Tumgik
formidnine · 3 years
Text
Tumblr media
Happy Wedding, Mas Jay!
Starring: Midnine and their gandengans, cameo: Alta and Aan, KBG squad
Genre: Romansa menye-menye
Words: 4562
Author: muriddospem
Midnine Haus | 3:15 PM
“Chiii, dah siap belum? Lama bat sih lu!” kepala Milly masuk dari belakang pintu kamar Ochi dan Anet, mencari temannya yang ikut berangkat ke akad pernikahan Jay sebentar lagi.
“Wait, wait, bentar, gue lagi masang eyeliner!”
“Itu Julian-nya dah nyampe noh!”
“Oh shit oke, bentar ya suruh tunggu aja! 3 menit! Pronto!”
“Oke 3 menit ya. Net, lo tolong jagain yang lain ya. Jangan sampe pada telat nanti pas resepsi.” omelan Milly sekarang dilontarkan ke Anet yang masih sibuk nyatokin rambutnya, bahkan belum ganti baju.
“Iya, iya, mbaaak. Nanti ku-urusin.” jawabnya santai kayak acaranya baru besok mulai.
Milly meninggalkan mereka berdua kembali turun ke lantai bawah. Entah dari alam bawah sadarnya atau gimana, tapi Ochi merasakan tangannya agak gemetar. Mampus deh kalau ini eyeliner sampe mencong. Dia deg-degan. Ya jelas… Dia ini mau pergi ke acara kondangan dan membawa mantannya sebagai gandengan. Katanya sih alasannya karena Julian sahabat karibnya Jay, tapi kan bisa aja bukan jadi gandengan dia. Bisa aja Ochi ketemu dengannya di venue tanpa direncanakan. Tapi enggak… si cewek labil asked him out as her date. Bahkan mereka shopping berdua ke Mall Pacific Place buat nyari kostum hari ini!
Tapi bagi Ochi, Julian bukan hanya sekedar mantan sembarangan.
He was her first love who gave her the most beautiful romantic experience.
Gak banyak orang tau soal itu sih. Ochi kurang mau mengakuinya ke publik. Malu, pikirnya. Entah kenapa kalau dia lagi dekat sama cowok lain, cuma Julian yang sukses menghantui niatnya untuk maju lebih dalam. Capek banget. Padahal mereka pacaran cuma setahun. Tapi membekasnya? Deep enough to leave pretty marks.
“Okeh, sip. Done. Duluan ya, Net. See you there!” selesai berhias, Ochi mengambil tas pesta kecilnya dan bersiap turun ke bawah menemui Julian.
Dengan langkah yang tergesa-gesa menuruni tangga, suara berat yang sangat dikenali Ochi memanggilnya sebelum dia bisa melihat siapa saja yang ada di sana.
“Hey, tiati awas jatoh.”
It’s Julian, dressed in all black slim-fit Hugo Boss suits. Rambutnya udah dipotong lebih pendek, sisi kanannya disisir menyisakan sedikit poninya yang jatuh, kancing kerahnya dibuka dua agar berkesan kasual, he’s looking like the dark prince who came to pick up his midnight witch.
“H--hai! Sori yah nunggu agak lama ya?” gelagatnya Ochi udah gak kalem. Ya gimana enggak… yang jemput dia secakep itu!
“Gapapa, santai aja. Masih lama ini juga mulainya. You look gorgeous, by the way.”
Alah sia. Licin bener mulutnya.
“Thanks. You look dashing, too.”
“Iya, dong. Kan mesti balance sama pasangannya.”
“Udah ih bisa aja kamu tuh!” Ochi ketawa sambil tangannya melayang ke lengan Julian, kebiasaannya kalau udah nervous.
“Cieeeeeeeeeee~”
Seketika Pinkan, Milly, Angga, dan Johanna nyautin usil. Malesin banget gak sih? Udah pada tau kita mantanan tapi masih aja di cie-cie-in.
“Balikan, Jul, balikan.” Angga sok bisik-bisik pas dia ngelewatin kita berdua bareng Milly. Julian cuma diam aja sambil ngeliatin pake senyum capek. Soalnya percuma kalo diladenin, makin jadi yang ada. DEMI ALLAH NYEBELIN BANGET MULUTNYA NI ORANG SATU STOP BIKIN SITUASI CANGGUNG ANJIR.
“Kita duluan ya, guys. Han! Abangmu dah di mana? Jadi gak ikut akadnya?” Milly mastiin lagi ke kawan sekamarnya sebelum dia pergi. Soalnya kasian ini dia udah rapih cantik tapi masih nganggur depan TV.
Johanna mendongak ke arah kita. “Gak jadi, kak. Aku nanti ajaa pas resepsi yah. Ini Bang Ju gak bisa pick-up aku sekarang soalnya.” katanya sambil ngecek HP.
“Lah lu gimana siiih?” Milly mulai sewot lagi, “Seriusan gak jadi ikut, Han?”
Angga menepuk punggung Milly, usaha kecil untuk nurunin emosi sekilatnya. “Udah Mil, gapapa. Kita aja cabut sekarang. Kan ada si Ochi juga itu. Ntar lo nyusul ya, Han!”
“Iyaaa, sori ya kak! Nanti kita ketemuan pas resepsi ajaa!”
“Ya udah, yuk Jul.” Ochi mendorong punggung Julian pelan, masih salting. Duh, gimana deh.
“Jangan lupa kirim-kirim foto ya!” Pinkan teriak dari meja dapur sambil makan gorengan.
“Iyaaa, nanti yaaa!” sahut Ochi dan Milly di ambang pintu keluar.
Saatnya pergi ke akad nikah Mas Jay!
Otw Plataran Cilandak | 3:23 PM
Sudah lama Ochi gak naik mobil civic hitamnya Julian. Terakhir tuh pas nganterin dia pulang dari habis shopping. That was weeks ago, tapi ya tetep aja ada rasa kangennya sih. Baunya mobil Julian itu khas sama bau vanilla. Terus, ini her ego speaking, tapi Ochi kalau udah duduk di depan bareng Julian, cuma berdua pula, rasanya kayak yang mulia putri Inggris. Soalnya pertama, mobilnya sexy. Kedua, cowo--supirnya ganteng. Ketiga, dulu pernah jadi pacarnya.
And, girl? Julian is extra hot whenever he drives. Dulu pas masih pacaran, tangan kirinya suka genggam tangannya Ochi, bingung juga kenapa. Mentang-mentang mobil matic sih. Ya elah, sweet trip down the memory lane ya, Chi? Tenang aja, sekarang gak ada acara pegang tangan gitu-gitu. Julian tau batasan, Ochi juga.
“Reynald udah di mana, Jul?” Ochi bertanya, mulai basa-basi.
“Dia ikut akadnya kok. Aku gak tau di mana, terakhir chat dia sih katanya udah mau jalan. Cuma kadang tu orang suka bo’ong.”
“Hahaha paling kita yang sampe duluan gak sih?”
“Rumahnya Rey lebih deket ke plataran itu sih. Tapi yah, we’ll see.”
“Yep yep…”
Ochi mulai speechless. Dia beneran jauh lebih nervous hari ini. Alasannya? Ya jelas karena mereka berdua tuh datang sebagai pasangan di hari pentingnya Jay. They’re dressing up, rapih, wangi, dan untuk si cewek labil dia lowkey punya niat mau nyari perhatian alias caper. Satu hal yang dia suka lakuin dulu pas sama Julian tuh showing off.
Bisa-bisanya gue di situasi kayak gini pas kemarin lagi kalang kabut mikirin seorang dospem. Konyol banget cerita romansa gue.
“Chi.”
Ochi merasa seperti disambar petir saat namanya dipanggil, membangunkan dia dari lamunan groginya. “Iya?”
“Kamu nervous, ya?”
Ochi tersenyum kecut, spot on. “Ahaha… sedikit…”
Menyadari kalau memang pasangannya malam ini grogi, Julian lantas menggenggam tangan Ochi yang dingin. Dingin banget, sedingin es batu. Pasti karena AC mobilnya juga sih, tapi kalau yang ini Julian tau betul bukan karena itu. She’s nervous. Her palm is sweating like crazy.
Oh iya, batasan ya? Ah, persetan. Dulu kalau Ochi lagi kambuh begini, menggenggam tangannya sudah seperti obat baginya. And he would do that again, because he cares.
“Kita have fun aja yah nanti.” katanya lembut, “It will be okay. You look beautiful, frowning doesn’t suit you tonight. Okay, Chi?”
Ochi, si gadis Cancer hopeless romantic itu, tentu saja tidak bisa menahan senyum salting yang tersungging di bibirnya. Dia tidak menepis tangan itu, namun justru menggenggamnya balik. Julian’s right, they should be having fun tonight.
Plataran Cilandak, Wantilan Lounge | 4:00 PM
Tumblr media
Sesampainya di venue, udah lumayan banyak orang yang datang. Kebanyakan tentu dari keluarga mempelai sih, karena ya kalau lagi akad kan keluarga harus hadir ya. Semuanya memakai kebaya dan batik Jawa. Tentu saja karena keluarganya Jay dan Melati keduanya berasal dari Jawa, jadi pernikahan malam ini temanya adat itu. Ochi dan Julian turun dari mobil dan melihat Milly bersama Angga juga turun di depan mereka. Mereka berempat lalu berkumpul sebelum memasuki venue-nya barengan.
“Yang dari Amang siapa aja sih, Ngga? Dateng ke akad ini maksudnya.” Ochi bertanya ke cowoknya Milly yang lagi sibuk ngecek HP-nya.
“Ngga, ditanyain tuh.” Milly toel lengannya si Angga.
“Hah? Oh itu, si Bram, Chi. Sisanya pada nyusul pas resepsi katanya.”
“Waduh… Mantannya si aneh.” Ochi mastiin soalnya Bram itu udah lama gak kelihatan batang hidungnya.
“Iye. Mampus deh dia.”
“Hush, jangan gitu kamu ah!” Milly nyubit perutnya Angga, mengundang erangan sakit tapi setidaknya Angga jadi behave.
“Mantan?” Julian nimbrung, clueless sama orang yang kita maksud.
“Oh, iya nanti tuh ada mantannya si Hanna, Jul. Sumpah hari ini di nikahan Mas Jay banyak banget mantannya anak-anak kosan.” Ochi menjelaskan, sedikit bergidik sama kata-katanya sendiri karena yang dia bawa sekarang kan juga mantannya dia.
“Elu berdua tuh!” Milly dan Angga kompak nyeletukin Ochi dan Julian. Hebat ya. Kalau udah same brain cells emang begitu tingkahnya.
“Berisik deeeeh!” Ochi gak perlu digituin juga udah sadar kondisinya dia sama lucunya.
Setelah masuk ke dalam, Ochi melihat Melati sedang bersama keluarganya. Cantik banget. Woman of the night parah sih. Di lain pihak, Julian melihat Jay yang lagi sibuk ngobrol dengan Reynald.
Lantas Julian menepuk pundak Ochi, “Chi, itu Mas Jay di sana udah sama Reynald. Mau disamperin gak?”
“Eh, oh oke. Kamu duluan deh, Jul. Aku mau samperin Mbak Mel dulu. Mil, Angga, gue sama Julian misah dulu ya. Gue mau samperin Mbak Mel.”
“Oh, oke, Chi! Gue sama Angga keliling liat-liat aja ya kalau gitu. Sekalian cari tempat duduk.” mereka pun berpisah mengurusi urusan masing-masing.
Menghampiri Melati, Ochi memanggil namanya untuk menarik perhatiannya. Spontan Melati langsung senyum sumringah, dia bertemu dengan ‘adik’ kesayangan Jay. Otomatis juga ikut dia sayang banget dong. Mereka langsung berpelukan agak erat, lalu dagunya Ochi dicubit gemas olehnya.
“Iiiih, cantiknya si Ochi! Keren banget baju kamu, pake celana panjang gitu. Kamu kemari sama siapa, sayang?” tanya Melati excited. She looks so happy and vibrant, Ochi jadi ikut bahagia sendiri.
“Sama temen-temen aku, mbaaak. Sama itu, Julian juga. Tapi dia lagi samperin Mas Jay.”
“Julian? Loh bukannya kalian udah putus yah?” aduh, lupa deh mulutnya Mbak Mel nih kadang suka kelepasan.
“HAHA. Uhm… Iya, udah, tapi dia mau nemenin aku. Toh, Mas Jay kan sahabat karibnya dia juga.”
“Oalah… iya siiih, bener-bener. Ya udah, pokoknya kalian seneng-seneng ya hari ini. Kateringnya enak deh, dijamin. Aku yang pilih soalnya! Temen-temen kamu di mana?”
“Ada satu tadi di sini, sisanya dateng pas resepsi aja, mbak. By the way, sekali lagi selamat yah atas pernikahannya! Akhirnya loooh, aku udah nungguin lama banget dari kapan tau!”
“Makasih, Ochiii. Iyaah, nih akhirnya kesampean ya hahaha. Kamu juga dong, nanti kalau punya pacar baru kenalin ya ke mbak!”
Andaikan mbak tau sebetapa absurdnya petualanganku mencari cinta…
“Siap, mbak!” jawab si cewek labil singkat, berharap dirinya bisa mencari cinta seperti Melati bertemu dengan laki-laki se-sempurna Jayachandra.
Plataran Cilandak, Wantilan Lounge | 5:10 PM
Tumblr media
Akhirnya akad pun selesai dengan aman dan lancar. Kedua mempelai sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Banyak tangisan haru di sana sini, Milly salah satunya. Sudah pasti dia nangis. Katanya sih cewek Capricorn begitu, matanya sensitif. Semua orang bertepuk tangan, ikut berbahagia dengan pasutri baru kita. Tirta Lukman Jayachandra akhirnya telah menjadi suami sah Abigail Dia Melati. Setelah ini berarti tinggal persiapan resepsi jam 6 sore nanti.
“Lo kapan tuh, Rey?” Julian nyeletuk ke teman di sebelahnya sambil tepuk tangan. Niatnya pertanyaan retorisnya itu tenggelam di bawah bisingnya tepukan tangan orang-orang.
“Nanti ya, cek cuaca.” Reynald menjawab dengan penuh bisa, tapi wajahnya tetap pasang senyum pepsodent.
“Kok tumben lo lucu?”
“Ha. Ha.”
Perlahan suara kemeriahan mulai mereda. Para tamu mulai meninggalkan lounge, mencari angin segar setelah duduk lama saat akad tadi. Ochi mengambil HP dari dalam tasnya, niatnya mau nanyain anak-anak di kosan udah pada siap ke sini apa belum. Sekarang baru jam 5 lewat, kayaknya sih pada belum pergi.
“Chi, tolong tanyain di grup dong anak-anak udah pada otw ke sini belum?” kata Milly.
“Iya, ini mau.”
“...Johanna beneran ke sini nanti resepsi?”
“Eh, hai Mas Braaam!” Ochi melihat ke arah suara familiar yang udah lama gak dia dengar, “Iya, nanti Hanna ke sini bareng Bang Ju.”
“Tadi kan gue dah bilang, bang.” Angga menyusul dekat di belakangnya, berdecak sebal karena si Bram sepertinya gak percaya sama mereka sebelumnya.
“Gue kira lo tadi bercanda, anjir.” Bram mulai ketawa gak nyaman, jarinya menyisir rambut coklatnya dalam resah. Udah berapa lama mereka gak ketemu? Nobody knows. Hanna gak pernah bahas dia lagi juga soalnya. “Gimana nih, Ngga?”
“Ya main santai aja laaaah. Act cool! You know!?”
“Yunaw yunow yunaw yunow, berisik lu ah. Udah gapapa, mas. Bawa santai aja. Emangnya kalian ada bad blood?” tanya Milly, mencoba memberikan solusi like she always does.
“Ya… enggak, sih? Mungkin? Aduh gak tau, Mil haha. Udah lama gak ngobrol sama dia juga soalnya.”
“Oh… Ya udaaah, nanti kalian ngobrol lagi aja. Catch up! Nanti ada Bang Ju, Ko Ian, bocil-bocil juga nyusul, jadi santai aja. Ya kan, Ngga?”
Angga, itu cue untuk bekerja sama membantu situasi menjadi lebih baik nantinya. Mohon diikuti.
“Oh! Jelas!” jawab Angga antusias. He tried, okay? “Nanti kita ngumpul bareng satu meja ya.”
Ochi merasa gak mau terlalu terlibat di sini karena anjir canggung parah. Jadi dia sok sibuk ngeliat HPnya, mantengin chat Anet yang bilang cowok-cowok mereka udah pada dateng jemput mereka. Katanya si Shan dan kokonya semobil bareng Johanna dan Juo. Tama mobilan bareng Anet. Terakhir Renji, Milo, dan Pinkan naik mobilnya Aksa berempat. Meanwhile, Salza lagi gak bisa ikut soalnya dia lagi balik ke rumah keluarganya.
Tiba-tiba bau semerbak manis parfum Julian menyapanya indra penciuman Ochi.
“Gimana yang lain? Udah pada di jalan?”
Anjir. Suaranya deket banget. Julian ikut nunduk ngeliat layar HPnya Ochi sambil tangannya casually ngerangkul pundaknya. Her heart almost jumped out of her mouth, thankfully she didn’t make it obvious.
“Iya, udah mau otw bentar lagi. Kita enaknya ngapain nih sambil nunggu?”
“Keliling-keliling aja sih paling. Rey, mau ikut gak?”
“Ngapain? Keliling?” tanya Reynald.
“Iya, sambil nunggu resepsi mulai.”
“Oh, kalian aja dulu deh. Ini gue sebenernya lagi nungguin si Indra mau dateng kesini juga… Kalo gue ngilang gak enak.“
“Indra? Anjir udah lama gak ketemu loh.” kata Julian mengingat sudah lama geng Kemang Beer Garden nggak ngumpul bareng lagi. “Pakabar dia?”
“Baik kok. Katanya sih bawa ceweknya ke sini.”
“Kak Indra udah punya pacar!?” Ochi bertanya gak percaya.
“Udaaah, cuma gak terlalu dipublikasikan aja hahaha.” jawab Rey dengan entengnya. Enak ya punya kenalan artis, jadi tau rahasia beginian.
Anyways, karena mereka berdua punya waktu free sampai nanti mulai resepsi, akhirannya Ochi dan Julian memutuskan untuk keliling melihat venue Plataran Cilandak ini.
Plataran Cilandak, Wantilan Lounge | 6:13 PM
Tumblr media
Akhirnya resepsi dimulai. Cewek-cewek kosan sudah pada sampai di lokasi bersama pasangan mereka masing-masing. Anak-anak kosan udah berkumpul bersama di meja makan, sedangkan geng tongkrongan pada barengan nyamperin Jay untuk mengucapkan selamat.
“Eh, Chi, Alta jadi dateng gak?” Anet bertanya sambil menyesap wine-nya yang dia ambil di prasmanan tadi. Padahal seharusnya belum boleh ambil… terserah Gemini deh.
“Jadi nih. Katanya udah masuk parkiran kok.”
“Alta bareng sama lakinya?” tanya Pinkan.
“Enggak… sama mantannya, Aan namanya.”
“Mantan? Anjir yang bener aja deh. Malem ini yang dateng atau ketemu sama mantannya udah berapa orang coba?”
“Gak tau deh. Lagi musimnya aja kali.” Ochi mendengus, soalnya absurd aja gitu boi. Kok yang dari masa lalu pada datang gini ya? “By the way, Han, lo udah ngobrol sama Mas Bram belom?”
Johanna menggelengkan kepalanya, perawakannya keliatan sok gak peduli juga. “Baru say hi aja tadi, Brong. Paling nanti lagi.”
“Awkward banget ya?” tanya Pinkan khawatir.
“Ya aku udah seribu tahun gak ngobrol sama dia gimana gak awkward, guys?” suaranya memelas banget. Sedikit kasihan jadinya.
“Taunya nanti dia yang sengaja duduk di samping lu. Jiaaaakh.” Milly nyeletuk, belum tau aja dia kalau nanti beneran kejadian gimana. Katanya sih, Bram tipe yang mainnya alus. Jadi kalau mau mencoba memperbaiki hubungan masa lalu mah dia pasti jago.
“Haha aku tidak paham bahasa Bekasi, maaf.”
“Ugugaga? Agu agu? Ugagu!” kan, mulai kan, si tante Bekasi mulai bertingkah.
“Gugaga! Gu agu gu gu!”
Caprigurlz, everyone.
Milo mendesis, tingkah laku kedua kakak paling tua itu memang gampang mengundang emosi. “Anjing dah lu berdua, bisa behave gak?”
“Kita panggil satpamnya aja apa? Laporin ada monyet liar di sini.” tambah komen tajam dari Shan. Menusuk sekali bund.
“Jahat banget sih kalian, dasar beras.” Johanna merengek sambil ngejek balik. Capek banget ya Tuhan seperti anak TK tingkahnya para perempuan kosan Bu Muh ini.
“Mending semuanya DIEM deh. Tuh cowok-cowok dah pada balik.” Anet berusaha mengendalikan situasi setelah melihat para lelaki tampan yang menjadi pasangan mereka kembali ke meja tempat mereka duduk.
Julian menghampiri Ochi, menepuk pundaknya dan berbisik, “Chi, aku duduknya bareng sama Reynald, Indra, ya. Mas Jay udah misahin tempat buat geng beer garden ternyata. Kamu mau stay di sini apa bareng aku?”
“Oh, gitu? Uh… kayaknya nanti aku nyusul deh ke sana yah. Kalau udah mulai makan baru kita duduk bareng, gimana?” Ochi balas berbisik.
“Alright. Aku tinggal dulu ya berarti.”
“Mm. See you later.”
Setelah itu, cowok-cowok Amang mengisi kursi yang kosong di meja mereka. Semuanya pada duduk di samping yang mereka bawa kemari tadi, kecuali Bram yang duduknya di samping Ian karena ya you know lah. Lagian udah diisi sama Juo juga. Ochi memutuskan untuk gak ikut sama pasangannya karena dia lebih milih mau enjoy bareng teman-temannya dulu. Siapa tau bisa denger bahasa Bekasi keluar lagi, ya kan?
“Ko Ian, nanti koko jadi nyanyi gak?” Shan bertanya cukup keras biar yang lain pada dengar.
“Iya deh kayaknya, tadi sih udah direncanain gitu sama Jay.” jawab Ian.
“Eh mau nyanyi apa lu, ko?” tanya Milo.
“Nah itu dia. Saran dong, guys!”
“Cinta satu malam, ko.” jawab Renji, goblok juga ya sarannya. Milo rasanya mau bawa dia pulang detik itu juga.
“A Thousand Years.” jawab Anet.
Ochi langsung mengerang kesal, Christina Perry, suaramu memang bagus tapi maaf, bosen woy! “Ya kali itu lagiiii! Sumpah kalo dateng ke kondangan pasti deh itu lagu dimainin anjir eneg banget gue.”
“Kalo Marry Me-nya Train gimana?” kali ini Milly yang ngasih saran.
“Boleh sih, tapi gue udah lupa liriknya. Buka HP deh ntar.”
“Sans ko, yang penting suara lo keluar.” saut Aksa dari ujung. Tumben kedengeran ya suaranya. Biasanya Aksa tuh si jago golput, alias paling malas ikutan kalau lagi berunding asik gini.
Setelah semuanya sepakat, tiba-tiba suara mic dari depan panggung terdengar. Om Herman, ayah dari Jay memberikan sambutan kepada para tamu yang sudah datang malam ini. Beliau sangat bahagia karena anaknya sungguh membanggakan dirinya, dan juga beliau senang Jay berhasil menemukan wanita yang didambakan. Memang betul, setau Ochi dari dulu orang tuanya seneng banget sama Melati. Melati adalah seorang psikiater dan datang dari keluarga yang strata sosialnya tidak jauh berbeda dari keluarga Jay. Udah lagi si Jay seorang pengacara handal di law firm ternama Jakarta. Yah… sempurna kan? Pasangan yang super cocok. Mengakhiri sambutannya, semua orang bertepuk tangan lagi. Lalu setelah itu, giliran Jay yang maju.
“Tes, satu, dua. Ehem. Selamat malam, semuanya. Jujur, aku agak bingung mau ngomong apalagi nih soalnya tadi kebanyakan udah disampaikan sama papa.” pembukanya spontan mengundang tawa dari para hadirin, “Mungkin aku bisa mulai dari berterima kasih kepada teman-teman aku yang sudah datang ke sini. Teman lamaku sedari kuliah, para pelanggan setia warkop Amang and the pretty ladies bersama mereka yang juga jadi supporter ku nomor satu dari dulu, dan juga teman-teman gaulku yang suka ngumpul bareng di Kemang…” sombong, tapi gak apa-apa. Flex that. “lah iya kalau kalian lihat di meja depan sebelah kiri saya, ada stand-up comedian yang jualan baju, DJ unggulan We The Fest, dan aktor film cinta-cintaan yang lagi naik daun, lagi pada duduk di satu meja loh. Keren kan teman-temanku? Mending kalian ajak foto bareng deh.”
“LEBIH KEREN YANG JUAL GALON, MAS JAY!” Renji seketika langsung teriak dari kursinya, mengundang perhatian semua orang. Dan tentu saja, cewek-cewek kosan langsung ketawa meledak tapi juga malunya bukan main. Aksa? Senyumin aja. Nanti pas acara kelar paling si Renji disuruh pulang sendiri.
“Hahaha, iya! Semuanya keren deh! Istriku juga keren, wanita paling pengertian, baik, pintar, dan cantik sedunia. Mel, thank you so much for your trust. Thank you for loving me, semoga kita bisa bahagia sampai tua, yah.”
Aaaaaawwwhh! So sweet! Sweeter than es teh manis bikinan Milo tadi pagi and mind you, Milo’s es teh manis adalah minuman paling enak di kosan. With the beautiful greetings finally said, akhirnya dimulai acara makan-makannya. Live music juga udah dimulai, dimeriahkan oleh band kenalannya Julian. Fyi, tadinya tuh hampir aja band kakaknya Ochi, si Fikri, yang mau tampil di resepsi ini. Tapi ternyata schedule-nya tabrakan sama jadwal manggung mereka di Senayan, jadinya yang lain deh.
Plataran Cilandak, Alun-alun | 6:45 PM
Tumblr media
Sesuai janjinya, saat tadi prasmanan sudah dibuka, Ochi dan Julian bertemu lagi buat ngantri bareng. Sekarang semuanya sedang menikmati hidangan yang ada. Cewek-cewek pada mencar juga, ada yang makan sambil berdiri, ada yang kayak lagi makan di D’cost. Makan bareng ala keluarga gitu maksudnya. Hidangannya macem-macem… Mulai dari makanan Indonesia, Jepang, hingga mediterranean. Terus ada wine dan champagne juga. Makanannya enak banget sih memang ini pilihannya tepat sasaran juga. Katanya Jay, Melati punya hobi kuliner macam-macam.
“Jul, nasi kebuli-nya enak banget sumpah.” kata Ochi sambil ngunyah.
“Kamu suka makanan Arab gitu ya?”
“Middle eastern cuisines are tasty, y’know? Aku suka yang rempahnya begini. Kadang aku lebih milih ini daripada chinese food.”
“Tapi makanan Jepang kamu masih suka kan?”
“Masih, cuma kalo aku lagi pingin yang lebih nendang mah… Makanan Jepang rasanya gak se-variatif makanan timur tengah atau Indo soalnya.”
“I see. Mau nyicip dong.” Julian membungkukkan badan tiangnya itu.
Hap.
Kayak anak jerapah disuapin.
“Mm, enak juga. Aku baru pertama kali nyobain.” komennya, cukup puas dengan rasanya. Untungnya memang ini lagi enak juga, jadinya pas untuk pengalaman nasi kebuli pertama bagi yang belum pernah coba.
“Ochiii!” tau-tau ada suara dari jauh memanggil namanya. Oh! Alta!
“Altaaaa!” Ochi menyapa temannya balik, menyadari dia bersama Aan, Anet, dan Tama juga. “Lo baru sampe?”
“Iya nih, pas banget ya baru mulai makan. Sori yaaa agak telat! Ni si Aan yang bikin lama.”
“Oh, ini ya Aan? Halooo, salam kenal yah.” Ochi mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Haloo, salken juga, Aan.” Aan membalas jabatannya, tidak lupa juga berkenalan dengan Julian, “Ini pacarnya yak?”
“Mantan.” yang jawab bukan Ochi-nya, tapi si dua cewek dajjal. Tai ye.
“Ehem. Temen gue.” Ochi berusaha mengoreksi. Boro-boro untuk dirinya sendiri, dia lebih gak enak ke Julian, kalau tau-tau gandengannya yang gondok gimana?
“Oalaah, sama dong kita? Gue juga mantannya ni bocah satu.” kata Aan sambil menepuk pundak Alta.
“Gue juga kan mantannya Anet.” Tama ikut nyaut dari pinggir sambil angkat tangan kayak lagi di kelas aja.
Yak, oke, habis ni acara selesai kalian bertiga mau bikin group chat perserikatan mantan kah?
Julian ketawa lepas banget, mungkin dia merasa senang dia gak sendirian di sini. Tapi ini emang ya komedi aja, soalnya aneh kok yang digandeng malah bukan pacar mereka masing-masing, malah mantannya. Milo aja malah bawa si Renji. Katanya sih udah baikan, tapi gak tau ya kalau balikan. Kecuali Ochi sih, dia lagi jomblo.
“Kata gue sih kalian berdua yang harus tiati sama pawang masing-masing.” sindir Ochi. “Gue mah mending, ngajak Julian juga kondisinya gue lagi jomblo.”
“Demi apa?” Julian membelalakkan matanya, kaget dengan sepotong informasi yang Ochi dengan sengaja beberkan. “Kalian masih ada pawangnya?”
“Lalalala, gak dengeeer~” Anet langsung membalikkan badannya, menjauh pergi dari kerumunan mereka. Tama cuma ketawa ganteng aja ngeliat cewek itu, soalnya dia juga puas ngeliat Anet salah tingkah.
“Eh, cowok gue emang lagi sibuk ya makanya gue ngajak Aan!” balas Alta.
“Padahal bisa aja loh dia dateng sendiri. Ini malah ngajak-ngajak gue.” Aan malah ikut memojokkan Alta. “Aw!”
“Kamu di pihak siapa si!” spontan lengannya itu langsung dipukul keras sama pasangannya. Komedi banget emang. Lagian, pada berani betingkah di malam sakral gini. Jiah elah sakral banget gak tuh.
Tiba-tiba, ada suara teriakan seru dari arah lounge tempat meja-meja makan. Teriakannya terdengar didominasi oleh cewek-cewek. Kira-kira ada apa ya?
“Ada apa sih?” Ochi tanya.
“Ko Ian dah mulai nyanyi, guys!” Anet teriak dari tempatnya berdiri. Mengetahui ternyata si penyanyi kondang mulai tampil, Ochi dan yang lain berjalan balik untuk menonton penampilan Ian. It’s been a fun night, so far!
Plataran Cilandak, Sriwedari | 8:15 PM
Tumblr media
Semakin malam, orang-orang sudah mulai bubaran untuk pulang. Tapi bagi mereka yang masih tinggal, cewek-cewek kosan Bu Muh dan pasangannya semua lagi berkumpul di pinggir kolam renang, tentunya juga Jay dan Melati. Mereka semua lagi berfoto bersama untuk kenang-kenangan. Pertama selfie pake HPnya Jay, lalu Jay minta tolong ke Wira, adik iparnya untuk fotoin mereka semua.
“Ko, geser dikit ngapa!” Tama protes ke Ian karena tempatnya dia sengaja ditutupin sama Ian.
“Ah, lu kan tiang ini masa gak keliatan si!”
“Gue ceburin nih.”
Hal serupa terjadi ke Renji dan Angga. Mereka berdua berebut pingin duduk paling tengah, tapi si Angga malah sok dorong-dorong si Renji.
“Lo berdua kalo gak kelar juga gue ceburin lho ya.” Milo ngancem dari tempat dia berdiri.
“Halah emang kuat lu?” Renji nantang balik.
“Kuat-kuat aja. Mau gue buktiin?”
“Yang ada lo gua dorong duluan sebelum gua yang kecebur HAHA.”
“Halooo, kawan kawaaan, kita mau berdiri di sini sampai pergantian presiden kaaah?” saut Johanna. Kalau gak diginiin gak bakal selesai.
“Semuanya diem dulu dong biar cepet kelar. Kemaleman ntar pulangnya.” Bram nambahin, biar beneran cepet behave aja ni orang-orang. “Yuk, mas!”
Wira pun mengangkat tangannya sebagai cue untuk siap-siap, “Okeh, siap ya semuanya? Satu… dua… say cheese!”
“Cheeeeese!”
Jepret!
“Sip! Oke sekali lagi ya! Satu… dua… say Melatiiii!”
“Melatiiii!”
Jepret!
“Dah. Bagus nih hasilnya!”
Jay melepas rangkulannya dari Melati, niatnya ingin mengambil HPnya lagi dari tangan Wira buat ngecek foto yang udah diambil tadi. “Thank you ya Wir--”
Sebelum Jay sempat melangkah lebih jauh, seperti sudah direncanakan sebelumnya, Angga, Renji, dan Bram tiba-tiba menyergap badan Jay dan menariknya ke kolam renang di belakang mereka. Kejadian itu mengundang teriakan kaget, karena cewek-ceweknya aja pada gak tau Jay bakal diceburin begitu. Semuanya tentu saja tertawa. Di tengah semua itu, Renji menurunkan kewaspadaannya. Tiba-tiba badannya ikut didorong oleh Angga ke kolam renang dan Renji tidak berkutik sama sekali. Dia pun ikut basah kuyup bersama Jay.
“ANJING.” Renji langsung mengumpat setelah menyisir rambutnya. Tapi senyum gusinya itu terpapar di wajahnya.
“HAHAHAHA MAMPUS!” si Jay malah ikut senang padahal dirinya sendiri juga bernasib sama.
“ANJIR WOY NGGA KAMU MIKIR APA SIIII!?” Milly langsung menegur Angga, padahal mah aslinya seneng juga itu. Yang lain, termasuk Milo, pada ketawa sampai bengek.
“Gua gak ikutan.” Aksa dan Tama langsung mundur secara halus bareng. Ian dan Juo agak panik, tapi tetap percaya diri gak ada yang berani isengin mereka. Meanwhile Bram sibuk ketawa sepuas mungkin sampe matanya ilang. Senang sekali dia rencananya berjalan lancar.
“Awas ya kalo sampe Mas Jay masuk angin, ditampol sama Mbak Mel satu-satu lu pada!” kata Ochi yang sejujurnya lowkey merasa gak enak.
“Mau Julian gue dorong juga gak, Chi?” Angga nyengir usil, gelagatnya bikin Ochi siaga satu, takut beneran cowo--temannya itu dilempar ke air. Soalnya ya bisa aja, badannya Angga segede atlet angkat beban, woy.
“GAK ADA YA.”
Julian terkekeh melihat kelakuan gandengannya itu jadi protektif ke dia. Tiba-tiba dirinya menggenggam erat tangan Ochi lalu memanggil Melati.
“Mel, gue sama Ochi pamit duluan, ya.” lalu perhatiannya dialihkan ke Jay yang lagi berusaha keluar dari kolam, “Mas! Gue sama Ochi balik duluan ya! Congrats on your wedding!”
Ochi mukanya langsung kebingungan. Lah? Kok? Tiba-tiba? Teman-temannya yang lain juga ikut bingung kenapa kesannya mereka berdua terburu-buru mau pergi duluan. Tapi sebelum Ochi bisa bertanya kenapa, Julian sudah menarik tangannya berjalan pergi meninggalkan area kolam. Dirinya pasrah, tapi juga terhibur. Karena jujur, sebenarnya udah mulai capek juga di luar dari jam 4 sore tadi jadi dirinya gak protes.
“D--duluan, guys! Byeee!” teriak Ochi dari jauh ke arah teman-temannya sambil melambaikan tangannya.
“Mau taruhan dia gak balik ke kosan gak?” Anet nyikut lengannya Johanna.
“Boleh. Yang kalah bayarin biaya sewa kosannya bulan depan yah.”
“Ndasmu.”
“Aku taruhan mereka gak balik.” Hanna mengangguk percaya diri.
“Yah, aku juga. Gak jadi taruhan kalau gitu.”
“Coba kita tanya yang lain. Yang merasa mereka gak bakal balik.”
Tidak ada satupun yang berpikir Ochi dan Julian akan kembali pulang ke kosan.
Pernikahan Jay dan Melati berlangsung dengan lancar. Meskipun malam ini banyak yang membawa mereka yang dari masa lalu, namun semuanya tetap menyenangkan dan seru. Di hari di mana ada kedua mempelai yang menjalin ikatan cinta untuk selamanya, ada mereka yang merasa jatuh cinta lagi, ada mereka yang berpikir untuk ikut menikah suatu hari nanti, ada juga mereka yang memperbaiki hubungan masa lalu. Atau mungkin malah semua itu jadi satu. Yang jelas, semuanya datang terlihat cantik dan tampan hari ini.
Happy wedding, Mas Jay!
2 notes · View notes
formidnine · 4 years
Text
Stress Talk
Tumblr media
"Bin, dah di mana?"
"Udah deket, ini lagi depan mall tinggal masuk gerbang."
"Ok. Gue duduk di luarnya ya."
"Sip."
*pip*
Yohan menaruh iPhonenya di atas meja hitam di depannya. Segelas kopi latte panas dengan sirup ekstra masih belum dia sentuh, menunggu agak lebih dingin untuk diminum. Kejadian bodoh tadi siang saat makan dengan Ochi membuatnya lebih berhati-hati. Lidahnya sempat terbakar meminum teh manis panas pesanannya. Bodoh, tapi Yohan pikir cukup worth it karena bisa mengundang tawa dari temannya.
Bingung harus menaruh perhatiannya ke mana, Yohan mengambil kembali handphonenya dan membuka instagram. Baginya, instagram itu media sosial yang tidak ada gunanya. Setidaknya untuk dia sendiri. Tidak ada banyak hal yang bisa dishare di hidupnya yang biasa saja.
Tapi ya mau bagaimana, update dari teman-teman tongkrongannya itu kebanyakan di sini via IG story. Especially Bertrandt and Ochi. Sebagai model dan illustrator, mereka berdua yang paling sering menggunakan instagram sebagai platform untuk flexing kerjaan mereka. Sulay? Ya buat jualan cireng dan resto mamanya.
Tentu saja menghabiskan waktu dengan membuka puluhan stories dari teman-temannya di Amerika dan juga keluarga di sini, sesekali berpindah ke twitter untuk melihat tren politik yang dia ikuti, cukup untuk melihat Binawan yang akhirnya datang dari dalam pintu Starbucks.
"Oi." Dengan santainya si pirang memanggil.
"Oi."
Kedua sahabat saling mempertemukan kepalan tangan mereka, gestur akrab para laki-laki pada umumnya.
"Udah mesen lo?" Tanya Yohan.
"Udah, udah. Americano."
"Oke. Sila duduk, mas."
"Oh iya, mas, siap."
Bercandaan jayus yang bikin pada nyengir. Tapi ya begitulah.
Setelah Binaw duduk manis di kursinya, dia merogoh kantung belakang jeansnya untuk mengeluarkan kunci mobil, dompet, korek api, dan sekotak rokok Gudang Garam Signature Mild. Biar bokong dia nyaman pas duduk untuk diskusi yang dia tau akan memakan waktu setidaknya 2 jam.
"Sori yak nunggu. Mayan macet tadi." Binaw memulai pembicaraan sambil membuka kotak rokoknya untuk satu batang. Menaruh si tembakau putih di antara bibir kecilnya, Binaw menyulutkan api di ujung rokoknya. A needed intake for the serious talk.
"Santai." Jawab Yohan, akhirnya meminum latte yang sudah lebih dingin.
Membuang hembusan asapnya ke arah parkiran di depan, Binaw mengerenyitkan kedua alisnya dan memperhatikan sahabatnya baik-baik. Full attention.
"Speak."
"Binaw iced americano!"
Eye roll. Baru aja mau mulai.
"Ya elah. Wait, Yo."
"Hahaha ambil dulu sana."
Menaruh putung rokoknya di atas asbak, Binaw meninggalkan temannya untuk masuk kembali ke dalam, mengambil kopi pahitnya.
Perhatian Yohan tertuju ke arah rokok yang masih menyala itu. Terbakar pelan, asapnya tipis terbang lurus ke atas. Isi batinnya berbisik untuk menyulut satu batang lagi untuk dirinya sendiri.
"Oke, back." Binaw datang kembali lebih cepat dari yang Yohan duga.
"Cepet amat."
"Ngapain juga lama-lama." Jawab Binaw agak sewot. Menyesap es americano di tangannya, Binaw menaruh gelasnya ke atas meja dan mengambil putung rokoknya kembali yang masih menyala. Namun ada sepasang mata yang tidak luput dari perhatian si pirang.
"Kenapa, Yo? Mau?" Binaw menyeringai dan terkekeh, "lo ga bawa sendiri?"
Tersenyum kecil, Yohan menyerah dengan tawaran sahabatnya. "Tadi kan cuma makan sama Ochi. Gak rencana mau ketemu sama lo jadi gak gue bawa."
"Hahaha ya udah. Ambil lah."
"Thanks."
Membuka kotak rokok biru muda milik Binaw, Yohan mengambil sebatang untuk dirinya sendiri dan menempatkannya di antara bibirnya.
Binaw terus memperhatikan sahabatnya. Mulai dari dia melihat cara Yohan menyulutkan api beberapa kali dengan korek gas biru miliknya, alis tebalnya yang mengerenyit sebelum menarik dalam-dalam nikotin favoritnya, hingga dia menghela nafas panjang ke arah parkiran di luar.
Seperti bukan Yohan, pikir Binaw.
Karena ya memang biasanya dia tidak seperti ini. Semenjak kembalinya Yohan ke Indonesia, Binaw bisa menghitung dengan jari berapa kali dia melihat Yohan merokok dengan dirinya. Yang ini kelima kalinya.
"Jujur, gua masih belum biasa liat lo nyebat bareng gua." Kata Binaw sembari membuang abu rokoknya di asbak.
"Biasain dong."
"You don't look the type to smoke, mate."
"Exactly what my dad said." Yohan menyeringai. "Kalau temen-temen gue di New York sih udah biasa liatnya."
"Tapi bukan perokok rutin 'kan lo?"
"Enggak, Bin. Satu kotak bisa gue habisin baru dalam 2 minggu. Bisa sebulan juga. Cuma kalo lagi stress doang 'kan gue bilang."
"Jadi sekarang lo stress dong."
Kena telak.
Yohan tidak langsung menjawab. Dia cuma tersenyum, menarik nikotin yang lebih spicy daripada rokok dia yang biasanya lalu menghela asapnya lebih kencang. Distressed.
Menyebalkan. Dia kesal dengan dirinya sendiri.
"Sangat."
"Go on." Binaw mempersilahkan sahabatnya untuk berbicara lalu menyesap es americanonya lagi, membasahi tenggorokannya yang kering.
Yohan menggelengkan kepalanya sebelum membuang abu dari putung rokoknya ke dalam asbak. Dia cuma bisa terkekeh. Tidak tau bagaimana cara menghadapi pikirannya sendiri selain tertawa ironis. Bersender kembali di kursinya, Yohan melihat ke bawah, tidak berani menatap mata pasangan bicaranya.
"Gue ternyata memang masih suka sama Ochi."
I fucking said it, batinnya.
Pengakuannya itu disambut dengan suara helaian nafas asap dari sahabatnya. Dari suaranya, Yohan bisa menangkap perasaan kesal yang jelas.
Tentu saja. Siapa yang tidak kesal jika temannya melakukan hal bodoh. Contohnya menyukai pacar teman di lingkarannya sendiri.
"Gua dah bilang dari awal buat nahan 'kan, Yo?" Binaw akhirnya menjawab, mulai lelah karena telah mengatakan hal yang sama berulang kali.
"Iya tau, Bin..."
"Kenapa sih lo bisa ngerasa kayak gini? Perasaan kemarin selama di Amrik gak ada ceritanya lo demen sama cewek manapun. Ochi tuh cuma crush sekali lewat, 'kan?"
"Awalnya gue mikir begitu juga." Yohan menjawab dengan lesu, "Gue pikir pas gue berangkat ke New York, gue gak bakal lagi kepikiran soal rasa suka gue ke Ochi. Gue pikir ya memang cuma crush SMA sekali lewat. Pas dia pacaran sama Julian itu aja gue juga gak ngerasa apa-apa. Justru lebih kacau si Bertrandt waktu itu."
"Ya iyalah anjing. Bocah udah demen sama Ochi dari lama dan gak pernah berubah perasaannya. Taunya gak pernah diliat."
"Betul. Makanya sekarang I feel like shit, Bin." Yohan berdecak kesal. Kopinya masih belum dia sentuh lagi, terlalu fokus dengan masalah batinnya. "Gue gak pantes ngerasa kayak gini. Gue pikir perasaan gue juga udah lewat until I saw her again in my damn house."
Raut wajah Yohan berubah. Dia tidak lagi tertawa ataupun tersenyum miris. Dia benar-benar marah, kesal, kebingungan. Dia tidak tau bagaimana cara menghadapi perasaan yang tidak bisa dia kontrol. Semuanya jadi jelas, namun kejelasan itu menjadi beban baru untuk dia. Beban yang Yohan tidak inginkan.
"Bertrandt lebih setia dengan perasaan dia dari dulu. Mereka akhirnya pacaran dan gue tulus ngedukung mereka dulu pas udah denger kabarnya. Tapi sekarang? Now that I'm here? Kenapa bisa gue suka sama cewek temen gue sendiri?"
"I have an idea why."
"Apa?"
"Lo tinggal di New York dalam waktu lama, jadi lo tau andaikan berhubungan dengan Ochi pun pasti gak bakal jalan. Kondisi jarak lo itu yang bikin lo berhenti." Jelas Binaw, telunjuknya menunjuk ke arah temannya, "Dan sekarang saat lo akhirnya ketemu dia lagi di sini, physically, all of your feelings came rushing back because deep inside you never stopped hoping and you never let go."
Yohan terdiam seribu bahasa. Setiap kata yang diutarakan Binaw bagaikan pisau yang menusuk badannya dari segala sisi.
"Tapi gue sempet pacaran sama si Jenny yang gue ceritain ke lo waktu-"
"'Pacaran'? You mean gebetan 2 minggu terus bubar gara-gara lo ngerasa gak cocok karena dia gak kayak Ochi kali." Binaw langsung memotong, tidak sudi menerima temannya denial. "Udah lah, Yo."
Yohan menelan ludah. Dia membuang perhatiannya ke arah parkiran, melihat apapun yang bergerak daripada harus melihat tatapan muka sahabatnya yang tajam itu. Yohan gugup. Tangannya meraih kopi latte yang nganggur daritadi lalu menyesapnya cukup banyak. Lidahnya berharap bisa terbakar sekali lagi dari panas kopinya itu untuk membantu dia sadar dari kesalahannya, tapi sayangnya kopi itu sudah hangat.
Menggigit bibir bawahnya, Yohan hanya mengeluarkan satu kata yang tidak semua orang pernah dengar dari mulut sopannya.
"Anjing."
Binaw terbatuk si tengah hisapan rokoknya. Dia tidak mengira akan mendengar umpatan itu dari Yohan. Binaw sampai khawatir sendiri, apa perkataannya terlalu berlebihan tadi. Tapi satu hal yang pasti.
Yohan is fucking pissed.
"Shit, mate. You alright?"
"What do you think?"
"Nope, you're not." Binaw langsung menutup bibirnya rapat-rapat. Pertanyaan tidak penting.
Yohan menengadahkan lehernya ke atas dan memejamkan kedua matanya.
Ia membayangkan wajah dari cewek tomboy nan berisik itu. Tawanya, senyumannya, saat dia salah tingkah, saat dia marah, saat dia semangat bercerita, saat dia menyuarakan kekhawatirannya, semuanya begitu... indah, di bayangan Yohannes.
Rasanya sakit.
Sakit karena dia mau tidak mau harus mengalah dari teman jangkungnya. Dari awal juga salah dirinya sendiri kenapa begitu cepat menyerah. Kenapa begitu lama dia menahan perasaannya itu. Sekarang Yohan menerima akibatnya... Hatinya bagai kena tsunami yang tidak akan kunjung surut.
"Gue gak tau harus gimana, Bin." Yohan bergumam pasrah, "Gue... gue gak rela."
"Gak rela apa?"
"Gue gak rela Ochi jadian sama Bertrandt."
"Anjing, Yo..."
"Memang anjing, gua tau!" Yohan membalas dengan nada lebih tinggi, amarahnya mulai memakan emosinya, "Gue nyesel gue terlambat. Gue nyesel gue udah nyerah duluan. Gue nyesel napa gak caper ke dia dari dulu. I mean, I was no one! Just a nerd who happens to love math and that's it! Gue anak cupu, Bin!"
"Lo kalo mau membandingkan diri, menurut gua dulu Bertrandt dan Ochi sama aja cupunya kok."
"Mana ada."
"Ochi? Dia dulu wibu tomboy yang temennya cuma sama Regi Sulay. Bertrandt? Dia menang tinggi doang. Demennya main badminton pula, bukan basket. Wibu. Kita mana ngerti dulu candaan mereka kayak apa."
"...Tetep aja dulu gue cupu."
Binaw mendesis. Mulai geram. Dia menarik putung rokoknya lebih dalam hingga habis, lalu mematikan abunya ke asbak. Saat Binaw mulai banyak memikirkan sesuatu atau serius, kebiasaannya adalah menyisir poninya ke belakang dengan tangannya.
"Yohannes, dengerin gua." Binaw mencondongkan badannya ke depan. Kedua matanya menatap tajam wajah suram Yohan, meminta perhatian lebih.
Meski enggan, Yohan melakukan sesuai apa yang sahabatnya minta. Alisnya mengerenyit, ekspektasinya buruk. Yohan yakin dia tidak akan senang dengan satu kata pun yang akan keluar dari mulut tajam Binaw.
"Alasan Ochi dan si Barus itu putus kan gara-gara Barus balikan sama mantannya. Selama hubungan mereka mulai gak baik, Bertrandt yang selalu ada di sana buat Ochi. Gua udah bilang ke si bocah kalo ada kemungkinan dia cuma jadi pelarian doang. Tapi si bocah jawab apa? Dia ga masalah. Sampai sini lu tau ga masalahnya Bertrandt di mana?" Kedua alis Binaw terangkat, mengharapkan jawaban yang sesuai dengan ekspektasinya.
"...Dia gak punya harga diri, I guess?" Yohan menjawab pelan, takut akan jawaban dia sendiri.
"Betul. Sekarang liat posisi lo. Ochi dan Bertrandt akhirnya pacaran. Lo yang baru pulang dari New York setelah 3 tahun lamanya, dateng kemari baru 2 minggu udah mepet-mepetin si Ochi. Lo sadar gak kalau perbuatan lo ini bisa-"
"Okay, Binaw, enough. Gua paham."
Binawan menganggukkan kepalanya dan langsung terdiam. Dia menarik mundur badannya, bersender kembali di kursi sambil menyesap es americano yang mulai terasa hambar. Overpriced bitter water, as what Binaw likes to call it.
"Intinya, Yo, jangan tolol." Lanjut Binaw singkat sebagai penutup.
Yohan tidak menjawab apapun. Lebih tepatnya tidak tau harus membalas apa. Karena dia tau sendiri, merasa seperti ini saja juga sudah bodoh dari awal. Kepalanya terus tertunduk, hanya melihat putung rokok yang terbakar semakin pendek di antara jemarinya. Yohan membawa batang nikotin itu ke sela bibirnya, menghirupnya dalam-dalam dan membuang asapnya ke atas.
"Tai lah." Ucap Yohan ketus. Tangan kirinya menyisir rambut hitamnya karena pusing. Pusing dengan kondisi batinnya.
Binaw terkekeh, "Cinta itu bangsat, Yo."
Yohan menggigit bibirnya, berpikir kenapa sekarang segalanya jadi sulit. "Gue dah tau perasaaan gue sendiri sekarang begini. Gimana caranya gue ngadepin Ochi..." Tanya Yohan. Nada bicaranya terdengar putus asa.
"Ya gak gimana-gimana. Don't start acting weird." Kata Binaw sambil menyalakan satu batang lagi.
"Easier said than done, Bin."
"Stop ngajakin Ochi jalan berdua doang sih kalo kata gua." Jawab Binaw, "Next time ajak gua atau gak ya Bang Gio ama Sulay."
Justru itu masalahnya. Yang Yohan mau adalah waktu private berdua. Yohan ingin bisa berbagi cerita dan banyak hal hanya dengan Ochi. Yohan ingin menjadi satu-satunya sepasang telinga yang mendengarkan suara antusias Ochi.
Apa salahnya kan menggunakan premis catching-up dengan teman lama?
"Karena kalau lo kebablasan, yang lo rusak itu bukan cuma hubungan kedua orang ini, tapi sirkel kita."
Well, shit. Another reality check.
Menelan ludah, Yohan mengepalkan tangannya dengan erat di atas pahanya, terisi dengan perasaan frustasi.
"I know."
Pada akhirnya, dia yang harus mengalah.
0 notes
formidnine · 4 years
Text
Like it Here
Tumblr media
23/10/20
“Hendra.”
“Halo? Ya, kak?”
“Lo di rumah gak?”
“Enggak, kak. Lagi di kosan. Kenapa?”
“Gue ke sana ya.”
“Semalem ini? Dari kampus?”
“Ga bisa ya?”
“Lo bukannya dijemput ama Kak Jul-“
“Julian ga jadi bisa jemput gue.”
Hening. Gak tau berapa lama, tapi cukup buat bisa denger detak jantung gue sendiri.
“Boleh nunggu gak 30 menit? Gue jemput ke sana sekarang.”
“Ya lo bolak-balik dong… Dari Kemanggisan ke Pejaten lumayan, Hen.”
“Gapapa, habis dari kampus kita ke mana kek. Tunggu ya, jangan gerak. Gue ganti baju sekarang. See you.”
*pip*
Gue cengok, ngeliatin layar hp gue dengan heran. Gue mesti ngapain nunggu setengah jam? Kampus udah gelap gini… Masih ada Esther dan Judi sih di lab. Mereka nginep, ngerjain tugas.
Gue menghela nafas pasrah. Daripada gue buang duit mesen Gojek, mending gue nungguin Hentong sambil lanjut nugas di lab bareng yang lain. Hitung-hitung ada company juga kan.
Gue balik masuk ke dalam kampus, ditanyain Joko di tengah jalan kenapa gue ga jadi pulang. Gue ketawain aja, gue bilang anginnya terlalu kencang di luar jadi gue gak bisa keluar dari lobi.
“Ga jelas lu, Chi.”
“Sejak kapan wa jelas. Lop yu, Jok.”
Joko tuh emang gitu, staff kampus gue yang paling ngehe. Se-aneh-anehnya Joko, tetep aja orang-orang seneng sama dia. Gak dosen, gak mahasiswa, masih bisa ngehargain dia. Apa yang dibutuhin sama staff yang lain dia selalu bisa kerjain. Lop yu, Jok.
Dari luar suara speaker lab kedengeran keras. Kayaknya itu berdua stress lagi deh… Gue buka pintu lab dan menemukan dua teman gue sibuk di komputer mereka masing-masing. Gue ngeliat proyeksi di dinding depan kelas, terpampang jelas MVnya K/DA – POPSTAR lagi dimainkan. Secara spesifik, lagi adegan si Ahri duduk di atas mesin cuci.
“Lah, chingu kok balik lagi?” Esther nyaut. Agak keras karena ngelawan speaker kelas.
“Bukannya lu dah pulang tadi?” Judi juga nyaut, matanya aja yang keliatan dari sudut pandang gue gara-gara ketutupan monitor.
“Cowok gue ga jadi jemput tadi. Jadi gue nungguin temen gue yang jemput otw ke sini.” gue jelasin singkat sambil jalan balik ke komputer gue.
Entah Esther nyadar ada yang off dari nada bicara gue atau enggak, tapi dia langsung jawab dengan nada simpatik gitu.
“Yaudah, Chi. Lu lanjut texturing aja sambil nge-POPSTAR di sini. Sambil nunggu temen lu, maksud gua.”
“Udah berapa kali kalian loop ini sih anjir hahaha.”
“Ga tau anjir dah ga keitung. Berapa Jud kira-kira?”
“I don’t fucking know and I don’t fucking care yang penting POPSTAR tetep bikin gue waras ngerjain ini sampe pagi.”
“Ntap.” Jujur, lumayan kehabisan kata-kata untuk ngerespon. Struggle menuju deadline dalam 2 minggu memang gak main-main.
Gue taruh tote bag gue di bawah meja dan mulai ngebuka save file kerjaan terakhir tadi siang. Lumayan selama 30 menit, sepertinya gue bisa kelar bikin detil tekstur kulit naga gue. Itu pun kalau gak ke-distract sama youtube…
Gue narik kedua tangan gue ke atas, stretching my thin bones out yang udah kaku di atas kursi biru ini entah berapa lama. Gue menghela nafas berat, mata gue tertuju ke arah jam di pojok kanan bawah desktop.
09:35.
Gak berasa udah setengah jam aja.
“Hentong dah di mana ya…” ucap gue halus, lebih bertanya-tanya ke diri sendiri.
Pas banget setelah gue mempertanyakan itu, layar HP gue nyala. Ada tanda masuk call WA dari dia.
Anehnya, gue lebih excited dari yang gue kira.
“Halo?”
“Gue dah di parkiran, kak.”
“Oh, oke! Tunggu bentar yaa.”
“Siiip.”
Setelah gue end call, gue langsung simpan progress gue dan nge-copy filenya ke dalam HD. Komputer gue matiin, botol minum dan hp gue masukin ke dalam tas. Setelah making sure meja gue rapi dan semua perangkat udah mati, gue pamit sama Esther dan Judi, gue bilang udah nyampe jemputannya.
“Ganbatte ya, guys!” tentu saja tidak lupa dengan kalimat penyemangatnya.
Gue bergegas turun ke bawah, gak mau bikin Hendra nunggu lebih lama dari semenit kalau bisa. Gue tuh paling gak enakan bikin orang nunggu, udah lagi dia dari Kemanggisan kan.
Tapi jujur untuk yang kali ini, gue gak bisa bedain gue ga enak atau gue yang excited…
Gue pamit ke Joko dan pak satpam di luar sebelum akhirnya gue masuk ke dalam mobil honda civic merahnya Hendra.
Yang pertama kali gue notice setelah gue duduk di sampingnya adalah pengharum beraroma kopi di mobil dia. Gue liat ke kaca spion, di situ digantung kantong pengharum berbahan karung goni yang isinya biji kopi asli, itu gue beliin buat dia seminggu lalu.
“Selamat malam, mbak. Ke Cibubur yah?”
Suara berat yang nyeleneh itu mengangkat perhatian gue ke arah wajah panjangnya.
Meskipun gelap, tapi senyuman manisnya dan tahi lalat kecil di dagu kirinya jelas terlihat.
Ya Tuhan andaikan abang Gojek ada yang secakep ini—WOY.
“Iya mas, betul. Gak usah ngebut ya di jalan, santai aja.”
Hendra cuma ketawa. Ngakak puas gitu, matanya sampai hampir hilang. Gue senyum dengerin ketawanya dia sambil masang seat belt, agak bangga karena udah bikin dia seneng. You know, for humoring him.
“Stylish banget, Hen, kayak mau ke Grando aja haha.” Gue komen setelah ngeliat dia pake kemeja putih favoritnya dengan celana beige berbahan chino Uniqlo.
Buka dua kancing pula. Anjing.
“Baju pergi gue di kosan kebetulan sisanya ini, kak.” dia ketawa sambil lanjut muter setirnya buat keluar dari parkiran. Gak lupa dia buka jendelanya dulu buat pamit ke pak satpam sebelum mobil kami masuk ke jalan raya. “Sisanya masih di laundry.”
Ya Tuhan padahal dia bisa aja pake kaos biasa…
“Belum balik ke Cibubur lagi kah?”
“Beluuum. Ada tugas kelompok soalnya jadi weekend kemarin gue gak bisa balik pulang.” Dia jawab, nada bicaranya agak tinggi karena kecewa gitu tapi matanya tetap fokus ngeliat kanan kiri pas belokan, “by the way itu kabel AUX pake aja.”
“Owkay.”
Dengan senang hati gue colokin kabelnya ke HP gue. Hm… lagu apa kali ini?
“Jadi itu Kak Julian kok bisa ga jadi jemput kakak?” dia bertanya. Khawatir, buat memecah keheningan juga biar ada topik. Jempol gue masih sibuk nyari lagu apa yang mau dimainkan.
“Tau tuh. Kata dia mendadak ada urusan sama kakaknya.”
“Kakaknya?”
“Ck itu loh yang pernah gue ceritain salah satu orang terkaya di Indonesia. Julius Gamma Barus.”
“Aaaah! Ya ya ya inget.”
Gue memutuskan untuk mainin lagunya One Ok Rock dari playlist wibu gue kali ini. Cuma pas di mobil Hendra aja gue bisa muter lagu J-rock. Kalau sama Julian agak susah, doi lebih demen EDM. Gue juga suka sih tapi cuma ya kalau lagi kangen ama suara teriakannya Taka gak bisa sharing bareng Julian.
“Ciat The Beginning.”
“Yup.”
“Jadi mau kemana kitaaa?” Hendra nanya dengan semangat. Energi dia kayaknya belum kekuras malam ini.
“Beli makan aja terus ke kosan lo, Hen.”
“Oh, seriusan?”
Kenapa dia? Suaranya kayak gak yakin.
“Napa emang?” Gue tanya.
“Udah ngomong ke Kak Julian belum?”
Deg. Agak tersentak.
“Belum.” Suara gue lebih ciut dari yang gue inginkan.
Dan jujur, gue gak mau. Gue gak mau ngabarin Julian. Ngapain? Toh, paling dia baca baru setelah dia bangun besok siang. Toh, dia gak bakal terlalu peduli. Begitu terus kan akhir-akhir ini. Tapi kalau ternyata peduli gimana? Dia bakal ngelarang gue main sama Hendra gak? Dia bakal—
Tangan besar Hendra tiba-tiba ngelus kepala gue. Badai di dalam otak gue seketika sirna begitu saja. Gue membiarkan tangannya melakukan apapun itu untuk menghibur gue, memberikan gue keyakinan kalau apa yang gue lakukan itu… tidak masalah.
“Alright.” jawabnya simple dengan senyuman kecil. Hendra memutuskan untuk tidak memojokkan pilihan gue.
…..
Why is he so… how dare he made my heart beating like crazy? I’m speechless.
“I change my mind. Ke KMB aja. Hang out bentar ampe jam 11an, terus anter balik ke apart gue. Gimana?”
Tersenyum lebar dan menunjukkan gigi besarnya itu, mata Hendra terlihat lebih hidup setelah mendengar ide dari gue.
Lucu. Ganteng. Lucu. GANTENG. Ya Tuhan.
“Siaaap!”
Bocah seneng kayak mau diajak pergi outbond.
.
.
.
Di KMB, suasananya masih lumayan rame. Beberapa orang masih pada nongkrong di sana, nikmatin live music dengan beberapa gelas bir. Mata gue ngeliatin was was kanan kiri, takut ada kenalan dari sirkelnya Julian lagi ada di sini.
Huft. Sepertinya gak ada.
“Nape? Nyari orang yang dikenal?” Hendra nanya sambil nyenggol siku gue.
“Bahaya kalau ada yang liat kan.”
“Peduli setan, ah. Tinggal bilang aja kebetulan gue lagi di area Pejaten terus mau nongki bareng.”
“Ck yaudah deh.”
Sekali lagi, si bocah tiang ngacak-ngacak rambut gue.
“Dah gausah dipikirin, kak. Di sini kan mau have fun, ya toh?”
“Iya sih…” Gue cuma bisa balas dengan senyum. Hendra anaknya selalu posthink. Alasan kenapa gue percaya semua bakal baik-baik saja kalau dia yang ngomong tuh karena pada dasarnya, Hendra adalah anak yang selalu bisa diandalkan. Anaknya bertanggung jawab, bahkan gue rasa lebih dewasa daripada kebanyakan anak-anak seumurannya. Jadi tiap kali dia ngomong gini, mudah untuk gue percaya kalau memang gak bakal ada masalah.
Kalau misalkan malam ini ada meteor jatuh di Jakarta dan dia bilang “Udah kak, gapapa, itu meteornya paling juga ga bakal nyampe sini. Yang kena paling gedung DPR doang.” Gue bakal percaya 100%.
Setelah duduk di meja yang kosong, pelayannya, Mbak Lopez, datengin meja kami buat ngasih menu.
“Mbak, aku langsung pesen aja. Chicken popcornnya satu, Summer Sling satu. Hen lo minum?”
“Iya deh, Anker satu sama chicken wings satu.”
Setelah mengiyakan order kami, Mbak Lopez pergi dan membiarkan kami sendiri.
“Gue masih heran lo tuh suka nongkrong di sini tapi minum aja kagak.” Hendra nyeletuk. Not this again.
“Kan gue gak dajjal kayak lu.”
“Yang kemarin beli vi—”
“DIEM, BANGSAT.”
“MAKANYA NGACA, JING.”
BERANI-BERANINYA DIA PAKE MELET SETELAH BUKA KARTU GUA. GA USAH.
“Gue kalo soal alkohol bener-bener gak berani, Hen.” Gue tertawa hambar, menggelengkan kepala atas cupunya gue. Entah cupu atau enggak yang jelas… Gue ada beban moral ke diri sendiri di area konsumsi. Termasuk rokok. Gue merasa substance yang masuk ke dalam badan gue itu jatohnya invasif banget karena gue gak bisa ngeluarin mereka lagi selain dari pantat.
“Hahaha ya gapapa! Kak Yohan aja alkohol ‘halal’ buat dia tapi dia sendiri gak bisa minum, kan?”
“BETUL! Gue tidak sendirian di tongkrongan kita. Ck.”
Hendra ketawa. Lagi. Dan gue ga pernah puas dengerin suaranya itu. Wajah dia yang lagi bahagia dan terhibur kayak gini menjadi semacam antidote buat mood gue yang pahit sejam-an lalu.
“Kak, lu tuh, sumpah lucu banget.” Kata dia di tengah tawanya. “Haduh bisa-bisanya yang kayak gini ditelantarin berminggu-minggu sama DJ Kemang…”
“…I know right. Fuck, Julian. Anjing.” Gue menggerutu sambil menopang wajah gue. What the hell is wrong with Julian, you ask? Well. Manusia satu itu rasanya jauh banget dari gue semenjak dari awal Oktober. Ketemu susah, ngobrol jadi jarang, telponan udah gak pernah, ngabarin seadanya, berantem iya, makan hati yang ada. Alhasil? Gue ya jadinya sering jalan keluar sama Hendra dan tongkrongan SMA gue which is temen-temen di sirkel kami berdua.
“Your boyfriend’s dumb, kak.”
“I know.”
“Kalo gue jadi dia gue ga bakal ngebiarin lo suntuk gini.”
“I know.”
“How do you know?”
“You know me the longest. Of course you wouldn’t.”
Dia diem bentar. Mungkin gak berekspektasi jawaban gue bakal begitu.
“Yup. Betul sekali.” Dia jawab dengan percaya diri.
Setelah itu hening. Jangan salah sangka, heningnya gak canggung. Live musicnya lagi enak hari ini. Keributannya juga enak. The vibe tonight feels really good and I’m glad I took my childhood friend here with me.
.
.
.
Don't change, sit tight.
Don't change, you think I'm already tired.
Sekitar jam setengah 12 kami sudah di jalan balik ke apartment gue di Nirmana Kemang. Deket banget sebenernya dari kampus gue, cuma 15 menitan. Kenapa gue rencana awalnya mau dijemput sama Julian itu karena sebenarnya awal rencananya mau nginep di studio dia… You know, catching up and do things. Iya bangsat gue tuh sebenarnya sekangen itu. Terus taunya dia bilang gak bisa? Gimana gue gak bete. Hampir sebulan loh kita gak ketemuan… Bayangin aja.
I don't mind you stay today
Besides, you did it once, did it all
I don't mind you brush my hair
You did it once, did it all
“Hen.” Mulut gue kebuka sebelum gue sadar.
“Hm?”
“…Enggak, gak jadi.”
“Yaelah anjir jangan gitu. Gue jadi penasaran kan.”
“No, nanti aja.”
“Nanti kapan?”
“Mm… Nanti pokoknya.”
I don’t know what came over me but to be honest, I wanted to say some things that could possibly ruin my current relationship. I hate this. I hate how painful it is. I couldn’t help but to let my tears fall, hoping that the friend beside of me doesn’t see it.
Gak lama kemudian, kami udah masuk ke dalam gerbang apartment gue. Kami masuk ke basement dan parkir di dekat lobinya. Hendra memutuskan untuk parkir mundur, biar keluarnya lebih gampang. Setelah mobilnya parkir dengan rapih, Hendra narik rem tangannya, tapi mesinnya masih dia biarkan hidup. Gue juga gak buru-buru langsung merapihkan tas gue.
Gue belum mau pergi. Dia pun juga menunggu apa yang mau gue ucapkan tadi pas di jalan.
Meskipun bibir gue terasa kering, tapi gue tetap berusaha mengutarakan pikiran gue.
“Hen—”
“Kak.”
…Huh? Tangannya itu tiba-tiba dengan hati-hati meraih pipi gue, mengusap area di bawah mata gue dengan jempol panjangnya itu.
“Jangan nangis, yah. Everything is going to be okay.”
Kalian inget pas gue bilang semuanya akan jadi baik-baik aja jika Hendra ngomong seperti itu?
Somehow, I wish he didn’t say that to me.
“What makes you think so?”
“I just know.” dia jawab dengan senyum kecil, “Jangan nangis. Lo gak pantes nangisin dia. Lo lebih pantes nangisin kematian yang mulia Noctis tahun lalu daripada si DJ Kemang.”
“Tai ah, Hen.” Gue mendengus. Sempet-sempetnya aja dia bercanda. Dia juga nyengir puas setelah liat kedua ujung bibir gue terangkat, senang udah bisa bikin mood gue sedikit lebih baik.
…Tapi dengan caranya dia begini, dia benar-benar mendorong gue untuk menggali kuburan untuk perasaan gue ke yang lagi jauh entah di mana.
Saat dia menarik tangannya kembali, tangan gue seketika menghentikannya. Gue tetap menjaga telapak tangan besarnya itu menangkup di pipi gue. I don’t wanna let go of his company.
“Hen, may I do something that you could possibly hate?”
Even amidst of his darting dark pupils, trying to see what I meant, his eyes still remained beautiful. Prettier than any other pair of gems in the world. Despite of how foolish this sounds like, I wish I could keep them staring just at me.
No shame I won't make a judgement
“Will you regret it?”
“I’m perfectly aware of what I’m saying.”
Don't stray I'm here your opposite direction
“…Okay.”
I don’t know whether I should be grateful or questioning his sanity.
Kenapa bisa dengan mudahnya lo bilang ‘iya’, Hendra?
I lace my fingers on his own that still stayed on my cheek, sebuah gestur intimasi yang belum pernah gue lakukan dengan dia sebelumnya. Bibir gue mendekat ke permukaan pergelangan tangannya, mengecupnya dengan lembut seakan kulitnya itu rapuh. Padahal, semua tentang Hendra dari ujung kepala hingga ujung kakinya jelas lebih kuat dari gue.
“…I’m sorry.” Gue berbisik lirih.
“…Is that it, kak?”
This is tiring
Still, can I be yours for a day
“No. Not yet.”
A day.
Kalian mungkin gak ngerti, tapi gue tau persis cara Hendra bertanya apakah sudah cukup atau belum itu terdengar seperti dia berharap lebih. He wants to know what else I can do.
Gue melepas jaket gue sebelum gue beranjak dari kursi gue sendiri ke kursinya dia, melompati rem tangan yang menjadi pemisah. Mungkin, memang, gue sudah gila. Seberani ini gue menempatkan diri di atas paha dia, mendorong kehendak gue ke depan muka dia. Hendra teman gue dari SD, paling lama. Gue seharusnya takut apa yang kita berdua miliki selama 10 tahun hancur karena apa yang sedang gue lakuin sekarang. Tapi… Tapi saat gue melihat kedua mata gelapnya itu lagi yang cuma berjarak satu jengkal dari wajah gue sendiri, semua keraguan gue hilang.
He was looking at me back, focused, expecting.
“Hendra, bisa tolong turunin sandaran kursinya?”
“Sure.”
Dia melakukan sesuai dengan apa yang gue perintahkan.
“Cukup?” Tanya dia, saking datarnya mukanya itu sampai gue kira dia kelewat polos.
“Cukup. Hen,” gue langsung memanggil namanya sekali lagi, “First, you can’t touch me. Just stay still. Lastly, what happens tonight, only stays tonight. I’m not going to hurt you. Dan… jangan kasih tau yang lain.”
Hendra terdiam.
…Kenapa dia diam?
Dia cuma ngeliatin gue aja, nafasnya stabil, alisnya bahkan gak gerak. Gue takut. Gue mendadak ciut. Gue mendadak pingin pergi keluar pintu sekarang. Am I asking for too much?
“Kak.”
“I-iya?” shit I fuckin’ stuttered.
“Gue juga punya peraturan gue sendiri.”
“…Oke. Apa?”
“Pertama, lo gak bisa mengontrol perasaan gue. Kedua, apa yang terjadi malam ini stay di malam ini tapi gue gak bakal lupain. Ketiga, stay away from my lips or else I’ll lose my shit.”
“…Peraturan gue cuma dua kok lo tiga sih. Dan maksud aturan nomor sa—"
“Kalau lo gak setuju kita bubar.”
“Gue cuma bercanda elah.” Gue menelan ludah, bracing myself. “Lo gak bakal kasih tau Gio dan lain-lain, kan?”
“Iya, enggak.”
“…Alright.”
Tanpa basa basi lagi, gue perlahan ngedorong badan Hendra biar dia sandaran di kursinya. Dia nurut, gak ngelawan. My fingers were tracing on the skin of his neck, wondering of how smooth it was. Gue leaning down ke arah leher dia, mencium lebih dekat bau parfum Tom Ford Fucking Fabulous yang ayahnya belikan buat ulang tahunnya September lalu. Dia tau gue suka baunya… dia tau bau ini yang menarik perhatian gue.
Gue merasa kontrol gue hilang saat itu juga saat bibir gue akhirnya menyentuh lehernya, kulitnya terasa panas saat gue sentuh. Dia mengerang kecil, dadanya mulai berpacu lebih kencang, tapi tarikan nafasnya tetap stabil.
Cute…
Tangan kiri gue menuju ke arah kerah kemejanya yang sudah terbuka duluan. Gue menyelipkan tangan gue masuk ke dalam, sekali lagi terkejut akan betapa lebarnya dada cowok ini. Gue terkadang suka lupa… kalau dia itu sudah sebesar ini. Rasanya panas juga di sini. Padahal AC mobilnya cukup dingin…
“…Hen.”
“Hm..?”
Gue menarik wajah gue pergi dari lehernya, berpindah ke samping kupingnya untuk membisikkan pesan yang dapat menyelamatkan dia dari malu.
“Beberapa hari ke depan, sebaiknya pake kaos aja. Dan jangan yang V-neck.”
Hendra mendengus, dia ketawa, sepertinya gak percaya gue barusan nyuruh dia kayak gitu.
“Untung gue udah izin off modelling dari agensi 2 minggu.”
“Bagus.” Gue menarik diri gue mundur dan melihat diri laki-laki yang sedang gue duduki itu lebih jelas. Kemejanya kusut, kupingnya juga agak merah. …Lucu banget.
“Kak.”
“Ya?”
“Are you going to give me hickeys?”
“…Mm.”
“Setelah itu?”
“Itu aja. Gak lebih.”
“Haha, alright.”
Apa yang gak gue expect adalah saat Hendra membuka satu lagi kancing kemejanya atas kemauan dia sendiri. Dan anjingnya, dia menarik kemejanya lebar untuk memamerkan kulit bening di dada kirinya yang masih belum tersentuh itu.
“You…” gue gak habis pikir. This kid.
“Go ahead.” Dia menawarkan dengan senang hati.
Gue jadi berpikir apakah dia sudah pernah melakukan ini sebelumnya… dengan cewek lain. Tapi apa urusan gue? Gue gak berhak menanyakan soal itu di posisi gue sekarang.
I leaned down again, kali ini mengarah ke tempat yang dia ‘sediakan’ buat gue tandain.
“…Kak, can I hug your waist?”
“…Mm.” Gue bergumam di atas dadanya. Setelah mendengar konfirmasi dari gue, gue merasakan lengan kirinya melingkat di balik pinggul. Aneh… Gue merasa… secured. Gue udah lama gak ngerasa kayak gini… “kalau sakit, bilang ya.”
“I’m sure I’ll be able to take it.”
Baiklah. Without further ado, I started kissing some spots on his skin, until I found a place near his collarbone to place my hickey. Gue ngerasain genggaman dia di pinggul gue sedikit menguat, bereaksi dari hisapan gue. Hendra hanya mengerang, menutupi kedua matanya dibalik lengan kanannya. Gue juga belum berhenti. Gue lanjut mencari tempat lain untuk gue tandai. Dada dia lebar. At least… three would do.
Sucking on the second place somehow managed to bring out a tad louder groan out of him. Posisisinya di atas bahunya, persis di atas tahi lalatnya yang sekecil titik.
“Awas deket leher…” katanya lirih.
“Don’t worry.”
Marking him. What’s the meaning of it when he’s not even mine? It’s absurd.
It’s absurd of how much I want to keep him to myself.
It’s absurd of how willing he wants to do this.
It’s absurd of how clear our mutual feelings are yet we keep hiding it.
We're odd to be
Way I see it, ooh I like it here.
End.
1 note · View note