Tumgik
halawatanhilmah · 4 years
Text
Kamar mandi
Sebuah pintu yang persegi panjang, berdiri vertikal tinggi melebihi tubuh-tubuh saat mereka lewat masuk ke dalamnya. Ia adalah bingkai transisi terupa perasaan, seperti cuaca yang sedemikian diatur; menukar hawa pada sekujur tubuh.
Aku hendak melewatinya masuk ke dalam kamar mandi, ruang yang kukasihani. Makin hari wajahnya muram dan dingin, betapa ia kelelahan dirampas kesendiriannya. Ia terlihat kaget dan kecewa karena tak difungsikan untuk sekedar bermandi dan kegiatan bebersih lainnya, menyaksianku membuang tangis, berdiam di tepian kolam airnya, berkaca dan menumpahkan kesusahan padanya.
Ternyata semua ini bukan hanya salahku atas kemalangan seorang kamar mandi, hal ini kukatakan atas ketidak sengajaan mencuri dengar percakapan mama dengan teman karibnya
"beberapa tahun lalu, kupasang kucuran mirip air langit, jika kerannya diputar ia akan menghujani tubuhmu dari kepala hingga ujung kaki, tangismu akan terdengar memetir di dalamnya"
Begitulah, wajahnya tak nampak kuyu dan malang, matanya tanpa air yang menguratkan pedih. Ia hanya tampil sebagaimana usai mandi dengan keramas, bisa jadi matanya terlihat memerah kelilipan busa sabun atau shampo.
Kau juga bisa menjumpai pot-pot berukuran tanggung di dalam kamar mandi, jika aku bertanya mengapa mereka berdiam di sana? Mama akan segera menjawab "emm... Lebih mudah menyiduk air dengan pot, ia menampung lebih sedikit air, sehingga tangan tidak cepat pegal" sambil berlalu memboyongnya ke kebun belakang.
Ia berbohong, ingatanku kembali pada mimpi-mimpi masa kecil, waktu itu seseorang sedang menggaung di tepian mimpiku, suaranya berpendar masuk ke dalam sana. Aku terjaga, dari dalam kamar mandi terdengar kesedihan yang menjerit sakit, suaranya semakin dalam dan tenggelam. Di dalam pot mama mengurung suaranya, tenggelam bersama kepalanya ke dalam bak mandi.
Ruangan itu bermuraman dengan segala isinya, mereduplah ia dengan tatap yang kukasihiani.
#h
6 notes · View notes
halawatanhilmah · 4 years
Text
Cerita Warkop
Kopi yang tinggal ampas, penikmat bubur ayam mulai berhilangan di pelupuk seberang sana, permusuhan antara mereka dan dingin yang terangin berulang lagi. Kekasih yang ditunggui belum juga nampak datang selarut ini, malam memang selalu menyimpan rahasiannya di balik bising muda mudi yang cekikikan mengunyah tawa renyah, ia baru saja menemukan sepeda motor kekasihnya terparkir di depan salah satu tenda bubur ayam Madura dekat kampus, sedikit memastikan wujud kekasihnya yang ternyata bersama wanita yang setiap saat hari berperan sebagai teman dekatnya sendiri.
Ia tak pernah mau banyak bicara atau bahkan sekedar menyimpan kesal pada kekasihnya, mengingat; suatu sore di ambang pintu, sambil melinting tembakau, seraya menjawab keresahakannya si kekasih bilang “lelaki, mustahil punya dua mata saja untuk melihat wanita, ia akan menggunakannya lebih dari itu untuk beberapa dari mereka saat bosan atau cuma sekedar iseng. Tapi tenang saja, hatinya mutlak punya kekasihnya saat ini” ia lantas berbalik dan menunggu, tak lepas pandangannya pada mereka yang berdua.
Mencintai ternyata tidak sewarna hitam atau putih, terasa pasti manis atau pahit sahaja, namun terkadang melampaui logika dan akal. Ia begitu mencintai kekasihnya, pun sebaliknya, mereka adalah dua orang yang saling mengisi dan melengkapi, menciptakan dan merawat bersama, bukan hanya berisi roman picisan yang membosankan. Mereka kerap kelihatan membaca buku bersama, menamatkannya, dan berembuk memaknai isinya, memutar lagu Kings of Convenience sambil berjoget dengan kepiluan, berpelukan di antara kursi gedung pertunjukan yang dingin, berteriak meracau kalut seiring gas ditancap kencang menghapus sunyi malam, dan banyak lagi siasat kebahagian mereka yang nestapa.
Rupanya mereka telah menaruh rasa pada kebatinan dan melupakan diri masing-masing, mereka akan saling mencari saat kabar menghilang, saling meraih saat jarak memisah, dan saling mengisi saat waktu bermurah. Setiap hari mereka mengisahkan pengandaian saat mereka benar-benar hidup bersama hingga dunia habis dan kehidupan berakhir, bebunyian kisah mereka biasa kunikmati sekali dalam sepekan dalam siniar, suaranya yang lembut penuh arti dan kekasihnya yang terus saja menggoda dengan banyolan yang bikin dongkol. Sungguh, senda gurau yang meronakan pipi pendengarnya, saat mereka berbahagia terdengar suara gembira, seperti tawa yang berloncatan ke udara, bahkan saat mereka bersedih aku kehilangan bahagiaku... Hey, sedang apa aku? Sebegitunya menyaksikan kisah cinta orang lain-
#h
1 note · View note
halawatanhilmah · 4 years
Text
Seharian Bersamaku
Sebelum akhirnya badanku rebah seutuhnya di atas kasur, kuputuskan untuk menuliskan sedikit cerita tentang hari ini. Barusan; tadi adalah hari Senin, hari pertama di hari kerja dalam sepekan, hari ini juga adalah hari di mana aku sudah memutuskan untuk tidak bekerja setelah sebelumnya pergi pagi dan terkadang pulang agak larut malam. Hari ini pun kembali kurasakan diri sebagai entah dan melenggang gamang, sekilas kebodohan dan penyesalan sebagaimana kutuliskan peristiwa di kalimat sebelumnya. Sabtu lalu resmi sudah aku diwisuda, lulus dari universitas terbaik versi perjuangaanku, umumnya mereka yang lulus sudah banyak punya pengalaman kerja, atau bahkan sudah jauh melangkah dalam dunia karir atau apapun yang membuaat dirinya “ada” terus berproses dan menetap sambil terus berlari jauh sampai dapat dan tetap. Namun, yang ada pada diriku adalah keputusan mengundurkan diri dengan alasan yang bahkan terlihat goyah dan tidak berprinsip sebagai seorang dewasa.
Atau menurutmu tidak begitukah mengecewakan diri sendiri dengan keputusan yang dibuat oleh diri sendiri, beserta akal dan pikiran yang seluruhnya sadar? Baik rasanya kucukupkan dulu penyesalannya dalam cerita ini. Sejak pagi tadi aku bangun dengan perasaan senang, bisa jadi karena waktu istirahatku cukup semalaman. Bangun, bersyukur, mendo’a lantas membersihkan diri dan rumah, kurasakan kehangatan melihat dua keponakanku, yang satu sedang semakin bertumbuh seiring gigi ompongnya yang maikin terisi gigi baru, sedang satunya lagi sedang bertumbuh dengan terus menyusu pada bundanya tanpa mau istirahat, banyak rengekan yang menggemaskan memenuhi isi rumah. Selanjutnya, kukocok empat butir telur untuk sarapan bersama di meja makan, dihidangkan selagi hangat dengan nasi putih yang masih mengepulkan asap, disajikan bersama bawang goreng dan sedikit kecap, satu suapan penuh dari tangan ibu mendarat di mulutku. Pagi yang indah, bukan?
Tidak terlena dengan pagi yang hangat walau udara Bogor menggigilkan badan, aku harus mengantar ibu pergi ke kantor, kutunggui beliau sampai selesai pekerjaanya dan lantas pulang, diperjalanan kutatapi ibu yang masih sibuk dengan ponsel pintarnya, akibat sejak Sabtu lalu beliau mengirimi kabar kelulusanku pada kerabatnya, mereka membalas dengan ucapan selamat dan do’a, betapa bahagianya ibu. Tapi tahukah? Sejak hari rencana wisuda kuurusi bolak-balik kampus hatiku terus sedih, mataku terus hangat menjelang tidur, entah apa yang kupikirkann sehingga begitu getir rasanya memikirkan diri sendiri. Urusan antar ibu selesai, bibi kesayanganku datang main ke rumah, kuajak dia pergi membeli kudapan kesukaan; rujak mangga muda. Selama di perjalanan kami wara wiri di atas motor yang melaju santai ditemani rindang pepohonan di kanan kiri, sedikit kuutarakan keresahanku tentang penganggurannya aku dalam sewaktu ini, ia selalu memberikan petuah yang menyenangan dan kuterima dengan tenang.
langit mulai jingga, matahari terlihat masih ingin menyoroti dunia dengan segala apa yang ingin mereka capai sebelum hari habis. Ia membulat, berwarna oranye terang, berdiam di antara awan yang pupus dan pohon jati yang menjulang di kejauhan. Sedang asyik menikmati buku di dalam kamar, kakak laki-lakiku mengajak menimati sore sambil mencari kelapa muda. Wah... segarnya sudah terasa di tenggorokan sejak motor distarter, di perjalanan kembali lamunanku melayang pada, apakah kehidupan yang sebenarnya kita cari? Apakah cukup kita berilmu dan lantas tidak nampak aktualisasi diri di mana kaki berpijak? Atau cukup saja mencari uang tanpa ilmu dan amalnya asal cukup usia dipenuhi dengan makan dan minum? Ah sudahlah, air kelapa lebih segar diminum langsung dengan penuh nikmat, tidak dicampuri overthingking khas kita di usia seperempat abad-an ini.
Malam kini datang, dia seperti biasa berpenamilan gelap dan sedikit terang dengan lampu-lampu yang dinyalakan oleh masing-masing rumah di kampungku, membawakan angin-angin dingin menyumsum. Peregerakaan mulai melamban seriring kelopak mata yang mulai berat berkedip, ia butuh terpejam dan istirahat, tidak lupa sebelum tidur selalu kusempatkan bercakap di WhatsApp bersama kekasihku. Kami membicarakan banyak hal setiap hari, kadang isinya tukar pendapat, sumbang ide, bertengkar kecil, bercanda garing (dia memang kurang lucu, menyebalkan) bertukar menu makan malam, atau seringnya kutinggal tidur duluan tanpa pamit alias ketiduraan aku pelor, juga meninggalkannya saat sedang membaca. Kali ini ia sedikit kesal karena saat sedang kangen aku malah baca buku cerita dan melupakan percakapan kita, seru sekali! Cerita pendek berjudul “Permen karet yang lengket” yang kupinjam di perpustakaan digital, didalamnya tergambar ilustrasi anak kecil berlarian, bermain, mengunyah manisnya permen karet sambil sesekali melembungkannya menjadi balon yang kemudian pecah mengenai wajahnya sampai lengket semua. Huh, cerita yang sederhana naamun menggambarkan kegembiraan seluruhnya, membaca tanpa interpretasi atau berpikir panjang setelahnya.
Menyenangkan bukan, hari ini? Hatiku penuh dengan kehangatan, orang terkasih membersamai. Jadi maksudnya begini, setelah kutulis lumayan panjang barusan itu, ternyata hanya menikmati hari dengan kegiatan yang sederhan itu tidak apa-apa, saling tertawa dengan orang terdekat, mengakuri masalah kecil, menikmati kesendirian dengan hal yang disukai dan menenangkan, mensyukuri yang sedikit namun bahkan belum tentu yang sudah punya banyak pun terasa bahagiannya. Sering, saat ini kutemukan beberapa akun media sosial yang dibuat sedemikian untuk mengemas keresahan menjadi obat yang menenagkan dengan kalimat-kalimat “tidak apa-apa” beruntunglah kita masih terilhami dengan peringatan yang tidak selalu berbunyi keras. Namun, sering kali aku menafikan makna dari kalimat penenang tersebut, KETIKA... ketika aku sedang tidak berbuat apa-apa padahal banyak yang harus kukerjakan, berpikir lebih banyak dari bertindak yang berarti, bicara melulu soal keresahan tanpa mau cari solusi. Kita ini harus punya mental kuat untuk tidak banyak mengeluh perihal membandingkan diri dengan orang lain, kita tidak lantas menjadi seperti diri yang sekarang dengan usaha yang kita tau sendiri sudah sejauh mana kerasnya.
Masing-masing kita tau apa maunya saat bahagia tercipta, bahkan saat sedih kadang kita menikmatinya dengan bahagia, dengan angan kebahagiaan setelahnya. Kita adalah pelaku atas peristiwa yang dialami oleh kehidupan kita, kita adalah tuan atas segala pikiran yang bermunculan, kita adalah hati yang punya rasa dari dalam nurani. Kita tidak perlu menjadi siapapun yang harus ditempatkan oleh orang lain seperti mereka melihat kita, kita hanya perlu menyadari peran atas apa yang hendak kita amalkan.
Bogor, 31 Agustus 2020
#h
1 note · View note
halawatanhilmah · 4 years
Text
Kupesan bubur ayam sebagai alas perut kita esok pagi, kita akan bertemu dengan lezat bibirmu di ujung sendok yang dingin, melahapnya penuh-penuh hingga tersisa hangat pelukmu di tubuhku
0 notes
halawatanhilmah · 4 years
Text
Cakra
Kini yakin kukatakan padamu dan pada sekalian alam bahwa tuhan telah mengantarkan keberuntungan yang mumbung bagi kita, juga getir yang sementara atau selama yang ia kehendaki. Ia maha adil, mengasihi ragam rasa yang hendak kita kenyam seiring waktu.
---
Bunyi alarm berjejalan masuk telinga kananku, tepat saat matahari sempurna menyoroti jendela kamar, rupanya mereka geram terlalu lama diabaikan, dengan kantuk yang masih bergelayutan kubersihkan diri untuk segera lari dari kamar tidurku yang malas, bergegas tancab gas seketika ujung mataku menangkap dua paruh baya terduduk sambil menyuap sarapannya. Tunggu, dengan penuh sesal dan rasa malu kukatakan bahwa barusan aku menceritakan sedikit saja kesia-sianku pada waktu setiap hari, saat ini jemariku mengebas, persendianku rasanya ngilu semua, ototku tak lagi memfungsikan tugasnya dengan baik lagi untukku.
Iya, aku cuma hanya berbaring di tempat tidur yang tak kunjung aku bisa tidur pun. Setiap saat yang kutatapi hanya bunda yang seperti ada dan tiada kuanggap, ia dan tubuhnya yang kukuh mengantarku kembali pada kasih tuhan yang mutlak. Setiap hari kukeluhkan ketidak berdayaan ini dengan linangan air mata, kuserahkan tubuhku untuk segala yang telah kuperbuat, aku sedang merugi, tapi bunda bilang bahwa tidak ada nikmat yang tuhan ambil dari hambanya, ia tak mengharapnya kembali, ini hanya sebagian kecil dari peringatan bahwa kita telah mengambil nikmatnya lebih banyak dan lebih dulu sebelum ketetapan-Nya.
Pantaslah kini untuku kesedihan ini sedang menetap, esok pasti akan berganti seperti aku mengecap kebahagiaan. Tapi seolah cuma seletukan harap atas nama pulih, semua mata menatapku dengan kutukan dan sumpahnya, sekaligus syukur atas apa yang menimpaku. Mereka yang waktu istirahatnya direcoki suara knalpot motorku, piaraan yang mereka rawat sepenuh hati, kuhabisi tanpa arti, mereka yang menyaksikan kedurhakaanku pada ayah bunda, dan umpatan lain yang disimpan dalam rumah-rumah mereka.
---
Hari berjalan lurus dan pasti, aku berdiri di atas kelumpuhan. Sore menyapa teduh, paras cantiknya membolehkanku merasakan bahwa aku masih ada di dunia.
0 notes
halawatanhilmah · 4 years
Text
Tumblr media
Hal pertama yang sering memicu kecemasan kita, yaitu karena ketika bangun tidur kita tidak pernah langsung terhubung dengan diri sendiri.
Tetapi kita langsung terhubung dengan notifikasi, menyimak berita-berita mengerikan yang sebetulnya tidak semuanya perlu kita konsumsi.
Membalas pesan dan komentar-komentar yang semestinya tidak perlu menyita lebih banyak waktu kita untuk memikirkannya.
Kita mengundang begitu banyak kecemasan dari ponsel kita sejak pertama kali membuka mata. Kita tidak memberi kesempatan untuk terhubung dengan diri sendiri.
Berselancar melihat kehidupan orang lain, melihat pencapai-pencapainnya, perjalanan-perjalannya, hingga kita begitu mudah untuk membanding-bandingkan diri.
Seharusnya kita bisa menggali lebih banyak hal yang terpedam, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seringkali kita ajukan ke orang lain, bukan ke dalam diri sendiri.
Ponsel kita pusat segala informasi sekaligus alat paling mudah yang bisa membuat kita merasa rendah diri, alat paling mudah untuk mengacaukan pikiran kita.
Kita tidak pernah mampu menemukan pintu ketenangan dalam diri kita sendiri, karena kita tidak pernah berusaha menyelaminya. Kita tidak pernah terhubung dengan diri sendiri.
—ibnufir
196 notes · View notes
halawatanhilmah · 4 years
Text
“kita senang berbincang perihal cuaca, sebab kita mencintai sekaligus membenci perubahan. kita seperti cuaca.”
448 notes · View notes
halawatanhilmah · 4 years
Text
Sisakan yang hangat, bukan panas
Bermula dari semburan nutfah, lalu menjadi segumpal darah, kemudian berproses menjadi kepalan daging, diberi-Nya tulang, otot, juga ditiupkan ruh hingga mewujud makhluk bernama manusia.
Jadilah ia, ditemukannya zat-zat yang dilahirkan semesta untuknya. Matanya berbinar, tatapnya menyejukan hati, suaranya disifati embun pada pagi yang sunyi. Lengannya hangat mendekap gelisah resah, tuturnya silir-semilir angin.
Suatu hari di luasnya kemarau, dahaga, kekeringan dan ringkih, ia yang mulai tidak kokoh tersayat lamunan mimpi, nampak semburat api menyembul dari dadanya yang indah, kukira ia akan terus mengalir dengan fitrahnya, tak sedikitpun ada dalam benihnya tercipta dari api yang bergolak.
Amarahnya terdengar seperti igauan namun sungguh-sungguh ia ucapkan dari bibirnya yang merah anggur nizina. Sudahlah kini ia mencabik dirinyanya atas dasar kecewa pada siapa, sebagaimana api yang membakar, merambat dan terus naik ke atas, sulit baginya merunduk, maka temaram dan lalu mati.
#h.
1 note · View note
halawatanhilmah · 5 years
Text
Pertama kalinya aku menangisi hujan, derasnya yang mustahil dihentikan sekelebat mantra atau telunjuk yg bukunya tak lebih dari helai daun kelor.
Langit memetir-metir, sungguhpun isi kepala ini! Andai tidak pernah kita merasa takut dan curiga, saat ini kita sampai
Perjalanan memang tak semulus pulang dan pergi Ketenangan tak selalu tentang anak di ketiak ibu Kebahagian, bukan perihal aku menemanimu seiring waktu sahaja Bukan alang kepalang, tak kurang dari itu, aku sangat menyayangimu
#h.
0 notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Malam begini kamu masih di luar rumah, belum juga pulang Dua tanganmu sibuk menggenggam; satu eratmu untuk menggenggam jemarinya yg mungil putih kuning, dan satu lagi untuk kamera paling baru punyamu Kau dekap harap di tengah pintanya mengepalkan tangan di bawah dagu.
Sesekali kau kacau iramanya, menangkap senyumnya yang lucu Di atas bangku panjang yang dipelitur mengilap kau simpan aku di halaman yang enggan kau baca Kau lantangkan suaramu; membeo, melepaskan aku dalam nyawamu
Kupasrahkan malam ini pada naungan katedral yang merapalmu.
Mungkin esok atau lusa kita sematkan gemintang dalam langit yang sama (kembali)
#h.
0 notes
halawatanhilmah · 5 years
Photo
Tumblr media
0 notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Telisik hujan
Aku menyusup masuk ke dalam gaun biru muda panjang sedikit terawang, kutelusuri anyam-anyaman benang yang elok membelai kulitnya yang mulus, dilemparnya pandanngan tanpa cermin perbandingan, otaknya bahana cemeti dewa, belum mau pecah kepalanya sebab ia selalu tabah mengompres keningnya yang kemarau. Padahal, di luar orang-orang kehujanan, semuanya ribut berisik sambil kuyup kebasahan
“gaun yang cantik untuk perjamuan musim hujan di empat hari pertama bulan Oktober, atau tahun ini. Akankah kau mengakhiri tanggungan yang bikin nyeri punggung dan pening kepala?”
Si empunya gaun punya pikir di sisa ruang gamangnya, ia menimbang peristiwa produk susu penurun kadar gula dalam darah yang laku keras di pasaran, untuk beberapa gelas terakhir yang mereka reguk… kembali naik ke kerongkongan dan lekas memuntahkannya, tiada arti bagi mereka. Ia masih punya daya untuk sedikit menggeser ingatannya, sebagai masyarakat yang punya kewarganegaraan, tercatat namanya di atas kartu keluarga di urutan paling akhir, orang bilang punya posisi di situ pasti mujur dan maslahat. Setahuku juga begitu, ia pasti di-anak raja-kan, tidak perlu kendali waktu atas kuasa oang lain, semua halal asal mau. Kupandangi lekat raut wajahnya, di sana cuma ada darah campah, hambar, tidak ada keberuntungan dari dalamnya.
---
Kubangan air masih akan terisi penuh melampaui dataran, orang-orang kini sibuk membawa alat ukur semacam penggaris dan meteran. kulihat mereka mengukur diri atau perwakilan atas dirinya, menyandingkan alat ukur dari atas gaun hingga keujungnya, si empunya diam pasrah berserah, kurasa dia ini mulai paham tentang konsep roda-roda yang terus gentian berputar, sebentar lagi pula ia akan membuat pamflet peringatan buat yang senang terlena:
“boleh jadi sebenar-benar bungsu jika tidak ada lagi manusia setelahmu”
aku yang belingsatan mencari tempat sembunyi, ya… walaupun diri ini tahu tak ada nilai yang bisa diukur dari perwujudan sepertiku, masihlah dia ini terhitung dalam kenikmatan yang separuh surga dunia.
2 notes · View notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Seasap
“Aku hendak mengolah lalap punyaku, dan barangkali kau punya segenggam pipilan jagung untuk kita santap sore ini. Adakah?”
Dari kejauhan, nampak kepulan asap tebal dari cerobong asap milik seorang pemuda. Ia bersama seorang gadis yang baru dikenalnya lima bulan lalu, mereka rajin membikin macam kudapan tak perlu, menggodok celoteh hingga kering dan hening, mengayunkan petitih jantung hati.
Tak hanya berdua, beberapa pikiran bergerilya mengitari. Saban hari si pemuda kelihatan baik menyalami mereka, oiya! Kemarin satu dari mereka masuk ke rumahnya, dibawanya album berukuran lumayan besar, isinya kosong hanya terpampang lembar lusuh. Tuan rumah sigap membrudulkan isi kopernya yang kerap ia timang, ditumpangkannya satu-satu hingga kenangannya habis selesai, sungguh-sungguh ia bilang "Cuma dirimu non, yang paling andal menyembuhkan lukaku, aku makin ringkih kian hari".
Mereka masuk mendesak berjejalan, tak tersisa ruang bagi si gadis di dalam situ. Ia munculkan indra dari jendela yang terbuka lebar, bermaksud minggat, sementara terikat.
0 notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Anak Burung
“Kalau begini terus, hasrat ingin segera menikah selalu meraung”
tangis perempuan ini makin menjadi. Ya, begitu saja, alasannya ingin pergi jauh dan tidak terikat dengan norma orang tua dan anak yang sama sekali tidak ada udara segar untuk dihirup.
“Aku juga ingin segera punya uang banyak, untuk menjejal mulut yang kian hari mengutuk nasib sebab ekonomi yang selalu dirasa tidak cukup untuk hura-hura, membelanjakan yang sudah dapat dipastikan akan menuh-menuhin ruang di setiap sudut rumah” tambahnya lagi, sambil menyeka air mata
Memang si.. menikah, lalu menjadi orang tua itu bukan hal mudah, menunda pernikahan karena takut menjadi orang tua juga bukan hal yang benar, akan sampai kapan tidur sendirian? (padahal guling kan udah jadi teman). Lelaki mana yang akan tahan, hidup bersama perempuan yang belum cukup selesai untuk dirinya sendiri? Mau bawa “PR” saat mereka bilang “selamat menempuh hidup baru..”?
---
Melalui ragam tayangan di Televisi, dari terbit matahari hingga terbenamnya tak pernah sepi memenuhi asupan informasi bagi pemirsa. Aneka isu yang dimunculkan, baik yang baru saja mencuat atau yang sedari dulu belum terjelaskan. Tersaji pula secara cuma-cuma hiburan untuk mewarnai hari-hari, dengan sengaja menayangkan potret kehidupan sehari-hari; sinetron anak durhaka, menantu durhaka, dan anak-anakan lainnya, yang kemudian dikonsumsi oleh para orang tua yang sedang bersantai, menyuapi anaknya, menyapu lantai, atau sambil menunggu air mendidih. Adegannya selalu sama, alurnya tidak jauh dari yang sebelumnya sudah tayang, klimaks yang akan ditampilkan juga sudah hafal di luar nalar.
---
“rasanya untuk menjawab secara beradab dan benar, masih saja dibilang melawan dan kurang sabar menghadapi mereka, semua apapun yang kulakukan, jadi serba salah!”
Nada bicaranya melemah dengan sesekali menekan dadanya yang penuh sesak.
Diam, diartikan sebagai ke-tidak-apa-apa-an, hal yang dikehendaki akan terus dilakukan, tanpa berpikir dampak buruk yang akan terjadi setelahnya. Diajak bicara baik-baik, mendengarkan suara satu sama lain dari hati ke hati, dianggap kesalahan juga, karena merasa dihakimi oleh anak yang keluar dari rahimnya sendiri.
“kata masyarakat urban kini, keilmuan kita jauh berkembang lebih baik. Makanya, ia bilang dengan tak acuh “baiknya ilmu untuk berdebat digunakan di jalanan saja, gunakanlah hak demokrasi kau yang longgar itu (?)””
Aku jadi pendengar saja, menampung ujarannya yang makin deras. Bisa dikepang mulutku kalau mengeluarkan suara untuk meredakan kobarannya.
Dalam menyampaikan pendapat untuk mencapai suatu mufakat, perlu adanya perbedaan dari segi manapun, agar gagasan yang sudah ada menjadi purna. Namun, ia berkeluh atas bukti dari salah satu pesan yang termaktub dalam kitab suci, diartikan bahwa anak dan ibu dapat menjadi musuh, dan dilanjutkan lagi dengan penjelasan; jika kamu memafkan mereka, maka tuhan yang maha pengasih akan mengampuninya. Adakah perbedaan pendapat, mengharuskan ikatan yang mutlak untuk terus erat, terputus cuma karna beda pendapat?. Menurutku itu bukan karena tuhan si, kitanya saja sebagai manusia yang masing-masing egonya ingin dituruti, belum mau menguraikannya secara sederhana, ingin dianggap superior agar sohor, walau dalam lingkup yang teramat kecil, Itu saja dulu barangkali.
2 notes · View notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Cara Hidup Hemat
Kalau bingung gimana caranya hidup hemat dan gak mubazir, cukup mikirin hisab aja. Semua yang kamu punya bakal dihisab sama Allah. Bakal ditanya dapet dari mana; dipake buat apa; kok bisa gak kepake; dan kenapa dibuang. Jadi kalau mau beli sesuatu atau mau ngebuang barang yang udah gak kepake, tanya dulu: ini pertanggung jawabannya gimana ya pas dihisab nanti?
Pernah kepikir gak, rezeki dari Allah itu prinsipnya hampir sama kayak hukum kekekalan energi? Bahwa rezeki datang dari Allah itu berubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain, dan dari satu orang ke orang yang lain. Terus begitu dan tak terputus.
Kamu dapat gaji sekian juta, sebagiannya kamu kasih buat orang tua. Oleh orang tuamu digunakan untuk beli beras. Pedagang beras dapet uang dari orang tuamu, uangnya dipake buat beli bensin. Sama perusahaan yang jual bensin, uang dari pedagang beras dipake buat kebutuhan perusahaan kayak bayar gaji karyawan. Sama karyawan pom bensin gajinya dipake buat bayar sekolah anaknya. Sekolahnya bisa terus beroperasi dan anaknya bisa sekolah, kuliah, sampai dapet kerja. Gak berhenti tuh perputaran rezeki.
Nah, perilaku mubazir seperti gak ngabisin makanan atau membuang barang yang sebenernya masih bisa dipake, itu sama kayak 'memusnahkan' rezeki.
Sekalipun nominalnya kecil, rezeki tetaplah sesuatu yang besar. Seperti kamu membeli nasi goreng pinggir jalan. Nutrisinya bisa ngasih kamu energi untuk setengah hari. Seperti kamu membeli kaos seharga 50ribu rupiah. Kaos itu bahkan bisa kamu pakai lebih dari setahun. Seperti kamu membeli body lotion yang harganya 30ribu rupiah. Itu bisa kamu pakai dua bulan lebih.
Apa jadinya kalau rezeki berupa barang yang masih bisa dimanfaatkan itu kamu buang dengan alasan gak enak atau gak cocok? Kamu sudah memutus rantai dan nilai kebermanfaatan rezeki dari Allah. Padahal rezeki itu adalah wujud dari kasih sayangnya Allah.
Itu. Itu yang kelak akan dihisab. Jangan kira Allah pelit karena mengaudit semua pengeluaran kamu di dunia. Mau semubazir apapun kamu, itu gak bikin Allah kehilangan dan kekurangan apa-apa. Yang Allah gak suka adalah akhlakmu yang menyepelekan rezeki dari Dia Yang Maha Agung itu.
Gak lucu aja, di satu waktu kamu memuji-muji Allah Ar-Razzaq, Al-'Aziz, Al-Wahab, Ar-Rahman, Ar-Rahim, tapi di lain waktu kamu menyia-nyiakan kasih sayang yang Dia beri.
Kurang ajar sekali.
Mampang Prapatan | Taufik Aulia
880 notes · View notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Meninggal
Ia memuja seorang penyair
     - Jangan kau tumpahkan marah pada puisi, tenangkan asmaramu hingga ia tak jadi cengeng.
Ia adalah seorang yang banyak penuh
Ia mengumpat saat meluap, tidak ingin diberi tahu
Ia cekikikan digelitik lawakan basa-basi
Ia bertahan untuk dirinya, kalau-kalau lenguh terakhir
Ia mau lapar, saat ingat punya isi perut serupa kokokan ayam jago
Ia menampakan kerak air hangat terbentang di samudera lapuk kapuk
Di purnama. Antara rongga riuh rendah bapak celurut dan bayi berang-berang
Ia kosongkan isi kepala, sisa tempurung melarung di riuh asa
Ia hilang akal pada garis lengkung bibir manis miliknya
Ia lucuti gerak ke dalam dan ke luar, atas dan bawah, samping juga serong
Ia pintal helai benang yang acakadut
Ia tak menjadi apa-apa, bukan siapa-siapa
Renceh se-kelompang, terluang yang lapang, hanya istilah-isilah nihil
Hilang kikis menguap tak terungkap
0 notes
halawatanhilmah · 5 years
Text
Pertemanan orang dewasa
Seiringnya bertambah usia, semakin kita berproses mendewasa. Hubungan pertemanan kita menjadi semakin rumit. Bahkan tak jarang lingkaran pertemanan kitapun menjadi semakin sempit.
Kita tidak lagi seperti anak-anak yang saling mencari, yang tak sungkan memanggil, dan mau menemui lebih dulu. Kita menunggu sahabat-sahabat kita punya waktu untuk kita, menunggu mereka untuk menghubungi lebih dulu.
Jikapun mereka mau menemui, obrolan kita tidak mengalir seperti waktu kecil dulu. Sekarang, obrolan kita lebih banyak membicarakan diri kita sendiri. Kita menempatkan diri kita sebagai tokoh utama yang menjadi pusat perhatian.
Apa yang kita kerjakan, apa yang kita capai, apa yang sudah kita miliki, dan apa yang tengah kita perjuangkan. Semuanya tentang kita, seolah kita ingin menunjukan bahwa pilihan dan keputusan kita adalah yang paling baik.
Kita lupa meletakan setiap hal “tentang aku” seperti semasa kanak-kanak dulu. Bermain imajinasi, bertukar peran, saling mendengar, melempar lelucon, tertawa bersama tanpa bermaksud untuk merendahkan siapapun.
Sekarang untuk sekadar bermain saja kita membawa banyak sekali beban di pundak kita. Pekerjaan, jabatan, kepemilikan, dan hal-hal lain yang sudah melekat dalam diri kita. Padahal yang kita butuhkan adalah kehangatan dan kekeluargaan.
Bukan untuk menunjukan siapa yang lebih hebat, siapa yang lebih beruntung, dan siapa yang bernasib paling baik. Kita hanya butuh bersahabat, itu saja, tanpa membutuhkan pengakuan dan alasan apapun.
Setiap keputusan yang sahabat-sahabat kita pilih, itu adalah versi terbaiknya. Ketika ia kembali bersama kita, yang ia butuhkan ialah ruang penerimaan, ruang bermain dan ruang untuk berbahagia.
Maka sejenak ketika bersama mereka, lepaskanlah semua label yang melekat tentang siapa kita. Berteman apa adanya, bersenda gurau, dan saling melepas lelah.
—ibnufir
592 notes · View notes