Tumgik
hatibening · 10 years
Quote
Kalau kau mencari seorang yang hebat lagi cantik atau tampan, semua orang melakukannya; kau sangat biasa. Tapi kalau kau mencari seorang yang nampak biasa saja, tapi justru membuatmu menjadi hebat; kau melakukan hal yang tak biasa. Nilai diri itu lebih dari sekadar permukaan wajah.
(via kurniawangunadi)
1K notes · View notes
hatibening · 10 years
Quote
Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.
HR. Bukhari nomor 71 dan Muslim nomor 1037
8 notes · View notes
hatibening · 10 years
Link
Dari dulu saya sebenarnya bertanya-tanya, mengapa kisah hidup Abu Bakar jauh lebih sedikit yang kita temukan daripada kisah Umar?
Lalu, tiap membaca kisah mereka dari hadist, ada sensasi aneh dan unik yang muncul. Misalnya, saat kita membaca kisah Umar, beliau selalu tampil sebagai seorang yang kuat, tegas, dan cenderung keras.
Abu Bakar sebalknya, tidak menonjol dan tidak mau menonjol. Abu Bakar selalu meringkuk di pojokan dan tidak nyaman jika diminta tampil. Namun, saat ia tampil, jawaban dan tindakan-tindakannya membelalakkan mata.
Abu Bakar jelas adalah seorang phlegmatis murni. Jika ia tak harus muncul, ia takkan mau muncul. Ketika harus muncul, Abu Bakar pun bicara dengan kerendahan hati luar biasa. Kata-katanya singkat, tindak-tanduknya mencerminkan “siapa sih saya, bukan apa-apa”. Wajahnya merah saat dipuji. Ia tidak suka dipuji. Gambaran fisiknya pun makin menguatkan asumsi itu, “kurus, tinggi, berkulit putih, terlihat ringkih, agak bungkuk, berjenggot putih, dan pendiam”, begitu gambaran umum fisik Abu Bakar.
Abu Bakar beramal dalam diam, tapi amalnya luar biasa. Amalnya adalah yang terbaik. Hanya beberapa amal yang sempat Umar pergoki. Namun, saat Umar berhasil “menangkap basah”, ia hanya bisa kicep melihat kualitas amal Abu Bakar.
"Sungguh, engkau telah membuat kesulitan tiap pemimpin yang menggantikanmu, wahai Abu Bakar", keluh Umar. Umar memberikan pernyataan itu saat memergoki Abu Bakar tiap pagi datang ke rumah janda tua di pinggir Makkah. Abu Bakar memberishkan rumah janda tersebut dan memasakkan makanan untuknya. Ia mengurus janda itu tiap hari. Padahal, saat itu Abu Bakar adalah khalifah.
Begitu pula saat Nabi bertanya kala bincang setelah subuh. Saat ditanya siapa yang hari ini sudah bersedekah, menengok orang sakit, dan bertakziyah, tak ada satupun sahabat yang sudah melakukannya kecuali Abu Bakar. Ia mengangkat tangan, mengaku dalam malu, sementara sahabat lain terbengong.
Abu Bakar, jangan main-main. Masih jam 5 pagi dan Anda sudah bertakziyah, bersedekah, dan menjenguk orang sakit? Seperti apa Anda menjalani hari-hari Anda? Jam berapa Anda bangun? Dan Anda malu-malu dalam mengaku kepada nabi? Duh, apalah kami dibandingkan Anda.
Dengan karakter Abu Bakar yang seperti itu, wajar saja tak banyak kisah yang kita dapatkan.
Umar, dalam berbagai segi, adalah kebalikan Abu Bakar. Umar adalah potret sejati dari karakter Koleris murni. Keras, tegas, raksasa, pemaksa, dan cenderung keras. Fisik Umar digambarkan sebagai, “tinggi-besar, berotot, botak, keras, kasar, pandangan matanya tajam, garang - semua orang takut padanya”.
Kata-kata khas yang ia pakai kadang mirip preman pasar, “penggal saja!”, “aku akan membunuhmu!”, “kita harus melawan mereka!”, “wahai Rasululah, kenapa kita harus takut kepada Quraisy?”
Kenyataannya, Umar memang mantan preman pasar Ukazh. Sebelum masuk Islam, ia adalah tukang berkelahi dan jagoan Ukazh.
Sikapnya yang berani mengambil resiko memang luar biasa. Dan seperti karakter Koleris lainnya, kita melihat seorang yang menonjol. Koleris banyak sekali mengambil inisiatif untuk perubahan - dan bagi mereka, itu adalah sesuatu yang biasa mereka lakukan. Saat kau menginginkan ketenangan, panggil phlegmatis. Namun, saat kau merasa buntu, panggil Koleris. Koleris akan memecahkan kebuntuan-kebuntuanmu dengan cepat.
Dan itu pula yang dilakukan Umar. Saat jamaah muslim ketakutan di Makkah, Umar mengajak mereka berthawaf dan sholat di Ka’bah. Saat muslim yang lain hijrah diam-diam dalam malam, cuma Umar seorang yang menenteng pedang di bahunya sambil berteriak menantang di siang bolong, “Bagi yang mau menghadang aku untuk hijrah, silahkan!” Tak ada satupun orang yang menghadang Umar.
Makanya, dengan karakter Umar yang seperti itu, kisah tentang Umar membanjiri sirah nabawiyah Islam. Tidak heran.
Namun, ada satu hal yang unik, dan ini membuat kekaguman saya bertambah-tambah. Saat memilih pemimpin di Tsaqifah, mereka tidak memilih pemimpin yang menonjol. Mereka memilih pemimpin yang terbaik.
Abad 21 adalah abad ekstrovert. Saya yakin, andaikata ada pemilihan pemimpin antara Abu Bakar dan Umar tahun 2015 ini, Umar lah yang akan menang. Abad ini, orang yang lebih menonjol, lebih banyak berbicara, lebih banyak mengambil inisiatif, dia lah yang dipandang lebih baik. Setidaknya begitulah kata Susan Cain dalam bukunya Quiet. Pernahkah kamu berada dalam ruangan dan terpesona oleh orang yang banyak bicara dan aktif memberi ide, tapi kemudian kecewa karena ia tak bisa memimpin tim dan memberi hasil yang diharapkan?
Padahal, kepemimpinan bukan diukur dari seberapa baik ia bicara di depan publik. Ia bukan diukur dari keberaniannya untuk berorasi di depan orang-orang. Gandhi bukanlah orang yang jago pidato. King George X dari Inggris pun gagap saat coba bicara di depan rakyatnya (dan kemudian dibuatlah film King’s Speech untuk memotret fenomena itu).
Kepemimpinan, menurut saya, adalah lebih pada kemampuan membawa orang yang dipimpin untuk sampai ke tujuan. Jika demi sampai ke tujuan si pemimpin harus bagus bicara di depan publik ya bisa jadi. Tapi bukan itu fokusnya. 
Makanya, ketika Utsman menjadi khalifah, ia jarang sekali pidato. Dan sekalinya pidato, ia cuma berpidato begini, “Sesungguhnya pemimpin yang terbaik adalah yang paling banyak kerjanya, bukan yang paling banyak bicaranya”. Lalu ia turun dari mimbar, meninggalkan jamaah muslimin yang bengong.
Peristiwa Tsaqifah - pemilihan pemimpin setelah wafatnya Nabi - tiba. Dari sinilah saya melihat cerminan karakter Abu Bakar dan Umar dengan sangat jelas dan kontras.
Abu Bakar dengan karakter phlegmatisnya benci tampil menonjol. Sebagai phlegmatis, Abu Bakar berpikir ia bukan apa-apa. Ia tak mau orang memandang dirinya. Kalau bisa, ia selalu ingin di pojokan saja.
Namun, hari ini berbeda. Situasi Tsaqifah sangat panas dan perlu keputusan. Walaupun Abu Bakar tak suka menjadi pusat perhatian, akhirnya ia maju dan memberikan usul. Ia meminta hadirin memilih antara Umar dan Abu Ubaidah sebagai pemimpin. Dalam kondisi biasa, kawan, seorang phlegmatis tak mau menonjol, tak mau memimpin. Namun, dalam kondisi terdesak dan kritis, saat ia melihat ia harus memimpin dan tak ada orang lain yang bisa, ia akan (terpaksa) tampil.
Dan di sinilah briliannya Umar. Ia tahu ia lebih menonjol dibanding Abu Bakar. Perawakannya lebih meyakinkan daripada Abu Bakar. FYI, menurut riset, orang dengan karakteristik tubuh tinggi besar dan kelihatan tegas lebih didambakan untuk menjadi pemimpin dibanding orang yang perawakannya kecil dan terlihat tidak tegas. Dan, tebak, kalau Umar memilih mengangkat diri menjadi pemimpin, takkan ada yang protes. Umar memang layak!
Tapi Umar menolak.
Ia tahu secara perawakan dan kasat mata, ia lah yang lebih cocok menjadi pemimpin. Tapi soal manusia terbaik, Abu Bakar lah orangnya. Saat itu adalah saat krisis, secara logika Koleris lah yang perlu mengambil alih. Tapi tidak, ia yang perawakannya “kurus dan ringkih” itulah yang dipilih sebagai pemimpin. Sang phlegmatis murni.
Selanjutnya adalah kisah tentang paradoksal. Abu Bakar yang dikenal pendiam dan tidak menonjol langsung tampil menjadi pemimpin yang luar biasa tegas, bahkan mengalahkan ketegasan Umar.
Saat Umar protes mengapa Abu Bakar memerangi kaum yang tidak membayar zakat, Abu Bakar balik menghardik Umar bahwa mereka memang harus diperangi. Saat Umar memprotes bahwa pasukan Usamah harus mundur, Abu Bakar menghardik Umar bahwa ia takkan menghentikan apa yang telah diperintahkan Rasulullah.
Ya, inti kepemimpinan adalah soal kemampuan membawa orang yang dipimpin demi mencapai tujuan. Dan Abu Bakar jelas orang yang paling memiliki kompeten di bidang itu. Maka, ketika dihadapkan sebuah tanggung jawab kepemimpinan, seorang phlegmatis akan mentransformasikan dirinya menjadi seorang -yang kadang- jauh berbeda. Seorang phlegmatis memang tak suka muncul, tapi ketika ia harus muncul, maka ia akan muncul.
Abu Bakar dan Umar. Kedua orang ini selalu saya pelajari kisah hidupnya dengan pendalaman yang jauh lebih mendalam dibanding kisah sahabat yang lain. Bagi saya, mereka adalah kisah persahabatan paradoks sekaligus unik luar biasa. Radiallahu Anhu (semoga Allah ridha kepada mereka)
Akhir kata, saya cuma bisa mengutip syair Imam Syafii untuk mengakhiri tulisan ini,
"Ya Allah, tempatkanlah aku bersama orang-orang saleh walaupun aku bukan termasuk bagian dari mereka"
1K notes · View notes
hatibening · 10 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
16K notes · View notes
hatibening · 10 years
Quote
Setiap manusia selalu memiliki keistimewaan yang tiada berbatas. Namun kebanyakan manusia mengunci keistimewaannya sendiri sebatas belenggu kulit yang melapisinya.
Widya N. Hidayati
5 notes · View notes
hatibening · 10 years
Quote
Hati-hati jika ingin memperbincangkan kesusahan orang lain. Bisa jadi jika hal itu menimpa kita, kita tidak lebih baik mengatasinya dibandingkan mereka.
1 note · View note
hatibening · 10 years
Quote
Mata itu hanya mampu melihat bagian kulit terluar saja. Tidak bisa dijadikan pijakan absolut untuk menghakimi sesuatu.
1 note · View note
hatibening · 11 years
Photo
Tumblr media
330 notes · View notes
hatibening · 11 years
Photo
cantik meski terhimpit :)
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
360K notes · View notes
hatibening · 11 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Germany
15K notes · View notes
hatibening · 11 years
Video
youtube
Yuk kenali kanker serviks! Cegah sebelum terlambat.
94 notes · View notes
hatibening · 11 years
Photo
Tumblr media
Betapapun aku berbahagia atas pencapaian-pencapaian yang telah aku raih, besar ataupun kecil, mudah ataupun sulit, aku tak boleh lupa, bahwa segalanya terwujud atas sumbangsih doa demi doa milik ibuku, milik ayahku, milik orang-orang yang dengan penuh ketulusan mengharapkan kebaikan untukku.
Pemberian yang tak disebut-sebut, yang tak dicerita-ceritakan, memang sangat menggoda untuk ditampik dan diabaikan. Aku pun akan sangat merasa bersalah, serta menderita malu yang tak putus-putus, apabila hal tersebut terjadi pada diriku. Apalagi jika kemudian aku tak bosan membanggakan apa-apa yang tersemat dalam catatan pencapaian itu.
Ada peka yang harus senantiasa aku jaga. Ada rasa terima kasih yang selayaknya aku tuturkan dalam kata ataupun laku. Dengan bersikap baik. Dengan membalasnya berupa harapan kebaikan yang sama. Pun dengan kerja nyata semampuku.
Barangkali itu adalah satu dari sekian maksud yang Ibuku ajarkan. Supaya aku, segigih apapun mewujudkan mimpi-mimpi, tetaplah mesti memperhatikan sekelilingku. Karena kebahagiaan tak semata-mata ketika kita berhasil memeluk erat cita-cita, melainkan juga ketika sepasang mata menyaksikan kebahagiaan orang lain, senyum dan tawa orang lain, sebab kita turut serta meringankan kesulitan-kesulitannya, sebab kita menjadi perantara, yang mempertemukan ia dengan suka citanya.
Achmad Lutfi 13 November 2013
Lokasi: Calberlah
83 notes · View notes
hatibening · 11 years
Photo
Tumblr media
189 notes · View notes
hatibening · 11 years
Quote
Sebaik apapun kita punya maksud, sedalam apapun kita punya ilmu, jangan sampai akhlak ditanggalkan dalam menyampaikan kebenaran.
Achmad Lutfi
87 notes · View notes
hatibening · 11 years
Photo
Tumblr media
Salah satu cara mengobati kejenuhan akan keseharian, akan kesibukan yang berlarut-larut, adalah bercengkerama dengan alam. Bersentuhan langsung dengan kehidupan alami yang jauh dari hingar bingar kota dan sekumpulan manusia.
Ada sepasang kaki yang memerlukan langkah nan jauh dan mendaki. Ada sepasang mata yang merindu pemandangan berupa tetumbuhan dan segarnya pesona alam. Disana, pada kesunyian yang menyertai, kita diajak mengingat diri sendiri. Kita diajak mengingat sekeliling dan menyadari apa yang sudah Tuhan berikan.
Kita tak diminta untuk terburu-buru menelaah episode dan cerita hidup yang telah dan sedang membersamai. Ketenangan itu tak akan mendesak. Jutru ia, dengan sabar akan menemani kita menyimak suara hati diri sendiri.
Bonn, 2 November 2013
Lokasi: Waldfriedhof - Königswinter
64 notes · View notes
hatibening · 11 years
Quote
Pada anak tangga yang takut tuk kamu jejaki, bayangkanlah keindahan puncak yang akan kamu saksikan.
Achmad Lutfi (via achmadlutfi)
226 notes · View notes
hatibening · 11 years
Quote
Ikhlas itu bukan alasan untuk menghindar dari memperjuangkan sesuatu yang lebih baik
Achmad Lutfi (via achmadlutfi)
267 notes · View notes