamkan di bawah tulang dada. Katanya, itu hadiah. Katanya lagi, itu alat agar mereka tahu ke mana harus pergi.
Tapi tak ada yang bilang, kompas itu hanya bisa mendengar suara laki-laki.
Ia tidak menunjuk utara, tidak menunjuk rumah, tidak menunjuk kebenaran. Hanya menunjuk ke arah suara paling lantang yang berkata:
"Begini caranya jadi baik." "Begini caranya jadi pantas." "Begini caranya dicintai."
Perempuan-perempuan itu pun berjalan. Mereka melewati ladang kata ‘jangan’, jurang bernama ‘terlalu banyak’, dan jembatan tipis yang bertuliskan harga diri—dibangun dari logika yang tidak pernah mereka tulis sendiri.
Satu perempuan berhenti. Ia menekuk tubuhnya, menggali dadanya, dan mengeluarkan kompas itu. Bentuknya seperti mata ikan, tapi matanya buta. Jarumnya berputar-putar tanpa ujung, seperti sedang bingung pada dirinya sendiri.
Perempuan itu meletakkannya di tanah. Ia melangkah tanpa petunjuk, tanpa izin, tanpa tepuk tangan.
Laki-laki berteriak dari kejauhan:
“Kau akan tersesat!”
Tapi langkahnya justru mulai menemui jalan.
Di belakangnya, satu per satu perempuan mulai menggali dadanya sendiri. Kompas-kompas itu tergeletak di tanah seperti sisa logam tua yang dulu dikira tak tergantikan.
Dan di hari ketiga belas setelah hujan terakhir, bunga-bunga tumbuh dari logam-logam itu. Warnanya merah marun. Tak ada nama. Tak perlu.
12 notes · View notes
fitryharahap · 12 days ago
Text
ketemu pelangi sehabis hujan, eh tapi pelanginya cepat hilang juga.
10 notes · View notes
fitryharahap · 14 days ago
Text
Nggak usah debat sama orang yang hidupnya masih penuh kepura-puraan, penuh kebohongan yang dia sendiri nggak mau akui. Percuma. Mending fokus ke pertumbuhanmu sendiri, jaga ucapan dan perbuatanmu biar sinkron, dan kasih lihat—tanpa harus berteriak—bahwa kamu hidup dengan berintegritas dan konsisten. 😄
26 notes · View notes
fitryharahap · 14 days ago
Text
Tulisan dan Pembaca
Menurutku, tulisan dan pembacanya seperti dua makhluk hidup yang menari bersama. Tak hanya saling rangkul, tapi kadang juga saling bertabrakan.
Penulis sejatinya tak perlu disclaimer yang bertele-tele di tulisannya. Yang membaca dan merasakan harusnya punya kebijaksanaan untuk memilah mana tulisan yang sesuai dengan level atau medan emosionalnya sendiri. Sebab kalau setiap tulisan mesti diawali dengan penjelasan dari level mana penulis menulis dan bicara, seperti “maaf ya ini mungkin terlalu dalam” atau “harap-harap ini jangan bikin kamu sedih,” tulisan itu justru kehilangan kekuatan alami yang lahir dari pengalaman sang penulis.
Aku bisa merasakan adanya bacaan motivasi atau tulisan self-help yang, kalau kita baca ketika luka atau trauma kita masih baru dan menyakitkan, terasa seperti "terlalu cepat" atau "loncat jauh banget" melampaui beberapa level yang seharusnya kita tanjaki dalam memvalidasi hingga mengobati luka itu sendiri.
Kenapa? Karena proses healing itu bertahap, nggak bisa langsung “positif” kalau luka masih terbuka. Luka yang masih basah itu butuh divalidasi dulu, artinya diakui, diterima, dipahami. Setelah itu baru diobati dan diproses perlahan.
Kadang, saat luka masih basah, bacaan motivasi yang terlalu tinggi justru terasa seperti garam di atas luka yang menganga—perih dan menyakitkan. Terlalu cepat, terlalu sempurna, terlalu jauh dari tempat kita berdiri.
Padahal, yang kita butuhkan saat itu bukan nasihat untuk bangkit atau kata-kata tentang makna hidup. Kita hanya butuh waktu, dan tangga yang lebih sederhana—kalimat yang lembut, yang bisa memeluk, seperti sapu tangan hangat untuk menyeka air mata.
Kurasa ini juga salah satu cara kita menghormati perjalanan jiwa kita sendiri. Kita tahu kapan luka bisa mulai disulam pelan-pelan, kapan kita butuh kata-kata penuh tenaga, tahu kapan hanya perlu diam sekadar merawatnya.
Tapi ini bukan salah tulisan motivasi yang bilang “kamu harus bangkit", “ayo kamu bisa!”, “ini cuma cobaan!”, “anggap semua ini pelajaran berharga!”, dll. Kita yang perlu punya kesadaran untuk memberi cukup ruang pada diri—untuk mengenali apa yang sebenarnya dibutuhkan emosi kita.
Maka, sebelum kita menelan habis kata-kata motivasi yang kita baca, mari berhenti sejenak. Bertanya pada diri sendiri, apakah kata-kata ini benar-benar selaras dengan medan luka kita? Apakah luka ini sudah layak dirawat kata, atau justru cukup dipeluk saja lebih dulu?
Mari membaca dengan sadar.
14 notes · View notes
fitryharahap · 14 days ago
Text
Jika Aku Pergi Meninggalkanmu
Aku percaya, yang berpisah itu bukan sekadar jarak yang tercipta oleh raga, tapi juga ruang-ruang kecil di hati yang tak sanggup lagi dirajut benang kepercayaan, tak peduli seberapa keras kita merajut harapan. Kadang, yang tidak cocok hanya perlu diakui. Tak perlu dipaksa agar serasi. Tak perlu mengulang mencari alasan untuk bersama.
Kau ingat bagaimana kita dulu saling diam, saling menunggu kata maaf yang tak pernah datang? Malam-malam yang kita habiskan dengan saling menduga, dengan hati yang hanya setengah ada? Aku tak ingin terus hidup seperti itu.
Jika aku pergi meninggalkanmu, anggap saja itu cara semesta menutup pintu yang sudah terlalu lama setengah terbuka.
Aku tak akan pernah kembali. Jadi, jangan menungguku.
31 notes · View notes
fitryharahap · 14 days ago
Text
Mengakui, Bukan Menahan
Ini bukan tentang validasi eksternal. Karena itu cuma kado, bukan fondasi. Ini tentang validasi internal. Validasi yang datangnya dari diri sendiri. Self-validation. Fondasi yang bikin kita nggak gampang goyah waktu dihantam dunia. Yang bikin kita bisa berdiri tegak meskipun dunia bilang, “Kamu nggak layak.”
Self-validation diperlukan di saat-saat tertentu, seperti sehabis disakiti, gagal, goyah, merasa dihakimi, takut, dan merasa nggak cukup. Itu adalah momen-momen penting dan kita memang perlu pause buat self-validate. Buat bilang ke diri sendiri, “Aku boleh kok merasa (sedih, gagal, kecewa, dll).”
Kalau kamu belum tahu, self-validation itu bukan cuma “keren-kerenan” di quotes Instagram. Itu tuh semacam perisai psikologis, terutama di momen-momen rentan. Biar kita nggak gampang kebawa omongan orang, biar kita bisa stabilkan diri dulu, sebelum melangkah lagi.
Tapi kelihatannya, di luar sana, banyak sekali orang-orang yang denial. Mereka sering kali bersembunyi di balik kalimat-kalimat yang di dalamnya penuh perasaan yang belum sempat diakui, seperti:
“Aku harus kuat, aku harus kuat.” “Nggak apa-apa kok, aku udah biasa.” “Udah lah, santai aja, nggak usah lebay.” “Gue gapapa, kok. Gue nggak butuh apa-apa.” “Ah, udah ah, jangan drama.” “Gue udah kebal sama sakit kayak gini.”
Mereka mengira kalau mereka “keras” pada perasaan sendiri, itu artinya mereka kuat. Padahal, justru itulah yang bikin mereka lebih rapuh—karena denial bukan kekuatan, tapi ilusi belaka.
Alasan kenapa mereka denial, banyak. Mungkin... Takut kelihatan lemah karena budaya tinggalnya bilang, “Kalau kamu ngakuin kamu sakit hati, berarti kamu kalah.” Mungkin mereka nggak mengerti caranya ngakuin perasaan, karena tumbuh tanpa diajarkan bagaimana caranya bilang ke diri sendiri, “Aku lagi sedih, dan itu wajar.” Mungkin mereka takut “terjebak” di rasa sakit, karena mengira, “Kalau aku buka luka ini, nanti nggak selesai-selesai.”
Padahal yang terjadi malah sebaliknya. Luka yang diabaikan justru semakin dalam. Perasaan yang diabaikan nggak pernah hilang; cuma mengumpet. Semakin lama, semakin menumpuk. Sampai akhirnya… meledak seperti bom waktu.
Mereka mengira kalau pintu rumah dikunci rapat, berarti rumahnya aman. Padahal, yang nggak mereka sadar adalah: rumahnya gelap, pengap, dan lama-lama bikin dia sesak napas sendiri. Atau seperti menyimpan sampah di kolong kasur—nggak keliatan, tapi baunya tetep ada. Dan ya, sooner or later, sampah itu bakal busuk.
Pun perasaan, kalau diabaikan, tubuh dan hati kita yang bakal ngerasain akibatnya. Entah muncul dalam bentuk cemas, amarah, atau tiba-tiba nangis padahal nggak ngerti kenapa.
Makanya, yang denial itu sebenernya bukan hebat—mereka cuma nunda. Nunda apa yang seharusnya mereka akui, biar lega. Sayangnya kelegaan itu nggak datang dari lari, tapi dari menghadapi. Dari keberanian buat akui dan bilang, “Ya, aku merasakan ini dan ini valid. Dan aku siap buat hadapi.”
Jadi yah teman-teman, jangan terlalu keras sama diri sendiri. Karena di dunia yang sering mengajari kita untuk ‘jadi kuat’ dengan menahan semua, yang sesungguhnya bikin kita tetap utuh itu bukan menahan, tapi mengakui.
20 notes · View notes
fitryharahap · 17 days ago
Text
Ke Dalammu
aku mengintip ke dalam matamu seperti menatap kabut yang berputar-putar menyembunyikan kota sunyi yang tak pernah kubayangkan.
ada kereta api berjalan di sana berhenti hanya untuk menurunkan nama-nama asing yang tiba-tiba jadi akrab di dadaku.
ada juga arloji tua yang detaknya tak pernah sama jarumnya berputar liar seakan waktu tak lagi peduli siapa yang lewat.
kau duduk di atas kursi yang terbuat dari ranting-ranting mimpi, memandangku sedang mataku menelan warna-warna yang menetes dari bibirmu dan lidahku mengecap waktu yang kau simpan di sela-sela jarimu.
lalu, kau menjelma balon udara yang menggelembung di pikiranku menjulang tinggi, membawa serpihan mimpi yang terus menetas tanpa henti.
15 notes · View notes
fitryharahap · 20 days ago
Text
Katanya, semakin lebar tawa seseorang, semakin dalam luka yang dia sembunyikan. Katanya.
30 notes · View notes
fitryharahap · 26 days ago
Text
Relakanlah
Ada hal-hal yang tidak perlu kau simpan di saku hati, bahkan jika bentuknya rapi dan baunya masih seperti kenangan yang belum basi.
Beberapa hal memang lahir untuk singgah, bukan tinggal. Diperam terlalu lama, ia membusuk. Terus-menerus dihangatkan, ia bisa meledak.
Dan melepaskan, tidak selalu berarti menyerah. Itu juga bisa berarti kau cukup waras untuk tahu, bahwa tidak semua yang kau jaga, ingin dijaga. Kadang kau mencintai seseorang seperti taman, tapi ia datang hanya untuk bermalam. Lalu pagi-pagi sekali, ia akan pergi. Meninggalkan jejak sepatu dan api unggun yang nyalanya ia biarkan sesuka hati.
Melepaskan adalah seni percaya. Bahwa jika ia milikmu, ia akan pulang. Dan jika tidak, semesta sedang memberimu ruang—agar tanganmu tak penuh saat anugerah yang baru, datang.
Jadi tenanglah. Tidak semua kehilangan itu berarti berkurang. Kadang, ia berarti permulaan—seperti tirai yang dibuka sebelum pertunjukan dimulai.
59 notes · View notes