Text
Apapun kesulitan yang kau hadapi, simpan dan kunci rapat-rapat dalam hati. meski ia nampak dari wajahmu, suruh dia sembunyi. Biarkan ia menderita sendiri lalu pelan-pelan mati.
1 note
·
View note
Text
Yang kau puja dan berikan hidupmu padanya itu hanyalah makhluk fana yang hatinya sendiri pun dia tak punya kuasa. Kau mengharap angin surga darinya, betapa lucunya badut ini.
0 notes
Text
Kita tidak bisa berharap pada siapapun, keluarga bahkan pasangan, seringkali tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Maka dari itu perlu untuk selalu menghambakan diri pada Tuhan.
2 notes
·
View notes
Text
Pasangan adalah tempat di mana kamu bebas menjadi apa saja, tapi bukan berarti bebas menjadi semena-mena kepadanya.
@taufikaulia
390 notes
·
View notes
Text
Melihatmu menangis seperti mematahkan tulang-tulangku, sudah seharusnya begitu.
6 notes
·
View notes
Text
“Tidak karena kau tau aku penyabar, lantas menjadikanmu berhak mengujinya berkali-kali, Sebab kamu bukan Tuhan, Dan aku tidak sedang menghamba.”
— @asnizha
34 notes
·
View notes
Text
Kota, jam tidur yang aneh, dan mimpi-mimpi yang terselip dibawah bantal. orang lain tidak pernah menyakiti saya. pikiran saya tentang mereka yang sering menyakiti saya.
12 notes
·
View notes
Text
Sebuah pengalaman hidup yang tidak pernah terlintas bahkan dalam pikiran terliar saya. Malam ini, malam ketiga di posko pengungsian pasca kejadian naas Jumat dinihari kemarin.
Saya banyak belajar soal kemanusiaan. Bagaimana saling berbagi, saling mengerti di kondisi yang sangat terbatas ini.
Makan seadanya, tidur beralas terpal, jaringan komunikasi yang terbatas, listrik juga air yang harus selalu di hemat. Belum lagi rasa khawatir yang menghimpit dada apabila membayangkan bagaimana hari-hari kedepan.
Akan tetapi, pengalaman ini membuat saya dan mungkin semua orang menjadi makin peduli terhadap sesama.
Selalu ada hikmah yang bisa diambil dari sebuah peristiwa. Saya banyak belajar dari kejadian ini. Pembelajaran hidup yang tidak akan mungkin didapatkan di bangku sekolah.
Ibu selalu mengingatkan saya untuk jangan takut berbagi, bahkan dalam keadaan sempit seperti sekarang. Sebab Allah yang akan mengganti, dengan pengganti yang lebih banyak dan tentu lebih baik.
Terima kasih Ya Allah, saya beserta orang-orang yang saya sayangi masih engkau berikan kesempatan menghirup udara di bumi milikmu ini.
4 notes
·
View notes
Text
Pelupa
mungkin seorang sepertiku bukanlah orang yang pantas untuk membersamaimu. sebab kau lebih senang berbagi luka ketimbang bahagia bersamaku. jauh hari telah kutulis di kulitku sendiri dengan tinta permanen agar aku tidak jadi seorang yang pelupa, aku tidak ingin menjadi seorang yang pelupa. aku ingin mengingatmu, beserta kebodohan - kebodohanku yang pernah begitu ingin menjadikan kita ; satu.
13 notes
·
View notes
Text
Bayangan
dan barangkali selama ini aku hanya menari dengan bayanganku sendiri. karena sejatinya, tak ada satupun orang yang mampu membahagiakan kalau bukan diri kita sendiri. sebuah proses yang harus selalu di syukuri adalah cepat ataupun terlambat; semua yang sudah terjadi, kita harus bisa dan selalu mau memaafkan kebodohan kita di masa lalu.
8 notes
·
View notes
Text
Anak-anak kita kelak berhak untuk mendapatkan orang tua yang terbaik.
Kita Mungkin Bisa Menerima, Tapi..
Saya telah melewati fase ini, tapi pembelajaran yang terjadi dari lompatan fase itu tidak akan pernah lekang dan akan menjadi nasihat yang nanti saya teruskan ke anak-anak saya nantinya. Terkait memilih pasangan hidup.
Kita, sebagai remaja yang mungkin pada fase tersebut dilanda banyak keresahan terkait pasangan hidup, waktu yang terus bergulir memakan usia, kemudian dorongan dalam diri yang ingin segera masuk ke fase berikutnya. Hal-hal yang seringnya, membuat pikiran dan hati kita tidak stabil. Logika kita tidak berjalan dengan baik, begitu pula perasaan kita yang mudah sekali berubah-ubah.
Apalagi, saat kita dihadapkan pada kondisi dimana kita justru dipertemukan dengan orang-orang yang menguji value yang kita pegang selama ini. Ada hal baik yang ada pada dirinya, meski ada tapinya. Dan “tapi” inilah yang membuat kita kebingungan dengan diri kita sendiri.
Pada waktu itu, nasihat ini datang kepada saya.
“Kamu boleh jadi bisa dan luas hatinya untuk menerima orang lain seburuk apapun masa lalu yang dia miliki, ditambah dengan asumsimu bahwa dia sudah berubah meski mungkin itu belum benar-benar bisa kamu validasi, tapi kamu berprasangka baik. Dia yang masih merokok, dia yang pernah berhubungan dengan perempuan di luar bayangan kita, dia yang shalatnya belum tegak lima waktu, segala sesuatu yang kita rasa, itu bisa diubah seiring pernikahan. “Boleh jadi kamu bisa menerima mereka dengan terbuka, tapi coba benturkan hal itu jika nanti ada anak-anak. Apakah kamu akan membiarkan anak-anakmu terpapar asap setiap hari di rumah bahkan sejak dia lahir? Apakah kamu menjelaskan dengan baik, dan membanggakan laki-laki itu nanti sebagai ayah dari anak-anakmu.”
“Inilah yang seringkali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Bahwa, sejatinya memilih pasangan hidup, salah satunya adalah bentuk kewajiban kita untuk menunaikan hak-hak anak kita memiliki ayah/ibu yang baik. Hak yang harus kita tunaikan. Kita tidak semata menikah hanya untuk kepuasan diri, ego, dan asumsi-asumsi kita.” “Selama kita masih punya keleluasaan untuk memilih dan membuat keputusan. Maka, seberat apapun upayanya. Kukira, itu tidak akan selamanya. Tapi, pernikahan itu, selalu kita harap akan baik selamanya kan? Tak ada salahnya kita berusaha lebih keras dan lebih lama sedikit, berdoa lebih kuat lagi, kemudian memberanikan diri untuk melewati fase ini dengan lebih logis dan dengan iman. Agar langkah kita tidak didorong oleh ego kita untuk segera memiliki status, ego karena malu belum menikah sendiri, ego karena ingin seperti teman-teman kita yang lain, ego karena dirasa menikah itu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup.”
Justru, pernikahan itu menambah masalah. Kalau kita salah menentukan pilihan, salah dalam membuat keputusan, masalah yang akan kita hadapi dalam pernikahan, akan jauh lebih sulit.
Berjuanglah lebih lama sedikit, lebih bersabar, agar kita sampai pada pelajaran yang utuh. Agar kita sampai di titik, dimana kita bertemu dengan orang yang benar-benar membuat kita yakin dan percaya bahwa anak-anak kita, layak memiliki ayah/ibu seperti dia. Di sini, semua standar kita soal ketampanan, kekayaan, dan semua hal yang tampak permukaan akan luluh. Kalah oleh akhlak, kalah oleh karakter seseorang. Sebab akhlak/karakter adalah cerminan pemahaman hidup seseorang, cerminan pikiran-pikirannya, cerminan tentang visi yang ingin kita hidupkan.
Bersabarlah, sedikit lagi. Karena pernikahan yang seumur hidup, terlalu berharga untuk kita korbankan demi ego-ego dan perasaan kita yang tak mampu kita kendalikan saat ini. Kurniawan Gunadi
Yogyakarta, 17 Juni 2020
2K notes
·
View notes
Text
Sesak sekali membaca ini, baik sekali perempuan ini. Apa ini yang dikatakan oleh para petuah, tentang hati perempuan yang jika sudah jatuh cinta, tetap tumbuh meski babak belur di hantam badai
setia itu pekerjaan yang baik
tulisan di bawah ini saya pindahkan dari linikala twitter. 30 tweet bertagar #cerinta yang saya tulis desember lalu berikut ini adalah kisah nyata ibu saya.
*
1. ibu saya, safinah, menikah dengan ayah saya, mansyur, saat dia baru saja tamat smp (tepatnya smep, sekolah menengah ekonomi pertama). dia masih amat muda.
2. ibu saya waktu itu sedang menikmati cinta pertama ketika dilamar seorang pria yang tak dia kenal, pria dari gunung.
3. ibu tak ma(mp)u menolak keputusan ayahnya yang menerima lamaran pria anak pembuat gula merah itu. dia putuskan pacarnya. terpaksa.
4. beberapa hari sebelum menikah, dia lihat calon suaminya dan berubah pikiran. calon suaminya jelek. dia merencanakan pelarian.
5. dia mengatur secermat mungkin rencananya untuk kabur. agar tak mencurigakan, dia akan melarikan diri sesaat usai pesta pernikahan.
6. betul, sebelum malam pertama, ibu saya pergi dari rumah tanpa ada yang tahu. dia ternyata naik bus sekitar 150 kilometer ke makassar.
7. melalui bantuan temannya, dia bekerja sebagai pembantu di keluarga tionghoa. majikannya tak tahu dia kabur dari rumah.
8. tugas utamanya merawat anak majikannya yang baru lahir, yang ditinggal mati ibunya. setelah beberapa bulan, dia dan majikannya saling jatuh cinta.
9. setelah setahun dalam pelarian, dia pikir saatnya pulang. pria gunung itu pasti sudah marah dan tak mau lagi jadi suaminya.
10. singkat cerita, suatu sore tibalah dia di kampung. dia kaget menemukan suaminya ngobrol santai dengan ayahnya di beranda. deg!
11. “pria jelek itu ternyata setia menunggu saya,” pikirnya. dia tersentuh. malam pertama berlangsung beberapa jam setelahnya, setahun setahun setelah menikah.
12. dia berusaha melupakan majikannya dan menyerahkan diri jadi istri pria gunung yang dia pikir setia itu.
13. empat belas bulan kemudian, anak pertamanya, saya, lahir. saya berada di rahimnya selama 12 bulan lebih beberapa hari. aneh.
14. delapan belas bulan kemudian adik saya lahir. lima tahun kemudian adik bungsu saya lahir. dua bulan setelah itu, ayah saya pergi dari rumah.
15. ayah saya berjanji tak lama di perantauan. setahun, dua tahun, tujuh tahun, dia tak kunjung pulang.
16. ibu saya setia menunggu dia pulang. dia yakin ayah saya akan pulang meski tak pernah ada kabar sedikit pun.
17. setelah sepuluh tahun ayah saya tak pernah mengirim kabar, di tetangga beredar gosip ayah saya sudah menikah lagi.
18. ibu saya yang cuma penjual tomat (dan sebangsanya) dan harus menyekolahkan tiga anaknya, tetap yakin suaminya akan pulang.
19. itulah sebabnya dia menolak lamaran tiga pria sepeninggal suaminya. dia selalu yakin suaminya akan pulang.
20. tapi ibu saya ternyata merahasiakan sesuatu. waktu saya pertama kali membawa pacar saya ke rumah, dia menunjukkan sesuatu.
21. Lima tahun dia menyimpan foto pengantin ayah saya dengan perempuan lain sebelum berani menunjukkannya kepada saya.
22. tapi kata ibu saya, “setia itu pekerjaan yang baik, nak.” dia masih yakin ayah saya akan pulang suatu saat.
23. pada suatu pagi, april 2010 lalu, ibu saya menelpon mengabarkan bahwa ayah saya meninggal di perantauannya.
24. awalnya saya melongo lalu menangis setelah menyadari betapa sedihnya ibu saya. dia sampai kesusahan bicara.
25. seharian saya membaca surat-surat yang sejak kecil rutin saya tulis tapi tak pernah saya kirim kepada ayah saya karena tak tahu alamatnya.
26. ternyata ayah saya meninggal 2 tahun sebelum ibu saya menelpon pagi itu. dia juga baru dapat kabarnya.
27. setelah itu ibu saya sibuk cari informasi soal istri suaminya. ternyata dia berasal dari daerah tak terlalu jauh dari kampung saya.
28. dari istri keduanya, ayah saya punya tiga orang anak, tapi satu orang meninggal. “kita punya keluarga baru,” kata ibu saya.
29. ibu saya lebaran di malaysia bulan kemarin. salah satu tujuannya adalah menziarahi kubur suaminya, ayah saya, di sana.
30. kenapa saya menceritakan ini? kemarin ibu saya menelepon meminta saya menjenguk adik baru saya yang tak tinggal terlalu jauh dari makassar.
188 notes
·
View notes
Text
Aku menulis puisi, untuk membuatmu abadi.
kepada cucu seorang yang menolak aku jadi menantu
aku menulis puisi sebab waktu kanak-kanak aku ingin menjadi seorang astronot—dan tidak mau guru dan teman-temanku tertawa sekali lagi karena ibuku janda penjual tomat. aku menulis puisi agar mereka tahu anak penjual tomat juga boleh menyimpan cita-citanya di bulan, di langit, atau di tempat yang jauh lebih tinggi.
aku menulis puisi sebab aku tidak mau menyakiti hati ibuku dengan kata-kata saat aku tidak mampu menjadi anak lelaki yang kuat mengangkat cangkul karena penyakit yang lahir bersama jantungku. aku menulis puisi agar ibuku mau tersenyum ketika lelah pulang dari pasar dan tidak ada tomatnya yang laku.
aku menulis puisi sebab aku ingin mengungkapkan kepada teman-temanku aku tak mampu beli sepatu dan baju model terbaru. aku tak mampu mengajak gadis-gadis yang aku suka ketawa bersama di kantin sekolah atau kafe bagus. aku menulis puisi agar mereka tahu kata-kata telah membuat aku tak bunuh diri karena setiap hari mendengar mereka menertawai aku di sekolah.
aku menulis puisi sebab aku berharap bisa jadi suami yang tak mampu meneriakkan kalimat kasar kepada istri dan anak-anaknya. waktu kecil, aku menangis saat ayah membentak aku dan ibuku. aku senang mendengar musik tapi bahkan main gitar aku tak tahu. aku menulis puisi agar orang-orang tahu kata-kata adalah pedang yang bisa dilipat menjadi perahu dan pesawat mainan juga bunga untuk ruang keluarga.
aku menulis puisi sejak masih kecil seperti kamu, bukan untuk menjadi penyair. aku ingin jadi astronot, seorang yang mampu ke tempat tertinggi di mana pernah dia menyimpan mimpinya. aku menulis puisi ini untukmu di jendela, sambil berpandangan dengan bulan, agar kamu tahu aku gagal dalam banyak hal di hidupku—termasuk menjadi suami ibumu.
aku menulis puisi ini agar kamu tahu bahwa kehidupan, bagaimana pun kejamnya, selalu indah untuk dituliskan menjadi puisi.
62 notes
·
View notes
Text
“Jangan terlalu kejam pada seseorang yang begitu mencintaimu. Bisa jadi dialah orang terbaik yang pernah mencintaimu. Dan kaulah orang terburuk yang pernah ia cintai.”
— Rizkia Hakam
703 notes
·
View notes
Text
Untuk apa
Sebentar, beri waktu lagi. Tubuhku dan segala yang ada didalamnya masih ingin belajar tentangmu. Bukan apa-apa, hanya saja meski sudah sedekat ini aku belum fasih membacamu. Kamu bukan buku yang bisa kudiamkan sehari saja, kamu harus dibaca. Ah, kamu selalu ingin dibaca tapi kamu penuh dengan kosakata yang ambigu. Kamu masih ragu dalam memberi tanda baca, untuk apa waktu kita bersama jika kau tidak membuka semuanya ?
27 notes
·
View notes
Text
Bersenang - senanglah
Ada hal-hal yang masih terasa menyenangkan meski tak dapat dimiliki, tapi rasanya semua akan terasa cukup jika di syukuri. Ah, mau sekencang apapun badai menghempasmu hari ini, tidak perlu dibagi apalagi berharap ada yang peduli. Sayangku, hari ini orang - orang lebih senang melihatmu kesusahan, mereka justru akan sedih jika melihatmu senang. Lalu, masihkah perlu kamu berbagi kesusahan dan kesedihanmu ke permukaan ? mereka mungkin terlihat prihatin didepanmu tapi sangat mungkin juga jika dibelakangmu mereka justru menertawakan. Kebanyakan mereka hanya ingin mendengar, bukan memberikan solusi apalagi membantumu.
11 notes
·
View notes
Text
Dimana kamu di waktu subuh, disitulah kamu bisa berkaca kemana nasib akan membawamu.
— Taufik Aulia
1K notes
·
View notes