Ada hasrat yang tidak boleh pernah hilang, yaitu hasrat untuk terus mau belajar
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Untuk dirimu sendiri, Lantangkan ini ketika sunyi
Saya tidak bisa memberi jaminan, bahwa saya lebih baik dari Si A, atau lebih bijak dibanding si B, saat menghadapi suatu kejadian, atau menghadapi karakter manusia. Hanya, saya percaya kalau tiap tiap orang punya peran, dan menyediakan nyamannya masing-masing.
Saya tidak tau ucapan mana yang memberi pengaruh positif terhadap orang lain, dan respon saya yang mana, yang memberi stimulus kepada orang lain--begitu sebaliknya--Pada saat ada yang curhat dan memilih saya menjadi pendengarnya, saat ada yang sedih dan memilih saya untuk menemaninya. Sebetulnya, saya juga tidak begitu ingin mendapat pengakuan, hanya saja saya percaya, toh kalau memang ada kebaikan pasti juga ada balasan yang baik, semisal urusan urusan saya yang dimudahkan. Jadi, itu lah yang memacu supaya berusaha untuk tetap berusaha berbuat baik.
Saya pernah mendampingi yang berada dititik kalut, kata mendampingi terkesan sangat formalitas, tapi urusan perasaan, jangan ditanya, setulus hati dilakukan (tanpa paksaan), dengan niat niat yang baik tentu. Walaupun, situasi tak melulu menyenangkan, kadang-kadang tidak semua orang bisa menerima segala niat baik itu, atau bahkan keliru dalam menilainya.
Untuk tidak berkecil hati, bagi saya, tanda manusia punya perasaan, menjadi lumrah untuk berpendapat tentang diri sendiri, atau sebagai bukti bahwa saya berpikir, adalah hal yang wajar untuk membela diri sendiri. Sehingga, pada setiap cerita persahabatan, pasangan hidup, atau keluarga, bahkan kehidupab bersosial, adakalanya saya harus merasa bahwa, apa yang terjadi pada saya, belum tentu yang lain bisa melaluinya, atau tentang siapa yang sedang saya dampingi, belum tentu orang lain akan bertahan mendampinginya sekuat saya.
Hal tersebut muncul setelah mengingat banyak kejadian, yang sudah saya lewati, terlebih ketika merasa kecewa dan jatuh. Bukan perhitungan, tapi membahas kronologis dan menyelaraskan antara perkataan dan perlakuan, bagi saya adalah cara untuk mengokohkan pertahanan diri, dan memperbaiki keadaaan.
Lalu, karena hidup perlu keseimbangan. Untuk tetap berjiwa besar, muhasabah adalah cara kita supaya bisa mengevaluasi sikap dan pikiran, supaya tidak sombong, dan merasa paling. Karena salah-salah, kecewa memang kadang tidak dihasilkan oleh orang lain, tapi sumbernya bisa jadi karena diri sendiri. Ah, boleh jadi namanya itu ujian. Sebagaimana tujuan Allah menurunkan ujian, tentu agar kualitas hidup kita ini bisa naik kelas.
Dititik konflik, jangan sampai kita terjebak pada perdebatan, merasa paling benar, atau merasa tak berbuat salah. Boleh menyediakan waktu untuk marah, tapi jangan sampai kufur. Boleh meluapkan sedih, tapi jangan sampai patah arang.
Dahulukan, hal hal yang dilakukan, memang hanya untuk diri sendiri, membesarkan hati sendiri, dan lalu mengambil pelajaran untuk diri sendiri. Orang lain hanya bagian dari pemicu agar saya tetap menjadi manusia. Kalau pun ada yang merasakan dampaknya, itu berarti menjadi pelengkap kisah antar manusia. Karena suatu hari nanti, kita hanya akan sibuk dengan diri sendiri. Yang lain akan sibuk dengan urusannya sendiri sendiri juga. Sibukan lah untuk mempertahan kan yang baik, dan sibuk membuang yang buruk. Sebelum nanti, pada akhirnya Sibuk bertanggung jawab atas diri sendiri dihadapan-Nya.
Kalau kalau ada yang sudah terlampaui, berterima kasih terlebih dulu kepada diri sendiri. Cukuplah merasa hebat dan keren untuk dirimu sendiri. Terus memperbaiki diri, ya untuk dirimu sendiri. Baik hatimu, membuat semua akan mengikuti baik. Tidak perlu pura-pura, tidak mesti menjadi diri yang lain.
Kalau kalau ada yang gagal dan membuat sedih, maafkan terlebih dulu diri sendiri. Maafkan, maafkan, maafkan, berdamai.
Setelah menyebut nama Allah, Allah, Allah. Lantangkan pujian untuk dirimu sendiri, ketika sunyi, ketika sendirian, ketika hanya ada dirimu sendiri. Lantangkan, sebab sedih perlu reda, kecewa harus melunak, ketakutan mesti diredam.
Bintaro 2021
5 notes
·
View notes
Text
Keluarga Keluarga yang Patah
Pengalaman-pengalaman masa lalu dalam hidup saya, membentuk saya lebih condong tertarik terhadap isu yang beririsan dengan apa yang pernah saya alami.
Pengalaman Patah hati dan kesedihan dalam permasalahan keluarga yang tidak harmonis di masa kecil, membentuk persepsi dalam diri saya, bahwa pertengkaran orang tua di depan mata itu lebih menyakitkan dibanding dengan perpisahan karena perceraian atau ajal.
Singkat cerita, lalu saya dipertemukan dengan sebuah lembaga yang fokus terhadap isu perlindungan anak. Perlindungan anak dari kekerasan, pelecehan, eksploitasi, perdagangan, penelantaran, dan anak berhadapan dengan hukum. Dari sana saya belajar mengenai pencegahan dan penanganan terhadap anak yang rentan dan bahkan mengalami fokus isu di atas. Bertemu dengan anak-anak dari kebanyakan keluarga yang patah. Bahkan lebih patah dari apa yang saya alami.
Saya bertemu anak jalanan, yang harus bekerja keras mencari uang untuk makan karena Bapaknya tidak ada, karena Ibunya yang terpaksa menyuruh, karena orang tuanya entah di mana.
Saya bertemu anak yang dipulangkan dari salah satu kota di Indonesia, setelah sebelumnya ia terjaring Razia di club-club malam, lalu mengantarnya pulang dan sepanjang jalan kami bercerita, bahwa ibunya meninggal, bapak entah pergi kemana, ia ditinggal bersama seorang adik yang mesti ia hidupi. Sial, kondisi terdesak, membuat ia terkecoh dengan diimingi uang besar untuk bekerja di sebuah cafe, nyatanya ia malah dijual dan dipekerjakan untuk melayani laki-laki hidung belang.
Saya bertemu anak yang sengaja kabur dari club' malam, karena ia tau itu bukan tempatnya, ia dijebak dan disekap dalam beberapa hari, ia trauma dan ketakutan ketika bertemu dengan orang asing, bahkan kaget dan sembunyi ketika bertemu saya yang ingin mendampinginya.
Saya bertemu dengan anak-anak di lapas anak, yang karena pelanggarannya ia harus mendekam di lapas dengan kasus dan hukuman yang berbeda, yang lalu saya bercerita dengan mereka, ada yang malah ingin memperpanjang vonis agar bisa tinggal di lapas, sebab jika purna masa hukumannya entah kemana ia akan pulang, tidak ada keluarga untuk tempat kembali.
Saya bertemu anak yang sejak kecil tidak hidup bersama orang tua, yang diasuh oleh kerabatnya, tapi mendapatkan kekerasan fisik yang hebat hingga berdarah-darah. Membawa luka hingga ia beranjak dewasa, berdampak pada tumbuh kembangnya, mempengaruhi psikisnya, hidup dengan rasa kecewa dan trauma.
Saya bertemu dengan anak yang menjadi penjual narkoba, padahal lahir dari keluarga kaya raya. Alasannya karena ia tidak diperhatikan dan pelit untuk memberikan uang jajan, sehingga ia nekad menjual narkoba untuk memenuhi kebutuhannya.
Dari sekian kisah yang saya temukan, dari banyak kasus yang saya saksikan, adalah mereka yang tidak beruntung berada di tempat yang tepat ketika ring pertama --keluarga-- yang memberikan perlindungan dan kasih sayang tidak tercapai. Banyak faktor yang membuatnya demikian. Namun tidak juga selalu bahwa dari keluarga yang patah otomatis mengahasilkan anak-anak yang gagal dan hancur-hancuran nasibnya.
Saya percaya dengan stimulus pada perubahan seseorang, pada keputusannya dalam menentukan pilahan, pada nalarnya dalam berfikir secara jernih dan rasional. Stimulus yang datangnya bisa dari tontonan, nasihat, penghargaan, bahkan cacian yang dijadikannya sebagai motivasi untuk pembuktian untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Salah satu yang beruntung adalah saya pribadi. Saya mendapat sitmulus dari sebuah penghargaan, yang saya terjemahkan sebagai bentuk bantu loncatan agar saya bisa menemukan kehidupan yang lebih baik, memaafkan segala patah hati saya karena kondisi keluarga yang tidak harmonis.
Lalu, saya juga bertemu dengan anak yang memiliki nasib keluarga yang patah, tapi ia juga beruntung bisa mengendalikan keadaan, agar tetap bisa di jalur yang positif, lalu bertumbuh lah ia menjadi orang yang hebat, dengan segala ilmu dan perjuangan yang terjal. Ia distimulus oleh cacian orang lain, yang memandangnya sebelah mata, namun tidak hilang arah berkat motivasinya yang kuat.
Bagi saya yang percaya dengan kekuatan doa dan sunatullah, bahwa pasti tidak ada yang ujug-ujug, stimulus kasat mata juga mempengaruhi perubahan-perubahan dan kemudahan jalan hidup manusia. Kekuatan langit, yang tidak bisa ditelusuri entah hadirnya berkat apa. Mungkin ada keluarga yang tetap medo’akannya, atau ada teman-teman yang mendo’akan, entah
Maka cerita-cerita keluarga yang patah adalah cerita yang sangat personal bagi saya, yang membuat saya tertegun dan rasanya saya pengen bilang “yuk sama saya aja yuk tinggalnya” yang gereget pengen cepet cepet bilang “yukk apa nih yang bisa saya bantu?” tapi kalimat-kalimat itu hanya sampai di hati, saya meringis menunduk tak kuasa. Tapi saya sangat anteng untuk menjadi pendengar kisah keluarga-keluarga yang patah.
Saya selalu tertarik dengan isu keluarga keluarga yang patah, selain berhubungan secara personal dengan pengalaman saya, namun juga sebab isu ini adalah akar dari tumbuhnya masalah-masalah yang lain. Benar kata guru saya bahwa Ekonomi itu bukan faktor utama, yang utama adalah faktor keluarga. Sebab tidak semua orang miskin melahirkan anak jalanan, anak terlantar, anak pengedar narkoba, anak nakal, anak berhadapan dengan hukum, anak korban perdagangan manusia dan eksploitasi, anak-anak yang kecewa dan trauma. Tapi dari kasus-kasus yang saya temukan, kebanyakan memang sebab dari faktor keluarga yang patah, lalu mereka tidak memiliki stimulus untuk menemukan tempat yang positif. Kurang Beruntung.
Teman-teman dengan keluarga yang patah, tetap kuat dan semangat. Terus kendalikan keadaan untuk tetap berada di jalur yang benar. Semoga menemukan stimulus untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan berdamai dengan keadaan. Sebab bagaimanapun buruknya keluarga, mereka tetaplah keluarga, tidak bisa dibuang dan dihapus dari perjalanan hidup kita selanjutnya.
Bukan di Bandung, 05 April 2021
Salam,
S Febrianti Patimah
0 notes
Text
Rollercoaster 2020
Aku mengawali 2020 dengan hati yg sendu Sebab keputusan yang belum siap untuk diterima lalu berusaha Membentuk narasi di kepala sendiri Kalau sedih adalah bekal kekuatan Maka tidak boleh lama dalam meratapi Aku menengahi bulan dengan sadar diri Berevolusi menjadi sangat pengertian Pasang badan untuk menjaga perasaan orang lain Pasang tameng dari tempaan yang bertubi Pasang mata sebagai saksi peliknya hubungan dari dua kepala Di Bulan ke dua menerima kabar penerimaan dan kehilangan Penerimaan pekerjaan di lembaga filantropi Bersyukur karena tak perlu waktu lama dalam pengangguran Juga lingkungan kerja yang baik ditengah aku yang bobrok Aku menangkap sinyal bahwa Allah SWT mencintaiku Tapi beberapa hari kemudian aku kehilangan Pukul 3 pagi di Hari Jum'at telpon berdering Mendengar sesak Bapak telah berpulang Kepergian yang sangat mendadak Tapi kematian yang indah bagi orang yang Soleh Ternyata Allah lebih cinta kepadanya Belum selesai dihajar lalu pandemi datang Merubah banyak rencana dan kebiasaan hidup Untuk ini semua orang terkena dampaknya Dunia menjadi aneh orang-orang Kepanikan, kebersihan, ketakutan, kelaparan, kebangkrutan, kemerosotan, kesimpangsiuran informasi, kebosanan Awal April semakin kompleks Mendampingi orang lain yang sedang kalut Semakin menguatkan tameng Semakin menguatkan perasaan Semakin menguatkan keyakinan Semakin belajar tentang mengurai bola kusut Semakin belajar mengkonstruksikan solusi Semakin berani konsultasi dan negosiasi Semakin dituntut menjadi bijaksana Menahan yang ingin mengakhiri usia Berpuasa di Bulan April Tidak ada taraweh dan itikaf di masjid Aku menjalaninya hanya di rumah Tidak membeli kolak, kadang berbuka dengan mie instan Puasa tahun ke dua bersama sahabat dalam suasana berbeda Dengan optimisme memperbaiki diri agar kehidupan kembali normal Lebaran di Bulan Mei Tidak ada pulang kampung hanya berkumpul di kota Tidak ada salam-salaman tapi tetap saling melempar senyum Tidak kemana-mana hanya di rumah saja Kue lebaran di santap keluarga, pintu rumah tidak diketuk tamu dari jauh Juni kehidupan masih begitu saja Tapi tetap membawa optimisme Di bulan Juli aku semakin gencar Membayangkan yang bahagia-bahagia Agustus, Indonesia Ulang tahun Aku tidak merayakan Lalu ibuku melahirkan Adik baru untukku Sedewasa ini perasaanya campur aduk Tapi disambut dengan hati gembira Sampai September Pandemi Belum berakhir Orang-orang sudah boleh keluar rumah, keluar kota, keluar negeri bencana banjir melanda Sukabumi Aku turun ke lapangan membawa bantuan Bersama amanah orang orang dermawan Membangun jembatan gantung Bertemu warga desa dan anak-anak Sampai dengan bulan oktober November bulan pengetukan keputusan oleh hakim Aku duduk di meja hijau sebagai saksi untuk pertama kali Mencari lega bagi mereka yang ingin bahagia dengan jalan masing masing Lalu setelahnya aku terbang ke Sulawesi Untuk kembali membangun jembatan Banyak momen berkesan Senang bertemu warga dan anak anak yang kompak nan ceria Aku menangkap sinyal hidup begitu mengagumkan Oktober aku ke Bintaro Memenuhi janji untuk bertemu seseorang Ditawari pekerjaan yang datangnya dari Allah Dilematis tapi hidup adalah pilihan Aku menimbang sembari istikharah Desember dipenuhi pertimbangan Ada yang ingin aku bertahan Ada yang menganjurkan agar tak menyiakan kesempatan Desember haru biru Mengingat banyak kenangan Akan mengikis waktu bersama banyak orang tersayang Aku mengambil keputusan dengan perhitungan dan pengertian Mengundurkan diri dan berkelana lebih jauh lagi 2020, Menjalaninya dengan berdarah-darah Mengobarkan perasaan dan tenaga Memutar otak untuk memperbaiki banyak hal Mengeluarkan banyak air mata dan adu argumentasi 2020, Menjalaninya dengan berdebar Tahun yang tidak mudah sebab harus meneguk banyak pahit Tahun yang dibangun oleh optimisme dan sabar Tahun yang membentuk banyak kesalahan dan pelajaran 2020, penuh dengan ilmu dan nasihat baik Tahun Instagramku menjadi etalase filantropi Aku menangkap sinyal bahwa dunia tidak kehilangan orang dermawan Menambah kerangka untuk berkhidmat
2020, ini Tahun yang gila Tapi aku merasa keren Akhir kata, Saat sedih tidak hilang, saat sulit tidak lari, saat marah tidak dendam, saat bahagia tidak sombong, saat lelah tidak menyerah, saat takut tidak mengurung diri, saat gelap terbitlah terang, bahwa ternyata semua bisa dilalui dan dihadapi. Tenang adalah kunci, dan gigit dengan geraham keyakinanmu pada Rabb. Hidup untuk mencari lega, tidak usah takut dan larut, maka belajar dan berjalan terus saja. Soundtrack: Sisir Tanah - Lagu Pejalan Bandung, 30 Desember 2020 S Febrianti Patim
1 note
·
View note
Text
Bahagia itu?
Ketika aku memikirkan ini, kepalaku dibingkai oleh aturan agama. Apa-apa saja yang dicari semestinya memang berdasarkan norma agama. Sehingga menyimpulkannya pun tidak sekedar urusan dunia, tapi bagi orang yang berkeyakinan, harus lah sampai pada urusan akhirat.
Ditengah fakirnya ilmu agama, tentu kesadaran tersebut tak membuatku otomatis menjadi seorang alim. Kesadaran adalah perangsang untuk menemukan cara implementasi mencapai tujuan.
Jika aku ingin bahagia?
Bahagiaku justru tak ingin semata ukuran dunia. Jika Islam menawarkan kebahagiaan hakiki yaitu surga, jelas mencapainya pun tidak semudah memotek biji kuaci.
Apakah berarti menuju bahagia itu berat?
Bahkan aku meyakini kalau bahagia itu sederhana, bagiku sesederhana melihat orang senyum karena sudah ditolong, melihat orang ketawa karena merasa dihargai, melihat orang menangis haru karena pencapaiannya.
Bahagia yang bahkan bukan karena aku memiliki sesuatu, namun hanya sekedar melihat orang lain bahagia.
Tapi, tentu terlalu naif jika merasa cukup bahagia dengan cara begitu saja. Bahagia yang lain tentu bagian dari kamu ada diposisi orang-orang yang menang. Menang dalam segala hal, tapi dalam kadar yang cukup. Cukup untukmu merasa tenang, dan cukup untukmu merasa aman.
Dalam menentukan ukuran yang paling proporsional, Islam mengisyaratkan kalau orang bahagia itu melalui hati yang selalu bersyukur, memiliki pasangan hidup yang baik, anak anak yang Sholeh, berada di lingkungan yang baik, mendapatkan harta yang halal, semangat mempelajari agama, dan umur yang berkah.
Isyarat tersebut bukan hanya memikirkan ukuran bahagia di dunia saja, tapi sepaket dengan bahagia di akhirat.
Sehingga engkau akan menemukan kebahagian yang sederhana tapi nikmatnya hanya sampai di dunia semata. Namun bila bahagia di dunia dan di akhirat tentu perlu usaha yang lebih. Tidak cukup hanya dengan aamiin.
Maka rawatlah kesadaran tersebut agar kamu terus memperjuangkan bahagia di dunia dan di akhirat. Sebagaimana Islam mengisyaratkan tentang kebahagiaan.
20 Desember 2020 S Febrianti Patimah
0 notes
Text
Mengukur puncak, dan memilih rasa sakit yang paling ingin kamu nikmati.
Saya membaca buku Seni Bersikap Bodo Amat yang ditulis oleh Mark Manson. Dalam salah satu babnyaa ia mengatakan bahwa untuk mecapai tujuanmu, jangan membayangkan puncaknya saja. Sebab menuju puncak itu tentu banyak rintangan dan tidak mudah. Ibarat sebuah gunung, berada di atas puncak akan diperlihatkan keindahan alam yang sangat membuatmu takjub. Berdiri di atas awan, terpesona dengan matahari terbit atau terbenam. Padahal menuju ke atas sana butuh tenaga yang kuat, kondisi fisik yang baik sebab medan dan jalur yang berat, management logistik yang cukup, jangan membayangkan bisa makan mewah, dan tidur di alam dengan cuaca yang ekstrim. Proses itu adalah rasa sakit, dan situasi sulit yang akan dilalui sebelum akhirnya kamu bisa melihat keindahan alam yang menakjubkan. tapi bagi orang-orang yang menikmatinya maka puncak akan ia dapat. Bagi orang-orang yang merasa bahwa perjalanan yang tidak mudah itu menjadi sesuatu yang bisa dinikmati, tentu diri ini akan lebih percaya diri untuk melangkahkan kaki, dan memiliki siasat agar bisa bertahan, atau sebuah analisis untuk mengambil keputusan. Dibanding dengan mereka yang tak menikmati dan tidak siap, sepertinya hanya akan mengeluh dan mendumel. Aku bukan pendaki gunung, tapi mengibaratkan pencapaian, Mark cukup membuatku menyadari soal rasa sakit dan pil pahit. Gunung hanya satu pengibaratan saja, tapi secara esensi, kemanapun tujuannya, perjalanan pasti akan sama sama tidak mulus. Yang perlu ditentukan adalah, puncak gunung mana yang ingin kamu capai?
Ukurannya hanya Dipertimbangkan sesuai kebutuhan, dan rasa syukur.
0 notes
Text
"Berani berjalan menelusuri semak berduri...sing sholeh supaya dapat berkah untuk hidupmu"
Begitu nasihatnya, kata Bapak yang aku mintai nasihat. Kalimat sholeh (lebih tepatnya sholehah) aku amini dengan serius. Mendengarnya membuat diri berkaca, sekaligus mata berkaca-kaca, karena perjalanan menuju sholehah adalah proses panjang yang tak pernah usai, apalagi mengingat diri ini yang penuh dosa.
Katanya aku sedang diberi ayat kauniyah mengenai persoalan dan dinamika hidup manusia. Semak berduri itu penuh dengan hikmah, jika dikumpulkan, maka bisa menjadi buku pelajaran hidup yang masuk pada bab kesekian. Semoga saja..
Nampaknya, aku memang harus bersyukur dan berterima kasih pada orang yang membersamai dan aku dampingi saat ini. Dengan segala permasalahannya, aku tertantang agar menjadi bijak, dan tentu saja sebagai cara untuk meningkatkan kapasitas diri, dalam hal intelektual, emosional, pun spiritual.
Seenak itu memang jika melihat sesuatu dari sudut pandang yang positif. Agar tak lantas egois dan apatis. Aku tidak bisa mengatakan sudah berhasil, namun dikepala ku selalu riuh membayangkan sesuatu yang mebahagiakan, semoga selalu dikuatkan hingga perasaan optimis itu tidak habis.
Semakin yakin juga sebab adanya kekuatan di luar nalar manusia. Siapa lagi? Kekuatan Allah tentu saja. Aku hanya perlu bermilitan untuk semakin dekat kepada-Nya.
Untuk kamu yang sedang berjuang melawan rasa takut, memaafkan yang mengecewakan, mengurai yang rumit, menyederhanakan yang pelik, serta memantaskan diri (untuk dirimu sendiri) agar menjadi lebih baik, upayaku mungkin kadang payah, bantuanku mungkin kurang konkrit, tapi Do'aku tak terhenti meski dalam sembunyi-sembunyi ☺️
La Haula Wala Quwwata Illa Billahil
Juli, Hari ke 24
S. Febrianti patimah
1 note
·
View note
Text
Pengalaman masa kecil menjadi alasan mengapa aku sepakat dengan tulisan di atas. Bahkan, pada saat itu aku memiliki pemikiran yang sama, dan membayangkan lebih baik saja jika perpisahan itu benar terjadi.
Aku tidak hendak ingin membandingkan, bagaimana rasanya menjadi anak dari orang tua yang bercerai, atau dipisahkan karena takdir kematian. Aku tidak bisa memposisikan diri di kondisi tersebut, hanya saja aku mempunyai pemikiran jika perpisahan adalah langkah terbaik untuk meredakan rasa sakit setiap kali melihat pertengkaran. Aku tidak hendak ingin saling membandingkan rasa sakit, jika ada teman-teman yang baca tulisan ini.
Baku hantam, barang terbang, bicara kasar dengan intonasi tinggi menjadi peristiwa yang tidak enak aku lihat di rumah. Saat itu, aku hanya menangis di bawah bantal, atau sekali-kali merelainya dengan ketidakberdayaan.
Bagiku, peristiwa itu menyakitkan, belum lagi jika itu terjadi setiap hari, jika terjadi saat aku pulang ke rumah suasana sudah kacau, jika terjadi sambil diiringi tangis adik-adik dan ibuku.
Sakit, sungguh. Tapi mungkin saja ada yang lebih menyakitkan dari kejadian yang aku alamai, tapi jika bisa tanpa ada perasaan menyakitkan, atau paling tidak diminimalisir, tentu itu yang aku dan kita semua inginkan.
Seiring berjalan waktu, dan sedewasa ini aku menemukan pelajaran, masa lalu memang harusnya dimaafkan, sebab sekalipun aku ingat itu, aku sudah tak merasakan sakit yang amat, biar saja dijadikan bahan ajar untukku kelak.
Semakin mencari tau, nyatanya pengasuhan itu bukan mewariskan sesuatu yang buruk atas apa yang telah orang tua tunjukan. Ah barang kali, orang tua kita dulu tak memiliki akses untuk belajar, tentu generasinya lah yang harus belajar dan memperbaiki keturunannya.
Perasaan menyakitkan masa kecilku, biar sudah didamaikan, biar saja jadi pelajaran. Belajar dari rasa sakit dan resah. :)
0 notes
Text
Berdamai lagi, yuk
Berdamai adalah kata yang paling pas agar bisa kembali menyembuhkan luka. Berdamai dengan diri sendiri, setelah memberi ruang hati untuk merasakan sedih dan sakitnya. Berdamai dengan diri sendiri, setelah memberi ruang akal agar menyadari ada yang tidak baik-baik saja. Berdamai dengan diri sendiri, agar bisa memaafkan dan tidak menyesakkan ketika peristiwa tidak menyenangkan perasaanmu merangsek dalam lamunan.
Tapi, itu tidak mudah.
0 notes
Text
Yang pernah patah
Terkadang dalam melewati peristiwa perlu untuk berdarah-darah, entah dibagian mana pelajaran itu didapatkan, tapi tentu saja Ada. Termasuk dalam Segala proses menyembuhkan luka, menyeka kecewa, melunakan ego agar tak melulu maumu sesuai realita.
Terkadang dalam mencatat sejarah perlu cerita yang engga mulus-mulus amat, entah diparagraf keberapa perasaan harus berteduh dari terik bahagia, sebab hujan sendu menghentikanmu agar berada dalam perenungan yang Panjang.
Sampai dititik terendahmu, sampai dititik ketakutanmu, adalah tolak balik agar berproses Dan berjuang kembali, sebab seberapa sering pun pernah patah, akhirmu mesti Ada dalam paragraf yang bahagia Dan baik-baik saja.
Feb, sing bageur!
1 note
·
View note
Text
Olahraga yang Tidak Olahraga.
Aku tidak terbiasa berolahraga sejak tidak adanya mata kuliah penjaskes di bangku kuliah, juga sejak waktu soreku tidak lagi digunakan untuk bermain basket atau bermain volly di taman sebelah rumah. Semakin sibuk dengan urusan materialistik dan (mungkin) rohani, sehingga urusan jasmani tak lagi disempatkan. Sampai akhirnya, entah kemasukan angin dari mana. Kawanku tiba-tiba merencanakan untuk lari pagi di Sabuga. Aku pikir ini ide segar, dan aku sepakat untuk ikut. Ketika matahari masih malu-malu untuk menunjukan wujudnya. Sinarnya juga cocok untuk kulit agar mendapatkan suntikan vitamin D, adalah waktu yang kami pilih untuk berlari dengan membawa bayang-bayang lontong kari yang eheemm, enak. Entahlah, apakah menurut guru olahraga dan ahli gizi dua hal ini cocok untuk dipadupadankan. Starter pack yang mesti digunakan dan dibawa tentu saja pakaian yang longgar, menyerap keringat, dan menutup aurat. Kawanku menggunakan kaos olahraga (syar'i) juga membawa headphone agar larinya berasa lebih enjoy, asal jangan dengerin dangdut karena nanti bisa rusuh. Sedang aku memakai kaos panjang, jaket, celana training, kaos kaki dan sendal gunung. Sejak mengiyakan, aku baru ingat tidak punya sepatu untuk dibawa berlari. Dipikir-pikir ootd ku pagi itu lebih mirip orang sakit yang akan pergi ke puskesmas. Tapi oh baiklahhh... aku tidak peduli, dan tetap berangkat. Sampai di lokasi, aku memilih jalan sehat-- yang menurutku ini juga olahraga hahaa-- menikmati sinar matahari dan duduk menatap orang-orang yang sedang senam sembari menunggu kawanku selesai beberapa putaran. Aku merasa olahragaku kaku sekali saat itu. Tapi untung hati tetap lunak agar bersabar atas lontong kari yang sebentar lagi kudapat. Tentu saja, selesai (kawanku) olahraga, kami langsung menghampari mamang lontong kari. Di bangku taman kami menyantapnya, sambil mengobrol banyak hal. Kami bicara soal frekuensi atau pengalaman masa lalu yang membekas. Entah itu keburukan atau kebaikan, keduanya sama-sama asik untuk dibagi. Barangkali obrolan kali itu agar semakin mengerti hidup. Bagaimana cara Tuhan mengatur segalanya. Ah memang obrolan random, dari yang serius sampai yang mengundang tawa. Termasuk mengomentari prilaku warga kota menggunakan pakian olahraga, yang dengan PDnya menghisap vape, dan menghembuskan asapnya di taman. Kali ini, aku benar benar ingin bertanya kepada guru olahraga dan ahli gizi. Mana yang lebih baik dilakukan setelah berolahraga, makan lontong kari atau menghisap vape? Seketika, kami harus bubar dan mengembalikan piring ke mamang lontong kari. Karena tak tahan dengan bau asapnya, meskipun beraroma bublegum atau apalah itu. Padahal obrolan kami saat itu terlampau asik. Ya, pagi tadi olahraga -- yang tidak cuma olahraga tapi olah hati -- dan makan lontong kari jadi perantara tentang nikmatnya ngobrol dan heureuy. Bandung, akhir agustus 2019 S. Febrianti Patimah
0 notes
Text
Memaafkan tidak sama dengan Melupakan
Aku sempat berada pada masa lalu sebelum akhirnya berada di masa ini. Masa lalu itu waktu yang sudah lewat, yang pernah dilalui, yang telah terjadi sehingga di masa ini kita bisa menyebutnya sebagai pengalaman atau kenangan yang tentunya memiliki dua muka, baik dan buruk. Baik dan buruk menjadi pasangan yang setia disetiap perjalanan kita. Baik dan buruk ini menciptakan suasana senang atau sedih di hati kita. Baik dan buruk ini selalu memberikan potongan - potongan hikmah untuk perjalanan kita ke depan (bagi orang - orang yg berfikir).
Mengenai kenangan buruk, yang sempat membuat hati tersakiti dan menimbulkan perasaan sedih, bagiku hal ini juga berlaku ketika menyakiti orang lain dan membuat perasaan sedih orang lain, karena ketika menyadari bahwa itu salah, dengan otomatis ada rasa sesal dan sesak dalam dada. Kata maaf menjadi perantara yang Tuhan berikan untuk kembali mensucikan hati (semoga demikian apa yang diharapkan sebagai orang yang sudah berbuat kesalahan)
Memaafkan adalah sikap yang lapang, dibanding dengan sekedar melupakan kejadiannya dengan begitu saja. Sebab masa lalu tidak sepenuhnya akan lupa, terkecuali jika mengidap penyakit lupa ingatan. Berusaha melupakan segala kejadian buruk, pengalaman pahit, yang menyedihkan itu sama halnya dengan berusaha untuk mengingatnya. Sebab diwaktu yang bersamaan kerja otak kita fokus terhadap hal - hal itu. Sama seperti ketika kamu ingin membuang “kotoran” tapi tidak mau membersihkannya. Tetap saja akan kotor.
Maka memaafkan menjadi jalan agar bisa memetik potongan potongan hikmah itu, memaafkan akan selelu memberikan energi untuk melanjutkan perjalanan, dan memaafkan adalah cara agar kita bisa berdamai dengan masa lalu. Damai itu indah bukan ?
Kesederhanaan yang perlu keikhlasan penuh. Bersandar lah pada Allah sebagai yang Maha pemberi kekuatan. Sebab memaafkan dan meminta maaf itu butuh energi, energi batiniah.
Bandung, januari hari ke enam 2017
S Febrianti Patimah
1 note
·
View note
Text
Fluktuasi 2018
Sebelum menutup tahun ini, saya menarik ingatan kebelakang, bagaimana 2018 yang banyak menguras tenaga, pikiran, dan materi. 2018 yang penuh keajaiban, bagaimana pertolongan yang Maha Kuasa itu nyata, melalui do'a-do'a yang dikabulkan, melalui perantara-perantara yang sangat baik hati. 2018 yang menitipkan banyak resah, kegalauan-kegalaun yang datang cukup membuat rudet. 2018 yang karenanya tercipta sebuah proses dan hasil. 2018 yang sangat banyak fluktuasi kehidupan. Awal tahun, pikiran saya sudah diresahkan dengan Tugas Akhir, keyakinan bahwa saya bisa ikut gelombang 1 sudah cukup percaya diri. Mulai berpikir tentang ide, lalu melakukan riset. Setengah jalan melakukan riset, dan h-3 batas akhir pengumpulan proposal Tugas Akhir Gelombang 1, ternyata rencana itu saya urungkan. Tak cukup siap secara materi untuk berproses menggarap film dokumenter sepanjang 24 menit. Sebuah keputusan yang gamang namun harus dilakukan, hasil pertimbangan yang matang saya kira. Pikir saya kala itu daripada berhenti ditengah jalan, lebih baik mundur secara teratur. Konsekuensi nya adalah saya harus membayar SPP tambahan 1 semester supaya bisa daftar di gelombang dua, kurang lebih 5 bulan kemudian. Saya sadar, bahwa hasil keputusan ini dampak dari kesalahan saya pribadi, sehingga agak malu rasanya untuk meminta bantuan agar SPP saya bisa lunas. Maka konsekuensi tersebut sudah saya antisipasi dengan sebuah gerakan untuk segera mencari lowongan pekerjaan. Beruntung, tidak lama dari itu, saya diterima magang di sebuah perusahaan penerbit buku sebagai editor video selama 3 bulan. Magang yang juga mendapatkan uang saku yang hasilnya cukup saya tabung untuk membayar SPP. Selama magang, rencana menyelesaikan kuliah tidak dilupakan. Selama itu, saya sembari memikirkan ide baru dan melakukan riset kembali. Singkat cerita hari itu pun tiba, saya menyelesaikan segala administrasi persyaratan menjadi peserta Tugas Akhir, dan telah menyelesaikan proposal. Saya daftar sebagai peserta Tugas akhir dengan minat penyutradaraan film dokumenter. Kala itu saya akan menggarap film dengan judul X-Residivist. Saya bersama partner Tugas Akhir yang mengambil minat Penata Gambar, lolos pada sidang kolokium, artinya ide dan konsep yang kami tawarkan dapat diterima dan berlanjut ke dalam proses produksi. Senang rasanya, sudah melalui satu tahap, dan selanjutnya "perang" akan segera dimulai hehehehe. Produksi yang tidak mudah, dan tidak mulus-mulus amat. Sebuah proses yang banyak menguras tenaga, pikiran, dan materi. Ya materi yang tidak sedikit, meskipun kami berusaha untuk meminimalisir biaya, namun tetap saja Tugas Akhir ini mahal. Dalam perhitungan kami, masing-masing perlu menyiapkan uang sebesar sama dengan hitungan followers Baim Wong di Instagram :p Sebagai sobat misquiiin, mendapatkan uang sebanyak itu sangat tidak mudah Ferguso!! Tapi, lagi-lagi Allah baik sekali, mempertemukan dengan perantaranya yang baik hati, ada orang yang bersedia membantu biaya tugas akhir saya, setelah saya bercerita bahwa untuk menyelesaikan ini perlu biaya besar. Sedang saya tidak punya tabungan untuk itu, dan menyadari kondisi keluarga yang tidak mungkin untuk menanggung semuanya. Rasanya, ketika saya mendengar akan dibantu, perolongan Allah itu hadir. Ini tidak datang dengan begitu mudahnya, tapi saya menyetujui pernyataan kawan saya, bahwa hal tersebut adalah bayaran atas semangat saya. Iya, saya memang harus semangat dan bertanggung jawab atas apa yang saya mulai, yaitu menyelesaikan kuliah. Soal biaya yang besar dan melibatkan beberapa orang ini patut lah saya syukuri, namun demikian saya tetap menerima tawaran kerja paruh waktu sebagai video editor disela-sela mengerjakan tugas akhir, untuk biaya hidup sehari-hari. Banyak biaya yang tidak terduga, yang melenceng dari perhitungan, tapi yaa itu lah sebuah proses. Dengan rendah hati, saya meminta kelapangan orang tua saya agar mencarikan biaya tambahan. Saya sangat tau sekali bahwa mendapatkan itu tidak mudah (maaapin saya mamah :'() , tau betul bagaimana ibu saya mendapatkan uang tersebut, harus dibayar dengan kerja kerasnya dan potongan gaji tiap bulan. Selama penggarapan film, masalah itu juga hadir. Bagaimana saya harus dibuat pusing atas kabar buruk yang menimpa narasumber saya, yang berdampak pada molornya jadwal shooting, yang dengan kejadian tersebut sempat membuat saya was-was, hampir-hampir berfikir bahwa film ini tidak akan jadi, namun saya harus tetap tenang dan berfikir cepat untuk menentukan plan A, B, atau C. Peristiwanya apa? Rahasia dong. Hehe Selama menunggu kabar dari narasumber utama, saya panjatkan do'a lebih rutin dari biasanya, dan duaaaar... Kekuatan do'a itu ajaib, lagi-lagi saya dibuat takjub, pertolongan Allah ditunjukan kembali. Satu Minggu kemudian narasumber utama mengabari saya dan siap untuk shooting. Ada juga, narasumber pendukung yang hilang padahal sempat berproses dengan kami setengah jalan, namun masalah itu dapat diantisipasi dengan baik oleh kami. Belum lagi, perasaan hilang kendali ketika berproses, oleh sebab pusingnya membuat konsep. Dokumenter adalah film realitas, yang dapat terjadi hal-hal tidak terduga di lapangan. Hal-hal tersebut cukup membuat otak mikir lebih kerassss. Ditambah, masalah dengan dosen pembimbing, yang membuat kami sedikit tidak tenang wkwkwk. Aaahh memang tidak akan ada yang terhindar dari masalah, walaupun itu bersumber dari kerikil-kerikil kecil. Namun saya belajar, adalah ketenangan dan do'a merupakan kunci untuk menghadapinya. Dengan begitu otak yang rudet, bisa berfikir lebih jernih dan menemukan solusi-solusi yang harus dilakukan. Ketika lelah, istirahat lah sejenak, jangan lantas menyerah. Berproses selama kurang lebih 5 bulan, pembuatan film dan laporan sudah selesai, sidang akhir pun dilakukan. Lalu, 3 hari setelah tugas akhir, pengumuman itu muncul, dan kami dinyatakan lulus. Senang, sedih, haru, dan lega bercampur menjadi satu. Maka, di bulan November saya bisa mengikuti ritual pelepasan status mahasiswa, ya saya diwisuda. Sebuah persembahan untuk orang tua, keluarga, dan seluruh orang-orang baik yang telah banyak membantu dan berempati selama saya berproses. Do'a terbaik untuk kalian, dan Allah SWT akan membalas dengan sebaik-baiknya balasan, menjadi pemberat timbangan amalan baik untuk jalan menuju surga. Setelah itu saya tidak menunda-nunda keinginan untuk bekerja. Secepatnya saya melamar pekerjaan. Satu Minggu setelah saya wisuda, cobaan kembali menerpa. Adik saya mengalami kecelakaan, dua tulang jari kaki bagian tengah dan jari manisnya patah, menurut dokter harus dilakukan operasi. RS swasta di Bandung menawarkan biaya operasi dengan harga 22 juta, mahal ya? Huhuhuhu Namun, beruntung owner di tempat kerja adik saya sangat baik hati, ia mencarikan solusi dengan biaya lebih murah. Dokter kenalannya di Rumah Sakit Garut bersedia untuk melakukan tindakan operasi dengan biaya setengahnya dan biayanya ditanggung perusahaan tempat adik saya bekerja juga pihak yang menabrak. Malam itu juga adik saya dibawa ke Garut bersama saya, orang tua, dan owner perusahaan. Jam dua pagi baru sampai dan operasi dilakukan jam setengah 8. Sedih pasti, kami semua berdo'a untuk kelancaran operasi dan kesembuhan adik saya. Sebuah cobaan yang cukup menjadi beban pikiran. Kelancaran operasi telah selesai, tapi bagaimana setelahnya? Masih banyak proses pemulihan yang dilalui sampai benar sembuh dan bisa jalan kembali. Kala itu saya sangat ingin bertumpah ruah akibat menahan banyak air mata, sebab saya tidak boleh menangis didepan adik dan orang tua. Biar terlihat kuat dan menguatkan. Ada tanggung jawab yang harus saya gantikan ketika dan setelah cobaan tersebut. Tapi tidak mengapa, its ok doooongs. Bagaimana ya, ternyata doa memang benar-benar senjata. Saya banyak berdo'a dari biasanya di tahun ini, dan Allah tunjukan pertolongannya. Lewat perantara-perantaranya, yang cuma Allah SWT yang bisa membalas seluruh kebaikannya. 1 hari pasca kejadian tersebut, saya mendapatkan telpon dari sebuah perusahaan untuk interview dan diterima kerja. Tempat kerjanya rada jauh si dari rumah saya, tapi yang menarik adalah budaya kerja yang perusahaan tawarkan dan terapkan. Sebuah budaya islami yang di mana setiap pagi harus membaca Qur'an dan menonton kajian bersama terlebih dulu. Pada setiap waktu sholat semua berhenti bekerja dan lekas pergi ke masjid untuk melakukan sholat berjama'ah. Kenyataan tersebut membuat hati saya takjub kembali, mengingat-ingat saya pernah berkata pada teman saya bahwa saya ingin kerja di tempat yg bisa mendekatkan diri saya kepada yang Maha Kuasa, bukan cuma mendapatkan dunia, tapi akhiratnya juga. Biar menjadi stimulus agar saya bisa jadi lebih baik lagi setiap harinya, insyaallah. Begitu, tahun ini, 2018, banyak dihadapkan masalah, tapi banyak dihadapkan juga kemudahan. Banyak dibuat senang, lalu dibuat sedih, lalu dibuat senang lagi. Banyak pertolongan, banyak pelajaran. Banyak hikmah, ditunjukan kekuatan dan keajaiban dari do'a. Barangkali, fluktuasi 2018 ini bukan hanya dirasakan oleh saya, tapi juga teman-teman yang lainnya, yang bahkan lebih berat. Namun, biar apapun yang dihadapi menjadi pengingat bahwa ada yang senantiasa menolong dengan sigap. Adalah ia yang Maha Kuasa. Tetap Berproses, berjuang, berdoa. Tenang, jangan menyerah. Kalau lelah istirahat dulu. Biar melatih agar hati tetap lapang, dan berjiwa besar. Insyaallah. 2019, see you yaaa. Lahauwla Walla quata 'ilabillah 
5 notes
·
View notes
Text
Selepas wisuda, saya baru intensif lagi pulang ke rumah. Tapi, semuanya belum baik-baik saja. Dulu, lebih sering menetap di luar lalu bisa mengambil banyak pelajaran. Belajar meredam marah, belajar lebih tenang, dan lebih mudah memberikan pengertian. Lalu, rindu. Inginnya terus di rumah saja, setelah lama berkelana. Katanya, pulang lah selama engkau bisa, biar engga lupa jalan kemana harusnya kembali. Nyatanya, saya merasa gagal. Seperti sebelum ditinggal 4 tahun lalu, masih belum baik-baik saja. Entah, rasanya lebih tenang di luar. Tapi hormat pada ibu bapak tetap terjaga. Saya kira, ini hanya soal tempo. Mengatur ritme tentang waktu kapan harus pergi, dan kapan harus pulang. Biar apa? Biar baik-baik saja. Maaf ya... Suka SAD
3 notes
·
View notes
Text
Dalam senyap senyap resah, tunduk memasrahkan kehendak-Nya Derai-derai jatuh saat sunyi, pekikan permintaan banyak sekali Apa yang tidak bisa dibahasakan, ujar qolbu engkau Maha Tau Bukan satu-satunya, menjadi hancur luluh Di lorong-lorong panjang, menaruh ingat pada takdir-Nya Apa yang tidak bisa ditebak, biar prasangka baik jadi penghiburnya Tengadah, seketika itu tenang Tidak ada hidup yang buruk Biar yang patah tumbuh Segalanya, akan baik-baik saja. S Febrianti Patimah - Dalam Bis Damri sore hari 7 Januari 2019
5 notes
·
View notes
Text
Seringkali waktu dijadikan tempat "penitipan" atas segala harapan dan penghiburan untuk sebuah keyakinan. Tapi, bukankah waktu hanya berlalu begitu saja? Lantas, bagaimana bisa kita mengetahui waktu yang tepat? Bukankah di dalam waktu itu ada yang menjalaninya, maka segala harapan bukanlah pada "waktunya" namun tentu bergantung pada apa yang kita lakukan. Pada waktu yang kesekian manakah yang kita harapkan? Waktu tidak membawa apa-apa, harapan justru dititipkan pada yang kita lakukan, waktunya tergantung pada keberanian kita memutuskan pilihan.
Sebuah perunungan pribadi untuk menasehati diri sendiri. :)
Masih di Bandung
S. Febrianti Patimah
12 notes
·
View notes
Text
Iya nikah itu mudah, tapi engga sebecanda itu. Iya nikah itu mudah, tapi bukan karena nilai materialnya yang dibikin jadi mudah. Iya nikah itu mudah, yang sulit itu berumah tangga. Apakah becandaan-becandaan itu bisa jadi cukup bekal untuk berumah tangga? ☺️
Blabbering: Tentang Nikah (Lagi!)
Oke, kali ini gue mau blabbering soal nikah (lagi!). Gue ngerasa kayak, YaAllah, tema ginian kok ga kelar-kelar ya? Tapi ya mau gimana, karena gue merasa sangat gundah, ya perlu gue keluarin lewat tulisan. Karena kalo salah meluapkan, gue mungkin bisa swearing sehari-semalam. Ga percaya? Tanya aja temen-temen gue kalo gue lagi gondok. 😂
Oke, kali ini yang ngebuat gue terpelatuk adalah, ketika salah satu temen gue di kelas ngepos ini:

Terkejoed? Ya sama. Gue juga terkejoed sekaligus heran ga karuan.
Kenapa kok gue bisa-bisanya terpelatuk?
Gini, pertama-tama, seriously, gue sebenernya mau ngejeda dulu ngomongin beginian. Tapi ternyata … semakin didiemin, stereotip-stereotip kanker itu makin menjelma jadi monster!
Nah, yang membuat gue sangat terpelatuk adalah, bahwa ternyata ada orang-orang yang menganggap nikah itu suatu hal yang mudah, dan saking mudahnya sampe dibuat list harga kayak gitu.
Guys, nikah emang mudah. Tapi nikah ga semudah yang penting sah kayak yang si pembuat konten ini bilang. Ketika lu menikah, maka akan ada tanggung jawab dan beban yang bertambah. Salah-salah niat, kolaps lu di tengah jalan! Jadi, nikah itu mudah, tapi bukan dimudah-mudahkan alias dianggap urusan sepele.
Sekali lagi, buat lu pada yang berpikir nikah sebagai pelarian tugas-tugas lu pada, mencari pelarian dari tugas dengan menikah adalah mencari pelarian yang salah.
Plis, jangan salah paham. Gue bukan men-judge bahwa menikah di saat masih duduk di bangku kuliah adalah hal yang salah. Tapi menikah dengan niat mencari pelarian dari kewajiban–di antaranya kuliah–adalah niat yang SALAH! Tolong pahami baik-baik. Karena nikah ga sesepele dan ga sesimpel ijab kabul, sob.
Nah, kemudian, yang membuat gue terpelatuk lagi adalah, harga-harga di situ yang kayaknya “ekonomis” banget. Gue sampe mikir, “Gila, enak bener nikah begitu ya, uang sebulan gue di kampus cukup bakal nikah.”
Menurut gue (lagi-lagi ini dari opini gue, lu boleh ga setuju), hal yang kayak gini justru sangat merendahkan! Mahar 200 ribu, are you kidding me? Ga, gue ga maksud merendahkan nilainya. Tapi hal-hal yang kayak gini yang akan membuat pemuda-pemuda yang sebenernya belum mateng-mateng amat (dari berbagai aspek) terus terkompori untuk akhirnya menikah.
Gini ya, dulu, sahabat Nabi itu menikah dengan mahar (mengajarkan) hafalan Al Qur'an (mengajarkan lho, ya, bukan ngebacain doang), itu karena opsi terakhir–karena sudah tidak ada lagi mahar barang yang bisa diberikan. Masa iya, sekarang malah laki-lakinya yang pengen maharnya dikit-dikit aja, murah-murah aja, yang penting sah? Hey, mental kalian semengkeret itu? Maaf nih, nikah ga sebercanda itu. Candaan yang begini, berpotensi banget mencederai kesakralan pernikahan.
Gini deh. Kebayang ga sih, kalo seorang Ali ibn Abi Thalib melihat mental pemuda zaman sekarang mengkeret begini? Dikasih list harga sama keluarga perempuan, ciut. Diminta mahar sekian, sekian, ciut. Entah diapain kali sama beliau, ya.
Dan buat kalian yang masih mau komen, ah, itu kan bercanda doang, ga serius, gue mau jawab gini aja,
Nikah ga sebercanda itu. Ia menuntut tanggung jawab dan kesungguhan. Kalo hal yang begini dijadiin dagelan, gue kuatir, nanti pascanikah, kehidupan lu pada jadi dagelan semua.
Pesan terakhir gue:
Menikahlah karena lu mau nyari ridha dan surganya Allah bersama pasangan lu. Bukan cuma karena “YANG PENTING SAH”! Karena nikah ga sebercanda itu.
Ya udah, makasih, Wallahu A'lamu bisshawab.
Yang bener itu dari Allah, yang salah itu punya gue dan dari bisikan setan.
Tangerang, 13 Januari 2018
Ibnu Kurnia
1K notes
·
View notes
Text
"Perasaan bahagia di atas kebahagian orang lain itu dialami melalui proses penerimaan yang baik, dan hati yang bebas dari penyakit. Dan Saat ini aku sedang ingin demikian,"
- s febrianti patimah
2 notes
·
View notes