Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
PERNAH NANGIS KARENA POHON JAMBU DIDEPAN RUMAH DITEBANG, DAN AKU GA TAHU KENAPA HAL SEPELE GINI AJA BIKIN NANGIS, AM I FRAGILE?
Yup, aku pernah nangis kejer gegara pohon jambu depan rumah di tebang tanpa izin. Dan bertanya-tanya sama diri sendiri, “kenapa sih hal sepele gini aja harus ditangisi?” Setelah baca buku Loving the Wounded Soul karya Regis Machdy, aku tau jawabannya.
Dalam Loving the Wounded Soul, Regis Machdy jelasin bahwa kesedihan mendalam yang muncul dari peristiwa kecil bisa jadi efek dari trauma mikro atau keterikatan batin yang nggak kelihatan dari luar. Ini bukan berarti kamu lebay atau fragile. Ini justru bukti kita punya kedalaman emosional dan memori yang terhubung kuat dengan sesuatu.
1. Trauma Mikro Itu Nyata
Regis bilang:
“Luka batin tidak selalu datang dari kejadian besar. Hal-hal kecil yang terjadi berulang atau terasa mengganggu tapi tidak pernah sempat diberi ruang, bisa menumpuk jadi luka yang dalam.”
Ternyata, pohon jambu itu bukan sekedar pohon buat aku, tapi:
Sering dipandangi tiap hari.
Jadi bagian rutinitas yang menyenangkan.
Pernah jadi saksi saat galau. Wkwkwk.
Jadi waktu ditebang dan ga pamit, jadi rasanya tuh kayak, “Ada yang hilang tanpa aku siap-siap.” Wkwkwk. Dan ternyata ini namanya trauma mikro: kehilangan kecil yang menyentuh bagian jiwa yang dalam dan tersembunyi.
2. Keterikatan Emosional dengan Hal yang Diam
Dalam buku itu juga dijelasin kalo manusia bisa membangun hubungan dengan hal-hal yang ga bersuara, tapi selalu hadir.
Jadi bisa dikatakan aku punya ‘ikatan diam’ sama pohon jambu itu, karena:
Aku lihat pohon itu tiap hari.
Aku tau kapan dia akan berbuah.
Aku jadi saksi pertumbuhannya.
Semua itu ngebentuk ikatan emosional yang gak pernah aku sadari, sampai hari kehilangan itu datang.
3. Ketika Sedih Kecil Menjadi Portal Luka Lama
Kadang, kehilangan sesuatu yang kecil membuka luka lama yang sebelumnya terkubur.
Contohnya:
Mungkin dulu aku pernah ngerasain juga kehilangan kayak gini dan aku ga bisa bersuara apa lagi nahan kepergiannya.
Mungkin dulu aku pernah punya sesuatu yang berharga dan diambil paksa.
Mungkin dulu aku pernah punya pengalaman relationship yang putus tiba-tiba tanpa kabar. Awoak.
Pohon jambu itu jadi trigger — yang bukan hanya menyedihkan, tapi karena dia kayak “membangunkan” rasa sedih-sedih terpendam yang belum sempat aku sembuhin.
4. Kesedihanmu Itu Sah & Perlu Diakui
Kata Regis:
“Jiwa yang terluka butuh diakui, bukan disalahkan.”
Ini penting banget buat diinget biar ga nirempati dan buru-buru bilang:
Yaelah lebay banget, pohon jambu doang.
Lu fragile amat, mau mens kali.
Padahal, kehilangan hal kecil bisa jadi puncak gunung es dari yang udah lama numpuk.
✨ Kesimpulan dari Penjelasan ala Loving the Wounded Soul:
Bukan fragile, tapi lebih peka.
Bukan Lebay, tapi punya koneksi emosional yang dalam.
Dan waktu nangis karena pohonnya ditebang, ini bukan sekedar pohon. Tapi soal makna yang dibawa pohon itu dalam diam.
Dah ah, segitu dulu. Have a nice day!
9 notes
·
View notes
Text
Lepaskan genggamanmu dari ilusi yang kamu ciptakan sendiri. Bukan tugasmu meraba-raba kepastian yang sudah ditetapkan-Nya. Sebab sekeras apa pun kamu menata kemungkinan, masa depan tetap berjalan di luar kuasamu.
Kita ini sering kali berlagak sutradara dalam film yang naskahnya bahkan tak pernah kita pegang. Sibuk mengatur alur, menentukan babak, bahkan memilih siapa yang boleh bertahan dan siapa yang harus pergi. Padahal, kita tak lebih dari aktor yang sering lupa skrip, salah masuk adegan, dan kelewat banyak improvisasi yang justru merusak cerita.
Kita membayangkan skenario paling buruk, lalu menangisinya sebelum terjadi. Kita merancang masa depan dengan segenggam ambisi, lalu kecewa ketika kenyataan tak tunduk pada kehendak kita. Kita berdiskusi dengan ketakutan lebih sering daripada berdialog dengan-Nya. Ironis, bukan?
Padahal, kalau kita mau jujur, hidup ini tak butuh seambisius itu untuk dipahami. Takdir berjalan dengan ritmenya sendiri. Bukan tugas kita untuk mengintervensi setiap detailnya, apalagi mengatur ulang sesuai kehendak kita yang terbatas.
Jadi, cukup sudah. Berhenti bersilat pikir dengan kemungkinan-kemungkinan yang hanya menambah lelah. Serahkan pada-Nya yang sejak awal sudah paham ke mana kaki ini harus melangkah. Tugas kita hanya melangkah, bukan merampas kendali yang sejak awal tak pernah jadi milik kita.
164 notes
·
View notes
Text
Tuhan, Kita, dan Waktu
Kita hidup di zaman yang menyembah kecepatan. Klik sekarang, kirim sekarang, perbaiki sekarang, sembuh sekarang, sukses sekarang, baik-baik saja sekarang, tanpa sempat benar-benar merasakan luka, kehilangan, atau bahkan harapan. Dan ketika hidup nggak sesuai ritme itu—ketika doa menggema tanpa jawaban dan pintu tetap tertutup—kita panik. Kita putus asa. Kita pikir penundaan itu penolakan. Kita pikir Tuhan nggak dengerin kita. Diamnya Tuhan kita anggap kalau Dia nggak peduli.
Tapi gimana kalau ternyata nggak seperti itu? Gimana kalau penundaan itu justru bagian dari rencana-Nya?
“Tenang aja. Tuhan nggak pernah terlambat.”
Meski mungkin kesannya cuma nasihat umum, kalimat itu terdengar menenangkan. Dan kalau kita resapi sungguh-sungguh, kalimat itu menghadapkan kita pada kenyataan bahwa kita nggak sepenuhnya pegang kendali atas hidup ini. Kita nggak bisa mengendalikan waktu, hasil, atau cara semesta bekerja di balik layar.
Kita mau Tuhan mengurus semuanya dengan cepat. Kita selalu ingin jawabannya. Kita ingin sembuh tanpa pernah benar-benar sakit. Kita ingin semua jelas, tanpa harus masuk ke kekacauan. Tapi, bukan gitu cara kerja-Nya. Tuhan nggak terburu-buru. Itu bikin kita frustrasi setengah mati.
Tapi kalau kita berani berhenti sebentar untuk benar-benar melihat… momen sakit, jeda panjang tanpa jawaban, musim penantian—itu bukan penolakan atau hukuman. Itu arena di mana hal-hal terdalam dari diri kita mungkin sedang dibentuk dan siap dilahirkan: ketabahan, kerendahan hati, iman, kasih. Kita bukan cuma sekadar bertahan aja di masa tunggu itu, tapi melaluinya, kita menjadi sosok yang baru.
Di balik semua itu, mungkin justru ada maksud yang jauh lebih dalam. Mungkin penundaan itu adalah cara Tuhan menyelamatkan kita dari kehidupan yang perlahan mengikis jiwa. Mungkin patah hati itu disengaja dan langkah kita tertunda cukup lama agar kita sempat tumbuh menjadi seseorang yang benar-benar mampu mencintai dengan benar. Mungkin doa yang belum dijawab itu bukan karena Tuhan lupa, tapi karena hati kita belum siap menerima dampaknya—yang justru menghancurkan kita jika dikabulkan di saat itu juga.
Tuhan bukan mesin otomatis tempat kita masukin harapan lalu keluar jawaban. Tuhan bukan tukang sulap. Dia nggak terikat waktu kita atau tenggat yang kita buat-buat sendiri. Tapi Dia setia. Dan selalu datang di waktu yang tepat.
Kita bukannya dilupakan. Kita hanya sedang dipersiapkan.
Beberapa keajaiban memang butuh waktu lebih lama untuk mekar. Dan beberapa doa baru akan dijawab saat jiwa kita siap—bukan hanya untuk menerimanya, tapi juga untuk menjaganya.
Jadi, tenang aja. Tuhan nggak pernah terlambat.
Dia sedang mengajarkan kita untuk menunggu... tanpa kehilangan arah.
Dan mungkin, ya mungkin... Memang itulah keajaiban yang paling kita butuhkan sejak awal.
119 notes
·
View notes
Text
"Jangan cepat menghakimi orang lain. Kita sering kali menilai orang lain berdasarkan tindakannya, dan menilai diri kita sendiri berdasarkan niat kita."
Kutipan itu aku temukan dari Stephen Covey dan cukup ngena belakangan ini, soalnya menyoroti salah satu bias terbesar dalam cara kita menilai diri sendiri dan orang lain. Bias ini disebut "bias aktor-pengamat". Aku kadang melihat fenomena ini sebagai sisi gelap atau kemunafikan kita sebagai manusia.
Entah itu dari niat ataupun tindakan, menurutku keduanya sama-sama cara yang sah untuk mengevaluasi perilaku manusia. Tapi masalahnya, kita dengan mudah memilih niat ketika mempertimbangkan diri kita sendiri—"Aku nggak bermaksud gitu kok"—tapi menilai orang lain dari perilaku mereka—"Kok dia gitu sih?"
Fakta unik manusia adalah kita nggak bisa berpandangan objektif tentang diri kita sendiri. Atau mungkin kita sadar tapi rasanya sulit untuk menghindari itu. Soalnya kita nggak bisa mendapati diri kita terlalu salah, sehingga kita bikin banyak excuse buat menoleransinya.
Ada disonansi kognitif di sini. Ketika tindakan kita nggak selaras dengan citra diri atau value kita, kita merasionalisasi itu dengan berfokus pada niat kita untuk mengurangi rasa nggak nyaman. Pada diri kita sendiri, kita menyadari kemungkinan adanya lebih dari satu tujuan di balik tindakan kita. Kita ada di sudut pandang orang pertama bersama dialog internal kita.
Tapi kita kehilangan reasoning untuk orang lain karena kita melihatnya dari sudut pandang orang ketiga atau kedua. Alhasil, kita menilai orang lain berdasarkan tindakannya sampai kita mengetahui atau mendengar maksud atau alasan sebenarnya di balik tindakan tersebut.
Idealnya, kita mesti pertimbangin keduanya dengan seimbang, konsisten, dan adil. Niat itu penting karena alasan kita melakukan sesuatu menunjukkan motif kita. Di sisi lain, perilaku juga sama pentingnya karena apa yang kita lakukan memengaruhi diri kita sendiri dan orang lain.
Tapi walaupun niat penting, niat nggak bisa menebus semua perilaku. Artinya maksud yang baik nggak otomatis bikin suatu perilaku bisa diterima, terutama kalo tindakan itu merugikan orang lain. Terkait hal ini aku jadi inget twitnya Abigail Limuria tentang niat baik yang nggak dieksekusi dengan baik.


Mengenai tindakan kita sendiri, jangan sampai kita menggunakan niat kita sebagai dalih untuk tindakan yang nggak produktif. Akui saja kalau kita kadang salah dan perlu belajar dari itu.
Orang tuh nggak serta merta jadi orang baik dengan berpikir baik, tapi justru dengan berperilaku lebih baik. Tapi kita juga mesti bersikap baik ke orang-orang yang belum paham soal ini dan hargai bahwa hal-hal kaya gini emang ga selalu mudah.
Kata Pastor Raguel Lewi, pengenalan melunturkan penghakiman.
Itu sebabnya penghakiman seringkali datang dari orang yang kurang mengenal dan memahami. Entah kurang bisa atau kurang mau berusaha. Istilahnya mah lack of understanding, lack of comprehension of a concept, situation, context, or idea.
At the end, aku ingin me-recall motto yang diajarkan di sekolahku dulu. Bunyinya, "satu niat, satu langkah, dan satu tujuan" yang sebenarnya itu adalah serangkaian yang disebut "shaleh". Lurus dan konsisten dari hulu ke hilir.
— Giza, hari-hari terus nemu aja ketidaksempurnaan sebagai manusia. Ini baru sebagai manusia, belum sebagai muslim, pasti lebih banyak lagi.
Rujukan tambahan:
Memperbarui Pengenalan
Memahami Allah Sebagaimana Dia Memperkenalkan Diri
97 notes
·
View notes
Text
Basic tenangnya jiwa adalah selalu meyakini bahwa takdir Allah itu selalu yang terbaik
265 notes
·
View notes
Text
Berkali-kali, saya dan seorang kawan mempertanyakan, "mengapa ya rasanya susah sekali untuk mendobrak cara pikir dan cara pandang yang ada"
"Harus ada kajian secara sosiologis, psikologis, dan historis tentang ini"
Dan akhirnya malam itu kami menemukan jawabannya, salah satu PR terbesar yang ada adalah paradigma soal Ilmu.
Guru kami mengisahkan perjalanan belajarnya di tempat lain yang amat sangat berbeda dengan di wilayah kami, dan itu tercermin dari etos kerja beliau, konsistensi beliau, dan kegigihan beliau
"Saya itu dikomen" kata beliau "untuk apa sekolah lagi, dan gak linier terhadap pekerjaan juga"
Ah inilah, cara pandang terhadap ilmu yang terbatasi untuk mendapatkan pekerjaan semata, bukan ilmu yang mempompa jiwa kita untuk terus bergerak
Begitulah akhirnya, sejatinya peradaban itu akan nampak, dari kalangan-kalangan orang berilmu, yang mampu berfikir dengan cermat, hatinya tenang, fisiknya pun kuat
Ilmu itu cahaya, maka orang yang berilmu seharusnya memancarkan cahaya dan selalu dikelilingi oleh cahaya itu
Tidak ada kata berat dan terlambat untuk menjadi insan berilmu, perasaan berat dan terlambat adalah tantangan awal untuk membuka diri dengan keinsafan bahwa "kita belum tahu".
Maka selanjutnya PR besarnya adalah segera mencari tahu, dan menjadi orang yang berpengatahuan.
"Peradaban lahir dari pusat kota, karena disanalah tempat para penuntut ilmu berkumpul" kira-kira begitu simpulan yang saya dapatkan dari penjelasan Assoc.Prof. Muhammad Ishaq
Ustadz Asep Sobari menguatkan dalam penjelasan historisnya "Pernah ada di satu titik, semua elemen dalam negara begitu lemah; politik, ekonomi dsb. Namun peradaban itu tetap bertahan karena satu elemen, yaitu kekuatan pendidikan"
Selamat menempuh ilmu wahai pewaris peradaban, bersusah payahlah, keluarkan hartamu, inilah medan jihad kita; jika tidak bisa mengangkat senjata, angkatlah pena, ikatlah ilmumu, sehingga lahir peradaban baru yang berlandaskan ilmu
77 notes
·
View notes
Text
Kepada Kamu, yang mungkin tak pernah tahu
"betapa besar artinya kehadiranmu,"
Ada saat-saat ketika hidup terasa seperti beban yang terlalu berat untuk dipikul. Ada saat-saat di mana kita merasa seperti telah memberi segalanya, namun tetap saja apa yang kita harapkan tak pernah datang.
Aku tahu, kamu pun pernah merasakannya, perasaan kosong yang datang ketika kita berharap pada sesuatu yang ternyata tak bisa diandalkan. Namun, meskipun semua itu terasa sulit, ada satu hal yang aku tahu pasti, bahwa setiap luka yang aku alami, setiap kebingungan yang datang, akhirnya mengarah padamu.
Sebenarnya, ada sebuah rasa syukur yang tidak pernah kuungkapkan, rasa syukur yang harusnya sudah lebih dulu kuhadirkan dalam setiap doa, setiap kali aku menatap hari. Kamu, yang meski kadang tak tahu apa yang aku lewati, adalah salah satu hal yang membuat aku melihat dunia dengan cara yang berbeda. Kamu adalah rasa syukur terbesar yang datang tanpa aku minta.
Saat aku mengingat semua yang terjadi, rasa sakit, kekecewaan, dan segala perjuangan yang kurasa tiada artinya, aku jadi tahu satu hal penting. Bahwa ternyata, bukan pada masa lalu aku harus menggantungkan harapanku. Bukan pada seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku dengan harapan kosong.
Aku tahu mungkin kamu tak merasa ini sekuat yang kurasakan. Tapi pertemuan kita, meskipun baru, memberi aku sesuatu yang lebih berarti dari yang pernah ada sebelumnya. Kamu datang dengan cara yang tak terduga, memberikan harapan yang dulu kupendam dalam hati yang terluka. Bahkan dalam kesederhanaanmu, aku merasa disayangi, dihargai, dan dimengerti.
Dan mungkin, hanya mungkin, semua yang terjadi dengan dia yang kini sudah menjadi masa laluku adalah bagian dari perjalanan yang mengarahkanku padamu. Aku belajar banyak dari semua yang telah aku lewati, dan aku menyadari bahwa kamu adalah hadiah yang seharusnya aku syukuri sejak awal. Kamu adalah seseorang yang, tanpa aku tahu, sudah lama hadir dalam pikiranku, menjadi rasa syukur yang selama ini kuabaikan. Dan, kamu adalah rasa syukur terbesar dalam hidupku.
Aku ingin belajar memberi yang terbaik, bukan hanya untuk diriku, tapi juga untukmu. Menghargai setiap detik yang kita habiskan bersama, memahami setiap sisi yang ada dalam hidup kita. Karena, pada akhirnya, kamu adalah jalan yang aku pilih, dan jalan itu tak akan pernah salah.
Semoga kamu tahu, bahwa setiap kata yang kutulis ini berasal dari hati yang kini mulai lebih damai, lebih tenang, dan lebih mengerti arti dari kebahagiaan yang sebenarnya.
Terima kasih :)
🕊️
3 notes
·
View notes
Text
Ada sebuah nasihat dari Imam Syafi'i;
"Ketika engkau menginginkan sesuatu, maka bayangkan jika saat itu juga engkau kehilangannya. Jika engkau merasa tidak apa-apa kehilangannya, itulah tanda bahwa aman bagimu memilikinya."
Alangkah dalam hikmah yang terkandung dari nasihat itu. Bahwa penting sekali bagi kita meneliti apa yang mendasari keinginan kita untuk memiliki. Sebab tanda jika keinginan untuk memiliki didominasi oleh hawa nafsu adalah muncul rasa kepemilikan sebelum dan setelah terkaruniai sesuatu yang diinginkan itu.
Rasa memiliki seringkali menjadi sebab kelalaian (kemaksiatan).
Coba perhatikan, bukankah orang yang merasa memiliki kuasa membuat ia jadi semena-mena pada yang dianggap berada di bawah kuasanya?.
Bukankah orang yang merasa memiliki harta bisa menjadikan ia sombong dan menganggap semua bisa dibeli dengan hartanya?.
Begitu pula ketika kita merasa memiliki seseorang (baik itu pasangan, anak, saudara, atau pun orang tua), bisa menjadikan kita tak rela ketika kehilangan (entah karena ia memutuskan pergi dari hidup kita atau karena Allah yang mengambilnya kembali dari sisi kita).
Padahal sejatinya, semua yang terkarunia hanyalah titipan dari-Nya. Kita tidak pernah benar-benar memiliki, kita hanya (saling) dititipi.
Oleh karena itu, saat kita menginginkan sesuatu, kata Imam Syafi'i, tolak ukurnya adalah dengan membayangkan seberapa lapang hati kita jika kehilangannya.
Kalau sebelum Allah karuniakan saja sudah ada rasa tak rela atau jadi takut sekali kehilangannya, berarti nafsulah yang mendominasi.
Maka, segera batalkan/tinggalkan. Karena yang seperti itu, jika tetap dipaksakan berpotensi menjadikan kita punya rasa kepemilikan yang akan melalaikan dan menjerumuskan ke dalam kemaksiatan.
Ingatlah, kebaikan itu selalu menenangkan. Yang sejatinya baik, tak akan membuatmu jadi khawatir berlebihan atau takut sekali kehilangan.
Wallahu a'lam bishawab.
@rizqan-kareema.
194 notes
·
View notes
Text
Berdoalah, Sampai Kita Lupa
Belakangan ini, saya sedang belajar memaknai bahwa doa adalah tentang proses-proses di dalam hidup. Menyampaikannya kepada Allah adalah proses dimana kita mengenali dengan baik apa yang menjadi kebutuhan kita dan alasan mengapa kita membutuhkannya, sampai jawabannya lurus selurus mungkin. Mengulang-ngulangnya adalah proses dimana kita belajar berprasangka baik, meski tidak pernah terbayang kapan doa itu akan menjadi nyata. Menunggu keputusan-Nya atas doa itu pun proses dimana kita akan dipertemukan-Nya dengan berbagai dinamika hidup hingga kita berpikir, "Apakah benar saya menginginkannya? Apakah benar ini adalah satu-satunya sumber ketenangan dan kebahagiaan yang saya cari? Apakah benar harus saat ini?" dan seterusnya.
Tentang berdoa, suami saya pernah bilang, "Berdoa aja terus, sampai kita lupa kalau kita pernah punya doa itu, sampai kita tidak lagi fokus pada kapan doa itu akan dikabulkan. Di saat-saat seperti itu, biasanya Allah berikan, bukan?" Ketika mendengarnya, saya sedikit bingung, "Bagaimana bisa kita lupa pada doa yang setengah mati kita harapkan? Kalau sesuatu itu penting bagi kita, bukankah kita tidak akan semudah itu untuk melupakannya?" Kemudian,
Perjalanan memaknai nasehat suami tersebut rupanya mempertemukan saya dengan sebuah pemaknaan bahwa lupa yang dimaksud bukanlah terlepasnya doa dan pengharapan kita itu dari ingatan, tetapi terlepasnya diri kita dari ikatan dan harapan yang tinggi terhadap kapan dan bagaimana doa tersebut harus dikabulkan.
Terus berdoa, tetapi lepaskan ikatan terhadap pengabulannya. Oh, ya Allah! Ini sulit sekali. Tetapi, saya jadi berpikir lagi, "Kalau kita meninggikan harap pada sesuatu yang kita doakan hingga terus-menerus diingat, dipikirkan, didambakan, sampai patah hati ketika belum dikabulkan, bukankah sesuatu itu mungkin sekali menjadi illah (sumber kecintaan) kita di dalam hidup? Satu-satunya illah kan hanya Allah. Lalu bagaimana jika dengan harapan yang tinggi itu kita ternyata sedang menghadirkan tandingan-tandingan-Nya di hati kita tanpa kita sadari?"
Astaghfirullah. Ya Allah, terimakasih atas makna berharga yang Engkau hadirkan ini. Ampunilah aku, yang dalam berdoa pun ternyata masih tidak tahu diri. Mampukanlah aku untuk tetap bersabar dan menjalani hidup sebagaimana arahan-Mu tanpa berfokus pada apa-apa yang belum ada dan belum termiliki.
Wallahu 'alam bishawab.
238 notes
·
View notes
Text
TITIK BALIK
Seharusnya tidak rumit. Kalau memang suka, bilang. Kalau malu dan takut resiko, diam. Kalau sudah tidak tahan lagi dan harus merelakan perasaan itu, bebaskan, jangan dipendam. Dua pilihan atas dasar kesukaan, miliki atau biarkan bahagia menjadi milik orang lain.
Aku kerap bertanya, apa semua begitu abu-abu sehingga demi satu jawaban kita begitu payah meraba-raba. Mencari entah dimana. Banyak yang bertahan diabaikan daripada harus menerima pahit jawaban. Padahal pengabaian bagian dari jawaban ragu-ragu dari yang tidak bisa mengambil keputusan.
Cukup akrab dengan pengabaian membuatku memilih berdamai dengan perasaan sendiri daripada harus menguras energi kesal. Bahwa mungkin ia lupa membalas, atau tengah disibukkan sesuatu, ia mungkin mendadak punya urusan mendesak, atau memang sengaja mengabaikan. Sudahlah, aku maklum dan diam saja. Tapi jangan harap aku kembali. Begitu saja.
Lebih baik begitu, kan? Tentu aku tak ingin menambah daftar panjang orang-orang menyebalkan dalam hidupmu. Biar aku saja yang menambah namamu dalam daftarku.
0 notes
Text
MERANGGAS
“Sebelum menikah, tetap melihat walau buta. Setelah menikah, tetap buta walau melihat.” begitu pesan yang disampaikan Pak Ustadz yang memang rutin mengisi kajian setiap hari selasa. Secara kebetulan Nona juga sedang mencari-cari solusi harus bagaimana dengan hubungan yang sedang ia jalani. Kalau digambarkan situasinya, yang paling mendekati mungkin lirik lagu Mahalini, “sendiri ku tak bisa, bersama ku tersiksa, ini kenyataannya kita tak baik saja.”
Segera Nona meraih ponsel kemudian mengetik kalimat panjang dengan khusyuk. Dikirim langsung kepada yang tertuju melalui aplikasi perpesanan. Sedetik kemudian, Nona menarik kembali pesan itu setelah memastikan telah menyimpannya di catatan. “Tidak sekarang.” batinnya. Nona menyimpan ponsel dan melanjutkan aktifitas.
“Mungkin aku harus memberinya kesempatan,
“Mungkin aku perlu memastikan kebenarannya,
“Mungkin dia punya alasan tersendiri. Aku perlu mendengarnya sekali lagi.”
Juga banyak alasan lain dalam hatinya yang kabut. Nona tahu persis Tuan yang pernah memberi janji selamanya telah ingkar dengan nyata. Bukan melalui sesiapa, Tuan sendiri yang menyiratkan itu pada pertemuannya yang terakhir sebelum menghilang dan menggantung tanpa kabar.
Nona melihat kembali jari manisnya yang berhias cincin emas pemberian Tuan, “Hadiah ulangtahun,” katanya, “sekaligus pengikat biar kau tahu aku serius.” Tapi apalah arti sebuah cincin jika berjarak sebentar membuatnya begitu mudah berpaling. Nona sadar, kebiasaan sulit diubah. Padahal manusia diberi kemuliaan dengan akal tapi masih saja suka bebal. “Biar kupastikan ia bangun saat ini kukirim supaya langsung mendapat balasan.” pikirnya.
Menjelang malam, Nona mengirim pesan yang semula tertunda. Kalimat panjang tentang alasannya mengambil keputusan, “…ini tidak bisa diteruskan.” Nona hanya ingin bahagia. Buat apa bersama tapi meracuni. Mau tahu balasan Tuan? “Baiklah.” Hanya itu. Nona tersenyum, menyimpan ponsel, dan mulai berkendara meninggalkan tempat kerja. Langit sedang mendung, warnanya merah muda, jalan raya kota cukup sepi. “Ahh… Hanya senja yang bisa kasih janji selamanya akan baik-baik saja.”
0 notes
Text
SEPATU KULIT
“Berat kah, kak?”
“Tidak juga.” Jawabku setelah mengambil keputusan melepaskan sebagian kemelekatan pada benda. Meski belum sepenuhnya. Paling tidak, sedang diupayakan.
Perpindahan bisa menjadi pemicu yang tepat untuk merelakan hal-hal yang lama tertahan memperoleh nafas yang baru. Setelah menanti selama hampir enam bulan, akhirnya keputusan itu tiba. Kini kubisa mulai mengambil ancang-ancang supaya roket yang kurancang melesat segera.
Sepertinya benar kata orang, tak ada pekerjaan yang lebih melelahkan selain menunggu. Pun begitu, tetap saja dilakukan. Dalam antrian, panggilan, keputusan, kelahiran, juga kematian. Padahal sudah tahu akan lelah tapi masih saja bertahan walau sambil misuh-misuh.
Pada satu waktu dari atas angkot seorang ibu paruh baya, kuterka profesinya guru, mungkin pegawai negeri karena pakai baju keki. Sepatu kulit cokelat dengan variasi kuning di bagian punggung sampai ujung depan. Mencolok. Membawa satu tas jinjing biru bertotol-totol merah dengan pita merah yang terikat di salah satu tentengannya, satu tas laptop yang juga berwarna merah, dan satu tas selempang kombinasi warna cokelat-hitam. Memakai cincin emas berhias batu permata jingga di jari manis tangan kiri, sedang jam tangan emas melingkari pergelangan tangan kanannya. Duduk tepat di samping pak supir yang sedang bekerja—mengendarai angkot supaya baik jalannya, hey! Memberi ongkos ke pak supir sampai tiga kali. Dua kali untuk dua anak sekolah yang turun di dua sekolah berbeda, satu kali untuk dirinya sendiri. Dalam perjalanannya mengabdi, beliau sudah sedekah lebih dari sekali. Ini kejadian yang biasa saja sebenarnya. Bukan hal asing di negeri dengan predikat paling dermawan seisi bumi selama lima tahun berturut-turut. Bukan main!
Melihat itu membuatku berpikir… Apa hayo?😂 Apa hubungan guru itu dengan anak sekolah ini? Beliau naik dan turun dengan titik yang berbeda dengan kedua anak itu. Pikiran ini terus menemani hingga tujuanku tiba. “Andai ibu itu turun setelahku, bakal dibayarin juga kali yak.” Batinku yang sudah melepas seragam sekolah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tamat
0 notes
Text
SUNRISE DARI 414
"Mau bed yang mana? Ini ada dua yang kosong." tawar Perawat Jaga yang membawaku dengan kursi roda. "Yang sana. Mau dekat dari cahaya." jawabku. Setelah tiba, yang pertama kuperiksa 'lampu mana lampu'. Aah, yang ini lampunya bisa padam, tidak seperti di IGD. Alhamdulillah. Kemudian mencari saklarnya dekat bed. Zonk! Ternyata di ujung ruangan dekat pintu masuk, satu untuk semua. Huft🥲
Tempat ini familiar dari tempatku biasa menepi sejenak sesekali saat ingin berada di ketinggian dan memandang ke kejauhan, menikmati warna langit saat matahari tenggelam sampai lampu dari gedung-gedung perlahan mulai menyala. Pagi ini aku di sini duduk menghadap jendela walau tidak melihat mataharinya, aku menikmati siraman cahayanya menyentuh pucuk daun dari pepohonan, atap-atap gedung dan rumah, juga bayangan-bayangan gunung nun jauh. Rasanya begitu menenangkan.
Aku di sini karena desakan tubuh yang suhunya kian meninggi hingga mulai melantur. Tidur jadi tak nyenyak, bangun pun selalu bersama hentakan karena dikejutkan mimpi-mimpi aneh. Seperti malam sebelumnya misalnya. Kepalaku seperti dadu yang diguncang-guncang dalam dua telungkup tangan seseorang yang mencari peruntungan. Aku terbangun dan menangis seperti orang kerasukan. Ibuku panik dan memintaku berzikir berulang kali. Suaranya bisa kudengarkan tapi pintanya tak bisa kupenuhi. Efek guncangannya masih terasa. Dadaku sesak, kepalaku seolah masih berputar, setidaknya begitu yang kupikirkan karena pandanganku mengabur.
Aku selalu menyukai langit. Mataku tak bisa lepas memandang setiap kali punya kesempatan: berkendara, berjalan kaki, duduk, atau berbaring. Entah bagaimana, kala masygul, langit menjadi obat mujarab nan ajaib. Aku tak pernah bosan karena tiap warnanya selalu punya nuansa tersendiri. Meski begitu, dari titik mana pun langit kutatap, ia memberi pesan yang selalu sama, “serupa cuaca, perasaan juga berubah.” Teruslah bertumbuh🌻
0 notes
Text
Seharusnya tidak rumit. Kalau memang suka, bilang. Kalau malu dan takut resiko, diam. Kalau sudah tidak tahan lagi dan harus merelakan perasaan itu, bebaskan jangan dipendam. Dua pilihan atas dasar kesukaan, miliki atau biarkan bahagia menjadi milik orang lain.
8 notes
·
View notes
Text
Takdir masa depan yang dulu terpikir akan begitu menyeramkan, nyatanya kamu bisa menjalani dan melewati setiap rangkaian ujiannya. Yang menyeramkan itu sebenarnya hanya prasangka-prasangka kita, bukan takdir kita. Sebab Tuhan tidak akan pernah dzolim pada hamba-Nya.
Tetaplah dengan prasangka baikmu, sebab Tuhan akan selalu bersama orang yang memandang takdir dengan prasangka baik atas setiap ketentuannya. Andai susah, pasti Dia mudahkan. Andai buntu, pasti Dia berikan arah kompas untuk melangkah.
Selamat menikmati rangkaian dan potongan-potongan takdir Tuhan.
@jndmmsyhd
571 notes
·
View notes