Tumgik
hhonhon · 5 years
Text
Prequel Tentangdiaku2
Aku memutuskan sambungan ponsel begitu saja. Entah kenapa mendengar perempuan yang sudah empat tahun lebih ini menemani hidupku, membuat pikiranku tak menentu. Bayangkan saja, kupikir dia akan menjawab 'iya', aku pikir dia akan menerima dengan senang hati tanpa berpikir panjang.
Aku mengacak rambutku. Aku mengepal tanganku hingga terlihat memutih. Kubuka laci meja kerjaku lalu kulempar ponselku ke dalam laci itu hingga menimbulkan suara gesekan keras. Kulangkahkan kakiku menuju kulkas dan mengambil air dingin. Kuteguk dengan cepat.
"Kenapa?" Aku bergumam kecil. "Kenapa semua enggak berjalan sesuai harapan?"
Empat tahub lebih aku dan dia menjalani semua hari ini bersama-sama. Bahkan hampir dua tahun ini aku menyiapkan semuanya untuk dia. Tapi apa yang kudapat? Dia menolakku?
Aku mengatur nafasku yang sejak tadi memburu. Kuteguk sekali lagi air dingin hingga habis. Sakit sekali rasanya jika apa yang kita harapkan bertahun-tahun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Aku kembali ke meja kerjaku lalu mengambil tumpukan dokumen yang harus kutanda tangan. Kulirik sebentar laci meja kerjaku lalu pergi begitu saja meninggalkan barang selama ini selalu kugunakan untuk berkomunikasi dengannya. Ponsel itu...akhirnya hanya akan menjadi barang bekas.
"Dam, wajah kamu kenapa?"
"Bukan urusan anda." Aku menjawab pertanyaan perempuan berambut pendek itu.
"Padahal tadi Mama kamu bilang kalau hari ini kamu lagi bahagia banget. Tapi kayaknya enggak, deh. Coba cerita dong...kenapa sih?"
"Pergi dan jangan pernah ke sini lagi. Paham?"
Aku berlalu pergi ke luar ruangan meninggalkan perempuan cerewet dan sok akrab itu. Dasar, ganggu hidup orang saja.
"Damar. Damar. Damdam!"
Aku berhenti seketika. Aku berbalik dan berjalan cepat ke arahnya. Gertakan gigiku mulai terdengar. Ya, aku kesal. Aku menunjuk wajahnya dengan telunjukku. "Jangan pernah panggil saya dengan sebutan itu!"
Ya, panggilan itu...hanya "dia" yang boleh memanggilku dengan sebutan Damdam.
Hanya dia.
2 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Aku Merasa Kecil
Terkadang ketika kita melihat bahwa orang lain bisa lebih baik dari diri kita, segelintir orang mungkin akan merasa kecil. Begitupun aku yang tidak punya basic marketing atau penjualan, tapi bekerja di bagian marketing. Sebelumnya di tulisan pertama, aku sudah menceritakan dua mahasiswa magang dari Universitas Telkom, Bandung.  Kali ini, aku akan bercerita bagaimana seorang Honhon merasa kecil di dalam pekerjaannya sendiri.
Pada 21 Januari kemarin, empat anak magang dari salah satu SMK ternama di Bogor mulai datang. Oke, aku kedatangan teman baru lagi. Dan aku tahu konsekuensi apa yang harus aku tanggung saat SMK tersebut mengirim satu anak pemasaran untuk magang di CodePolitan. Aku tahu bahwa dengan ilmu dangkal yang kumiliki tentng dunia marketing ini mungkin saja aku akan kalah darinya, tapi atasanku bilang, aku haus menjadi pembimbingnya selama dia magang di CodePolitan.
“Aku? Jangan aku dong. Udah A Aplupi aja.” Saat itu aku benar-benar menolak titahnya yang menyuruhku untuk menjadi pembimbing si anak pemasaran. 
“Yang penting bisa nyuruh-nyuruh.Biar kerjaan kamu juga enggak banyak, Hon,” jawab A Palupi sambil bercanda.
Gampang memang jika hal suruh menyuruh, tapi yang kukhawatirkan adalah aku tidak bisa menyaingi ilmunya dalam hal pemasaran. Aku takut si anak pemasaran tersebut akan memandangku sebelah mata sebagai pembimbing, aku takut kalau aku tidak bisa memberi arahan yang jelas padanya, dan masih banyak lagi ketakutan-ketakutan yang terngiang di kepalaku.
Sampai akhirnya aku tidak bisa menolak menjadi seorang pembimbing karena A Palupi senantiasa mendesakku kapanpun dan dimanapun. Oke, aku terima tantangan ini!
Hari pertama aku bertemu dengan si anak pemasaran yang ternata laki-laki itu, aku mulai menyapanya lebih dulu.
“Hai, kamu ... yang anak pemasaran itu kan?” tanyaku.
“Iya, Teh.” Dia menjawab dengan sopan dibarengi cengiran khasnya yang menampilkan deretan gigi rapihnya. 
“Kalau di sekolah diajarin apa aja?” tanyaku lagi.
“Em ... nulis artikel, SEO via Google, bla ... bla ... bla....” 
Oke, untuk seterusnya ku tidak terlalu mendeegar ucapannya karena dari sebutan pertama saja aku sudah merasa kecil di hadapannya.
“Coba kamu bikin artikel tentang belajar pemrograman secara otodidak ya,” titahku, yang sebenarnya adalah titahan dari A Palupi.
“Siap, Teh.”
Aku ingin lihat bagaimana dia menulis artikel dengan gaya pemasarannya. Dan yeah, terbukti. Tulisannya dipuji oleh editor konten artikel di CodePolitan. Tak banyak tulisannya yang harus diubah. Pokoknya semuanya perfect!!  
Di sanalah aku merasa mengempis lebih kecil lagi. Aku memang lulusan jurnalistik, tapi apa daya aku yang lebih senang menulis cerita ini tidak pandai untuk menulis artikel sebagus dan semenarik itu.Padahal dulu CodePolitan menerimaku kerja karena aku adalah mahasiswa jurusan Jurnalistik yang pasti akan terpakai di bidang marketing. Aku jatuh dan menyesal. Bahkan aku sempat berpikir, apa aku keluar aja ya? 
Mungkin untuk sebagian orang menganggap masalah ini sepele, tapi untuk orang yang overthinking  sepertiku, hal ini sangat lumrah kualami.
Berkali-kali aku bilang pada diriku sendiri agar aku keluar dari CodePolitan saja. Berkali-kali aku mengejek diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa selama di CodePolitan. Saat pikiran itu muncul ada satu hal yang akhirnya membuatku sadar. Mungkin di mataku sendiri, aku bukanlah apa-apa dibandingkan si anak pemasaran itu. Mungkin secara mental aku tidak berani untuk mencap diriku menjadi seorang pembimbing untuk si anak pemasaran yang jelas-jelas ilmunya lebih banyak dariku. Tapi, mungkin di mata A Palupi dan Tim CodePolitan yang lain aku bukanlah perempuan payah yang tidak bisa apa-apa. Karena selama ini mereka tidak pernah mengeluh dan dengan sabar mengajariku dari nol hingga berdirinya aku di sini sekarang. 
Dari sisi negatif, aku mulai bergeser ke sisi positif. Dan ya ... itu membuat pikiran negatifku sedikit demi sedikit mulai memudar. Aku mulai bisa mengontrol diriku untuk menyuruh si anak pemasaran seolah aku pun bisa melakukan apa yang dia lakukan. Aku mulai bisa berbagi pekerjaan dengannya. Aku juga bisa berpikir bahwa si anak pemasaran itu harus sukses dan tahu bagaimana sistem kerja dibalik layar CodePolitan. 
Jadi ....
MULAILAH BERPIKIR DARI SISI POSTIF, INSYALLAH ITU AKAN MEMBUAT KITA JAUH LEBIH BAIK.  
1 note · View note
hhonhon · 6 years
Text
Bisikan Setan yang Membuatku Tersesat
Di tahun ini, usia Bapak sudah mendekati usia pensiun. Lebih tepatnya, tahun depan Bapak sudah mulai meninggalkan kantor. Yang artinya juga keluargaku harus mulai membuka usaha demi kelangsungkan hidupan kami kedepannya. Mungkin di tahun depan tidak akan ada lagi tunjangan saat kami sakit, tidak ada laki tunjangan pendidikan, dan tunjangan lainnya yang selama ini selalu mendukung kehidupan kami.
Tahun kemarin, dengan segala bisikan setan yang selalu mengganggu pikiranku, aku selalu bersedih dan stres memikirkan segalanya. Akan seperti apa hidup kami saat Bapak pensiun nantinya? Apa hidup kami akan jatuh di kemudian hari? Apa pendidikan adikku akan terhenti sampai di sini saja? Apa aku harus mencari pekerjaan yang memiliki gaji lebih tinggi lagi? 
Dan masih banyak pikiran-pikiran negatif yang keluar begitu saja bagaikan tenaman rambat. Tidak bisa dihentikan dan selalu mengganggu. Aku selalu menyimpan keresahanku itu seorang diri. Bahkan aku menangis dan bersedih selama beberapa minggu hanya untuk memikirkan hal yang sejatinya belum tentu terjadi. 
Sampai akhirnya aku berani membicarakan hal ini pada Intan, temanku yang alhamdulillah saat itu dia menyempatkan diri untuk mengunjungiku di kosan. Aku menceritakan padanya apa yang selalu membuat pikiranku terganggu. Bukan hanya pikiranku, hidupku pun menjadi sedikit berantakan. 
“Ya Allah, Hon ... dari kapan kamu punya pikiran kayak begitu?” tanya Intan sebelum ia masuk ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
“Udah hampir sebulan ini, mungkin?” jawabku sambil mengangkat bahu.
“Hon, inget ... rezeki itu udah diatur sama Allah dan enggak akan ketuker. Allah udah ngasih semua sesuai porsinya masing-masing. Yang harus kita lakuin itu, kita harus yakin kalau rezeki pasti sudah diatur dan akan selalu ada untuk kita. Ya ... kita hanya perlu berusaha saja mengambil rezeki yang sudah pasti. Kayak gaji kerja kamu sekarang, itu kan udah pasti. Selebihnya, serahin sama Allah. Ikhlas dan berserah diri aja, Hon” jelasnya panjang lebar setelah keluar kamar mandi.
Aku tersentak mendengar perkataannya. Iya, selama ini yang aku lakukan hanya tidak mempercayai bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Selama ini pun aku hanya menangisi yang sifatnya duniawi. Sungguh, bisikan setan yang membuatku tersesat ini sudah membuatku tak berdaya dan jauh dari Allah. Aku berstighfar dan menanamkan dalam hati juga pikiran bahwa Allah sudah menetapkan rizki pada hamba-Nya masing-masing, ikhas, dan berserah diri.
“Iya, Tan. Aku harus lebih dekat lagi sama Allah. Aku harus yakin kalau rezeki sudah diantur sedemikian rupa sama Allah.” Aku tersenyum padanya.
“Nah, gitu dong, Hon. Udah ah, jangan mikirin itu lagi. Enggak baik lho suudzon sama Allah.”
Aku mengangguk bersamaan dengan Intan yang memulai sholat maghribnya. 
Sejak percakapan itu, hatiku menjadi lebih tenang. Hidupku pun tidak lagi pusing dengan hal-hal berisfat materi karena aku menanamkan keyakinan dalam hatiku bahwa rezeki sudah diatur oleh Allah. Jadi, aku tidak perlu khawatir. Sampai akhirnya keyakinanku ini terbukti. Sekarang, tepat saat aku menulis kisah ini sekarang, Allah sedang membuka pintu rizki yang lain padaku dan keluargaku. 
Di 2019 ini, aku mulai dapat honor pertamaku sebagai seorang ilustrator, Mama sudah mulai menjalankan bisnis sambalnya (Sambal Teteh) bersama sahabatnya yang Mama percaya, dan Bilah (Adikku) sedikit demi sedikit kuajarkan bagaimana menjadi seorang Admin dan memegang kepercayaan untuk mengelola bisnis kaosku.
Entah kaos atau karyaku dan bisnis sambal Mama itu akan laku atau tidak di pasaran, yang terpenting adalah kita harus yakin bahwa rezeki sudah diatur oleh sang Maha Kuasa. Aku pun senantiasa mengingatkan diriku dan Mama untuk mengeluarkan sebagian harta yang sudah kami dapat untuk orang lain dengan cara sedekah atau mengeluarkan zakat. 
Awalnya aku sempat takut untuk mengingatkan Mama untuk mengeluarkan sebagian harta yang didapat dari penjualan untuk orang yang membutuhkan, karena takut terkesan menggurui. Tapi, akhirnya aku mencoba dengan WhatsApp :
“Ma, jangan lupa kalau dagangan udah laku, sisihin buat sedekah ya.... Biar dagangannya berkah.”
Alhamdulillah Mama selalu menerima ucapanku dengan baik. 
“Iya lah kan ada zakatnya :)”
Ini imbalan dari percaya kepada Allah bahwa rezeki sudah diatur sedemikian rupa sesuai porsinya masing-masing. Dan pelajaran yang kuambil selama 2018, jangan pernah berhenti mengeluarkan sebagian harta kita untuk orang lain. Karena sesungguhnya hal itulah yang membuat hidup kita merasa lebih nyaman dan tentram karena sudah berbagi dengan sesama.
salam
4 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Office Sweet Office
Adzan dzuhur berkumandang dengan sangat merdu dan jelas, karena letak kantorku tidak jauh dari masjid besar bernama Hasanurrohmah. Sembari mengetik, aku berbisik pelan menjawab adzan. 
Kulihat semua orang di kantorku mulai lalu-lalang menuju toilet untuk berwudhu. Aku tersenyum melihat pemandangan yang selalu kulihat setiap hari ini. 
Aku jadi ingat obrolan saat aku video call dengan ketiga temanku via WhatsApp.
“Lu masih di CodePolitan?” tanya Haekal yang sekarang sudah bekerja di media bernama Kumparan.
“Masih,” jawabku sambil tertawa.
“Betah banget dah lu, Hon,” ujar Ibnu yang sampai sekarang pun dia masih bekerja di Merdeka.com, padahal di video call ini dia curhat bahwa dia sudah bosan bekerja di dunia kejurnalistikan. 
“Lu udah berapa tahun sih kerja di CodePolitan?”
“Em ... satu tahun lebih.”
Haekal dan Ibnu adalah dua teman laki-laki yang dekat denganku di kampus selama empat tahun. Dari sekian banyak teman laki-laki di kelasku dulu, hanya mereka yang bisa kuajak ngobrol dengan sangat baik. Saat aku meminta nasihat, masukan, dan dukungan, mereka selalu ada dan selalu berusaha semaksimal mungkin membantuku. Mungkin tanpa suruhan dan dukungan mereka, aku bukanlah perempuan yang bisa menggambar dan menerbitkan buku sendiri seperti sekarang. Baru setelah lulus kuliah dan bekerja di dunia kerja masing-masing, video call ini adalah video call pertama kami. 
Perkataan Ibnu membuatku tersenyum. Iya, ya ... kenapa aku bisa betah sekali bekerja di CodePolitan, walaupun jujur saja kerap kali godaan ingin pindah kerja selalu muncul di pikiranku. Tapi, entah kenapa saat godaan itu muncul, selalu ada celah dari CodePolitan yang membuatku untuk tetap stay di sini.
Mari kembali ke ceritaku sekarang. Aku melihat CEO CodePolitan yang ramah tapi berwibawa itu berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju toilet. Beberapa menit kemudian dia keluar dengan keadaan wajah, tangan, rambut dan kakinya yang basah. Pasti habis wudhu. Satu kebiasaannya yang sudah berkali-kali aku lihat adalah sebelum ke masjid, dia akan mengetuk kantor ruang utama sambil menyeru....
“Sholat dulu .... sholat.” 
Baru setelah itu diapergike masjid.
Selain CEO-ku itu, ada atasanku dan beberapa rekan kerjaku juga yang selalu mengingatkan kami untuk segera sholat.
“Hayya a’la shola woy....”  atau  “Heh, ayok sholat.”
Aku selalu tersenyum melihat suasana seperti itu di kantorku. Dan mungkin ini menjadi salah satu alasan utama kenapa aku sangat amat betah di sini. Ya, selain kantornya yang nyaman, sistem kerjanya tidak memberatkan, dan teman-teman kerja yang baik, peristiwa-peristiwa seruan untuk sholatlah yang membuatku selalu merasa nyaman berada di CodePolitan. 
“Mungkin ini yang ngebuat CodePolitan sedikit demi sedikit mulai merangkak naik ke permukaan,” ujarku dalam hati. 
Ya, aku bersyukur ditempatkan di kantor seperti ini. Aku bersyukur banyak orang yang mengingatkan untuk sholat. Aku pun bersyukur bahwa Allah sudah mengabulkan doaku untuk bekerja di tempat yang bisa mengubahku menjadi seseorang yang lebih baik.
Oh, satu lagi. Aku selalu mendengar murotal selalu diputar setiap jumat.
Tumblr media
(Teh Mei, teman kerja di kantor yang selalu datang hanya setiap jumat) 😂
***
Aku jadi ingat saat interview pada September 2017 lalu dan itu adalah pertama kalinya aku bertemu dengan CEO CodePolitan 
“Apa alasan kamu mau bekerja di sini?” 
“Ini agak sedikit aneh sih, tapi sebelum saya ngirim CV ke sini, saya selalu berdoa bahwa saya ingin ditempatkan di tempat kerja yang bisa mengubah saya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Dan ya ... semoga di sini tempatnya,” jawabku dengan penuh keyakinan sambil tersenyum.
2 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Aku Melihatnya
Sepertinya baru kemarin aku menuliskan tentang aku memiliki keinginan agar Allah memanggilku menuju rumah-Nya untuk bersujud. Baru kemarin aku menulis bahwa aku telah melupakan cita-cita utamaku demi cita-cita yang sifatnya duniawi. Baru saja kemarin aku menulis bahwa aku seharusnya menempatkan Mekkah sebagai list tempat pertama yang harus aku kunjungi (tentu saja atas izin-Nya).
Usai sholat ashar tadi, sekelebat mimpiku tadi malam kembali hadir dalam ingataku. Air mataku jatuh, tapi segera kuhapus karena keadaanku sedang di rungan sholat di kantorku. Ya, malu saja rasanya aku yang masih memakai mukena tadi jika menangis di kantor. Kamu tahu apa yang aku mimpikan tadi malam?
Ini luar biasa. MasyaAllah....
Aku bermimpi, aku memakai baju serba putih yang tentu saja lengkap dengan hijab putih. Aku tidak tahu aku sedang ada di mana. Aku hanya melihat semuanya berwarna biru gelap. Tiba-tiba ada seseorang, yang bahkan aku tidak tahu apakah dia laki-laki atau perempuan, menarikku dengan perlahan. Aku mengikutinya sampai aku melihat tikungan di depan sana. Perlahan aku mulai melihat cahaya berwarna putih dan biru terang. 
Setelah melewati tikungan, aku melihat sosok lain dengan pakaian serba putih di depanku sambil tersenyum dan mengatakan sesuatu. Aku tidak tahu pasti apa yang dia ucapkan. Karena ini mimpi, aku terlalu takut untuk menerka-nerka apa yang dia ucapkan. Setelah dia selesai mengucapkan sesuatu, seketika lututku lemas, air mataku jatuh dengan derasnya, dan aku pun ikut terjatuh duduk sambil menutup wajahku. Tubuhku bergetar.
Kamu tahu apa yang kulihat di ujung sana?
Aku melihat ka’bah yang sudah dikelilingi cahaya putih dan biru terang, juga orang-orang berpakaian serba putih sedang mengelilingi ka’bah.
Tumblr media
Tapi kata terakhir yang kuingat dari seseorang berpakaian putih itu adalah, “Ini adalah tempat manasik haji.”
Aku ... menangis ... tiada ... henti.
Dan mimpi itu pun berhenti karena aku terbangun.
***
Aku menghapus kedua air mataku dengan mukena yang kugunakan. Mataku memerah. Lagi-lagi aku begitu malu jika aku ketahuan rekan kerjaku kalau aku sedang menangisi mimpiku tadi malam. Setelah tenang, aku membuka mukenaku sambil berkata, “Ya Allah, terima kasih telah membuatku melihat rumah-Mu walau hanya dalam mimpi dan manasik haji saja.”
Dan aku bertanya pada Allah,  “Ya Allah, pantaskah aku menginjakkan kakiku di rumah-Mu?”
Sungguh, Allah sudah membuatku senang hanya dengan melihat ka’bah dan beberapa orang berpakaian serba putih sedang mengelilingi ka’bah walau hanya dalam mimpi. Tadi malam adalah mimpi terindah dari semua mimpi yang kudapatkan. Alhamdulillah.
5 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Haruskah Aku Pacaran?
Oke, karena tangan ini sangat gatal untuk tidak menuliskan sesuatu tentang pacaran, maka di sini aku akan menceritakan tentang rasa yang pasti setiap manusia miliki. Ya, rasa cinta.
Rasa cinta adalah fitrah yang Allah berikan pada semua manusia. Bahkan rasa cinta itu adalah rasa yang bisa membuat semua manusia menyunggingkan senyum, hati berdebar, membuat hari-hari kita menjadi lebih berwarna. Bukankah seperti itu? 
Kalau kamu ingin tahu bagaimana kisah cintaku, maka akan aku tulis di sini. Dulu, aku pernah memiliki buku catatan kecil berwarna kuning. Buku yang tidak pernah aku keluarkan sama sekali dari dalam lemari bajuku saat aku sekolah dulu. Bahkan semua kertasnya tidak pernah kugunakan untuk menulis. Sampai akhirnya aku menyukai seorang laki-laki. Kupikir rasa suka ini menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri dalam setiap hari-hariku. Dari rasa suka itu, akhirnya catatan kuning yang selalu mendekam di dalam lemari itu aku keluarkan. 
Aku menulis semua tentang dia. Aku menulis bagaimana hariku saat bertemu dengannya. Bukan bertemu dalam konteks tatapan langsung melihat wajahya, karena sejujurnya aku pun tidak tahu kenapa aku bisa menyukai laki-laki tinggi itu. Padahal kami belum pernah mengobrol, bahkan melihat wajahnya langsung di depanku saja tidak. Entahlah, aku juga tidak yakin kenapa bisa seperti itu. Ya, lupakan saja. Tapi intinya, dari rasa suka itulah aku menjadi sosok  perempuan yang senang menulis, walaupun semua tulisanku hanya tertuju pada laki-laki tersebut.
Beberapa bulan terlewati, sampai akhirnya dia tahu bahwa aku menyukainya dan semua rasa suka itu hilang begitu saja seiring berjalannya waktu dan kita berdua lulus sekolah. Aku pun berpikir, tidak apa-apa menyukai seseorang, toh nanti setelah lulus sekolah kita akan berpisah dan rasa suka ini akan menghilang sedikit demi sedikit. Well, ya ... itu menjadi kenyataan. Tapi aku tidak pernah menyesal karena sudah menyukainya, karena dari dialah aku mulai bisa menulis. Tidak usah disesali.
Sampai aku pun masuk kuliah, aku tidak pernah memiliki seorang pacar. Padahal dulu aku pikir, menyenangkan sekali rasanya memiliki pacar. Karena aku pasti akan merasakan rasa cinta terus menerus. Tentu saja akan ada orang yang perhatian denganku. Aku pikir, memiliki pacar itu adalah sebuah kewajiban dan hal yang lumlah pada saat itu. 
Sampai suatu hari, aku berkumpul dengan teman-teman Sekolah Dasarku. Salah satu pertanyaan yang wajib ditanyakan adalah, sekarang lu lagi sama siapa nih?
“Hon, sekarang ama siapa nih?” tanya salah satu temanku.
“Sama siapa gimana?” tanyaku heran.
“Ya, pasti udah punya pacar, kan? Masa udah kuliah kagak ada pacar?” tanya temanku dengan logat betawinya.
“Enggak ada.” Aku menggeleng.
“Dari dulu?”
Aku mengangguk.
“Dari zaman sekolah dulu kagak punya pacar?”
Aku kembali mengangguk.
“Buset dah.... Jomblo berapa tahun lu, Hon?”
Percakapan seputar pacar ini diakhiri dengan tawa canda. Menertawakanku yang sudah menjomblo selama hampir 20 tahun. 
Selain itu, ada temanku juga yang dengan iseng bertanya, “Berapa tahun jomblo, Hon?”
Dengan santainya aku menjawab bahwa aku sudah menjomblo selama 22 tahun. Baru setelah aku memasuki usia 23 tahun, aku semakin sadar dan bersyukur karena Allah tidak pernah mengizinkanku untuk menjalin hubungan dengan title ‘pacaran’ dalam hidupku. Cukuplah dengan aku menyukai seseorang, toh rasa cinta adalah fitrah yang sudah Allah berikan kepada hamba-Nya.
Note:
Karena aku ingin menjaga diri dengan berdoa, tutuplah hati ini sampai aku bertemu jodohku nanti. 
5 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Semoga Aku Dipanggil Oleh-Mu
Pagi ini Bandung sedang mendung. Pekerjaanku pun sedang tidak terlalu berat karena hari ini tidak ada peserta yang daftar untuk kelas online menjadi premium member di CodePolitan. Jadi kuputuskan untuk mengambil headset lalu menyambungkannya ke ponsel pribadiku. Hah, sudah lama sekali rasanya aku tidak membuka akun youtube Ustd. Felix Siauw. 
Sepertinya sudah hampir setahun ini aku baru mengikuti ceramahnya di youtube. Kupikir ceramahnya sangat menarik dan bisa membuatku berubah menjadi sosok yang insyaallah lebih baik sedikit demi sedikit.
Kalau tidak salah waktu itu juga aku sedang tidak ada kerjaan di kantor, jadi aku memutuskan untuk mendengarkan semua ceramah Ustd. Hanan Attaki yang terdengar amat sangat lembut ketika berdakwah. Lalu beralih ke akun youtube Ustd. Felix Siauw. Memang gaya dakwah mereka berdua sangat berbeda, tapi aku tetap suka karena mereka selalu mengingatkan aku untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi. Oke, bukan hanya mereka berdua, bahkan semua ulama pun mengajarkan kita untuk berbuat baik. Tapi untuk ceramah online, dua ustadz itu yang aku dengarkan ceramahnya dengan amat sangat baik.
Mari kembali lagi ke ceritaku hari ini. Saat membuka akun Youtube Ustd. Felix Siauw, ada dua video berjudul “Catatan Di Haramayn”. Itu adalah video perjalanan dirinya saat beribadah umrah. Jujur saja, dari video tersebut aku kembali berpikir dan mengutuk diriku dalam hati. Sudah berapa bulan aku berhenti menabung untuk Umrah? Sudah berapa bulan aku melupakan salah satu cita-citaku tersebut demi mencapai duniawi? 
“Jangan-jangan lebih banyak doanya pergi ke Korea. Jangan-jangan lebih banyak doanya untuk pergi ke Eropa. Atau jangan-jangan banyak doa untuk pergi ke tempat yang lain. Maka mungkin itulah alasan kenapa kita belum dipanggil untuk pergi ke sini,” ujar Ustd. Felix dalam video tersebut.
Rentetan pernyataannya membuatku tersenyum getir. Ya, aku selalu berdoa untuk pergi ke luar negeri seperti ke Thailand, Korea, Turki dan keliling Indonesia. Hingga aku melupakan satu tempat suci yang seharusnya ada di list nomor satu tempat yang harus dan bisa kukunjungi atas izin-Nya. Sudah berapa bulan aku melupakan doaku untuk menjajaki dan sujud di rumah Allah? 
Sakit sekali hati ini saat menyadari bahwa aku telah melupakan satu tempat suci yang memang harus aku kunjungi. Toh, aku sudah bekerja selama setahun. Tapi apa yang aku dapatkan? Tabunganku untuk Umrah masih sedikit, padahal sebelumnya aku sudah mengunjungi Thailand, Singapura, dan Malaysia. Memang semuanya tidak boleh kusesali. Tapi tetap saja, ada sedikit rasa kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak menggunakan uang tersebut untuk minimal Umrah terlebih dahulu? KENAPA?!
“Perjalanan itu bukan dimulai dari hari ini, tapi dimulai sejak kita berdoa kepada Allah. Jadi, berdoalah pada Allah, Insyaallah akan Allah kabulkan.” 
Tumblr media
Aku menghentikan video tersebut dan merenung. Aku harus kembali menabung lebih rajin lagi. Dan aku harus berdoa seribu kali lebih giat dari sebelumnya agar aku bisa dipanggil oleh-Nya. Jika saatnya sudah tiba, hal pertama kali yang akan aku lakukan di sana adalah menangis dan bergumam terima kasih pada Sang Pencipta lagit dan bumi beserta isinya. Aku ... pasti ... akan ... menangis.  
2 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Aku Tak Ingin Menikah
Aku membolak balikkan badanku di lantai. Entah kenapa sudah beberapa hari ini Bandung bukan menjadi kota dingin nan sejuk lagi. Saat aku menempelkan telapak tanganku di tembok kosan, ugh ... tembok saja terasa panas. Pantas jika aku sering kegerahan di kosan. Dan kondisi tersebut memaksaku untuk tiduran di lantai selama beberapa hari ini. Selimut menjadi benda yang tak berguna.
Aku membuka instagramku. Sepertinya instagram sudah menjadi canduku selama lebih dari setahun ini. Entahlah, kurasa aku cukup mendapatkan banyak informasi dari sana. Selain informasi terkait berita politik, kemanusiaan, dan berita aktual lainnya, aku pun mendapatkan asupan pengajian online di sana. Seperti cuplikan-cuplikan ceramah Ustd. Hanan Attaki, Ustd. Abdul Somad, Ustd. Evi, dan tokoh-tokoh lainnya.
Selain ceramah, aku pun mendapati beberapa instagram story temanku yang mulai merekam tentang pernikahan temannya, pernikahan dirinya, atau khitbahan dirinya sendiri. Ya, di zaman milenial ini orang-orang bahkan diriku sendiri sering merekam atau update video tentang apa yang sedang mereka rasakan saat itu juga.
Menikah, menikah, menikah. Itu yang terjadi saat ini. Postingan tentang jodoh sudah merajalela di media sosial. Tak dapat dipungkiri kalau anak muda zaman sekarang cepat baper dengan hal-hal terkait jodoh.
Aku log out dari instagram lalu memejamkan mataku. Di usiaku yang sudah 24 tahun ini, semua orang selalu bertanya kapan aku menikah, kapan aku membawa laki-laki pilihanku ke rumah, kapan aku memperkenalkan dia pada orangtuaku, dan kenapa aku menjadi perempuan yang sangat pemilih dalam urusan memilih laki-laki?
Aku selalu berpikir, bukankah aku harus menjadi perempuan pemilih dalam urusan mencari pasangan hidup? Kupikir, menikah itu bukan perkara mudah seperti membalikkan telapak tangan. Aku harus melihat latar belakang pasanganku nantinya. Bukankah dalam hadist juga dikatakan seperti itu?
Aku harus melihat dari sisi agamanya, keturunannya, dan ketampanannya. Ya kan?
Terkadang aku pun bingung, kenapa orang-orang mau menikah di usia yang terbilang muda? Aku yang sudah memasuki 24 tahun ini saja masih takut untuk melangkah lebih jauh. Semacam, aku masih menikmati kesendirian ini.
Ya, walaupun jujur saja, ada sedikit rasa bahwa aku pun ingin menikah, mengurus anak, menjaga suamiku nantinya, menyiapkan makanan untuknya, mengaji bareng, dan masih banyak lagi kegiatan yang akan kulakukan bersama dengannya.
Intinya, bukan aku tak ingin menikah. Hanya saja, aku masih belum siap karena ilmuku pun masih sedikit. Kata orang-orang, selain mental yang harus siap, aku pun harus menyiapkan ilmu tentang pernikahan. Ya, begitulah kira-kira.
Sudah. Sekian dulu perbincangan tentang jodoh dan menikah ini. Mungkin aku akan menikah di usia 24, atau 25, atau mungkin 26? Entahlah. Hanya Allah yang tahu kapan jodoh akan diperlihatkan padaku.
Tumblr media
Note :
Jangan terlalu baper tentang jodoh, karena Allah sudah menciptakan semua makhluk berpasang-pasangan. Tunggu saja.
2 notes · View notes
hhonhon · 6 years
Text
Hai 2019
Aku berlari menuju kosan setelah turun dari ojek online yang kupesan. Dengan tergesa-gesa aku membuka sepatuku, melempar tasku ke sembarang arah, menaruh oleh-oleh di atas kasur, dan bergegas pergi ke kamar kecil. Hah, lega sekali rasanya.
'Kling klung'
Aku membuka ponsel kantorku dan melihat pesan WhatsApp di grup dari CEO tempatku bekerja. Mataku membulat pebih lebar saat membaca pesannya. Kuraih kembali tasku dan dengan terburu-buru memakai sepatu, mengunci pintu kosan lalu berlari secepat kilat menuju kantor. Kenapa aku berlari? Well, karena kantorku hanya 8 menit dari kosan.
Oh, aku lupa memperkenalkan diriku. Aku Honhon, begitu sapaan akrabku. Mungkin aku dan kamu belum akrab, tapi tidak apa-apa. Kamu bisa panggil aku dengan sebutan itu.
Aku bekerja di salah satu perusahaan start up di Bandung bernama CodePolitan. Dan jujur saja, sampai saat ini pun aku tidak tahu aku bekerja sebagai apa di sana.
Aku membuka sepatuku lalu masuk ke kantor yang sudah satu tahun lebih kujajaki. Aku duduk dan membuka laptop. Ya, pekerjaan yang biasa kulakukan setiap harinya. Mengecek data premium member, membalas WhatsApp, mengangkat telepon masuk, dan mengepak DVD. Coba kamu simpulkan, apa jabatan yang cocok untuk pekerjaanku ini?
Kamu bingung? Sama, aku pun begitu. Tapi, aku menikmatinya.
Sejak pertama masuk kantor, aku sudah melihat dua laki-laki terduduk diam di mejanya. Aku tahu bahwa hari ini akan ada dua anak magang dari Universitas Telkom. Mungkin mereka orangnya.
"Kenalin dulu dong. Ini Honhon, dia...." Palupi, bagian tim marketing memperkenalkanku pada mereka.
"Kamu mau disebut apa, Hon? Marketing, manager atau admin?" tanyanya sambil bercanda.
"Admin aja ah," jawabku ikut bercanda.
"Oke. Dia admin manager kita di CodePolitan."
Well, akhirnya aku punya nama jabatan juga. Aku tertawa dan kembali ke rutinitasku seperti biasa setelah berkenalan dengan dua laki-laki tersebut.
Ardi, laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit putih, dan mata kanannya yang tertutup. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan matanya. Mungkin suatu saat, jika aku tahu kenapa matanya seperti itu, aku akan menuliskannya di sini.
Satu lagi bernama Alif. Dia kebalikan dari Ardi. Alif memiliki tubuh sedikit kurus, berkulit rada gelap dan rambutnya pun sedikit keriting.
Selamat datang di CodePolitan, hai anak magang. Selamat datang juga pekerjaan baru di 2019, Hon.
Aku melihat layar laptopku. Semoga aku bisa menceritakan kisahku selama di Dracode dan bisa menginspirasi orang banyak. Itulah kenapa aku kembali menginstal Tumblr. Supaya, siapa tahu aku sudah jenuh bekerja dan tidak ada ide menggambar, aku bisa memanfaatkan Tumblr. sebagai tempat berbagi.
Tumblr media
Isi pesan dari CEO Dracode :
"Buruan ke kantor ... liburan udah beres.... Kantor sepi bgt nih...."
3 notes · View notes