Text
after the pandemic, 2022
Rasa-rasanya hampir lupa kalau punya akun tumblr, haha! Begitu inget langsung buru-buru login, dan untungnya masih inget password (meskipun disuruh ganti). Barusan aku mengintip tab notification, dan cukup terkejut karena masih ada yang like postingan-postingan lamaku (yang aku juga nyaris lupa kalo pernah nulis), bahkan ada juga yang baru follow.
Jadi -halo, teman-teman. Heo di sini. Sekarang sudah 23 tahun (wow), dan masih berusaha jadi orang yang selalu memperbarui diri untuk jadi versi yang lebih baik.
Kayaknya postingan terakhir ditulis tahun 2020, ya. Ketika pandemi baru menyerang dan otomatis membungkam segala rupa aktivitas. 2020, berarti dua tahun yang lalu. Waktu itu aku lumayan sibuk menjalani tahun terakhir kuliah, khususnya soal magang dan skripsian. Tapi sempet nulis juga ternyata. Wow. Impresif.
Dua tahun berlalu, dan perubahan adalah sesuatu yang pasti.
Ada banyak hal yang berubah, baik yang aku sadari secara nyata, ataupun yang berubah tanpa disadari. Mulai dari kebiasaan, pemikiran, gaya hidup, sampai soal jalan hidup itu sendiri. Pada akhirnya, aku masih akan jadi mahasiswa lagi (hehey!) Meski masih belum yakin angin kehidupan ini akan membawa kapalku ke arah mana. Tapi yaudah. Selalu minta sama Allah buat dikasih yang terbaik, seperti seharusnya. Cause we’re nothing without Him.
Aduh. Mau nulis apa lagi, ya. Ini semacam comeback post aja sih (wkwkwk). Lagipula, aku belum tentu bisa nulis banyak lagi. Tapi semoga bisa, deh. Mau nulis apa juga ya (ha..ha..). Bisa-bisa malah kebanyakan ngeluh soal kuliah and stuff. Hadeh.
That’s all for now. Kebanyakan bacot malah ngga jelas, kan.
-malam Idul Adha 1443 H.
13 notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.9;
Orang-orang bilang, ‘Semesta memang suka bercanda’. Padahal ada yang lebih lucu kalo menurut gue daripada analogi kosmos yang makro alias segede itu -yaitu kita; as a human and servant. Partikel mikro yang insignifikan dan nggak terlampau percaya diri di luasnya hamparan semesta.
Kenapa lucu?
Jawabannya ada banyak. Ada banyak kausal yang membuat gue berpikir bahwa manusia itu termasuk kategori makhluk yang lucu dan naif, tentu termasuk diri gue sendiri. Kali ini, yang mau sedikit gue ceritakan tentang kelucuannya adalah soal hablumminallah, alias gimana hubungan kita sebagai client dengan Allah sebagai patron (meminjam istilah hubungan bilateral antarnegara pada masa kuno). Harusnya perihal ini jadi suatu hal yang patut banget kita concern, tentunya karena ini menyangkut gimana hubungan kita sama Allah.
Renungan ini berawal dari gue yang seharian ini cuma berkutat dengan nyelesein 1 buku-baca buku baru lagi-dan puluhan kali nyetel musik Lewis Capaldi. Keliatan banget nggak produktifnya, kan? Semata karena gue menghindari satu agenda -yang harusnya jadi prioritas kedua gue di bulan ini setelah magang, yaitu tanggungan buat nulis artikel ilmiah. Masalah dimulai ketika apa yang udah gue susun, ternyata sedikit melenceng dari tema utama. Gue nggak mungkin memaksakan tulisan gue buat masuk ke tema, tentu karena dari substansi, bahkan dari judulnya udah kentara bahwa ini out of theme. Maka gue berubah menjadi stuck dan nggak bisa mikir lagi. Tau kan, gimana rasanya? Ibarat kaya kita udah nyusun proposal skripsi sampe bab 3, tiba-tiba ditolak. Oke ini hiperbolis.
Dalam kebingungan itu, gue bener-bener kesel dan bingung. Ide apapun tetep terasa ‘mental’ di kepala gue, rumit berkelindan sama berbagai hal yang juga sama ruwetnya. Maka ketika gue bener-bener directionless, barulah gue diem sejenak, merenung, lantas membatin: “Ya Allah yang Maha Tahu, tolong kasih aku petunjuk..” -dan sederet permohonan lainnya yang disampaikan secara impromptu; tapi bisa jadi justru terdengar kaya rant.
Syahdan, di sinilah letak lucunya. Gue tersadar, gue -atau mungkin kita- adalah makhluk yang sangat lucu dalam konteks hablumminallah, karena kita cuma akan menghamba dan bersujud lama ketika banyak maunya. Mendadak dzikir lama sebakda shalat, mendadak dzikir pagi-sore, mendadak dhuha dan tahajjud, dan banyak ibadah-ibadah dadakan lainnya; yang barangkali cuma kita jadikan wasilah semata biar Allah tau usaha dan daya kita. Perilaku ini ibarat ‘aksi‘ dalam analogi Hukum Newton III. Lantas, ketika Allah dengan begitu pengasih dan penyayangnya memberi apa yang kita mau, ‘reaksi’ dari kita malah serta merta berbalik mundur; semakin menjauh, kembali seperti kita pada mulanya: naif, lucu, dan tidak tahu diri.
Gue tertawa. Semoga kesadaran ringan ini bisa jadi sedikit ibrah buat semua, terutama diri gue sendiri.
20 Agustus 2020; menjelang maghrib.
Heb.
26 notes
·
View notes
Text
Jalan di Tempat Kemerdekaan Kita
Mengawali secuil narasi reflektif ini dengan satu kalimat yang harusnya sangat akrab di telinga kita, yaitu: “Jas merah; jangan sekali-kali melupakan sejarah!”. Sebaris kalimat legendaris dari Bung Karno yang intinya mengimbau pada segenap elemen bangsa agar tidak serta merta melupakan masa lalunya. Menariknya, frasa ‘masa lalu’ di sini tidak melulu diartikan sebagai tarik mundur hingga berabad-abad lampau. Hari kemarin, bahkan satu jenak yang barusan berlalu juga bagian dari ‘masa lalu’ tersebut. Lantas apa gunanya dengan ‘tidak melupakan masa lalu’? Jawabannya reflektif; untuk dipelajari dan dinukil hikmahnya -lantas menghadapi hari-hari esok dengan lebih bijak. Terkait hal tersebut, secara akademis, dalam ilmu sejarah kita mengenal adanya historical knowledge (pengetahuan sejarah), historical thinking (berpikir sejarah), dan historical consciousness (kesadaran sejarah). Pemaknaan akan sejarah tentu akan lebih afdol apabila setiap dari kita memiliki integrasi dari tiga komponen tersebut; tidak hanya tahu sejarah, melainkan juga berpola pikir sejarah dan memiliki kesadaran sejarah. Begitulah sejarah dapat dimaknai secara utuh, bukan hanya perihal peringatan yang repetitif semata.
Namun sepertinya, bangsa kita memang masih cenderung memaknai imbauan legendaris dari bapak proklamator tersebut secara dangkal. Kita lebih senang (dan kurang senang, barangkali) untuk berdiri saat upacara, hormat bendera, dan ramai-ramai membuat unggahan di media sosial tentang peringatan atas suatu peristiwa -daripada merenungi makna dan esensinya. Memang tak melulu buruk, tapi apabila ditengok kembali, maka akan muncul sebuah tanya; “Untuk apa memperingati, kalau tidak juga dihikmahi?”. Masalah lain yang masih cukup melekat terkait dengan hal ini adalah bahwa bangsa kita masih belum sepenuhnya belajar dari sejarah. Termasuk dalam peringatan dan pemaknaan kemerdekaan; satu peristiwa penuh euforia yang direaksikan dengan gegap gempita.
Saat ini, sering kita jumpai bahwa semakin banyak hal yang bisa kita lakukan untuk ‘merayakan’ atau ‘bereaksi’ atas suatu peristiwa, termasuk perhelatan kemerdekaan yang tepat jatuh pada hari ini. Di era digital seperti sekarang, ramai kita temukan beragam pamflet atau konten-konten yang ramai ‘bicara’ secara virtual soal kemerdekaan; entah itu berupa ucapan, artikel, media visual, dan sebagainya. Ada pula yang bereaksi secara lebih ‘ilmiah’ dengan menulis artikel; bicara panjang lebar soal esensi kemerdekaan; menjadi kritikus dadakan; atau sesumbar soal janji-janji pembaruan di masa depan. Hal-hal seperti ini agaknya repetitif dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun. Pejabat dan para pemimpin yang berpidato panjang lebar soal makna kemerdekaan dan apa yang harus kita capai ke depannya sebagai satu kesatuan bangsa; pemuka agama yang memberi ceramah untuk menyikapi kemerdekaan secara lebih religius; dan dalam skala yang lebih kecil namun nyaring adalah gegap gempita masyarakat di sudut-sudut kampung berhias bendera kain warna-warni dengan perlombaan ala kadarnya. Dalihnya akan tetap sama; ‘merayakan kemerdekaan’.
Tunggu. Kalau para pahlawan yang dulu berperang dan serba sulit itu bisa hidup lagi dan menonton ‘drama perayaan kemerdekaan’ ini, kira-kira apa yang akan mereka katakan?
Kembali ke awal tentang pemaknaan kemerdekaan. Di samping hal-hal monoton yang berdalih untuk ‘memaknai kemerdekaan’ itu, ada juga yang bereaksi secara lebih kritis, semisal dengan menanyakan kembali makna kemerdekaan yang sudah kita kantongi selama sekian puluh tahun. Retorikanya akan sama; “Apakah kita benar-benar sudah merdeka? Merdeka dari apa? Merdeka dari siapa?”. Yang kemudian akan diikuti dengan analitis-kritis pemaparan opini bahwa ‘bangsa kita memang belum sepenuhnya merdeka’-
-dan entah sampai kapan kita baru akan mencapai kemerdekaan yang utuh seperti itu.
Kita ibaratkan segala variasi ‘pemaknaan kemerdekaan’ di atas adalah sebagai tesis yang akan melahirkan antitesis (meminjam istilah dalam filsafat Hegel). Antitesis dari rangkaian tesis-tesis tersebut pada hakikatnya bermuara pada satu tanda tanya, yaitu “Sudah sejauh mana kemajuan kemerdekaan kita dari waktu ke waktu?”. Sejarah mencatat bahwa tahun sekian kita bicara soal wacana pembangunan, peningkatan ekonomi dan sebagainya; namun kita kembali mengulang wacana yang sama di tahun-tahun berikutnya. Kita bicara soal peningkatan etos kerja dalam setiap spanduk acara karnaval tujuh belasan dari tahun ke tahun, tapi masih kita temui fakta kurangnya etos kerja yang digaung-gaungkan itu. Kita bicara dan menguar retorika perihal refleksi “Bangsa kita belum sepenuhnya merdeka,” tapi nyatanya, dari tahun ke tahun kita masih saja terbelenggu, terikat, atau bahkan terinjak oleh elemen asing. Maka di sini, yang lagi-lagi menjadi antitesis adalah pertanyaan; “Akan dibawa kemana wacana kemerdekaan kita ke depannya?”. Tentu akan terdengar sangat konyol, membosankan, dan repetitif apabila peringatan kemerdekaan hanya diisi dengan hal-hal demikian tanpa progress dan arah langkah yang presisi.
“Bangsa yang hebat tentu adalah bangsa yang maju dan senantiasa progresif, bukan bangsa yang hanya asyik jalan di tempat.” Narasi demikian agaknya relevan dengan pemaknaan dan kejelasan arah haluan kemerdekaan kita untuk ke depannya. Seperti yang disebutkan di awal, selalulah untuk belajar dan berkaca dari sejarah kita. Toh, masa lalu ada bukan hanya untuk dikenang, tapi juga diabadikan dalam hikmah. Sama halnya dengan wacana kemerdekaan dari masa ke masa; adanya untuk dipelajari dan dimaknai baik-baik. Tinggalkan keburukan, tingkatkan kemajuan. Bangsa kita tentu akan bangga apabila berkaca pada sejarah dan menemukan fakta bahwa ada kemajuan yang signifikan dari masa ke masa. Bangsa kita tentu akan lebih eksis dan optimis dalam mewujudkan wacana “Indonesia Emas 2045” apabila ada langkah-langkah taktis yang senantiasa kita pelajari dari pelajaran sebelumnya. Singkatnya, bangsa kita tentu akan lebih kuat dan hebat ketika kita selalu jadi bangsa yang pembelajar, seperti apa yang dilakukan nenek moyang, pejuang, hingga founding fathers yang sudah lampau.
Terakhir, menutup narasi ‘recehan’ ini dengan satu kalimat dari Bung Karno;
“Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.”
Sudah tiga perempat abad, Indonesia. Mari berbenah dari sejarah. Mari bergegas mewujudkan tekad dan beranjak dari zona jalan di tempat.
Banjarnegara, 17 Agustus 2020, 22:23
Salma Hanifah.
17 notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.8;
Pagi ini, tiba-tiba terlintas sebuah nasihat dari Imam Syafi’i, yang kurang lebih bicara soal “Hindarilah debat kusir, apalagi debat dengan orang bodoh.” Hindarilah di sini bermakna tinggalkanlah segera, karena bagi Imam Syafi’i, debat yang demikian bener-bener ngga bawa banyak kebaikan buat diri sendiri. Nambah cerdas enggak, nambah emosi dan negative vibes iya. Bayangin aja -gimana kita akan dapet iklim diskursus yang sehat kalo semua argumennya ngga melulu valid dan bertujuan cuma buat menjatuhkan selainnya?
Gue kemudian teringat dengan percakapan gue beberapa waktu yang lalu dengan seseorang. Awalnya, dia bingung dengan fenomena Youtuber sekarang; gimana cara kerjanya, gimana mereka bisa dapet uang dari situ, dsb. Sebagai orang yang ditanyai, gue sedikit menjawab apa yang gue tau soal sistem kerja Youtuber, ad sense, subscribers, views, et cetera. Namun pembicaraan jadi makin melebar ketika dia mulai bicara soal artis-artis Indonesia yang berbondong-bondong jadi Youtuber dengan konten-konten yang menurutnya gaje, nirfaedah, dan ngga ada manfaatnya sama sekali buat yang nonton. Gue paham, mungkin yang dia maksud adalah konten prank yang relatif konyol, pamer kekayaan seolah di atas dia udah ngga ada lagi yang lebih kaya, daily vlog, and stuffs. Gue cuma mengomentari bahwa mereka pinter milih target penonton dan jenis konten yang banyak disukai, apalagi di masa sekarang yang banyak orang tergantung dengan hiburan daring.
Bukannya mengiyakan, tiba-tiba dia justru seolah berbalik menyerang gue dengan jawaban gue. Melontarkan pernyataan sepihak bahwa gue adalah penikmat konten-konten sejenis itu, dan itu bikin gue secara ngga langsung ikut ‘memperkaya’ mereka. Gue menjeda sejenak -dari mana dia bisa narik silogisme yang bahkan premisnya sangat amat kurang?
Gue tertawa, kemudian berusaha menjelaskan bahwa konten-konten sejenis itu sama sekali ngga pernah gue tonton, bahkan ngga masuk algoritma Youtube gue. Herannya, dia keukeuh; meyakini bahwa dengan gue menjelaskan itu, secara ngga langsung gue berarti mengamati dan seolah ‘mengeksplorasi’ hal-hal mubah semacam itu. Lanjutannya, dia mulai berceramah bahwa apa yang ‘gue lakukan’ itu sia-sia dan nihil dari segi guna. Dari sini, gue mulai mencoba menguasai diri buat nggak serta merta menyanggah dan membela diri, karena gue tahu -ini akan jadi debat kusir yang ngga ada gunanya bagi gue kecuali menaikkan tensi.
Maka setelah dia selesai bicara, gue lantas buru-buru menghabisi obrolan dengan satu kalimat final, bahwa -Sekarang ini, nggak semua informasi cuma bisa didapatkan dengan praktek atau mencoba. Semisal suatu waktu gue ditanya soal narkotika dan gue bisa jawab, apa gue berarti pengguna narkoba? Ketika gue ditanya soal sex education dan gue bisa menjelaskan, apakah gue pernah melakukan? Nyatanya, nggak semudah itu buat men-judge atau menarik konklusi atas sesuatu yang masih berupa hipotesis.
Dari tulisan ini, gue ingin sedikit menarik refleksi, bahwa dalam diskursus apapun, debat -terlebih yang cuma jadi debat kusir belaka- bisa jadi bukan merupakan solusi yang terbaik. Bisa jadi ada kesalahan atau logical fallacy di situ, terutama jenis argumentum ad hominem yang justru menyerang subjek, bukan objek yang dibicarakan. Di masa-masa sekarang ini; di mana segala sesuatu bisa dengan mudah diperdebatkan dengan modal browsing dan kepakaran yang nihil di berbagai platform, udah sewajarnya dan sebaiknya buat kita untuk semakin melek dan menahan diri, bukan cuma menjunjung ego; melupakan nalar dan fungsi otak.
Allahu ta’ala a’lam.
Rumah, Hari Pramuka 2020
09.30
18 notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.7;
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?”
adalah satu kalimat dalam sampul belakang novel ‘Rindu’-nya Om Tere Liye yang sampai sekarang masih melekat di kepala, kendati udah hampir 4 tahun berlalu sejak gue baca itu. Intriguing. Ada filosofi menarik yang berulangkali selalu gue renungkan setiap kali inget kalimat itu, terutama kesadaran akan fakta, bahwa-
“Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan hanya kepada Allah kita akan kembali.”.
Iya, sepotong terjemahan ringkas dari QS Al Baqarah ayat 156. Satu kalimat yang barangkali sering kita denger dan ucapkan, tapi rupanya masih minim pemaknaan. Biasa, manusia. Kita cenderung lebih suka atas hal-hal yang semata formalitas dan skriptualis daripada harus memaknai dalam-dalam. Padahal, ketika direnungi lebih lanjut, kita bakalan bisa buat eksplor hal-hal dan kesadaran-kesadaran baru yang jauh lebih meaningful ketimbang pemaknaan dangkal yang sebatas di atas kertas.
Gue lantas teringat dengan satu bait lirik lagu nasyid dari Tashiru, judulnya “Kembali”;
“katakanlah kali ini adalah milikNya Allah yang akan kembali kepadaNya, kapan dan di mana saja”
Maka ketika segala sesuatu -mulai dari yang super-mikro hingga yang ultra-makro; mulai dari partikel atom sampai himpunan semesta- semuanya bener-bener cuma miliknya Allah,
Apa yang mau dijumawakan manusia?
-25 Juli 2020; 21.41
Heb.
39 notes
·
View notes
Quote
All endings are also beginnings. We just don’t know it at the time.
Mitch Albom (via onlinecounsellingcollege)
1K notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.6;
Ada kalanya kita harus inget dan tanamkan baik-baik, bahwa - ‘Dunia nggak melulu berotasi buat kita’. Dalam perjalanannya, mungkin banyak banget hal yang jauh lebih ‘tidak mengenakkan’ ketimbang sejalan dengan apa yang kita mau. Kita berharap bisa kuliah di kampus X, ternyata nggak. Kita berharap bisa kerja di tempat Y, ternyata nggak juga. Nggak cuma perihal pekerjaan; perihal personalitas orang juga. Berapa kali kita sering kecewa dengan orang lain ‘cuma’ karena sifatnya atau kepribadiannya yang nggak selaras sama kita. Atau, betapa sering kita merasa ‘gondok’ dengan orang lain karena tutur kata yang terasa super-menyebalkan di telinga.
Banyak ya, hal-hal di dunia yang nggak sesuai dengan mau kita.
Lantas, kita mau apa?
Biasanya, gue mencoba berpikir secara jernih -meskipun awalnya tempramen naik juga-, bahwa banyak hal-hal di dunia ini yang di luar kendali kita. Kita nggak bisa mengendalikan takdir Allah -meskipun kita udah mati-matian berusaha, etc. Sama halnya, kita nggak bisa serta merta mengendalikan bagaimana orang lain harus bersikap, kecuali kalau kita terlampau superior dan arogan buat mengatur. Gue berpikir, dengan memahami bahwa kita ini nggak punya banyak kendali, kecuali atas diri kita sendiri- kita jadi lebih bisa buat mengontrol emosi -meskipun awalnya kesel juga. Pahami, kalau di dunia ini ada banyak hal yang berlawanan. Ada yang sejalan, ada yang nggak. Ada yang bisa dikendalikan, ada juga yang nggak.
Ya -because some things don’t work out like the way we want them to.
Heb; 18 Juni 2020, 07.07
19 notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.5.2 [end];
Yak jadi, mari kita lanjutken part pertama yang kepotong karena gue sibuk meneplak nyamuk! :D
Di akhir postingan sebelumnya, aku menulis bahwa hal yang menurutku penting dalam hidup adalah soal pilihan. Yak, mungkin kita terbiasa dengan ragam kutipan semisal ‘Life is a choice and you’re the one who choose it’ -or stuff. Dulu, aku cuma berpikir kalau kalimat semacam itu cuma reminder bahwa dalam jalan panjang hidup kita, akan ada banyak pilihan yang membingungkan, dan kita nggak boleh salah memilih. Tanpa aku paham dan menyadari bahwa sebenarnya, dari pilihan itulah hidup ini akan berjalan.
Aku kemudian berpikir panjang dan mengangguk-angguk bak Archimedes saat menemukan gaya benda dalam zat cair di bak mandi -bahwa ternyata, selain takdir Allah yang ‘menuntun’ kita buat sampai ke titik ini; hari ini; kegiatan ini; atau pencapaian ini; rupanya pilihan-pilihan yang kita ambil juga menentukan arah ke mana hidup kita akan dibawa berlayar. Analoginya, kita ibarat nahkoda kapal, dan hidup ini adalah kapalnya. Sekali kita salah atau keliru dalam memilih, sebagian kecil -atau bahkan besar- elemen dari hidup kita akan berubah. Ibaratnya kaya snowball, yang semakin menggelinding, bakalan semakin besar dan berat.
Setelah menyadari hal itu, aku kemudian mencoba mengingat-ingat lagi, pilihan-pilihan apa yang pernah kuambil sehingga membentuk diriku yang sekarang. Barangkali pilihan pertemanan, atau hiburan, atau kesukaan, atau gaya hidup -dan banyak lainnya yang mana hanya bisa diubah dengan memilih hal yang baru lagi untuk saat ini. Gue juga teringat akan pilihan-pilihan gue di masa lalu; semisal pilihan sekolah, mazhab, prinsip hidup, et cetera. Ternyata lucu juga menyadari sesuatu yang penting, tapi keberadaannya sering kita anggap insignifikan dalam hidup. Gue tertawa; sedikit menyesal, tapi mencoba buat tetap banyak bersyukur. Toh, dalam setiap alur hidup kita, mesti ada ‘campur tangan’ dari Allah; dzat yang jauh lebih ngerti diri kita ketimbang kita yang suka merasa superior of everything.
Maka dari sini, gue ingin sedikit berbagi, bahwa kayaknya akan lebih baik dan bijak kalau kita semakin aware -berhati-hati, berpikir kritis dan rasional, juga banyak melibatkan Allah saat akan mengambil pilihan; baik dalam hal yang mikro maupun makro. Karena -percaya, satu pilihan apapun yang kita ambil, akan berpengaruh dan terus menjadi kausal dalam alur hidup kita selanjutnya.
Allahu ta’ala a’lam.
-sembari mendengarkan Louis Armstrong, 7.15 am; 10 Juni 2020
Heb.
20 notes
·
View notes
Text
ii. menjemputmu dalam kantukku
Malam hari -
-tepatnya saat hening sempurna menjadi raja,
-temaram lampu sudah tamat dihabisi,
-dan melodi dengan tempo adagio menjelma bak bisikan malaikat yang berbisik di kedua telinga-
-selalu jadi waktu terbaik untukku merenung dan berfilsafat -seperti apa yang mungkin dilakukan Immanuel Kant atau Nietzsche pada masanya. Aku mencintai hening seperti serigala mencintai eloknya purnama untuk menjadi latar baginya melolong panjang -menyuarkan hasrat akan kekuatan meski niskala. Aku juga mencintai bagaimana kedua mataku akan semakin mengabur sembari menatap langit-langit kamar -bukan karena kantukku mulai merenggut kesadaran, tapi karena air mata tiba-tiba mengalir bahkan sebelum saraf motorikku bekerja secara sadar.
Tapi lebih dari semua itu, aku sangat mencintai bagaimana kombinasi antara hening dan kesedihan yang tiba-tiba itu kemudian kompak mengantarkanku pada satu ilusi yang fiktif, tapi bekerja sempurna seperti ekstasi dalam aliran syaraf seorang pecandu. Ilusi dan fantasi bagiku adalah sebuah candu -atau bahkan racun tanpa penawar yang tak juga mau kucari. Sebuah surga fiktif di mana semua bentuk adjektif dari rasa sakit seolah lenyap dan tidak pernah ada. Kanal di mana diriku menjelma menjadi seorang asing seperti perasaan Narcissus ketika menetrai dirinya dalam pantulan mata air yang jernih. Utopia tanpa syarat yang menawarkan segala jenis pengabulan atas semua hasrat; asa; dan segala yang kunamai sebelumnya sebagai imajinasi.
Maka di situ, di ambang antara realita dan utopiaku; ketika runguku bahkan tidak mampu lagi mengindrai lirik-lirik lagu; ketika netraku bahkan sudah jemu untuk menangisi betapa pelik dan fananya realitaku;
Izinkan aku untuk selalu kembali -menjemputmu dalam utopiaku. Satu-satunya surga terindah tanpa batas meski hanya utopia yang fiktif belaka. Satu-satunya tempat di mana aku bisa mengamati dirimu yang terlampau indah dan lugu; menghamba tanpa jemu; memuja tanpa ragu; juga membiarkan segala rupa ego menguasaiku tanpa ragu.
dan selalu, ketika melodi ini seketika berhenti dan kantukku mati;
kau akan kembali dan pupus lagi,
meski aku akan selalu jatuh cinta, berkali-kali.
2020년 06월 09일; 11.08 pm.
22 notes
·
View notes
Text
Reimagined, pt.5.1;
Beberapa waktu yang lalu, sejak gue mulai main ask.fm lagi, banyak banget pertanyaan anonim yang nanya soal hidup; in many different ways. Pertanyaannya kritis, sampai-sampai gue butuh sedikit jeda buat merenung dan mengetik jawaban. Gue jadi berpikir, mungkin ini satu anonim yang pingin banget ngerti gimana gue memandang hidup, makanya nanya terus. Tapi ya -keep on good prejudice since we dont know any evidence yet. Tapi, to be super-honest, gue suka ketika ditanya hal-hal yang critical semacem itu. Mungkin karena gue jadi sedikit belajar dan sejenak merefleksikan lagi, berpikir lagi, dan pada akhirnya, berharap semoga jawaban yang gue tulis bisa bermanfaat buat anonim itu. Dan alhamdulillah, gue juga bisa belajar banyak dalam proses menjawab pertanyaan-pertanyaan itu!
Oke, jadi mari kita masuk ke bagian refrain dari tulisan ini;
Sejak beberapa hari kemarin, gue sering menyimak pembahasan soal mental health dan mental illness. Kalo kalian sempet baca tulisan gue di bawah, mungkin ngerti alesan kenapa gue begitu concern sama masalah ini. Selama menyimak pembahasan soal itu, gue menemukan satu insight yang menarik, bahwa above all of mental stuffs et cetera, ada satu hal yang jadi basic kita dalam menyikapi sesuatu, namanya self-concept alias konsep diri. Ini juga berkaitan sama gimana kita memandang hidup dengan kita sebagai subjek, juga objek. Salah satu poinnya adalah; pikirkan hal apa yang paling jadi ‘masalah’ dalam hidup. Dengan mengenali dan mengidentifikasi ini, kita bisa jadi lebih aware buat menyikapi segala sesuatu. Kalau bagi kita mental issues adalah hal yang penting banget, maka tekuni dan jangan sampai luput, terlebih kalau kita nggak mau menanggung resikonya. Itu cuma salah satu contoh.
Kemudian, gue jadi berpikir; ‘What matters the most for me in this life?’. Apa sih yang menurut gue jadi ‘sentral’ dalam hidup? Gue kemudian tersadar bahwa ternyata, pertanyaan basic semacem ini belum pernah gue tanyain ke diri sendiri sebelumnya. Gue berpikir, kiranya apa satu -atau mungkin beberapa hal yang menurut gue krusial dan punya impact yang gede dalam hidup -
dan kayaknya, gue nemu jawabannya. Ini versi gue, dan menurut gue, ini sangat subjektif dan relatif; bahwa menurut gue, yang paling matter dalam hidup ini adalah;
-選択: choice. Pilihan-pilihan yang ada.
-to be continued; karena di kamarku banyak nyamuk :D
13 notes
·
View notes
Text
i. menyandarkan punggung di kolong langit
Nanarku pada langit berimbas pada selintas rasa sendu yang diam-diam menyelinap di sudut-sudut sukma; perlahan tapi pasti mengikis satu persatu lapis-lapis bahagia yang sempat melekat di sana. Riuh suara emprit yang tidak dapat kunetrai berubah menjadi cicit burung gereja yang menyuarakan risau; nada putus asa yang perlahan ikut mengalir bersama impuls-impuls elektrik dalam aliran syarafku.
Harusnya hari ini hujan saja, batinku sembari menghapus genangan air di sudut mata. Tapi Tuhan seperti tidak mau mengabulkan doaku yang lebih terdengar seperti gerutuan hamba yang putus asa dan tidak berharap apa-apa kecuali kedamaian yang nyata. Langit kembali menyintas kelabu yang pasti, awan-awannya angkuh berarak seperti tak mau singgah untuk dicurhati, dan di kolong langit, seorang aku semakin kehilangan nyawa seperti makhluk hidup tanpa urat nadi.
Mengambil pemutar musik, runguku berharap menemukan tiga sampai empat menit melodi yang mampu membangkitkan sedikit gairah, namun sialnya, tidak ada yang lain selain Radiohead dengan liriknya yang pilu, bukan Firehouse apalagi Bee Gees. Tidak ada pilihan lain; dengan lirik-lirik sendu yang menghambur perlahan melalui kedua runguku, dan siluet langit angkuh juga kelabu yang ditangkap kedua netraku, aku semakin tergolek lagi berkalang sunyi. Semakin mencintai kekalahan, kemalasan, juga kegagalan-kegagalanku yang seolah menjadi nama tengahku yang muram. Kesedihan seperti ini -mungkin aku akan melakukannya selalu tanpa pernah mencoba lagi mencicip bahagia. Melodiku akan selalu jadi ballad dalam tempo adagio dan birama paling lambat, juga lirik refrain yang paling menyayat. Aku ingin selalu tidur dalam keadaan seperti ini dan kembali bangun dengan mata yang bengkak karena air mata. Tanpa peduli apakah ada yang mencari untuk ditemui, tanpa peduli apakah ada yang hilang untuk dikenang.
dan ketika langit runtuh, biar aku jadi satu-satunya yang mengenang.
1 Juni 2020; Heb.
18 notes
·
View notes
Text
Pandemi Virus: Tentang Umat Manusia dan Masa Lalunya
Covid-nineteen, corona, pandemi, work from home, sanitizer, APD, dan lain-lain;
Nyatanya semua kata tersebut bak jadi keywords dan headline harian di media. Update perkembangan virus, berita kelangkaan APD dan alat-alat medis, masyarakat yang cenderung rewel dan persetan dengan protokol keamanan, dan sebagainya. Sebagai masyarakat, tentu kita jenuh dengan repetisi hal-hal tersebut dan berharap semoga semuanya kembali normal tanpa embel-embel new. Tapi tunggu, apakah semudah itu? Tentu tidak. Harus ada sinergi yang masif di berbagai lapisan untuk bersama-sama menahan laju pandemi agar tidak semakin dinamis. Tenaga medis bukan segalanya tanpa kebijakan pemerintah dan kepatuhan dari masyarakat. Maka dari itu, dengan mengedepankan rasionality dan humanity, masyarakat memang hendaknya manut tanpa perlu meributkan soal teori-teori konspirasi yang bisa jadi bias pikir semata.
Bicara soal pandemi sebagai mahasiswa sejarah yang non-medis, pikiran saya melayang jauh ke masa di mana dunia belum mengenal kata canggih atau teknologi atrificial intellegence. Saya teringat cerita soal pandemi di masa Romawi Kuno abad 4-5, kemudian wabah shirawayh dan amwas yang terjadi di masa kenabian Muhammad dan khilafah rasyidah, terus berjalan hingga pandemi paling luar biasa dalam sejarah Eropa -Black Death yang menghabisi hampir 1/3 penduduk benua biru, kemudian Spanish Flu yang menambah semarak dunia pasca Perang Dunia I, virus ebola di Afrika, MERS, SARS di awal abad 21, hingga berhenti di titik pandemi corona sejak akhir 2019 lalu. Saya berpikir; berapa dan betapa lama umat manusia sudah berjibaku dengan pandemi dari masa ke masa, berikut cara penanganan yang seadanya pada masa itu. Garis waktu pandemi seperti ini seharusnya sudah memberi pelajaran dan hikmah yang implisit bagi umat manusia setelahnya, bahwa adanya virus dan pandemi bak siklus yang tinggal menunggu waktu tayang. Memang, seiring dengan dinamika zaman, teknologi dalam berbagai hal akan terus berkembang. Namun, tidakkah kita dapat belajar lebih banyak dari kasus-kasus sebelumnya? Terkait upaya preventif, kuratif, kondisi masyarakat, pengondisian wilayah, maupun kebijakan yang diambil?
Saya teringat akan berbagai kebijakan yang pernah diterapkan guna membendung pandemi pada masa itu, semisal wabah pes di Hindia Belanda sekitar abad 17-18. Pemerintah kolonial begitu gencar memberlakukan lockdown atas daerah-daerah yang terkena wabah. Patroli keamanan diberlakukan dengan ketat untuk memastikan tidak ada orang sakit yang berkeliaran ke luar daerah. Para jamaah haji yang baru pulang-pun tidak luput dari protokol pembersihan besar-besaran; seperti wajib membakar baju yang dikenakan selama perjalanan, sampai membuang barang bawaan dari tempat asing. Cara ini terbilang cukup efektif dalam menangani wabah, terlebih karena pemerintah kolonial enggan mengeluarkan banyak uang untuk urusan wabah terhadap kaum pribumi maupun orang-orang Eropa. Kasus penanganan kedua yang saya soroti adalah Flu Spanyol tahun 1918-1919, di mana banyak negara sudah menerapkan protokol lockdown dan cukup efektif, maka sistem lockdown sempat dilonggarkan dan masyarakat kembali beraktivitas seperti semula. Namun sayangnya, kebijakan ini justru mendatangkan gelombang kedua pandemi dengan korban yang jauh lebih besar. Puluhan juta orang meninggal akbat wabah tersebut.
Pertanyaannya, seberapa banyak kita mau belajar dari masa lalu kita?
Ketimbang mempermasalahkan bias pikir teori konspirasi elit global yang jadi undercover dari pandemi, saya sendiri lebih senang menyimak perkataan atau perbincangan ahli atau tokoh global terkait pandemi, salah satunya Bill Gates. Dalam sebuah forum di TEDTalks pada awal tahun 2015 lalu, Bill Gates bicara banyak soal pandemi Ebola dan apa yang harus kita pelajari dari pandemi tersebut. Pada kalimat pembuka, ia sedikit mengomparasikan antara persiapan dunia menghadapi war dengan persiapan dunia menghadapi pandemic. Dunia bisa saja bersiap atas banyak hal untuk menghadapi perang; tentara yang terlatih, persiapan alutsista, logistik, bahkan pakta pertahanan -tapi nyatanya, perang tidak serta merta terjadi, terlebih di era kontemporer pasca Perang Dingin. Sebaliknya, Bill Gates menyindir ‘dangkalnya’ persiapan dunia untuk menghadapi pandemi-pandemi selanjutnya dengan musuh sekecil virus. Apakah setiap negara sudah mengantisipasi terjadinya pandemi? Epidemologis bekerja lebih keras dan waspada? Atau, persiapan vaksin untuk kemungkinan-kemungkinan derivat virus baru di masa depan? Sebagai penutup, ia menyampaikan beberapa poin penting yang dapat menjadi acuan untuk menghadapi pandemi yang dapat datang sewaktu-waktu, seperti; 1) memperkuat sistem medis; 2) membuat korps siaga medis; 3) tenaga militer dan medis yang saling bersinergi; 4) membuat simulasi virus; dan 5) pengembangan penelitian yang mutakhir. Harapannya, dengan menyiapkan aspek-aspek tersebut secara lebih awal, kedatangan pandemi sudah dapat diantisipasi dengan berbagai upaya preventif dan lebih efektif dari segi penanganan.
Tapi sepertinya, negara kita -atau bahkan dunia- tidak belajar banyak dari masa lalu, termasuk apa yang dikatakan Bill Gates lima tahun yang lalu.
Tahun ini, Bill Gates kembali berkomentar banyak soal pandemi, termasuk menganalogikan pandemi corona sebagai perang dunia ketiga. Yang membedakan antara perang ini dengan dua perang dunia sebelumnya adalah dari segi lawan. Dari manusia versus manusia, menjadi manusia versus virus -dan ini jauh lebih sulit. Bicara soal vaksin virus, tentu tidak semudah membuat jamu masuk angin yang terbilang instan. Butuh waktu lama untuk riset, pengembangan, juga uji coba. Untuk saat ini, umat manusia hanya butuh untuk patuh atas berbagai protokol dan kebijakan, bukan ramai-ramai mencari celah konspirasi dan menabrak aturan.
Saat ini, sembari mencoba menguatkan diri untuk tetap mematuhi aturan dan berdamai dengan keadaan, saya berpikir panjang mengenai historical consciousness alias kesadaran sejarah. Harusnya, umat manusia bisa mengambil pelajaran atas segala sesuatu yang menimpa sebelumnya demi menciptakan keadaan yang lebih baik, tidak hanya asal tahu lalu berlalu. Tidak hanya perihal medis, tapi juga kebijakan, teknologi, dan segala aspek kehidupan, karena hakikatnya, history repeats itself. Sejarah akan berulang dengan pola yang sama, terlepas dari siap atau tidaknya umat manusia. Maka memang penting bagi kita untuk sadar sejarah, bukan hanya tahu sejarah dan bersikap seolah-olah paling tahu soal dunia.
Lantas, dari pandemi kali ini, apa yang akan dunia wariskan pada generasi setelahnya?
-wfh dan KKN di desa sendiri, 31 Mei 2020
Heb.
27 notes
·
View notes
Photo

Menurut pendapat yang saya ikuti, puasa enam hari bulan Syawal terkait dengan kesempurnaan puasa Ramadhan. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ (رواه مسلم، رقم 1164) . “Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan enam hari dari bulan Syawal, maka seperti puasa setahun.” (HR. Muslim, 1164) . Kata ‘tsumma’ adalah huruf athaf (sambung) yang menunjukkan berurutan dan ada senggang waktu. Hal itu menunjukkan harus menyempurnakan puasa Ramadan dahulu, baik yang bersifat langsung maupun qadha. Kemudian setelah itu puasa enam syawal. Agar terealisasikan pahala yang ada dalam hadits. Karena orang yang masih mempunyai tanggungan Ramadhan masih dikatakan ‘Puasa sebagian Ramadhan’ Bukan ‘Puasa seluruh Ramadhan’. . Adalah dimana puasa syawal tersebut masih dikaitkan dengan puasa Ramadhan, puasa sunnah ini akan DIDAPATKAN KEUTAMAANNYA jika puasa Ramadhan telah ditunaikan dengan sempurna. Karena hadits di atas menyatakan, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, KEMUDIAN.,” . Sementara orang yang masih memiliki hutang puasa Ramadhan, BELUM dikatakan telah menyempurnakan puasa Ramadhan-nya. Karena itu, orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, maka harus meng-qadha hutang puasa Ramadhan-nya terlebih dahulu jika ingin mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh. . Referensi: Al Islam Sual wal jawab-Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid. . Ketika dihadapkan pada suatu kondisi harus memilih ibadah mana yg harus diutamakan, maka yang utama adalah kita mendahulukan yang wajib, baru yang sunnah. . Dalam hadits Qudsi yang cukup panjang, diantaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, dimana ibadah yang mendekatkan kita dengan Allah yang lebih Allah cintai adalah dengan melaksanakan kewajiban terlebih dahulu: “…………. Dan tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya.” . Baru selanjutnya menambahkan dengan yang sunnah,“ Dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah) hingga Aku mencintaiNya …” (HR Bukhari: 4/231) . Wallahu a'lam || @gsatria https://www.instagram.com/p/ByUEMeKhtsi/?igshid=p7alrzee9vkm
167 notes
·
View notes
Text
Tulisan : Menunjukkan Value
Value yang dipegang, mengendap dalam hati yang terdalam, hidup di alam bawah sadar akan terefleksikan melalui cara berpikir kita, tulisan/konten yang kita buat, proses pengambilan keputusan, sudut pandang yang kita utarakan, bahkan akan terefleksikan dengan karakter pertemanan yang kita miliki. Siapa teman-teman terdekat kita itu bisa jadi cerminan value yang kita miliki. Value yang telah berkembang menjadi kata sifat (karakter) dan kata kerja (tindakan/perilaku).
Dalam bermedia sosial pun demikian, kita bisa melihat value-value yang dipegang oleh seseorang hanya dengan mendalami konten yang dia tulis/bawakan. Kemudian, melihat siapa orang-orang yang berada dalam circlenya. Hal ini akan memudahkan kita untuk melakukan filter, siapa orang-orang yang bisa fit dengan kita dan tidak, siapa yang bisa kita follow dan unfollow.
Karena, kita punya kendali untuk menentukan asupan informasi yang ingin kita ambil. Dan, saya termasuk orang yang sangat mudah meng-unfollow orang di media sosial. Berusaha untuk menjadikan media sosial sebagai ruang tumbuh yang positif, bersinggungan dan bertemu dengan orang banyak itu pasti, tapi kita bisa memilih untuk hanya berbicara dengan siapa. Terutama di media sosial, yang wilayahnya sangat abu-abu. Orang yang tidak kenal dekat bahkan kita tidak tahu itu siapa saja bisa dengan gampangnya bertanya hal-hal yang privasi. Benar-benar batas itu bias sekali kalau kita yang tidak tegas membangun batasan tersebut.
Dan kita juga akan beresonansi dengan orang-orang yang valuenya sama dengan kita, meski kita mungkin belum mengenggam erat value tersebut. Kita sedang dalam perjalanan menuju ke arah sana, belajar untuk menerapkan value yang ingin kita pegang.
Kembali lagi, untuk menciptakan lingkarang orang-orang yang sevalue, jangan malu untuk menunjukkan value yang kita miliki. Karena, selama ini mungkin kita merasa sendirian. Padahal tidak. Merasa lemah, padahal ada banyak sekali potensi penguatan di luar diri kita. Merasa susah menemukan circle yang bagus, padahal kita yang tak menampakkan diri sehingga circle itu tidak bisa menemukan keberadaan kita.
Kurniawan Gunadi | hari kedua lebaran
787 notes
·
View notes
Text
Reimagined; pt.4
What’s the word -oh, idealism.
Kadang ketika punya kepentingan atau maksud yang ‘berbenturan’ dengan orang lain, gue sering merapal hakikat Hak Asasi Manusia dalam hati biar ngga emosi dan meninggikan ego. Semisal -”Ya, dia ada hak buat ngelarang gue.”, atau “Setiap dari kita punya kepentingan sendiri-sendiri, udah, santai.”. Meski kadang, sebagai sesuatu yang sifatnya fleksibel dan ngga rigid, segala sesuatu yang menyangkut HAM juga bisa jadi clash antarindividu.
Kali ini, gue mau sedikit bicara tentang idealisme. As a human yang berakal, setiap dari kita pasti punya itu. Nggak usah jauh-jauh berpikir idealisme itu soal ide-ide gede atau ambisi selangit, cukup hal-hal minor dulu semisal -prinsip yang jadi suatu keharusan buat dipegang dan dijalankan. Sama halnya dengan jalan pikiran tiap individu yang berbeda, termasuk juga soal prinsip dan idealisme.
Gue sering berpikir, bahwa konsekuensi dari adanya interaksi sosial bahkan cuma di antara dua individu adalah adanya konflik, termasuk konflik idealisme ini. Nggak jarang kan, terlibat konflik cuma berdua -cuma gara-gara pingin menang semua? Berpikir bahwa dengan mengalah berarti kalah dan langsung jadi pihak yang inferior? Gue sendiri tergolong sering mengalami ini. Gue ngga mau serta merta menerima atau menjalankan idealisme dari orang lain, sementara gue juga punya idealisme sendiri yang harusnya direspek. Gue tau, pihak ‘lawan’ gue mungkin juga punya pikiran yang sama. Kalo kaya gini terus -alias api dibalas dengan api, kapan bakalan padam?
Huft, gue menghela nafas. Semakin dewasa, ternyata implementasi pelajaran PPKn pas SD ngga semudah hafalannya; tidak memaksakan kehendak ke orang lain. Semakin dewasa, idealisme kita yang bikin kita seolah kaya benteng yang kokoh dan ngga bisa digeser. Padahal harusnya ngga. Harusnya kita ngga boleh seenak jidat memaksakan apa yang kita yakini benar -ke orang lain yang belum tentu bisa nerima itu.
Lantas gimana? Gue teringat dengan model Himpunan di Matematika, di mana ada irisan atau gabungan. Kenapa kita ngga berusaha apply model itu buat nyari jalan tengah di antara benturan prinsip atau idealisme? Pihak A, pihak B, bisa kan, kita nemu jalan tengah alias gabungan dari apa yang masing-masing dari kita yakini? Harapan gue, ngga banyak lagi orang yang keukeuh sama idealismenya sendiri dan merasa paling superior, karena setiap dari kita punya rights yang sama buat berpikir dan meyakini, what’s the most right. Kalo kita bisa sedikit-sedikit mengurangi konflik, kenapa nggak?
Allahu ta’ala a’lam.
wfh, 30 Ramadhan 1441 H
-Heb.
16 notes
·
View notes
Text
Triangulasi Saya, Bulan Suci, dan Pandemi
Masih jelas dalam ingatan saya -rasanya seperti baru kemarin- saat membaca status-status whatsapp atau instagram teman-teman saya yang mengunggah hitung mundur hari menuju Ramadhan. Sebagai reminder, kata mereka- untuk menyiapkan diri menghadapi bulan suci; baik psikis maupun fisik. Pada waktu itu, saya tergerak untuk turut mengambil satu bagian kecil guna ‘memperbaiki diri saya’; hitung-hitung bulan Ramadhan. Maka saya membuat sebuah program kerja untuk diri sendiri, dengan judul yang saya tulis sebagai “Reparasi Akhlak”. Isinya berisi target amalan dan target perubahan yang ingin saya usahakan selama Ramadhan.
Sudah 21 tahun, masa’ mau itu-itu terus targetnya, batin saya waktu itu.
Tapi seperti yang kebanyakan orang bilang, bahwa ‘Manusia hanya bisa merencanakan, tapi belum tentu bisa menjalankan’. Pada minggu pertama, saya lumayan bisa mengontrol target dan aktivitas saya selama Ramadhan, terutama terkait kuliah daring dan pekerjaan lainnya. Secara rutin saya menulis pencapaian apa yang sudah saya dapat setiap harinya, kemudian mengevaluasi, apakah lebih baik atau sebaliknya. Namun, memasuki minggu ke-dua, saya mulai kewalahan -terlebih ketika kuliah daring menambah jam terbang menjadi dua kali per-minggu, diikuti dengan tugas-tugas yang bertambah secara eksponensial. Memang -fenomena pandemi sukses mengubah hidup dan dinamika masyarakat belakangan ini, termasuk soal akselerasi segala sesuatu dengan dalih ‘agar cepat selesai’.
Pada awalnya, saya mencoba untuk tetap tenang. Mencoba mengatur waktu sebisa mungkin agar tidak keteteran, baik dari segi target amalan, waktu untuk belajar, maupun mengerjakan tugas. Namun, seiring dengan kelajuan aktivitas yang menuntut ini-itu; serba cepat; serba prioritas; dan serba-serbi lainnya, saya mulai kewalahan dan perlahan hilang kendali. Dampaknya, saya kehilangan fokus atas apa yang saya targetkan di awal. Manajemen waktu saya mendadak berantakan dan tidak presisi, terlebih kondisi fisik yang terkadang limbung membuat saya harus ekstra hati-hati. Mudahnya, saya merasa bahwa ada degradasi yang pasti dari hari ke hari di Ramadhan kali ini. Mulai dari target amalan yang dipikir keri, prioritas yang terlalu ‘duniawi’, dan kondisi saya yang mudah terdistraksi.
Bukannya saya tidak sadar, tapi hingga hari ini, bahkan saya masih kelimpungan. Kuliah daring yang serasa tanpa jeda, hal-hal ini itu yang harus segera dirampungkan, juga urusan-urusan lain yang mendadak berjejal-jejal dalam pikiran rupanya masih membuat progress target Ramadhan saya masih dalam kondisi stagnan, meskipun secara pasti, Ramadhan akan segera mengangkat sauh dan kembali menjauh. Bukannya mereda, sikap kelabakan saya justru makin menjadi-jadi tanpa mengubah apapun kecuali buncahan-buncahan emosi sesaat yang berakhir frustasi. Saya sempat emosi; memikirkan betapa payahnya saya dalam urusan manajemen waktu, pekerjaan, sampai emosi -terlebih di era pandemi seperti saat ini. Saya kerap frustasi; dan justru dari situlah saya semakin menyadari, bahwa mengeluh tidak akan mengubah apapun, kecuali gejolak emosi yang tidak kunjung reda. Saya menyadari; bahwa dengan semakin saya menghanyutkan diri dalam arus emosi atau frustasi, maka sebenarnya saya tidak kemana-mana, justru makin jauh tenggelam tanpa menghasilkan apa-apa.
Hari ini, seperti hari-hari kemarin; saya masih bersikap kalang-kabut. Kuliah yang berkesinambungan, daftar tugas yang semakin bertambah panjang, dan rasa pelik di relung pikiran karena Ramadhan semakin dekat menuju titik akhir, padahal saya belum mendapat apa-apa. Namun saya menemukan tesis -meminjam pendapat filsuf Hegel- bahwa ada yang harus berubah, meski baru sekarang. Ada perubahan yang harus -dan mau tidak mau- saya usahakan kendati semuanya menuntut ‘segera’. Saya mencoba tenang; berpikir jernih; membuang jauh-jauh serangan overthinking yang belakangan ini sering melanda; kemudian menulis satu-satu apa yang menjadi keharusan dalam waktu dekat. Tugas-tugas yang dapat dikerjakan nanti buru-buru saya sisihkan terlebih dahulu. Tugas-tugas yang mendesak, saya tulis di awal prioritas. Dan satu hal yang paling mendesak dan krusial -yaitu target Ramadhan, mau tidak mau -mutlak menjadi puncak prioritas saya sebagai seorang Muslim yang fakir. Dari sini, saya menemukan antitesis untuk menyusun kembali manajemen waktu saya sebaik mungkin, seefektif dan seefisien mungkin agar tidak ada waktu yang sia-sia, dan tidak ada yang keteteran dalam daftar prioritas saya. Bersyukur, pagi ini -seorang kawan mengirimkan saya sebuah pesan gambar dengan narasi yang sesuai;
“Jangan pandang kekurangan di awal, namun lihatlah kesempurnaan di akhirnya.” -Minhaj As-sunnah An-nabawiyyah; 2/430.
Maka hari ini, mungkin saya mendadak kembali drop dan frustasi -tapi bagaimanapun, ada perubahan yang menjadi harus agar tidak ada lagi hal-hal buruk yang direpetisi. Mungkin benar -Ramadhan; bulan suci ini akan segera beranjak pergi, dengan target-target saya yang belum sepenuhnya utuh. Kuliah akan semakin padat dengan penugasan yang ligat. Hal-hal lain akan seolah menggugat untuk segera diselesaikan. Tapi insyaa Allah -selama masih ada kuasa untuk manajemen diri, Allah akan mempermudah selagi kita mau dan mampu. Toh, tidak semuanya harus selesai saat ini -itulah gunanya prioritas. Pun, mengutip kata Marchella FP dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini;
“Sabar, satu-satu dulu.”
ps: for those who read this — hope this would leave even a tiny trace of goodness for you. let’s be better and don't get stuck! x
#wfh; ditulis pasca pembekalan 1 KKN; 21 Ramadhan 1441 H di Medium
-Heb.
15 notes
·
View notes