Photo

Tidak Sama Dengan Dahulu
Dua hari yang lalu saya menemukan foto ini di laptop Ayah. Masih berbekas di ingatan saya ketika itu sedang ada acara jalan-jalan dengan teman kantor Ayah ke Garut.
2010 adalah tahun ketika saya dan adik perempuan pertama saya, Nadia, masih sekolah di pesantren. Kesempatan jalan-jalan seperti ini tentu saja disambut dengan sangat gembira karena bisa sejenak keluar dari Pesantren. Entah bagaimana caranya Ayah ketika itu berhasil melobi pengasuh pesantren agar saya dan Nadia diizinkan pulang. Padahal izin pulang biasanya hanya diberikan jika santri sakit parah atau ada anggota keluarga terkena musibah.
Setelah sampai rumah Ayah memberikan celana jeans yang baru. Mamah bilang celana ini baru beliau beli setelah perjalanan dinas dari Balikpapan. Tentu saya senang dengan pemberian itu. Namun ketika memakainya saya langsung beristighfar karena insecure apakah memakai celana jeans itu termasuk haram atau tidak. Maklum karena dulu pakaian bawahan saya biasanya kalau tidak sarung ya celana bahan warna hitam. Melihat respons saya Mamah hanya tertawa sembari bilang hal seperti itu tidak perlu dibawa pusing.
Hari ini sudah memasuki tahun 2021. Perjalanan hidup selama 11 tahun setelah foto ini diambil tentu saja telah merubah banyak hal.
Ayah saat ini sudah pensiun dari pekerjaan. Semakin hari saya amati rambutnya sudah semakin memutih. Tidak sehitam yang ada di dalam foto.
Mamah juga sudah melewati usia setengah abad. Wajah beliau tidak jauh berbeda dengan dulu kendati garis-garis di wajahnya semakin bermunculan.
Nadia sudah berubah menjadi perempuan yang lebih kalem dan tidak selabil dulu. Kendati hobi take foto berkali-kali dengan berbagai gaya masih lestari dan mungkin akan tetap bertahan selamanya.
Sementara saya saat ini sudah tidak memiliki postur badan yang ideal sebagaimana di foto. Postur saya sudah melewati 5 basis poin dari IMT. Juga sudah tidak mengucapkan istighfar jika memakai jenis celana selain celana bahan.
Rasanya momen yang ada di foto ini masih belum lama terjadi. 11 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Namun rasanya semua terasa cepat berlalu. Orang tua yang semakin bertambah usia. Adik saya yang sudah semakin berusia dewasa, yang mana dulu kami sering berantem tapi sekarang sudah tidak lagi.
Kehidupan hari ini tentu sudah tidak sama dengan dulu lagi. Namun doa kebaikan akan selalu ada untuk keluarga ini, untuk hari ini dan selamanya.
11 notes
·
View notes
Text
Halo Nydia, terimakasih kembali juga ya. Oh iya btw salam kenal hehe, aku Grand domisili Bekasi. Kita sesama santri pasti pernah merasakan gimana rasanya berada di suatu kondisi ingin “lari” dari tekanan bullying namun bingung mesti berbuat apa. Kamu juga ya semoga senantiasa bisa survive dalam kehidupan ini. Aku udah ga menyesali apa yang udah kejadian waktu itu, justru sekarang malah merasa “ya mungkin ini jalan Allah buat aku merasakan hikmah yang mahal”. Setidaknya, dari pengalaman kemarin jadi pelajaran tersendiri sih di benakku, buat bisa merasakan hal yang sama jika keponakan atau mungkin anak gue di masa depan punya masalah yang sama. Mereka punya “credible voice” yang mesti didengarkan.
Perisakan di Pesantren? (1)
Sebulan lalu saya berjumpa dengan adik saya yang saat ini sedang menjalani masa pendidikan di sebuah Pesantren, yang mana pesantrennya adalah almamater saya juga. Pesantren tempat saya menghabiskan masa remaja saya selama enam tahun.
Selepas salat ashar, saya mengunjungi salah satu kamar yang amat berkesan bagi saya. Kamar yang saya tempati ketika saya menjadi santri kelas 3 SMP. Suasananya masih terlihat sama dan tidak banyak berubah. Yang membuat kamar ini punya kenangan tersendiri adalah, di sudut-sudut kamar inilah masa terberat saya sebagai santri yang menjadi korban bullying terjadi.
Ada beberapa pertanyaan teman saya tentang kehidupan pesantren, yang salah satunya menanyakan terkait kejadian bullying.
“Mungkin ngga sih di sebuah pesantren yang notabene santrinya belajar agama ada kejadian bullying/perisakan?”
Saya bilang pesantren memang memiliki jasa besar karena menjadi wadah seseorang untuk belajar agama dan akhlak. Banyak santri dan alumni yang kelakuannya mencerminkan keilmuan dan akhlak baik mereka. Tapi kejadian seperti perisakan memang ada dan saya tidak bisa menyangkalnya. Hal tersebut bisa saya pastikan karena saya dan banyak santri lainnya pernah mengalaminya.
Suatu ketika saya pernah dikucilkan. Barang-barang saya dicuri termasuk uang, Saya juga disuruh tidur di bawah jemuran baju. Kasur saya pernah dipipisi oleh kucing yang sengaja diletakkan oleh seorang teman saya. Herannya teman-teman sekamar saya justru memarahi saya, bukan teman saya yang tadi. Saya juga pernah dituduh menghilangkan daging kurban jatah kamar saya, kendati teman saya yang lain yang menghilangkannya. Teman saya ini menuduh semua ini salah saya. Jadilah saya menjadi sasaran amukan teman satu kamar.
Saya dijadikan seperti babu. Saya setiap saat bisa disuruh untuk mengisikan botol air, mengambilkan makanan dari kantin umum, menyapu, dan mencucikan piring. Kalau saya menolak, saya akan mendapat berbagai makian dan hinaan macam-macam. Entah sok asik, nyolot, atau ngocol, intinya saya cuma wajib pasrah.
Tak lupa, ada beberapa perkataan yang menurut mereka cuma bercanda.
“Dasar lo grand udah autis, cupu, babu, ga punya harga diri lagi. Murahan!”
“Kok setiap gue ngeliat muka lu, bawaan gue kesel ya pengen nampol lu nj*ng”
“Eh lihat nih gambarnya hahaha“ teman saya menggambar (maaf) dua orang sedang berhubungan dan diberi nama ayah dan ibu saya. Ketiga teman saya tertawa dengan amat puas.
“Adik lo tuh jablay ya ternyata, nah lu germonya”
“Lo tuh pantesnya mati aja grand, ngapain sih lo masih hidup anj*ng” hardik teman saya ketika saya sakit.
Lingkungan yang penuh kekerasan verbal dan fisik seperti ini membuat saya berusaha menarik diri dari perjumpaan dengan teman sekamar saya. Sebisa mungkin saya pulang lebih malam dan memilih belajar di Masjid lebih lama. Saya menyendiri dan belajar dengan buku-buku karena merasa buku-buku tidak akan pernah mencaci. Namun semaksimal apapun usaha saya untuk menjauh, saya tetap menerima perundungan secara intens karena saya berada di lingkungan pesantren. Lingkungan yang notabene wilayahnya tersekat dan membuat saya tidak bisa kemana-mana.
Apakah terpikirkan untuk melapor ke pihak pesantren atau orang tua atas kejadian yang saya alami?. Saya ketika itu sempat berpikir opsi tersebut, namun saya batalkan karena kenyataannya dengan melapor maka perisakan yang diterima akan makin menjadi sebagaimana yang terjadi pada teman saya sesama korban bullying.
Solusi yang terfikirkan saat itu adalah saya ingin segera menamatkan jenjang SMP dan masuk ke SMA Negeri. Saya berfikir dengan bersekolah di SMA negeri, sekalipun saya menjadi korban bullying lagi, saya bisa lebih tenang karena saya bisa menghindar dari pelaku dengan lebih leluasa.
Saya kemudian belajar keras hingga alhamdulillah dengan izin Allah mendapat NEM 37,25. Kemudian pihak pesantren mengikutsertakan saya dalam OSN Astronomi tingkat SMA kendati saya masih baru lulus UN SMP. Alhamdulillah dengan seizin Allah saya meraih juara dua tingkat Kabupaten dan menjadi peserta termuda pada seleksi tingkat provinsi.
Namun rencana untuk masuk SMA Negeri dengan modal NEM tinggi dan prestasi OSN tersebut kandas seketika saat ayah saya mengatakan rencananya untuk memasukkan saya ke SMA Negeri dibatalkan.
“Nak kamu SMA di sini aja ya. Lihat tuh NEM kamu bagus. Juara olimpiade lagi. Pihak pesantren juga ngasi kamu beasiswa parsial. Kamu di sini aja ya nak. Belajar agama yang bener”
Ekspresi wajah Ayah amat gembira dengan perkataan tersebut. Beliau menyangka saya berproses dengan baik dan tenang di Pesantren. Tapi bagi saya, itu artinya saya perlu bersabar untuk menjadi korban bullying (lagi). Saya hanya bisa menangis di kamar mandi dan membayangkan semua siksaan itu akan terjadi kembali.
Namun Allah Maha Baik. Kendati saya melanjutkan pendidikan di sana, para pelaku yang membully saya secara bertahap mengundurkan diri dari pesantren. Hingga akhirnya bisa dibilang kehidupan saya pada masa SMA relatif tentram.
Saya sendiri saat ini sudah tidak memiliki rasa dendam dengan semua teman yang dulu pernah merisak saya. Namun problem yang mengganjal sampai saat ini adalah cara saya memandang diri saya sendiri. Saya sering merasa, memang derajat saya adalah manusia sampah, sampai orang-orang memandang rendah diri saya. Anggapan bahwa saya manusia rendahan masih terpatri di benak saya sampai sekarang.
Ketika kuliah, saya menemukan jawaban dari berbagai penelitian yang mengangkat isu ini. Jawaban tentang mengapa orang yang berada di lingkungan agamis bisa menjadi agresif dan merisak orang lain. Insyallah akan saya tuliskan dalam tulisan berikutnya.
19 notes
·
View notes
Text
Menjadi Kalah

Hari ini tepat enam bulan setelah saya diwisuda, juga sekaligus tepat enam bulan usaha saya mencari pekerjaan. Di tengah pandemi yang sepertinya masih belum berakhir dalam waktu dekat, saya melihat sendiri pasar tenaga kerja yang kondisinya berubah signifikan.
Ingat sekali saya pernah melamar sebuah pekerjaan di sebuah NGO dan diberitahu bahwa pelamarnya mencapai 34.000 orang, padahal yang posisi yang dicari hanya dua orang. Angka yang sungguh fantastis. Pada bulan Januari saya sempat mendaftar CPNS di Kemenkumham yang pendaftarnya mencapai 6.700 orang. Ketika itu saya mengira tes tersebut adalah tes dengan pelamar terbanyak banyak yang pernah saya ikuti. Ternyata saya salah.
Kendati demikian, perjalanan selama enam bulan ini banyak sekali menorehkan hikmah bagi saya pribadi. Saya sampai pada kesimpulan bahwa dengan kondisi saya yang kalah, belum berhasil diterima di berbagai tempat, belum memiliki pendapatan yang stabil, dan belum memiliki berbagai pencapaian seperti teman saya yang lain adalah anugerah yang tepat bagi saya, setidaknya untuk saat ini.
Teman Saya yang Sedang Bahagia
Di era media sosial seperti sekarang, amat mudah bagi saya untuk melihat berbagai capaian hidup teman-teman saya. Perjalanan dinas ke luar kota, foto dengan ID Card kantor, wefie setelah menjalani diklat atau training kantor dengan materi yang kekinian dan sangat spesifik, selfie dengan latar belakang gedung bertingkat, notifikasi kenaikan pangkat teman-teman saya di LinkedIn, lunch atau dinner dengan rekan setim, dan banyak dokumentasi lainnya.
Setiap melihat semua itu, entah mengapa, rasanya ada perasaan gembira di hati saya, sembari mendoakan berbagai kebaikan untuk mereka.
“Subhanallah si D posting lagi duduk di pesawat buat perjalanan dinas ke luar kota. Semoga selama perjalanan dinasnya selamat sampai tujuan”
“Wah si B posting #FirstDayofWork dengan ID Card baru dia. Semoga Allah berikan ia kelancaran rezeki di tempat barunya”
“Masyaallah si A lagi wefie sama temen-temen dia abis ikut training auditor. Ya Allah berikan kepadanya keberkahan ilmu setelah training”
“Si K saya lihat di LinkedIn dia update status abis naik jabatan ya jadi manager. Masyaallah hebat banget ya usia muda tapi dia udah jadi manager. Ya Allah semoga karir dia senantiasa cemerlang”
Mereka sedang bahagia dengan rezeki yang dilimpahkan pada mereka. Maka saya juga turut berbahagia dan mendoakan kebaikan untuk mereka, kendati seringkali tidak saya sampaikan langsung ke orangnya. Setiap membuka Instagram atau LinkedIn, saya selalu mendapati postingan-postingan tadi yang membuat hari-hari saya dipenuhi kebahagiaan. Sampai suatu ketika air mata haru saya keluar sembari membatin suatu hal.
“Allah tuh baik banget ya, memberikan begitu banyak rezeki untuk teman-teman saya”
Menerima Kekalahan
Setelah wisuda saya sudah apply pekerjaan ke banyak tempat. Saya tidak asal melamar dengan memodifikasi CV dan cover letter saya terlebih dahulu agar sesuai dengan profil pekerjaan yang di lamar. Sejak sebelum lulus saya sudah mempersiapkan diri dengan mengikuti training penulisan CV dan cover letter dari Glints atau XL untuk mengerti trik penulisan yang benar. Namun mayoritas berujung kegagalan. Setelah saya hitung hanya 5% dari CV saya yang lolos screening CV. Saya mengerti hal tersebut terjadi karena saya memang lulus lama dan memiliki IPK di bawah tiga. Menyesal sih iya, tapi ya saya sadar hal tersebut ga merubah banyak hal.
Di setiap tahapan setelah lolos screening CV entah di tahap psikotes, studi kasus, interview, tes matematika dasar, dan berbagai tes lainnya, saya selalu bertanya pada diri saya sendiri.
“Jika ternyata kamu kalah dan ga dapat pekerjaan di sini, kamu siap ngga?”
Ada beberapa hal yang memang berada di luar kendali saya. Salah satunya soal kelanjutan proses seleksi pekerjaan. Jikalau bagi mereka saya masih memiliki sejumlah kekurangan yang belum bisa mereka terima, saya harus menerima keputusan mereka. Saya tidak bisa mengontrol semua hal agar sesuai dengan keinginan saya.
Saya banyak mengalami kegagalan di tahap akhir seleksi. Tapi rasanya saya sudah merelakan apapun keputusan yang keluar. Banyak yang bilang jika mendapat email penolakan maka tidak perlu dibalas, toh mereka juga belum tentu baca. Tapi saya selalu membalas email penolakan yang masuk dengan ucapan apresiasi dan menuliskan bahwa saya menghormati keputusan mereka.
“Karena setidaknya di tengah kesibukan pekerjaan, mereka sudah bersedia meluangkan waktu untuk menerima dan berinteraksi dengan saya. Saya menghargainya”
Mereka Lebih Sukses Dibanding Saya
Saya mengerti dengan usia menjelang 25 tahun dan masih belum mendapat pekerjaan tetap, memang kondisinya jauh jika dibandingkan dengan teman-teman seangkatan saya. Karir yang lebih cemerlang, pedapatan mencukupi, menikah dan memiliki keluarga, memiliki sejumlah aset, dan lain sebagainya. Banyak sekali yang membandingkan diri saya dengan teman-teman seangkatan saya yang jauh lebih sukses. Saya tidak menampiknya. Saya setuju bahwa memang benar saya tidak sesukses mereka.
Saya menerima bahwa saya memang kalah. Tapi rasanya itu menjadi suatu anugerah.
Guru dan orang tua adalah dua pihak yang dekat dengan kita. Mereka dengan susah payah mendidik kita dan mengorbankan banyak hal. Hingga anak didik mereka tumbuh semakin dewasa dan menggapai pencapaian yang lebih hebat dari mereka. Mereka tentu senang dengan kondisi setiap anak didik yang melampaui mereka.
Saya menyadari bahwa saya tidak bisa memiliki hati selapang mereka. Namun saya ingin mencobanya.
10 notes
·
View notes
Text
[Sudah Pecah, Terus?]
Foto ini diambil lima hari sebelum saya wisuda pada Februari lalu. Malam itu setelah salat Maghrib saya memutuskan pulang ke Bekasi dengan melewati Balairung, tempat yang biasa digunakan untuk prosesi wisuda. Disana saya melihat cahaya lampu balairung sembari merefleksikan kehidupan kampus yang sudah saya tinggalkan.
Begitu banyak kesalahan yang saya torehkan selama kuliah hingga akhirnya saya lulus lama, IPK tidak memuaskan, dan mengecewakan banyak orang. Saya tidak denial bahwa itu semua memang murni karena kesalahan saya. Awalnya, saya menyesal sekali dan ingin rasanya ada kesempatan mengubah masa lalu
Namun, semua sudah terlanjur terjadi. Gelas kaca bernama kepercayaan pernah saya pecahkan. Tentu semua tidak akan sama lagi. Tapi saya sadar, masa lalu tidak bisa diputar kembali. Saya hanya bisa menerima apa yang sudah terjadi sebagai "rejeki" saya, tutup buku, dan kemudian move on.
Yuk menjelang hari idul fitri, selain memaafkan orang lain, mari merefleksikan hidup kita dan memaafkan diri kita sendiri :)
Terimakasih @fsi_fisip_ui yang telah menginisiasi challenge ini. FSI adalah tempat saya merasakan semua peran hidup. Best Staf, Best PJ, Staf Perlap, Project Officer, Kepala Departemen, Biding Calon Ketua, dan juga saya pernah menjadi pengkhianat di sini. Ada masa saya melakukan kebenaran dan ada pula masa saya melakukan kesalahan. Terimakasih atas pembelajaran yang akan saya kenang selamanya.
.
#RamadhanBercerita
#PERAKFSIFISIP2020
#AThousandWaystoForgive
https://www.instagram.com/p/CAMhc7ehVt6/?igshid=1edhu81ua5pcm

3 notes
·
View notes
Text
Keresahan ini mengingatkan saya pada momen saya mengobrol dengan senior dari Jurusan Komunikasi UI bulan lalu. Ia menyusun tesis untuk mencari jawaban kenapa perilaku merokok tetap langgeng. Rokok tetap laku kendati sudah ada peringatan bahkan sampai gambar seram dan peringatan tertulis di bungkus rokok. Ia melakukan wawancara mendalam ke sejumlah perokok aktif dan mantan perokok.
Ternyata dari kacamata komunikasi, problem utama mereka bukan pada seberapa bahaya rokoknya, tapi seberapa kuat mereka bisa menahan hasrat untuk tetap merokok. Mereka sebenarnya sudah mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu berbahaya. Mereka juga sering mengalami problem kesehatan karena perilaku mereka. Mereka tetap merokok karena sudah candu dan memiliki hasrat yang besar untuk tetap merokok. Terlebih, ketika mood mereka menurun atau stres mereka menjadikan rokok sebagai bentuk coping-nya.
Oleh karenanya perilaku irasional seperti “bisa membeli rokok tapi ga bisa bayar BPJS” atau “duit rokok sehari dua bungkus mending buat beli beras” tetap langgeng karena perokok masih gagal menahan hasrat mereka. Mereka juga masih menjadikan rokok sebagai bentuk dari coping mereka.
Sayangnya, menurut senior saya, hasrat manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja. Hal yang bisa dilakukan untuk menahan perilaku ini dengan mengganti hasrat negatif ke hasrat lainnya. Juga mengganti alternatif coping ke bentuk yang lebih positif. Senior saya bercerita sejumlah informannya berhenti merokok setelah mereka berhasil mengganti hasrat merokok menjadi hasrat positif seperti menonton video TedX, mendengar podcast, ikut kegiatan sosial atau bahkan tilawah.
Suka heran.
Semiskin-miskinnya orang, sering lebih mampu beli rokok ketimbang makanan. Kayak asep rokok bisa bikin kenyang gitu lho. Dan saat corona ini, mereka ga peduli batuk batuk karena rokok juga, padahal jadi lebih rentan dan merugikan banyak orang. Huft.
28 notes
·
View notes
Text
Perisakan di Pesantren? (1)
Sebulan lalu saya berjumpa dengan adik saya yang saat ini sedang menjalani masa pendidikan di sebuah Pesantren, yang mana pesantrennya adalah almamater saya juga. Pesantren tempat saya menghabiskan masa remaja saya selama enam tahun.
Selepas salat ashar, saya mengunjungi salah satu kamar yang amat berkesan bagi saya. Kamar yang saya tempati ketika saya menjadi santri kelas 3 SMP. Suasananya masih terlihat sama dan tidak banyak berubah. Yang membuat kamar ini punya kenangan tersendiri adalah, di sudut-sudut kamar inilah masa terberat saya sebagai santri yang menjadi korban bullying terjadi.
Ada beberapa pertanyaan teman saya tentang kehidupan pesantren, yang salah satunya menanyakan terkait kejadian bullying.
“Mungkin ngga sih di sebuah pesantren yang notabene santrinya belajar agama ada kejadian bullying/perisakan?”
Saya bilang pesantren memang memiliki jasa besar karena menjadi wadah seseorang untuk belajar agama dan akhlak. Banyak santri dan alumni yang kelakuannya mencerminkan keilmuan dan akhlak baik mereka. Tapi kejadian seperti perisakan memang ada dan saya tidak bisa menyangkalnya. Hal tersebut bisa saya pastikan karena saya dan banyak santri lainnya pernah mengalaminya.
Suatu ketika saya pernah dikucilkan. Barang-barang saya dicuri termasuk uang, Saya juga disuruh tidur di bawah jemuran baju. Kasur saya pernah dipipisi oleh kucing yang sengaja diletakkan oleh seorang teman saya. Herannya teman-teman sekamar saya justru memarahi saya, bukan teman saya yang tadi. Saya juga pernah dituduh menghilangkan daging kurban jatah kamar saya, kendati teman saya yang lain yang menghilangkannya. Teman saya ini menuduh semua ini salah saya. Jadilah saya menjadi sasaran amukan teman satu kamar.
Saya dijadikan seperti babu. Saya setiap saat bisa disuruh untuk mengisikan botol air, mengambilkan makanan dari kantin umum, menyapu, dan mencucikan piring. Kalau saya menolak, saya akan mendapat berbagai makian dan hinaan macam-macam. Entah sok asik, nyolot, atau ngocol, intinya saya cuma wajib pasrah.
Tak lupa, ada beberapa perkataan yang menurut mereka cuma bercanda.
“Dasar lo grand udah autis, cupu, babu, ga punya harga diri lagi. Murahan!”
“Kok setiap gue ngeliat muka lu, bawaan gue kesel ya pengen nampol lu nj*ng”
“Eh lihat nih gambarnya hahaha" teman saya menggambar (maaf) dua orang sedang berhubungan dan diberi nama ayah dan ibu saya. Ketiga teman saya tertawa dengan amat puas.
“Adik lo tuh jablay ya ternyata, nah lu germonya”
“Lo tuh pantesnya mati aja grand, ngapain sih lo masih hidup anj*ng” hardik teman saya ketika saya sakit.
Lingkungan yang penuh kekerasan verbal dan fisik seperti ini membuat saya berusaha menarik diri dari perjumpaan dengan teman sekamar saya. Sebisa mungkin saya pulang lebih malam dan memilih belajar di Masjid lebih lama. Saya menyendiri dan belajar dengan buku-buku karena merasa buku-buku tidak akan pernah mencaci. Namun semaksimal apapun usaha saya untuk menjauh, saya tetap menerima perundungan secara intens karena saya berada di lingkungan pesantren. Lingkungan yang notabene wilayahnya tersekat dan membuat saya tidak bisa kemana-mana.
Apakah terpikirkan untuk melapor ke pihak pesantren atau orang tua atas kejadian yang saya alami?. Saya ketika itu sempat berpikir opsi tersebut, namun saya batalkan karena kenyataannya dengan melapor maka perisakan yang diterima akan makin menjadi sebagaimana yang terjadi pada teman saya sesama korban bullying.
Solusi yang terfikirkan saat itu adalah saya ingin segera menamatkan jenjang SMP dan masuk ke SMA Negeri. Saya berfikir dengan bersekolah di SMA negeri, sekalipun saya menjadi korban bullying lagi, saya bisa lebih tenang karena saya bisa menghindar dari pelaku dengan lebih leluasa.
Saya kemudian belajar keras hingga alhamdulillah dengan izin Allah mendapat NEM 37,25. Kemudian pihak pesantren mengikutsertakan saya dalam OSN Astronomi tingkat SMA kendati saya masih baru lulus UN SMP. Alhamdulillah dengan seizin Allah saya meraih juara dua tingkat Kabupaten dan menjadi peserta termuda pada seleksi tingkat provinsi.
Namun rencana untuk masuk SMA Negeri dengan modal NEM tinggi dan prestasi OSN tersebut kandas seketika saat ayah saya mengatakan rencananya untuk memasukkan saya ke SMA Negeri dibatalkan.
“Nak kamu SMA di sini aja ya. Lihat tuh NEM kamu bagus. Juara olimpiade lagi. Pihak pesantren juga ngasi kamu beasiswa parsial. Kamu di sini aja ya nak. Belajar agama yang bener”
Ekspresi wajah Ayah amat gembira dengan perkataan tersebut. Beliau menyangka saya berproses dengan baik dan tenang di Pesantren. Tapi bagi saya, itu artinya saya perlu bersabar untuk menjadi korban bullying (lagi). Saya hanya bisa menangis di kamar mandi dan membayangkan semua siksaan itu akan terjadi kembali.
Namun Allah Maha Baik. Kendati saya melanjutkan pendidikan di sana, para pelaku yang membully saya secara bertahap mengundurkan diri dari pesantren. Hingga akhirnya bisa dibilang kehidupan saya pada masa SMA relatif tentram.
Saya sendiri saat ini sudah tidak memiliki rasa dendam dengan semua teman yang dulu pernah merisak saya. Namun problem yang mengganjal sampai saat ini adalah cara saya memandang diri saya sendiri. Saya sering merasa, memang derajat saya adalah manusia sampah, sampai orang-orang memandang rendah diri saya. Anggapan bahwa saya manusia rendahan masih terpatri di benak saya sampai sekarang.
Ketika kuliah, saya menemukan jawaban dari berbagai penelitian yang mengangkat isu ini. Jawaban tentang mengapa orang yang berada di lingkungan agamis bisa menjadi agresif dan merisak orang lain. Insyallah akan saya tuliskan dalam tulisan berikutnya.
19 notes
·
View notes
Quote
Jakarta itu ibukota yang kejam. Kalau kamu ga tindas orang, kamu yang bakal ditindas
Sering mendengar konotasi “kejam”, dan “tindas” tentang ibukota. Jika mindset kita mengatakan kota ini demikian, maka kita akan membuat kota ini menjadi kota yang semakin kejam dan penuh penindasan.
Bisa ga sih kita ubah jadi kota yang “ramah”, “hangat”, “penuh harapan”, “punya kenangan”?. Gak capek apa bikin kota ini jadi sumpek karena mindset kekejaman tadi?
3 notes
·
View notes
Text
Rizki.
Beriman bahwa Allaah adalah Maha pemberi Rizki, takkan tertukar walau sejengkal. Telah ditetapkan-Nya 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Yang hewan melatapun tak luput Ia berikan. Lalu, kenapa harus dirundung kegelisahan?
46 notes
·
View notes
Text
Ayah Pensiun
Saya : Ayah, selamat pensiun ya Ayah : Iya nak, sehabis ini kita berjuang lagi ya nak
Besok dan seterusnya, tidak ada lagi episode mengantar ayah ke Stasiun Bekasi setiap pukul lima pagi. Tidak ada lagi berangkat bareng ke Stasiun Juanda ketika saya masih magang di sebuah perusahaan konstruksi di Gambir. Tidak ada lagi kata-kata yang beliau ucapkan sebelum masuk ke dalam stasiun seperti :
"Jangan lupa kasi makan ikan", "Sapu halaman", "Anter surat ke Pak A", "Ada kucing di depan rumah baru lahiran, kamu kasi makan ya", atau "Ke Samsat urus pajak motornya ya nak".
Tadi hari terakhir ayah bekerja. Tapi Ayah bilang habis ini mau berjuang lagi. Saya hanya bisa menerka maksudnya apa.
Saya : Iya ayah, besok kita berjuang lagi
5 notes
·
View notes
Text
Persinggungan Masa Lalu
Suatu ketika, saya yang baru keluar stasiun memutuskan untuk memesan Grab Car dari Kranji ke Bekasi Selatan. Biasanya saya memesan ojek online, tapi entah mengapa ketika itu saya berubah pikiran untuk memesan taksi online.
Ketika pesanan saya terkonfirmasi, saya mendapati nama driver nya seperti familiar dengan pengalaman interaksi masa lalu saya ketika saya masih santri SMP. Hingga akhirnya sebuah mobil datang menghampiri saya. Seseorang dari dalam mobil membuka kaca dan memulai pembicaraan.
A : "Mas Grand ya
G : "Iya kak, saya naik ya"
Setelah mobil berjalan selama satu menit, saya mulai membuka pembicaraan.
G : "Albin Cantona ya kak nama lengkapnya?"
A : "Iya mas, lho kok tau?"
G : "Alumni angkatan 3 kan? Al Binaa?"
A : "Iya, kok bisa tau sih, wah seneng gue dapet customer sesama anak al binaa haha baru kali ini, udah 10 tahun kali ya ngga ke sana lagi gue. Eh gimana kabarnya ustadz edi?, ustadz yudi?"
Obrolan kami pun berlangsung seru sekali. Ia ternyata sudah menikah dan pada awalnya ia tinggal di Denpasar. Ia memutuskan untuk pindah ke Bekasi, dan memulai karirnya dari awal sebagai driver.
A : "Gimana ya Grand, dulu mungkin gue sempet nakal gitu ya, sampe gue keluar Al Binaa pas SMP, terus bebas, kelar sekolah, kerja, nikah, terus nyari duit. Lama-lama kek gue ngerasa duit gue kejar-kejar kok rasanya gitu-gitu aja ya. Kerjaan di Denpasar malah lebih gede duitnya dibanding di sini, tapi kok dulu rasanya ga pernah ya ada rasa cukup. Terus pas abis nikah gue pindah ke sini. Duitnya ga segede dulu tapi rasanya ya cukup aja."
G : "Kayak dunia tuh ga bakal pernah ada batas atasnya gitu ya."
A : "Iya, dan suatu saat mungkin lo akan ngerasain"
Trip nya tidak terlalu jauh, sehingga kami harus berpisah kendati obrolan kami terasa hangat sekali. Ketika saya akan turun, ia berkelakar.
A : "Kalau lo nanti ke pesantren, salam ya ke mereka, barangkali masih ada yang inget"
G : "hehe iya kak albin, semoga nanti bisa ketemu lagi ya"
A : "I hope so, assalamualaikum"
Mobilnya kemudian semakin menjauh. Ia membunyikan klakson sebagai tanda perpisahan. Saya pun melambaikan tangan.
Cerita ini memang sungguh sederhana. Tapi bagi saya, betapa menyenangkan pertemuan kejutan yang terjadi hari ini
Terimakasih ya Allah
6 notes
·
View notes
Photo


Hari ini, kita bertemu sebentar saja. Dan mungkin cerita kita akan berbeda sejak hari ini.
Mungkin, di masa depan belum tentu kita bisa bertemu lagi.
Kelak, saya akan menjadi cerita masa lalu teman-teman semua.
Tapi bagi saya, apa-apa yang melintas di hadapan saya, baik itu peristiwa atau selintas perkataan orang juga dapat menyentuh perasaan yang bisa saya bawa pulang dan direnungkan untuk diambil hikmahnya. Jalan kalian di Kampus insyaallah masih panjang, sementara saya mungkin bulan Januari ini sudah meninggalkan kampus. Saya yakin kalian akan menemukan orang-orang yang jauh lebih baik dari saya. Lebih inspiratif, lebih dalam ilmunya, lebih tinggi taqwanya, dan lebih konkret kontribusinya. Belajarlah dari mereka. *Ini penggalan isi surat kepada semua staf saya di Lomba Karya Tulis Ilmiah UI Quranic Olympiad 2018 yang saya berikan kemarin. Berawal dari ajakan aneh dari seorang mahasiswa yang membujuk saya yang sudah jadi mahasiswa tua ini untuk memimpin tim yang berisi enam orang. Tapi anehnya tawaran itu saya iyakan. Setelah menjalani ini semua, rasanya ini kepanitiaan terbaik yang pernah saya tangani, dan tidak ada rasa sesal di dalamnya. Perpisahan fisik itu memang ada, tapi kita tetap satu tujuan kan?
5 notes
·
View notes
Quote
Dunia, setelah dikejar-kejar, tenyata rasanya gitu-gitu aja
5 notes
·
View notes
Text
Kamu Islam Golongan Mana? (Bagian I)
Hari-hari ini kita seringkali disajikan berbagai perdebatan di media sosial kita. Salah satu pandangan yang berkembang sekarang adalah anggapan sejumlah masjid, kampus, atau aliran tertentu di dalam islam menganut paham radikal sehingga perlu untuk segera dibasmi. Sejumlah kalangan merasa khawatir kebhinekaan akan luntur dengan kehadiran golongan-golongan ini.
Salah dua kelompok yang mendapar cap radikal adalah kelompok salafi-wahabi serta kelompok tarbiyah, yang salah satunya termanifestasi oleh Lembaga Dakwah Kampus.
Saya kemudian merefleksikan perjalanan spriritual saya selama ini. Sejak kecil, saya dikenalkan Islam adalah jalan hidup oleh kedua orang tua saya. Keluarga besar kedua orang tua saya berasal dari Nahdlatul Ulama, yang kemudian diikuti oleh kedua orang tua saya. Ayah saya sering mengajak ke berbagai agenda seperti mengaji yasin, tahlilan, maulidan dan terkadang meminta saya kultum di tengah acara keluarga yang sedang tahlilan atau yasinan. Ibu saya pun demikian.
Kendati demikian, saya menghabiskan masa remaja di sebuah pesantren bermanhaj (berpemahaman) salafi. Keputusan tersebut didasari oleh keinginan orang tua saya, bukan atas inisiatif saya sendiri. Mungkin terkesan ganjil orang tua yang memiliki latar belakang NU namun menyekolahkan putranya ke sebuah pesantren salafi.
Ketika saya di Kampus, saya bergabung dengan Lembaga Dakwah (LD) baik di tingkat fakultas ataupun universitas. Selama empat tahun berada di dalamnya, saya diamanahkan untuk menanngani persoalan kaderisasi, yang disebut sebagai salah satu fondasi dari kelompok Tarbiyah. Ya, lembaga tempat saya bernaung di Kampus merupakan bagian dari kelompok Tarbiyah, yang tentu saja berbeda dengan kelompok Salafi dan NU.
Hingga hari ini, saya masih hidup dalam tiga pemahaman yang berbeda. Saya memiliki banyak teman salafi, mengikuti kajiannya di sekitar rumah saya, dan dua hingga tiga bulan sekali saya menjadwalkan diri saya untuk bersilaturahmi kembali ke pesantren salafi tempat saya menimba ilmu dahulu.
Saya juga masih mengikuti berbagai agenda-agenda yang menjadi ciri khas kelompok NU, yang mungkin dalam pandangan sebagian dari kita hal tersebut tidaklah ada tuntunannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Saya masih mengikuti agenda maulidan, tahlilan, yasinan, serta berbagai agenda lainnya. Kendati secara struktural saya tidak tergabung dalam keorganisasian NU.
Selama berada di Kampus, saya memiliki banyak sekali kawan-kawan yang bergerak pada kelompok tarbiyah, terlibat dan menyusun berbagai agenda kaderisasi, dan hingga hari ini saya masih menjalin hubungan baik dengan mereka semua.
Ada kawan saya yang mengatakan bahwa kelakuan hidup di berbagai ekosistem seperti ini adalah amoral. Semestinya kita hanya meyakini salah satunya dan menjalani hidup dengan keyakinan yang sudah dipilih tersebut. Adapula yang menilai saya safe player atau bahkan pengecut, hanya ingin main aman dan tidak mau mengambil resiko dengan hanya menjalani salah satu keyakinan saja.
Dalam tulisan berikutnya, saya akan bercerita tentang apa yang saya rasakan ketika saya menjalani masa pendidikan selama enam tahun di sebuah pesantren salafi, bergabung dengan kelompok tarbiyah di kampus, sembari menjadi seorang NU secara kultural ketika saya berada di lingkungan keluarga.
Semoga apa yang saya ceritakan, dapat diambil hikmahnya bagi kita semua.
7 notes
·
View notes
Quote
Saya stuck hari ini mau nulis apa
Keputusan saya mengikuti program 30 Days Writing Challenge memaksa saya untuk terus menulis selama 30 hari kedepan. Saya yang sebelumnya tidak pernah menulis selain tugas kuliah dan organisasi, merasa ganjil dengan rutinitas baru ini.
Ini baru hari ke sebelas, Perjalanan masih panjang. Masih ada cerita yang perlu diceritakan, masih ada hikmah yang perlu dibagi, ada pengetahuan yang perlu dibahasakan lebih simple agar dipahami lebih banyak orang
5 notes
·
View notes
Text
Apakah Kita Bisa Murni Bersahabat?
Saya beberapa pekan lalu menonton sebuah film Indonesia, I Leave My Heart in Lebanon yang bercerita tentang dinamika seorang prajurit TNI yang ditugaskan menjadi pasukan perdamaian PBB di Lebanon. Salah satu tugas prajurit yang bertugas di sana adalah membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Salah satu tokohnya, Kapten Satria, bertemu dengan seorang ibu guru SD setempat yang memiliki seorang putri yang gagap bicara. Kapten Satria berusaha menolong anak tersebut dan berinteraksi dengan ibu guru tersebut secara intens.
Percakapan yang menarik terjadi ketika komandannya memanggil Kapten Satria untuk membicarakan hal ini secara khusus.
“Bagaimana hubunganmu dengan wanita lebanon itu?”
“Siap komandan, hanya bersahabat”
Dalam benak saya kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah saya sebagai seorang laki-laki bisa murni bersahabat dengan perempuan?
Perbedaan Ekspektasi
Saya berusaha mencari jawabannya, hingga saya menemukan sebuah jurnal akademik yang diterbitkan oleh University of Wisconsin-Eau Claire, USA yang berjudul Benefit or Burden?, Attraction in Cross-Sex Friendship. Jurnal ini melakukan penelitian terhadap 88 pasang sahabat laki-laki dan perempuan dengan metode wawancara mendalam yang dilakukan secara terpisah pada setiap responden.
Secara ringkasnya, jurnal ini mengemukakan beberapa poin sebagai berikut:
Dari segi rasa ketertarikan, laki-laki jauh lebih tertarik dengan sahabat perempuannya dibandingkan dengan perempuan yang tertarik dengan sahabat laki-lakinya
Dalam benak laki-laki, ada pemikiran bahwa sahabat perempuannya memang tertarik juga padanya. Hal ini ia rasakan dengan menyambungkan setiap perilaku yang ditunjukkan oleh sahabat perempuannya sebagai ekspresi ketertarikan, padahal belum tentu.
Dari sudut pandang perempuan, mereka jarang tertarik dengan sahabat laki-lakinya. Ia merasa sahabat laki-lakinya juga merasa demikian.
Sulitnya Menjalani Hubungan Platonik
Jika kita melihat poin-poin di atas, ada semacam ekspektasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani hubungan persahabatan. Maka sulit rasanya jika persahabatan yang terjadi bisa murni bersifat hubungan platonik sebagaimana bentuk hubungan persahabatan pada umumnya. Platonik yang dimaksud disini adalah rasa keintiman emosional tanpa rasa keintiman romantis, utamanya bagi laki-laki.
Dalam jurnal tersebut, ada sebuah pernyataan tentang kemungkinan adanya romansa. Responden pria lebih banyak yang menjawab adanya kemungkinan tersebut dibandingkan dengan responden perempuan dengan perbandingan 12 berbanding 3. Dari sudut pandang laki-laki, ia cenderung tidak akan menolak jika ada opsi yang lebih dari sekedar bersahabat. Semisal untuk hubungan jangka panjang dengan menikah atau hubungan jangka pendek seperti pacaran.
Comfort Zone
Saya terkadang melihat postingan status WhatsApp teman-teman perempuan saya yang men-screenshoot durasi WhatsappCall dengan sesama teman perempuannya. Umumnya durasinya cukup lama, dari setengah jam hingga tiga jam. Saya kadang merasa bingung. Kok bisa ya mereka bisa mengobrol selama itu dengan teman mereka di WhatsApp Call?. Saya sendiri sekalipun bertelpon dengan teman dekat saya maksimal hanya lima menit saja.
Ternyata memang hubungan interpersonal perempuan lebih didasari atas rasa kenyamanan. Menjaga komunikasi dengan teman-teman perempuan yang domisilinya jauh serta menganggap wajar kontak fisik seperti pelukan atau rangkulan merupakan contoh bentuk pertemanan sesama perempuan yang didasarkan atas rasa kenyamanan.
Maka dari itu, pun ketika ia besahabat dengan laki-laki, tujuan yang dicari oleh mereka dalam hubungan persahabatan adalah rasa kenyamanan, tanpa melibatkan banyak romansa. Perempuan berusaha agar persahabatan ini selalu berada di area comfort zone dalam jangka waktu yang lama, karena memang tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional semata. Dan tentu saja, bagi perempuan kemungkinan hubungan yang lebih dari persahabatan tentu saja bisa merusak persahabatan yang sudah ada.
Bagaimana Kedepannya?
Ekspektasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya menimbukan sebuah pola. Laki-laki yang merasa ada ketertarikan dengan sahabat perempuannya dan menyambungkan perilaku sahabat perempuannya sebagai ekspresi ketertarikan. Sedangkan perempuan menemukan rasa nyaman dengan sahabat laki-lakinya dan memandang romansa akan merusak persahabatan.
Tentu saya tidak bisa mengeneralisir semua laki-laki dan perempuan agak sulit untuk murni bersahabat. Mungkin ada cerita atau pengalaman lain yang mengatakan hal sebaliknya, yang bisa menjadi sebuah pengecualian.
Apakah salah satu pihak (atau mungkin keduanya) memiliki rasa suka, takut untuk mengakui ada romansa, atau memang hubungan yang ada hanya berdasarkan kepentingan pemenuhan emosional, penyikapan atas semua itu kembali pada nilai hidup masing-masing.
Jadi, bagaimana?. Apakah kita bisa (murni) bersahabat?
7 notes
·
View notes
Text
Gambaran Besar
Satu waktu saya diajak bertemu oleh seorang teman laki-laki saya di sebuah perpustakaan di kampus. Ajakan tersebut saya iyakan kendati ia tidak memberitahu alasan mengapa ia mengajak saya bertemu. Ketika kami bertemu, ia menceritakan semua masalah keluarganya yang sangat kompleks sampai di satu titik ia mengeluarkan air mata.
Maaf ya Grand, gue cowok, mestinya ga boleh gue kelihatan lemah kaya gini
Ia pun berusaha untuk menahan air matanya agar tidak keluar lagi. Saya merasa ia merasa gagal menjadi seorang pria ketika menangis, di hadapan sesama pria pula.
Gak apa kok, kalau mau nangis itu wajar, gak perlu lu tahan karena lu merasa gagal menjadi laki-laki
Ia akhirnya menangis hingga kondisinya terasa lebih ringan.
Saya sebenarnya sungguh tidak menduga laki-laki seperti dia yang dikenal oleh teman-temannya sebagai orang yang cerdas, sering ikut konferensi, IPK selalu cumlaude, memiliki track record kepemimpinan yang baik, namun memiliki masalah keluarga yang amat kompleks. KDRT yang dilakukan kedua orang tuanya di rumah adalah makanan ia sehari-hari. Terkadang kejadian paling menyakitkan memang terjadi pada lingkaran terdekat kita, salah satunya keluarga.
Sebelum ia bertemu dengan saya sore itu, kadang muncul keinginan di dalam pikiran saya untuk menjadi dirinya. Saya pikir dengan menjadi diri teman saya ini, maka berbagai kenikmatan hidup akan saya dapatkan. Namun cerita sore itu membuat saya sadar bahwa setiap orang sesukses apapun dia memang memiliki cerita kesedihan, namun tidak membagikannya di hadapan publik.
Coba sekarang kita buka instagram, dan lihat story teman-teman kita. Ada banyak sekali postingan pencapaian hidup yang jika kita tidak hati-hati membuat hati kita menjadi risau.
Widih Teman gue abis lunch di SCBD sama Board of Directors perusahaan ternama, lha gue masih nganggur
Lho Si A ternyata baru aja keterima S2 di Stanford pakai beasiswa Fullbright, lha gue mah sampah masyarakat emang ga kaya dia
Wih diklat terus ya temen gue yang udah jadi CPNS, kapan ya gue bisa kerja dengan posisi se nikmat itu?
Wah beruntung ya dia bisa nikah sama si B, lha ini pasangan gue kok ga semapan dia sih
Kita terkadang menjadi risau dan tidak bahagia dengan pencapaian atau kebahagiaan teman-teman kita. Padahal kalau kita lihat ke gambaran yang lebih besar, pasti ada banyak cerita sedih yang ia tidak share ke publik. Sampai di satu waktu ketika kita mendengar cerita sedih mereka, kita perlu mengambil refleksi dengan menjawab sebuah pertanyaan.
Apakah kita bersedia untuk menukar kondisi kehidupan kita dengan kondisi teman kita tersebut?
Pada akhirnya setiap orang memiliki cerita masing-masing. Setiap kita memiliki sebuah gambaran besar yang berisi cerita sedih dan cerita bahagia. Tentu tidak banyak yang tahu seseorang yang terlihat kuat seperti teman saya tadi tiba-tiba menangis karena masalahnya yang kompleks.
Kita terkadang hanya terpesona dengan cerita sukses, namun ketahuilah, mereka yang sukses itu juga menyimpan cerita kesedihan sebagaimana kita.
6 notes
·
View notes
Photo

Pertemanan Jurusan
Di tengah mengerjakan pengolahan data wawancara skripsi, saya memutuskan membuka album foto angkatan jurusan saya di grup Line. Tiba-tiba saya menemukan sebuah foto yang membuat perasaan saya campur aduk karena seiring berjalannya waktu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan kampus yang saya jalani, termasuk perubahan kondisi teman-teman saya yang ada di dalam foto ini.
Mereka semua yang ada di foto ini adalah teman-teman pertama saya ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Saya ketika itu merupakan seorang alumni sebuah pondok pesantren di Karawang yang masih lugu, polos, belum punya HP, tidak memiliki teman perempuan, dan kalau ngobrol masih keceplosan pakai kata ana-antum. Saya ingat sekali pertemanan saya di luar orang pesantren dimulai ketika saya berkenalan dengan sesama mahasiswa baru yang satu jurusan dengan saya di twitter. Ia adalah seorang perempuan yang berasal dari Kabupaten Serang. Pada saat itu saya merasa bersalah dan berkali-kali mengucapkan istighfar karena untuk pertamakalinya saya kenal dengan perempuan. Rasanya lucu ya kalau kenangan itu tiba-tiba teringat sekarang.
Dulu saya pikir saya bersama seluruh teman-teman saya bisa lulus dengan mudah selama empat tahun, menjadi teman-teman yang kompak untuk selamanya, dan tidak ada yang mengalami drop out di tengah jalan. Namun saya sadar pikiran saya sewaktu maba ketika itu tidak sepenuhnya bisa terlaksana. Waktu memang memberikan jawaban atas perkiraan-perkiraan kita
Tentang Tolong-Menolong
Ternyata lulus empat tahun secara berbarengan memang hal yang sulit, karena setiap teman-teman memiliki needs, resources, dan problems masing-masing. Kendati sesama teman sejurusan, terkadang saya tidak tahu masalah dari teman-teman saya itu apa. Salah satunya karena saya sadar tingkat kedekatan saya dengan mereka berbeda-beda, yang menyebabkan saya tidak memiliki cukup pengaruh untuk membantu.
Salah satu hal yang membekas dari usaha saya untuk saling menolong adalah ketika saya ingin menolong seorang teman, kemudian teman tersebut mengatakan hal ini kepada saya.
Kita berteman, bukan berarti mesti tahu semua masalahku, kan?
Sejak itu saya sadar bahwa memang untuk saling menolong ternyata memang ada batasannya.
Rasa Menyatu
Satu waktu saya bertemu dengan seorang wakil ketua himpunan di FISIP UI. Ia memang menjadi salah satu pengurus ospek himpunannya. Sambil makan ayam goreng, ia mengatakan kepada saya
Persatuan angkatan kalau di sini itu bullshit kak. Nanti suatu saat mereka sadar kadang persatuan memang gak bisa dipaksain.
Ia merasa ironi karena persatuan angkatan memang didengungkan di ospek kampus. Ditekankan bahwa mahasiswa satu angkatan adalah satu keluarga. Tapi seiring berjalannya waktu masing-masing orang memiliki definisi rasa nyaman yang berbeda-beda, dan barangkali teman sejurusan bukanlah tempat yang nyaman bagi setiap orang.
Adapula seorang teman seangkatan saya yang masih berjuang untuk lulus memandang bahwa pada akhirnya rasa kekeluargaan akan didapatkan pada keluarga inti kita. Seruan bahwa kita satu keluarga pada masa-masa ospek kampus adalah sebuah gimmick semata. Tidak semua orang yang didalamnya benar-benar tulus. Ia menyebut fenomena ini sebagai keluarga-keluargaan dalam blognya.
Berdamai dengan Realita
Teman-teman yang ada di dalam foto ini sebagian besarnya sudah lulus. Tersisa sekitar 9 orang yang masih berjuang untuk lulus. Seorang diantaranya sudah meninggalkan raganya karena menjadi korban kecelakaan pesawat Lion Air Jakarta-Pangkal Pinang tempo hari. Seorang diantaranya telah memutuskan untuk mengundurkan diri karena SKS nya sudah tidak lagi terkejar, yang sedihnya mahasiswa ini dulunya adalah Wakabid saya di suatu organisasi kampus. Seorang diantaranya baru saja kemarin mengontak saya untuk meminjam uang karena ia tidak punya uang untuk melanjutkan kuliah.
Ketika hari ini saya melihat foto ini, saya sadar anggapan soal rasa tolong-menolong dan rasa menyatu dari teman-teman saya memang ada unsur kebenarannya.
Namun, pada akhirnya merekalah yang menjadi teman-teman pertama saya di Kampus. Melalui merekalah saya beradaptasi tidak hanya dengan dunia kampus, tapi juga dunia luar pesantren yang ketika itu baru saya kenali. Melalui mereka juga saya memiliki teman-teman yang supportif, saling belajar bersama, turun lapangan bersama, praktikum bersama, dan serangkaian kegiatan lainnya. Sungguh naif rasanya kalau saya mengabaikan mereka dalam perjalanan hidup yang sudah saya alami.
Hari ini, memang sudah tidak bisa seperti dulu lagi. Tidak ada lagi kelas-kelas kuliah dengan tugas resume yang banyak. Tidak ada lagi agenda turun lapangan. Setiap ke kampus probabilitasnya sangat kecil untuk bertemu dengan mereka. Akan ada saatnya masing-masing orang pergi untuk berjuang merangkai cerita cinta dan cita mereka bukan?. Karena kampus memang punya batas waktu. Baik yang keluar dengan membawa ijazah ataupun selembar surat keputusan, itu semua pilihan.
Terimakasih. Semoga kalian diberikan keberkahan dalam mencapai cita-cita kalian ya :)
2 notes
·
View notes