Text
I.
Setiap lihat kamu dan tulisan sekali dudukmu aku berpikir bisa saja aku temani dan buat secangkir kopi untuk penat di meja panjangmu
Setiap lihat kamu dan rokok di jarimu aku berpikir bisa saja aku bakar habis duniamu, dan duniaku lalu kita buat rumah baru dengan bentuk aneh-aneh terserah isi kepalamu
Setiap aku lihat kamu dan duniamu aku berpikir mungkin saja aku ada di dalamnya, sedang apapun juga, apapun juga rupaku di kepalamu entah jadi apa aku
Setiap aku lihat kamu, setiap yang kulihat selalu ada kamu
...
aku suka melihat apapun yang ada kamu, pada cuaca apapun di Kotamu, pada warna apa saja yang kamu punya, pada masa-masa yang tidak kutahu, atau apapun juga yang bukan kuasaku atau kuasamu, apa saja, seluruhnya
aku suka aku yang melihatmu sampai lupa melihat aku yang hanya melihatmu dari dalam kepalaku lalu jadi lupa siapa aku
aku jadi tidak suka aku lagi.
0 notes
Text
Hari ini kembali ke Planetarium (meskipun versi mininya) setelah tahun-tahun yg berlalu, karena gedung barunya belum juga selesai dibenahi. Terima kasih ya sudah ajak aku ke sini, kanak-kanak dulu sekali ketika gedung lamanya masih megah, semegah sehatmu, seramai tawamu.
Hari ini tigapuluh agustus duaribuduapuluhtiga. Bulan sedang dekat-dekatnya dengan Bumi. Semoga (entah) berapapun juta tahun cahaya jarak kita, km selalu ingat untuk pulang ke mimpiku.
Selamat hari lahir pap. Kesayanganku, selamanya.



0 notes
Text
Yang gelap ingin kau peluk hingga berdarah-darah. Hingar bingarnya kau telan, seluruh, sekujurnya. Kesedihan layaknya malam-malam penuh suara yang enggan meliburkan dirinya barang sejenak. Kata siapa ada aku; yang terkapar, mengejar, meraih. Tidak pula kau buka pintu kereta supaya bisa kuraih semua tangan-tanganmu. Tidak juga kau bisukan ngengat yang berputar di bising kepalamu (atau kepalaku).
Aku hampir tidak mengenalmu. Tapi pada kota yang pekat debu pabrik itu dan sejuk gugur daun di beranda rumahmu. Mereka berbisik dengan lantang perihal kenangan yang melekap tubuh.
Aku hampir tidak mengenalmu. Suara-suara dan tanda tanya bergema di sepanjang perjalanan menyisir Kotamu. Tigaratustujuhpuluhsatu kilometer jauhnya langit kita. Pagi yang melelapkan gelap dan membangunkan harapan pada rupiah demi rupiah, demi ibu yang kelaparan dan ayah yang kehilangan, demi anak-anak yang mengais cinta pada cinta lainnya, yang mencari kawan untuk ruang kosong dengan tembok berdebu.
Kaukah itu?
Aku tidak bisa mengenalmu.

0 notes
Text
Ibumu seorang guru di Kota seberang, penenang resahmu. Ibuku di rumah saja. Kadang panas, lebih seringnya keras kepala.
Ayahmu bukan pemabuk sepertimu, tapi saat penat, nikotin duakomadua miligram adalah pahlawannya. Ayahku tidak tahu rasanya, ia peminum teh tawar panas. Penyelamatku, meski ia tidak terselamatkan.
Kakakmu bajingan yang membunuh keluarganya, sedemikian rupa mewariskan salahnya padamu. Adikku baru dewasa, memusingkan yang ada.
Kita berangan-angan hidup dengan berbeda. Rumah pinggir desa, bangunan sederhana berkayu dingin dengan sedikit sekat karena ingin leluasa bercinta, melekapkan tubuh pada cemara di depan kamar kita. Kita berangan-angan merancang dunia seperti di angkasa, mendengar isi kepala yang ajaib, merawat hidup yang membosankan, tenggelam dalam kekacauan, memaafkan, menerima, kehilangan, mencari lagi, hilang lagi, terus mengulang sampai kita tiba di Neraka. Kita berangan-angan hidup yang mulia. Persetan loncat karir ke sana ke mari, pilih saja mimpi sebebas langit. Pergi kerja untuk bersenang-senang, pergi pulang untuk ketenangan.
Kita berangan-angan hidup, kita berangan-angan.
Terus, terus ulangi sampai kita lupa siapa ibumu atau ibuku, siapa ayahmu atau ayahku, siapa mereka yg hancur hidupnya. Terus saja ulangi sampai lupa kita siapa.

0 notes
Text
Kukira menjadi dewasa artinya menghapus hal-hal tidak masuk akal di antara kita. Seharusnya kita memesan kopi, bicara soal politik, dan rencana masa depan duapuluhempat jam setiap harinya. Melakukan hal-hal membosankan, menangisi penyakit tua yang muncul, atau berpelukan saja sampai Neraka tiba di pelupuk mata. Tapi ternyata hal-hal tidak masuk akal malah muncul di tubuh kita yang tua dan umur yang kita lupakan. Satu, dua, sepuluh, seribu dalam duapuluhempat jam setiap harinya. Bertumbuh, menumpuk, pecah di kepala.
Tidak masuk akal bukan?
Lalu kita tidak lagi bicara soal politik dan kawan-kawannya, malah meracau lelucon soal siapa publik figur yang memiliki pom bensin di dunia kita. Lain hari kita menertawakan kawan lama yang mengaku dirasuki arwah tetuanya, atau soal betapa bodohnya aku membaca peta karena salah memilih lajur mobil dengan motor, kita jadi tersesat di jalan tikus, kita jadi tersesat di perjalanan masa depan.
Hal-hal tidak masuk akal lainnya muncul ketika akhir tahun lalu kamu memutuskan hilang dan bicara hal-hal bodoh, sedang aku sibuk mencari di mana letak salahnya. Kita jadi menggila dan habis kata. Berulang tidak sampai seratus hari, kita binasa. Mereka bilang aku gila dan keras kepala. Kalau semua hanya halusinasi dan aku yg bersikeras tinggal. Mereka bilang kamu sakit jiwa dan bahaya lainnya. Menawarkan bentuk patah hati lainnya, menghanguskan rencana-rencana dalam kepala. Jadi siapa yang menggilai siapa? Atau siapa yang lebih dulu sakit jiwa?
Kita bertanya hal-hal tidak masuk akal lainnya pada tembok stasiun, pada batu di halaman rumah, pada panci, kursi, lampu, karcis parkir, lobby hotel. Pada kota-kota yang kita jumpai di tengah perjalanan, tp tidak menemukan apa yang seharusnya selalu. Memang benar kita sepenuhnya gila, memang kita seharusnya selesai saja.
Pada akhirnya, menjadi dewasa adalah menelan seutuh-utuhnya kecemasan tidak masuk akal dan malam penuh kesunyian– mimpi yg gagal kita selamatkan.
4 notes
·
View notes
Text





"Nanti aku kesini lagi. Tunggu ya. Jgn cari yg lain lagi ya."
....
"Maafin aku untuk semuanya. Aku gagal untuk bertanggung jawab atas perasaan apapun."
3 notes
·
View notes
Text

Halo?
Besok hari Jumat, jangan lupa pesan tiket pesawat untuk malam hari pulang kantor. Waktu kerjaku habis pukul 5, waktu kerjamu juga bukan? setelahnya kujemput di bandara ya. Seperti biasa.
Kali ini Kotamu jauh sekali, berapa ribu kilometer? Berapa lama aku harus menunggu? Selamanya? Tidak terlalu lama kalau waktu berhenti di situ-situ saja, masih bisa ku raih, masih selalu ku tunggu. Waktuku banyak, bos ku dinas ke luar kota, aku bisa minta cuti banyak-banyak sampai kamu pulang.
Di bandara aku bisa makan macam-macam, ada kue sus kesukaanmu, ada buffet yang harganya tidak masuk akal, atau aku juga bisa minum kopi sachet murah di kantin, semuanya akan ku beli, tapi kalau membeli tokonya aku tidak mau, uangku hanya akan kupakai membeli waktu empat tahun sebelum hari ini. Jadi tenang saja, aku siap menunggu pesawat itu.
Jangan khawatir aku bosan lalu kesal karena lama menunggu. Sepanjang hidup sudah kuhabiskan rasa kesalku untuk lingkaran gila dalam hidup kita. Tidak apa-apa, bukan apa-apa.
Sekarang pukul sepuluh lewat tigapuluh malam. Kalau bisa kuminta segala sihir atau doa, kalau bisa kuminta segala yang mustahil. Aku punya lebih dari seribu tahun untuk menunggu pesawatmu. Kalau pun tidak sampai seribu, akan ku pesan tiket pesawat menuju Kotamu.
Sementara ini, pulang dulu ya?
–6Juli, tahun keempat.
0 notes
Text
sebelastahun yang lalu suhunya dingin,
kurang dari sepuluh derajat
ia memakai kaus hitam dan senyum setipis garis
matanya dingin, mungkin minus satu derajat
sebelas tahun kemudian,
kudengar ia menghangat
duapuluhtujuh derajat, dan senyum selebar tokoh kartun yang aku suka
tawanya makin jenaka
ia masih mengenakan kaus hitam dengan musik aneh di punggungnya dan bercerita teori-teori yang tidak pernah kumengerti
-ia menciptakan ruang baru setelah kehilangan-kehilangan
tahun-tahun setelahnya, suhunya naik-turun tergantung cuaca di kepalanya
kadang ia menyenangkan, kadang ia menyebalkan
sering kali ia menuliskan dongeng dan sajak murahan yang pernah hadir dalam kepala gadis sebelastahun yang lalu
sering pula ia menghilang dengan pilihan-pilihannya yang rumit
***
tiga hari setelah hari ini, genap duapuluhenamtahun usianya
jarak rupanya jadi masalah serius selain hati yang memang tidak sepenuhnya tulus
diam menjadi bahasa yang ia pilih untuk menyuarakan kesendiriannya
gadis itu perlu merelakan bahwa dongeng buatannya tidak lulus seleksi penerbit
dunia di luar mimpi ternyata lebih aneh dari buatannya
editor menyela kisahnya, memintanya bangun dan menulis ulang.
"Revisi!".
Titik.
19.03.23
0 notes
Text
Di kotanya, ada badai
Ibunya menangis melihat ayahnya hilang akal.
Ia begitu jumawa menghadapinya sendirian
Membawa payung, mengencangkan sabuk pengaman yang nyaris putus
Mana mungkin selamat diterjangnya?
Di kotanya, ada badai
Angin kencang, tanah longsor, bencana demi bencana
Rumahnya hancur, permatanya tertimbun, hatinya pergi
Ia menolak aparat membantunya mencari apa-apa yang hilang
Jumawa menghadapinya sendirian
Di kotanya, badai berhari-hari
Ibunya lalu pingsan, ayahnya tidak ditemukan
Selang sehari, ia mulai demam
Kurang dari sepuluhderajat,
perlahan ia membeku, hipotermia
Dia masih keras kepala, dan aku disuruhnya diam
Alat tempurnya berkarat, ia tak akan selamat
Yang ia usahakan adalah egonya,
ia masih belum menang
p.i
11.2022
0 notes