Tumgik
hindunrisni · 3 years
Text
Waktu SMP, sempet diajak kajian pemikiran islam sama kakak. Bahasan ghazwul fikr (perang pemikiran) sempet jd kajian super beken di kalangan tmn2 kk waktu itu. Aku kebanyakan naikin alis, bingung karena merasa org2 ini maksa banget mencocokan segala term atau logo yg dianggap berbau2 barat, dianggap sebagai proses masuknya nilai barat ke Indonesia. Jadi risih dan ilfil sama orang2 itu. Lagipula kalau emg nilai barat masuk, emang kenapa? Waktu itu mikirnya begitu.
Tapi karena aku bukan org yg terbuka, aku ga bilang sm kk ttg kebingungan2 itu. Aku cenderung cuek juga, biarin aja deh ga usah diikutin.
Sampai akhirnya berkesempatan untuk tinggal di Amerika setahun, beberapa kali ke negeri lain juga, portugal, spanyol, thailand, malaysia. Ya belum banyak sih, dan ke sana rata2 utk keperluan akademik juga, tapi seenggaknya aku bisa sekilas melihat perbedaan value dari orang2 di sana. Dari semenjak SMA sampai tingkat 2 kuliah, ada satu jargon yg aku pegang teguh: "There is no right or wrong, its just different". Jargon yg diajarkan lembaga pemberi beasiswa ke amerika. Bahwa, kita harus open-minded. Such a beautiful idea to me, that time. Tapi semenjak tingkat 3, mindset aku mulai berubah lagi. Thanks to teman2 yang secara ga langsung mulai balikin value aku lagi 😂 open minded ga selalu buruk, tapi harus ada koridornya.
Setelah resign kerja, aku ga sengaja terjun lagi ke kajian pemikiran islam, diajak teman. Disitu tersadar bahwa ini kajian mirip dg yang waktu SMP aku ikutin. Bedanya, aku udah mulai bisa berpikir lebih logis dan terpola. Berbekal dengan pengalaman ke LN, pengalaman jadi debater waktu SMA, dan pengalaman belajar agama, aku mulai bisa mengkaitkan apa maksud dari ustad2 ini. Aku mulai setuju, kajian terminologi dan kata2, dan pengetahuan asosiasi seseorang atau lembaga, penting dalam analisis adanya penetrasi2 nilai.
Jargon yg aku ceritakan di atas selalu aku pegang selama di amerika. Dari awal, aku ga pernah ngerasa terganggu dg org2 kissing di hall sekolah. Ga merasa terganggu utk masuk gereja, ikut sunday school, nyanyi Haleluya di kelas choir, dsb. Ya udah, mereka ga salah, mereka cuma punya budaya yg beda, begitu pikirku. Hostmomku yang cenderung pluralis pun membuat aku nyaman karena beliau percaya semua agama bercabang dari Tuhan yang sama. Aku merasa agamaku diterima. Selama di sana, sempat menang presentasi budaya, hadiahnya ke Baltimore utk ikut conference interfaith; kami dikenalkan dg para pemuka agama, masuk ke gereja ortodox, masjid, dan synagogue yahudi. I felt fine and proud. Aku merasa bahwa kedamaian dunia akan tercapai kalau semua orang bisa menerima setiap agama yang ada. Aku baru confirmed setahun ke belakang, ternyata organizernya emang pemegang paham pluralisme. Haha maaf waktu SMA aku ga pernah tau apa itu pluralisme. Alhasil, aku menjadi warga open minded yang tidak pernah menilai salah suatu value. Relativism. Semua benar salah itu relatif.
Betul kata ustad siapa ya lupa namanya, kalau mau memberi anak pengalaman ke luar negeri baiknya jangan pas SMA, msh byk yang mereka gatau. Waktu ustad blg begitu, aku cuma ngerasa "Ya Allah beruntung bgt punya org tua yg sering ngingetin shalat." Mungkin shalat dan doa org tua lah yang menjaga aku.
Cerita ini hanya satu bagian contoh bagaimana kata2 lewat jargon dan asosiasi lembaga memengaruhi suatu penetrasi nilai. Belum lagi lewat film, tulisan, produk, beasiswa (kaya yg saya dpt?eh) dsb. Penetrasi nilai ke suatu budaya ga akan instan gitu aja, pasti melalui proses. Mungkin org2 akan bertanya, sama persis dg pikiranku waktu SMP: ya udah kalau memang nilai2 barat masuk dan ternyata lebih baik, kenapa ngga? Bagaimana kalau ternyata relativism adalah jawaban dari segala konflik yang ada di dunia? Bgm klo ternyata pluralism adalah solusi perpecahan antar agama?
Pluralism membenarkan semua agama. Kita sebagai org islam seharusnya meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah, kita tidak meyakini Yesus sbg Tuhan. Org kristen meyakini Yesus sbg Tuhan. Kita bisa saling menghormati tanpa harus membenarkan semua keyakinan. Kalau kita membenarkan semua keyakinan, batas2 yang diberikan AlQuran dan sunnah pasti akan dilewati. Pembahasan ini akan panjang sih dan bukan kapasitas aku untuk jawab karena masih belajar juga. Tapi aku percaya, kebenaran itu cuma satu. Salah dan benar itu ada pedomannya, AlQuran dan sunnah. Kalau waktu itu di kajian, ada tiga metaethics:
1. Objectivism: fakta moral yg objektif berasal dr fakta2 sains
2. Relativism: tdk ada bukti atau fakta2 moral yg objektif
3. Divine command theory: benar dan salah adalah apa yg diperintahkan dan dilarang oleh Tuhan
Sebagai makhluk beragama, tentunya kita berpegang pd nomor 3. Seculerism, mereka memisahkan aspek kehidupan dengan nilai2 agama. Value2 dr barat kental dengan objectivism dan relativism. Memang betul sains adalah salah satu pedoman objektif yg bisa kita lihat dalam menentukan sesuatu. Aku melakukan penelitian2 sains, aku memegang paham sains, tp bukan berarti sains harus dipisahkan dg agama atau sains ada di atas agama. Sbg peneliti, walau masih sangat awal, aku melihat banyak bias2 dlm riset yg sangat bisa memengaruhi penelitian. Hasilnya tidak absolut. Sains bukan pedoman terkuat. Agama dalam hal ini adalah pedoman terkuat. Banyak yang pasti di agama, yg "ga pasti" diberikan "pilihan2" dalam fiqh. Kalau pun kita sbg awam menemukan yang ga logis, kita sudah memilih untuk mengimani. Kalau mengimani, ga melulu semuanya harus pakai logika manusia. Taat adalah konsekuensi beriman.
Aku pun ga paham, bagaimana caranya suatu negara membuat hukum atau sistem yang tidak memisahkan hukum dan agama tp tetap bisa diterima masyarakat yang sangat heterogen. Sistem sekolah kita saja sebetulnya sudah sekuler toh. Mungkin tidak akan pernah bisa. Tapi toh di masa khilafah, masyarakat mau tunduk dengan satu aturan islam dan tetap bisa berdamai. (I let the expertise to solve this, aku mau fokus di dunia farmasi aja 😆)
Selama sila pancasila ke1 adalah Ketuhanan yang Maha Esa, itu akan menjadi pedoman kita. Bahwa, kita adalah masyarakat bermoral yang beragama. Nilai agama (agama apa pun) sudah mulai hilang di value2 barat. Sistem yang mereka pakai ga bisa kita adopsi begitu saja karena value kita berbeda. Jangan sampai ada penetrasi2 nilai yang tdk sesuai, yg kita ga sadari sedang berlangsung.
Frankly, ga semua ide2 di kajian pemikiran islam bisa aku cerna semudah itu atau klo bisa dicerna, trs bs aku terima semuanya. Apalagi bbrp dari mereka kadang attitude debatnya gabisa aku terima, katanya lagi perang, jd ya harus perang. Well, sbg makhluk plagmatis, aku diem aja deh wkwkwk. Tapi fundamental idea terkait bgmn benar dan salah adalah sesuatu yg pasti, dan bgm penetrasi nilai adalah suatu proses yang sering tidak kasat mata, yes I do buy that. Semoga kita selalu dilindungi Allah.
3 notes · View notes
hindunrisni · 3 years
Text
Kupikir kalau positif tinggal isolasi aja! Tidak semudah itu ferguso.
Aku teringat saat akan praktik klinis di RS, RS mensyaratkan PCR negatif covid. Aku bilang sama temanku, "aku takut positif bukan takut covidnya tp takut jd harus nunda praktik hehe. Klo positif ya tinggal isolasi, tp nunda praktik? Gamau ih". dasar aku. Siapa bilang isolasi itu 'tinggal'.
Di tulisan sebelumnya aku bilang bahwa aku paling takut kalau orang tua kena covid. Aku pasti akan overthink dan insecure dg apa yg harus aku lakukan karena obat2 covid masih on trials, sedangkan abah ada komorbid. Risiko ADR polifarmasi bisa meningkat. Qadarullah, org tua kena, 2 minggu yg lalu. Hari ini tepat 14 hari alhamdulillah kami sudah negatif.
Tepat setelah aku tweet ttg kekhawatiran aku bahwa aku gamau ortu kena, maybe 2 minutes later, i got a call from umi. Kata umi, abah sakit. Besoknya, H-2 idul adha, aku memutuskan pulang ke rumah org tua. Di hari idul adha, aku meminta untuk tes antigen karena kakak perempuanku dan keluarganya ingin menjenguk. Aku ga mau ambil risiko, tes dulu saja. Dan ya..Qadarullah abah dan umi positif. Aku dan kk laki2 negatif. Baik, the drama started at that moment. Umi nangis. Rupanya Umi ga menyangka akan kena juga. Kami berusaha menenangkan tapi ya memang agak sulit, di situ aku baru menyadari.. bahwa isolasi mandiri, walau gejala ringan, untuk beberapa orang sepertinya tak semudah itu.
Sebelumnya kk perempuan dan keponakannya juga terinfeksi. Saat isolasi kk perempuanku sedih, katanya psikisnya terganggu. Gejala yang walau termasuk ringan, pun menganggu, rasa bosan pun, mengganggu. Anak2nya yg masih kecil2, bosan dan kemudian rewel, bikin tambah sakit kepala.
Back to my parents. Di satu sisi, aku bersyukur abah dan umi tidak termakan opini2 bahwa covid hanya flu biasa jadi mereka termasuk yg cukup taat prokes, khususnya abah. Satu sisi yang lain, aku sangat khawatir karena mereka jadi ketakutan. Ketika dinyatakan positif rasa galaunya luar biasa. Umi yang tadinya tidak bergejala jd bergejala (terlepas memang covid butuh waktu utk menimbulkan gejala). Abah jadi makin makin tidak bs tidur. Ditambah dengan urusan pekerjaan beliau, ah sudahlah, pokoknya aku tidak menyangka bahwa merawat orang tua yang covid akan sesulit itu. It was exhausting for me to convince them that everything is going to be okay.
Di momen isolasi, aku jadi paham kenapa ada beberapa orang yang akhirnya menimbun. Entah susu, kelapa, obat2an, oksigen. Karena mereka panik. Aku berusaha tenang di hari-hari pertama isolasi, tp orang tua yg panik justru bikin aku jadi panik. Menurutku abah hanya butuh pengobatan simtomatik karena saturasinya bagus, tidak sesak, demam hanya beberapa jam, hanya memang batuknya sangat mengganggu. Basically mild symptom. But idk, org tua ku tetap saja ketakutan. Umi memintaku utk mencari dokter yg bisa dipanggil ke rumah. Aku cari2 informasi homecare hanya ada telemedicine atau dokter umum/perawat yg ke rumah. Abah maunya spesialis paru. Aku cari2 seharian, tidak ada. Akhirnya aku daftarkan ke paket isolasi mandiri di RS swasta, setidaknya supaya ada pemantauan. Yang awalnya aku merasa tenang...dengan org tua yang panik dan meminta penanganan bahkan sempat ingin ke rumah sakit saja, aku jadi galau :( aku takut salah buat keputusan...dengan kepanikan dan kegalauan aku jadi gabisa mikir. sempet beberapa kali tanya temen harus apa...pas mereka bilang harus begini begitu aku tertawa..like ive known that already why my brain stuck. Memang kuncinya adalah tenang.
Anyway, ketika tau paket isolasi itu dokter spesialisnya hanya telemedicine, abah menolak. abah keukeuh ingin dokter spesialis yg datang. Aku berusaha menaruh kaki di sepatu abah. Aku bukan dokter, tidak punya kompetensi diagnosis, mungkin apa yg abah rasakan berbeda dg apa yg aku lihat. Akhirnya aku sarankan rontgen di laboratorium swasta, setidaknya agar abah sedikit tenang. Alhamdulillah hasil rontgen normal. Tetapi abah belum puas :") setelah mencari2 kenalan, alhamdulillah ada sppd yang bisa diminta datang ke rumah..
Beliau tanya abah sudah minum obat apa saja. Perawat yg datang bersama beliau kaget karena aku ga kasi abah antibiotik dan antivirusnya (sebelumnya sudah dpt kiriman paket obat covid dr rs). Aku melakukan pembelaan. Aku sampaikan apa yang aku baca terkait update tata laksana covid. Sebetulnya aku takut, aku takut salah buat keputusan, this is my parent. Aku ga mau org tuaku dapat treatment yang hanya bring more harm than good. Alhamdulillah dokter sppd paham, beliau sampaikan tidak apa2 kalau tidak minum antibiotiknya.
Hari-hari isolasi berjalan kembali. Aku kira setelah sppd datang abah bisa tenang. Ternyata hanya bertahan 1 malam. Batuk2 beliau muncul lagi dan kembali ga bisa tidur. Umi and abah got sleep deprivation. And it affected everything else. I cant tell the detail tp intinya aku saat itu cuma bisa nangis di kamar tanpa mereka tahu. Aku capek, padahal baru 3 hari merawat haha. Cape karena semua pekerjaan rumah plus merawat org tua aku kerjakan hampir semuanya sendiri. Ditambah aku overthink, jangan2 karena ga dikasi antibiotik jd abah begini, jgn2 karena aku ga kasi izin ke RS jd begini, dan overthinking lainnya haha. Yah sempet nangis beberapa kali, takut tiba2 org tua memburuk, takut ini takut itu, dahlah. Saat itu aku berpikir aku lebih baik kena covid aja jadi abah sm umi bisa bebas keluar kamar. Mungkin hal itu akan sedikit membantu improve psikis mereka. And maybe God listened, I tested positive 4 days after my parent. Abah bingung sama aku karena aku positif tp kok tenang. Aku bilang saja "selama ga sesak insyaAllah aman Bah". I hope dg positifnya aku dan aku tetap tenang, dan abah bs keluar kamar kapan pun, bs sedikit improve mental health beliau. Dan entah perasaanku saja atau bagaimana, kondisi jd lebih baik. Umi sudah tidak ada gejala. Batuk abah berkurang.
Giliran aku yang panik sendiri haha. Aku merasa agak sesak, tp aku denial, kayanya cuma perasaan aja. Aku cek saturasi, jatuh di 92, borderline. Aku tarik napas panjang dan berusaha tenang...tiba2 saturasi jd 98. Aku lega haha. Aku rutin cek saturasi..sempat di 91-94 beberapa kali. Aku beberapa kali melakukan posisi proning walau sebentar, cukup membantu. sengaja ga bilang abah dan umi supaya mereka tetap tenang. Alhamdulillah saturasi abah dan umi selalu bagus, 96-99. Kok malah saya yg jelek 😂. alhamdulillah hari2 berikutnya semua gejala hilang, saturasi jg sudah stabil di 98. Umi juga. Tinggal abah pasiennya, batuk2 yg sangat mengganggu :")
Yah..dari apa yg abah keluhkan dan dari isolasi mandiri ini aku belajar banyak. Terutama tentang privilidge dan rasa syukur. Rumah org tua alhamdulillah cukup nyaman untuk isolasi, saudara dan teman2 ortu kirim makanan setiap hari. Sampai mau gamau banyak makanan yg kami kasi ke pemulung karena ga habis. [Sempat bingung ini bungkus makanan bw virus ga ya tp setelah bertanya2, mempertimbangkan, dan baca postingan dr. Adam, akhirnya memutuskan tetap kasi tp yang ngatur kk yang negatif]. Dokter sppd bisa ke rumah dan boleh konsultasi bebas via whatsapp gratis. Saudara ga berhenti2 bantu abah klo emg pgn dirawat. Obat? Waduh jangan ditanya. Hampir tiap hari dari segala macam herbal sampai obat sintesis banyak kiriman. dari yang sudah terbukti ilmiah sampai yg sudah ditarik bpom 😂 dari yg harga ribuan rupiah sampai jutaan, alhamdulillah 'alla kulli hal. Ujian master farmasi klinis jadi nambah: seleksi obat2 yg bisa diminum abah. Haha
umi, walaupun di awal panik, tp umi akhirnya sadar panik dan sedih hanya membuat proses isoman berjalan buruk, apalagi umi hrs rawat abah, umi bilang sendiri..umi harus senang supaya bisa sembuh dan rawat abah. Alhamdulillah gejala umi membaik. Pikiran positif ini bener2 bantu banget.
Selama isolasi umi selalu bilang: kurang apa kita ini. isolasi dengan kondisi begini masih aja mengeluh...
Yah. Isolasi mandiri mungkin terdengar sederhana dan mudah untuk dilewati. Tp setelah merasakan sendiri, ya tidak semudah itu. Aku mungkin bisa tenang kalau mengalami sendiri, tapi ini dengan org tua yang kondisinya berbeda, yang bisa jadi sudah terlalu banyak terekspose dengan berita2 negatif, isoman jd tidak semudah itu. Menenangkan orang tua bagi aku yg ga jago komunikasi dg mereka, waduh, bikin stres sendiri. Perasaan bersalah terus2an ada, bahkan sampai sekarang karena abah masih batuk dan mengeluh terus. Orang tua diuji kesabarannya akan penyakit. Anak diuji kesabarannya atas kepanikan orang tua haha. So, ya covid ini ujiannya beda2 tiap orang. I can imagine people who get severe symptom...terus keluarganya juga positif jd gabisa ke RS nemenin, atau RS penuh, atau rumahnya cuma 1 kamar mandi bahkan cuma petakan sedangkan anggota banyak, atau gada support system selama suplai makanan di isoman. Dan salut bgt sm temen2 dan org2 yg melalui ujian covid ketika sedang hamil, hrs pisah dg anaknya, hamil masuk icu, sampai dengar bbrp yg meninggal dan hrs meninggalkan anak dan suaminya. Org2 yg berjuang di icu, mengandalkan nyawanya pada ventilator, ah byk cerita2 yg kalau dibandingkan dg kondisi aku, kondisi aku dan keluarga jauuuhhh gada apa2nya. Mana pemerintah gabisa diandalkan. Dahlah. Lindungi kami ya Allah.
Berita2 negatif ttg covid memang di satu sisi bisa membuat kita waspada, tp kalau berlebihan ya mungkin jadi panik kaya abah dan umi. Alhamdulillah kepanikan kemarin ga sampai membuat aku menimbun barang2 yang ga perlu. Kecuali obat/makanan yang dikasi sama orang2 ya sulit kita kontrol. Kita justru berterima kasih atas perhatian dan doa2 mereka :) tapi jadi lebih belajar sekarang kalau mau kirim2 yang covid emang baiknya diliat2 butuhnya apa supaya ga mubadzir.
Mau nulis apa lagi ya. Ada satu hal lain yang cukup buat stres juga kemarin tapi karena terlalu personal jadi gabisa diceritain. Pokoknya isoman kemarin betul2 deh, bikin mikir.
Btw, kasian suami aku. Ditinggal 14 hari. Well, punya suami yg suportif, mengizinkan istrinya rawat org tua yang sakit..itu juga termasuk privilidge, apalagi doi ditinggal tp rumah tetep keurus haha. Semoga Allah balas kebaikanmu habibi zauji 🥰
Oiya satu lagi. Aku mungkin memang covidiot karena membiarkan diri pasrah terinfeksi org tua. Aku lupa, bahwa covid ini walau di sebagian besar orang gejalanya ringan, jangan lupa ada long covid. Aku belum banyak baca tentang itu. Tapi pada intinya, long covid, walau katakanlah ringan..it still affect quality of life. Abah, yang 'cuma' batuk, jadi gabisa tidur. Gabisa tidur itu efeknya kemana2. Jadi gampang lelah dan ga nafsu makan. Psikis terganggu, imunitas turun, recovery bisa jadi lambat. Sekarang abah masih batuk. Cuma bisa berdoa semoga kami ga kena long covid. Lindungi kami dan selesaikan pandemi ini ya Allah 🥺🤲
2 notes · View notes
hindunrisni · 3 years
Text
I might be a covidiot because im always in doubt.
I need to write before my brain collapsed to this unstructurized overthinking.
Ragu buat nulis ini tp tulisan aku ga mungkin viral juga so i'll write what inside this brain anyway.
Covid sudah hampir 2 tahun.
Generally di awal, terbagi dua kubu. Percaya covid dan tidak percaya covid. Yang tidak percaya covid dianggap mabuk konspirasi. Then it developed, i guess? Tidak percaya covid mungkin terlalu ekstrem sehingga berubah menjadi kelompok orang2 yang percaya covid memang ada, tapi tidak semenyeramkan itu, tidak seberbahaya itu, just a usual flu, so menurut mereka: "santuy ajaa"
Which one is me?
I'm not gonna tell. But my brain is getting overwhelmed recently. I do believe in science. Aku lulusan farmasi, mantan apoteker klinis di RS, dan sekarang magister candidate farmasi klinis di salah satu univ di indonesia. I am doing research. I am fully aware that we need and will always need science. Kalau di kurva Dunning Krugger, I either still stupid and not confidence or a bit smart but not confidence. Either way i am not smart and confidence enough to tell things to people. Just to give disclaimer that i am just nobody.
Buat aku, dunia saat ini seperti sedang menjalani clinical trials. Di awal pandemi, seorang profesor di RS terkenal bilang "covid ini masih banyak yang harus diteliti, masih ongoing, jd kita kasi apa aja obat yang ada". Oh yes of course, itu pasti suatu keniscayaan ketika penyakit-baru muncul. Bukti2 ilmiah masih terbatas so trial and errors will be one way. Bless the patients. Now its been almost 2 years. Riset tentang covid luar biasa banyaaaakk sekali. Yah siapa yang tidak tertarik dengan pandemi? Akan ada banyak orang2 yang berbaik hati mencari solusi keluar dr pandemi dan akan ada oknum yang memanfaatkan momen untuk hal-hal tertentu tanpa berniat menyelesaikan pandemi.
Aku bukan penggila konspirasi. Tapi aku selalu terbuka dengan berbagai kemungkinan. Kadang kita gabisa netral dan cukup strategis dalam menghadapi pandemi ini karena alur informasi yang begitu cepat, polarisasi pendapat, opini2 yang berseliweran dan dengan mudahnya mengarahkan kita pada satu keyakinan. What expose us more, build us more. Pendapat2 dengan bias pengalaman pribadi, sahabat baik nakes, sahabat baik intel, dan semuanya. Kadang buat kita tidak bisa membaca situasi dengan objektif.
Scepticism is sometimes needed, no? Or maybe i got some trust issues. Aku masih anak bawang dalam riset tapi aku tau beberapa bias yang terjadi dalam riset klinis, beberapa hal yang dapat memengaruhi hasil riset. So, when a statement about covid comes out, aku sering berusaha untuk baca risetnya sendiri, melakuan appraisal dari mulai kualitas jurnalnya, desain dan metode, penarikan kesimpulan, conflict of interest (walau kadang ga ditulis padahal ada), sampai funding. We can not only read abstract since it doesnt give us that much. Sometimes author just put what interesting or what they want the result to be to make the abstract attractive, no?
But i dont always do that. Often, i simply too lazy. This is what we call as a lazy perfectionist, its suffering. You keep thinking about that but you do nothing. That sucks.
Anyhow.
There are some concerns and/or questions pop up in my head that ive been trying to answer despite my laziness.
How dangerous covid is? The prevalence is high, yes. The transmission is high, mainly the delta varian. Yet the severity are classified. Otg, ringan, sedang, berat. Seberapa infeksius masing2 derajat? Theres one research say asymptomatic patients gives 1/5 transmission, which makes sense. Otg tidak bersin dan batuk2, kemungkinan virus keluar dari tubuh sedikit. Viral load pada otg mungkin jg sedikit. Tapi apakah ketika menularkan, org yang ditularkan kemudian sakit parah atau otg juga? Kemungkinan tergantung kondisi orang tersebut, banyak faktor dari mulai usia, komorbid, dan gaya hidup. Walau kemungkinan penularan otg cuma 1/5, mau main2 dengan kemungkinan? I cannot say things like that without evidence i know but some of these are just logic.
But how if we compare it to other infections just like 'conspiracies people' ask. So far, orang2 yang menjawab pertanyaan itu berkata "buat kamu statistik itu angka, tp buat keluarga korban, itu nyawa". To me, orang2 yang bertanya demikian bukan berarti tidak berempati dengan korban. Beberapa dr mereka juga ingin keluar dari pandemi dan mungkin, mungkin, mungkin, mencoba mencari solusi 'lain'. Bagaimana kalau ternyata orang2 otg dalam jumlah besar ini magnitude dan efek penularannya sama seperti infeksi lain yang tidak fatal, mungkin pendekatan solusinya akan berbeda. "Tapi covid ini obatnya belum ada, infeksi lain sudah ada". Now my questions shift. How covid affect a person with pure covid and a person with comorbids (say with hypertention diabetes, asmatic, and all)? Does the infection worsen the conditions that much? How risk benefit analysis is done toward these comorbids and polypharmacy patients since drugs themselves also not fully safe? As a clinical pharmacist, i learn adverse drug reactions and drug interaction theoritically. Am i scared to drug? Often, yes. Because drug interations are hard to analyze in clinical settings. I believe doctors will use their expertise experience rather than theory. So yes i am scared because nothing is absolute. The reason I still keep my prokes and dont want to get infected is because i dont want to consume the drugs. In these ongoing drug trials everywhere, nothing I can trust 100% haha. And yes, aku panik sama orang tua yang sering keluyuran. Mereka komorbid. Kalau infected, sudah pasti aku akan pusing mengambil keputusan.
Pikiran2 ini mungkin muncul karena aku gerah dengan keadaan. Mungkin jg krn orang2 sekitar aku rata2 otg dan gejala ringan, so yes tulisan ini jg bias. But please never pray for me to have a relative that got severe sick due to covid just to make me believe 100%. Please no. Aku percaya covid and i dont wanna get infected.
Well anyway, aku gerah dengan keadaan. Indonesia ga seperti Singapura atau New Zealand yang, mau covid itu bahaya atau ngga, fasilitas dan sdm mereka mumpuni, penduduk mereka sedikit, it will more controllable. Sedangkan Indonesia, aku lelah baca berita yang bilang IGD dimana2 penuh. BOR 90% terisi. Nakes, otg atau bukan, ya harus isolasi. Bagaimana kalau ternyata otg dan derajat ringan tidak seberbahaya itu? Otg msh bisa kerja dan sedikit memulihkan kekacauan di rumah sakit. Nakes2 jadi ga burnout.
Penundaan operasi karena covid. Bagaimana kalau ternyata efek covid ke penyakit lebih kecil daripada penundaan operasi? Efek penularan covid ke nakes lebih kecil daripada risiko meninggalnya pasien jika tidak operasi? Akhirnya pasien meninggal bukan karena covidnya, tp karena penundaan operasi untuk penyakit lain yg dia punya.
Bagaimana dg org2 yg ekonomi lemah? Risiko covid dan risiko mereka kelaparan karena lockdown lebih besar mana?
Di awal pandemi, org2 yg ga boleh keluar adalah org2 dengan komorbid. Tetapi kemudian berkembang menjadi semua orang. Setauku, sesuatu dikatakan pandemi ketika transmisinya besar, tidak terlalu dilihat dari magnitude dan dampak gejala/penyakitnya. I mean, can we be more detail toward degree of severity and its effect? Memang sudah diberlakukan di beberapa hal, seperti yg sakit sedang-berat ke RS, yg otg ringan isoman di rumah. But, can we be even more detail and deepeer about this? Riset2 yg ada juga byk yg mendata overall inhospital mortality, artinya data kematian tidak dipisahkan antara penyebab primer dan sekunder. And again, how risk benefit analysis is done toward comorbid and polypharmacy patients? Safety obat kadang dianaktirikan. Overtreatment sometimes chosen to avoid covid kill the patients. Well, drugs can kill patients too. This is why dokter/nakes smart memang dibutuhkan. Dengan segala ongoing research selama pandemi, apalagi muncul mutasi begini, jangan sampai keputusan2 yang ada tidak berdasar analisis risiko-manfaat yang tepat.
So, i need to know more about poor outcome in symptomatic and asymptomatic covid adjusted to every concurrent drugs and medical conditions and adjusted to availibility of isolation room and resources and adjusted to everything lol. How infectious asymptomatic covid is and should we worry about it compare to any other disease. QoL symptomatic covid 19 patients compare to other infectious disease. how is association between happy hypoxia and covid, severity, outcomes, should we worry. What are the updates treatment now and why and how and are they safe and effective? How urgent vaccines are (in deeper analysis) - i already got my vaccination schedule, dont worry. And the biggest questions since mutations are the devil now, every W-H questions about mutations are stuck in my brain now. This is only clinical questions, there are way more abundant.
Kalo aku di singapura mungkin aku ga perlu mikir beginian. Dengan kemewahan2 yang mereka punya, indeks korupsi yang kecil, SDM yang mumpuni, penduduk yang sedikit, bahaya atau tidaknya covid mungkin ga pernah akan aku pikirkan regardless my scepticism toward research. Dampak sosial dari pandemi ini bukan main, kan.
So well, sebetulnya masih banyak di kepala, dan susah banget rasanya membuat semua ini terstruktur dan tersambung-sambung dengan baik. Pada akhirnya, dengan segala skeptisisme dan keterbatasan riset, aku memilih untuk mengikuti instruksi otoritas dan ahli. Kenapa? Because i know i am not smart, masih anak bawang yang banyak gataunya. Masih males baca riset. Dan gampang overwhelmed sm tsunami informasi. Dan mutasi. Ergh. Berasa harus baca riset2 covid dari awal. There are a lot of things i need to learn. Semoga Allah selalu memberi petunjuk dalam setiap pengambilan keputusan. Aamiin
3 notes · View notes
hindunrisni · 4 years
Text
Kalau selama hidup, kita pandai mengambil hikmah dari suatu kejadian, mungkin ga perlu ada stres berkepanjangan dan bahagia yang melenakan.
Ini beda dengan mencari pembenaran atau menghibur diri semata, karena mereka ga punya proses evaluasi, sebagai upaya manusia utk dapetin efek jera. Pembenaran juga cenderung dilakukan utk dapetin validasi dari orang lain ttg betapa baik2 saja diri ini walau sebetulnya kejadian yang menimpanya bikin sakit hati. Lantas penerimaan akan kesedihan bakal hilang begitu saja. Luarnya bahagia, dalamnya hancur.
Hikmah sepertinya ga bekerja seperti itu. Seperti namanya, hikmah adalah suatu kebijaksanaan. Bakal selalu ada dua perspektif yang berusaha kita ambil, positif dan negatif, dari suatu kejadian. Jadi, akan ada proses evaluasi di dalamnya.
Orang yang kena musibah seharusnya diberikan narasi dari dua sisi. Narasi positif tentang bagaimana musibah ini menjadi ladang amal orang2 karena jadi makin giat berdoa, menjadi penghapus dosa, dsb. Dan narasi negatif ttg kemungkinan bahwa Allah marah sama org tsb. Sebagai pendengar berita seorang teman yang mengalami musibah, kita emg cenderung ngasi yg positif2nya aja karena niat kita menghibur. Semoga hiburan itu cukup untuk membangkitkan semangatnya tanpa 'melenakan' ia, krn gimana pun, evaluasi tetap perlu dilakukan. Kenapa aku mengalami musibah? Apa dosa yang sering aku lakukan? Apa aku kurang amal? Kalau kita sbg org yang terkena musibah, ga pandai mengambil hikmah melalui dua perspektif positif dan negatif, ya sudah akan berat sebelah. Stres berkepanjangan atau bahagia bahkan kenetralan rasa yang melenakan.
Belum punya jodoh. Ah, mungkin aku masih dikasi waktu untuk mengejar mimpi lain, masih dikasi waktu untuk punya me time sebebas yang kumau. Dan, mungkin ada kesalahan pada diri ini yang buat aku belum berjodoh dg siapa pun.
Belum punya anak. Mungkin Allah sdg ngasi aku waktu untuk berbenah, belajar masak, belajar ngurus suami, pacaran sm suami, dsb. Tapi mungkin ada kesalahan yang aku lakukan yang buat Allah blm percaya sm aku, padahal aku sebetulnya mau bgt punya anak. Knp temenku yang sebetulnya gamau, eh kebobolan? Pasti ada alasannya, pasti.
Punya rumah bagus, siapa yg ga bahagia. Tapi kalau kita ga pandai mengambil hikmah dari kejadian baik pun, akan menjadi buruk di kemudian, entah di dunia atau nanti di akhirat. Kalau melulu narasi positif yang diperdengungkan, bahagia punya rumah akan melenakan. Tapi kalau kita mengambil sisi lain bahwa ini adalah ujian, rumah yg akan dihisab lama karena banyak bgt perabotannya, dsb, kebahagiaan kita akan punya alarm yang ngingetin kita untuk mempergunakan rumah itu dg sebaik mungkin, menghindari kesia-siaan. Menampar kita yang terlena.
Memang, ujian manusia itu berbeda2. Tapi Allah Maha Adil, ku yakin Allah ga random gitu aja ngasi jenis ujian ke tiap orang. Pasti ada suatu alasan, dan PR manusia adalah mencari kebijaksanaan Allah di balik itu, membaca hikmah.
Dan kemampuan membaca hikmah dari suatu kejadian, bagiku adalah suatu privilage yang luar biasa ❤
3 notes · View notes
hindunrisni · 4 years
Text
Syar'i
Ku juga masih byk khilafnya. Tapi setauku adanya label Syariah atau Syar'i itu bukan berarti memisahkan suatu aspek kehidupan dg ajaran islam, krn islam mengcover semua aspek kehidupan. Label tsb bukan seharusnya direspons dengan "mau syar'i atau tidak adalah sebuah pilihan para muslim", melainkan sebuah ajakan untuk kita menjadi muslim yg lbh baik. Adanya label itu untuk mempermudah kita mengenal cara2 yang memang sesuai dengan aturan islam, bukan untuk memberi justifikasi bahwa cara yg tidak syar'i 'dibolehkan' atau berhak dinormalisasikan. Ku juga masih belajar kok tp semoga kita sm2 paham bahwa konsekuensi beriman adalah terus belajar menjadi lebih baik.
0 notes
hindunrisni · 4 years
Text
Dari Adzan ke Adzan
Waktu bagiku saat ini seperti menunggu dari adzan ke adzan. Mungkin karena setelah menikah, suami selalu mendorongku untuk shalat tepat waktu, aku jadi lebih aware dengan kumandang adzan. Walau ketika sedang main sama teman, shalatnya kembali lagi di jadwal biasa, haduh.
Dari adzan ke adzan berjalan sangat cepat. Entah kenapa, tiba2 aku sudah wudhu saja, tiba2 sudah tahiyat akhir, kemudian adzan lagi, dan seterusnya. Sungguh terasa cepat. Apakah ini tandanya aku tidak menikmati waktu sholat? Semoga bukan, insyaAllah bukan :)
Tulisan ini aku persembahkan untuk diriku dan suami yang sebentar lagi menginjak usia pernikahan tahun ke-2.
Tiga puluh Juni 2018. Tanggal yang akhirnya ditetapkan Allah untuk kami menggetarkan Arsy Allah.
--------------------------
Kriteria suami idaman kadang menjadi pembicaraan aku dan teman-teman. Aku ingat betul bagaimana aku menyatakan empat kriteria yang selalu kugaungkan pada seorang teman "sholeh sampai sunnah, berwawasan luas, ekstrovert, dan humoris". Kemudian temanku dengan sembarangan menjudge
"dan populer ya"
"Lah gue ga bilang populer"
"Itu kriteria yg lo sebutin, sounds to me that he must be someone popular"
Kemudian aku tersenyum kecil. Ekstrovert, berwawasan luas, dan humoris mungkin memang melekat pada banyak orang-orang populer. Haha.
Atau kakak perempuanku yang juga menjudge kalau aku kepinginnya sama aktivis. Mungkin memang betul, karena banyak orang-orang yang berwawasan luas dan ekstrovert bertitel aktivis :) yah gimana, kk iparku mapres dan aktivis, kk perempuanku juga, dan tbh kk perempuanku adalah segalanya yang aku lihat dari kecil. Pingin punya kehidupan seperti kakakku? Im not denying.
Tapi Allah itu emang punya skenario yang kadang di luar dugaan hambaNya.
Here you are, dear Husband. You are not popular nor an activist to a lot of eyes. Tidak 100% sesuai kriteria, but really, salah satu hal terbesar dalam hidup yang aku syukuri adalah memilikimu sebagai pendamping hidupku. (God, i know this may sounds cheesy but I meant it, im dropping tears haha)
-------------
Awal pernikahan bukan hal yang mudah. Salah satunya adalah menyamakan atmosfer romantisme rumah tangga haha. My husband is somewhat romantic. Mulai dari minta makan sepiring berdua sampai berambisi memantapkan slogan "aku adalah kamu, kamu adalah aku" di kehidupan kami berdua. Aku merasa itu menggelikan. Tapi pada akhirnya aku luluh karena beliau sering bilang "Rasulullah ke istrinya kan begitu", baik baik.... apalagi kalau beliau udah bilang "aku mau bantu istriku beres2 ah, kaya Rasulullah" yah kalau itu siapa yang mau nolak kan, belum lagi slogan yang bisa aku jadikan senjata kalau aku lg mager mandi "kan aku adalah kamu, kamu adalah aku, kalo kamu udah mandi, berarti aku udah mandi" hahaha 😆
Yah, dalam kurang dari 6 bulan mungkin, aku sudah terbiasa dengan keromantisan ala-ala suamiku, bahkan menjadi satu hal yang selalu aku syukuri karena dengannya aku jadi belajar untuk menyatakan cinta yang lebih ekspresif, jadi lebih seru aja gitu :) makasih ya beb.
-----------------
"Keputusan terakhirku ada di orang tua ka, kalau orang tua setuju, aku lanjut"
"Oh..mmm, tapi kan pernikahan itu untuk jangka panjang.." (intinya beliau merasa aku terlalu naif dengan begitu saja menyerahkan keputusan sepenting ini kpd org tua di saat aku masih belum yakin)
"Iya, pokoknya aku ikut kata orang tua"
Kalau aku pikir2, aku aneh juga. Menyandarkan sedikit keraguan memutuskan menerima beliau dengan menyerahkannya pada orang tuaku. Apa yang aku pikirkan? Kalau ada sedikit keraguan kenapa tidak tolak saja? Tapi sepertinya Allah memang tahu apa yang aku butuhkan. Alhamdulillah, orang tua mana yang tidak senang dengan seorang laki2 yang hormatnya pada orang tua sungguh membuatku geleng kepala di awal, tapi berdecak kagum kemudian. Allah menghadirkan seorang 'family man' di kehidupanku, seseorang yang benar2 aku butuhkan, saaangatt aku butuhkan. "Birrul walidain, sayang" kata2 sederhana tapi selama ini sering aku campakkan dalam kehidupanku. Jika saja orang tuaku bukan seorang penyabar, hampir pasti, neraka itu bagiku. Astaghfirullah naudzubillahi mindzalik. Makasih suamiku, apa-apa yang telah kau lakukan pada keluargamu sungguh buatku malu dg hidupku, i learned a lot from you.
------------------
"Untung suami nong ka Nauval ya" kata Umi sambil bercanda, setiap kali aku melakukan hal2 yang kurang layak, seperti rumah berantakan, malas masak, being egocentric, act childish, etc. Mungkin bagi orang tuaku, aku adalah perempuan paling beruntung di bumi. Si bungsu manjanya dipersunting oleh seorang laki2 penyabar.
Dear you,
Walau kadang kesabaranmu buat aku tidak sabar haha, but really, sekali lagi Allah menamparku keras dengan menghadirkanmu di hidupku. Sampai sekarang aku masih bingung bagaimana dirimu bisa tetap tersenyum dan memaafkan begitu saja ketika aku bersalah. Aku tak paham bagaimana ringannya mulutmu memujiku dan mengucap terima kasih pada segala hal kecil yang menurutku biasa saja. Aku tak paham bagaimana kau rela membantuku dalam segala hal, dari mulai mengerjakan tugas kuliah, bersih2 rumah, memasak, dan segalanya diminta atau pun tidak, namun di akhir kau lebih dahulu mengucap terima kasih. Aku juga tak paham bagaimana kau selalu lebih fokus dengan kewajibanmu daripada hakmu, sedang aku lebih menuntut hakku. Dan bagaimana kau selalu berprasangka baik pada Allah. Kadang aku merasa tak pantas disandingkan denganmu.
Hatiku masih butuh banyak memahami tazkiyatun nafs, dan Allah menghadirkanmu untuk mengajarkanku itu :'
Dear you,
Maaf ya aku tulis kebaikan-kebaikanmu. Waktu itu aku pernah tulis kebaikanmu di caption instagram, kau tak mempermasalahkan, jadi gpp kan aku tulis juga disini hehe, tumblrku sepi kok 😋
Lagipula, dengan adanya tulisan ini membuatku bisa membacanya berkali2. Mengingatkanku untuk meningkatkan syukur ketika sedang senang dan mencari syukur ketika sedang tidak baik2 saja.
Usia pernikahan kita baru dua tahun, tetapi aku yakin apa yang kamu lakukan bukan sebatas euforia seorang suami baru :)
Satu pesan beb. Dari Tulus yang mencerminkan isi hatiku "Jangan cintai aku, apa adanya"
Dan persis lagu tulus juga, aku mau bilang "tuntutlah sesuatu, biar aku maju ke depan" 😉😘
----------------
Dear you, saat aku menulis ini, sedang ada pandemi Coronavirus menyerang bumi tercinta kita. Masjid ditutup, walau sekarang beberapa sudah mulai dibuka. Aku sudah tidak lagi melihatmu yang bergegas ke masjid setiap adzan berkumandang. Hikmahnya, kita jadi lebih sering shalat berjama'ah. Aku semakin getol shalat tepat waktu. Perjalanan waktu yang terasa dari adzan ke adzan semakin terasa. Terkadang aku tidak ingin melepas masa ini, sebagai makmum yang bisa sering melihat punggungmu dari belakang, mendoakan keberkahan hidupmu dan hidupku, hidup kita. Tapi aku tahu, Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat walau orang tersayang yang didoakan tidak sedang didekat kita. InsyaAllah, aku akan selalu menjadi orang yang mendoakanmu, memintaNya untuk memberkahi hidup kita, membersamai perjalanan ibadah kita, dan mengumpulkan kita kembali bersamaNya kelak di Surga.
Dari adzan ke adzan, aku akan menjadi penunggu setia panggilan itu, sambil tak sabar menggelar sajadah, bersujud pada yang Kuasa, dan berbisik padaNya "terima kasih ya Allah, telah memberiku pendamping hidup yang membuatku tak pernah berhenti bersyukur padaMu"
I love you, ebeb.
Hehe.
2 notes · View notes
hindunrisni · 5 years
Text
My Parents, My Sunshine
Bukan my kids my sunshine ya wkkw.
Gegara habis dikomen teman yg blg gue sering breaking promise buat ketemuan krn mendadak org tua dtg, gue jd pgn nulis soal orang tua. Bukan buat excuse ya btw wkwkwk.
Salah satu pelajaran terbesar yg sy dapat semenjak menikah adalah soal birrul walidain, berbakti pada orang tua. Tipe keluarga saya dan keluarga suami memang cukup berbeda. Mine is a type yang anti banget bilang 'sayang, kangen, dsb' secara gamblang (except my mom, my mom is outliar), sedangkan keluarga suami is a very very very open family. Setelah berkontemplasi, keterbukaan sepertinya melatih kita untuk lebih respek dan sayang sama orang tua.... At least thats what I feel.
Siapapun yg sedang dalam proses menikah, pasti pingin kan dianggap baik sama mertua. Saya waktu itu takut, bahkan sampai sekarang sy sering blg sama suami setiap kali akan bertemu mertua "aku deg2an, takut ga sopan" apalagi kalo udah melihat suami ngomong jawa kromo ke orang tuanya, saya merasa butiran debu yg keinjek2 sepatu orang saking merasa 'ngelunjak'nya diri ini. Wkwk lebay ya. But seriously, saya sangat tidak terbiasa untuk berlaku "sesopan itu" sama orang tua. Ibarat di chat whatsapp tuh ya kaya gini,
Umi: nong dimana? Tadi umi habis ketemu... Bla.. Bla... *Panjang*
Gue: di kosan. Oh iya mi
Atau
Umi: umi kangeeen, pengen ketemuuu *emote lope2 3 biji*
Gue: hehe sama mi
Atau gue sm kk cowok gue
Kk: umi ulang tahun ga kasi surprise?
Gue: ayo
Kk: ok
Kalau sama mertua/adik ipar bisa begini
Mertua: wooook, mamah lagi beginiii begituuu bla bla blaa *emote lope, tangan berotot, lope lg, senyum, lope lg, lope lg ampe seratus*
Gue: waah semangat mamaaah *emote lope 3biji*
That doesnt happen di wa aja, it does happen in real life. Karena gue gamau dianggap ga sopan sm mertua jelas dong gue ikut keramahtamahan mereka, walau gabisa se'heboh' mereka. Apa jadinya? Capek 😂
Jadi teringat kata2 prof Al-Attas yang bilang manusia sekarang seperti memakai topeng, bertingkah sesuai kondisi, bukan dengan adab sebenarnya. Frankly sy jadi teringat buku Susan Cain soal konsep Free Trait Agreement yg saya pegang teguh sampai skrg. Sepertinya selama ini saya salah mengaplikasikannya. Free Trait Agreement membuat kita berperilaku sesuai dengan lingkungan, ketika lingkungan kita memaksa kita harus making friends, kita harus mengeluarkan sedikit 'jiwa extrovert' kita walau pd dasarnya kita introvert, krn kita sejatinya butuh networking (cmiiw). Kemudian kok lama2 saya justru menggunakan konseo itu laiknya saya menggunakan topeng, tidak menjadi diri sendiri pada kondisi tertentu karena saya mementingkan reputasi sy di hadapan orang. Prof Al-attas mungkin berbicara soal para politikus/pemimpin yang tidak beradab dengan sifat kehewanannya, memakai topeng, berlaku curang dsb. Tp kalau saya tarik sedikit garisnya ke kondisi saya, sy jadi merenung, apakah selama ini saya benar2 mencintai orang tua saya sepenuh hati? Kenapa berbuat baik ke mertua membuat saya lelah kalau pada dasarnya sy memang berbuat baik utk orang tua sy sendiri? Hehe...
Kalau direcall, dulu waktu kuliah memang sy jarang pulang ke rumah. Klo orang tua mau dtg ke kosan, sy dengan entengnya bilang ada janji sama teman. Orang tua lg nelpon pengen ngobrol, kadang kalau sy mau belajar sy buru2 pgn minta tutup telepon (pdhl suami bisa 2 jam kalo telponan sm mamah/neneknya pdhl lagi ada deadline kerjaan). Kalo orang tua sendiri minta bantuan, rasa2nya sy ga setotalitas itu buat bantu dibanding kalo mertua minta bantuan.
Sy teringat saat pertama kalinya saya menangis sesenggukan ditinggal orang tua yg berkunjung saat minggu pertama baru menikah. Somehow itu adalah titik kulminasi yg paling saya rasakan bahwa saya sangat sayang dengan org tua saya (lah netes kan pas nulis ini). Mungkin krn sy baru menikah, sy baru sadar bahwa saya sepenuhnya sudah menjadi tanggung jwb suami saya. Saya menangis, baru saat itu merasakan rindu tersayat2 itu seperti apa :"""" Sy jadi mikir, mungkin saya sayang orang tua saya, tp apa iya rasa sayang yg saya beri sudah optimal? Apakah org tua saya layak mendapatkan hanya sebatas kata 'iya' ketika mereka bilang rindu? Atau sebatas kehadiran saat suprise ulang tahun tp tak diizinkan berkunjung karena sy harus bertemu teman yg padahal cuma pgn makan brg? :"
Akhirnya di satu waktu sy mencoba untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan sesuatu ke org tua. It works. Mungkin ada kaitannya dengan smile brings positivity and the kinds. Rasa2nya kalau saya mengekspresikan rasa sayang dan cinta lebih terbuka, jadi terbawa sampai ke hati hehe, ga cuma berhenti di otak trs ngambang dikit di hati hehe. Saya lebih senang dan puas, org tua keliatannya sih lebih senang jg hehe. Percakapan juga jd lebih ngalir yg biasanya sy cuma ngangguk2 aja.
Saya berusaha untuk seadil mungkin pd org tua sendiri dan mertua. Belajar untuk melakukan segala sesuatu dari hati. Dan ekpresi cinta yang terbuka itu bagi saya bisa melatih kita untuk berbuat sepenuh hati. Bukan berarti org yg ekspresinya datar dan hemat kata tidak ikhlas dlm membantu orang, itu kembali lg ke hati dan kenyamanan kita sendiri. Saya hanya mencoba untuk berkontemplasi ketika melihat rasa2nya keluarga suami sy seperti dihujani rasa cinta dan hormat yang ga berhenti2. Sedang sy masih sering merasa hambar ketika mencoba menghormati dan mencintai org tua sy. Sy ingin apa yg sy lakukan ke mertua sy lakukan juga utk org tua saya dan sebaliknya. Karena bagaimanapun kt paksu dalam pernikahan gada istilah mertua, empat-empatnya adalah orang tua kita. Kalau kita sudah terbiasa berbuat baik dengan ikhlas, perbuatan baik yg kita lakukan ke siapapun akan mengalir insyaAllah, ga terpaksa krn keadaan dan ga capek 😅
Orang tua itu di atas segalanya. Segala2nya. Ridho Allah ada di ridho orang tua. Saya baru benar2 menghayati kalimat mainstream itu setelah menikah, sangat telat karena ridho utk sy sudah pindah ke suami. Kadang merasa hina ketika org tua msh mendoakan sy dg tulus pdhl bakti sy tidak ada apa2nya.Sangat layak bagi mereka utk mendapat kebaikan2 dr saya walau ridho utk sy sudah pindah. Memang telat, tp setiap kali sy melihat cara suami saya memperlakukan orang tuanya, sy selalu yakin bahwa Allah menjodohkan sy dengan beliau salah satunya adalah utk memberi kesempatan kpd sy dalam berbakti kpd umi dan abah, memperbaiki kesalahan sy terhadap mereka....*im literally crying now
Rabbighfirli waliwaalidayya warhamhuma kamaa rabbayaani shogiro..
Yuk berikan sesuatu yg layak bagi org tua kita sebelum terlambat :"
2 notes · View notes
hindunrisni · 5 years
Text
Pertanyaan Lebaran
Judul mainstream untuk bahasan mainstream ala lebaran.
Saya selalu bilang sm suami dan tmn2 kalau saya sih cuek ditanya pertanyaan2 ala lebaran. Waktu ditanya jodoh dulu, saya secuek itu. Sebodo amat itu haha. Tapi pas ditanya soal hamil dan kapan punya anak...lah kok ternyata baper jugak😂 mungkin karena pertanyaan soal kehamilan agak sulit dibercandain kali ya, kalau soal jodoh lebih gampang jd bahan becanda haha. Apalagi kalau geng emak2 pas ketemu saya pake ngelirik perut saya dulu berkali2 baru nanya. Rasanya ingin ngasi emote senyum kebalik (which is my nyinyir emote). Wkwk.
Sampai kemarin saat mudik, ada titik kulminasi ke-bete-an saya akan pertanyaan itu yang diulang berkali2 kaya kaset rusak, yg efeknya jadi males silaturahmi haha. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya ga boleh bete, saya ga bisa memaksakan mindset generasi orang2 tua (apalagi kalo tinggal di kampung) sama dengan generasi saya. Tp boleh dong saya bete sama generasi setelahnya yang tahun 2019 gini masih aja nanya begitu?! 😴
Kalau kata suami, apa yang dilontarkan orang2 itu cermin dari pikiran dan wawasan mereka. Kalau habis nanyain lulus kapan terus nanya kerja dimana gaji berapa terus nanya kapan nikah kapan punya anak kapan anak kedua dsb, yaudah wawasan mereka hanya sampai situ aja. Wawasan yg mereka punya bahwa hidup itu hanyalah soal berlari "lurus" dari titik lulus kuliah ke titik kerja mapan ke titik pernikahan kemudian titik punya anak. Nothing in between, no other halt. Tidak ada titik lain. Lah, anak muda di zaman internet (yang buat bumi seolah diameternya cuma sepanjang layar smartphone kita!) kaya begini, wawasan antum cuma segitu aja?!! Coba evaluasi tmn sepermainannya kaya apa, baca buku ga, following instagramnya cuma selebgram2 ga jelas apa gmn?? *emosi wkwkwk
Saya pribadi sebenarnya merasa pertanyaan2 semacam itu seharusnya menjadi big talk bukan small talk a.k.a basa basi yg bisa diucapkan oleh siapapun, kenal ga kenal, dekat ga dekat. Soal kelulusan, pekerjaan, pernikahan, kehamilan dan sejenisnya yang masih belum bs dimiliki orang lain, bisa jadi karena prosesnya sarat kendala atau berkaitan dg prinsip. Nah, antum kira kalau ditanya "kapan nikah" sama sanak saudara yg ga terlalu dekat terus kita bs jawab "belum tante, saya merasa saya masih harus belajar banyak karena bla bla" atau "belum tante, saya kemarin habis gagal taaruf bla bla" atau "belum tante, gada yg mau sama saya, saya sedih" atau "belum tante, saya mau sekolah dulu karena bla bla"? Kendala dan prinsip bagi beberapa orang adalah suatu privasi yang gabisa diucapkan ke sembarang orang. Dan ga semua orang bs legowo hanya dengan bilang "belum tante, doanya aja" karena hal yang manusiawi ketika pertanyaan semacam itu dianggap oleh bbrp orang sebagai negative judgement sehingga orang merasa perlu atau tidak perlu menjelaskan kenapa. Manusiawi pula ketika bbrp orang "merasa tertinggal" ketika ditanya pertanyaan tersebut, karena mereka menginginkan hal yg ditanya terjadi pd mereka segera.
Nah ketika kita melontarkan big talk tentu kita punya aturan dan sopan santun. Let our big talk only pour into the right zone. Bagi saya, beberapa kendala dan prinsip tidak bisa disampaikan ke sembarang orang, cukup keluarga dan teman dekat. Mereka yang paham kondisi kita sehingga pembicaraan akan lebih berkualitas, berujung kepada solusi ketimbang basa basi, mengarah pada evaluasi dibanding hakim menghakimi, sarat empati ketimbang iba krn mengasihani. Haha
Ya ga semua orang bisa sama pahamnya. Tp buat yg ga sepaham sama saya setidaknya hargai prinsip orang lain. Bukan saat lebaran saja, saat kondangan, saat reuni, saat random ketemu, dsb. Saya kadang greget sm suami saya yg ketika ditanya ttg informasi seseorang, beliau serba bilang 'gatau' terus saya bete dan minta beliau supaya tingkatin kekepoannya. Ternyata eh ternyata setelah saya mengeluh di mudik kmrn, suami akhirnya blg bahwa 'menjaga perasaan orang lain' menjadi alasan beliau jarang kepo sama orang, ga banyak bicara sama org2 yang baru dikenal kecuali masalah pekerjaan profesional. Memang ya, sejatinya ikut campur urusan orang lain ga selalu baik krn bisa jadi yang jadi bahan kepo kita adalah hal sensitif untuk dia. Ust KHB pernah ngasi ceramah soal itu, tp saya lupa apa haditsnya hehe.
Demikianlah bahasan mainstream di kala lebaran ini. Semoga kita bukan orang2 yang menyampaikan basa basi berkedok rasa peduli yang akhirnya hanya menyakiti. Atau sekedar kepo untuk bahan gosip yang hanya berbuah dosa. Aamiinn.
Ps. Sy minta maaf karena saya dulu termasuk yang sering nanya "kapan lulus" ke beberapa teman huhu. Semoga apapun kendala atau prinsip yang sedang dipegang sehingga belum atau belum mau mencapai titik tertentu menjadi pilihan terbaik dr Allah bagi kita semua. Aamiinn.
Added paragraph..
Rasanya paragraf awal agak kasar ya hehe. Maafkan kesensianku yg somehow jd emosi 😂 bagi bbrp orang yg melontarkan pertanyaan2 seperti itu mungkin udh menjadi bahan basa basi yg membudaya, tanpa ada maksud apa2. Saya pun pernah bertanya hal2 tsb tp pd kenyataannya byk org2 yg ga sreg ditanya begitu no matter what our intention is. So it was a lesson learned. Jadi gpp, kalau emg antum beda pendapat, sy pribadi memilih utk tidak membudayakan jenis basa basi yg seperti itu🙌 dan karena ga mungkin membuat semua org punya pendapat yg sama, saya harus belajar selow juga 😂💪
1 note · View note
hindunrisni · 5 years
Text
Nulis
Akhir2 ini lg sering liat postingan tmn2 yg ngerasa takut sharing tulisan karena merasa 'lah emg gue siapa? Emg ada yg peduli sama tulisan gue? Emg ada yg mau tau?' haha ternyata masalah kaya gini sepertinya emang dirasakan byk orang, sy jd merasa ga sendiri😂 Saya pun termasuk bagian dr mereka yg kadang udah nulis panjang terus dihapus atau berujung tersimpan di draft atau laptop atau dipost di tumblr tanpa dishare. Udah sering juga baca postingan penulis2 dr yg populer banget sampe yg populer aja blg "ga usah peduli sm kata orang, nulis ya nulis aja, jgn sampe omongan orang membuat niat baik km (sharing good things) sirna" dan kata2 sejenis. Itu pada akhirnya cukup membuat saya tetap menulis walau jarang2.
Tp yg paling powerful itu kata2nya Apik (ajinurafifah) -sy jg dpt dr postingan tmn- bahwa 'setiap tulisan itu pasti ada pembacanya'. Jadi ke-recall waktu masih pake blogspot, klo di blogspot ada data jumlah viewers yg baca tulisan kita dan itu somehow yg buat saya semangat ttp ngeblog di zamannya krn viewersnya selalu ada, apalagi waktu pertama kali nembus seribu (karena direpost sm dosen hits) rasanya seneng banget wkwkwk 😂 Yah walau kita ga pernah tau juga viewers itu beneran baca dan dapat manfaat dr tulisan kita, atau cuma baca aja terus gasuka, atau bahkan cuma mampir baca kata pertama terus lgsg close haha. But then saya ttp ngeblog krn kalau liat jumlah visit dan viewers ya ada aja gitu, jd saya pede aja wkkwk. Sampai akhirnya saya pindah ke tumblr. Walau gabisa lihat jumlah viewers tp somehow sy saat ini lagi seneng pake tumblr aja~
Saya mau bahas kata2nya Apik (sok kenal amat w), "tiap tulisan pasti ada pembacanya". Dan memang sepertinya saya sepakat dengan itu. Kalau viewers susah jd bukti nyata, yang suka nulis pasti pernah kan tiba2 didatengin atau dichat teman, adek/kk kelas, atau bahkan stranger yg bilang "ih tulisan lo gue banget!", "ka, makasih ya, bener banget sih itu", "gue ga pernah lewatin tulisan2 lo loh" dsb. Itulah bukti bahwa tulisan kita dibaca. Walau bisa jadi mereka ga banyak/bukan pembaca setia tp poin saya adalah setiap tulisan pasti ada pembacanya dan insyaAllah ada yg bisa ambil manfaat dari itu. Even, mungkin ada aja yg baca tp ga komen, berdoa lah ada saja yg bs ambil manfaat dr tulisan kita. Di zaman media sosial jd tempat terbuka untuk menyuarakan opini dan sharing akan apapun, why not kita memanfaatkannya sebisa mungkin. Hehe.
Memang sih kalau suka menulis lebih enak itu buat buku supaya manfaatnya lebih terasa. Yet its not that easy. Eh ga juga sih, kayanya bikin buku sekarang gampang ya. Bisa self published, byk jg penerbit baru yg buka gratis nerbitin buku. Still, not that easy i guess. Mengumpulkan niat untuk menulis satu buku itu buat saya susah, berkomitmen utk terus nulis (yes waktu cuma 24 jam!), menghadapi writers blocked, plus ragu "takut gada yg beli" wkwkwk.
My point is, kalo kita sekarang belum bisa ke arah sana, saya pgn ttp ngajak tmn2 bareng2 nulis. Membaca dan menulis. Saya tau sy ga punya kapasitas apa2 untuk memberi semangat tmn2 untuk tetap menulis karena sy bukan penulis, influencer, or anything haha but well saya pribadi lebih senang melihat story instagram atau any media sosial isinya konten bermanfaat daripada update keseharian 😂 kalau kamu? (ya update keseharian asal ga lebay gpp sih).
Yuk pelan2 jadi orang berdaya yg bisa memanfaatkan sumber daya dengan baik. Hooray.
0 notes
hindunrisni · 5 years
Text
😄
Pernah ga merasa di posisi "im enough making friends (or networking). I got all my comfort zones and this is enough"? Atau di posisi "i dont really make friends, it cut all my intention to be a modest person" wkwk.
Bahas yang pertama dulu. Enough making friends. Saya pernah bilang begitu ke teman saya. Alasan saya mungkin sederhana. Saya sudah terlalu nyaman dengan kondisi saya saat itu. Punya keluarga yang selalu ada, pekerjaan dengan sallary lumayan oke dibanding tempat pekerjaan lain yg sejenis plus rekan kerja yg mostly very kind, punya sahabat2 yang menerima saya apa adanya (eh iya kan kalian menerima gue apa adanya? 😂), dan yang paling penting sy sudah punya partner hidup yang bisa jadi sahabat paling maknyus insyaAllah sampai surga.
Awalnya pun berawal dari hal receh. Saya ga pandai bergaul, not an easy going girl, not good at making small talk, mau join acara tetangga aja mikirnya bisa ribuan kali. Getting into new environtment is exhausting for me, even at this age, hehe. Akhirnya saya cenderung untuk terus2an di lingkaran yg sudah saya punya. Toh, I got almost everything I wanted.
Posisi kedua. "I dont really make friends, it cut all my intention to be a modest person". Sebelum saya resign, saya tidak terlalu peduli dengan gaya hidup saya sbg istri. Saya punya gaji sendiri yang dg standar gaya hidup saya saat itu, gaji saya lebih dari cukup untuk saya. Kalau saya mau beli barang x karena 'kabita' liat teman beli itu, saya tinggal beli saja pakai uang sendiri, mau ke salon ga mikir, mau ga masak dan gofood all the time, its on me. Toh uang untuk kebutuhan rumah tangga yg besar2 sudah dicover suami. Dulu sebelum nikah sering bgt ngobrol sama teman2 saya "pokoknya pas nikah w mau kerja aja, biar kalau mau beli apa2 bebas" and yes I felt it how it was. Very free. Paling suami komen "kok mahal amat", "buat apa coba beli itu?", "ngapain emang kesitu?" dan di tahap itu saya masih belum bisa 'menghormati' komen2 beliau.
Sampai saat saya resign dan ga punya penghasilan sendiri, standar gaya hidup saya otomatis berubah dengan standar gaya hidup suami (which quite different) . Bukan berubah karena jumlah penghasilan suami, tp simply menghormati suami dg mengikuti gaya hidupnya karena saya pakai uang suami, untuk apapun yang saya butuh dan yang saya ingin, no matter how much his money is.
Struggling? Yes I am. Apalagi dengan kondisi saat kuliah yang kalau uang habis tinggal minta orang tua (since gaya hidup saya dg org tua ga jauh beda haha). Dengan kondisi saat kerja, my sallary is all mine. Now its different. Sampai suatu waktu saya merenung, why am I struggling? Ada beberapa faktor, salah satunya lingkungan.
Sebagai seseorang yang belum teguh imannya 😢 saya masih sangat merasa lingkungan bisa dengan cepat mempengaruhi saya. Contoh kecil, diajak makan bareng sama teman, saya ga sampai hati kalau harus mengganti tempat makan pilihan teman2 yang (menurut suami saya) mahal untuk ukuran "cuma untuk makan". Waktu masih punya uang sendiri saya jarang mikir untuk join, tp sekarang harus mikir dua kali. Atau contoh lain liat teman jalan2 ke suatu tempat yang kayanya seru, saya kepingin haha. Sekarang, I learn not to be that impulsive. Contoh lain, kalau banyak teman, intensitas kumpul meningkat,misalnya ajakan buka bareng yang merajalela. Akhirnya, udah mengeluarkan uang banyak, ga tarawih lagi, malah ngegosip. So yes, I was in a position that i dont really want to make friends karena biasanya setiap nambah teman baru ada saja hal baru yang ingin dicoba, dilakukan, dibeli, dsb. Hahaha. Kalau punya banyak teman, kok jadi susah buat hidup sederhana. Mikirin tren. Jadi super FOMO, kadang fokus ibadah jadi kececer. Alokasi waktu, tenaga, uang jadi ke hal yang ga seharusnya.
Tapi dua hal tersebut salah. Iya, salah.
We cant be enough making friends. Karena kalau saya merasa cukup dg alasan yang saya bilang di atas, berarti selama ini saya hanya menempatkan orang dalam bingkai transaksi. Padahal hidup tidak sesempit menjalankan hal transaksional. Saya merasa cukup karena saya merasa tidak butuh lagi manfaat lain dari orang lain jadi saya tidak perlu memberi manfaat untuk yang lain pula (which make me arrogant as well). I cant be enough making friends just because I got everything I wanted. Sesungguhnya tugas kita adalah memberi manfaat seluas yang kita mampu, dan itu bisa terlaksana kalau kita peduli dengan sekitar, kalau kita mau bercakap dengan orang2. Mungkin hanya beda cara aja. Dulu ikut2 organisasi sebebas yang kita mau utk berkembang dan menebar manfaat , keluar zona nyaman, yang paling ga nyaman pun dijabanin sampai effort tenaga, waktu, uang keluar semua. Cara sekarang berbeda. More subtle I would say, karena udah ada suami hehe. Bergaulnya (or call it as well as networking) ga boleh gragas, seenaknya sendiri. In the end, saya tetap ga boleh terlalu terbuai dengan kenyamanan saya sekarang. No matter how bad I am at making small talk, how awkward I could be, I cant ignore new people around me 😅
Kedua. I dont really make friends because it will cut my intention of being modest. Ga sepenuhnya salah sih. Mungkin harus diperjelas, make friends ke orang2 yang seperti apa. Kalau kata Kurniawan Gunadi, kalau setiap orang yang kita temui kita anggap sebagai teman, bakal gawat. Repot. Apalagi kalau konteksnya udah seterkenal mas Gun kali ya haha. Anyway, saya tetap setuju dengan beliau. Saya ingin mencoba membuat definisi baru akan teman. Dan yup, saya mau selektif, pilih pilih. Dont ge me wrong, bukan berarti saya ga berbaur. I will mingle. I'll talk to anyone. I'll share with anyone. Hanya saja, saya ingin berbagi waktu saya lebih banyak dengan orang2 yang paham bahwa Islam is about modesty. Hidup sederhana, tapi tetap mampu membangun mental kaya untuk kepentingan ummat. Meaning, buat keperluan pribadi yg ga butuh2 banget harus dipikir dulu untuk beli atau dilakukan, meanwhile untuk investasi akhirat ga perlu hitung2an. Saya yakin ga sedikit orang yang punya mimpi menjadi orang seperti itu. Ga sedikit orang yang sebenarnya hanyalah korban kemewahan karena berawal dari sekedar ikut2an padahal ga sesuai hati nurani. Ga sedikit orang yang sebenarnya belum berusaha maksimal untuk menahan hawa nafsu akan dunia padahal dia mau. Hehe.
Di zaman di mana lingkungan kita sudah jarang menawarkan kesederhanaan, artinya kita sendiri yang harus berjuang sepandai mungkin dalam menempatkan diri, kan? So lets make our most appropriate environment, shall we?
1 note · View note
hindunrisni · 5 years
Text
Gawat
Gawat. Gue mulai mencintai being at home wkwk. Rasanya fulfilling bgt liat rumah rapi, masak banyak dan enak, cucian rajin disetrika ga numpuk kaya biasanya, bisa ikut kajian2 atau kelas pengembangan kapanpun gue mau, dan the most fulfilling thing adalah bisa jadi family girl yg memprioritaskan keluarga di atas apapun karena gada buzzer kerjaan yg menuh2in otak. Gue terharu :") wkwkwk
To be honest, dibalik fulfillment itu ada rasa khawatir. Khawatir akan ilmu sekolahan yang ga gitu gue pake, khawatir gue kekurangan satu dari tiga amalan yg bakal tetap hidup dikala gue dipanggil nanti. Bahkan dua amalan, krn gue belum punya anak. Ilmu yg udah kita dapat amanah kan ya? :")
But at least I got lots of life learning before jumping to a new challenge. Semoga ku tetap bisa jadi family girl (or woman?) ketika kesibukan2 dunia muncul.
Bener kata suami. Jangan jadikan 'harus S3' dan sbgnya sebagai milestone ketika gue memutuskan untuk jadi akademisi. Milestonenya adalah terus berbagi ilmu, biar manfaat, buat amalan yg akan terus mengalir nanti. Supaya ga pusing dan berakhir jd buzzer baru yg akan ganggu value prioritas yg sdg gue bangun sekarang. Fulfillment yg skrg itu penting tp semoga ga membuat gue lupa sama mimpi awal gue tp semoga rasa fulfilling ini ga hilang saat nanti gue kuliah lagi 😅 aamiin
Semangat!
1 note · View note
hindunrisni · 5 years
Text
🙋
I love my post-resign period. Like, love it too much! The greatest lesson learned so far is learning one grateful expression that I rarely use before. I might write about this later, someday. Never expected that I will be this relieved lol
August still a long way to go. I know I might come to a day when I just bored myself. But life, whatever youre through, will involve boring situation, right. So enjoy!
0 notes
hindunrisni · 5 years
Text
Marriage Life is Scary, isnt it?
Sebelum memutuskan untuk menikah, sering banget denger kata2
"jodoh dan pekerjaan itu akan terus menemani kita seumur hidup, jd harus dipikirkan matang2"
"kalo udh nikah, kita harus bisa kompromi sama mimpi kita. Krn hidup bukan sendiri lg, tp berdua. Kita harus bisa memodifikasi mimpi atau menunda mimpi kita"
"kalo udh punya anak, pertimbangan akan semakin banyak"
Dll. Dsb. Yang serupa.
I was overwhelmed by those words to be honest. Itu sedikit banyak membuat frame "menikah" di mata gue jadi cukup menyeramkan. Tapi ketika melihat kehidupan seperti Dewi Nur Aisyah, i was like "why cant I get such life like her? Of course i can." yah, seolah2 alur ikut lpdp-ketemu jodoh di PK atau di univ-nikah-hidup produktif di luar negeri-punya anak-balik untuk ngasi kontribusi atau plot seperti: sebelum berangkat lpdp/or any beasiswa nikah dulu- suami ikut- have a happy life di negeri orang, menjadi sebuah plot that seems very feasible to me. Mungkin saat itu saya sdg halu plus pede krn toh byk temen w yg begitu. Wkwkwk. Nope. It was a dream, its okay.
Okay. Pressure untuk menikah memang ada saat gue sedang kuliah apoteker. Keluarga gue bukan yg menganut "gpp nikah mah kapan aja" sepertinya. They didnt force me, but i know the pressure was there, somehow. I wasnt bothered enough dg candaan2 keluarga ketika mrk blg "kapan nyusul" and such. Yet the pressure seemed real after I told my mom bahwa gue habis menolak tawaran taaruf seorang teman. I failed her. She was hoping that i accepted that proposal. And it seemed more real ketika ada sanak saudara yg bawa ikhwan ke rumah dan berniat menjodohkan gue *emote tepok jidat di whatsapp*. Abis kenalan, gue cuma bs ngurung diri di kamar sambil ngedumel "hell yeah. Am i living a Siti Nurbaya period?" wkwkwk
Usaha keluarga gue bukan itu aja. Ada lah. Ga perlu gue ceritain juga semua di sini wkwk. Intinya, gue mulai berpikir apa memang sudah waktunya gue menikah? Gue mencoba masa bodo, fokus dengan proses LPDP yg sedang gue jalani, walau gue tau ortu setengah hati bgt ngizinin gue LPDP. Sampai akhirnya gue gagal, padahal baru tes online assesment. Rasanya ingin mengumpat tes itu (whos with me?) wkwkwk. After I announced my failure di grup keluarga, muncullah komen2 annoying yg bikin mata gue sipit kek di komik2. "tuh kan, emang disuru nikah dulu" my sister said. Okey. Well.
Gue mikir. Coba beasiswa lain apa gimana. Cari2 beasiswa lain somehow ga pede buat ikut. Sampai kk gue blg ada dua ikhwan yg lagi cari pendamping, -kk gue lebih serius dr yg biasanya- "mau yang mana?" beliau menawarkan gue. Mau yg mana? Mau yg mana? Mau yg mana? Menggema. Keluar dari gendang telinga, memantul kembali ke hati. Apa dah.
Dari keseriusan kk gue dan ortu yg makin menjadi2, gue mulai menilai diri gue, menilai tujuan gue, duh jangan sampai gue menikah hanya karena pressure dr keluarga. Jgn sampai gue nikah hanya karena tmn2 w udah nikah. Jgn sampe gue nikah karena kecewa dg lpdp. *tepok jidat*. Please Ni, never give yourself a shallow reason for a very sacral momentum in life! Kata risni kepada risni saat itu. Diucapkan berkali2.
In the end. Jawaban itu ada pada langit. Istikharah. Dari berdoa dan perenungan mendalam. The answer is, "go ahead Risni" 😇
Long story short. Proses itu dimulai. Gue percaya, untuk membuat keputusan besar dalam hidup, posisi iman kita harus ada di posisi paling tinggi. Gue ga berhenti2 berdoa, ditambah dengan frame menakutkan akan menikah, doa gue makin kenceng. Hehe.
------------------------
Ya Allah. Nyampe sini dah nulis panjang2, terus gimana ceritanya keapus dan cuma ada sampe sini doang. Adek lelah bang 😭😭😭😭😭
------------------------------
yaudah gue ulangi lagi versi singkatnya. Astagfirullah *inhale exhale
Intinya. Ive never regretted to make the pressure from my family as a start to consider when to get married. A start to consider, not to decide. Karena saat sebelum menikah pun, kita ga hidup sendiri, ya bakti kita pada org tua, jd kompromi hidup ya terhadap org tua (perasaan td gue nulisnya lebih oke dari ini, rip diksi 😭). Mereka udah buat gue bahagia, so they deserve happiness from me. Tp untuk memutuskan, gabisa dengan satu pertimbangan itu aja, niat dan kesiapan diri tentunya poin penting. Tapi, sebagaimana seorang teman blg, perbaikan niat itu adalah pekerjaan sepanjang hidup, kan? 😉
Gue lupa gue bridging ke poin yg bawah ini gmn, pokoknya gitu lah ya, udh males mikir wkwkw pdhl inti tulisan gue yg bawah2 ini😭
Saat menikah, kita hidup dalam ketidakpastian. Modifikasi mimpi itu bs jadi mutlak dilakukan sepanjang masa tergantung kita ketabrak realita yang mana. Saat menikah modifikasi mimpi adalah buah dari kompromi dengan mimpi2 suami. Kemudian berencana begini begitu ketika punya anak, beuh tjakep dah pokoknya, udah nulis mau ngapain tahun berapa, punya anak terus nunda kerja dulu, udh anak umur sekian terus ngapain, ideal bgt rencana idup. Ternyata hidup tak semulus pantat bayi. Ternyata misal harus mendadak pindah rumah, ternyata belum dikasi rezeki anak, ternyata suami harus lanjut kuliah, ternyata ternyata. Banyak "ternyata" yang membuat tabrakan kenyataan seperti puting beliung yang merusak bibit2 yg kita tanam dengan rapi dan ciamik.
Selebihnya, tentang penerimaan. Kalau kata teman suami, kita sendiri yg tau "baju yg kita pakai" udah sesuai dengan diri kita atau belum. Kalau dengan segala mimpi yg kita rancang dan ternyata kita berujung tdk mendapatkan itu, kalau kita fine dengan itu, yaudah, misal ujungnya gue jd ibu rumah tangga dan gue fine dg itu. Yaudah. Tapi kalau kita merasa bersalah dan ga nyaman melakukan sesuatu yg bukan mimpi kita, dan menyesal melihat org lain bs hidup di mimpi kita, artinya kita mendzalimi diri sendiri. Kita sendiri yg tau sampai mana modifikasi mimpi kita berjalan. Sampai mana kita "fine" dengan itu. Dan gue percaya, sebuah penerimaan itu bakal kita dapet kalau kita udah ga penasaran dg usaha kita. Selama kita merasa belum maksimal, mau dapet atau ngga mimpi itu, we wont feel fine. Sebaliknya, kalau udah maksimal dan ternyata ga terkejar, we'll be fine for it 😉
Menikah itu hidup dalam gerbang ketidakpastian yang lebih besar dari fase hidup sebelumnya. Menikah adalah saat dimana kita menjadi seniman yang dituntut jago dalam menabrakan mimpi dengan kenyataan menjadi sebuah kompromi yang layak dipertaruhkan. Saat dimana kompromi itu diubah menjadi modif mimpi yang layak diperjuangkan. Saat dimana kita mengapresiasi perjuangan dengan keyakinan bahwa Allah akan melimpahi pahala dan rahmatNya. Dan insyaAllah it wont hard kalo perjuangan itu dilakukan sama2 dengan suami yg tulus kita cintai.
Minggu2 setelah menikah, gue wa temen gue "hows life sis?" dia jawab "ternyata menikah ga semenyeramkan yg gue bayangkan, Ris! Wkwkw" dan saat itu, i screamed the same thing to her, "ih samaaa bangeeettt! Hahaha"
One more point. Menikah adalah fase hidup lain untuk belajar mengendalikan ekspektasi.uhuy.
Wallahu'alam
5 notes · View notes
hindunrisni · 5 years
Text
Being Anker (anak kereta)
Berhubung tumblr kembali aktif, sepertinya ini akan menjadi tempat gue berkontemplasi kembali wkwk. Makin ke sini, waktu untuk menulis makin sedikit. Setidaknya menulis di tumblr akan menjadi penghibur gue dari segala keinginan menulis yg tidak terealisasi, walau mungkin akan berujung menjadi tulisan diary terselubung lol
Yups. So im living my kinda new life. I moved to Depok last December. Sebuah keputusan yg cukup menguras otak untuk eventually berani berkata iya ke suami. Gue jadi anker (anak kereta). Yang sebelumnya harus berangkat jam 7 dan tinggal duduk manis 15 menit dibonceng suami, skrg berangkat jam set 6 dg huru hara setelah bangun tidur. Bagusnya, mau gamau gue jd bangun earlier dan bisa shalat malam dulu. Yah beginilah Risni yg msh butuh banyak belajar, krn masih harus dipaksa kondisi buat bs jd bener. Alhamdulillah alhamdulillah.
Kondisi lain yg membuat gue bersyukur, dengan gue naik kereta gue punya waktu buat baca buku pas pulangnya (pas berangkat sih bobok d kereta). Baca buku di kereta. Yass. Entah kenapa gue selalu risih kalo liat di kereta, most of us pegang hp gitu kan, kalo diliat lama2, gue agak merinding how people so enggage to their gadget. Kalo gue ikut main hp gue makin merinding, yaudah gue baca buku aja wkkwkw. Walau ya di tgh2 baca w buka hp juga klo udh mulai ngantuk.
Karena udah kadung ngomongin anker, gue pgn cerita pengalaman gue being anker baru. Maap norak. Wkwk. Sebelumnya gue minta simulasi dulu ke suami, gue pgn ngerasain dulu naik kereta Depok-Jakarta akan se"hunger games" apa, jdlah kami menyewa apartemen sehari dan berangkat subuh buat liat kondisi stasiun di jam2 tertentu. Haha org2 ketawa saat gue blg gue simulasi :( My parents too. W lebay sih emang wkwkwk. Well. Anyway.
Kami duduk di stasiun, memperhatikan sekitar. Yah rasanya seru. Melihat bagaimana kaki2 melangkah cepat, berlari, dan mendorong2 untuk sebuah tempat duduk. Satu tempat yang akan menjadi tempat tidur, pengganti bangun lebih pagi. Satu tempat yg menjadi tempat istirahat, pengganti lelahnya memasak di pagi buta, demi sebuah mangkuk panas untuk keluarga. Satu tempat yg menjadi jeda untuk otot kaki yang berontak, karena setiap hari ia berdiri dan berjalan cepat dikejar waktu. Apalagi bagi seseorang yang kerjanya lebih banyak berdiri (ea curhat).
Pertama kali hunger games saat itu, gue teriak "astagfirullah!", saat pintu kereta mendekat dan org2 mulai sikut kanan kiri. Gue berhasil duduk.
Kedua kalinya gue masih teriak istigfar wkwk. Then gue rebutan tempat duduk sama seorang perempuan yang sedetik lebih lambat dari gue. That time gue ngerasa bersalaaaaah banget, apalagi pas doi memicingkan matanya ke gue. Gue amat tertohok. Baiklah, gue akan menganggap doi anak kereta baru dan gue akan sok cool berpura2 jd anker lama, gue akan menganggap doi masih norak gatau kalo being anker pasti rebutan gini. Wkwkwk apa banget gue.
Ketiga kalinya, gue tetap belum terbiasa. Gue nyempil gitu kan kaya upil, sebelah gue gede2. Saat masuk kereta dorong2an, gue ngomel "ga usah dorong2 kenapa siihh" wkwkk. Herannya sebelah gue cewek, minta maaf saat adegan dorong2an itu. "maaf ya mba", terasa ada getaran merasa bersalah dari suara doi. Sepertinya doi pun hanya korban yang ga sengaja mendorong gue karena didorong sama sebelahnya. Gue berhasil dpt tempat duduk. Tapi di bangku prioritas. Okey disini gue dilema, tidur apa ga ya. Kalau gue tidur nanti gue gatau kalo ada ibu hamil atau org tua yg butuh tempat duduk, apalagi kalo mereka yg in needs ini pemalu, gamau minta tempat duduk. Tapi akhirnya gue memilih tidur, yah nanti juga ada petugas kereta yg bangunin kalo ada yg butuh, ye kan.
Sampai sekarang jujur belum terbiasa. Masih bete didorong2, masih ada rasa bersalah kalo kedapetan tempat duduk tp ada yg ngga dapet, tp ga rela juga ngasih krn gue juga capek. Wkwkwk lebay. Waktu jadi anak busway ga segininya karena perjalanan gue saat itu cuma 3 km away.
Saat pulang kerja, gue lebih sering berdiri, soalnya bukan berangkat dari stasiun pertama. Its okay, kalo nempel sama pintu gue masih bisa baca buku, tp klo udah menggelantung yaudah pasrah. Ini yg buat capek. Abis kerja seharian berdiri, terus berdiri juga di kereta, pulang2 lgsg beberes rumah, tb2 udah waktunya bobok, tiba2 udh besok lagi. Tanpa jeda. Yah nanti juga terbiasa. Gpp lah mendokumentasikan kenorakan gue being anker sekarang. Biar bs dibaca lagi in the future buat diketawain.
Overall dibalik gemesnya gue sama kondisi being anker, itu tadi, ada hal2 yg gue syukuri. Gue bisa bangun untuk shalat malam dan bisa baca buku. Yg pasti, penghilang rasa lelah itu adalah melihat suami gue bisa dengan bebasnya bolak balik sana sini untuk urusan pekerjaannya tanpa khawatir meninggalkan gue cukup lama krn rumah dekat dg kantor. Melihat suami bs lebih produktif di rumah karena ga capek bawa motor di jalan. Melihat suami bisa birrulwalidain ke nenek lebih sering krn dekat dg rumah nenek. Ahhh kalau kita fokus dg hal2 yg disyukuri, hidup kerasa indah banget. Apalagi gue sadar banget, baanyaaaaak org yg hidupnya ga lebih baik dari gue. Buat apa mengeluh, then?
Makasih banyak untuk suamiku yang selalu bisa mengerti kelelahan istrinya. Bantu nyuci, masak, beberes, mijitin, belanja, ga menuntut apapun, aaahh semua jd kerasa lebih ringan. Yuk ah pelan2, walau sekarang kita masih fokus beradaptasi dg peran baru di rumah, semoga ke depannya kita bs lebih produktif untuk menghasilkan karya yg lebih bermanfaat buat ummat. Ga usah buru2. Bismillah!
2 notes · View notes
hindunrisni · 6 years
Text
Serahkan semuanya ke Allah. Keyakinan, keraguan, jadi, batal, sukses, gagal, semuanya serahkan ke Allah. Serahkan.
3 notes · View notes
hindunrisni · 6 years
Text
Effort, called sabr
Been 2 months struggling specifically to not doing 2 bad habits I have had for years (my intention to avoid the habits have always ended for 2 weeks or so). Its creepy if I made such analogy like withdrawal symptom over drugs lol. But to me, having bad habits for years is pretty much the same like addict to something bad.
I have this scene on my head of dopamin aggresively running for receptor in my brain, trying to give pleasure of doing something bad, whenever I remember my promise to not doing it then the dopamin suddenly vanish by a very cool supportive enzyme hence I got so sad wkwkk. Idk if it was scientifically true 😂😂 but what I really want to say is yes, it is suffering to get our bad habits go away. Instead of creating happiness that we expect to have by avoiding the bad habits, we get sad. Its the same thing like in a medical term, withdrawal symptom. The very horrible feeling when getting out of addiction. But I'm sure it will pay off. Maybe we only need a little more effort to finally get the happiness weve been expecting. The effort is called sabr 😂
Its different with delaying gratification, but the pleasure we will have by the time we overcome our "addiction of bad habits", im sure, it is as priceless as a result of delaying gratification uhuy
1 note · View note
hindunrisni · 6 years
Text
Mengambil jeda se.je.nak
Semakin besar pencapaian, semakin sulit menjaga niat. Itulah mengapa sesekali kita perlu mengambil jeda sejenak, menikmati waktu sendiri, mengoreksi kembali niat-niat yang mulai bengkok dan hilang arah. Pertanyaannya, adakah kita peduli kepada sesuatu sehalus niat?
— Taufik Aulia
2K notes · View notes