Text
Terkadang yang berat dari menjalani hidup bukanlah musibah yang menimpa dan buat susah. Tapi berupaya untuk tidak mengecewakan orang-orang yang sayang dan mempercayai kita.
0 notes
Text
Aku bukanlah ombak kecil yang berlarian rindukan bibir pantai. Bersama angin yang membelai penuh lembut, dengan langit yang manja menjingga, dan sapa debur di tepiannya.
Aku memilih surut ke pelukan samudera, dengan menyimpan rahasia di palung terdalam. Dicumbui badai bersama gemuruh yang selalu kau khawatirkan, dan kembali menjadi gelombang yang belum tentu mampu kau tenangkan.
0 notes
Text
Di meja makan kita dulu. Tersaji seporsi cita-cita, sepiring potongan keinginan, dan tertuang gelas-gelas penuh harapan.
Di baliknya ada anak yang terburu-buru menyantap semua hidangan. Bapak marah menegur anaknya yang tersedak karena serakah. Dan Mama menyodorkan air sambil menenangkan anak agar dapat terus melanjutkan makan.
0 notes
Text
Meski tak sehebat terang matahari, ijinkan aku menjadi cahaya dari lilin kecil yang menyinari gelapnya retinamu.
0 notes
Text
Layaknya Sebuah Perjalanan seringkali menghadapi persimpangan. Mungkin untuk menyadarkan bahwa impian adalah sebuah pertaruhan. Sialnya, aku kini terlanjur menggadai harapanmu juga sebagai modal.
0 notes
Text
Tulisan kosong
Sudah lima paragraf yang aku tulis sebelum ini dan kuhapus kembali. Isinya cuman aku sayang kamu.
0 notes
Text
"Jika kamu tidak suka aku berbicara di sela ceritamu, bungkam aku dengan bibirmu jangan oleh pikiran liar yang membuat hancur dirimu"
0 notes
Text
Dibalik Mengerti
Akhir-akhir ini aku merasa sunyi dari kita yang dulu terbiasa hangat jalani mimpi menjadi kita yang sibuk menjalani hidup sendiri. Mungkin kamu mengenal aku yang tak suka dengan keramaian, tapi kamu lupa belum berkenalan dengan aku yang tidak terbiasa dalam kesendirian.
Bersama sepi aku mengharapkan perbincangan tanpa kegusaran, mengupayakan segala kisah yang kita rencakan dengan cemas yang menyayat perasaan, menguatkan kerinduan dibalik curiga yang begitu lapang.
Niatku memang ingin membebaskanmu dari segala kekang tapi lagi-lagi aku tidak mendapatkan titik terang. Terkadang terbesit dalam pikiran apakah kita telah menjalani dengan rasa saling atau kita masih mabuk dari gelas sulang yang dulu kita tuang.
6 notes
·
View notes
Text
MENJELANG NANTI
Ada satu-dua kata yang tak akan aku sebut. Ada dua-tiga kalimat tak akan aku ubah. Ada tiga-empat narasi yang akan selalu aku benci. Biarlah untuk saat ini menjadi sebuah misteri.
Hingga waktunya menghampiri di hari menjelang aku berikrar janji. Aku akan berbicara padamu dengan amat lantang tentang sepenggal tantangan dan tentangan.
0 notes
Text
Sudah Waktunya
Ia meringkusku begitu cepat sampai aku tak diberi waktu bersiap, barangkali untuk merapihkan pakaian maupun membawa bekal.
Walau langkahku masih kaku, cakapku belum cukup, jemari tak pernah berani mencari, begitu juga hati yang belum siap memahami.
Tak pandang bulu ditodongkannya selongsong senapan pada harapan di masa depan dan sebilah belati membututi jika ekspektasi yang kunanti tak terjadi.
Marah?! Melawan?! Pasrah?! Malu?! Apa yang mau dilakukan?! Tanyanya dengan tegas.
Sedangkan tanganku diikat seutas tanggung jawab, mata dibutakan masa muda, mulut dibungkam keadaan, telinga ditusuk pertanyaan dan pernyataan.
Lantas, apa yang harus aku lakukan?
0 notes
Text
Fasilitas terbaik adalah bersyukur
Apakah masa lalu selalu terbenam dengan penyesalan?
Atau meragukan masa depan yang mulai terbit dari mimpi yang sempit?
Semuanya ingin memperbaiki masa lalu
Tapi semua akan merubah takdir yang telah tentu
Mungkin eksistensi Tuhan akan redup
Jika semua dapat berkuasa merakit hidup
Tikus-tikus akan meminta bermalas-malasan di ranjang
Atau segerombolan anjing meminum anggur dari cawan
Kemudian aku?
Jika aku adalah tikus aku akan memilih gorong-gorong dan selokan
Tempat yang kuanggap nyaman bersama ribuan bahan sisa yang bisa aku makan
Dan jika aku adalah anjing aku akan menjilati sisa air dari genangan di jalanan
Yang tak pernah memabukan dan merusak gonggongan
0 notes
Text
Zina Di Garis Matamu
Pukul empat pagi saat purnama memejamkan terangnya. Sedang angin riuh berhembus memprovokasi hujan dan fajar untuk berlomba menghunjam tanah.
Dibalik tembok kamar nomor sembilan. Nyala lampu terbias asap dari kepulan rokok yang mengkabut pada seisi ruangan.
Matamu yang mulai sayu seketika menggaris dan aku sibuk begadang mencumbu kekhawatiran yang harus segera dibayar.
Tutur bibirmu yang menggumam terdengar puja-puja nama yang kumiliki. Khawatirku mulai melebur bersama napas yang berloncatan tak beratur.
Aku tak ingin lagi mendongakan wajahmu dengan buaian cerita, sedangkan di dadamu terdapat genangan lendir derita.
Kita sudah tidak tahan ingin keluar bersama dari senggama ketakutan yang bertubi-tubi memperkosa dengan maha biadabnya.
Pedihmu telah usai bangunlah dari segala delusi, sayang. Kenakan pakaian baru berdandanlah yang cantik, kita mulai melangkah di jalan baik.
0 notes
Text
"Membuatmu marah ialah keharusan agar aku sempat memperkenalkanmu; aku adalah"
0 notes
Text
Ratap Cakrawala
Baskara menyingsing jingga
Seperti lelah memuja loka
Swastamita penanda malam menggelora
Berganti lentera untuk menuntun daksa
Derai hujan dan guntur mengejawatah
Isak duka terhunjam prahara
Sedang angsana merimbun di balik ancala
Menjaga sukma agar baik-baik saja
Kidung elegi tersirat tatkala hening berkuasa
pada ranting dan daun saling bersua di sela jenggala
Di bawah kerlip gemintang pada jumantara yang gulita
Buana bersenandung; kita fana...
0 notes
Text

Pigura renjana
Aku sempat terjerembap dalam sukar
Oleh pikiran luar nalar yang mulai mengakar
Tatkala ia menelanjangi akal hingga terkapar
Tanpa aba-aba disetubuhi masalah yang menjalar
Setiap kabar yang kabur beredar
Tersimpan pesan berdebur debar
Tak henti-henti mendesak agar tidak melebar
Namun renjana ini bernegosiasi untuk bersabar
Sanubari berbisik pelan gemetar
Saat kuabadikan rasa dalam pigura yang samar
Dengan sorot lampu menyala liar
Kusandarkan keluhku di pojok kamar
0 notes
Text
Pesan singkat:
“Lelaki yang berani bersamamu semalam, saat ini sedang dalam ancaman.”
0 notes
Text
Pohon Jemari
Ijinkan aku beristirahat pada jemarimu
Yang telah tumbuh pepohonan
Menguning kecoklatan
Berserakan dalam genggam
Satu persatu jatuh dedaunan
Ranting patah tak beraturan
Bersama helai yang kau tanggalkan
Semacam isyarat seberapa lama aku tinggal
Sementara pada jemarimu yang lain
Dedaunan bereinkarnasi hidup kembali
Untuk seorang pria yang telah dahulu menyinggahi
Dengan peluk tajuk tertidur nyaman terlindungi
Biarkan aku benarkan posisi duduk
Untuk menatap daun terakhir jatuh
Lalu aku akan mengaku
Kepadanya, aku cemburu
0 notes