gabrielsinagaworld-blog
gabrielsinagaworld-blog
Gabriel Sinaga S.Sos
13 posts
Seni Sastra, Sosial, dan Budaya
Don't wanna be here? Send us removal request.
gabrielsinagaworld-blog · 7 years ago
Text
“Gadis Kecil Ku”
Wahai gadis kecil ku,betapa riangnya dirimu
Mencubit ku dan memanggilku dengan teriakan papa
Tak hentinya aku meneteskan air mata ku, dan di usia mu yang masih balita aku masih bisa tersenyum
Fatamorgana diantara pelangi saat gerhana bulan aku gelisah diantara kegembiraan mu gadis ku
Kelak jika esok tiba, tumbuhlah menjadi wanita hebat dan perkasa menantang hari
Seperti ibu mu, tawa mu dan tangis mu membuat ku terkadang menangis dibalik kenyataan ku anak ku
 Istri ku, aku merindukan mu dan aku tak mungkin mengharapkan lagi kehadiran mu untuk kebahagiaan keluarga kecil kita.
Bagaimana kabar mu di sana istri ku?
Jadilah menjadi peri bagi gadis kecil kita sayang..lihatlah dia semakin hari semakin bertumbuh
Lihatlah gadis kecil kita mirip seperti mu..cerewet, bijak, dan tak henti bergerak seperti semangat mu
Peluklah kami wahai istri ku sayang dalam kesepian kami berdua bersama gadis kecil kita
Sesekali aku membawanya ke makam mu dan dia berteriak mama di batu nisan mu, aku menahan air mata ku istri ku, gadis kecil kita memanggil mu sayang.
 Gelombang ombak ditepian danau diantara pegunungan dimana tanah bertuah tempat kita berjanji suci…
Sesekali aku membawa gadis kecil kita dimana kita saling meneteskan air mata untuk sehidup-semati
Mama…mama…teriak gadis kecil kita, seolah tahu kau hadir bersama angin dari gelombang danau milik leluhur kita.
Air mata ku bukanlah sebuah penyesalan dan kekesalan ku, tapi aku sungguh merindukan mu istri ku
Peluklah aku untuk gadis kecil kita, dia sungguh cantik seperti paras mu
Aku masih ada untuk gadis kecil kita, aku masih ada bersama semesta kita untuk gadis kecil ku istri ku
 Gadis kecil ku, tumbuhlah sampai suatu saat nanti kau bisa berjalan dari rangkakan mu
Gadis kecil ku, tumbulah sampai suatu saat nanti kau bisa berlari setelah kau merasakan jalan yang lambat untuk mengejar ku
Gadis kecil ku, tumbulah sampai suatu saat nanti kau bisa bertanya dan berlari untuk masa depan mu
Gadis kecil ku, tumbuhlah sampai suatu saat nanti kau bisa kuat untuk bisa memapah dan menggendong ku di hari tua ayah mu nanti
Gadis kecil ku, tumbuhlah suatu saat nanti kau bisa mempersatukan ayah mu dan ibu mu sebagai kenangan keabadian mu gadis kecil ku.
 Tumbulah seperti ibu mu, gadis kecil ku…kuatlah seperti ibu mu
Gadis kecil ku….kau telah menjadi seorang pejuang yang tak manja oleh ketiadaan ibu mu
Lihatlah mereka yang ada dihadapan kita, kau tahu mereka itu siapa?
Lihatlah yang ada di belakang kita, kau tahu mereka itu siapa?
Lihatlah siapa yang berada di sisi kiri dan kanan kita, kau tahu juga mereka itu siapa?
Jadilah ibu yang baik kelak untuk orang seperti mereka oh gadis kecil ku
Ayah pergi dulu, sebentar saja untuk mu dan untuk kita wahai gadis kecil ku.
Jangan menangis, jadilah gadis kecil yang cantik seperti ibu mu yang selalu menanti kedatangan ku disaat mengandung mu gadis kecil ku.
Ayah akan pulang untuk mu, istri ku jaga gadis kecil kita dengan doa mu.
Buat dia tertawa menunggu ku dengan sayap putih mu istri ku sayang.
…………………The end…………………
Oleh Gabriel Patricio Hardianto Sinaga
Medan, 13 September 2018
Tumblr media
1 note · View note
gabrielsinagaworld-blog · 8 years ago
Text
SUKU TALANG MAMAK Di DAS BATANG GANSAL - KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) PROVINSI RIAU “Sebuah Catatan Penelitian dan Pendampingan Komunitas” Penulis : Gabriel Patricio Hardianto Sinaga, S,Sos
Kata Pengantar
           Terima kasih saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sampai saat ini penulis diberikan kesehatan dan kekuatan sampai terbitnya tulisan ini. Dalam tulisan ini penulis mengangkat sebuah catatan pendampingan selama satu tahun lebih  lamanya dari suku Talang Mamak secara live in di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang berada di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
           Terima kasih kepada KKI WARSI (Jambi) yang telah memberikan kepercayaan dan  kesempatan kepada penulis untuk melakukan kajian dan pendampingan terhadap suku-suku marginal di pedalaman hutan bersama team suku-suku, tepatnya suku Talang Mamak di Desa Rantau Langsat tepatnya di wilayah Datai dan Suit, serta Talang Mamak yang sudah mengaku dirinya sebagai orang Melayu di wilayah Sadan, Air Bomban, Nunusan, Siamang, Hingga Lemang selama penulis menjadi .
           Banyak hal menarik yang dapat dilihat dari peradaban yang ada saat ini dari masyarakat adat suku Talang Mamak di kawan Bukit Tigapuluh. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk merangkai tulisan ini dari pengalaman-pengalamn pendampingan bersama masyarakat. Tidak di kenal orang luar dan cap atau simbolik sebagai anak dalam masih melekat bagi mereka hingga saat ini, terlebih dikarenakan pengetahuan kita yang masih sangat minim terkait keberadaan mereka.
           Selama kurang lebih setahun hidup berdampingan bersama masyarakat adat yang tinggal di hutan, khususnya kawasan hulu dan hilir di Desa Rantau Langsat dengan karakter serta jati diri mereka yang bebeda-beda. Salah satu sumbangan buku ini di khususkan lebih kepada pengenalan masyarakat adat yang tinggal di dalam kawasan hutan yakni Suku Talang Mamak.
           Buku ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih mememiliki beberapa kekurangan, dengan harapan kedepannya akan menjadi sebuah karya yang lebih ilmiah.
Penulis,
 September 2016
Daftar Isi
Kata Pengantar
A.    Sejarah Suku Talang Mamak di Indragiri Provinsi Riau
B.     Sejarah Talang Mamak di DAS Gansal – Taman Nasional Bukit Tigapuluh Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
C.  Alam Sebagai Bagian Sumber Hidup Masyarakat Adat Suku Talang Mamak
D.   Jenis Lahan Berdasarkan Penggunaannya Dalam Konseptual Masyarakat Adat Suku Talang Mamak
E.      Klasifikasi Topografi Lingkungan Dalam Fungsi dan Pengelolaan Pada Perilaku Masyarakat Hilir DAS Gansal
F.    Bercocok Tanam “Berladang” dan “Rimpahan” Serta Berkebun Karet  Sebagai Tradisi Lama dan Tradisi Baru Dalam Mengola Alam Dalam Pemenuhan Sumber Penghidupan
G.    Peranan Dukun-Dukun Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Talang Mamak & Melayu
 A.    Sejarah Suku Talang Mamak di Indragiri Provinsi Riau
Secara terminologi kata, Talang dalam istilah lokal jika di terjemahkan dalam bahasa indonesia adalah hamparan perladangan padi gunung. Sementara itu secara bahasa lokal, Mamak memiliki arti sebagai pihak paman. Dalam pengertiannya Talang mamak merupakan sekelompok pihak paman dari keturunan Datuk Patih yang tinggal dan hidup di wilayah petalangan dengan sistem mata pencaharian utama dari perladangan padi gunung/padi gogo.
Menurut kepercayaan mitologi atas jati diri masyarakat lokal memiliki variasi pemaknaan terhadap diri mereka. Dalam sejarah peradaban menurut mereka, suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari “kayangan” turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, istana patih). Hal ini terlihat dari ungkapan "kandal tanah makkah, merapung di Sungai Limau, menjeram di sungai tunu". Itulah istilah bagi mereka terhadap leluhur mereka sebagai manusia pertama di Indragiri yang bernama Datuk Patih. (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Masyarakat Talang Mamak sendiri juga mengakui kalau mereka berasal dari Pagaruyung Sumatera Barat. Datuk Patih Nan Sebatang turun dari Pagaruyung menyusuri Sungai Nan Tiga Laras yaitu Sungai Tenang, yang sekarang disebut dengan Sungai Batang Hari, Sungai Keruh yang sekarang dinamakan Sungai Kuantan/Indragiri dan Sungai Deras yang sekarang disebut dengan Sungai Kampar. Di setiap sungai ini ia membuat pemukiman /kampung dalam melakukan perjalannya. Di Sungai Batang Hari ia membuat 3 kampung yaitu Dusun Tua, Tanjung Bunga dan Pasir Mayang. Sementara itu di Sungai Kuantan ia membuat 3 kampung juga yaitu Inuman Negeri Tua, Cerenti Tanah Kerajaan dan Pangian Tepian Raja. Di Sungai Kampar ia juga membuat 3 kampung yaitu Kuok, Bangkinang dan Air Tiris. (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Di Sungai Kuantan di Kuala Sungai Limau, Datuk Patih bertemu dengan paman beliau yang bergelar Datuk Bandara Jati. Datuk Patih memiliki 3 orang anak yaitu sibesi, kelopak dan bunga. Mereka ini diberi gelar Patih nan bertiga. Setelah mereka dewasa maka Datuk Patih memberi mereka wilayah/tanah untuk mereka tinggal dan hidup. Sibesi di tanah yang diberikan kepadanya, dibuatnya sebuah parit. Karena itulah namanya sampai sekarang dikenal dengan Talang parit. Kelopak di tanah yang diberikan kepadanya dibuatnya perigi (sumur), itulah mula asal Talang Perigi. Sementara bunga diberikan tanah di wilayah di Sungai Lakat Kecik, Lakat Gadang dan Simpang Kuning Air Hitam. Bunga ini dibekali 3 biji durian oleh Datuk Patih. Tiga biji durian ini ditanamnya secara berjajar. Karena itulah wilayah ini dinamakan Talang Durian Cacar yang berasal dari kata durian berjajar. Ketiga tanda ini baik parit, perigi dan durian berjajar ini masih ada hingga kini. (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Versi lainnya yang di dapat di masyarakat lokal bahwa, pada awalnya keberadaan Orang Talang Mamak berasal dari keturunan Datuk Patih dari wilayah Pagaruyung (Sumatera Barat).  Perjalanan Datuk Patih ini dilakukan dengan menelusuri aliran Sungai melewati Sungai Batang Kuantan (saat ini berada di Kabupaten Indragiri Hulu) kemudian sampai di daerah Durian Cacar.  Di daerah ini Datuk Patih menanam 7 (tujuh) batang durian secara berjajar.  Tanaman durian yang berjajar ini kemudian menjadi dasar penyebutan daerah ini menjadi Durian Cacar. (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Kemudian sesuai dengan filosofi yang dibawa oleh Datuk Patih dan Keluarganya yang melakukan perjalanan ke daerah ini bahwa filosofi Orang Talang Mamak adalah “Suku Nan Anam, Balai Nan Tigo”.  Kemudian anggota keluarganya memperluas wilayah mereka berdasarkan filosofi tersebut. Suku Nan Anam kemudian menyebar ke 6 daerah (saat ini telah berkembang menjadi desa), yaitu :
(1)   Desa Talang Parit
(2)   Desa Talang Perigi
(3)   Desa Durian Cacar
(4)   Desa Talang Kedabu
(5)   Desa Sungai Limau
(6)   Desa Talang Jerinjing
((Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Balai Nan Tigo kemudian menyebar di sepanjang aliran Sungai Batang Kuantan.  Kelompok Tiga Balai ini saat ini masih berpusat di Desa Durian Cacar, Talang Perigi dan Talang Parit.  Sementara itu alat transportasi yang digunakan oleh Datuk Patih menelusuri aliran Sungai Batang Kuantan berupa Rakit yang terbuat dari kayu kulim kemudian diabadikan menjadi nama kecamatan di daerah ini yaitu Kecamatan Rakit Kulim. (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Kemudian kelompok ini terus menyebar mengikuti aliran Sungai. Wilayah tradisional Talang Mamak adalah :
(i) Sungai Gangsal di Kecamatan Batang Gangsal,
(ii) Sungai Cinaku di Kecamatan Batang Gangsal dan Kecamatn Seberida,
(iii) Sungai Kelayang di Kecamatan Kelayang,
(iv) Rengat Barat dan
(v) Sungai Sumai/Batang  Sumai (Kabupaten Tebo-Jambi/Selatan TNBT).
           (Sumber : Data Penelitian Lapangan KKI WARSI 2015)
Pada saat ini pusat komunitas Orang Talang Mamak dari kelompok Tiga Balai barada di Desa Durian Cacar yang masih mencerminkan tipologi desa hutan (talang).  Selain Durian Cacar, Orang Talang Mamak juga berpusat di Desa Rantau Langsat dimana Dusun-dusunnya menyebar di sepanjang aliran Sungai Batang Gangsal dan membelah kawasan hutan TNBT.
 B.     Sejarah Talang Mamak di DAS Gansal – Taman Nasional Bukit Tigapuluh Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Sejarah bermula dari peradaban manusia yang berada di wilayah Keritang seputaran Batang Gansal yang dipimpin oleh seorang Patih (pemimpin suku) yang bernama Datuk Patih dalam perkiraan sekitar abad 13, yang secara mitologi lokal mereka mempercayai mitos Patih pertama sebelum Datuk Patih berasal dari kayangan dan turun ke daratan terapung di sungai yang bernama Sungai Tunu di Talang Sungai Limau atau sekarang menjadi wilayah administrasi Desa Talang Jerinjing.
Raja Kecik yang merupakan keturunan Raja Johor, Malasya yang  menikahi puteri keturunan Patih yang berasal dari Sungai Tunu di Talang Sungai Limau-Jerinjing. Raja Kecik tersebut diakui dan diangkat oleh masyarakat lokal menjadi Raja (pemimpin) mereka yang mereka panggil Sultan melalui permintaan Datuk Patih sekitar perkiraan tahun 1298 - 1337 M. Wilayah kekuasaan Sultan dimulai dari Rengat, Hulu dan Hilir sungai Batang Gansal, Teluk Kuantan, Retih, Sungai Akar, Sungai Keritang, Indragiri Hilir dan batas kerajaan berbatasan dengan Kerajaan Indrapura di Kampar.
Seiring berjalannya waktu terjadi sebuah persoalan diantara mereka yakni “Perang Paderi” yang di bawa oleh kaum-kaum Bonjol. Hal ini membuat Raja diungsikan kembali ke Johor-Malasya dan menitipkan Kerajaan pada Datuk Patih. Peperangan dan pertumpahan darah terjadi bagi rakyatnya yang mengakibatkan banyaknya kematian dan korban jiwa. Pasca tragedi tersebut Datuk Patih pun pergi kembali ke Johor dengan menggunakan “Rakit Kulim” (Rakit ukuran besar khusus Raja dengan menggunakan kayu kulim), namun Sultan tidak ingin kembali ke Keritang dan memilih Danau Raja-Rengat tepatnya wilayah Pekan Tua sebagai Istana pusat pemerintahan yang  baru sekarang ini. Perang terus berlanjut, dan pada akhirnya terjadi perdebatan dalam menyelesaikan peperangan dengan jalan mengalah dan masuk agama Islam. Namun, ada dua kubu/kelompok berbeda yang menerima dan menolak untuk menerima ajaran Islam karena bertentangan dengan ajaran Nenek Moyang meraka yang tidak mempercayai agama asing dan baru (Islam) yang dating di tengah-tengah mereka.
Pada keputusannya pihak Mamak (Paman) mereka menolak masuk agama Islam karena mereka tidak mempercayai Syahadat yang diajarkan oleh Rasul Nabi Muhammad. Pada akhirnya demi mempertahankan budaya yang sudah diturunkan oleh nenek moyang mereka, mereka memilih pergi jauh karena merajuk. Mereka hidup di rimba wilayah pertalangan, dan memisahkan diri dari saudaranya yang memilih masuk Islam demi meredam terjadinya ledakan konflik diantara mereka. Pada akhirnya lahirlah sebuah sebutan baru bagi mereka yakni suku Talang Mamak. Masyarakat suku Patih yang masuk Islam mereka katakan “MELAYU LANGKAH BARU” yang tetap hidup dan tinggal di sepuratan tepian sungai dan kaum Mamak yang bertahan dengan budaya leluhur mereka sebut sebagai “MELAYU LANGKAH LAMA/MELAYU TUHA”. Berdasarkan penjelasan masyarakat, walaupun terjadi pemisahan areal geografis diantara mereka, mereka tetap menjalin hubungan persaudaraan mereka. Hal ini tampak jelas dengan kebiasaan budaya masyarakat Talang Mamak dan Melayu sebagai bentuk kesamaan identitas budaya mereka dahulunya sampai saat ini. Oleh sebab itulah sejak dahulu sampai sekarang ini masyarakatnya menjalankan filosofi leluhur mereka, bahwa orang Talang Mamak adalah “Orang Yang Tidak Akan Pernah Ingkar Janji”.
Orang Talang Mamak dahulunya belum memakai baju, hanya menggunakan cawat yang terbuat dari kayu terap. Mereka hidup dimana wilayah Talang (ladang) mereka. Sejak zaman penjajahan jepang, mereka masih menggunakan cawat dari kayu terap, setelah jaman kemerdekaan pakaian sudah mulai masuk dan menjadi bahan pakaian mereka. Setelah tahun 1970, pemerintah mulai menyarankan mereka hidup dengan bermukim dengan tujuan mempermudah administrasi. Hal inilah yang membuat budaya hidup disekitar Talang berganti menjadi bermukim.
Dalam kebudayaan mereka sehari-hari mereka dibantu oleh aparat adat yang memegang spesialisasi tersendiri sebagai pengayom mereka sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dimulai dari ketua adat sebagai pemimpin mereka di suatu wilayah kecil mereka, sampai dukun-dukun yang membantu mereka mulai dari kelahiran, kematian, bertani, mengatasi penyakit, sunat, ritual Kementan dan sebagainya.
 Perkiraan Sejarah & Struktur Kepemimpinan Kesultanan
Wilayah Batang Gansal - Rantau Langsat
SULTAN
 PATIH
 PENGHULU NAN TIGO
 BATIN
 MENTI
 DUBALANG
           (Sumber : Data Penelitian Lapangan Gabriel Sinaga, KKI WARSI 2015)
Untuk Wilayah Batang Gansal dahulunya dipimpin oleh Penghulu Nan Tigo (bawahan Patih) dengan istilah “Tunas Tebu Hitam Tiga Batang”. Adapun Struktur Penghulu Nan Tigo tersebut adalah sebagai berikut :
-          Ria Belimbing (sekarang ini menjadi Desa Belimbing) dengan lambang yang diberikan oleh Patih : “Cermin Besar Yang Tidak Padai Kabur”
-          Ria Tanjung (sekarang ini menjadi Desa Siambul), dengan lambang yang diberikan oleh Patih : “Damar yang Tidak Pandai Pandam”
-          Pemuncak Rantau Lansat (sekarang ini menjadi Desa Rantau Langsat), dengan lambang yang diberikan oleh Patih : “Benang Yang Tidak Pandai Kusut”
 Kepemimpinan Pemuncak Rantau Langsat dari era Datuk Patih dan Sultan Raja Kecik hingga Sistem Pemerintahan Kepala Desa saat ini :
        i.                        Pemuncak Kedemang
Beliau menjabat Selama ± 2 tahun lamanya. Di jaman muncak Kedemang, sudah mulai masuk ajaran agama Islam dan beliau sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
      ii.                        Pemuncak Nandak
Beliau menjabat selama ± 6-7 tahun lamanya. Sama juga halnya dengan muncak Kedemang yang sudah menganut agama Islam, tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
    iii.                        Pemuncak Mak Ijin
Beliau menjabat  selama ± 2 tahun lamanya. Sama juga halnya dengan muncak Nandak yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
    iv.                        Pemuncak Ria Kontong
Beliau menjabat  selama puluhan tahun sekitar  ± 10 tahun lebih lamanya. Sama juga halnya dengan muncak Mak Ijin  yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
      v.                        Pemuncak Ugin
Beliau menjabat  selama ± 20-30  tahun lamanya, sampai beliau meninggal. Sama juga halnya dengan muncak Ria Kontong yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
    vi.                        Pemuncak Atan Tajak
Beliau menjabat  selama ± 20an tahun lamanya sampai beliau tua. Sama juga halnya dengan muncak Ugin yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
  vii.                        Pemuncak Lalan
Beliau menjabat  selama ± 20an tahun lamanya. Sama juga halnya dengan muncak Atan Tajak yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
viii.                        Pemuncak Mak Isan
Beliau menjabat  selama ± 4 Bulan lamanya, dikarenakan aturan baru sistem pemerintahan pasca revolusi yang mengharuskan pemimpin di suatu kampung/desa itu harus tahu baca tulis. Dikarenakan beliau tidak bisa baca tulis, maka di gantikan oleh pemerintah dari pegawai Pamong Praja ketika itu oleh Mak Ali. Sama juga halnya beliau dengan muncak Lalan yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
    ix.                        Pelaksana Tugas Sementara - Pemuncak Mak ali (1969)
Beliau menjabat  selama ± 1 tahun lamanya. Sama juga halnya dengan muncak Kedemang hingga muncak Mak Isan yang sudah menganut agama Islam tetapi masih condong ke Talang Mamak. Hal ini dikarenakan beliau belum sepenuhnya menjalankan Syariat Islam.
      x.                        Pemuncak M. Saleh (1970)
Beliau menjabat  selama ± 15 tahun lamanya sejak tahun 1970 hingga tahun 1985, sampai beliau meninggal. Di jaman muncak M. Saleh, kepemimpinan beliau sudah menganut kepemimpinan muncak dalam balutan agama Islam secara murni dan tidak condong lagi ke budaya Talang Mamak sampai kepemimpinan muncak saat ini. Hal ini dikarenakan beliau sepenuhnya percaya untuk menjalankan Syariat Islam dan mempercayaai syahadat rasul Nabi Muhammad. Di jaman beliau sistem muncak sudah berganti dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia, yakni dengan nama Desa atau kepemimpinan Kepala Desa yang harus melapor secara administrasi ke kecamatan.
    xi.                        Pemuncak Hamzah (1985)
Beliau menjabat  selama ± 10 tahun lamanya sebagai kepala desa, sejak tahun 1985-1995.
  xii.                        Pemuncak Haji Baharuddin (1995)
Beliau menjabat  selama ± 10 tahun lamanya sebagai kepala desa, sejak tahun 1985-1995.
xiii.                        Pemuncak M. Nasir (2005)
Beliau menjabat  selama ± 9 tahun lamanya sebagai kepala desa, sejak tahun 2005-2014.
xiv.                        Pemuncak Supno Hatiro (2014-Sekarang)
(Sumber : Data Penelitian 2015)
 Hukum Adat yang Berlaku Bagi Masyarakat Lokal
v  Hukum Tingkat :
o   Hukum Aje / Hukum Ajar : Hukuman dengan diberi nasehat
o   Pesirihan
o   1 gantang beras dan 1 ekor ayam
o   10 gantang beras dan 1 ekor kambing serta uang tunai Rp. 1.200.000
Hukum tingkat merupakan hukuman yang diberikan pada seseorang atas kesalahan yang ia lakukan berdasarkan tingkatannya. Contohnya ketika kesalahan pertama yang dia lakukan, maka ia akan dihukum ajar. Ketika kedua kalinya dia berbuat kesalahan, maka ia akan memberikan pesirihan sebagai hukumannya dan selanjutnya. Hukum tingkat ini juga dapat berlaku sampai pada tingkat yang paling tinggi sesuai timbangan kesalahan yang dilakukan. Apabila hukum tidak selesai pada tingkatan hukum adat, maka akan diserahkan kepada Kepala Desa untuk kemudian diproses pada jalan perdamaian atau pada jalur hukum negara.
v  Hukum Milik :
Merupakan sebuah hukuman yang diberikan suami kepada seorang laki-laki yang berselingkuh ataupun berniat mendekati seorang istri seseorang/ego. Maka Hukuman yang harus ditanggung adalah membayar denda sejumlah uang sesuai yang diminta pemilik (suami) kepada laki-laki yang menyelingkuhi istri pemilik sebanyak jumlah yang diminta (tak terbatas minimum dan maksimum).
(Sumber : Data Hasil Penelitian 2015)
 C. Alam Sebagai Bagian Sumber Hidup Masyarakat Adat Suku Talang Mamak
Sistem bertahan hidup merupakan sebuah cara yang dilakukan seluruh golongan kelas dan kelompok sosial di masyarakat dalam mempertahankan hidup mereka dengan berbagai macam pola kegiatan baik itu secara tradisional maupun modern sekarang ini. Secara Sosial Budaya di suku Talang Mamak cenderung masih menggunakan sistem bertahan hidup dengan pola-pola tradisi nenek moyang ( datuk moyang) mereka dahulunya hingga saat ini yang tidak terlepas dari kalender musim (kondisi alam) dalam tradisi mereka. Alam merupakan teman dan sahabat yang dapat memberikan penghidupan kepada mereka, terlebih kepada Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hal ini juga tampak dari tradisi mereka mensahabati alam dengan ritual-ritual mereka di dalam hutan ketika ke suatu tempat dengan menggunakan sanggar (bambu tempat kemenyan), dimana secara mitologi yang mereka kultuskan  agar terjadi keseimbangan alam dalam kehidupan mereka yang jauh dari bencana dan penyakit.
Pola-pola sistem bertahan hidup yang dilakukan masyarakat suku Talang Mamak di kawasan hutan Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh saat ini adalah :
-  Menyuluh (berburu binatang hutan), merupakan kegiatan yang dilakukan secara individu maupun berkolompok di wilayah hutan dan sungai dengan menggunakan alat berburu seperti tombak (mata bangun melela), serta anjing pemburu sebagai teman mereka untuk pergi ke hutan. Kegiatan menyuluh pada kebiasaan mereka dilakukan pada malam hari dan ada juga siang hari. Namun seiring perkembangan peradaban, tradisi menyuluh ini pun mengalami perubahan  atas modernisasi alat berburu mereka. Perubahan tersebut terlihat dari peralatan berburu mereka saat ini seperti; Senapan angin. Kegiatan berburu ini juga tidak terlepas dari kalender musim yang mereka yakini sejak dahulu terkait dengan musim binatang apa yang sedang aktif berlalu-lintas di sekitar mereka. Dalam tradisinya ketika mendapat binatang buruan di dalam hutan, mereka biasanya memotong bagian-bagian binatang tersebut sebelum dibawa ke pmukiman mereka. Prinsip menyuluh ini juga memiliki prinsip kommunal atau kekeluargaan dalam pembagian hasil. Hal ini tampak ketika masyarakat mendapatkan binatang buruan, mereka membagi-bagikan sebahagian hasil buruan mereka kepada saudara/sanak terdekat mereka. Hal ini juga merupakan sistem sosial yang masih mereka pegang sampai saat ini yang mereka jaga. Hal ini juga berlaku apabila yang menerima hasil buruan saat ini suatu saat berburu, maka dia juga memberikan hasil buruannya sendiri kepada orang/sanak/saudara yang memberikannya hasil buruannya beberapa waktu lalu. Tradisi mereka ketika mendapatkan binatang buruan seperti kijang, rusa, dan landak biasanya langkah awal yang mereka lakukan adalah menyalai (mengasapi) daging. Berbeda dengan nangoi mereka terlebih dahulu menggoreng kulitnya untuk mengambil minyak babi yang kemudian minyak babi tersebut dapat mereka pakai untuk memasak konsumsi lauk-pauk. Setelah proses menggoreng kulit babi, mereka menjadikan kulit tersebut menjadi kerupuk kulit babi (ketupang) yang menjadi makanan khas lokal.
-  Menyolom, merupakan sebuah kegiatan mencari ikan di lubuk, lemamau, dan rantau-tantau aliran sungai yang dilakukan secara individu maupun berkelompok dengan menggunakan alat tradisional serampang (tombak ikan bermata trisula/garpu) dengan berjalan/berenang melawan arus sungai menggunakan alat penerangan pelita. Kegiatan menyuluh ini pada kebiasaan mereka dilakukan pada malam hari hinggu subuh. Seiring perkembangan zaman juga tradisi ini mengalami perubahan teknologi apa alat tangkap mereka sendiri seperti senapan ikan rakitan yang terbuat dari rangkaian besi kawat, karet ban bekas, serta kayu yang mereka bentuk sesuai selera mereka serta senter kepala sebagai penerangan dan kaca mata renang rakitan sendiri.
- Menjerat Binatang Buruan, merupakan kegiatan menjerat bianatang seperti nangoi dan babi hutan, rusa, kijang, dll dengan menggunakan tali (ijuk, nilon, dan tambang) yang mereka letakkan di sekitar lokasi lalu-lintas binatang. Kegiatan menjerat binatang buruan ini juga tidak terlepas dari kalender musim mereka, terkait migrasi dan lalu-lintas binatang buruan yang berada disekitar lokasi pemukiman mereka. Prinsip menjerat binatang buruan ni juga memiliki prinsip kommunal atau kekeluargaan. Hal ini tampak ketika masyarakat mendapatkan binatang dari hasil jerat mereka dengan membagi-bagikan hasil tangkapan mereka kepada saudara/sanak terdekat mereka. Hal ini juga merupakan sistem sosial yang masih mereka pegang sampai saat ini. Hal yang menarik dari kegiatan menjerat ini adalah, dimana ketika binatang yang mereka dapat belum dewasa, biasa yang mereka lakukan adalah membawanya ke pemukiman untuk mereka pelihara sampai pada waktuya dapat mereka konsumsi.
-  Bersiap/Besiap, merupakan kegiatan menjelajah hutan/rimba dengan cara mandah (bermalam/mengiap di hutan) selama beberapa hari hingga bermingu-minggu untuk mencari buah jernang dan kelukup serta buah-buahan hutan lainnya yang dapat mereka tukar dengan nilai mata uang kepada toke-toke di Dusun. Aktivitas kegiatan bersiap atau dengan dialeg bahasa lokalnya disebut besiap ini sudah sejak dahulu dilakukan para leluhur mereka. Kegiatan besiap ini dilakukan oleh masyarakat adat secara individu maupun kommunal dalam sebuah bedeng/camp. Sebelum berangkat besiap untuk mandah kedalam rimba, biasanya mereka membeli dahulu secara cash atau utang kepada toke-toke yang berada di dusun tempat mereka tinggal dengan syarat mereka harus menjual kembali hasil yang mereka dapat kepada toke yang memberi mereka bekal untuk pergi mandah kedalam hutan.
D.     Jenis Lahan Berdasarkan Penggunaannya Dalam Konseptual Masyarakat Adat Suku Talang Mamak
a.       Hutan Bunian : Adalah hutan yang di keramatkan oleh masyarakat yang tidak boleh di tinggalin dan dijadikan ladang. Biasanya Hutan Bunyian berada di sekitar sungai atau dekat rawa. Hutan bunyian ini biasanya tempat pemakaman leluhur mereka atau tempat mitologi Datuk Moyang Mereka seperti Lahum tempat pemakaman Datuk Harimau Putih, Lakai, Sambulinang, Malau, Sungai Kuning tembulun Datuk Sutan Limbayang yang berubah wujud menjadi Naga. Biasanya tempat ini mereka gunakan secara spiritual untuk bernazar dan memohon keberhasilan. Ciri khas wilayah ini terdapat banyak kayu bulian.
b.      Hutan Keramat : Adalah hutan yang di keramatkan oleh masyarakat yang tidak boleh di tinggalin dan dijadikan ladang. Biasanya Hutan Bunyian berada di daerah perbukitan seperti langkup.
c.       Hutan Puaka : Hutan Bunian dan Hutan Keramat di beberapa wilayah Batang Gansal (khususnya bagian hilir dari Sadan Hingga Nunusan) dipadukan menjadi satu konsep yaitu hutan puaka dengan pengertian yang sama dengan persepsi bunian dan keramat. Menurut mereka rimba puaka berisi orang bunian dan makam leluhur serta hutan yang bersumpah dan merupakan tempat binatang buas seperti ular dan harimau. Rimba Puaka biasanya di keramatkan oleh masyarakat tersebut berada di daerah perbukitan pinggiran lubuk serta perbukitan anak-anak sungai, seperti; Rimba Sibarau, Bukit Lubuk Kedomba, Bukit Batu Lintang, Bukit Sibibit, Bukit Sinunggal, Bukit Tunggul Ketebung, dll . Berbeda dengan wilayah hulu terlalu banyak pengistilahan hutan keramat dengan bunian dan keramat.
d.      Rimba: Adalah wilayah hutan yang belum pernah di kelola oleh masyarakat. Biasanya di wilayah ini terdapat jenis vegetasi kayu-kayuan seperti kempas, kayu batu, medang, kembap, seminai, keruing, kayu minyak, meranti batu.
e.       Kerimban : Adalah wilayah belukar tua yang sudah lama tidak dikelola dan berubah seperti rimba yang di tumbuhi oleh kayu-kayu ukuran sedang dan besar.
f.       Belukar : Adalah wilayah bekas sesab yang ditumbuhi oleh vegetasi kayu-kayuan berukuran kecil. Wilayah ini biasayanya terdapat jenis kayu-kayuan seperti melabai, mahang, meranti, aren, undang-undang, kempas, ambolingan, hara, terab, sentubung, tembesu, kawang, sembak tuak, bekar-bekar.
g.      Sesab : Adalah lahan yang sudah selesai dipanen padi. Biasanya wilayah ini di tumbuhi oleh ilalang-ilalang liar, dan sisa-sisa tumbuhan yang di tanam saat manugal seperti pisang hutan, pisang tanam, ubi, ketelo, tebu, semantung, kutil, dan jenis pohon-pohon kecil seperti karet, jernang, kandilau, kolat, capa, bekang, tapus.
h.      Kebun Karet: Adalah bekas belukar karet yang berukuran besar yang siap panen. Kegiatan berkebun karet ini sudah dimulai sekitar tahun 1970an dengan bibit karet liar yang mereka peroleh dari Desa Usul.
i.        Ladang : Wilayang pertalangan yang dibuka oleh masyarakat untuk berladang padi.
j.        Rimpahan : wilayah tanjung-tanjung sungai yang digunakan untuk bertanam tanaman selain padi. Biasaya ukuran rimpahan digunakan oleh komunitas adalah 1 piring atau 1 buju hektar atau sekitar seperempat hektar. Saat ini hanya sekitar 5 KK yang berimpahan. Kebiasaan mereka berimpahan karena tidak berladang.
E.     Klasifikasi Topografi Lingkungan Dalam Fungsi dan Pengelolaan Pada Perilaku Masyarakat Hilir DAS Gansal
Lubuk
Wilayah  sungai yang sangat dalam berdiameter lebar dan berarus tenang yang dimanfaatkan untuk Menyolom  ikan, Lubuk Larangan (Adat), dan Memancing ikan saat air banjir dan keruh. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain :
-Ikan Besar : Tilan, Barau, Tapa,  Belida, Kalui, Tengkelesi, Sema, Bujuk, Baung.
-Ikan  Kecil : Lelan, Kelari, Humbut, Repang-repang, Surat Bujo, Patung,  Pimping, Buntal, Siburuk, Paku, Kuyau.
Lemamau
Wilayah  sungai yang memiliki kedalaman sekitar 100-150 cm (ukuran pinggang dan dada  orang dewasa) yang berdiameter lebar dan berarus tenang yang dimanfaatkan untuk Menyolom,  Menjaring, dan Menjala ikan. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain :
- Ikan Besar : Tilan, Selimang, Sema,  Bujuk, Belida, Baung Rambai, Baung Gantang, Kalui.
-Ikan Kecil : Huda, Masai, Pimping  (dominan), Humbut (Dominan), Kelari, Lelan, Tilan, Surat Bujo, humbut,  Repang-repang (di Kuala anak sungai), Keli, Siburuk, Patung, Paku, Buntal
Rantau
Wilayah  sungai yang memiliki kedalaman sekitar lutut orang dewasa. Wilayah ini  terlihat dangkal dan berada di aliran arus air yang deras (Kederasan atau  pemuatan dalam istilah lokal) yang dimanfaatkan untuk Menjaring,  dan Menjala ikan, Mengambil air, Serta Jamban tempat MCK masyarakat. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain :
- Ikan Kecil : Kelari, Selimang, Masai, Tilan,  Pirik.
Pantai
Daratan  berpasir halus dan kasar di pinggiran sepadan sungai yang menjorok ke air  sungai dan berada di sekitar tanjung yang dimanfaatkan untuk Mengambil  Pasir untuk membangun rumah beton dan kebutuhan lainnya. Wilayah ini tidak  ada memiliki vegetasi.
Rawa  (Paya)
Daratan  berlumpur yang berada di pinggiran sungai yang dimanfaatkan untuk Menanam  kebutuhan makanan dan kebutuhan daun-daunan untuk dijadikan tikar. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain : Rumbia,  Pandan, Keladi (Talas), Buluh/Bambu, dan Kembahang.
Tanjung
Daerah  daratan yng berkelok sepadan sungai yang dimanfaatkan untuk Berladang,  Berimpahan, Berkebun karet, membangun pondok atau rumah tempat tinggal. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain : Tanaman  rimpahan, Tanaman Sesab, Tanaman Kerimban, dan Kebun Karet.
Renah  (Darat)
Daerah  datar yang dimanfaatkan untuk  pemukiman Dusun/Perumahan,  Tempat Tinggal, Berladang, Berimpahan, Berkebun Karet. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain : Duku,  Kulim, Ubi, tembakau, pinang, petai, rambutan, durian, rumbio, pandan,  bengkuang, dan tanaman pekarangan lainnya.
Lereng
Daerah  daratan yang memiliki kemiringan sekitar 10-15 derajat yang dimanfaatkan untuk Berladang  dan berkebun karet. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain : Tanaman  Kerimban, Belukar, Sesab, dan Karet.
Pematang
Daerah  daratan yang memiliki kemiringan sekitar 30-50 derajat yang dimanfaatkan untuk Berladang  dan Berkebun Karet. Vegetasi yang hidup di wilayah ini antaralain : Tanaman  Kerimban, Belukar, Sesab, dan Karet.
Bukit
Daerah  puncak daratan
Wilayah  Rimba Kontan/ Rimba Puaka
Wilayah bentang alam yang ditandai dengan vegetasi tumbuhan Kayu-kayuan  berukuran besar.
 F.    Bercocok Tanam “Berladang” dan “Rimpahan” Serta Berkebun Karet  Sebagai Tradisi Lama dan Tradisi Baru Dalam Mengola Alam Dalam Pemenuhan Sumber Penghidupan
Selain pemanfaatan hasil hutan yang dapat di kelola oleh masyarakat adat sebagai sumber hidup, mereka juga melakukan kegiatan kommunal dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari melalui pengelolaan lahan hutan, belukar, dan kerimban untuk bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam ini merupakan sebuah identitas jati diri masyrakat adat sebagai orang talang (peladang padi) di kawasan Hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Salah satu tradisi pemenuhan hidup melalui bercocok tanam ini juga tidak terlepas dari kegiatan spiritual kepercayaan lokal, hal ini tampak dengan berpengaruhnya secara mutlak peran dukun padi sebagai mediator masyarakat adat dengan alam dan sang penghulu alam (Tuhan dalam bahasa lokal) atas keberhasilan tanaman mereka. Proses bertanam ini juga tidak terlepas dari kalender musim yang mereka yakini berdasarkan penanggalan bulan melayu (sebulan lebih dahulu dari kalender awam masa kini).
Selain tersebut terdapat juga tradisi alternative bercocok tanam selain berladang padi, yakni konsep rimpahan yang dilakoni oleh masyarakat adat sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu juga pengenalan jenis tanaman perkebunan yang ekonomis sejak tahun 1950an juga menarik perhatian komunitas adat untuk bertanam karet dengan jenis karet liar yang mereka dapat dari desa seberang mereka. Maka untuk itu dapat kita lihat seperti apa gambaran kegiatan masyarakat adat dalam bercocok tanam di wilayah kawasan Bukit Tigapuluh :
a)      Berladang
·         Sistem dan pola Pembukaan Ladang Berpindah-pindah serta Pengelolaan Perladangan Suku Talang Mamak
Sistem pembukaan ladang pada masyarakat suku Talang Mamak yang berada di Datai di lakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
- Membuka Belukar Baru maupun Membuka Belukar Rimba yang sudah mereka olah dahulunya ataupun membuka belukar tua (kerimban) peninggalan orang tua / menantu mereka.
- Membuka sesab-sesab yang sudah lama tidak di kelola menjadi ladang.
- Membuka Rimba, apabila sudah tidak ada lagi belukar terdekat maka dilakukan pembukaan rimba dengan cara permisi dahulu kepada roh penunggu rimba dengan membawa sesajen/kemenyan bersama dukun padi agar si tuan ladang sehat/selamat dan tanaman yang mereka tanam dapat tumbuh dengan baik.
- Membuka belukar milik orang lain untuk di kelola secara pribadi dengan seizin pemilik lahan.
- Membuka hutan bunian/hutan keramat adalah solusi terakhir menurut mereka apabila sudah tidak ada lagi belukar dan rimba. Hal ini di lakukan dengan cara mensahabati penghuni-penghuni bunina/keramat dengan memberikan sesajen untuk permisi dahulu agar mereka dapat berladang di lahan tersebut tanpa ada bala.
(Sumber : Data Olah Survei Penelitian Lapangan 2016)
         Pola Pembukaan Ladang Berpindah-pindah
Pola pembukaan ladang beserta pola pantangan tyang terdapat pada masyarakat peladang suku Talang Mamak yang berada di Dusun Datai Adalah sebagai berikut :
a.       Menyurung Ke Depan : Adalah sebuah pola perluasan lahan dengan cara menambah bidang ladang kedepan ladang lama yang sudah di panen (menjadi sesab) pada tahun berikutnya.                                    
(Sumber : Data Olah Survei Penelitian Lapangan 2016)                                
b.      Kebar Jala Kiri : Adalah sebuah pola perluasan ladang dengan cara menambah bidang ladang secara serong ke kiri ladang lama yang sudah di panen (menjadi sesab) pada tahun berikutnya apabila sudah berbatasan di depan dengan ladang milik orang lain. Filosofi ini bagi masyarakat suku Talang Mamak dikarenakan menebar jala itu ke sebelah kiri, hal ini mengapa di katakan tebar jala kiri dalam pembukaan lahan baru.
(Sumber : Data Olah Survei Penelitian Lapangan 2016)
c.       Pungkang Bebalik (Bala) / Serong Kanan : Adalah pola pembukaan ladang yang di pantangkan oleh masyarakat ketika kembali ke sesab atau belukar sebelumnya tepat di belakang sebelumnya ketika masih ada sisa lahan kosong yang masih ada untuk di kelola. Hal ini berakibat pada penyakit (pada tanaman dan manusia yang mengelola tanah tersebut). Maka ubtuk itu disarankan tuan ladang untuk pindah membuka belukar yang sudah lama atau membuka rimba.
(Sumber : Data Olah Survei Penelitian Lapangan 2016)
 ·         Pengertian Berladang Bagi Masyarakat Adat
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam tanaman vegetasi padi gunung (padi gogo) pada lahan yang telah di buka secara tradisional pada kawasan renah, tanjung, maupun pematang dengan campuran beberapa vegetasi seperti : Padi tua {Bujang Palembang (merah), Ukal (putih), Sabak (putih)}; Padi halus {Kuruk (putih)}; Padi Pulut{Santan, Lidi, Sangkak, Hitam}; Petai; Joring; Kabau; Durian; Nangka; Pisang tanduk; Pisang tembatu; Pisang 40 hari; Pisang kapas; Pisang manis; Pisang jantan; Pisang rotan; Pisang lidi; Pisang rusa; Tebu kapur; Tebu udang; Ubi rambat; Ubi kayu; Kacang gagak; Ketelo; Kutil; Kundo; Jawa; Jolai; Bunga Abang (merah dan kuning); Labu; Timun kampung; Bayam kampung; Betik; Rempah; Kunyit; Terong kampung; Jagung; Cabai Rawit/Merah; Lopang; Gendulo; Tembakau; Selasih; Klansut; Keladi (jika ada wilayah rawa); Karet liar; Kemenyan; Serai; Rempah; Kunyit; Lengkuas; Jahe merah; dan Jahe putih. (Sumber : Data Survei Penelitian Lapangan 2016)
Dari jenis tanaman diatas dapat kita lihat bahwa alasan dan tujuan mereka berladang dalam tradisinya hingga saat ini. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, tujuan mereka berladang ini adalah untuk bahan makanan mereka sehari-harinya. Dalam kebiasaanya mereka sudah mempersiapkan makanan pengganti dan kebutuhan sayur untuk kebutuhan makanan mereka. Dilapangan kami mendapatkan data bahwa mereka itu memakan nasi 1-2x dalam sehari, selebihnya mereka memakan ubi.  Hal ini berbeda dengan masyarakat yang tidak berladang dan juga yang berimpahan.
Banyak pilihan menu makanan pengganti beras yang mengandung karbohidrat seperti jawa, jolai, labu, semantung, ketelo, jagung dan ubi-ubian yang di tanam di ladang. Selain itu juga banyak juga di tanam sayur-mayur dan rempah seperti timun, terung, pucuk ubi, dan cabai. Serta kebutuhan kacang dan manisan seperti tebu juga mereka miliki yang mereka kelola masih secara manual atau tradisional. Kesamaan perilaku masyarakat pada  zaman dahulu mereka juga bertanam rubio (sagu) dan aren (untuk manisan) sebagai kebutuhan tambahan mereka.
Bagi komunitas, terdapat beberapa alasan dan tujuan mengapa menanam tanaman tua (buah-buahan) di wilayah ladang mereka, antaralain :
- Untuk memperdekat akses mereka mendapatkan buah. Alasannya karena buah di rimba pasti semakin berkurang
- Sebagai bukti kepemilikan seseorang (tanda pondok) atas lahan tersebut di kemudian hari. Pepatah mereka menyebutkan “Totak Tikal, Hombang benawa” artinya adalah apabila orang yang membuka ladang itu pun sudah meninggal, itu sah tanda miliknya.
 ·         Proses Pengelolaan Sistem Berladang
     Tahapan perilaku masyarakat dalam mengelola lahan untuk berladang antara lain :
  i.   Melambas : Adalah proses permisi dengan orang ghaib (bunian) yang menghuni wilayah tersebut (rimba/belukar) melalui perantara seorang dukun padi dengan membawa sesajen. Setelah itu menanam beberapa jenis rumput-rumputan sebagai salah satu syarat, antara lain ; sitawar, sidingin, tebu hitam, keladi hitam, hati-hati hitam, dan hao-hao. Dalam kebiasaan mereka melambas rimba biasanya memilih wilayah rimba yang jenis tanahnya subur. Dalam kebiasaan mereka, tanah subur itu adalah tanah kijang (tanah kuning).
 ii.   Pesudian : Adalah proses melihat tanaman sesajen yang ditanam tersebut seminggu kemudian setelah dilakukannya melambas. Dalam tradisinya, apabila tanaman tersebut tidak rusak atau tumbuh, maka artinya adalah bahwa penunggunya mengizinkan si tuan ladang untuk mengelola tanah tersebut.
iii.   Menebas : Adalah kegiatan bergotong royong dalam proses menebas ilalang-ilang (rimba atau belukar) serta batang-batang pohon kecil, sebagai tanda membuka ladang sekaligus mengukur bukaan lahan dalam ukuran sebidang (paling sedikii 1 Ha dan paling luas 3 Ha).  Kegiatan ini dilakukan dengan cara pelarian (bergantian satu sama lain) menggunakan peralatan parang dan golok.
 iv.   Menumbang : Merupakan kegiatan bergotong royong dalam menumbang pohon-pohon besar di belukar setelah selesai menebas. Alat yang mereka gunakan pada kegiatan ini pada masa sekarang adalah Sinso. Pada dahulunya sebelum masuk mesin pemotong, mereka menggunakan peralatan tradisional yang bernama beliung. Dahulunya ketika menumbang menggunakan beliung dilakukan selama 1 bulan untuk luas 1-2 Ha. Namun sekarang ini dapat selesai selama1-2 hari dengan menggunakan sinso tergantung jumlah sinso yang digunakan.  Untuk wilayah hilir sedikit lebih cepat mengenal dan menggunakan alat potong mesin sinso sejak tahun 2004. Bagi mereka anggaran untuk proses menumbang sekitar Rp. 500.000 untuk membeli minyak + oli dan bahan makanan.
 v.   Amparebo : Merupakan waktu menunggu ilalang dan pohon-pohon mongering Dalam kebiasaan mereka untuk wilayah rimba membutuhkan waktu sekitar 2 bulan dan wilayah belukar sekitar 1 hingga 1 ½ bulan lamanya untuk mengeringkan dahan, batang, serta daun. Biasanya pada masa ini masyarakat mencari kegiatan yang ekonomis untuk melengkapi bekal untuk kegiatan manugal. Kegiatan yang mereka lakukan pada masa ini biasanya dengan cara bersiap mencari jernang ke hutan dan menakik karet untuk mendapatkan uang agar mereka dapat membayar ongkos atau biaya utang sebelumnya serta mempersiapkan uang untuk biaya membeli bibit dan sembako yang akan dipakai pada saat bersolang nantinya. Penanggung jawab fase ini hanyalah tuan ladang dan keluarga kecilnya terkhususnya kaum jantan.
 vi.   Membakar /Membake : Merupakan kegiatan membakar ilalang, pohon kecil, akar-akaran, dan pohon besar yang dilakukan oleh tuan ladang berserta keluarganya saja. Adapun bahan yang digunakan masyarakat dalam fase ini adalah bulu/bambu kering yang dicincang halus. Kemudian disebar ke belukar yang sudah kering untuk dibakar. Dalam kebiasaan mereka, waktu membakar ini dilakukan dalam kurun waktu 1 hari, sekaligus membutuhkan tenaga banyak orang untuk menjaga pinggiran lahan yang di bakar agar tidak merembes keluar batas lahan bukaan. Dalam kegiatan ini membutuhkan tenaga kurang lebih 20 orang untuk membakar dan menjaga piggiran yang dibakar. Dalam kegiatan ini biasanya tidak menggunakan biaya. Kegiatan ini biasanya dilakukan mulai jam 1 siang sampai jam 3 sore (untuk wilayah rimba) dan pukul 12 siang untuk wilayah belukar.
 vii.   Menunggu abu pocah : Adalah sebuah proses menunggu hujan turun agar abu-abu bekasa bakaran tersebut pecah dan meresap ke tanah. Biasanya pada masa ini ada juga yang menyelingi dengan menanam bibit karet. Sampel kajian ini adalah keluarga tayun yang menanam bibit karet sekitar 200 batang dan setelah panen tumbuh 150 batang.
 viii.   Manugal : Merupakan kegiatan menanam padi, biasanya kegiatan dilakukan pada bulan 8-bulan 9 secara bergilir oleh masing-masing tuan ladang. Kebiasaan masyarakat, malam sebelum manugal mereka berkumpul melakukan kegiatan masak besar untuk makanan besok paginya. Untuk serapan pagi biasanya si tuan ladang menyediakan pulut + ikan atau ayam. Untuk makan siang dalam tradisinya si tuan ladang menyediakan umbut bayas + ikan atau ayam. Aktor yang paling penting dalam kegiatan ini adalah Dukun Padi yang menjadi ceremonial legalitas spiritual masyarakat. Dimana yang paling awal pada kegiatan ini adalah Dukun Padi mendoakan semua benih yang akan ditanam yang dipersiapkan oleh tuan ladang beserta ramuan (URAS PADI) yang disiapkan dalam sebuah baskom atau tempurung kelapa untuk dilakukan ritual doanya seperti :
-  Daun kayu terab :  untuk uras benih pulut yang artinya supaya buahnya nanti lekat (lengket)
-  Daun kayu pimping : agar padi yang ditanam nantinya sehat
-  Urat (akar) pinang dan kelapa : yang artinya supaya ada penahan agar padi tidak rebah (tumbang).
           Kemudian setelah melakukan doa URAS PADI terhadap benih, dukun padi mengambil posisi di tengah lahan belukar sekitar 1-3 Ha. Setelah itu sang Dukun membuat lubang tanah di tanah menggunakan Tugal (tongkat kayu/ruyung yang terbuat dari kayu nibung) dengan membuat lobang 5 titik dengan 4 segi pada kolom penanaman padi tua, kemudian di tengah titik 4 segi tersebut di buat satu lubang lagi yang menjadi lubang pertama yang ditanam benih oleh dukun. Kemudian mengisi lubang yang 4 lagi dengan benih, setelah itu sang dukun menancapkan Tugal Tuha secara kuat di dekat lubang pertama tadi yang disebut dan kemudian dibungkus dengan daun pengibat nasi sebagai RUMAH. Tugal tersebut dibiarkan tertancap ditengah ladang sampai menuai/memanen dan tidak boleh dicabut. Hal ini memiliki filosofi bagi komunitas peladang supaya orang yang bekerja nantinya merasa teduh. Setelah dukun padi selesai melakukan tugasnya, kemudian dilanjutkan oleh masyarakat yang ikut bersolang. Saat manugal, tugal harus tegak terus manugal sekitar 10-40 orang atau lebih dengan berbaris menggunakan tugal masing-masing untuk melubangi tanah yang diikuti oleh penanam benih sekitar 10-20 orang untuk menanam benih secara teratur yang berjaran 20-30 cm. Disamping itu juga, di sela-sela jarak antara bibit padi tersebut ditanami bibit sayur-sayuran, cabai, umbi-umbian, dan tanaman lainnya.
 ix. Menanam Tanda Pondok di tengah dan pinggir ladang serta Pesisihan di pinggiran ladang: Kegiatan ini biasanya dilakukan 1 minggu setelah manugal. Hal ini dilakukan komunitas menunggu padi hidup. Dalam kebiasaanya masyarakat ada yang menanam karet paling sedikit sekitar 500 batang, namun yang hidup 200an. Bahkan ada juga yang menanam hingga 2.000 batang, namun yang hidup hanyalah sekitar 300an batang. Setelah itu menanam petai (10 s/d 30 batang), menanam durian (3 s/d 5 batang), menanam , bidara putih, sibonggang, dan rambutan. 
x. Besiang/ menyiangi : adalah menjaga tanaman serta menunggu panen selama 5 bulan. kegiatan memboloh atau menjaga dan membersihkan tanah penanaman padi yang sudah berumur 2 bulan untuk mentiangi  rumput dan menerang padi. Kegiatan menunggu selama 5 bulan mereka isi dengan aktivitas yang bersifat ekonomi yakni dengan mencari jernang (bersiap) dan menakik karet yang dilakukan oleh kaum jantan (laki-laki) untuk dapat dijual hasilnya. Kegiatan merawat tanaman adalah tugas kaum perempuan/betina. Dimana dari beberapa informan terungkap sama antara hulu dan hilir yaitu “baik/buruknya suatu tanaman itu tergantung dari kerajinan betina”. Namun disisi lain menurut mereka, masa menunggu ini juga tergantung pada kesuburan tanah dan kualitas bibit yang mereka tanam “Pada wilayah hulu dan hilir DAS Gansal TNBT juga sudah terdapat perubahan sistem menyiangi di masyarakat peladang yaitu : pada fase ini mengeluarkan biaya upah dan biaya makan orang lain (laki-laki) untuk merawat padinya. Biaya upah yang dia keluarkan adalah Rp. 50.000 / hari per orang, atau dengan cara borongan senilai Rp. 150.000 hingga Rp. 200.000/20 m persegi upah per orangnya. Alasan dia mengupah orang dikarenakan istri / kaum betinanya tidak sanggup sendirian untuk menyiangi, sementara dia ke rimba untuk mencari jernang dan kelukup. Menurutnya tugas laki-laki adalah mencari nafkah. Setelah menyiangi, saat padi mulai tumbuh bulir, biasanya mereka melakukan penjagaan padi sepanjang hari dari cegak, beruk, dan burung dengan cara menembak dan menghalau burung dengan cara menjalang ( mendatangi kumpulan burung untuk mengusir dengan tangan).
  xi.  Menuai : Merupakan kegiatan panen yang dilakukan secara kommunal oleh masyarakat sebanyak 10-13 orang setiap dua hari sekali secara bergantian dengan orang yang berbeda pada kebiasaan mereka. Namun, sebagai opening ceremonial spiritual pada kegiatan ini tetap didahului oleh Dukun Padi dengan mengikat 3 tangkai padi dengan lilin dan dibungkus dengan kain. Setelah mereka memotong padi mereka membawa Kombut (bakul) dan sendang yang digendong masing-masing orang yang hasilnya akan di kumpulkan di sebuah lumbung (Kopuk) yang berdiameter 1,5 m dan tinggi 1 m. Masing-masing orang secara bergantian tadi dikoordinir oleh orang kepercayaan tuan ladang yang dipanggil khusus oleh tuan ladang untuk mengawasi para penuai dan memberi makan para penuai di ladang. Setelah itu para penuai mendapatkan upah hasil dari menebas-menuai.
 xii.  Sulung Tahun / Syukuran menuai : Hal ini dilakukan 3 hari setelah menuai hasil, sembari menunggu hasil tuaian di ladang selesai beberapa hari kemudian.  Kegiatan ini bermaksud untuk memberi makan peralatan-peralatan yang dipakai ketika manobas-bersolang dan mengundang masyarakat beserta kerabat dekat mereka. Sistematika memberi makan peralatan bertani dilakukan dengan memasak satu periuk khusus terlebih dahulu hasil beras yang sudah dijemur sehari, kemudian setelah masak nasi tersebut si tuan ladang mengambil satu butir nasi kemudian memberi makan peralatan bertani dengan menusukkan bulir basi tersebut ke ujung mata parang, beliung, dan pisau mereka. Kemudian setelah itu selesai, maka dimulailah memasak untuk orang banyak. Kegiatan ini di isi oleh muda-mudi dalam bersolang membantu tuan ladang menumbuk padi dengan menggunakan lesung untuk dimakan beramai-ramai.
 xiii. Timbang Upah padi : Merupakan kegiatan memberikan upah tuai kepada Dukun Padi oleh tuan ladang.  Upah yang diberikan berupa padi yang baru dituai sekitar 1-2 Kaleng maupun lebih seikhlas tuan ladang, sebagaimana banyaknya hasil panen yang didapat. Dahulunya kegiatan ini dilakukan oleh tuan ladang beserta keluarganya dengan cara datang ke rumah Dukun Padi itu sendiri sambil membawa makanan untuk memberi makan Dukun Padi dan keluarganya. Namun sekarang ini sudah disatukan dengan kegitan syukuran hasil panen pertama yang dilakukan di rumah tuan ladang. Hal ini mereka lakukan dengan alasan untuk mempersingkat waktu agar tidak terlu merumitkan mereka. Biasanya kebanyakan diantara masyarakat peladang melakukan timbang upah dukun pada dua tahun berikutnya atau istilahnya pada tahun ketiga.
 xiv. Memelihara Sesab dan Merawat tanaman karet muda. Dalam kebiasaannya Sesab hanya bertahan selama 1 tahun menjadi belukar, dikarenakan akan ada sesab baru seusai memanen. Ada juga sesab bertahan dirawat selama 2 tahun menjadi belukar apabila tidak berladang.
Catatan penting yang perlu diketahui dari proses diatas adalah terdapatnya sistem pembagian kerja dalam keluarga. Pembagian kerja yang terjadi di dalam keluarga adalah pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Dalam proses pembukaan lahan untuk berladang padi, laki-laki memiliki peran secara mutlak untuk menumbang, menebas, hingga manugal padi. Kemudian setelah itu proses momboloh/menyiangi/merawat dan menjaga tanaman setelah di tanam hingga saatnya menuai/masa panen adalah tugas kaum perempuan dalam keluarga. Banyaknya jumlah anggota keluarga dalam masyarakat adat juga sebagai salah satu indikator pembagian kerja hingga saat ini. Hal ini dikarenakan pola pertanian yang digunakan masih tradisional dan berdampingan dengan kawasan hutan yang memiliki variasi fauna/binatang yang mereka anggap sebagai hama/musuh bagi tanaman mereka.
b)     Rimpahan
Rimpahan merupakan kegiatan bercocok tanam bagi masyarakat yang tidak berladang padi. Syarat berimpahan antaralain bagi masyarakat adalah : ada tanaman (kecuali jolai dan jawa karena itu merupakan vegetasi pasangan padi dalam ladang), ada pondok , berada di tanjung/di pantai sepadan sungai, ukuran sepiring/satu buju hektar atau sekitar ¼ Ha dalam sebidang. Disebut rimpahan itu artinya lahan pertanian tersebut berada di luar dusun terpisah dan tersendiri.
Perilaku yang di dapat di lapangan, komunitas dalam membuka rimpahan dengan cara membuka belukar karet tua, serta kerimban. Mayoritas mereka membuka di wilayah tanjung (tikungan rantau atau lubuk) dengan tipologi tanah yang sedikit terlihat datar (renah) dengan luasan rata-rata sekitar ¼ Ha atau lebih.
Perilaku masyarakat hilir dalam mengelola lahan rimpahan antaralain :
·         Menebas (1 orang dalam waktu 1 minggu)
·         Menumbang ( 2 orang dalam waktu 10 hari)
·         Amparebo (sekitar 1 bulan)
·         Membakar/membake
·         Memumpun/menajak (membersihkan bekas bakaran dengan membakar kembali sisa-sisa bakaran dengan mengumpul dan menumpukkannya menjadi satu untuk dibakar, kegiatan ini dilakukan selama 1 minggu)
·         Menanam
·         Besiang
·         Menjaga di malam hari dari gangguan hama.
Dari proses diatas, proses tersebut juga tidak terlepas dari sistem pembagian kerja dalam keluarga antara laki-laki dan perempuan. Dalam proses pembukaan lahan untuk berladang padi, laki-laki memiliki peran secara mutlak untuk menumbang, menebas, hingga menyemai bibit-bibit tanaman. Kemudian setelah itu proses momboloh/menyiangi/merawat dan menjaga tanaman setelah di tanam hingga saatnya menuai/masa panen adalah tugas kaum perempuan dalam keluarga (khususnya dari pagi hingga sore hari), dan pada malam hari tugas menjaga adalah tugasnya para laki-laki.
Vegetasi Rimpahan Bibit Tanam :
Ubi  Kayu
Daun  Katu
Cabai  rawit
Nangka
Karet
Kundo
Klansut
Petai
Tembakau
Kledek  atau Ubi Jalar
Timun
Serai
Pinang
Rumbio
Kutil
Bayam
Kunyit
Duku
Labu
Kacang  panjang
Jahe
Pisang  Jantan
Kangkung
Lengkuas
Pisang  manis
Gendulo
Terong
Priya
Pisang  40 hari
Rempah
Betik
Sumber : Data Penelitian Lapangan 2016
 Vegetasi Konsumsi Tanaman Liar di Rimpahan :
Rebung Bambu Hao
Sayur
Pakis
Sayur
Kambas
Sayur
Lopang
Sayur
Jantung Pisang Hutan
Sayur
Sumber : Data Penelitian Lapangan 2016
Vegetasi Musuh atau Hama Tanaman di Rimpahan dan Sasaran  Tanaman :
- Cegak merusak Semua  tanaman saat Pagi  s/d Sore
- Lutung Memakan  daun tanaman saat Pagi  s/d Sore
- Tupai Memakan  pisang saat Malam
- Tikus  Hutan Memakan  kledek dan ubi saat Malam
- Simpai Memakan  daun tanaman saat Pagi  s/d Sore
- Babi  (Nangoi) Memakan  ubi, kledek, dan batang pisang saat Malam
- Beruk memakan Semua  tanaman saat Pagi  s/d Sore
- Landak Memakan  ubi, labu, kund saat Malam
- Rusa Memakan  daun-daunan ; ubi, cabai, rempah, kledek, karet. Serta kulit karet saat Malam
- Ular  Sawah memakan Hewan  ternak (ayam) saat Malam
- Musang memakan Hewan  ternak (ayam) saat Malam
Cara mengusir hama :
1.   Dengan cara menggunakan anjing,
2.   Dengan menggunakan belantik (ranjau bambu),
3.   Menghalau,
4.   Melempar,
5.   Poci (ketapel).
c)      Berkebun Karet Sebagai Pertanian Masa Kini
Berkebun karet merupakan kegiatan bertanam yang sudah dilakukan oleh masyarakat adat suku Talang Mamak sekitar tahun 1950an s/d 1970an. Jenis karet yang mereka tanam adalah jenis karet liar yang dapat mereka sadap/takik/deres/potong setelah 14 tahun dimulai masa tanam. Kegiatan memelihara karet ini merupakan sebuah kelanjutan dari proses menuai/memanen padi.
Dahulu ketika berladang kebiasaan mereka menanam tanaman-tanaman tua berupa pohon buah-buahan sebagai tanda pondok / tanda kepemilikan lahan dan sekaligus pesisihan/batas tanah kepemilikan. Namun, kini berubah menjadi karet dikarenakan pengaruh komoditas ini bernilai ekonomis. Dalam kebiasaan masyarakat adat setelah karet sudah mulai berumur 2 tahun, biasanya mereka menghentikan aktivitas berladang padi mereka untuk merawat karet mereka dengan membersihkan ilalang-ilang di belukar karet mereka dan menjaga dari gangguan hama binatang perusak tanaman seperti rusa, kijang, cegak, dan beruk.
Dalam kajian perilaku masyarakat adat mengelola tanaman karet, mereka biasanya menumpuk karet mereka di dalam lubang tanah bentuk persegi dengan dalam sekitar 1 m yang mereka katakana sebagai pemasak karet sekitar 1-2 bulan lamanya yang kemudian mereka jual setelah mereka satukan dengan campuran susu / getah baru karet untuk di jual ke hilir menggunakan rakit melalui akses sungai Batang Gansal dengan lama sekitar 1 s/d 2 hari lamanya.
Sudah 4 tahun lamanya masyarakat adat kewalahan dengan harga komoditas karet yang begitu menurun drastis, membuat mereka meninggalkan perawatannya begitu saja dikarenakan kegiatan menyadap karet kurang bernilai ekonomis ditambah medan dan akses mereka menyadap hingga menjual. Namun sampai kini masih saja ada beberapa individu maupun kelompok yang masih bertahan menyadap karet pada harga harga di bawah minum pasar untuk bertahan hidup. Hal ini dikarenakan alasan kondisi fisik dan kesehatan mereka yang tidak kuat lagi untuk berjalan dan mendaki ke dalam hutan untuk mencari hasil-hasil hutan untuk di jual ke toke.
 G. Peranan   Dukun-Dukun Dalam Kehidupan Sosial Budaya Suku Talang Mamak & Melayu
Dukun merupakan sebuah keahlian yang dimiliki seseorang dalam masyarakat adat untuk kepentingan masyarakat secara umum. Keahlian yang dimiliki tersebut dapat berupa keahlian bidang pertanian, persunatan, persalinan, prosesi upacara kematian,  pengobatan kecil dan besar, dan ritual-ritual khusus di masyarakat. Perlu khalayak umum mengetahui, bahwa dukun-dukun yang berperan di masyarakat ini merupakan peran atau tanggung jawab yang diemban oleh seseorang karena fakktor keturunan dari keluarga mereka secara turun-temurun pada masyarakat Talang Mamak (Langkah Lama) dan Melayu Langkah Baru. Adapun dukun dan perannya dimasyarakat suku Talang Mamak dan Melayu di kawasan Bukit Tigapuluh adalah sebagai berikut :
a.       Dukun Padi : adalah seseorang yang memiliki sebuah keahlian untuk membuat jampi (mantra) dalam penentuan lokasi berladang, mediator manusia dengan penghuni hutan (ghaib), pemberkatan benih-benih padi serta prosesi awal penanaman benih (manugal) dan syukuran usai memanen (sulung tahun). Biasanya dukun padi ini dilakoni oleh kaum laki-laki. Setelah segala proses selesai, biasanya masyarakat melakukan Timbang Upah Dukun kepada dukun yang membantu keluarga tersebut dalam berladang padi.
b.      Dukun Kandung : adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk merawat ibu hamil dari usia kandungan 6 bulan hingga prosesi melahirkan. Biasanya dukun padi ini dilakoni oleh kaum laki-laki. Setelah segala proses selesai, biasanya masyarakat melakukan Timbang Upah Dukun kepada dukun yang membantu keluarga tersebut dalam persalinan ibu hamil setelah dilakukannya syukuran kelahiran anak (cuci lantai). Dukun kandung biasanya berjenis kelamin perempuan. Setelah selesai persalinan biasanya ibu dan bayi akan menjadi peliharaan (tanggung jawab) dukun kandung di rumahnya sampai ibu dan bayi tersebut benar-benar cukup sehat.
c.       Dukun Isap : adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit-penyakit sederhana secara individu-individu seperti demam, batuk, penyakit ghaib dengan cara menghisap melalui perantara Datuk Moyang (leluhur) mereka tanpa adanya ritual khusus dan sesajen. Biasanya dukun isap ini di lakoni oleh kaum laki-laki. Apabila seseorang yang terkena penyakit dan membutuhkan perawatan, biasanya individu yang sakit tersebut akan menjadi peliharaan (tanggungjawab perawatan) di rumah sang dukun sampai betul-betul dalam kondisi pulih.
d.      Dukun Kementan : adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit-penyakit sederhana dan parah melalui perantara Datuk Moyang (leluhur) mereka melaui ritual khusus dan sesajen yang dilakukan harus secara massal selama 3 hari  2 malam. Biasanya dukun isap ini dilakoni oleh laki-laki. Kementan terdiri dari dua kegiatan yakni kementan besar dan kementan kecil (bepeko). Perbedaannya hanyalah riatual, kalau di kementan besar masyarakat menyiapkan berbagai sesajen segala ritualnya diiringi oleh tarian dengan lantunan alat musik gendang dan ketebung. Sementara bepeko tidak menggunakan sesajen dan peralatan-peralatan musik tarian pemanggil roh, melaikan hanya melalui jampi saja untuk memanggil roh leluhur  untuk merasuk kedalam raga seorang dukun.
e.       Dukun Potong : adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk melakukan prosesi ritual persunatan terhadap usia remaja kaum laki-laki. Biasanya dukun potong ini dilakoni oleh kaum laki-laki. Setelah selesai upara persunatan biasanya remaja yang baru saja di sunat akan menjadi peliharaan (tanggung jawab) dukun padi di rumahnya sampai seorang remaja laki-laki benar-benar cukup sehat untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing. Untuk dukun potong ini saat ini hanya kaum langkah lama  dan yang beragama katolik saja yang memakai. Bagi kaum melayu langkah baru (Muslim) sudah menggunakan sunatan massal di wilayah mereka ataupun di desa.
f.       Dukun Hantu : adalah seseorang yang memiliki keahlian untuk melakukan prosesi ritual persemayaman kematian, penguburan, hingga acara pencoraian 7 hari sebagai akhir perpisahan manusia dengan arwah keluarga yang baru meninggal dengan memberikan makanan terakhir keapada arwah yang meninggal. Biasanya dukun potong ini dilakoni oleh kaum laki-laki. Dukun ini sekarang masih dipakai pada kaum langkah lama dan yang menganut agama katolik (terjadi inkulturasi budaya lokal dan agama).
Peranan dukun-dukun tersebut merupakan yang selalu memiliki peran dalam semua lini kehidupan masyarakat adat tradisional dengan sistem yang tradisional. Hal ini terlihat dimulai dari sistem pemenuhan kebutuhan hidup (kebutuhan primer) melalui dukun padi untuk sistem  perladangan masyarakat adat Talang Mamak dan Melayu. Sistem kesehatan tradisional tampak juga melalui beberapa peranan dukun seperti dukun kandung, dukun potong, dukun isap, dan dukun kementan. Peranan dukun dalam upacara kematian juga dilakoni oleh dukun hantu. Hal ini menjelaskan bahwa peranan dukun yang masih dipakai hingga saat ini menunjukkan ciri khas mereka sebagai masyarakat adat yang masih mengelola tatanan sosial mereka secara tradisional melalui peranan-peranan dukun yang di tunjuk langsung oleh ketua adat (orang yang dituakan), Kepala Dusun (Kadus), dan Ketua RT  pada sebuah lokal masing-masing Dusun.
TENTANG PENULIS :
Penulis merupakan Alumni Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Departemen Sosiologi angkatan 2010 dan menyelesaikan studi S1-nya pada Juli 2015. Penulis juga merupakan aktivis organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat FISIP USU (2010-2018) dan pernah menjabat sebagai Bendahara Komisariat FISIP USU (2011-2012) dan Wakil Komisaris Bidang Politik (2012-2013). Penulis juga bergabung dalam komunitas mahasiswa Keluarga Mahasiswa Katolik St. Yohannes Don Bosco Fisip USU (2010-2015) dan Biro Kerohanian Keluarga Mahasiswa Katolik St. Albertus Magnus Universitas Sumatera Utara (2011-2012). Penulis Juga aktif dalam organisasi kedaerahan sebagai Dewan Pendiri Himpunan Mahasiswa Batak Toba Universitas Sumatera Utara (2014). Pada tahun 2015 penulis juga bergabung bersama Peguruan Kung’ Fu Naga Sakti Siaw Lim Sie Indonesia sebagai penanggungjawab Sasana FISIP USU. Setelah menamatkan kuliahnya penulis sempat bekerja sebagai staff di salah satu perusahaan asing milik Korea di Medan, Sumatera Utara (Juli-Agustus 2015). Setelah itu pada September 2015 penulis bergabung bersama Lembaga Swadaya Masyarakat Komunitas Konservasi Indonesia WARSI di Jambi sebagai staff Fasilitator Komunitas Adat yang bertugas mendampingi masyarakat adat di wilayah kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hulu.
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 8 years ago
Text
Parmalim dan Ekspresi Ritual Sipaha Lima “Wajah Agama Lokal Penghayat Suku Batak Toba Sebagai Bagian dari Keberagaman Sebagai Bingkai Bhineka Tunggal Ika” Penulis : Gabriel P. H. Sinaga, S.Sos (Aktivis NGO Aliansi Sumut Bersatu) & Nella Sriulina Hutapea (Mahasiswi Sekolah Tinggi Bibelvrow HKBP)
I.                   Pengantar :
Parmalim merupakan salah satu agama penghayat / agama leluhur yang berasal dari Tanah Batak dan berada ditengah-tengah masyarakat suku Batak Toba. Pendiri ajaran parmalim adalah Raja Mulia Naipospos. Beliau dahulunya adalah seorang Guru Huria HKBP saat sedangan dijalankannya missi penginjilan oleh Nomensen di Tanah Batak. Raja Mulia sempat mengabdi di Gereja HKBP Hutahaen  Lagu Boti sebagai Guru Huria dan sempat bersama-sama berjuang bersama missionaries Kristen Nomensen. Hal ini merupakan penuturan dari salah satu DPP Parmalim yang berasal dari Jakarta yakni Bapak halasan Sirait. Namun, setelah itu Raja Mulia Naipospos keluar dari Kristen dan kembali mengabdi sebagai seorang imam pada identitas kesukuan yang beliau miliki. Salah satu ajaran dari leluhur yang paling erat mereka laksanakan adalah ajaran Malim yang artinya kesucian. Bagi Parmalim yang mereka pujiadalah pencipta alam semesta atau Tuhan dalam bahasa kekinian yang  mereka sebut dalam bahasa Batak Toba Mula Jadi Nabolon.
Penulis Nella Sriulina Hutapea merupakan seorang Mahasiswi Sekolah Tinggi Bibelvrow HKBP kampus Laguboti yang sedang menduduki bangku Semester 5 yang berasal dari Duri, Riau. Dan Gabriel Patricio Hardianto Sinaga, S.Sos merupakan Seorang Aktivis NGO Aliansi Sumut Bersatu. Sebelumnya Gabriel merupakan aktivis NGO Lingkungan di daerah Jambi yang aktiv dalam kerja-kerja Konservasi Lingkungan sebagai fasilitator dan ikut serta penelitian dan advokasi atas hak hidup dan penghidupan komunitas Suku Anak Dalam (SAD) Suku Talang Mamak di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Riau.
II.                Isi
6 Juli 2017 saya (Nella Hutapea) sebagai mahasiswi Sekolah Tinggi Bibelvrow HKBP kampus Laguboti sedang melakukan kegiatan akademik magang di sebuah lembaga NGO Aliansi Sumut Bersatu (ASB).  Di lembaga ASB saya banyak belajar mengenai keberagaman atau pluralism terkait identitas-identitas yang beragam yang dimiliki oleh masyarakat. Saya belajar melalui peran lembaga tersebut dalam advokasi atas pengakuan-pengakuan identitas masyarakat dan salah satunya identitas tersebut adalah kalangan masyarakat Penghayat atau penganut agama leluhur khususnya di wilayah Medan dan Deliserdang, Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini saya mengikuti acara besar yang dilaksakan oleh seluruh  umat Parmalim. Kegiatan ritual  Parmalim diadakan selama 3 hari berturut-turut yaitu pada 5/7 Juli 2017 sebagai hari mengucap syukur/Hari Raya Besar dalam konteks keagamaan yang dinamakan Sipaha Lima oleh umat Parmalim dari seluruh Indonesia seperti dari Sumatera Utara, Riau, Jambi, Palembang, dan Jakarta . Ritual tersebut di pimpin oleh Raja Ihutan Poltak Naipospos, sebagai  pengganti dari Raja Ihutan Marnakkok Naipospos yang meninggal beberapa bulan yang lalu. Kegiatan ritual ini diikuti oleh orang tua maupun anak-anak yang remaja dan bahkan anak-anak yang masi kecil. Acara ini adalah acara yang untuk pertama kali dilakukan di Kota Medan tepatnya di Bale Parsantian Jl. Air Bersih Ujung, Medan., yang merupakan bagian dari Bale Pasogit Huta Tinggi Laguboti. Acara ini juga merupakan acara ucapan tanda syukur mereka kepada Oppung Mula Jadi Nabolon (Tuhan).
Acara sipahalima merupakan acara yang di lakukan 1 kali dalam satu tahun. Kegiatan Sipaha Lima merupakan ritual ucapan yukur kepada Tuhan (Mula Jadi Nabolon) atas rezeki yang mereka dapatkan selama satu tahun dan berharap akan diberikan lagi berkat yang berlimpah dari Tuhan atas kehidupan mereka di tahun berikutnya.
           Adapun ritual yang dilakukan selama berlangsungnya Sipaha Lima, yaitu acara Parsahadaton sebagai acara pembuka , kemudian ritual Pameleon Bolon Sipaha Lima yang menjadi acara puncak di hari kedua, serta acara penutup dihari ketiga. Pada hari pertama, team dari staff Projek Officer Aliansi Sumut Bersatu (Gabriel P. H. Sinaga,S.Sos & Dessy Hutajulu,S.Sos) ikut dalam  menyaksikan kegiatan komunitas dampingan Parmalim dalam melakukan ritual Parsahadaton. Kegiatan ini dibuka dengan berupa doa dan sambutan dari Raja Ihutan mengenai Harapan dan semangat juga pesan-pesan leluhur terhadap umatnya. Setelah itu dilakukan tor-tor parsahadaton yang diiringi Ogung Sabangunan (Alat Musik Tradisional Batak Toba seperti Tagading, Sarune, Ogung, Doal, Pangkeseki) oleh semua ruas atau cabang-cabang Parmalim Bale Pasogit Huta Tinggi Laguboti dari selutuh Indonesia yang dikepalai oleg Ulu Punguan masing-masing wilayah.
Bagi saya (Nella Hutapea) penampilan mereka yang tampak saya lihat sebagai seorang pengunjung pada saat itu ialah,  jika dia perempuan maka harus memakai kebaya, ulos,sarung, dan  juga rambutnya diharnet. Begitu juga dengan laki-laki memakai kain berwarna putih yang diikat diatas kepala seperti sorban (Tali-Tali dalam bahasa batak)  yaitu untuk laki-laki yang sudah menikah, ulos, dan sarung. Akan tetapi diantara mereka ada memakai ulos yang diatasnya dilapisi kain berwarna putih (khususnya bagi pimpinan-pimpinan Parmalim) , dan itu menandakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bekerja dilingkungan Parsantian, dan kalau anak-anak juga sudah diajarkan untuk memakai sarung dan juga rambutnya di harnet dengan rapi, mereka juga tidak memakai alas kaki ( sandal, sepatu) di sekitar kompleks peribadatan dengan anggapan bahwa tempatan peribadatan adalah sakral dan suci.
Adapun acara yang dilakukan pada  ritual Pamelean Bolon terlihat memberikan beberapa persembahan kepada Tuhan (Mula Jadi Nabolon) seperti ayam, kambing, ikan yang sudah dimasak  dan jeruk purut di dalam cawan yang sebelumnya sudah di doakan di dalam rumah ibadah. . Sekitar 12:30 WIB Ogung Sabangunan di lantunkan sambil pimpinan-pimpinan Parmalim berbaris dari dalam rumah ibadah dengan tangan bersambut saling mengirimkan persembahan yang disusun oleh Raja Ihutan di panggung utama yang dinamakan langgatan. Acara tersebut begitu khusuk dan sebelumnya mereka juga sudah menyediakan tempat untuk pengikat kerbau di tengah-tengah halaman yang dinamakan Borotan yaitu di samping Langgatan. Borotan merupakan simbolisasi ekologi adat masyarakat Batak Toba dan juga bagian dari kepercayaan masyarakat komunitas parmalim terhadap lingkungan, maknanya ialah ketika menebang pohon maka harus menanam pohon kembali dalam menjaga keseimbangan alam.
Sebelumnya Pargonci melantunkan alunan Gondang saat  kerbau dikeluarkan dari tempatnya, yang dibawa oleh banyak orang mengelilingi parsantian sebanyak satu kali sambil manortor. Makna kerbau dibawa keliling ialah, jika kerbau berjalan dengan baik dan tidak melawan, itu artinya kerbau tersebut adalah kerbau yang baik dan mau menurut yang artinya persembahan mereka diterima oleh opung mula jadi nabolon setelah selesai mengelilingi parsantian kemudian Kerbau diikat diPohon Borotan.
           Setelah selesai kerbau diikat, dan kerbau dibiarkan di tempat tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan acara panortor parhobason, yaitu yang bertujuan untuk meminta kekuatan dan petunjuk kepada Opung Mula Jadi Nabolon (Tuhan) ketika mereka memotong kerbau. Acara selanjutnya mereka juga memberikan persembahan mereka berupa makanan dan diletakkakn ditengah-tengah langgatan yang dipimpin oleh Raja Ihutan. Setelah persembahan ucap syukur sudah lengkap, Raja Ihutan Memimpin doa-doa kepada Tuhan dan memohon berkat terhadap umatnya serta memberikan wejangan-wejangan pewahyuan atau dalam istilah agama moderen disebut Kotbah.
           Karena rasa penasaran Tidak bosan-bosan nya saya (Nella Hutapea) terus mengikuti acara yang selanjutnya, walaupun saya sudah terbakar oleh sinar matahari, karena acara tersebut tidak menggunakan tenda. Mereka hanya menggunakan tenda yang sangat lebar sebagai tempat duduk saja yang disinari oleh matahari.Dan itu dibentangkan ditengah-tengah halaman yang begitu luas. Para ibu-ibu juga mengelilingi langgatan tersebut yang di berkati oleh Ihutan yaitu Poltak Marsinton Naipospos. Acara selanjutnya mereka juga mempersilahkan anak-anak dan naposo bulung Parmalim ( Tunas Naimbaru ) untuk meanortor dan juga dipimpin oleh Raja Ihutan. Selama acara berlangsung Raja Ihutan berada ditengah-tengah halaman yaitu ditengah-tengah langgatan dan tampak secara simbol beliau adalah pimpinan tertinggi dari seluruh umat.
           Umat parmalim juga melakukan Parhobason mereka dengan kerja sama yang baik (gotong royong). Ketika saya berada ditempat itu saya (Nella Hutapea) terkadang bingung karena mereka melakukan pekerjaan dengan tertib dan kelihatannya tidak ada yang mengatur tetapi bisa berjalan dengan sistematis, ketika mereka bekerja tidak ada kedengaran  suara yang ribut atau berisik . Semuanya berjalan dengan secara spontan dan tersistematis. Mereka mengambil kerjaannya masing-masing. Bahkan ada juga petugas untuk mengutip sampah-sampah di sekitar tempat ritual. Umat Parmalim juga menyediakan makanan dan tempat makan, bagi siapa yang ingin makan dipersilahkan untuk makan. Dan itu pun berjalan dengan Sistematis. Bagi siapa yang makan dipersilahkan untuk makan.
           Dalam sistem pembagian kerja yang di miliki oleh komunitas Parmalim tampak jelas dan tersusun rapi dengan sistem Gotong Royong. Dalam kegiatan ini peran kalangan muda melalui organisasi kepemudaan Parmalim yaitu Tunas Naimbaru – Naposo Bulung Parmalim adalah tonggak berjaannya kegiatan sebelum dimulainya kegiatan, saat dilakukannya kegiatan, hingga akhir kegiatan mereka berperan sebagai parhobas dengan di bantu orang tua dalam  membimbing mereka.
           Sipaha Lima merupakan ekspresi yang dimiliki komunitas  Parmalim adalah sebuah ekspresi identitas dari identitas-identitas lainnya dari kalangan penghayat agama leluhur di Indonesia. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh kalangan akademisi dan beberapa awak media kepada saya (Gabriel Sinaga) saat dilakukan hajatan tersebut. Salah satunya mengenai ritual yang dianggap mistis. Saya sebagai seorang advocator/fasilitator di sebuah NGO menjawab pernyataan terebut. Salah satu yang membuat hal itu terjadi ketika sesuatu ritual yangdi di depan kita dan berbeda dengan ritual yang kita yakini. Yang kedua jawaban pertanyaan saya adalah kaca mata memandang dan kaca mata menganalisa akan objek yang berbeda dari ego manusia menjadikan kita tidak objektif dalam menilai dan memandang dikarenakan berbenturan dengan nilai-nilai yang kita pegang.
           Pertanyaan kedua ketika saya (Gabriel Sinaga) di minta menjadi salah satu narasumber dari media Metro TV mengenai pandangan saya terhadap kegiatan ritual Sipaha Lima Parmalim. Saya (Gabriel Sinaga) adalah seorang warga negara yang merupakan Suku Batak Toba dan beragama KATOLIK. Apakah pantas saya melarang mereka? Pantaskah saya menganggap ritual ini salah? Dengan alasan apa saya harus membangun stigma skeptis. Sebagai seorang warga negara yang memiliki ideology, seharus nya kita harus memperkokoh perbedaan dan semakin banyak perbedaan semakin utuh roh dari Bhineka Tunggal Ika tersebut. Biheka artinya berbeda, lantas bagaimana Bhineka Tunggal ika ini yang merupakan roh Nasionalisme itu sendiri? Salah satu langkah yang tepat adalah dengan adanya rekognisi atau pengakuan dari negara sebagai Orang Tua yang berlandaskan UUD 1945 dalam coretan-coretan hukum. Artinya hak-hak akan identitas-identitas yang ada harus diakui lewat konstitusi, dan salah satunya adalah hak hidup dan berkepercayaan bagi kalangan komunitas parmalim sebagai bagian dari civil societu di Indonesia.
           Bagi saya (Gabriel Sinaga) pribadi Parmalim lewat ekspersi ritual Sipaha Lima ini bukan hanya semata dipertahankan seolah ini seperti sejarah yang hilang dan mau punah. Bagi saya (Gabriel Sinaga) ini harus diakui sebagai identitas yang bermartabat dan setara dengan yang lainnya. Semangat Inklusi harus lebih kita perhatikan bagi wajah agama-agama local yang jauh sudah ada masuk sebelum berlakunya ketetapan hukum akan agama-agama saat ini.
           Ritual Sipaha Lima di gelar secara terbuka saat ini merupakan sebuah pintu gerbang bagi komunitas parmalim dalam mengekpersikan identitas mereka dalam ruang publik. Melalui ruang publik ini, komunitas harapannya berproses secara dialegtika akan eksistensi identitas mereka diantara identitas-identitas yang lain. Seperti halnya seperti yang diungkapkan salah satu pengurus pusat DPP Parmalim, Bapak Halasan Sirait  saat berbincang dengan Aliansi Sumut Bersatu saat selesai melakukan ibadah mar ari sabtu di komplek Istana Parmalim Jl. Air Besih Ujung Medan (8/07/2017) “Jika parmalim menutup diri pasti orang akan semakin membangun rasa curiga, hal ini kami buktikan dengan tempat ibadah kami/rumah partonggoan kami terbuka dan tidak tertutup dan tampak dari pintu dan jendela rumah ibadah kami terbuat dari kaca”
           Sikap membuka ruang publik ini merupakan salah satu media dalam pengenalan  identitas yang mereka miliki tanpa harus berhadapan dengan pertentangan-pertentangan secara laten. Harapan kedepannya ruang publik bagi kalangan komunitas parmalim dapat lebih dibuka oleh berbagai kalangan untuk bersama-sama menyebarkan nilai-nilai keberagaman/pluralism dalam mencapai cita-cita Inklusi masyarakat Indonesia yang di akui hak-haknya secara konstitusi.
           Sangat disayangkan kembali Wajah Lokal tercederai yang pada akhirnya harus kembali berjuang mendapatkan haknya di tanah mereka sendiri ditanah kelahiran mereka sendiri dan di negeri mereka sendiri. Ekspresi lokal yang jauh tertinggal dari sentuhan keadilan dan  kesetaraan. Hal positif yang dapat diambil dari keberadaan Parmalim yang masih bertahan dari ratusan tahun lalu hingga saat ini di era millennium adalah semangat dan nilai yang mereka miliki dalam mempertahankan eksistensi identitas mereka.
           Parmalim merupakan hanya sebahagian kecil dari beragam kepercayaan penghayat di Indonesia yang kebetulan berasal dari Sumatera Utara. Bagi masyarakat Karo mereka memiliki kepercayaan agamaleluhur yang bernama Pamena, di masyarakat Simalungun mereka menyebut dirinya sebagai Habonaron Do Bona. Di pulau jawa ada Kejawen, Sapto Darmo, Sunda Wiwitan, dan di NTT ada Marapu. Bahkan banyak lagi sistem kepercayaan penghayat yang tidak memiliki nama yang mereka lakukan dalam aktivitas mereka sehari-hari, hal ini sama seperti kepercayaan yang dimiliki oleh Suku Talang Mamak yang dihidup disekitar kawasan Hutan taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau hingga Tebo-Jambi dan Orang Rimba serta suku Batin Sembilan di wilayah Provinsi Jambi.
III.             Penutup
Sebagai bangsa dan sebagai warga negara bagaimana peran ita dalam menjaga keutuhan Bhineka Tunggal Ika? Apakah kita masih mempertahankan konstruksi gundul dalam kacamata Nasionalisme yang dibangun sejak era pra-kemerdekaan? Apakah kita akan kembali mundur untuk berpecah kembali setelah kita bersatu 17 Agustus 1945? Sebagai masyarakat Indonesia yang Berketuhanan selayaknya kita mengakui / merekognisi Keberagaman masyarakat akan sistem kepercayaan dan Berketuhanan. Harapannya bagi masyarakat Parmalim kedepannya mendapatkan Rekognisi identitas atas hak-hak konstitusi mereka. Sipaha Lima yang dirayakan Parmalim kedepannya tetap terus dilakukan dan dipertahankan sebagai ekspresi identitas di ruang publik. Dalam hal ini Parmalim adalah wajah lokal atas komunitas penghayat yang merupakan bagian dari bingkai Bhineka Tungggal Ika.
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
KERAJAAN SINAGA- NEGERI PARAPAT (SIDABARIBA-PARAPAT)
KERAJAAN SINAGA- NEGERI PARAPAT
(SIDABARIBA-PARAPAT)
KECAMATAN GIRSANG SIPANGANBOLON
KABUPATEN SIMALUNGUN
PROVINSI SUMATERA UTARA
P.siantar, 29 Juli 2013
Penulis : Gabriel P H Sinaga
(Generasi ketiga dari Raja Parapat terakhir-Raja Israel Sinaga)
KATA  PENGANTAR
          Segala puji dan syukur  bagi Tuhan Allah Sang Pencipta (Mula Jadi Na Bolon) atas rahmatNya kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Tulisan ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu dan pengetahuannya terhadap sejarah kerajaan Parapat yang merupakan salah satu kerajaan yang berada di wilayah perbatasan kerajaan Simalungun, yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber lisan maupun tulisan. Tulisan ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar seperti kronologis waktu, informan data-data otentik, serta gambar-gambar yang sangat penting. Namun dengan penuh kesabaran akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Tulisan ini memuat tentang “Kerajaan Sinaga-Parapat (Sidabariba Parapat)” yang sangat penting bagi generasi muda khusunya para generasi keturunan Raja Parapat serta sebagai referensi keilmuan dalam sejarah lokal khususnya Simalungun dan Sumatera Utara. Walaupun tulisan ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Akhir kata saya ucapkan Mauliate, Diatei Tupa, Terima kasih. Horas !!!.
BAB I
PENDAHULUAN
Mendengarkan Nama daerah Parapat atau yang sering dipanggil khalayak ramai prapat merupakan suatu daerah objek wisata yang indah dengan panorama Pegunungan dan Danau toba yang sangat indah menghiasi daerah Parapat yang terletak persis daerah Sumatera Timur dahulunya disebut namun sekarang dimekarkan menjadi nama baru dalam administrasi pemerintahan yakni Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Simalungun. Banyak sejarah yang tersimpan di daerah parapat ini mengenai sejarah kebudayaan, sejarah perjuangan dan lain sebagainya namun hingga saat ini yang mencolok dan terpublis ke khalayak ramai dari Parapat hanyalah identitas kota pariwisata Danau Toba saja hingga keseluruh penjuru dunia. Namun, mengenai sejarah kebudayaan, sejarah perjuangan yang terjadi secara nyata di parapat selama ini belum dapat terpublis ke khalayak ramai lewat suatu karya ilmiah, maupun tulisan yang dapat diakui oleh pemerintah dan hukum yang mengatur tersebut, melainkan hanya sebagai ilmu/data sejarah yang tersimpan dalam keluarga secara turun-temurun khusunya, hal ini mengakibatkan terponggolnya sejarah pada setiap zaman generasi karena tidak semua data informasi terkumpul secara jelas. Hal ini ini dapat mengakibatkan hilangnya sejarah ke generasi selanjutnya yang mengakibatkan hilangnya identitas diri kerajaan parapat lewat generasi-generasinya yang menjadi acuan dan gambaran kedepan bahwa parapat yang dahulunya mayoritas wilayah galung/hauma (ladang/persawahan) merupakan suatu daerah kerajaan yang dahulunya adalah kerajaan yang besar, agung, heroik, santun, adil terhadap masyarakat dan pendatang baru serta diakui beberapa kerajaan lainya sebagai kerajaan yang hebat dimulai dari kepemimpinan Raja Parapat Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan), Tuan Na Bolon Tu Parapat, Raja Oppu Sogit Snaga, Raja Oppu Tainni Sinaga, Raja Oppu Joro Bulan Sinaga, dan terlihat dari pemanggilan Raja Parapat (Raja Oppu Bang-Bang Sinaga) ke kerajaan Aceh oleh Raja Aceh ketika itu untuk membantu mereka dalam berperang melawan sekutu Belanda di daerah aceh tepatnya di daerah Danau Laut Tawar. Dimana Raja aceh saat itu mengakui kehebatan Raja Parapat, oleh sebab itu Raja Aceh memanggil Raja Parapat pada saat itu Raja Oppu Bang-Bang Sinaga (Raja galumbang Laut Tawar-Gelar yang di beri Raja Aceh) untuk berperang membantu mereka dalam mengalahkan para Kolonial Belanda. Kemudian tampak terlihat Juga Kesaktian, kebijaksanaan dan kearifan dalam memimpin kerajaan Parapat pada saat itu (1847-1907) ialah adik paling bungsu dari pada Raja Galumbang Laut Tawar yakni Raja Galung (raja Israel Sinaga-Pemberian nama dari belanda setelah masuk agama Kristen). Dimana Pada saat itu Raja Israel sinaga menggangtikan kedudukan abangnya/haha na menjadi Raja di kerajaan simalungun dan juga menjadi Raja di parapat sebagai wilayah perpaduan marga-marga keturunan Raja lewat kepemimpinannya sebagai pimpinan adat, spiritual, geografis dalam suatu rapat tertinggi (BIUS) yakni Bius Silima Tali yang terdiri dari 5 sub marga di parapat pada saat itu (Sinaga, Manurung, Sirait, Manik, Silalahi) yang menjadi penentu dan pengambil kebijakan bersama raja lewat suatu rapat/BIUS yang dipimpin oleh Raja Israel Sinaga di suatu tempat yang di sucikan untuk menjadi tempat rapat tertinggi dalam suatu bius yang dinamakan Parbiusan, yang saat ini di jadikan makam/tampak/simin/tugu seluruh keturunan Raja Parapat yaitu Sinaga Sidabariba Parapat. Raja Israel/Raja Galung Sinaga (Op. Tainni sinaga) merupakan panglima perang Sidam-dam (pengetua/pimpinan agama tradisonal batak yang berevolusi dari parmalim) di daerah Sumatera Timur dan pada saat itu panglima perang di daerah Tapanuli adalah Sisingamangaraja XII, dimana pada saat itu Raja Israel sangat geram dan membenci penjajah/kolonial belanda atas kelakuan mereka. Seperti halnya juga perjuangan Raja Israel Sinaga dalam perlawanan zending melawan  pasukan Sisingamangaraja XII yang memberontak masuknya Kristen di tanah batak. Israel berjuang dalam memperjuangkan masuknya agama Kristen di tanah batak bersama Nomensen, Mutzler dan kawanannya dalam menyebarkan agama Kristen, hingga akhirnya Raja Galung Sinaga (nama batak) berubah nama menjadi Sintua Raja Israel Sinaga setelah masuk ajaran agama Kristen yang langsung disematkan oleh Nomensen dan kawanannya sebagai sebuah penghargaan dimaa pada saat itu Raja Israel merupakan orang yang beragama Kristen yang pertama di Parapat menyusul dengan rakyatnya melalui pembangunan Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang pertama di Parapat pada masa itu. Di ikuti juga sejarah beberapa nak dari Raja Israel yang sangat berjasa juga untuk NKRI dalam melawan penjajah masa itu an tampak Putera kedua Raja Israel Johan Sinaga menjadi Ketua Dewan Veteran repoeblik Indonesia pada saat itu (beliau merupakan seangkatan pahlawan Adam Malik), namun Johan Sinaga Tidak ingin berdomisili di pusat ibu kota negara yaitu Jakarta dalam posisi jabatannya, melainkan beliau tinggal dengan kesederhanaanya dengan menetap di kampung Parapat. Menyusul juga beberapa anak beliau yang menjadi pejuang/veteran repoeblik Indonesia seperti Gidion Sinaga dan yang lainnya. Johan. Anak Keduanya Alexander Sinaga berkiprah menjadi seorang pejabat besar di Keresidenan Sumatera ketika itu sebagai orang nomor dua di sumatera yaitu wakil gubernur keresidenan Sumatera, Marinus Sinaga Berkiprah di pemerintahan sebagai ikut peran dalam penggagas pembentukan dan penjalanan Duane (Beacukai disebut saat ini). Dan juga   menjadi pelayan kesehatan di aceh dan simalungun pada saat itu (Rajaidin Paulus Sinaga), dimana Rajaidin Paulus pada saat itu sedang di aceh bertugas di Rumah Sakit Umum Kuta Raja, yang mana sebenarnya sejak lahir sudah dipersiapkan menjadi raja penerus ayahnya Israel Sinaga  tampak terlihat dengan beliau menyandang nama depan Raja. Namun, Rajaidin Paulus Sinaga pada saat itu menolak menjadi raja, hingga akhirnya seluruh keluarga bersepakat memberikan tahta kerajaan terhadap keturunan abang dari Raja Israel yaitu anak dari Ama Toga Dolok Sinaga. Namun gelar yang di sandang keturunan Ama Toga Dolok Sinaga bukanlah menjadi gelar Raja Parapat, melainkan Tuan Parapat (Oppu Mamontang Dilaut-mengikuti gelar masa tua leluhur sinaga raja parapat yang pertama sekali menginjakkan kaki di daerah simalungun, Girsang sipangan bolon yakni Oppu Namartua Sirikki). Hal ini di sebabkan Hanya yang bernama depan dan keturunan Langsung dari Raja lah yang bisa di nobatkan dalam memerintah kerajaan. Seperti halnya dalam batak ada 4 gelar kekuasaan berdasarkan kemampuannya memerintah, spiritual, budaya, kesaktian yaitu Tuan, Datu, Guru, dan yang tertinggi adalah Raja. Dimana Raja pada ketika itu di parapat bukanlah raja karena ia hanya memerintah suatu wilayah (Parapat) melainkan karena tingkat kesaktian, spiritual, budaya wilayah geografis yang beliau kuasai dalam memerintah para rakyatnya secara sosial dan bisa menjadi panutan, penengah dan perantara para rakyatnya untuk bersama-sama meminta berkat pada Oppu Mula Jadi Na Bolon/Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) menuju kerahan kehidupan yang lebih baik khususnya. Perbedaan kerajaan Parapat khususnya dengan kerajaan yang lain tidak mengenal yang namanya kanibalisasi tawanan kerajaan, pembunuhan rakyat dan tawanan, tidak mengenal yang namanya kediktatoran dan penindasan seperti yang terjadi di kerajaan-kerajaan lainnya. Inilah salah satu keunikan kerajaan Parapat dengan kearifan, Santun, Kebijaksanaan, Toleransi seorang raja berdasarkan makna gelar yang di milikinya sebagai perantara bagi rakyatnya. Terlihat dengan kebaikannya dimana ia memiliki pelayan-pelayan yang tidak di sebut olehnya pembantu (Hatoban dalam bahasa Toba) yang memiliki makna kasar atau tidak disebut pelayan itu makna seperti budak, dimana Raja memberikan tempat tinggal secara Cuma-Cuma bersama keluarganya di sekitar Rumah Bolon Raja ketika itu tanpa imbalan sewa dengan tujuan agar para pelayan raja bisa lebih ringan bekerja dan dekat tinggal dengan raja tanpa harus tinggal di Rumah Bolon raja dan para pelayan kerajaan bisa tinggal dan hidup bahagia bersama keluarganya tanpa harus terpisah. Terlihat juga dengan kebaikan dan kebijaksanaa Raja Parapat ketika itu terhadap para pendatang-pendatang baru yang tidak memiliki tempat tinggal, namun raja memberikan tempat tinggal kepada mereka juga sebagian di tawari bekerja menjadi pelayan kerajaan. Banyak lagi sejarah-sejarah kerajaan Parapat yang belum terpublikasi di masyarakat, terlebih di keturunannya sendiri masih banyak belum mengetahui secara pastinya karena sejarah hanya lisan dan di ketahui hanya beberapa orang saja dalam keluarga kerajaan Parapat. Kelebihan Parapat juga dalam sejarah sebagai pusat benteng pertahanan Militer Sumatera Timur ketika itu juga sebagai daerah pengasingan atau  persembunyian Presiden Ir. Soekarno dan kawanannya seperti H. Agoes Salim (tercatat dalam tulisan sejarah di dalam buku Simalungun Jogjanya Sumatera) lewat bukti sejarah Parsanggarahan/istana kepresidenan yang berada di Parapat hingga saat ini dan adanya sebuah terowongan bawah tanah tua sejak jaman kolonial di parapat. Namun pada kesempatan ini, penulis ingin memfokuskan tentang perjuangan dan keunikan/kelebihan budaya sejarah kerajaan Parapat berdasarkan sumber yang ada dimana ada istilah di kerajaan parapat pada saat itu “Dang Toba, Dang Simalungun” artinya tidak Toba, namun Tidak Simalungun lewat posisi kerajaan sebagai salah satu Raja di perbatasan Simalungun dan posisi raja sebagai Raja Bius dalam kesepakatan Bius Silima Tali (perihal aturan hukum dan adat) yang berada diantara 4 marga keturunan raja dari marga Toba. Dimana istilah ini yang di cetuskan Oppung boru (neneknya) marga Sinaga Parapat (Boru Manurung istri dari Raja Parapat Raja Oppu Joro Bulan Sinaga) dan banyak lagi hal yang belum terungkap seperti tercetusnya pasar tradisional Tiga Raja (tiga : bahasa simalungun yang artinya pekan) yang artinya tempat berbelanja (jual-beli) kebutuhan dan sekaligus bertemunya para Raja-Raja yang berada disekitar dan di seberang parapat. Banyak lagi hal sejarah di daerah Parapat yang masih belum terungkap melalui lisan dan tulisan/dokumen.
Bab II
Silsilah Kepemimpinan Kerajaan Parapat (Sidabariba-Parapat)
Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan)/Br. Sirait | Tuan Na Bolon Tu Parapat/Br. Manurung | Raja Oppu Sogit Snaga/Br. Manurung | Raja Oppu Tainni Sinaga/Br. Sidabutar Tomok Bolon | Raja Oppu Joro Bulan Sinaga/Br. Manurung | Raja Oppu Toga Dolok /Br. Ambarita, Br. Gultom | Raja Oppu Bang-Bang Sinaga, Br. Manurung, Br. manurung | Raja Galung Sinaga (Raja Israel Sinaga)/Br. Manurung, Br. Manurung
| Tuan Parapat-Jaminta Sinaga (Oppu Mamontang Dilaut)
NB: berubah menjadi Tuan dan Bukan Raja karena bukan berasal dari keturunan keluarga kerajaan yang bergelar raja yang di berikan kepada anak dari abang Raja Israel yang bernama Ama Toga Dolok Sinaga di akibatkan Oleh Anak bungsu Raja Israel (Rajaidin Paulus Sinaga/Br. Sianturi, Br. Sidabutar) tidak bersedia pada waktunya menjalankan tahta kerajaan pada saat bertugas di Rumah Sakit Umum Aceh Kuta Raja.
| Tuan Parapat-Ranap Sinaga
Bab III
Silsilah Penulis
Siraja Batak/Boru Deak Parujar | Guru Tatea Bulan | Saribu Raja/Boru Pareme | Raja Lontung/Boru Pareme |
Raja Toga Sinaga | Raja Bonor | Bonor Tiang Ditonga (Sahang Mataniari Sahang Matani Bulan) | Raja Bona Sinaga | Raja Parultob Sinaga
| Raja Mamontang Dilaut Sinaga (Namartua Sirikki)/Br. manurung |
Oppu Raja Hapoltahan Sinaga (Na marhuta di Sitahoan) |
Raja Habiltongan Sindar Mata Ni Ari Sindar Mata Ni Bulan | Raja Tori Ban-Ban Sinaga | Raja Oppu Jakka Sinaga (Sindar Mata Ni Bulan Sidabariba Girsang) |
Guru Manasem Sinaga (Raja Hatoguan)/Br. Sirait | Tuan Na Bolon Tu Parapat/Br. Manurung | Raja Oppu Sogit Sinaga/Br. Manurung | Raja Oppu Tainni Sinaga/Br. Sidabutar Tomok Bolon | Raja Oppu Joro Bulan Sinaga/Br. Manurung | Raja Oppu Toga Dolok /Br. Ambarita, Br. Gultom | Raja Oppu Bang-Bang Sinaga, Br. Manurung, Br. manurung | Raja Galung Sinaga (Raja Israel Sinaga)/Br. Manurung, Br. Manurung (Oppu Tainni Sinaga) |
Rajaidin Paulus Sinaga/Br. Sianturi, Br. Sidabutar (Oppu Bona Dame Sinaga) | Raymond Mangihut Felix Sinaga/Br. Manurung (Ama Gabriel Sinaga) | Gabriel Patricio Hardianto Sinaga
PUSUK BUHIT - SIANJUR MULA-MULA, SIANJUR MULA JADI, SIANJUR MULA TOPPA - KISAH PENCIPTAAN dan PERADABAN MASYARAKAT BATAK di ERA BATAK KUNO
           Dimula ni mulana, naung adong hian do sada banua, i ma banua ni Ompu Mula Jadi Na Bolon. Banua Pajolo, rap dohot angka surusuruan Parhaladona. Naung sunggum do adong di banua I, songon na adong mataniari, bulan, dohot angka bintang dohot na di tano on. Jala sian banua I do adong mula haroroan ni nasa na adong dijadihon Ompu Mula Jadi Na Bolon, I ma angka partanda na di parlangitan I dohot na di tano on, na tarida dohot na so tarida.
           “Timus do gabe ombun, uap jumadi udan ; mula ni na manjua Si Boru Deak Parujar”
Pusuk Buhit merupakan pemisah dan penyambung antara jaman manusia langit (pardiginjang) dengan istilah lain tujuh generasi keturunan Deak Parujar dengan jaman hajolmaon (kemanusiaan) keturunan Si Raja Batak yang mendirikan Sianjur Mula-Mula sebagai Bius (paguyuban) pertama, negara mini sebagai hail ikrar para leluhur yang diwariskan oleh Boru Deak Parujar seperti kalimat kalimat yang ada di dalam doa-doa, yakni :
“Sianjur mula-mula, Sianjur mula tompa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa”
“Sianjur mula-mula, Sianjur mula tompa. Parmulaan ni huta, parmulaan ni somba”
“Sianjur mula-mula, Sianjur mula jadi. Mula ni  Sombayang, mula ni somba wasi”
Parserahan ni manisia jala ni hita jolma. Parmulaan ni huta dohot parmulaan ni somba. Niambit ni Pulo Malau, tinumpak ni Pulo Angkola. Na manundalhon jau na mandompakkon Toba. Parpansur golang-golang, partapian jabi-jabi. Parsuapon manogot, paranggiron bodari.
           Silsilah menceritakan bahwa dalam suatu upacara keagamaan Mula Jadi Na Bolon (Sang Pencipta) turun di Pusuk Buhit untuk terakhir kali, lalu menyerahkan dua pustaha (buku kulit kayu). Pustaha pertama (disebut Pustaha Agong) berisi pedoman kerohanian, kebatinan, dan hadatuon (ilmu pengobatan, dan magic lainnya). Pustaha kedua berisi ajaran tentang pemerintahan. Pustaha pertama diwarisi oleh kelompok keturunan Siradja Batak yang tertua, yakni kelompok keturunan Guru Tatea Bulan. Pustaha kedua diwarisi oleh kelompok keturunan Siradja Batak kedua, yakni kelompok keturunan Raja Isumbaon. Kedua pustaha itulah yang dipandang sebagai sumber adat suku bangsa Batak Toba. Adat yang menjadi dasar organisasi Bius pertama, Bius Sianjur mula-mula.
Menurut sejarah lisan Toba, yaitu tarombo (silsilah), yag diwariskan dari generasi ke generasi, pemukiman pertama, desa yang terorganisir, didirikan oleh leluhur orang Batak-Toba melalui uaha pertanian bersawah dan memakai sistem irigasi. Terletak didua lembah kecil kaki sebelah barat gunung Pusuk Buhit, dan di pantai barat daya Danau Toba. Dua lembah tersebut adalah lembah Sagala dan lembah Limbong, yang berbentuk lekukan antara Pusuk Buhit dan tembok luar Danau Toba disebelah barat. Sebuah lembah kembar yang disebut dalam sastra lisan dengan nama Sagala-Limbong, yang berada diketinggian 150 m di atas permukaan air danau dan 100 m lebih tinggi dari seluruh lembah-lembah sepanjang garis pantai danau.
           Dimana dalam puluhan generasi dahulu, para leluhur yang secara kolektif disebut Siradja Batak, menurunkan suku Bangsa Batak Toba dan membangun Bius, meliputi kedua lembah Sagala-Limbong, sebagai lembaga otonom. Paguyuban itu disebut Bius (Desa) Sianjur mula-mula. Dan Bius ini dijadikan model setiap huta yang dibangun diseluruh Toba berdasarkan kebijakan dan kebudayaan huta masing-masing.
Bab IV
Sejarah dan Peradaban Kerajaan Parapat (Marga Sinaga Bonor Tiang Ditonga) Dari Masa ke Masa
           Pemimpin Kerajaan Parapat merupakan keturunan Siradja Batak dari anaknya yang Sulung yakni Guru Tatea Bulan sebagai anak paling tua Siradja Batak. Dimana Sinaga berasal dari keturnan Guru Tatea Bulan yang bernama Saribu Radja, dan dari keturunan Saribu Radja tersebut keturunan Sinaga berasal dari anaknya yang paling sulung yang sering disebut sebagai Lontung/Siradja Lontung/Raja Lottung.
           Sekilas sejarah Si Raja Lontung memiliki anak 7 dan 1 boru. Dimana Sinaga dalam keturunannya sebagai anak pertama yang memiliki pusat harajaon (kerajaan) di salah wilayah dari 2/5 kekuasaan Raja Lontung di Toba, yakni wilayah perkampungan/Bius Urat-Sabulan, sebelah selatan Pulau Samosir/sebelah utara Bakkara. Dimana dinasti kepemimpinan pada saat itu yang terkenal sebagai penguasa wilayah Lontung di sebelah Urat yang bernama Palti Raja atau Ompu Palti Raja (Sinaga) yang memiliki Sahala/Kesaktian yang sama derajatnya dengan kesaktian yang dimiliki oleh Sisingamangaraja dan juga Tulangnya Sisingamangaraja yakni Raja Uti karena memiliki Lage Tiar si pitu lapis (Tikar 7 lapis). Dimana pada saat itu Bius Urat merupakan pusat orientasi keagamaan/spiritual dan politik utuk seluruh kubu Lontung. Hingga pada akhirnya sisingamangaraja kalah dalam adu kompetisi kesaktian di Urat sebagai seorang Raja Toba. Dimana Palti Raja melakukan reaksi atas kekuasaan dan klaim kesaktian yang sederajat antara Sisingamangaraja dan Palti Raja di Toba. Ompu Palti Raja mendapat informasi burung Klaim tersebut berasal dari seorang Tokoh yang bernama Jonggi Manaor, yang berdomisili di wilayah Limbong yang juga menolak klaim wilayah kekuasaan Sisingamangaraja sekaligus menolak bahwa limbong bukanlah juga wilayah kekuasaan Palti Raja dalam kubu Lontung. Dimana klaim Sisingamangaraja tersebut dimaksud untuk mempersatukan wilayah toba dalam kekuasaan Sisingamangaraja. Dan Palti Raja melakukan reaksi untuk mempertahankan otonomi daerah kekuasaannya di wilayah kubu Lontung. Akibat pertentangan antara Sisingamangaraja (Toba), Palti Raja (Lontung), dan Jonggi Manaor (Limbong), pada saat itu muncul lah peta politik Toba pecah menjadi tiga blok.
           Dari Sinaga, berketurunan melahirkan Raja Bonor sebagai anak paling sulung dari 3 anaknya, dan kemudian melahirkan anak keduanya yang bernama Bonor Tiang Ditonga (Sahang Mataniari Sahang Matani Bulan) dari 3 bersaudara. Hingga tersu pada generasi (sundut) ke tiga melahirkan Raja Bona Sinaga dan terus berketurunan sampai pada Raja Parultob Sinaga. Hingga pada akhirnya “Raja Mamontang Dilaut Sinaga (Namartua Sirikki)/Br. Manurung”, yang merupakan keturunan Raja Parultob Sinaga (generasi Kelima dari kerutunan Raja Sinaga) meninggalkan tanah leluhur Lontung/Sinaga, melakukan migrasi dari urat samosir  ke tanah yang baru di daerah Simalungun yang bernama Girsang Sipangan Bolon. Kemudian Namartua Sirikki membawa adiknya Namartua Sigualon (garis keturunan dari Namboru sinaga parapat, Namartua Batu Gantung) ke daerah sebelahnya parapat melakukan migrasi setelah beliau pertama sekali menginjakkan kaki di tanah baru Girsang, dan akhirnya membuat suatu perkampungan baru dan memiliki sistem norma (Bius). Hingga pada akhirnya melahirkan dua sub keturunan terbesar Namartua Sirikki yakni “Sidahapintu (girsang) dan Sidabariba (parapat)”. Sidabariba merupakan wilayah kekuasaan Parapat, dimana Sidabariba pada saat itu mengalami pertumbuhan dan melakukan pembentukan karakter lewat pembentukan bius setelah kepemimpinan Raja Guru Manasem Sinaga, yakni di era kepemimpinan Raja Tuan Na Bolon Parapat. Terus melesat maju dan meninggalkan jauh Bius yang sudah ada duluan di wilayah Girsang.
           Dan kemudian tampak kompleks kerajaan Parapat dalam Bius dan pemerintahannya ketika di era Dinasti kepemimpinan Raja Omppu Joro Bulan Sinaga dengan menghasilkan kekerabatan 14 besar keturunan Raja Parapat dalam Bius baru yang berasal dari keturunan Raja Parapat Ompu Joro Bulan, dan terlihat juga semakin bangkitnya dan diakuinya kebolehan kerajaan Parapat dari pemanggilan Raja Parapat (Raja Oppu Bang-Bang Sinaga) ke kerajaan Aceh oleh Raja Aceh ketika itu untuk membantu mereka dalam berperang melawan sekutu Kolonial Belanda di daerah aceh tepatnya di daerah sekitar Danau Laut Tawar. Dimana Raja aceh saat itu mengakui kehebatan Raja Parapat, oleh sebab itu Raja Aceh memanggil Raja Parapat pada saat itu Raja Oppu Bang-Bang Sinaga (Raja galumbang Laut Tawar-Gelar yang di beri Raja Aceh) untuk berperang membantu mereka dalam mengalahkan para Kolonial Belanda. Berdasarkan informasi lisan yang diperoleh oleh penulis di era kepemimpinan Raja Ompu Bang-Bang (Raja Galumbang Laut Tawar), karena diakuinya keaktian Raja Parapat ketika itu, maka Raja Aceh memanggil Raja Parapat dan bersama para pasukan bala tentara (Ulu Balangnya) melakukan peperangan di daerah Aceh melawan Kolonial Belanda. Pada saat berperang diketahui bahwa Raja Ompu Bang-Bang beserta pasukan tentaranya dapat melakukan persembunyian di dalam air danau Laut Tawar dalam waktu yang cukup lama menahan nafas di dalam air, hingga pihak musuh dapat dikelabui dan tidak mengetahui keberadaan mereka. Hingga pada akhirnya Raja Aceh memberi gelar Raja Galumbang Laut Tawar kepada Raja Parapat (Raja Ompu Bang-Bang) karena kesaktian dan kebolehannya dalam berperang membatu pihak Aceh. Berdasarkan informasi Lisan yang didapati oleh penulis, bahwasanya terdapat uatu perkampungan Lumban Sinaga di Aceh, tepatnya di dekat Danau Laut Tawar tempat Raja Ompu Bang-Bang melakukan peperangan, dan kemungkinan besar marga Sinaga yang berdomisili disana merupakan keturunan Raja Parapat Ompu Bang-Bang dan keturunan para bala tentara raja (ulu baling) pada masa itu. Namun ketika itu waktu sangat cukup lama bagi Raja Ompu Bang-Bang berada di luar pemerintahan kerajaan Parapat, hingga membuat resah para tokoh dan keluarga kerajaan parapat ketika itu. Dimana Parapat tidak memiliki pusat kekuasaan pemerintahan dalam waktu yang lama, dan sudah cukup lama menunggu kepulangan Raja Ompu Bang-Bang ke Parapat. Hingga akhirnya kesepakatan keluarga kerajaan dan Bius (Bius silima Tali) Parapat melakukan rapat besar dan mendadak mengatasi terjadinya kekuasaan yang kosong (facum of power). Maka terpilih lah Raja Galung Sinaga (Raja Israel) yang meupakan adik paling bungsu dari Raja Ompu Bang-Bang.
Bab V
BIUS & HORJA DALAM KONTEKS BATAK TOBA
V. 1. Parapat dalam BIUS Toba (Silima Tali)        
Untuk memahami Kerajaan Parapat, penulis menyuguhkan pembaca lewat sejararah kebudayaan Batak lewat tulisan di atas. Hal ini sangat berguna, dimana pembaca dapat membaca dan memahami kerajaan parapat berdasarkan sejarah pendahulunya yang beregenerasi hingga terbentuknya marga Sinaga dan kerajaannya di tanah Simalungun, Parapat. Dan untuk memehaminya juga, penulis menyuguhkan bacaan tentang Bius, Horja, dan Huta berdasarkan Habatahon. Ketika pembaca sudah memahami pengertian tersebut, maka pembaca dapat mengerti seperti apa landasan juga filosofi budaya kerajaan parapat secara mendalam.
           Mengenai Toba dan Batak Toba, antropologi sering menggunakan istilah yang sama mengenai Bius (desa) Yakni village (inggris), dorp (belanda), dorf (jerman). Tidak peduli dan tidak membedakan apakah yang dibicarakan itu adalah Bius, atau Horja, Atau Huta. Dalam tulisan ini kata desa terfokus mengacu pada Bius.
           Adat bius meliputi pengaturan :
Hukum pertanahan (Hak Ulayat)
Hukum relasi bertetangga (setelah jumlah bius bertambah)
Hukum prnguasaan tanah, yang dalam Bius disebut hukum Golat
Hukum tali air (irigasi) dan pengairan (sungai, danau)
Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, tanah cadangan untuk persawahan, dan pemukiman (pangeahan), yang dikuasai secara bersama (kolektif) oleh paguyuban
Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarap atas sawah
Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta (benteng pemukiman bujur sangkar), dan lain-lain.
Semua perangkat hukum adat tak tertulis tersebut mencakup dalam lembaga Bius, yang berfungsi sebagai pengemban tertinggi Adat Siradja Batak. Bius menurut Sianjur mula-mula, menguasai sebuah territorial (wilayah) dengan perbatasan yang jelas sebagai wilayah kedaulatannya. Integritasnya juga dihormati pihak Bius (desa) lain sebagai wilayah yang memiliki hukum dan ketentuan yang sah.
     Bius meliputi penduduk yang terdiri dari warga. Mereka memiliki kewargaan terjamin dengan hak dan kewajiban yang jelas. Memiliki hak suara (politik) dalam musyawarah warga diberbagai tingkat siding formal, bagi setiap orang dewasa. (lelaki yang sudah kawin), hak kewargaan meliputi dua asasi lagi, yakni :
Hak atas tanah garapan (disertai kewajibannya)
Hak bebas pindah kelain daerah/Bius, dengan kewajiban mematuhi/membela dan menjalankan hukum Bius di bidang pertahanan/keamanan dan tugas pembangunan/pemeliharaan tali-air (hutan, sumber air, sistem irigasi, padang rumput, tanah cadangan dan sumber daya alam lainnya, tak penah dimonopoli oleh warga perorangan atau kelompok warga tertentu.
Kewargaan seseorang misalnya, hanya boleh dicabut (dengan hukuman terberat dibuang dibuang ke luar Bius), atau dikucilkan melalui peradilan Bius. Hukuman dijatuhkan atas pelanggaran terberat, eperti membunuh orang membakar rumah, berzinah, dan lain sebagainya. Hak atas tanah garapan di tanah pengarap secara otomatis diwarisi oleh keturunannya, kecuali apabila sipenggarap menelantarkannya untuk waktu yang lama.
Adat Bius yang demikian, diwariskan oleh Sianjur Mula-Mula. Dan kemudianmenjadi konstitusi disetiap Bius (Desa). Hal itu, jelas terfokus pada paham skaralitas tanah dan hak warga penggarap sebagai anggota Paguyuban Adat.
Dalam hal ini jika pembaca sudah mendalami makna daripada Bius, maka pembaca mencoba menarik pembaca sesuai tema ke Bius Parapat yang disebut dengan nama “Bius Silima Tali”. Dalam Artian terdabat lima garis marga dlm suatu Bius, yang mana Raja (marga Sinaga Bonor Tiang Ditonga) menjadi pimpinan Bius di Parapat dari antara 4 lainnya marga-marga toba yang ada di Parapat (Manurung, Sirait, Silalahi, Manik), dan nama tempat yang menjadi lokasi dilakukan dan disepakatinya suatu kesepakatan Bius dinamakan Parbiusan (yang terletak di jalan Josep Sinaga, Parapat). Dimana dalam hal ini hanya kelima marga tersebutlah yang menjadi pengmbil keputusan dan menjadi tonggak keberlangsungannya pemerintahan dan Budaya di Parapat lewat pengesahan dari Raja Bius yaitu Raja Parapat (Marga Sinaga Bonor Tiang Ditonga).
           V. 2. Horja
Diuraian terlebih dahulu, jelas kiranya dalam sistem Bius hak mengatur pengusahaan tanah (right of disposal) berada di tangan lembaga yang disebut Horja. Horhja ini dibentuk oleh kelompok marga-raja, tetapi bukan terdiri dari mereka saja. Dua kelompok lain yaitu :
Mereka yang bukan keturunan pionir/marga-raja, tetapi yang leluhurnya dari semula ikut membantu usaha pembukaan tanah pionir tersebut.
Mereka yang tergolong pendatang baru, dan sebagai warga baru tertampung dalam horja.
Kelompok keturunan pembantu pionir itu disebut kelompok marga-boru atau boru ni tano. Sebuah istilah kekerabatan Toba yang lazim dipakai untuk warga pendatang baru. Dimana pendatang baru konsekuensinya dalam aturannya adalah sebagai marga puteri (boru) dalam sistem kekerabatan Toba. Bahwa dalam ketetapannya, tiap laki-laki yang mengambil isteri dari suatu patrilini/marga disebut ebagai boru (puteri)  oleh marga tersebut , dan behak atas sebidang tanah garapan dan diberi berdomisili ditempat mertuanya dalam statusnya sebagai pemberi isteri (bride-giver). Si laki-laki disebut sebagai kategori bride-taker (penerima puteri).
           Ikatan antara marga-raja dengan marga-boru itulah dasar utama institusi Horja sebagai pengelola tanah (Golat). Hak pengusahaan pengelolaan tanah dijalankan atas dasar musyawarah antara marga raja dan marga boru dibawah pengayoman marga raja. Horja adalah bentuk kerjasama kekal antara keturunan cikal-bakal dan keturunan pendatang.
           Warga yang tergolong marga raja, yang mewakili garis keturunan pionir, selain dihormati secara sosial, dalam praktek didahulukan dalam banyak hal dari pada kategori boru, namun setiap keputusan penting selalu berdasarkan konsensus antara marga raja dan marga boru dalam konteks Horja.
Daftar Pustaka
Literatur Ilmiah:
Mgr. Dr. Anicetus B. Sinaga OFMCap, Tata Bahasa Batak Toba, Meresapkan Jiwa dan Darah
Batak, Medan : Bina Media, 2002.
Siahaan, Nalom, Drs., Adat Dalihan Natolu, Prinsip dan Pelaksanaannya, Jakarta: 1982.
Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2004.
Wawancara:
Dulaman Sinaga, Cucu Raja Parapat (Raja Israel Sinaga) dari Anak Raja Parapat Yang bernama Gideon Sinaga.
Kasiaman Sinaga, Cucu Raja Parapat (Raja Israel Sinaga) dari Anak Raja Parapat Yang bernama Markus Sinaga.
Raymond Sinaga, Cucu Raja Parapat (Raja Israel Sinaga) dari Anak Bungsu Raja Parapat Yang bernama Rajaidin Paulus Sinaga.
Matilda Sinaga, Cucu Raja Parapat (Raja Israel Sinaga) dari Anak Bungsu Raja Parapat Yang bernama Rajaidin Paulus Sinaga.
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
1 note · View note
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Photo
Tumblr media
1 note · View note
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
Peta Blok Politik Toba (Lontung, Limbong dan Lembaga Sisingamangaraja)
Wilayah Lontung mengakui sisingamangaraja sebagai raja terkemuka, tetapi selalu dengan perbatasan, yakni tidak mengakui kedaulatannya atas wilayah Lontung. Dikotomi genealogis ini terus berlanjut, sejak sianjurmulamula hingga abad ke-16. Klaim dinasti sisingamangaraja sebagai raja ni Toba bahkan juga sebagai raja ni bangso si birong mata dijawab dengan klaim bahwa lontung mempunyai rajanya sendiri yang berstatus sama (untuk wilayah Lontung) dengan status sisingamangaraja untuk wilayah Sumba. Raja wilayah Lontung itu berkedudukan di wilayah URAT. Nama atau gelarnya turun-temurun ialah OMPU PALTI RAJA (SINAGA). Disekitar tokoh itu terjalin mitos dan legenda, tetapi berbeda dalam da aspeknya. Pertama, menurut legenda dinasti Ompu Palti Raja tidak digambarkan sebagai keturunan dewa (Batara Guru), namun dipandang memiliki Sahala/kesaktian yang sama derajatnya seperti sisingamangaraja. Perbedaan kedua, Ompu Palti Raja tidak mengklaim kedaulatannya di luar wilayahnya sendiri. Dari berbagai data nampak bahwa tampilnya Ompu Palti Raja adalah reaksi atas munculnya dan klaimnya sisingamangaraja. Klaim Ompu Palti Raja untuk kubu Lontung juga dibarengi oleh klaim lain menghadapi klaim sisingamangaraja. Klaim atas kesaktian yang sama derajatnya, timbul dari seorang tokoh bernama/bergelar Jonggi Manaor, yang berkedudukan di lembah limbong. Dibandingkan dengan luasnya wilayah Lontung apalagi wilayah Sumba, wilayahnya memang sangat kecil, tetapi wilayah kecil itu (dua lembah saja) memiliki pamor kekeramatan tertinggi untuk seluruh Toba. Jonggi Manaor, marga Limbong, tergolong marga-marga keturunan Guru Tatea Bulan. Sama dengan klaim Ompu Palti Raja atas kesaktian, klaim Jonggi Manaor juga agaknya berakar pada tradisi lokal sebelum abad ke-16. Jonggi Manaor juga menolak kedaulatan sisingamangaraja atas wilayahnya, dan sekaligus menolak klaim atau anggapan bahwa wilayahnya adalah wilayah Lontung (dibawah Ompu Palti Raja).
Sumber : Buku Sitor Situmorang, 2004 ( Toba Na Sae-Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX)
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
Sedikit beberapa makna persamaan ajaran Hindu dan ajaran Siraja Batak.
1. Hindu : Ajaran Weda membenarkan umatnya untuk menyembah leluhur, selain menyembah Tuhan dengan Istadewatanya. Lalu apa itu Bethara? Ini adalah leluhur yang sudah moksah atau dianggap moksah dan menyatu dengan Tuhan. Beliau tentu tadinya adalah manusia biasa, tetapi belajar keriohanian tinggi dan meninggal dalam fase menjadi “orang yang disucikan”, di Bali disebut Sulinggih, dalam Weda disebut viku (dipopulerkan wiku). Itu sebabnya, kalau sudah menjadi Sulinggih di Bali (Pedanda, Mpu, Rsi, dll) jika sudah meninggal disebut Bethara. umat Hindu memuja ketiganya, Tuhan, Dewa dan Bethara. Batak : Pada masyarakat batak Juga ada penghormatan pada sahala leluhur yang diyakini dapat menjadi media keturunannya untuk memohon, memberi pesan dan peringatan atas peristiwa yang salah dan perantara manusia untuk menyampaikan doa-doa mereka pada Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) karena sahala merupakan roh suci yang paling terdekat dengan Tuhan untuk dapat menyampaikan doa permohonan mereka kepada Tuhan. Sahala yang dimaksud merupakan roh suci para leluhur orang Batak yang dulunya merupakan manusia biasa namun di berikan kesaktian, kepintaran, kebijaksanaan dari Tuhan setelah dia melewati masa spiritual kerohanian nya melalui Doa, Pertapaan, Kebaikan, dll. Yang pada akhirnya setelah kematiannya dari dunia dan kembali pada Tuhan hingga akhirnya bersatu (lebih dekat) dengan Tuhan, hingga menjadi orang yang di sucikan oleh para keturunannya (di katolik ada juga santo dan santa). Orang batak juga memuji 3 simpul kebenaran dengan disebut dengan   Debata Na Tolu. Mengormati arwah suci / sahala para leluhur (orang tua), menghormati Tuhan, dan menghormati kebenaran alam semesta yang memberikan kehidupan ini. 2. Hindu : Bethara di Bali sangat dipuja. Contohnya Kalau kita ke Silayukti, siapa yang dipuja? Bethara yang dulu bernama Mpu Kuturan, bukan tujuan utama memuja Tuhan. Tuhan dan dewa bisa dipuja di mana-mana. Namun karena Bethara menyatu dengan Tuhan, selain memuja Mpu Kuturan juga memuja Tuhan. Batak : Pada masyarakat Batak Sahala sangat di hormati (Bukan di sembah) dan tempatnya juga tertentu sesuai asal (Bona Pasogit) Leluhurnya berada. Dimana Sahala dihormati karena adanya kepercayaan akan sebuah pengharapan spiritual berTuhan dimana kelak para sahala mendengarkan doa para keturunannya yang kemudia keturunannya meminta untuk dapat menyampaikan doa-doa keturunanya kepada Mula Jadi Na Bolon, karena merekalah yang terdekat dengan Tuhan. Contohnya kalau marga sinaga secara umum pergi berziarah dan berdoa atau melakukan Ritual keTuhanan ke URAT, samosir pasti mereka melakukan itu untuk menghormati leluhur mereka Raja Toga Sinaga untuk dapat memberikan harapan kepada mereka melalui leluhur untuk menyampaikan doa Kepada Debata/Mula Jadi Nabolon/Tuhan. 3. Hindu : Mengapa dibutuhkan Arca / murti/patung? Tujuan tertinggi pemujaan kepada Tuhan adalah moksa yaitu terlepasnya atman (Roh) dari perputaran kelahiran dan kematian yang dialami berulang kali kedunia material ini / terbebasnya dari reinkarnasi (samsara). Pembebasan ini hanya dapat dicapai bila seseorang telah berhasil mendapatkan kesadaran Agung. Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain- lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala. Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak- enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan. untuk mencapai kepada Tuhan adalah, kita harus mencintai Tuhan. Pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang” Bagaimana kita bisa mencintai beliau, kalau kita tidak pernah kenal beliau? Kalau ternyata Tuhan tidak berwujud, tidak memiliki sifat, tidak terdeskripsikan dll, Bagaimana kita bisa “memberi” sesuatu kepada Tuhan, kalau mata kita tidak bisa melihat-Nya? pertama karena keterbatasan panca indra kita. Tuhan mungkin sudah hadir didepan mata kita, tapi tidak mampu melihatnya. Telinga tidak mampu mendengar bisikan tuhan yang lembut. Itu karena frekuensi yang berbeda. Dalam atmosfir disekitar kita berseliweran beribu-ribu gelombang cahaya, suara dsb. Batak : Penggunaan Haminjon (Dupa/kemenyan), Demban (Sirih), Pangir (jeruk purut), Cawan, Mual Tio (air yg berasal dari mata air), bane (bunga2an), ihan (ikan batak), itak, dan masih banyak lainnya adalah sebuah pelambangan spiritual Ketuhanan dan ucapan syukur Ketuhanan atas sebuah kehidupan (baik, sejahtera, maupun buruk) untuk menemukan jawaban Kehidupan yang bersumber dari Tuhan. Dimana semua simbol2 yang bersumber dari salah satu unsur mahluk hidup itu merupakan sebuah simbol untuk penghadiran Tuhan melalui para leluhur Batak yang sudah berubah wujud menjadi Roh Suci. Pangir merupakan Tumbuhan suci/bersih yang di ciptakan Tuhan bagi masyarakat batak, dimana pangir ini hanya tumbuh di tempat/lahan yang bersih saja. Hal ini menunjukkan landasan dari pemakaian anggir/pangir/jeruk purut  tersebut bahwa menghadap Tuhan itu haruslah bersih suci dan wangi. Namun kini orang beranggapan bahwa jeruk purut itu hanya untuk berdukun, bersantet, atau ilmu hitam lainnya. Sama jika di ibaratkan dengan kertas putih jeruk purut ini, mau di isi dengan doa yang baik kah atau buruk? begitu juga dengan kertas putih mau di isi dengan kisah baik atau jahat isi kertas putih itu?. Pembuatan Tugu, pembuatan monumen dengan arca2 nya merupakan sebuah simbol keagungan Tuhan atas kehadiran Tuhan melalui para leluhur di dunia ini yang telah melahirkan keturunannya dengan satu tujuan yakni menghormati leluhur (orang tua) karena di Batak orang tua merupakan debata na ta ida (bahwa orang tua merupakan Tuhan yang kita lihat di dunia) serta pasangap natoras mu (hormatilah orang tua mu). bahkan di agama2 modern sekarang pun ada tertulis pesan yang sama mengenai menghormati orang tua atau patik palimahon (perintah allah yang ke lima). bagi orang batak menghormati orang tua bukan hanya ketika hidup menjadi manusia saja, melainkan menghormati orang tua bagi orang batak itu adalah “kekal”, sampai kapan pun dia/beliau/leluhur kita itu adalah orang tua kita yang harus kita hormati dalam bentuk manusia maupun roh, dimana adanya kepercayaan kematian hanyalah pemisah antara badan dan roh, namun tondi/roh kita itu tetap saling berhubungan satu sama lain. Bagi ajaran kepercayaan Ketuhanan Siraja Batak yang masih di teruskan sekarang ini melalui kelembagaan keagamaannya persaktian siradja batak. Tuhan bagi orang batak itu adalah kekal, sakral, satu yang harus di sembah karena dia pencipta segalanya sejak dari awal kehidupan (Mula Jadi Na Bolon). Bagi orang Batak sesuai dengan pemahaman saya, kenapa berdoa dengan Tuhan itu harus ribet/rumit/susah istilah kalau bagi kalangan tertetntu. Berdoa bagi batak tidak bisa menggunakan tangan kosong harus dengan perantara penghayatan sakral yg bisa mempertemukan kita dengan Tuhan. Bagi masyarakat batak itu seharusnya   tidaklah rumit mengapa harus menggunakan demban/sirih berdoa? karna disitulah menunjjukan keseriusan, ketulusan, keikhlasan, pengorbanan waktu kita yang kita sisihkan dan berikan untuk memuji Tuhan. Dan pada intinya Orang Batak dahulu hingga kini tidaklah menyembah berhala, menyembah pohon, menyembah patung, dll. Melainkan Tuhan yang Maha Esa (Mula Jadi Na Bolon) pencipta segala sesuatunya di kehidupan ini. hingga pada akhirnya dengan kepercayaan leluhur Batak Pertama kepada Tuhan, mereka diberikan kesaktian, talenta, dan kebijaksanaan yang begitu hebat. Bagi kaum Batak berdoa kepada Tuhan itu harus melalui perantara/tangga doa untuk menyampaikan kepada Tuhan, dimana perantara yang mereka yakini terdekat dengan Tuhan adalah para Sahala (Roh Suci) Para leluhur si jolo-jolo Tubu.!! Semua ritual, persembahan (sesajen) dan segala sesuatunya itu adalah bukti rasa atau bakti kepada Tuhan yang begitu besar lewat persembahan orang batak kepada Tuhan lewat bunga yang indah, tumbuhan suci, air bersih, kehormatan pada leluhur, doa yang ikhlas, makanan yang begitu enak atas rahmat kelimpahan sumber daya alam yang di berikan kepada manusia batak. dan pada intinya semua itu adalah simbol pemaknaan yang begitu agung dan suci.
27 Juli 2014 Gabriel P. H. Sinaga
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
Peran spiritual dan sosial Gereja di Hari Minggu
Bergereja di hari minggu apakah sebuah kewajiban hanya untuk ritual berdoa satu setengah jam? jika saya sinkronisasikan pengertian gereja sebenarnya memiliki dua arti yakni vertikal dan horizontal (sosiologi agama) dimana tidak hanya untuk berdoa saja melainkan media umat untuk bersosial. dimana gereja mermiliki peran integrasi secara sosial bagi umatnya.. namun ini yang tak bisa di coba dibangun oleh gereja sendiri di kelembagaannya. Habis berdoa pulang…namun pernah kah kita berpikir bisa mengenal sesama satu gereja kita (bahkan kita tak bisa berkenalan dengan yg duduk disamping kita itu siapa)? bercengkrama saling bertukar pendapat dan informasi…jika gereja bisa membangun ini maka sesuailah fungsi dan peran gereja itu bagi kelompoknya ! Jika manusia hanya ingin berdoa ke gereja apa bedanya berdoa diatas tempat tidur, disawah, dan di ruang tamu ? apakah mengurangi kecepatan doa itu sampai ke Tuhan? namun itulah sebenarnya sisi menarik dari peran bergereja di hari sabat (SABTU atau MINGGU sesuai ajaran gereja masing2). media orang berdoa bersama dan media orang dapat bersosial. ketika gereja sadar dan berbenah diri ikut berperan aktif dapat membangun peran integrasi sosialnya lewat mengapa harus bergereja…maka yakinlah kekeluargaan, persaudaraan, solidaritas sosial itu akan terjalin dan terjaga erat. karna saat ini proses individualisasi sesama penganut sudah mulai tampak ke permukaan.. siapa lo siapa gue? berdoa selesai pulang. Mungkin inilah pengamatan saya yang coba saya telaah sesuai kajian keilmuan saya sosiologi di tengah2 kehidupan saya. terima kasih
Mauliate Horas !!!!!
Gabriel Sinaga
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
Aku berfilsafat pada diri ku dan dunia ku akan Tuhan yang satu
Tersentak aku berpikir dalam kegilaan ku ketika aku menemukan jalan Tuhan…dimana aku melihat semua mahluk memuji-Nya..dan pantas aku beri kesimpulan nama Tuhan yang di sembah dengan berbagai bahasa itu adalah satu (universal).
Lantas mengapa aku tak bisa menyembah Tuhan dengan mengikuti semua cara ber-Tuhan yang ada di dunia ini ketika kemana aku melangkah kapan saja kemana aku suka untuk aku bisa berkomunikasi dengan Dia yang menciptakan aku.?
Lantas aku di larang dengan aturan2 agama yang melarang ku untuk mengikuti ajaran dan ritual agama yg lain dari agama ku di KTP? kalau manusia mencoba membeda-bedan cara ber-Tuhan dan mengatur siapa yang bisa ikut dengan mereka duduk bersama untuk berdoa kepada Tuhan..apakah ini yang dikehendaki Tuhan yang katanya satu itu?
Mengenal Tuhan dari semua sisi kepercayaan itu ternyata sangatlah begitu indah dan semakin menguatkan kepercayaan ku akan Tuhan (Pencipta, pemelihara, dan penghancur segala kehidupan yang ada).
Hingga pada akhirnya ku putuskan pencarian ku dan rasa ketidak puasan ku akan siapa Tuhan itu sebenarnya. Dan hinggalah pada kesimpulannya kemana aku akan menumpang bersama kelompok mana aku nantinya akan berlabuh untuk tetap setia dan memilih ajaran apa yang akan aku pilih tanpa menyakiti ajaran lain tanpa membeda-bedakan agama lain di agama ku sendiri itu nantinya yang bisa membuatku serasa nyaman bagaimana BerTuhan yang satu itu sebenarnya dan melanjutkan wahyu2 Nya untuk kelahiran berikutnya tanpa ada sebuah konspirasi politik teologia yang memaksakan itu harus ada.
Horas !!! Gabriel Sinaga
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
(Puisi Batak) BETA HITA PATURE BANGSO TA  MANATAP BONA PASOGIT
Oleh : GABRIEL SINAGA
Percut-Kab. Deli Serdang, 23 Mei 2014
O ale alogo….
Boasa sai marlao ro parsahat mu?
Marbarita ma ho diakka na masa
Nungnga tung mansai leleng tarpaima ahu
           Parbinsar ni mataniari
           Marsinondang di dolok Pusuk Buhit
           Habinsaran ma I dibangsi batak hita
           Luat na timbo, Pulo Samosir nauli
           Tao toba na tio tinanda haulian ni bangso batak i
Alai…..
Nungnga tung mansai lungunan ahu
Bona pasogit nungnga tung mansai hansit
Bona pasogit nungnga nung tung mansai haluluan
Di dia do hita…??? O ale bangso ki
           Martaon mangadopi mengkel tangis di parjalangan
           Tanda ma partinindang ni bangso ta I di luat sileban
           Alai…marpanatap ma hita di bona pasogit ta
           Ilu ni dolok, marsik ni binanga, arsak ni hauma, galumbang ni
            tao  marudur-udur manomu tondi ta
O.. ale bangso ki
Marsitoguan ma hita pasada langka ta
Mulak tu huta pature arsak dohot ilu ni luat dohot bangso ta na tading
Nungnga sae be loja ni langka ta di luat sileban marjalang jala marsiajar
           O… ale Mula Jadi Na Bolon
           Hupio..hu tonggo.. Hupangalu-alui sangap Mu
           Namartua Debata Si tompa langit dohot tano…saluhut
           namarhangoluon di portibi on
           Mangelek ahu, marpanatap Ho ale Mula Jadi di hamu najou-jou
           on…
Eta hamu bapa
Eta hamu inang
Eta hamu angka dongan naposo
Ta patute huta hatubuan ta
Ta pature patik dohot uhum ni ompung ta sijolo-jolo tubu
Pature bangso ta
           Asa songon eme ni si tamba tua
           Parlinggoman ni si boro
           Debata do namartua
           Sai horas ma hita diparorot
Jala songon tona ni natua-tua ni bangso ta
Ompu tan na jolo martungkot sialagundi
Adat na pinungka ni ompu ta sijolo-jolo tubu, sipaihut hon di angka na parpudi
           Asa sahat ma solu tinogi tu tao ni sabulan
           Nungnga sahat be tonggo dohot elek-elek ta
           Sahat ma hita marbenget tu panggabean
           Jala Sahat ma hita tindang di parhorasan
…………..Sekian…………….
…..Horas……….Horas………..Horas…….
Himpunan Mahasiswa Batak Toba
(HIMABATOB)
Universitas Sumatera Utara
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
Kisah Raja Narasaon - Raja Luat Sibisa
Dahulu kala, Datu Pejel datang dari Limbong menuju Sibisa dengan kemampuan Hadatuon sembari menjalankan hobbinya yakni “Marultop” (sejenis alat tembak). Ia sampai ke Sibisa karena mengejar-ngejar “Anduhur” (burung). Menyadari usianya sudah mulai makin tua, datu Pejel melakukan semedi, memohon Kepada Mulajadi Na Bolon agar ia diberi jodoh. Tak lama setelah bersemedi, ia pun mendengar suara “martonun” ia pun penasaran lalu pergi melihatnya. Ia sangat terkejut sudah lama ia menetap di Sibisa tak pernah ia melihat orang. Ia pun menyadari bahwa Tuhan telah mengabulkan permintaanya. Perempuan ini di namai Boru Tantan Debata “Titisan Allah” karena Mulajadi Nabolon lah yg mengirimnya buat Datu Pejel. Singkat Cerita Boru Tantan Debata melahirkan seorang Putra menyerupai Kodok. (Bahasa Batak asli Sirasaon). Datu Pejel Tak terima anaknya seperti kodok ia pun membuangnya ke Bara agar mati dipijak kerbau milik mereka yg dikandangkan di Bara. Inilah pertengkaran Pertama antara Datu pejel dan Boru Tantan Debata. Boru Tantan Debata diam-diam mengambil anaknya dari bara dan di sembunyikan di Para-para rumah mereka. Setiap kali pulang dari ladang boru Tantan debata heran melihat kayu bakar mereka yg di jemurnya sebelum berangkat ke ladang selalu tersusun rapi. Ia pun melakukan pengintaian, siapa gerangan yg melakukan semua itu. Namun Boru Tantan debata terkejut yg melakukan semua itu adalah seorang bocah yg cukup gagah dan setelah selesai menyusun kayu bakar ia masuk ke dalam rumah. Boru Tantan debata pulang ke rumah seperti biasa,ia melihat anaknya masih tetap “marruman Sirasaaon”. Namun dalam hati boru Tantan Debata sudah tau bahwa anaknya cukup Tampan. Saat usia remaja Narasaaon pun di pertapakan Datu pejel di gunung Simanukmanuk (sebelah timur Sibisa-sebelah kiri menuju porsea dari Parapat) sekembalinya dari partapaon di simanukmanuk Datu pejel menyuruh narasaaon ke limbong untuk “mangalap boru ni tulang na” Nairasaon pun berangkat ke Limbong. Namun setelah sampai di Limbong. Dari Tujuh boru ni Tulangnya tak satu pun yg mau jadi istri Narasaon karena wajahnya yang seperti kodok. Suatu sore secara kebetulan boru Tulannya paling bungsu melihat Narasaon pergi Mandi. Ia terpesona melihat ketampanan wajan Nairasaon. Ia menyadari kalau wajahnya Narasaon itu hanyalah sebuah rupa  “RUMANG” (TOPENG) Hari ketiga Narasaon pamit untuk pulang. Namun sebelum pulang Tulangnya mengumpulkan ketujuh borunya. Dan menanya satu per satu dari boru I sampai boru VII. Boru I sampai boru ke VI tidak ada yg bersedia mereka tetap pada pendirian mereka saat pertama ditanyai orang tuanya. Sang Tulang pun menaya boru siampudan, boru sampudan pun menjawab “Naroa pe paribangki naroangku do i, au ra do gabe parsonduk ni anak ni nambori ki”. Akhirnya Narasaon pun di nikahkan dengan boru siampudan. Mengetahui Narasaon sangat  tanpan pada saat menjelang pesta, pariban Narasaaon yang 6 org lagi menuntut kepada orang tuanya kenapa mereka “Dilangkahi” adeknya. Sang Tulang pun kemudian menjawab bahwa kalian lah putri ku yang tidak mau kemaren, nah sekarang adik mu lah yang menikah karna hanya dia yang menginginkan dan menyetujuinya dahulu bukan? Narasaon kembali ke Sibisa dan menetap di sana. Tiba pada saatnya Istri Narasaon melahirkan. Namun yg dilahirkan berbentuk “Lambutan” (bulat) dan kembar. Mengetahui cucunya seperti itu Datu Pejel Marah dan membuang cucunya ke pansur Napitu. Boru Tantan Debata marah akan sikap suaminya Datu Pejel.Ia pun bersumpah tidak akan pernah di kuburkan berdekatan.(Bukti ada sampai saat ini di Sibisa kuburan Datu Pejel dan Boru Tantan debata di antari lembah kecil).”Ngaduahali di baeon ho hanssit rohangku. Di bolongkonko anak ku dohot pahompuku. “Ia pun menghentakkan kakinya,sambil berkata. Ingkon sirang do Tanomanku dohot ho. “Esok hari Boru Tantan debata pergi ke jurang pansur Napitu untuk mencari cucunya yg di buang Datu Pejel. Ia terkejut mendengar suara tangisan bayi cucunya. Kilat pada malam hari itu diyakininya telah membuka “lambutan cucunya.karena tidak tau siapa yg dulu lahir maka kedua bayi itu di namai Raja Mardopang{ bercabang} yakni Raja Mangatur dan Raja Mangarerak. Narasaon terus menjalankan Tapanya di Simanuk-manuk. Dan tak pernah kembali lagi. Dan bagi pomparan Narasaon “Simanukmanuk di abadikan dalam Gondang Simanuk-manuk. Sebagai gondang pasiarhon dan gondang jujungan angka Narasaon dan Boruna. Yang samapai saat ini Gondang Ini sangat populer di setiap pesta Narasaon Khususnya Sirait. Simanuk-manuk diabadikan dalam gondang gerak dalam tortor. Sampai saat ini hanya tinggal beberapa orang yg menguasai itu pun orang-orang yg memiliki jujungan. Diantara mereka berdua (Raja Mangatur dan Raja Mangarerak) tidak tahu siapa si Abangan dan si Adek an sebab lahirnyapun berdampingan. Pernah dibuat dalam suatu Pesta adat Nairasaon manortor si Raja Mangarerak didepan tetapi Ogung tak dapat berbunyi dan Raja Mangatur didepan juga Ogung tak berbunyi. Dan dibuatnya Raja Mangrerak dikanan dan Raja Mangatur dikiri barulah bunyi ogung kedengaran. Itulah sebabnya sering disebut Raja Mangarerak Mangatur untuk Raja Mangarerak dan Raja Mangatur Mangarerak untuk si Raja Mangatur. Raja Mangarerak/Br. Hutahot mempunyai 1.anak yaitu Raja Toga Manurung dan 1.Putri Br Similingiling Raja Mangatur/Br Harugasan Sagala dan punya anak 3 orang, 1.Raja Sitorus, 2.Raja Sirait, 3.Raja Butar-butar.
Horas !!!
0 notes
gabrielsinagaworld-blog · 10 years ago
Text
“DALIHAN NATOLU” SEBAGAI KATUP PENGAMAN BAGI POTENSI KONFLIK DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERBEDA AGAMA DI SIDABARIBA PARAPAT KECAMATAN GIRSANG SIPANGANBOLON
Gabriel Sinaga Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Toba Batak society is the social group that to this day still adhere to customary isti-customs of their ancestors, and one of them is a system that still Dalihan Na Tolu they carry to this day wherever they are. So with the system Dalihan Na Tolu owned by the Batak people, the authors wanted to see what exactly is the meaning of Dalihan Na Tolu itself Toba Batak society, and the role of Na Tolu Dalihan system itself in the community as a safety valve of a threat or potential conflicts against community social systems caused by differences in their religion. The method used by the author in writing this essay is to use the case study method with a qualitative approach. Technique data collecting by observation, interview, and literature study. In this study, the unit of analysis is the Toba Batak people of different religions in the Village Parapat, District Girsang Sipanganbolon, Simalungun and Na Tolu Dalihan system they have. Interpretation of the data is done by using the data obtained from observations and interviews, which are interpreted based on a literature review support so that it can be concluded. (Key words: DalihanNaTolu, religious diversity, SafetyValve, PotentialConflicts)
ABSTRAK Masyarakat Batak Toba adalah kelompok sosial masyarakat yang sampai saat ini masih memegang teguh adat isti-adat leluhur mereka, dan salah satunya adalah sistem Dalihan Na Tolu yang masih mereka laksanakan hingga saat ini dimanapun mereka berada. Maka dengan adanya sistem Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak tersebut, maka penulis ingin melihat apa sebenarnya makna Dalihan Na Tolu itu sendiri bagi masyarakat Batak Toba, serta peranan sistem Dalihan Na Tolu  itu sendiri di masyarakat sebagai katup pengaman dari ancaman atau potensi konflik terhadap sistem sosial masyarakatnya yang disebabkan oleh perbedaan agama yang mereka anut.Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun dan  sistem Dalihan Na Tolu yang mereka miliki. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. (Kata kunci: Dalihan Na Tolu, Perbedaan Agama, Katup Pengaman, Potensi Konflik)
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (“DEBATA MULA JADI NA BOLON”)atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan proses perkuliahannya hingga selesai di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, mulai dari proses perkuliahan semester pertama hingga pada saat penulisan skripsi ini. Penulisan karya ilmiah skripsi ini merupakan suatu tahapan sebagai salah satu syarat akhir penyelesaian seluruh proses yang ada dalam mendapatkan gelar sarjana sosial di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Adapun judul karya ilmiah ini adalah : “DALIHAN NA TOLU” SEBAGAI KATUP PENGAMAN BAGI POTENSI KONFLIK DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA YANG BERBEDA AGAMA (Studi : SidabaribaParapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun). Skripsi ini secara khusus penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta yakni :Raymond Mangihut Sinaga (Amani Gabriel Sinaga) dan Alm. (+) Modesta Manurung (Nai Gabriel Sinaga), terlebih kepada Almarhum ibunda penulis Modesta Boru Manurung, sahat do hape tangiang mi inong, sonang ma ho inong di lambung ni Debata, mauliate di sasude pambahenan mi sahat marujung ngolu mi dina manghokkop hami gelleng mu on songon pat ni manuk. Dimana semangat penyelesaian penulisan skripsi ini merupakan wasiat terakhir dari ibunda penulis sebelum meninggalkan dunia ini sekitar 2 tahun yang silam.Semoga Skripsi ini dapat membalaskan utang budi penulis kepada ibunda yang selama ini berjuang keras kepada kedua anaknya hingga beliau meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan penulis saat semester 5 di bangku perkuliahan dan adik penulis yang bernama Hudson Engelbert Sinaga saat dibangku kelas 2 SMA. Dan tak lupa juga terima kasih banyak penulis ucapkan atas doa Oppung Boru penulisyang merupakan satu-satunya Oppung penulis yang masih hidup yakni Tiomina Br. Gultom (Oppu Juris Manurung), atas doa dan semangat beliau penulis meneteskan air mata karena beliau lah yang selalu mengingatkan penulis untuk bersemangat mengenang dan mengingat wasiat terakhir ibunda penulis agar segera menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terlebih kepada namboru-namboru penulis terkhusus kepada Namboru Matilda Br. Sinaga, Namboru Porman Sinaga besrta keluarga Sihombing, Namboru Duma Sinaga Beserta keluarga simamora, Namboru Bontor Sinaga besrta keluarga Sinurat, serta seluruhnya Pomparan Oppu Bona Dame Sinaga/Boru Sianturi/Boru Sidabutar yang selalu mendoakan saya kepada Mula Jadi Na Bolon Namartua Debata yang membuat penulis selalu ingat berdoa dan bersyukur dalam langkah dan takut akan Tuhan dan hormat akan semangat juang serta karya agung budaya para leluhur, hingga akhirnya penulis memilih judul karya ilmiah ini mengenai aplikasi budaya Batak Toba melalui Dalihan Na Tolu. Tak luput pula ucapan terimakasih kepada seluruh Pomparan Sintua Raja Israel Sinaga/Boru Manurung/Boru Manurung (Oppu Tainni Sinaga) yang selalu mensuport dan memberikan data dan informasi sejarah. Tak terlupakan juga pariban Fitriani Manurung yang selalu mendukung dan medoakan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini sebagai sebuah karya.Besar harapan penulis,  Parapat semoga menjadi wilayah yang tentram, aman, damai, dan menjaga toleransinya sebagai kota yang berbudaya dan memiliki sejarah perjuangan, budaya, dan spiritual sebagai kota turis yang indah. Doa yang paling sakral bagi saya adalah doa dari Tulang Saya Ama Juris Manurung/Boru Sinaga, hingga akhirnya ketulusan penulis dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah skripsi ini menjadi sangat sempurna lewat semangat. Kepada Bapa Tua penulis Kasiaman Sinaga (Amani Lola) yang turut membantu saya secara materi dan komentar atas penulisan skripsi ini. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima kritikan, saran, motivasi, dukungan, dan bantuan dalam banyak bentuk dari berbagai kalangan. Oleh sebab itu, dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis juga menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada : 1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Muba Simanihuruk, M.Si Selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen penguji penulis saat melakukan seminar proposal. 4. Ibu Dra. Rosmyani MA. Selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis, yang telah banyak memberi saran, motivasi, serta nasehat kepada penulis mengenai nila-nilai mata kuliah yang buruk, sehingga penulis tetap semangat kuliah dan menyelesaikan mata kuliah dengan Indeks Prestasi yang baik. 5. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si Selaku Dosen pembimbing penulisan karya ilmiah skripsi penulis, yang telah banyak meluangkan waktunya kepada penulis ditengah-tengah waktunya yang padat dalam bekerja. Beliau senantiasa bersabar dalam membimbing penulis serta selalu menegur penulis ketika penulis lalai dalam waktu penulisan. Beliau seperti sosok ibu yang selalu mendidik anaknya dan selalu mengingatkan penulis. Terima kasih saya ucapkan kepada ibu Ria Manurung atas kesempatannya menjadi pembimbing saya dalam seluruh proses awal dan akhir hingga skripsi ini dapat selesai. 6. Kepada seluruh Dosen penguji yang akan menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini pada saat siding meja hijau. 7. Seluruh Dosen dan Staff pengajar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Imu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan waktu dan materi perkuliahan selama penulis menduduki bangku kelas perkuliahan. 8. Pemerintah Republik Indonesia Departemen Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan saya kesempatan dan bantuan materi mendapatkan beasiswa Bidikmisi selama 8 semester dalam proses perkuliahan di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. 9. Senioren Sosiologi Alexander Giovani Simamora, S.sos (Sosiologi Stambuk 2008), Arman Silalahi, S.sos (Sosiologi Stambuk 2008),Gorenty Manurung (Sosiologi Stambuk 2005) dan seluruh civitas Alumni Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang senantiasa membantu saya secara materi dan wawasan dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satupersatu. 10. Keluarga Besar KMK Katolik St. Albertus Magnus Universitas Sumatera Utara yang terlah turut membantu saya secara materi dan semangat dalam proses penulisan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Adinda Anjela Ambarita (FKM USU Stambuk 2011), Adinda Serani Simaremare (FKM USU Stambuk 2011), Adinda Ervina Fedelia Manik (FKM USU Stambuk 2011), Lae Silvester Pane (FT USU Stambuk 2010), Lae Ivan Sihite (FP USU Stambuk 2010) yang turut mensuport saya pada saat saya melakukan seminar proposal. Terima kasih kepada keluarga ku di KMK Katolik USU. 11. Keluarga Besar KMK Katolik St. Yohannes Don Bosco FISIP USU :Lilis Cahyani, Asa Mitra Barus, Jane Matanari, Mey Sihotang, Anita Dolpin Lumbanraja, Riko Padang, Lena Situmorang, Nando Ginting, Rian Naibaho, Novida Sitepu S.AB, Chen Lorida Saragih, Santa Sembiring, Chanra Simtupang, David Siregar, Odelia Simanjorang S.sos, Josefa Lingga, Santa Situmorang, Dikky Munthe, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendoakan saya dan memberikan tawa kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 12. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Batak Toba (HIMABATOB) Universitas Sumatera Utara yang menjadi lembaga inspirasi penulis dalam mengangkat budaya Batak Toba sebagai skripsi penulis. 13. Keluarga Besar Perguruan Kung Fu Naga Sakti Siauw Lim Sie Indonesia Cabang Medan Sasana Fisip USU yang turut mendoakan penulis. Lae Juris Bilbron Manurung selaku kordinator pelatih cabang medan, serta seluruh anggota sasana yang turut membantu penulis secara materi dan waktu kepada penulis hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. 14. Keluarga besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Cabang Medan dan Keluarga besar anggota dan alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisariat Fisip USU sebagai organisasi yang turut menempah saya serta memberikan penulis bantuan materi, kritik, dan semangat hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai. Terima kasih kepada Bung Nesyandri Sidauruk (Komisaris 2014-2015), Bung Holong Sitompul (Sekretaris 2014-2015), Sarinah yang hebat Chaterine Hutabarat (Bendahara 2014-2015), Bung Jekri Surbakti, Bung Putra Setya Nugraha, Bung Ivo Sinaga dan seluruh Bung dan Sarinah yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. 15. HKBP Resort Parapat yang turut memberikan data dan informasi kepada penulis. 16. Pemerintah Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon yang turut memberikan data dan informasi kepada penulis. 17. Masyarakat Parapat yang menjadi informan penulis yang turut meberikan data dan informasi kepada penulis. 18. Rekan-rekan juang penulis satu angkatan stambuk 2010 yakni : Marlina Sianturi, Hening Kinasih, Adian Para Sinambela, Agusta Nola Bancin, Elisabet Turnip, Waren Sianturi, Ribel Hutapea, dan seluruh keluarga besar sosiologi stambuk 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu penulis dalam kritik dan semangat dalam pertemanannya ketika penulisan skripsi ini. 19. Junior-junior penulis di departemen sosiologi : Stambuk 2011 : Silvia Maria Purba selaku notulen penulis ketika melakukan seminar proposal, Mumamad Ega Kuntara, Revita Simamora, Joan Jiuita Naibaho, Jasa Manurung, Dewi Siregar, Indah Hutapea, Kristin Siregar, Nahotmasi Sitohang, Hendrikson Siahaan, dan kawan-kawan lainnya. Stambuk 2012 : Fanny Simanjuntak, Aprilia Sitepu, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendukung penulis. Stambuk 2013 : Jansen Sitepu, Fauzil, dan kawan-kawan yang lainnya yang turut mendukung penulis. Stambuk 2014 : Leonardo Sihura, Adrianus Sianipar, dan kawan-kawan lainnya yang turut mendukung penulis. Terima kasih buat doa dan dukungan adik-adik kepada penulis. 20. Semua pihak yang turut membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya yang baik. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna adanya.Untuk itu penulis mengharapkan masukan saran dan kritik kepada pembaca sekalian agar penulisan skripsi ini baik dan sesuai yang diharapkan para pembaca sekalian.Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi kita semua.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Medan,   Mei 2015 Penulis Gabriel Patricio Hardianto Sinaga PENDAHULUAN Masyarakat Batak Toba merupakan kelompok kesatuan sosial dari bagian sub-suku masyarakat suku Batakyang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal lahirnya yang kemudian menyebar ke berbagai daerah. Masyarakat Batak Tobahidup dengan memegang teguh budaya dengan berlandaskan Ketuhanan sejak dahulunya dengan diperantarai oleh agama maupun kepercayaan tradisional yang mereka anut. Namun, saat ini masyarakat Batak sudah menganut berbagai agama yang berbeda satu sama lain, namun walaupun agama yang mereka anut berbeda-beda mereka tetap memiliki satu konsep dalam perkumpulan-perkumpulan marga lingkup kecilnya, walaupun mereka berbeda agama satu-sama lainnya, mereka tetap  satu secara konsep budaya. Terkait mengenai keragaman agama yang di anut oleh masyarakat suku Batak Toba, dapat terlihat bahwa agama itu sendiri merupakan sebuah wadah spiritual yang dimaknai dengan berbagai cara dalam kepercayaan Berketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga hal tersebut membuat warna dalam kehidupan manusia, khususnya bagi warna keragaman agama yang dimiliki oleh masyarakat suku Batak Toba dalam berkehidupan sehari-harinya.Diantara unsur-unsur upacara keagamaan tersebut ada yang dianggap penting sekali dalam satu agama, tetapi tidak dikenal dalam agama lainnya, dan demikian  juga sebaliknya (Koentjaraningrat, 2009).Maka oleh karena itu terdapat banyak hal yang ingin dilihat oleh peneliti sejauh mana unsur budaya dapat menjadi media pemersatu/integrasi yang meredam/katup pengaman terjadinya potensi konflik di masyarakat Batak Toba yang berbeda agama. Maka melalui sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Batak Toba tersebut penulis tertarik untuk melihat dan meneliti sistem Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba. Penulis ingin melihat bagaimana perbedaan agama pada masyarakat Batak Toba di wilayah parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun dapat berinteraksi satu samalainnya dalam balutan sistem Dalihan Na Tolu. Dalam penelitian ini juga penulis ingin melihat seperti apa peran Dalihan Na Tolu yang menjadi penghubung komunikasi mereka dapat menjadi jembatan  katup pengaman dari potensi konflik atas perbedaan agama pada masyarakat Batak toba itu sendiri. Adapun perumusan masalah dari penelitian iniadalah: 1. Apa makna dan Pengertian Dalihan Na Tolu bagi masyarakatBatak Toba yang berada di wilayah  Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon? 2. Bagaimana fungsiDalihan Na Tolumenjadi katup pengaman bagi potensi konflik terhadap perbedaan agama dalam masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba-Parapat, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon ? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai makna dan pengertian Dalihan Na Tolu, serta untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai fungsi budaya BatakToba melalui aplikasi Dalihan Na Tolu sebagai katup pengaman bagi potensi konflik dalam masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba-Parapat,Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun. TINJAUAN PUSTAKA Masyarakat Batak Toba : Masyarakat Batak Toba tinggal di sekitar Danau Toba dan bagian selatan Danau Toba, yang menurut daerah administratif Negara Republik Indonesia setelah pemekaran saat ini terdiri dari KabupatenTapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir.Mengenai Masyarakat Batak Toba, antropologi sering menggunakan istilah yang sama mengenai Bius (desa) Yakni village (inggris), dorp (belanda), dorf (jerman)(Situmorang, 2004).Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki adat budaya baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat menembus sekat-sekat yang didalamnya terdapat perbedaan dalam bermasyarakat. Adat budaya Batak ini memiliki sembilan belas nilai/norma inti dalam bermasyarakat yaitu : norma adat, norma musyawarah, norma perkawinan, norma pergaulan sehari-hari, norma perceraian, norma pewarisan, norma kekeluargaan, norma integrasi, norma kejujuran, norma keadilan, norma kesejahteraan, norma kemanusiaan, norma kebebasan, norma kepemimpinan, norma ambisi, norma ketelatenan, norma keterbukaan, dan norma kedaulatan takyat yang mana semua norma tersebut tak terlepas dari praktek pelaksanaan unsur sistem Dalihan Na Tolu (Napitupulu, 2012). Dalihan Na Tolu: Dalihan Na Tolu secara harafiah berarti tungku yang terdiri dari tiga kaki penyanggah.Dahulu orang Batak Toba memasak di atas tiga buah batu tersebut.Pada rumah tradisional Batak Toba, perapian merupakan dimana tungku (tataring) ini berada mengabil tempat di tengah rumah.Tungku ini menjadi pusat rumah (Nainggolan, 2012).Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang sangat mutlak.Menurut ahli lainnya dalam hal yang sama menyatakan bahwa bahwa Dalihan Na Tolu, arti kata ini secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunya tiga tiang penopang, yaitu Dongan Sabutuha, Boru, dan Hula-hula. Arti tiga kata ini secara berturut ialah: 1. Pihak yang semarga, 2. Pihak yang menerima isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife receiveng party), dan 3. Pihak yang memberi isteri (dalam bahasa inggeris disebut wife giving party).Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari (Siahaan, 1982). Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba. Sebagai suatu bentuk dari nilai budaya, maka Dalihan Na Tolu juga memiliki sifat yang tidak statis dan adaptif atau dapat berubah dalam tata pelaksanaan atau penerapannya (Margaretha, 2008). Teori Konflik Lewis A. Coser – Katup Penyelamat : Menurut Lewis A. Coser bahwa konflik dibagi 2 yaitu konflik realistik dan non-realistik. Oleh karenanya masyarakat selalu berada dalam ruang konflik yang terjadi secara terus-menerus, baik dalam kelompok maupun kelas dalam setiap masyarakat(Karim, 2014). Menurut Lewis A. Coser katup penyelamat (Savety-Valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial.“Katup-penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup-penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur(Poloma, 2004).Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser, lewat katu penyelamat (savety-valve) itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya.Tetapi penggantian yang demikianmencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Poloma, 2004). Nilai dan Norma: Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi perubahan Folkways dan mores.Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan. Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.Alvin L. Bertrand (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri, norma-norma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku. Status Sosial: Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya, 2007), menyatakan bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Hal serupa terdapat kesamaan makna di dalam Dalihan Na Tolu pada sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang memiliki fungsi unsur masing-masing sesuai dengan statusnya sebagai pihak hula-hula, dongan tubu maupun sebagai boru. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang di pakai oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus (case study) tipe deskriptif. Unit analisis adalah masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sudabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, Kabupaten Simalungun dan sisten Dalihan Na Tolu yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Batak Toba hingga saat ini. Pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan baku dengan pengumpulan data primer dan sekunder.Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan banyak data baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Untuk mendapat informasi secara mendalam, dalan penelitian ini yang menjadi informan adalah Lembaga/perkumpulan marga yang ada di  Parapat, Tokoh masyarakat Parapat yang sudah berdomisili minimal selama sepuluh tahun lamanya, Keluarga/Keturunan Raja Parapat, khususnya generasi kedua keturunan Raja Parapat terakhir yang berbeda agama, Mewakili salah satu tokoh agama di Parapat, Pemerintah Parapat, serta perwakilan masyarakat yang bersuku Batak Toba yang ada di wilayah Parapat. HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Dalihan Na Tolu ada bagi masyarakat Batak Toba, khususnya bagi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon dimulai semenjak adanya peradaban baru di wilayah Sidabariba Parapat itu sendiri, yakni seteleh generasi ke-5 generasi marga sinaga bagi masyarakat Batak Toba. Dimana yang menjadi Raja Sipukka Huta(Raja pendiri kampung) adalah leluhur marga Sinaga yang merantau dari Urat Samosir. Hal ini tampak dengan sistem pemerintahan yang terbangun di wilayah ini dengan menggunakan sistem pemerintahan Bius, yakni Bius Silima Tali. Pada hakekatnya Dalihan Na Tolu merupakan sistem adat-istiadat yang berguna sebagai norma yang mengatur masyarakat Batak Toba lewat sistem kekerabatannya. Mereka semua tunduk pada hukum Habatahon dengan sistem yang dinamai dengan istilahDalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu tersebut merupakan sebuah sistem yang harus selalu di pegang teguh  sebagai falsafah hidup bagi masyarakat Batak Toba dimanapun mereka bertempat tinggal. Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem dari budaya masyarakat Batak Toba yang tidak bisa terlepas dari kehidupan mereka sehari-hari, baik dalam interaksi maupun dalam acara ceremonial formal adatnya. Fungsi dari Dalihan Na Tolu secara umum adalah menjaga integrasi masyarakat Batak Toba. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak Toba (Margaretha, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yang didapat oleh penulis, bahwa terdapat tiga unsur dalam Dalihan Na Tolu itu sendiri. Dalihan Na Tolu itu sendiri di jadikan makna hidup masyarakat Batak Toba itu sendiri sebagai falsafah dasar hidup mereka. Adapun ketiga unsur yang terdapat di dalam Dalihan Na Tolu itu sendiri antara lain Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru. Ketiga unsur tersebut merupakan suatu sistem dalam kekerabatan masyarakat Batak Toba yang tak terpisahkan dah harus selalu dijaga serta di pegang teguh sesuai harapan dimana leluhur mereka meneruskannya kepada mereka hingga generasi sekarang ini. Hal ini dikarenakan bahwa Perlunya sebuah  keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akanpernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi dongan tubu di masyarakat Batak Toba. Berbicara mengenai Dalihan Na Tolu pada masyarakat Toba tidak terlepas dari kajian sosiologis yakni status sosial. Dimana Dalihan Na Tolu merupakan bagian dari status sosial pada masyarakat Batak Toba dalam interaksinya sehari-hari maupun pada kegiatan ceremonial adat isti-adatnya. Status yang terdapat di dalamnya adalah unsur Dalihan Na Tolu itu sendiri, yakni status seseorang maupun sekelompok orang pada masyarakat Batak Toba sebagai hula-hula, status sebagai suhut/dongan tubu, serta status sebagai boru. Tetapi status dan prestasi pribadi tidak berfungsi dalam ritus budaya sistem Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba.Kedudukan sebagai pegawai atau kekayaannya tidak mengubah posisinya dari boru tiba-tiba menjadi hula-hula atau sebaliknya. Penjelasan mengenai status sosial yang terdapat di dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya, 2007), menyatakan bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga mencakup hak-hak dan kewajibannya. Namun pada dasarnya, semua orang pada masyarakat Batak Toba dapat menduduki status sebagai suhut/dongan tubu, serta status sebagai boru. Hal tersebut tergantung pada hubungan kekerabatan yang diikat oleh perkawinan antar marga (clan). Secara kajian sosiologis dapat dilihat bahwa Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba Parapat pada umumnya mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut: 1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, sama halnya seperti pada Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat. Status sebagai hula-hula, boru, serta dongan tubu terkhususnya. Anak dari seseorang atau sekelompok orang pada masyarakat Batak Toba itu secara sendirinya akan mendapatkan status sosial dalam Dalihan Na Tolu sesuai dengan status yang di miliki orang tuanya. 2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Sama halnya pada Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat, bahwa setiap orang dapat menjadi seorang hula-hula atau boru apabila terjadi pernikahan antara marga yang berbeda. Sama seperti penjelasan di dalam kajian pustaka penulis yang menjelaskan bahwa perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku di dapur yang penting dalam kehidupan sehari-hari (Siahaan, 1982). 3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang. Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Sama halnya dalam sistem pemerintahan di Sidabariba Parapat sejak zaman dahulu kala. Dimana marga Sinaga Bonor Tiang Ditonga sebagai pendiri kampung, yang merupakan Raja Di perkampungan itu dalam sistem pemerintahannya yang bernama Bius Silima tali (pemerintahan wilayah oleh lima marga) memiliki status sebagai hula-hula. Dari penjelasan status sosial di dalam sistem Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba di atas, jelas terlihat bahwa Dalihan Na Tolu itu sendiri mengandung nilai dan norma. Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2004) nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada hubungan-hubungannya antar individu dengan individu dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga yang penulis temukan pada saat penelitian dilapangan, dimana terdapatnya aturan yang mengatur masyarakat Batak Toba mengenai bagaimana cara berinteraksi yang normatif dan sopan antar unsur Dalihan Na tolu, bagaimana budaya yang sopan berinteraksi antara pihak dongan tubu dan boru terhadap hula-hula dan sebaliknya. Di dalam sistem Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat jelas mengandung norma yang dapat di bedakan berdasarkan cara (usage), kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom). Berbicara mengenai sistem Dalihan Na Toludalam tatanan sosial masyarakat Batak Toba, pastinya kita harus berbicara tentang konsep. Seperti penjelasan diatas, pada dasarnya Dalihan Na Tolu adalah hukum yang mengatur pola hubungan ataupun interaksi sosial masyarakat Batak Toba terhadap sesama mereka sesuai dengan statusnya di dalam Dalihan na Tolu. Dalam hal ini terdapat tiga konsep dari tiga unsur yang mengisi Dalihan na Tolu itu sendiri. Konsep pertama adalah konsep yang menjelaskan bahwa status seseorang atau sekelompok orang Batak Toba sebagai hula-hula berperan sebagai pemimpin dalam adat Batak Toba. Konsep seseorang ataupun sekelompok orang pada masyarakat Batak Toba ini memerlukan sebuah azas agar hula-hula itu memiliki landasan kekuatan untuk maniroi atau menasehati pihak boru, olehkarena itu di tetapkan azasnya somba marhula-hula(menghormati pihak hula-hula). Artinya adalah konsep hormat ini memiliki sebuah arti makna, yaitu agar segala nasehat dan pendapat serta perintah yang diberikan pihak hula-hula kepada boru nantinya mudah diterima oleh oleh pihak boru itu sendiri. Konsep kedua adalah konsep yang menjelaskan mengenai peranan dari seseorang ataupun sekelompok orang yang memiliki status sebagai dongan tubu atau hasuhuton, unsur kedua ini merupakan pihak-pihak yang yang serumpun atau semarga dibantu dongan sahuta(satu kampung) status seseorang ataupun sekelompok orang jika mereka di dalam pesta adat. Ada sebuah makna yang terkandung di dalam konsep ini, yaitu adanya tanggung jawab bersama pada pihak yang serumpun itu untuk menjaga kehormatan dan nama baik marga rumpun itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu ditetapkanlah azasnya yang berbunyi manat mardongan tubu artinya harus berhati-hati secara telaten dalam menjaga hubungan antara orang atau marga yang serumpun itu karena harus sama-sama bertanggung jawab menjaga martabat marga atau rumpunnya tersebut. Konsep ketiga adalah konsep yang menjelaskan mengenai peranan dari seseorang ataupun sekelompok orang yang memiliki status sebagai boru. Boru merupakanpihak yang menerima isteri. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis peroleh dilapangan menjelaskan makna bahwa boru merupakan andalan dalam sistem Dalihan Na Tolu. Jadi mereka itulah pelaksana, ibarat rumah adat Batak Toba mengibaratkan bahwa mereka itu ibaratkan bukkulan atau penyangga atap. Seperti dalam pepatah orang Batak Toba yang menyatakan bukkulan do boru di hita(artinya pihak perempuan lah menjadi penopang atau andalan), itulah makna boru yang dimaksud. Bagi masyarakat Batak Toba secara umunya pihak boru adalah andalan di parhobasan(gotong royong), jika ada sesuatu yang belum beres, maka mereka jugalah yang mengejar dan menyelesaikannya atau dalam bahasa Batak Tobanya disebut sebagai siloja-loja. Oleh karena itulah azasnya disebut harus elek marboru. Arti yang terkandung di dalam elek marboru ini adalah mengasihi pihak perempuan atau boru.Serta adanya istilah yang mengikat bagi sesama internboru pada masyarakat Batak Toba, yakni rohot na marparibanartinya adalah menjalin kedekatan dan keakraban bagi sesama pihak boru. Pada intinya konsep somba marhula-hula, elek marboru merupakan interaksi seimbang di dalam Dalihan Na Tolu.Dari penjelasan di atas mengenai konsep  pada sistem Dalihan Na Tolu, tampak jelas Dalihan Na Tolu itu sendiri dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas, acivities, dan artifacts.Ideas pada Dalihan Na Tolu merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak Toba dan bertalian satu dengan yang lainnya. Dalam wujud yang demikian sifatnya sangatlah abstrak, tak dapat di raba, maupun di foto. Activities dimaksud apabila Dalihan Na Tolu sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa. Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu (Margaretha, 2008). Sidabariba Parapat merupakan wilayah yang tergolong wilayah wisata yang toleransi, dimana wilayah itu merupakan wilayah yang di tinggali oleh 90% masyarakat Batak Toba yang mayoritas dari masyarakat Batak Toba itu menganut agama Kristen. Namun berdasarkan penglihatan penulis ketika melakukan penelitian, disana terdapat empat (4) rumah ibadah sesuai yang diatur oleh undang-undang yaitu Vihara, Mesjid, Gereja Protestan dengan berbagai alirannya, dan Gereja Katolik. Menurut Emile Durkheim, agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dngan hal-hal yang suci, dan bahwa kepercayaan  dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat (Narwoko, 2004). Seperti halnya bagi masyarakat Batak Toba di Sidabariba Parapat agama merupakan hal yang sangat pribadi, karena berbicara tentang kepercayaan individu terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau dalam istilah bahasa Batak Toba disebut Debata Mula Jadi Na Bolon sesuai dengan ajaran yang mereka anut yang mereka sebut sebagai agama sebagai media tempat berkumpul mereka dalam beribadah. Bagi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon perbedaan agama bukanlah merupakan sebuah masalah yang harus diperdebatkan untuk menunjjukkan kebenaran masing-masing, bahkan sebagai pemicu konflik bagi individu maupun kelompok mereka dalam bermasyarakat sejauh ini. Tampak jelas dapat terlihat berdasarkan penelitian, bahwa belum pernah terjadi konflik bagi masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Parapat yang diakibatkan oleh perbedaan agama secara khususnya. Ada hal unik yang penulis dapat ketika penelitian, bahwa ada masih terdapat semacam budaya perilaku sosial masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat yang masih lebih mengutamakan adat dibandingkan loyalitasnya terhadap agama maupun tingkat peribadahan. Sampai saat ini masih ada istilah bagi orang Batak Toba secara umumnya dan hal itu masih terdapat juga di wilayah Sidabariba Parapat. Adapun bunyi istilah itu adalah dang mahua di dokkon dang maragama unang apala di dokkon dang maradat(artinya tidak menjadi sebuah masalah apabila dikatakan tidak beragama dari pada dikatakan tidak beradat). Hal ini lah menurut penulis salah satu faktor yang  menjadi penetralisir persoalan perbedan agama di wilayah Sidabariba parapat Kecamatan Girsang Sipanganbolon, dimana hal yang lebih utama bagimasyarakat Batak Toba disana adalah budaya Batak Toba melalui ritus adat isti-adatnya. Tampak jelas, jauh lebih besar pemberian sangsi sosial ataupun sangsi moral kepada masyarakat apabila tidak ikut serta dalam kegiatan adat isti-adat, dibandingkan sangsi apabila mereka sesekali tidak aktif ke peribadatan agama mereka masing-masing. Inilah yang penulis temukan di lapangan bahwa istilah tersebutlah yang menjadikan perbedaan agama bukanlah lagi sebuah pembatasan interaksi bahkan sebagai pemicu konflik di masyarakat. Bahwa di agama sendiri mereka masih kurang loyal, apalagi mereka mempersoalkan perbedaan agama.Dalam masyarakat Batak Toba terlihat jelas bahwa, perbedaan agama bukan lah pembatas interaksi sosial mereka di dalam kehidupan beradat dan bersosial. Dalihan Na Tolu menjadi tolak ukur, menjadi pedoman, menjadi landasan ataupun dasar masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku terhadap sesamanya sesuai dengan peran/status yang dia peroleh dari suatu ikatan dalam marganya sendiri.Dalihan Na Tolu ini selalu hadir didalam setiap ritus masyarakat Batak Toba yang tidak dapat tertinggal/terpisahkan, dimana pada intinya  Dalihan Na Tolu menjadi aturan yang mengatur tata cara masyarakat Batak Toba bagaimana cara berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lainnya. Dalam interaksi masyarakat Batak Toba melalui praktek sistem Dalihan Na Tolu, wujud interaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan acivities, dan artifacts. Apabila Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba sudah di implementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara atau sosial sehari-hari dalam bermasyarakat dengan mempraktekkan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak Toba lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa antar sesama masyarakat Batak Toba yang berbeda agama sesuai dengan status dan peran mereka masing-masing di dalam sistem Dalihan Na Tolu. Hal ini penulis temukan di lapangan pada saat penelitian, dimana seseorang atau sekelompok orang baik di pesta adat maupun di kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba Parapat. Mereka menyapa dengan memanggil namboru, tulang, bapa uda, ito, amang, inong, amang boru, nantulang, abang, atau inang uda ketika bertemu bahkan ketika berpapasan. Pemanggilan tersebut berlandaskan posisi atau status mereka di dalam unsur Dalihan Na Tolu yang melekat pada diri mereka tanpa memandang agama maupun status kerabatnya tersebut. Pada masyarakat Batak Toba juga terdapat interaksi lainnya yang menjadi alat komunikasi mereka. Dalam wujud artifacts terlihat dalam pemberian ulos, jambar, dekke, dan yang lainnya. Pemberian ulos, jambar, dekke, ataupun yang lainnya didasarkan pada Dalihan Na Tolu. Pada umumnya alat interaksi artifacts yang di gunakan masyarakat Batak Toba dalam kebudayaan adat isti-adat formalnya, salah satunya adalah pinahan lobu atau  namargoar (daging babi). Tampak jelas bagi masyarakat Batak Toba yang beragama muslim daging babi merupakan makanan yang dianggap haram atau terlarang sesuai ajaran agama mereka. Namun pada wujud artifacts ini Dalihan Na Tolu juga merangkul masyarakat Batak Toba untuk bertoleransi dan berkompromi, dimana apabila di dalam keluarga itu terdapat perbedaan agama seperti perbedaan pandangan mengenai  jambar daging babi tadi. Maka oleh karena itu haruslah dicari solusi lain agar menemukan solusi agar kegiatan-kegiatan adat masyarakat Batak Toba itu dapat berlangsung sesuai dengan harapan menjalankan prinsip Dalihan Na Tolu. Seperti menjadikan kerbau, lembu, atau kambing menjadi jambar pada acara adat isti-adat masyarakat Batak Toba. Toleransi tersebutlah tampak jelas menjadikan katup pengaman pada masyarakat Batak Toba dari ancaman dari potensi konflik individu maupun kelompok demi mewujudkan sebuah ceremonialyang berlandaskan Dalihan Na Tolu. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.Hal lain juga terlihat dengan istilah parsubang pada masyarakat Batak Toba, dimana parsubang merupakan jamuan makanan halal atau makanan nasional yang disajikan pada saat masyarakat Batak Toba berkegiatan yang di khususkan pada tamu undangan dan kerabat mereka. Parsubang ini diberlakukan karena si tuan rumah dan kerabatnya mayoritas beragama Kristen, maka untuk kaum minoritas sebagai undangannya di sediakan parsubang sebagai wujud toleransi interaksi mereka agar tidak ada pertentangan-pertentangan pada mereka yang membuat konflik karena tidak adanya prinsip saling menghargai perbedaan kepercayaan agama diantara mereka. “Katup-penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Dalam hal ini perbedaan agama menjadi sebuah perdebatan panjang jika masyarakat Batak Toba tetap saling mempertahankan argumen dan kebiasaan mereka berdasarkan agama mereka, maka akan terjadilah perpecahan yang mengakibatkan potensi konflik pada mereka. Namun Dalihan Na Tolu merupakan sebuah prinsip yang harus selalu di pegang oleh masyarakat Batak Toba, dan harus di praktekkan agar sesuatu keputusan itu sah dan mereka mendapatkan berkat dikarenakan mereka sudah melaksanakan Dalihan Na Tolu tersebut dengan menyesuaikan dengan ajaran agama mereka agar tidak bertentangan. Coser melihat katup-penyelamat demikian berfungsi sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”, yang tanpa itu hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Dengan demikian praktek-praktek atau institusi katup-penyelamat memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap struktur.Penulis melihat disini bahwa Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba di wilayah Sidabariba Parapat sangatlah dinamis, dimana Dalihan Na Tolu sangatlah dinamis. Masyarakat batak Toba mempraktekkannya sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing agar tidak terjadi konflik diantara mereka, hal inilah yang penulis lihat bahwa menjadikan toleransi pada masyarakat Batak Toba sangat mereka junjung tinggi yang berfungsi untuk memelihara keharmonisan hubungan kekerabatan diantara mereka. Toleransi tersebutlah yang menjadikan Dalihan Na Tolu menjadi katup pengaman atau Safety-valve bagi masyarakat Batak Toba itu sendiri dalam kedinamisan Dalihan Na Tolu. Dimana ketika ada masyarakat Batak Toba yang melaksanakan pesta dengan praktek Dalihan Na Tolu yang tidak bertentangan dengan agama mereka, maka masyarakat batak Toba yang beragama lainnya pun dapat memakluminya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya semua kegiatan masyarakat Batak Toba haruslah berlandaskan prinsip Dalihan Na Tolu. Menurut Lewis A. Coser katup penyelamat (Savety-Valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan sosial. Hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat Batak Toba melalui sistem Dalihan Na Tolu yang mereka miliki menjadi benteng pertahanan dari ancaman-ancaman yang berasal dari luar mereka terhadap integrasi mereka. Peranan dan makna Dalihan Na Tolu, interaksi yang berlandaskan Dalihan Na Tolu, nilai dan norma yang berlandaskan Dalihan Na Tolumenjadikan masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah Sidabariba Parapat dari kemungkinan sosial seperti perbedaan agama pada sesama mereka.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil temuan data dan pembahasan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalihan Na Tolusebuah filosofi hidup bagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon yang harus dipegang teguh dan dipertahankan oleh masyarakat Batak Toba sampai generasi mereka selanjutnya da dimana pun mereka akan berada nantinya. Bahwa pada hakekatnya Dalihan Na Tolu lah yang mengatur segala sisi kehidupan masyarakat Batak Toba terhadap sesama mereka suku Batak Toba. 2. Dalihan Na Tolu  merupakan sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba  yang berfungsi sebagai media integrasi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon yang melahirkan sikap pada rasa memiliki, toleransi, tenggang rasa, dan menghargai pada kehidupan sosial mereka. Hal inilah yang menjadi landasan bertindak masyarakat Batak Toba menjadikan Dalihan Na Tolu tersebut sebagai katup pengaman terhadap potensi konflik atas perbedaan agama. Pada intinya Dalihan Na Tolu bersifat dinamis, yang dapat menyesuaikan dengan pola-pola kelompok agama di masyarakat Batak Toba itu sendiri tanpa harus melukai ajaran-ajaran agama masing-masing kelompok agama. 3. Potensi konflik yang tampak jelas bagi masyarakat Batak Toba yang berbeda agama di wilayah Sidabariba Parapat adalah yang disebabkan oleh perbedaan konsep aturan agama masing-masing pihak, seperti antara masyarakat Batak Toba yang beragama  Islam dan Kristen yang berbenturan kepada pelaksanaan adat. Namun potensi konflik ini terselesaikan dengan musyawarah seluruh unsur yang terdapat pada sistem Dalihan Na Tolu masyarakat Batak Toba yang berbeda agama. Hal ini jelas terlihat dalam pembahasan bahwa belum perbah terjadinya konflik pada masyarakat BatakToba yang disebabkan oleh perbedaan agama. 4. Dalihan Na Tolu melahirkan makna pada masyarakat Batak Toba yang melahirkan kegiatan-kegiatan ceremonial kebudayaan baik berupa pesta kebahagiaan maupun duka yang sifatnya mengakrabkan sesama masyarakat Batak Toba dan untuk mengenalkan kembali kerabat-kerabat mereka. 5. Perbedaan agama bukanlah sebuah sikap yang merujuk terhadap pembatasan interaksi sosial bagi masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah Sidabariba parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon. Hal ini dilandasi dengan kerukunan umat beragama pada sesama masyarakat Batak Toba dan belum pernah terjadinya konflik yang disebakan oleh perbedaan agama. Hal ini di tunjukkan oleh Dalihan Na Tolu yang pada dasarnya adalah untuk menyatukan. 6. Dalihan Na Tolu menjadi perantara tenggang rasa, toleransi, bermusyawarah, bernorma telah menunjukkan menunjukkan berfungsinya sistem budaya masyarakat Batak Toba tersebut sebagai katup penyelamat (Savety-Valve) yang menjadikan hubungan mereka dapat bertahan sampai saat ini dalam waktu yang sangat panjang dengan menjadikan Dalihan Na Tolu yang terus di pegang teguh sampai saat ini.
SARAN Setelah melewati penelitian dan pemaparan data pada penulisan ini, adapun saran yang diberikan penulis terkait hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Harapannya melalui penelitian ini, akan lebih banyak lagi muncul penelitian-penelitian ilmiah pada kajian sosiologi konflik yang sifatnya positif dan membangun mengenai posisi Dalihan Na Tolu pada masyarakat batak Toba secara spesifik seperti keberadaan sistem kekerabatan yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba ini pada perbedaan status sosial, agama, pendidikan, dan perbandingan Dalihan Na Tolu pada era konvensional dengan modern, dan sebagainya. 2. Banyaknya versi literatur mengenai masyarakat Batak Toba menyulitkan penulis dan harapannya akan muncul kembali peneliti-peneliti baru yang lebih mendalami penelitian ini selanjutnya agar jauh dari kekurangan untuk menghasilkan harapan bersama dalam mewujudkan Dalihan Na Tolu yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba adalah sebuah pisau dalam menyelesaikan berbagai persoalan. UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayah Nya, penulis dapat menyelesaikan jurnal yang berjudul “Dalihan Na ToluSebagai Katup PengamanBagi Potensi KonflikDalam Masyarakat Batak TobaYang Berbeda Agamadi Sidabariba Parapat Kecamatan Girsang Sipanganbolon Kabupaten Simalungun”. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada dosen pembimbing Dra. Ria Manurung, M.Si yang telah segenap hati membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Buku : Basrowi. Pengantar Sosiologi. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Nainggolan, Togar. 2012. Batak Toba Sejarah dan Transformasi Religi. Medan : Bina Media Perintis. Napitupulu, M.M. 2012. Habonaran Nauli Habatahon. Medan : USU Press. Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Na Tolu. Jakarta: Tulus Jaya. Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae Sejarah Lembaga Politik Abad XIII-XX.Jakarta: Komunitas Bambu. Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta : Rajagrafindo Persada. Waluya, Bagja. 2007. Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Bandung: Setia Purna Inves. Skripsi : Margaretha, Charolina. 2008. Sosialisasi Dalihan Na Tolu Pada generei Muda Batak di Perkotaan (Kasus Pada Perkumpulan Masyarakat Batak Parsahutaon Dalihan Na Tolu di Saru Permai, Ciputat). Bogor : Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. E-Journal : Abd. Karim, M.Si. 2014. PERSPEKTIF SOSIOLOGI DALAM MEMAHAMI KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA, dari http://stkipbima.ac.id/index.php/info-akademik/jurnal-article/148-perspektif-sosiologi-dalam-memahami-konflik-sosial-di-indonesia. [diunduh 25 November 2014]
0 notes