Text
5 Tahun
Sudah lima tahun, aku tidak menyangka.
Suatu hari, ketika temanku sedang membereskan laci mejanya, ia menemukan sepucuk undangan pernikahan. Pernikahan, dari seseorang yang amat berarti untukku, 5 tahun lalu.
Seseorang, yang pada hari terakhir pertemuan kami sebelum ia menikah, berdiri di bawah rintik hujan dan mengusap pipiku untuk pertama dan terakhir. Seseorang, yang pada beberapa hari sebelum pernikahannya, aku tangisi dalam diam di stasiun kereta api. Membuat aku mengakui bahwa aku bukanlah perempuan yang takut terbakar sebab bermain api. Kepadanya, kupasrahkan diri sebagaimana Shinta membenamkan diri pada gulungan api. Aku tidak takut terbakar, sungguh. Aku sedih sebab tahu akan menjadi abu.
Ternyata, sudah 5 tahun.
Perasaanku padanya nyaris, bila ada barangkali hanya sedikit, tak berubah sama sekali. Ada sedikit waktu ketika aku masih mengenangnya, dan saat-saat bersamanya, kala aku sendiri. Ada sepenggal waktu ketika aku begitu takut tak bisa mencintai seseorang lagi, sebab kasihku tumpah ruah padanya. Ada sedikit waktu pada hari-hari sekarang, aku berandai-andai bila bisa bertemu yang seperti ia.
5 tahun, ia menetap.
5 tahun ia singgah.
Semoga kelak aku bisa segera berpindah rumah.
0 notes
Text
Bagaimana jika hatiku habis?
Oleh percakapan panjang di malam sunyi ibu kota;
Oleh kata-kata acak yang dipilih di lorong-lorong toko buku;
Oleh sebotol teh dan es krim cokelat di pinggir jalan.
Bagaimana jika hatiku habis?
Oleh jam-jam panjang di meja restoran cepat saji;
Oleh jejak kelopak koran bunga matahari;
Oleh rinai gerimis di lampu jalan menjelang pulang.
Bagaimana bila hatiku habis?
Dan tidak lagi tahu cara mengagumi yang lain selain kamu?
Dan hanya mencari kamu di setiap sosok baru?
Bagaimana jika.
0 notes
Text
Harapanku padamu perlahan-lahan sirna.
Pudar bersama jarak waktu yang kau rentang hingga tak tahu kapan.
Kendati kau sudah menjanjikan esok, dan lusa, dan hari-hari bahagia di ketiadaan pasti, namun tak kutemu jujur di sana. Tak pula kujumpa segera.
Maumu kapan, tuan? Raguku menggelayut nyaris matang. Barangkali kulepas bebas saja engkau seperti layang-layang? Dan temalimu tak lagi menghubung pada aku sebab dulu pun tak saling mendekat.
Biar saja kau tunggangi angin dan nikmati hujan. Menguap dari dan kembali laut.
Sedang aku berhenti menunggu. Jika bisa mulai mencari.
0 notes
Text
Aku lagi.
Hai. Terima kasih sudah menunggu.
Menjengahkan tidak sih rasanya, mendengarkan perempuan berusia 30 tahun (nyaris!) membahas tentang percintaannya? Kuharap meskipun iya namun bagimu tidak, ya.
Kamu masih ingat laki-laki yang sempat kuceritakan? si penunggang gelombang yang menghampiri aku dan mencoba mengoyak laut tenangku? ia datang lagi.
Konon, ia telah puas berkelana. Katanya, laut tenangku bisa membuatnya betah untuk lalu mungkin dipanggil rumah. Sebutnya, ia sudah puas mengejar badai, barangkali mengharap sesekali gerimis namun tak lagi di samudra orang. Setelah perjumpaannya dengan sesama penunggang gelombang, ia lantas berniat memilihku. Menurutmu, aku harus percaya?
Sungguh aku ingin.
Namun.
(sebab selalu ada kata namun di setiap keinginanku untuk memilih)
Namun, aku takut memulai lebih jauh. Terlepas dari tahun lalu dimana kami saling menyakiti satu sama lain secara habis-habisan dengan kata-kata, aku takut sebenarnya aku hanya jatuh cinta pada kemungkinan-kemungkinan. Potensi, seandainya aku berhasil dengan ia, entah bagaimana, namun bukan dengan kenyataannya.
Telah kusebutkan pula padanya (sebab ia yang mulai bertanya) perihal jatuh hati pada kemungkinan ini. Kuakui saja bahwa, kendati aku telah melepas namanya dari apa yang kupaksakan pada Tuhan untukku, aku memang toh masih menaruh harap padanya. Tidak seberapa banyak, sebenarnya. Cukup untuk aku merasa bahwa barangkali aku masih punya seseorang yang bisa kuupayakan dan mau kubujuk untuk mengupayakan aku. Meski begitu, kusebut bahwa aku (masih) ingin mencoba bersamanya, jika memang bisa.
Lantas, ia meminta aku menunggu hingga tahun baru. Setelah semua perkara pekerjaan dan hirukpikuknya selesai, ia bilang akan bicara banyak denganku. Benarkah demikian? (iklan produk komersial).
0 notes
Text
Takut Jadi Tua
Inilah dia, gelombang pasangnya.
Sudah kubilang, bahwa perjalanan menemukan diri yang kutempuh kini belum pasti batas akhirnya. Aku pikir, dengan telah merasa bersyukur, aku takkan dilanda kesepian yang tiba-tiba lagi. Namun ternyata tidak jawabnya.
Belakangan ini, aku merasa lebih kesepian dan mudah jengah. Seperti sesuatu yang menyenangkan tercerabut dari inti entah sebelah mana. Aku kira aku lelah, atau gejolak hormon sebab aku memasuki periode menstruasi. Namun nyatanya alasannya toh tak semuanya itu.
Barang kali, aku merasa cemas. Gelisah sebab hanya dalam hitungan kurang dari satu bulan, usiaku akan genap berkurang. 29. Satu langkah menuju bilangan itu berganti kepala menjadi 3. Aku takut.
Entah karena aku terlalu banyak asupan twitter, ataukah karena ada saja orang yang kutemui menanyakan kapan aku bersanding tangan di pelaminan, aku merasa terburu-buru (?). Dan mendadak aku lebih mendamba seseorang yang bisa kupastikan hadirnya.
Ada yang pernah menyuruhku cepat menikah. Ia bilang, disangkal atau tidak, perempuan punya jam biologisnya. Dan, meski tidak memasang wajah sedih, aku mengangguk tanda menyepakati. Jika saja ia tahu, bahwa yang pertama kali kupikirkan saat mengakhiri 8 tahun hubungan ialah ketakutan akan tiadanya anak perempuan yang kunamai Sakhsma.
Orang yang lain berpesan agar aku tidak larut dalam keseorangan diri dan terlampau nyaman dengan itu. Sebab katanya, akan menyenangkan punya seseorang yang mendampingi kita di masa tua. Tidak saja ia tahu, telah lama aku menyembunyikan citra tentang berbagi teh dan senja di sebuah rumah sederhana bersama sosok lelaki yang menua bersama.
Duh, Tuhan.
Rasanya aku takut menjadi tua dan belum menemukan siapa-siapa.
3 notes
·
View notes
Text
Menemukan Aku
Rasanya, perlahan aku mulai menemukan diri sendiri.
Bukan lagi aku yang seharusnya menjadi aku. Tapi aku yang sesungguhnya aku, yang tidak dibentuk oleh harapan orang lain; bukan pula oleh keinginan untuk selalu merasa bisa menolong dan berarti banyak. Bukan pribadi yang minta dibuatkan seseorang sebab aku tak tahu arah. Bukan sosok yang menjelma seperti yang mereka minta.
Aku yang benar-benar aku.
Prosesnya sulit, sungguh. Perjalanannya sunyi dan kadang terasa hampa. Kadang kosong, kadang terasa buntu. Sesekali terasa amat salah. Aku bahkan tidak tahu apa aku telah sampai, atau aku masih berada di tengah perjalannya, masih mencari, melengkapi, memuaskan diri.
Setidaknya, aku kini tahu apa yang bisa membuat aku merasa berteman meski berjalan sendiri. Yang bisa aku lakukan tanpa meminta pendapat atau mengharap penilaian baik orang. Aku tahu apa yang aku mau, dan aku perlahan tahu bagaimana mencari dan mendapatkannya.
Selamat, Fuji.
Selamat sudah sampai di titik ini.
Selamat sudah mau meniti semua tangganya, beserta lubang dan sandungan yang kamu terjang saja.
Aku berharap, di waktu-waktu setelah ini, kamu semakin menemukan dirimu. Menyukai dirimu yang kamu bentuk sendiri ini. Menghargai setiap sisinya, dan menemukan seseorang yang mau mencoba sisimu pula.
Kelak, Fuji. Kelak, hatimu yang mulai penuh cinta dan kerinduan mencintai seseorang itu akan terpuaskan pula. Tunggu ya.
3 notes
·
View notes
Text
Belakangan aku menyadari, ternyata begitu sulit menyayangi seorang efek samping. Seseorang yang dirinya tidak baik-baik saja.
Bukannya aku tidak mencoba. Aku rasa aku mencoba dengan sungguh-sungguh. Mencoba memahami. Berandai sekiranya kakiku yang berada di sepatunya. Mencari sisi baik dari sikap atau sifatnya yang buatku tidak masuk akal. Namun, bukannya berpura-pura itu melelahkan? Aku selalu menemukan celah betapa ia menyebalkan, atau kekanakan, atau sulit ditangani.
Aku tidak mau kesal, tapi. Tapi. Segala sesuatu yang berkaitan dengannya pada akhirnya bermuara pada kata tapi.
1 note
·
View note
Text
Kelak, aku ingin mencintai seseorang seperti aku melepaskan semua diriku bersamamu. Luap tak terbendung. Tidak pula menahan diri. Sedang ia, sebagaimana kamu dahulu, laksana laut. Yang menyambut arusku tanpa batas, tempatku pulang. Juga yang menghadiahi aku bulir gerimis hingga arusku menderas dan kembali padanya lagi.
0 notes
Text
"Berapa lama?" kamu bertanya.
"Delapan tahun," kujawab.
Kamu mengangguk, "lama juga, ya." Suaramu terbawa angin.
Aku tersenyum, kecut. "Lama sekali," kataku.
"Sudah bulat?" tanyamu. Aku mendelik, mencoba menyampaikan pesan 'yang benar saja,' tanpa harus aku suarakan.
Sejenak kamu terdiam, lalu, "bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyamu hati-hati.
"Kosong," balasku tanpa perlu banyak waktu. Tatapku menerawang. Tidak menujumu. Tidak pada siapa-siapa.
"Karena merindukannya?" tanyamu lagi. Sungguh kamu benar-benar cerewet.
Aku menggeleng, "karena merindukan diriku sebelum dia."
Kini, kamu tertegun. Barangkali aku salah lihat, tapi rasanya selapis tipis air mulai menggenang di pelupuk matamu. "Yang bagaimana?" tanyamu lirih.
Aku mengangkat bahu. Kepalaku mendadak berat, ia terkulai begitu saja di pangkuan meja pemisah kita. "Sudah lupa." Kataku, "yang jelas tidak seperti sekarang ini."
Ada jeda di antara percakapan kita. "Lantas, setelah ini kamu mau apa?" tanyamu akhirnya.
Giliran aku yang tertegun. Menimbang-nimbang yang ingin aku lakukan, yang perlu aku lakukan. Mendadak, rasa bersalah menyergapku. Dan kekosongan itu terasa lebih berat dari biasanya. Menggelayut nyaris jatuh, mendesak aku untuk berkata, "hendak mencarimu," kataku. Begitu saja.
Kamu menatapku. Terkejut. Air matamu tumpah. Ternyata memang benar, kamu menahan tangis. Rasanya, aku jadi manusia paling jahat satu semesta.
"Beritahu aku harus ke mana," pintaku kepadamu.
Kamu menyeka air mata, menatapku lagi. Dengan tatap sungguh-sungguh. Tatap menaruh percaya.
"Cari aku di tempat yang ingin dan belum kamu kunjungi," katamu. "Cari aku pada jalan-jalan kecil untuk kamu bisa berjalan sangat jauh dan menyesatkan diri." Air matamu belum surut, namun bibirmu tersenyum. "Kamu bisa mencariku di tulisan-tulisanmu yang belum selesai. Juga sketsa lamamu yang tak pernah kamu lanjutkan. Atau benang kusut yang tak kunjung kamu rajut, barangkali pada dawai ukulele yang telah menyerah kamu mainkan." Kamu menangkup satu telapak lenganku yang mulai gemetaran. Aku baru menyadari, bahwa ini kali pertama kamu mau menyentuhku lagi setelah sekian lama.
"Dan bila kelak kamu jatuh hati," lanjutmu, dengan lembut, dengan lambat. Agar aku mengerti, biar aku mengingat. "Bawa aku," katamu, "jangan tinggalkan."
Aku mengangguk.
Setelah 8 tahun jeda, kita kembali menangis bersama.
0 notes
Text
Merindukan mencintai.
Beberapa waktu ini, tak sengaja aku membaca pengakuan orang mengenai merindukan mencintai.
Mereka merindukan mencintai seseorang. Merindukan gelitik di perut, ketegangan yang muncul kala menunggu dan berjumpa, resah yang terasa tiada ujung bila tidak bertemu. Mereka merindukan rindu pada seseorang.
Barangkali, meski tidak kutahu dengan pasti, itu pula yang aku rasakan. Merindukan mencintai. Aku merindukan saat-saat di mana aku dengan rela menyisihkan waktuku untuk bertemu seseorang yang menghadiahi serbuk madu pada kupu-kupu di perutku. Aku merindukan saat ketika aku bicara tiada henti dan bercerita apa saja pada ia yang seakan hanya telinga. Aku merindukan rasa tak sabar ingin bertemu, rasa bahagia saat berjumpa, juga sedikit sedih kala dalam penantian usai berpisah.
Barangkali, aku memang merindukan mencintai. Juga merindukan dicintai. Ilusi bahwa aku memiliki seseorang dan seseorang memiliki aku. Rindu akan sosok yang menantiku sebagaimana aku menunggunya di setiap hitung waktu.
Barangkali.
Barangkali, itu juga yang membuat aku menjatuhkan hatiku kala itu, dan urung melepaskan sebuah kisah singkat hingga saat ini. Mungkin sebab itu yang membuat aku masih menyimpan mimpi dan pengandaian kecil ketika nyatanya nyaris tiada kemungkinan terulang.
Jika benar, aku harap, rindu itu selesai. dulu.
0 notes
Text
Anak kecil itu pengampun.
Anak-anak itu pengampun.
Kalimat yang terlintas di kepalaku begitu saja, kala melihat dua kepala kecil melongok dari balik pembatas jembatan.
Sesingkatnya waktu yang bisa aku ambil untuk mengamati dua wajah senang melihat deretan lampu kendaraan yang berjejal hingga pinggir jalan. Tangan mereka meraih-raih, tak jelas pula mengharap apa. Obrolan kecil yang tak bisa kudengar jelas. Hanya cericit riang diselingi bunyi klakson liar pengemudi yang sudah bosan.
Di sebelah mereka, seorang bapak tua duduk tertunduk. Lelah, barangkali berhenti berharap, aku tidak tahu. Kontras sekali dengan kedua anak yang masih bisa bersendagurau kendati tak jelas kapan terakhir mereka makan. Sudah kubilang. Anak-anak itu pengampun.
Mereka tak murka pada hidup yang tak memberi mereka penuh. Pada waktu yang mereka habiskan di jalan untuk tidak mendapat apa-apa. Untuk orkes keroncong riung di rongga perut yang kian lama mengeras namun justru terabaikan.
Jika orang dewasa akan mengeluh, lantas menyalahkan nasib, lalu bertanya-tanya pada Tuhan kapan derita akan berhenti, anak kecil memilih mengampuni.
Yah, mungkin mereka juga mengeluh. Namun ketika keluhnya tak terjawab, dan seakan Tuhan memalingkan wajah dari pandang mereka yang mengiba di seberapa pendeknya waktu, mereka lantas melupakan. Mudah sekali memilih teralih.
Barangkali, Tuhan tak memberi mereka makan, mungkin belum.
Ia memilih menghadiahi para bocah itu kedamaian hidup.
Nikmat memaafkan.
0 notes
Text
Barangkali, yang ingin Tuhan dan hidup ajarkan padaku tahun ini adalah perkara melepaskan,
Melepaskan segala sesuatu yang membebani,
Melepaskan harap yang digantung sendirian sejak lama,
Melepaskan harap untuk diselamatkan oleh yang selain diri.
0 notes
Text
Menyesal?
Sejak dulu, pantang bagiku untuk menyesali sesuatu. Sebisa mungkin, aku berupaya melupakan, memaafkan bila memang sanggup, dan mencoba untuk mencari titik terang agar aku tak kurang bersyukur dan tak ada niat menyesal.
Serupa dengan akhir kisah 8 tahunku ini. Aku berupaya untuk tidak menyesali waktu-waktu panjang yang aku habiskan, juga perjalanan yang nyaris terasa tiada ujung, serta lelah yang tak bisa dihitung jumlah. Aku mencoba tidak menyesali apapun, tidak pilihan-pilihanku, tidak pula dengan apa yang terjadi setelahnya atau karenanya.
Namun, apa yang ia lakukan padaku, dan beritakan pada orang lain mengenaiku membuatku harus berupaya keras untuk tidak mengatakan "seandainya saja." Seandainya saja, aku tak menghabiskan waktu bersamanya terlalu lama. Seandainya saja aku memilih untuk memutuskan setelah ia lama menghilang. Seandainya saja aku menyerah saat dia menghadirkan orang ketiga di antara kami berdua. Seandainya saja aku lebih awal menyerah.
Aku berupaya untuk tetap mengenang semua kesan dan kenangan tentang kami. Mengakhiri kisah dengan sesuatu yang indah untuk diingat. Namun, apa yang ia sebarkan tentang aku, yang ia lakukan setelah masa kami berakhir, membuat kenangan-kenangan manis itu hilang dari benak. Aku bahkan berulangkali mempertanyakan apa yang membuat aku memilih dan bertahan lama dengannya. Rasa sayangku sudah menghilang sejak lama, namun kini, rasa hormatku juga sudah tiada sisa.
Dulu, ia sering memintaku untuk tidak meminta tolong pada siapa pun, tidak pada sahabat, teman dekat, bahkan keluarga. Katanya, pertolongan sekecil apa pun akan menjadi utang budi berkepanjangan yang tidak ada akhirnya. Ternyata, ialah yang selama ini, dengan diam-diam, bermain hitung-hitungan.
Ia sesumbar mengenai apa yang telah ia lakukan untukku, seolah aku tak pernah berjasa besar dalam hidupnya.
0 notes
Text
Sesungguhnya, aku selalu bisa mengandalkan diriku untuk melepaskan.
Aku selalu tahu kapan mengakhiri, sebagaimana aku tahu kapan dimulainya.
Hanya saja, aku selalu memilih menyembuhkan daripada mencegah.
Aku tak pernah meninggalkan saat sulit. Aku tinggal. Sehabis-habisnya sampai lelah.
Mungkin karena itulah, tiap kali akhirnya memilih pergi, rasanya kosong luar biasa. Lama lagi untuk terisi.
0 notes
Text
Tidak begitu suka
Jika sedang begini, sejujurnya aku tidak menyukai isi kepalaku sendiri. Sebab, biasanya yang aku bayangkan, dan sebagian besar darinya merupakan hal buruk yang mungkin terjadi di keseharian, akan terjadi.
Praduga-praduga yang kubuat sebagai antisipasi patah hati seringnya mewujud sendiri. Seperti hari ini, misalnya. Belum kutahu itu benar atau tidaknya, hanya saja.. hanya saja bila memang terjadi, rasanya aku benar-benar harus undur diri.
Pekan lalu, barangkali karena terlalu terhanyut dalam pembicaraan dengan El, aku memimpikan ia dan perempuan pilihannya. Anehnya, akulah yang berteman dengan gadis itu. Ia yang dalam mimpi pun begitu baik. Begitu manis.
Tak lagi kuingat detailnya, namun ia mengajakku berjalan-jalan, lantas di suatu tempat merasa sedih. Dugaanku, ini tentang lelakinya yang jauh dari pandangan. Betapa aku yang dalam mimpi tersentuh dengan kebaikan dan sifat tulusnya, hingga aku rela melepas.
Ketika aku bertemu dengan dia, kurasa ingin kuberikan saja si gadis itu padanya, untuk dihibur luka dan pedih hatinya. Aku? lupakan saja, sungguh tak mengapa.
Siang ini, kudapati gadis itu membuat pesan duka. Tentang melepaskan dan kedukaan yang mengikutinya. Aku tidak mau menduga-duga, tapi.
Tapi.
Jika memang benar yang aku mimpikan, jika terwujudlah apa yang aku bayangkan, sebaiknya memang aku berkemas dan berhenti berharap.
Penuhi janji, Fuji. Lekaslah pergi.
0 notes
Text
Barangkali Lupa
Kemarin, aku berlama-lama bercakap dengan El, teman dekat ia di kantornya. Selagi aku menumpahkan perasaanku tentang laki-laki yang ia bilang selayaknya kakak itu, El memberitahuku, barangkali, sudah tiba waktunya aku untuk menyerah.
El bilang, cerita-cerita tentangku sudah lama surut datangnya hingga hilang sama sekali. Ia tidak pernah bercerita tentang aku lagi, tidak, bahkan setelah pertemuan terakhir kali kami, saat aku bersusah payah berbaur dengan teman-temannya yang kujumpai pertama kali.
El bilang, hatinya menumbuhkan kecambah baru pada perempuan yang ia sukai sejak lama bahkan sebelum aku. Perempuan itulah, kata El, yang belakangan ini menguasai bahasan pembicaraan, sedang aku tidak lagi.
Selepas kami bercakap dan menutup panggilan, aku termenung. Betapa sepertinya, aku sudah lupa ingatan beberapa bulan terakhir ini.
Aku kembali merunut kisahku, dimulai dari aku yang memutuskan untuk berpisah dengan dia, sebab ingin mencari ketenangan. Keputusan itu, keputusan yang datang amat lama itu, aku ambil dengan risiko akan berakhir sendiri hingga akhir. Aku tidak memiliki pendamping lagi selain diri sendiri. Dan risiko itu aku ambil, kujadikan sisi baik dibandingkan dengan hidup penuh resah dan amarah, rasa tidak tenang.
Jatuh hati padanya, (kubilang jatuh hati karena aku tak tahu kata apa yang lebih tepat), membuat aku merasa terguncang lagi. Aku memilih kembali resah setelah lepas dari keresahan. Hanya saja dengan orang yang berbeda. Betapa bodohnya.
Barangkali aku lupa, bahwa aku memutuskan untuk sendiri bukan karena ingin mencari yang lain lagi. Lantas mengapa beberapa bulan ini, aku bersikeras mengejarnya? mengupayakannya?
amnesia, aku rasa.
0 notes
Text
Hampa
Bersama dengan seseorang yang sama lebih dari 8 tahun membuat aku tidak sempat berpikir tentang diri sendiri. Kesenangannya menjadi kesenanganku. Yang tidak ia sukai menjadi apa yang tidak aku lakukan. Apa yang ia mau jadi inginku juga. Jadi ketika aku melepaskan diri darinya, aku merasa dirikulah yang hilang.
aku merasa kosong.
Bukan, aku bukannya merindukan ia. Aku justru merindukan aku yang sebelum kedatangannya, aku, yang bahkan sudah tak aku ingat lagi bagaimana dan seperti apa.
Pada hari aku melepaskan diri darinya, aku mulanya merasa senang. Sebab tak ada lagi beban yang aku pikul, tidak ada lagi yang aku harus pedulikan maunya dan kuikuti harapnya. Tak ada lagi yang harus kujaga amarahnya, atau pecah tangisnya. Aku tak lagi bertanggungjawab terhadap siapapun selain aku.
Namun beberapa bulan setelahnya, aku merasa hampa.
Aku meraba dan tak kuketahui inginku apa. Apa yang aku suka, apa yang ingin aku kejar, yang ingin aku dapatkan. Bersusah payah, aku harus menentukan apa yang akan aku lakukan, sebab tak ada lagi yang memaksaku berbuat ini - itu. Aku tak tahu lagi kemana aku akan pergi, sebab tak ada lagi yang memintaku datang. Aku seperti tak ada tujuan.
Bukannya aku ingin kembali padanya, terpikir pun tidak.
Hanya saja, aku sedang mencoba kembali pada diriku sebelum ia, namun tak tahu mulai dari mana.
0 notes