Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Selamat menapaki tangga kehidupan yang baru di tahun yang baru!
Tidak ada yang menjanjikan tahun ini akan lebih mudah, banyak uang, lebih bahagia, atau lebih banyak berkah. Tapi tetaplah menjadi kamu dengan segala yang ada pada dirimu, menghadapi semua episode dengan hati yang lapang dan ikhlas yang besar. Jangan kamu kemana-manakan hatimu yang lembut itu, jangan pernah kamu singkirkan rasa ikhlasmu, jangan sampai nantinya kamu menyesal dan bertanya "nengdi ikhlasmu sing gede iku?"Kamu dan kita semua tau, di kehidupan yang sebentar ini lebih banyak hal yang tidak bisa kita kendalikan. Maka memang di situlah letak kuncinya, hati yang lembut dan lapang serta keikhlasan yang besar.
Sebelum menapaki langkah baru, menepilah sejenak dari riuhnya isi kepalamu, penyesalan atau kejadian kurang masuk akal tapi tetap kamu lakukan yang terjadi di tahun kemarin biar tetap menjadi pelajaran. Cintailah lagi dan lagi dirimu sendiri karena tidak akan ada lagi yang peduli pada kehidupanmu, selain dirimu sendiri. Tidak perlu melakukan banyak hal jika hanya ingin membuat orang lain terkesan kepadamu, tapi lakukanlah atas dasar kemauanmu sendiri dengan kelembutan hatimu itu, maka jika kamu tidak dapat balasan yang sama kamu tidak akan pernah menyesalinya. Berusahalah untuk lebih kuat dan keras lagi tahun ini, mengambil lebih banyak kesempatan baru untuk belajar sejauh yang kamu mampu. Tempat-tempat yang belum pernah kamu kunjungi, atau orang-orang baru yang akan kamu temui. Lakukanlah itu sekali lagi walaupun kadang kamu tetap butuh untuk menepi, dan tetaplah menjadi dirimu sendiri.

0 notes
Text
Fluktiatif, katanya.
Kata orang, rasa itu fluktiatif. Naik-turun, pasang-surut, atau istilah lain yang nyaris mirip maknanya demikian. Kata orang, rasa saat pdkt sama pas sudah menjalani hubungan juga akan sangat berbeda. Tidak ada lagi perasaan berbunga. Tidak ada lagi perasaan ingin mengobrol lama, mencari tahu banyak hal tentang orang yang kamu suka. Tapi nantii setelah kamu miliki, semua rasa berbunga, terbang, melayang, dan bahagia, kadang justru malah banyak sirnanya. Tidak ada lagi rasa ingin sering bertemu seperti sebelumnya. Mungkinkah semua rasa antusias itu tergilas waktu dan kegiatan? atau karena sudah biasa bersama jadi 'meminta pengertian' dengan alasan kesibukan? kenapa ya? aku juga sebenarnya masih mencari tahu alasannya. alasan yang sulit sekali aku temukan. apa cinta itu tidak hanya fluktuatif? apa justru cinta itu bisa mengikis?
dan menjadi dingin. kalau boleh tahu, bagaimana caranya mengembalikan semua kehangatan itu?
1 note
·
View note
Text
Hai, selamat bertambah usia~
Apapun itu, enam tahun bukan waktu yang singkat. Kamu tetap pribadi yang sering menjadi figur untuk aku. Pandangan dan pemikiranmu yang luas. Kamu pekerja keras. Betapa kamu senantiasa menghormati dan menyayangi ibumu. Nasihat darimu sampai saat ini masih menjadi hal yang sering aku lihat dan maknai kembali. Meski begitu meneduhkannya pribadimu namun berbanding terbalik dengan perkataanmu ketika kamu memutuskan untuk pergi. Katamu aku adalah orang yang tidak pernah mau belajar dan bekerja keras. Setengah mati sakitnya aku mendengar kalimat itu. Tapi kenapa kadang terbalik juga ya ketika kamu jatuh dan masih mencariku kembali setelah kamu tinggalkan?!
Selamat bertambah usia, untukmu. Seperti ucapan yang senantiasa aku ucapkan~ enam tahun terakhir. Dan malam ini adalah untuk kali pertama aku bersikeras menepati janjiku untuk senantiasa "mengirimkan doa-doa terbaik untukmu, dengan atau tidak bersamaku". Pecayalah aku berusaha dengan keras sekali melakukannya. Hari ini hari Jumat. Hari ini hari baik, gus. Semoga dengannya menjadikanmu pribadi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. ini kali pertamanya bukan? aku mengucapkannya padamu di penghujung hari.
Berat. Aku tidak mampu mendustainya bukan? terlebih ada beberapa hal yang membuatku masih tetap bingung memaknainya, susah mencernanya, kesulitan memahaminya. Kenapa ya? intuisi itu masih terlalu kuat? aku sudah berusaha menepisnya. Melawan hatiku yang selalu bersikap menjauhimu. Bahkan ketika teman-temanku akan selalu berkata sayang sekali menangisi orang yang sudah menyakitimu sebegitu parahnya. Atau karena standar kriteriaku yang selama ini berkelibat pada sosokumu. Terlepas dari semua itu, aku hanya ingin ikhlas melepasmu, gus. Sebaik yang aku mampu.
Aku mulai menerima bahwa kita bukan lagi kita. Terlepas dari salah dan kekuranganku yang aku sadari dengan penuh banyak sekali. Terlepas dari semua kesalahanmu yang aku hanya ingin mencoba ikhlas. Terlepas dari semua hilangnya harapan, aku sudah menerima dan mengikhlaskan bahwa kenyataan tidak ada lagi kita. Kita terlalu sibuk menyalahkan satu sama lain sampai lupa bahwa kita pernah saling membahagiakan.
Aku mulai mengenang waktu baik, masa baik, dan kenangan baik. Aku akan mengingatmu sebagai orang yang pernah aku banggakan dan pernah saling membahagiakan. Terlepas dari semua hal yang sudah pernah dilalui bersama, aku hanya ingin mengucapkan terimakasih atas segalanya. Terima kasih pernah menjadi rumahku.
1 note
·
View note
Text
Katanya, Keluarga Adalah Tempat Terbaik Untuk Kembali
Keluarga memang tidak pernah menjanjikan memberikan seseorang suatu kehangatan, sebab kesemuanya pastilah memiliki rasa kepahitan masing-masing, memiliki masalah masing-masing. Bagi individu memiliki keluarga yang harmonis, mungkin keluarga adalah tempat pulang yang paling nyaman dan aman ketika ada suatu hal pelik yang menimpa dirinya. Namun akan menjadi kebalikannya tatkala dihadapkan dengan individu yang mempunyai keluarga kurang harmonis, bahkan tak jarang justru lebih memilih pergi dari rumah untuk mencari ketenangan diri. Keluarga bukan selalu menjadi tempat nyaman sebagai pelipur hati, namun pasti ada berjuta alasan yang membuatmu tetap memilih kembali.
Pagi itu awal Ramadhan, dan semua orang menyambutnya dengan penuh suka cita. Berharap dapat meraup banyak pahala dan keberkahan yang di bulan ini bertebaran berlipat ganda. Berjumpa dengan Lailatul Qadr yang semerbak akan kebaikannya melebihi seribu bulan. Bulan yang sangat menentramkan hati dan pikiran umat Islam, tak terkecuali keluarga Pak Joni dengan seorang isteri dan keempat anaknya. Berhias wajah berbinar dan hati yang membuncah menyambutnya dengan penuh rasa syukur masih disampaikan umurnya pada bulan ini.
Berbeda dengan suka cita pada keluarga Pak Joni, Luna anak pertama Pak Joni sama sekali tidak berkesempatan menghabiskan Ramadhannya lagi kali ini bersama keluarganya. Bahkan lebih buruknya lagi adalah karena ini tahun kedua pandemi Covid-19 menghamntam Indonesia dan berbagai belahan dunia. Tahun ini pula, Luna tak bisa lagi merayakan Idul Fitri bersama keluarganya. Untuk kedua kalinya, momen Ramadhan dan lebaran tak bisa ia berkunjung ke rumah. Luna harus melewatinya sendirian di perantauan.
Hubungan antara Luna dengan keluarganya memang tidak begitu hangat. Sebagai anak tertua, ia dipaksa menjadi seorang yang kuat sekaligus sabar tanpa ada rasa peduli keluarganya untuk mendengarkan keluh kesah Luna. Tak hanya itu, Luna diwajibkan untuk menjadi sosok yang membantu keluarga menopang ekonomi. Sungguh berat. Apalagi untuk seorang perempuan yang sebenarnya hatinya sangat rapuh. Sama sekali bukanlah hal mudah untuk ditutupi. Tapi Luna tak punya opsi lain. Ia memang memiliki kekasih, namun tak ayal kedua orang tuanya yang kurang peduli terhadap mental Luna, kekasihnya juga sedemikian rupa. Mau tak mau, kuat tak kuat, Luna harus mampu dan kuat menahan sekaligus menelan seluruh beban sendirian. Hanya ada satu waktu Luna bisa mencurahkan semua keluh kesahnya, dalam tangisannya yang panjang. Di sujudnya saat sepertiga malam.
Gema takbir dan suara petasan dari berbagai penjuru kota sekitar kos Luna gagah menyapa gendang telinga. Semakin perih hati Luna tersayat. Ingatannya kembali memutar pada beberapa memori ketika ia belum beranjak dewasa. Saat usianya 3 tahun, ingat sekali saat ia tertimpa pintu rumah yang reot, karena sakit ia menangis, namun malah dimarahi oleh Bapak karena anak pertama tak boleh mudah menangis. “Jangan menangis, tidak usah menangis kamu anak pertama harus kuat! Tidak peduli apapun yang menimpamu!” sergah Bapak pada Luna. Luna kecil hanya bisa mengecilkan suara tangisnya sekaligus hatinya remuk dan kecewa. Bagaimana bisa seorang yang seharusnya menjadi cinta pertamanya, pahlawan utamanya tidak bersedia membantu membuat hatinya tenang. Apalagi untuk anak kecil seusia itu. Tes. Satu tetes air mata Luna pagi ini jatuh ke pipinya.
Ingatan Luna lalu bermain lagi. Mengajaknya kembali pada kejadian ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Seminggu sebelum Luna maju Lomba Olimpiade MIPA tingkat Kota, ia dilempar kayu bakar oleh Bapak karena bangun kesiangan pukul 5 pagi. Kejadian itu membuat bawah matanya terluka cukup dalam, memar, dan bengkak. Luna kecil menangis lagi, namun Bapak juga tidak mau minta maaf atas perilakunya. Apalagi menghibur Luna. Tes. Kali ini air mata Luna mengalir deras di kedua pipinya. Mengingat kejadian semi kejadian yang mengokohkan hatinya untuk benar pergi meninggalkan rumah dan utamanya, menjauh dari Bapak.
Sekali lagi, ingatannya memutar balik kepada kejadian-demi kejadian yang lalu. Luna dewasa yang semakin tidak pernah dihargai ketika mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Saat mengambil air untuk mencuci piring malah dikotori oleh Bapak, saat mengepel lantai, sandal Bapak malah naik ke atas lantai, saat ada baju kotor hanya dibuang-buang di sekitar kamar mandi, tidak diletakkan di tempat cucian. Menyakitkan. Bagaimana bisa seorang bapak yang seharusnya mengayomi anaknya malah tidak mau menghargai kerja keras anaknya setiap hari? Batinnya. Air mata Luna mengalir semakin deras. Ia bertanya dalam hatinya, bagaimana mengambil kedamaian setelah 23 tahun hidupnya dan seluruh perjuangannya tidak pernah mendapat penghargaan barang sedetikpun dimata Bapak? Mampukah ia melakukannya?
Terlepas dari semua kejadian itu, Luna juga selalu menjadi seorang yang disalahkan setiap kali ada kejadian yang tidak sesuai dengan kemauan Bapak~disamping Ibunya tentu saja. Masih Luna ingat dengan jelas pula, saat ia buka bersama dengan Ibu dan kedua adiknya di rumah Bulek. Ketika pulang ke rumah, Luna dimarahi, dibentak-bentak, disalahkan, di kata-katai. “Kalau mau mengajak ke hal tidak benar, tidak usah ajak adik-adikmu!” itu kalimat yang masih jelas terukir di luka hati dan mentalnya. Luna menangis. Lagi. Semakin sulit baginya menemukan titik kedamaian hati untuk pulang. Setidaknya sekedar untuk menemui Ibu dan ketiga adiknya. Tapi tak sanggup baginya menatap wajah Bapak. Apalagi mencium tangannya. Berat. Karena hatinya yang sebenarnya rapuh kini sudah berubah menjadi hati yang kokoh. Kokoh untuk pergi dari rumah. Mencari ketenangan. Melupakan kesakitan dan luka hati atas sikap dan perilaku Bapak di sepanjang hidup Luna. Semuanya hanya bermuara pada satu kata yang disebut: luka.
Namun beberapa menit kemudian entah darimana asalnya, ada satu kekuatan yang mendorongnya untuk melakukan video-call pagi ini. Untuk sekedar mengucapkan mohon maaf dan selamat hari raya. Setelah sholat ied dan menyeka air matanya yang mengalir di kedua pipinya sejak tadi. Meski menelpon melalui nomor Ibunya~setidaknya Ia sudah berani bertatap muka dengan Ayahnya juga. Meminta maaf terlebih dahulu. Meski di sepanjang hidupnya tak pernah dihargai. Tidak pernah ada salahnya meminta maaf terlebih dahulu. Dan mendoakan. Karena tidak pernah ada yang tahu doa apa dan siapa yang dikabulkan Allah. Luna sadar, kemudian setelah bisa berdamai dengan masa lalunya, Luna mulai mendoakan Bapak supaya bisa berubah. Tidak lagi keras hati, mau menghargai kerja keras orang lain, tidak selalu merendahkan dan menyalahkan orang lain, dan memiliki hati yang lunak. Luna mencoba ikhlas. Sebab jika terus-terusan ia sabar, hanya akan menambah beban hidupnya untuk menahan. Ia sadar seharusnya yang dilakukannya adalah ikhlas. Ikhlaslah kunci segala sesuatu hal berat yang dihadapi akan berubah taraf menjadi ringan. Besar harapan dalam hatinya, semoga suatu saat nanti Bapak bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan hangat.
0 notes
Text
Nama: Himma Qatrunada
NPM: 1810301096
Review Film Freedom Writers 2007
Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata perang antar ras di negara bagian California, Amerika Serikat tahun 1992 karena memperebutkan wilayah dan kehormatan ras. Dampak dari kekacauan ini menyebabkan anak-anak diwilayah tersebut menjadi kacau dan kurang pendidikan yang baik. Hingga suatu hari datanglah seorang guru muda idealis dan berpendidikan tinggi bernama Erin Gruwell yang mengajar Bahasa Inggris bagi anak-anak korban perkelahian antar geng rasial. Pada mulanya anak-anak tersebut tidak menyukai kedatangan Erin, mereka nampak sensitif terhadap orang berkulit putih seperti Erin. Bahkan di dalam kelas, peperangan antar geng rasial ini juga nampak jelas sebab mereka duduk berkelompok sesuai dengan ras masing-masing. Mereka juga sulit sekali untuk dididik dan tidak memiliki etika yang baik. Erin juga menghadapi hambatan yang lainnya yaitu Ayahnya dan suaminya yang tidak setuju dengan pekerjaannya dan pihak sekolah yang tidak mendukung metode pembelajarannya. Erin berusaha melakukan berbagai cara untuk muridnya, bahkan sampai memiliki 3 profesi selain menjadi guru, demi mencari tambahan untuk mengajar anak muridnya diakhir pekan. Hingga suatu hari Erin diceraikan oleh suaminya, karena itulah ayahnya mulai bersimpati pada usaha Erin.
Dari sini, mari kita tengok sebuah film yang menggambarkan seorang guru dengan para muridnya yang mungkin mereka telah dianggap sampah masyarakat oleh skitarnya, Karen para murid tersebut adalah anggota geng yang identic dengan hal-hal yang berbau kekerasan. Mungkin beberapa dari pembaca sudah mengetahui seperti apa film "Freedom Writers". Film perjuangan seorang guru yang mengajar para siswa, yang mereka adalah korban konflik antar ras yang terjadi di lingkungan rumah mereka. Dan konflik tersebut terbawa sampai di dalam kelas. Hal tersebut tentu akan sangat memengaruhi psikologis dari para siswa tersebut.
Dikisahkan, Erin Gruwell, seorang wanita yang berpendidikan tinggi mengajar di Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas khusus anak-anak korban perkelahian antar geng rasial. Tujuan dari Erin pun sangat sederhana, Erlin hanya ingin memberikan pendidikan yang layak kepada para siswanya, karena mereka memang berhak mendapat apa yang seharusnya mereka dapat. Bahkan guru yang berpengalamanpun enggan mengajar mereka. Tapi tidak dengan guru Erin. Di hari pertamanya mengajar, para siswanya menganggap Erin tak akan mampu menghadapi mereka yang merupakan anggota geng. Erin pun bisa melihat, bahkan saat di dalam kelas pun mereka berkumpul hanya dengan anggota rasnya masing-masing. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan, maka dari itu guru Erin berusaha keras untuk bisa mmberikan pendidikan yang pantas mereka dapatkan sehingga dapat mengubah karakter kurang baik yang ada pada mereka.
Dan suatu hari di tengah jam pelajaran berlangsung, ada seorang dari siswa Erin yang menggambar karikatur wajah dari ras yang berbeda dengan dirinya, lalu siswa tersebut menyebarkan gambar tersebut ke seluruh teman di kelasnya, dan hal tersebut membuat gaduh. Sehingga guru Erin mengetahui apa yang membuat kelas tersebut. Guru Erin pun tidak bisa diam melihat hal tersebut. Akhirnya Erin bekerja keras untuk menyelesaikan kesalahpahaman ini, Erin perlu menyadarkan kepada peserta didiknya bahwa perbedaan tidak seharusnya membuat mereka tidak bersatu. Erin pun membuat sebuah game, dimana game tersebut mampu membuat para siswanya berkata jujur. Dan game tersebut berhasil dilakukan oleh Erin. Setelah itu Erin memberikan siswanya masing-masing sebuah buku. Buku tersebut nantinya akan mereka isi dengan segala cerita apapun yang ingin mereka tulis di buku tersebut. Dan siapa yang mengizinkan tulisannya dibaca oleh Erin, maka buku tersebut harus diletakkan di almari yang ada di kelasnya, tidak ada yang bisa membaca buku tersebut kecuali Erin sendiri. Tanpa diduga, para siswa pun menyetujui hal tersebut, dan mereka semua meletakkan buknya di almari.
Di waktu-waktu tertentu pun guru Erin membaca buku para siswanya, dan betapa terkejutnya guru Erin dengan cerita nyata para muridnya. Guru Erin pun akhirnya mengerti mengapa para siswanya berperilaku seperti itu, ternyata kehidupan para siswanya yang dulunya keras sangat memengaruhi psikologisnya. Dan guru Erin pun memikirkan dengan keras bagaimana menyelesaikan masalah muridnya, sehingga mereka nantinya bisa menjadi seseorang yang bermanfaat, dan tidak lagi dianggap sampah masyarakat yang menyusahkan orang lain.
Sebuah cara pun akhirnya berhasil ditemukan, yaitu gur Erin akan memberikan buku-buku berkualitas untuk mereka baca. Dari buku tersebut guru Erin berharap dapat mengubah mindsetnya. Dan guru Erin memberikan buku "The Diary of Anne Frank", buku tersebut menceritakan kisah gadis bernama Anne Frank korban genosida karena kebencian ras. Singkat cerita, dari buku tersebut para siswa sadar betapa tidak ada manfaatnya ketika mereka mempermasalahkan ras dalam kehidupan mereka. Dan mereka harus berfikir optimis, agar mereka bisa menjadi orang yang berguna dalam kehidupannya. Jasa guru Erin pun sangat berarti bagi para siswanya. Kini dalam kehidupan nyata para siswa dari guru Erin telah menjadi orang-orang yang sukses di bidangnya masng-masing. Mereka sangat berterima kasih kepada guru Erin, karena guru Erin dapat mengubah mereka yang tadinya dianggap sebelah mata oleh masyarakat, kini bisa menjadi orang-orang yang berguna.
Dari film tersebut kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, salah satunya adalah menyadari bahwa tugas seorang guru bukan hanya mentrasfer ilmu belaka, namun juga harus mampu membuat siswa mahir menerapkan ilmu yang telah didapat sehingga bermanfaat bagi banyak orang di sekitarnya sebagai bekal siswa di kehidupannya yang akan datang. Tugas seorang guru tidak hanya sekedar mengajarkan pelajaran sesuai kurikulum yang ditentukan. Tapi memberikan seseuatu yang dibutuhkan siswa, agar dengan sesuatu tersebut siswa dapat mengembangkan potensi dala dirinya. Seorang guru tidak bisa memilih siswa mana yang akan diajar. Seorang guru harus bisa menghadapi segala karekter yang dimiliki peserta didiknya. Jika memang karakter tersebut tidak sesuai dengan yang seharusnya peserta didik miliki, maka guru harus bisa membimbing siswa, agar memiliki karakter yang baik.Melalui film ini, kita akan menyadari bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena justru dengan perbedaan akan dapat dilahirkan ide-ide kreatif yang inivatif. Jika semua masih sibuk mengurusi perbedaan maka hanya akan memporak-porandakan masa depan.
Film ini sangat direkomendasikan untuk ditonton karena pesan moralnya yang sangat mendalam. Meski film ini kompleks, namun mudah saja untuk memahami maknanya karena kisah yang diangkat lazim terjadi di belahan dunia manapun. Film ini juga menyadarkan kita untuk selalu menghormati dan menghargai perjuangan seorang guru karena kita sebagai siswa tidak pernah tahu sepenuhnya apa saja hal yang beliau korbankan untuk mendidik dan mengajar kita menjadi pribadi yang lebih baik dan berilmu.
0 notes
Text
Teguran untuk Pulang

Detik demi detik yang terasa semakin mengabu
Mengeluh panjang pada keedaan yang kurang menyenangkan
Bertanya ada cobaan yang tak henti menghadang
Pada kesedihan yang menyapa nyaris setiap malam
Aku anak pertama perempuan,
Tak ada tempat bersandar yang membuatku kembali kukuh dan utuh
Tak ada tempat mengadu selain Tuhan dan aku
Malam ini semuanya kesedihan terbentuk sempurna
Haruskah aku lari? Tidak. Aku harus tetap kuat menapaki
Hatiku memaksa sanggup
Meski sekujur tubuh mulai lebam membiru bisu
Akankah harus kulepaskan mimpi yang kubangun dengan darah dan peluh
Lagi-lagi naluriku menyayangkan
Disisi lain harus ada yang aku tinggalkan
Aku butuh menepi sejenak
Menata kembali benak dan hati
Bahwa sepahit apapun hidup harus tetap dijalani
Meski banyak kesakitan dan luka
Bercecer derita dan air mata
Yang perlu dilakukan adalah memandang dari sisi yang berbeda
Hidup memang tidak selalu menyoal bahagia
Bukan berarti pula hanya dipenuhi kesedihan
Semua sudah Tuhan atur dengan takaran dan masanya
Ingatlah pulang ke rumah, bagaimanapun bentuk dan keadannya
Mungkin deritamu adalah peringatan Tuhan
Sebab tak pernah ingin kau tahu betapa susahnya kehidupan orang tuamu
Yang tak pernah kelu memintakan keberkahan Tuhan untukmu
Pulanglah, jangan meragu
Rumah dan keluarga sejatinya adalah tempat terbaik kembalimu
tak pernah sebelah mata manakala memandangmu
Saya mendapatkan inspirasi dalam menuliskan tulisan ini ketika jadwal mengerjakan ujian tengah semester mata kuliah Linguistik Terapan yang sulit saya pahami. Lalu saya memutuskan untuk mengerjakan ujian penulisan kreatif sastra terlebih dahulu. Saya merenung di teras rumah sebelum sholat ashar memikirkan topik sajak yang akan saya tulis. Saya terinspirasi dari fakta bahwa kehidupan tidak selalu menyajikan kebahagiaan bagi semua orang tanpa terkecuali. Ada sedih dan bahagia yang datang bergantian. Tidak ada hidup yang hanya berisi kebahagiaan saja tanpa kesedihan, dan sebaliknya. Dalam menghadapi episode sulit dalam hidup itu sebaiknya kita mengevaluasi apa yang masih salah dan kurang dari diri kita. Bisa jadi hal tersebut merupakan peringatan dari Tuhan karena kesalahan yang kita lakukan. Sempatkanlah pulang ke rumah orang tua di sela kesibukan. Bisa jadi cobaan yang datang itu peringatan karena kita lupa mengunjungi orang tua yang tidak pernah lelah mendoakan dan mengusahakan apapun untuk kita. Jangan ragu untuk pulang, karena seperti apapun bentuk dan suasana rumah, sejatinya rumah dan keluarga inilah tempat kembali tanpa memandang sebelah mata.
4 notes
·
View notes
Text
Resume Film Dead Poets Society (1989)
Judul : Dead Poets Society
Tahun : 1989
Durasi : 128 menit
Sutradara : Peter Weir
Penulis : Tom Schulman
Produksi : Buena Vista Picture
Negara : United States
Berlatar di Negara Inggris pada tahun 1950 ada seorang pemuda pemalu bernama Tood yang sekolah di akademi Wilton yang merupakan sekolah khusus anak laki-laki. Adegan dimulai dengan saat orientasi, dan Tood bertemu dengan Neil seorang yang ramah dan ambisius dan menjadi teman sekamarnya. Kemudian saat Neil ceramah dipanggil ayahnya dan dinasehati untuk tidak berbuat yang aneh-aneh supaya bisa mendapatkan nilai yang memuaskan dan menjadi dokter sesuai keinginan ayahnya yang sebenarnya malah menjadi beban tersendiri untuk Neil. Setelah ayah Neil pergi, Tood menceritakan bahwa ia berada dalam posisi yang sama dengan Neil karena orang tua Tood ingin Tood menjadi pengacara. Tood tidak memberitahu orang tuanya kalau ia ingin menjadi penulis, bukan pengacara.
Hari pertama sekolah, kelas mendapatkan pelajaran trigonometri, bahasa latin, dan matematika yang semuanya ada tugas dan harus dikumpulkan besok. Namun berbeda dengan kelas puisi yang diajarkan oleh Mr. Keating yang memasuki kelas dengan santai dan bersiul. Kemudian ia membawa seluruh muridnya ke ruangan prestasi sekolah. Mr keating memperkenalkan diri bahwa dia juga alumni akademi Wilton. Ia juga menyampaikan kepada semua muridnya bahwa kelak mereka semua akan menjadi individu yang sangat kuat dan diri sendiri mereka yang bertanggung jawab atas masa depan mereka. Mr Keating memang berbeda dengan guru lain karena dia memperbolehkan muridnya memanggilnya dengan Mr Keating atau Kapten. Kata itu merupakan judul puisi tentang Abraham Nichole.
Beberapa hari kemudian Knox diminta menghadiri pesta makan malah di rumah Danbury, teman orang tuanya. Ketika dia tiba seorang gadis cantik bernama Christine membukakan pintu dan membuat Knox terpana. Ternyata gadis itu sudah bertunangan dengan pesepakbola bernama Chat, tetapi Knox tidak putus asa untuk terus mendekati Christine.
Keesokan harinya, di kelas Mr Keating memulai pembelajaran dengan sistem tradisional. Mr Keating meminta Neil membaca kata pengantar buku tentang bagaimana menilai kualitas puisi menurut Plot Matematika dengan lantang. Mr keating menganggap teori tersebut konyol dan menyuruh semua murid merobek halaman kata pengantar tersebut. Awalnya mereka semua ragu, namun setelah salah satu murid bernama Charlie merobek kertasnya kemudian semua murid mengikuti. Melalui kegiatan tersebut, Mr keating mengajarkan bahwa semua keputusan ada di tangan mereka sendiri. Metode pengajaran Mr keating yang tidak ortodoks didengar oleh guru-guru lain. Saat makan malam, guru bahasa Latin memberitahu Mr Keating bahwa dia mengambil resiko besar bahwa membuat siswanya berpikir mereka adalah seniman. Mr Keating menjawab bahwa hanya ingin menjadikan mereka berpikir tanpa batas.
Suatu hari Neil menemukan buku tahunan yang disana terdapat foto Mr Keating di dalamnya yang disana Mr Keating mencantumkan “Dead Poets Society” sebagai salah satu aktivitasnya di sekolah. Murid-muridnya bertanya dan Mr Keating menjawab bahwa DPS adalah klub rahasia yang didedikasikan untuk menghilangkan makna hidup. Para anggota akan duduk di sebuah goa dan membacakan sebuah puisi. Kegiatan itu bertujuan agar bisa mengambil pelajaran untuk meningkatkan kehidupan dan meningkatkan apresiasi mereka terhadap sastra. Mendengar itu, Neil dan teman-temannya memutuskan untuk ikut DPS lagi. Neil meyakinkan teman-temannya untuk bergabug di DPS dan bertemu nanti malah di tepi sungai. Untuk memulai pertemuan pertama mereka. Mereka beranggotakan 7 orang yakni Neil, Tood, Knox, Charlie, Cameron, Steven, dan Gerrard. Seiring berjalannya waktu banyak hal yang terungkap soal kehidupan para anggota Dead Poets Society mulai dari masalah keluarga, percintaan, ketujuh remaja ini berusaha menghadapinya bersama-sama. Hingga suatu hari keberadaan Dead Poets Society terancam dengan kemunculan sebuah artikel di majalah Welton Academy.
Menonton Dead Poets Society mengajak kita untuk melihat betapa kakunya sistem pembelajaran yang diterapkan di sekolah dan bagaimana cara Keating melepaskan kungkungan yang membelenggu perasaan-padangan para murid. Hal tersebut terlihat dalam adegan di mana Keating mengajak seluruh murid untuk berdiri di atas meja untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda karena alam semesta jauh lebih luas dari yang mereka lihat atau pikirkan selama ini. Juga bisa dilihat dari adegan ketika Keating menyuruh para murid untuk merobek bagian awal halaman pada buku Teori Memahami Puisi.
Film ini melakukan kritik keras atas pemikiran-pemikiran ortodoks pada masanya bahkan mungkin hingga masa kini atau depan. Kebebasan berpikir adalah jargon yang selalu diucapkan oleh John Keating. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Rebutlah harimu. Carpe diem. Semua perkataan yang meluncur dari mulut Keating seolah-olah merasuk ke dalam diri Neil dan kawan-kawannya. Kekuatan kata-kata Henry David Thoreau, Walt Whitman, Shelley, Byron, dan Frost yang disajakkan Keating di depan murid-muridnya, memberikan pengalaman baru bagi mereka. Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah transformasi. Para murid yang semula hidup dalam tertib dan takut, dengan puisi mereka jadi tahu hal-hal yang lebih dahsyat dan asyik. Mereka terbawa masuk ke dalam mantra kata-kata. Mereka tak takut lagi menjelajah, menemukan impian, cita-cita, dan keunikan pribadi masing-masing.
Konflik yang menjadi titik terpenting dalam film ini terdapat pada Neil, seorang murid yang paling pandai dan tahu bahwa berakting adalah kegemarannya. Tetapi, ia memiliki seorang Ayah realis yang tak memedulikan kegemaran Neil berakting. Berkali Neil memohon belas kasih dari seorang Ayahnya, namun hasil yang ia dapatkan masih tetap saja; keinginan Ayahnya untuk menampik seluruh apa yang ia gemari dan fokus untuk melanjutkan pendidikan demi mendapatkan gelar dokter. Ini pula yang akan menjadi tragedi bagi kawan-kawan Neil, terutama pada apa yang akan dialami John Keating.
Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa betapa hebat dan rincinya setiap dari orangtua untuk mengatur masa depan seorang anak, namun tak jarang menanyakan apa kemauan dari seorang anak tersebut. Film ini hadir untuk menyadarkan kita betapa pentingnya arti dari kebebasan kehendak, kebebaskan untuk melahirkan individu-individu yang kreatif dan inovatif, yang tidak tergerus oleh perubahan zaman dan mati begitu saja. Melalui Keating yang mengatakan kepada muridnya mengajarkan kita bahwa, “Kita tidak membaca dan menulis puisi sebab hal itu manis. Kita membaca dan menulis puisi sebab kita merupakan bagian dari umat manusia. Dan umat manusia dipenuhi dengan gairah. Pengobatan, hukum, bisnis, teknik: itu semua adalah pekerjaan yang mulia dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. Tetapi puisi, kecantikan, asmara, cinta berguna bagi untuk untuk tetap hidup.”
Kekurangan film ini adalah durasinya yang panjang dan bahasanya yang tinggi sehingga penonton bisa mudah bosan dalam menonton karena perlu konsentrasi yang tinggi untuk menangkap pesan moral dalam film ini.
1 note
·
View note
Text
Memaknai Hidup
Hidup memang penuh liku
Tidak menjanjikan selalu mengundang senyummu
Malah seringkali menghadirkan pilu
Tapi bukan berarti harus kau sematkan wajah sendu
Hanya perlu kau maknai dengan lapang hatimu
Ketahuilah banyak nikmat yang tak bisa dihitung dengan jemarimu
Sayang bila yang kau lihat hanya kalut sedihmu
Hanya menambah perih 'bak ditusuk bilah sembilu
Bersyukurlah selagi nikmat Tuhan tidak 'kan pernah hilang darimu
0 notes
Text
Resensi Puisi-Penulisan Kreatif Sastra
Resensi Puisi Hampa dan Doa dalam Antologi Puisi Chairil Anwar
Judul : Aku Ini Binatang Jalang
Penulis : Chairil Anwar
Cetakan : Juli 2011
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
ISBN : 978-979-22-277-2
Tidak seperti puisi karya penulis lain di zamannya yang banyak berisi kritikan hingga kecaman yang ditujukan kepada penguasa, antologi puisi Chairil Anwar berisikan puisi yang kebanyakan berisi kisah pengalaman hidup dari Chairil Anwar sendiri. Chairil Annwar lebih suka menuliskan puisinya untuk menyampaikan perasaan, pengalam pribadinya hingga nasihat-nasihat kehidupan. Banyak hal Mulai dari percintaan, perenungannya tentang kehidupan, kasih saying seorang ibu, pemberontakan, individualisme, hingga kematian. Namun tidak sedikit karya Chairil Anwar yang berisi pesan akan kematian.
Salah satu puisi Chairil Anwar yang membahas mengenai nilai kehidupan adalah puisi yang berjudul hampa. Puisi ini berisikan mengenai kesepian yang dirasakan oleh penulis. Biasanya Chairil Anwar menunjukkan jiwa gagah berani dan tegas dalam setiap karyanya, namun dalam puisi ini Chairil Anwar menunjukkan kerendahan hatinya yang merasa sepi dan hampa dengan bahasa khasnya yang indah. Emosi kesedihan karena kehampaan hati tergambar dengan jelas dalam setiap bait, baris, hingga setiap diksi yang digunakannya.
Kesedihan lain dalam puisi Chairil Anwar juga tergambar jelas dalam puisinya yang berjudul Doa. Dalam puisi ini Chairil Anwar menceritakan keadaan seseorang yang tengah dilanda lemah iman, merasa tersesat, dan ingin kembali kepada Tuhan. Puisi ini mengandung unsur religi yang sangat kental dalam setiap pilihan diksi yang digunakannya. Dalam puisi tersebut, seolah Chairil Anwar sedang menggambarkan suatu renungan diri bahwa segala sesuatu mengenai kehidupan manusia tidak pernah bisa terlepaskan dari kekuasaan Tuhan.
Puisi-puisi dalam antologi ini sangat relevan nilai amanatnya, bahkan hingga saat ini dan berguna bagi kehidupan. Hanya saja karena merupakan puisi lama jadi ada beberapa gaya bahasa yang terkesan sedikit kuno. Meski demikian tetap tidak merusak makna amanat dan keindahan kebahasaan di dalamnya.
3 notes
·
View notes