ineedmyspoon
ineedmyspoon
Path of Light
19 posts
Seorang penyendiri yang terlalu lama berteduh di bayang-bayang semu
Don't wanna be here? Send us removal request.
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Terus Berjalan
Tumblr media
(”Menua” - photo by me)
Anak kecil yang selalu bermain di atas gunung pasir itu sudah tidak pernah terlihat. Waktu berlalu, dia tidak lagi mengoleksi mainan. Tidak menyukai teh hangat dengan tiga sendok gula. Tidak menangis dengan suara kencang hingga mengganggu tetangga, berharap dengan melakukan hal demikian, orang-orang mengetahui bahwa dirinya sedang dilanda kesedihan yang teramat dalam. Tidak juga berteriak ketika ada orang yang menyakitinya. Dan tidak merasa menjadi anak kecil paling berkuasa saat bermain dengan teman-temannya.
Sama seperti manusia lain, anak itu telah tumbuh dewasa. Dia mulai berpikir apa yang sebenarnya dia lakukan di masa kecil hanya membuang-buang tenaga. Untuk itulah dia lebih sering berdiam diri. Membiarkan pikiran-pikiran aneh menghantui alam sadarnya hingga letupan ketakutan mulai terasa.
Semakin bertumbuh, dia tidak merasa menjadi manusia. Lebih tepatnya dia merutuki nasib karena terpilih menjadi manusia. 
Mengapa dia tidak menjadi angin yang tidak mempunyai wujud? 
Mengapa dia tidak menjadi air yang terasa menyejukkan dan bermanfaat bagi banyak makhluk? 
Mengapa dia tidak menjadi api yang dapat menyakiti? 
Dan mengapa dia tidak menjadi tanah yang selalu diinjak dengan seenaknya oleh manusia?
Waktu berlalu dengan kejam. Rambut hitam itu berubah menjadi putih. Kulit yang kencang akan mengendur. Penglihatan mengabur. Pendengaran menghilang. Kaki dan tangan bisa saja tidak berfungsi. Dia melihat orang-orang di sekitarnya mulai mengalami perubahan itu. Beberapa di antaranya sudah tiada. Namun tidak ada yang dapat dia lakukan selain menerimanya. Akan tiba saat di mana dia mengalami hal serupa. Dia hanya perlu menunggu. Atau mungkin membiarkan waktu menyusulnya terlebih dahulu sebelum dia menyadarinya.
Suara tawa tanpa dosa itu tidak terdengar lagi. Wajah polos yang hanya mengenal untuk tersenyum perlahan tergantikan dengan wajah suram yang hanya merasakan kekejaman dunia. Orang-orang yang dulu sering bermain bersamanya perlahan pergi. Mengurusi kehidupannya masing-masing. Dia tidak merasakannya hingga pada akhirnya dia sadar, teman bermainnya berkurang.
Perempuan yang memberinya novel pertama dan komik kini tumbuh menjadi seorang wanita dewasa. Dia ingat, saat kecil suka melihat perempuan itu asik memainkan permainan di komputer. Meskipun dia tidak diajak bermain, dia sudah bahagia melihat permainan penuh warna yang tidak dapat disentuh.
Anak laki-laki yang dulu sering bertualang bersamanya juga sudah tumbuh dewasa menjadi pria yang tidak dikenalinya lagi. Termasuk adik laki-laki itu. Keduanya adalah sosok yang mengajarinya permainan komputer.
Perempuan yang dulu menjadi teman satu-satunya di kampung halaman tidak luput dari perubahan. Dia juga ingat pernah membeli dompet yang serupa meski berbeda pola dan warna bersama ibu masing-masing. Dan juga kalung yang dibeli di suatu tempat yang jauh dari rumahnya. Dia mendengar kabar, jika perempuan itu akan menikah. Sungguh kabar yang tidak terduga.
Dan juga satu perempuan lagi. Temannya sejak kecil. Perempuan itu lebih tua satu tahun darinya. Mereka sering bermain bersama. Suatu hari di saat libur mengaji, mereka memutuskan bermain di luar. Menganggap jika pertemuan itu adalah perkemahan. Namun sebenarnya tidak ada yang mereka lakukan selain mencoreti kertas. Hingga keesokan harinya mereka terjatuh sakit tanpa alasan jelas. Kini perempuan itu juga sudah memiliki kehidupannya tersendiri.
Suatu hari mereka semua menjauh. Ketika bertemu ada kecanggungan yang tidak dapat didefinisikan.
Mengapa ini dapat terjadi? Bukankah dulu kami sering bercakap dan bermain bersama?
Dia ingat dengan permen kopi. Permen itu terbuat dari kopi dan gula yang dicampur di atas sendok lalu dicairkan di atas lilin. Setelah itu, cairan kopi dan gula yang tercampur akan diletakkan di atas kertas. Menunggunya hingga mengering lalu memakannya. Meskipun lebih sering gagal dan terasa pahit, dia tidak pernah tidak menyukainya.
Biskuit putih yang tidak dia ingat lagi nama produknya. Biskuit yang diberikan oleh teman masa kecilnya di mobil jemputan.
“Stroberi.”
Itu adalah nama panggilan masa kecilnya. Dan entah mengapa apabila dia mendengar panggilan tersebut, dia selalu marah lalu berlari mengejar siapapun yang memanggilnya dengan nama tersebut.
Permainan menyusun batu saat menunggu giliran mengaji. Jika dia mengingat permainan itu, dia teringat dengan seorang anak perempuan yang lebih tua 3 tahun darinya. Anak itu ada persis di hadapannya saat bermain menyusun batu. Dia pasti akan melupakan hari itu jika anak tersebut masih hidup.
Dulu dia selalu muntah ketika diajak pergi menggunakan bus. Dia selalu duduk di kursi depan, tetapi dia takut dengan supir bus, sehingga merengek pada ibunya agar pindah ke belakang. Namun pilihan itu tidak tepat karena dia membuat seorang pria menangis. Pria itu menangis melihat tempat duduknya direbut olehnya. Hingga akhirnya dia menerima ajakan ibunya untuk tetap duduk di kursi depan.
Banyak hal yang telah dia alami. Sejak sekolah dasar dia memang tidak memiliki banyak teman. Ketika dia bertemu seorang wanita yang kini menjadi temannya, dia bahagia. Meskipun kini, dia dan teman dekatnya itu harus menerima kenyataan bahwa ‘pertemanan’ mungkin bukan istilah yang tepat. Karena pada akhirnya sama seperti orang-orang terdekatnya saat masih kecil, akan tiba saatnya semua perlahan menjauh. 
Sama halnya dengan cinta pertamanya. Orang itu juga pergi. Menapaki alur masing-masing. Dia tidak pernah berani mengungkapkan apa yang dia rasakan kepada orang itu. Dia sudah cukup puas menyukai seseorang tanpa perlu terbalaskan.
Dia tidak lagi melihat senyuman murni dari orang lain. Tawa yang dia dengar terkesan dipaksakan. Orang-orang yang dia temui lebih suka membentuk kelompok yang sulit dia masuki. Kehidupan terasa lebih memuakkan dari sebelumnya. Apakah dia dapat bertahan?
Waktu terus bergerak. 
Tidak pernah menunggu. 
Manusia yang menunggu dirinya untuk merasakan kekejaman dunia. 
Ada banyak hal yang dilalui manusia. 
Namun semua itu hanya dilalui, tidak untuk diulang. 
Pilihan manusia hanyalah maju. 
Tidak ada mundur. 
Luka akan tetap menjadi luka. 
Istilah kebahagiaan absolut hanyalah tipuan semata.
Bahagia tidak berlangsung selamanya, bisa saja digantikan oleh kesedihan.
Kontradiksi akan terus terjadi. 
Mengapa saat manusia dilahirkan banyak yang berbahagia, tetapi begitu manusia itu tumbuh besar ada perasaan yang dinamakan ‘benci’, ‘iri’, ataupun ‘dengki’?
Semua berlalu dan tiba-tiba saja waktu manusia berakhir. 
Di saat itu, bukan lagi air mata bahagia, tetapi air mata pertanda kesedihan.
(Lampung Selatan, 8 Desember 2021)
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Untuk Joe
Tumblr media
(Sumber : Pixabay)
Joe, apa ada hal yang begitu kau takuti?
Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan seseorang yang menerima keberadaanku. Kebanyakan orang-orang selalu menatapku dengan penuh belas kasih. Mungkin mereka menganggap bagian dari diriku adalah suatu kekurangan yang perlu dikasihani. Beberapa dari mereka memilih untuk menjauh dan menganggap diriku tidak ada daripada harus berteman denganku. Sejujurnya hal itu membuatku sedih. Rasanya ingin sekali menangis, tetapi orang-orang seperti itu selalu muncul seolah tidak pernah habis. Jika demikian, apakah layak untuk membuang air mata secara cuma-cuma? Adakah cara lain untuk menghibur diri dari pedihnya kenyataan yang dilakukan orang-orang selain menangis tersedu-sedu? Terkadang menahan diri untuk tidak menangis justu meninggalkan jejak di hati. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku selalu berpikir jejak yang kumaksud mirip sekali dengan rasa sakit. Namun mengapa aku tidak terluka? Bagaimana mungkin aku kesakitan jika diriku sendiri bahkan tidak mengeluarkan darah?  Aneh, bukan?
Aku sudah melihat bagaimana orang-orang bertindak terhadapku. Itu membuatku takut akan penolakan. Ada kalanya aku terpaksa melakukan apa yang tidak ingin kulakukan. Semua agar aku tidak lagi ditolak oleh mereka. Membeli makanan untuk mereka di kantin sendirian, mengerjakan tugas kimia ataupun fisika, memberikan mereka uang begitu mereka memintanya. Aku tahu mereka mengatakan diriku sebagai perempuan tolol yang mudah sekali dimanipulasi. Mereka akan tertawa begitu melihatku berbicara sendiri. Rasanya memalukan. Aku memang wanita bodoh.
Aku takut orang-orang penuh belas kasih padaku bertambah banyak. Aku takut orang-orang yang menatapku dengan penuh tanda tanya lalu menyebarkan rumor tidak jelas mengenai diriku. Aku takut pada orang-orang yang diam-diam menertawakanku. Dan aku takut, aku tidak bisa mengontrol diri lalu tetap bertingkah aneh.
Kau tahu, Joe, mengapa aku menyukai lagu I am A Thousand Winds?
Aku mengetahui lagu itu dari Hun, pria penjaga warung dekat rumah. Walaupun dia mengenalkan diri sebagai Hun, aku yakin itu bukan nama aslinya. Aku ingat dia termenung beberapa saat sebelum akhirnya menyebut nama Hun. Saat kecil aku sering bermain dengan Hun. Dia baik, sering melontarkan lelucon yang berhasil membuatku tertawa, mengenalkanku pada musik, membuatkan mainan sederhana dari kayu, memperbolehkanku mengambil jajanan, dan dia menjadi temanku tanpa memedulikan fakta mengenai diriku yang aneh. Membicarakan Hun membuatku merindukannya. Dia sudah meninggal sekarang.
Sebenarnya aku tidak begitu mengenalnya. Maksudku tidak ada yang kuketahui tentang dirinya selain bahwa dia adalah penjaga warung. Aku tidak tahu dia sudah menikah atau belum, aku juga tidak tahu apakah dia sudah memiliki anak, dan aku tidak tahu apakah dia benar-benar berasal dari tempatku tinggal atau bukan.
Hun suka bercerita. Aku ingat tentang wanita penjaga rumah makan yang diceritakan Hun. Aku juga ingat mengenai kisah anak yang meninggal karena tenggelam. Suatu hari Hun bercerita jika wanita penjaga rumah makan itu sudah tiada. Begitu aku menanyakan apa maksud dari wanita penjaga rumah makan itu telah tiada, Hun tidak menjawab. Dia hanya menunduk tanpa berbicara. Sejak hari itu entah mengapa Hun berubah. Dia tidak lagi melontarkan lelucon ataupun membuatkanku mainan, tetapi dia masih memperbolehkanku mengambil jajanan di warungnya. Ketika kami bertemu, Hun lebih banyak diam. Saat dia berbicara, ucapannya tidak pernah lepas dari, “Apa yang akan kau lakukan jika aku telah tiada?” atau, “Apakah kau takut akan kematian?”
Tentu saja topik itu terlalu berat bagiku yang baru saja berusia 12 tahun. Namun Hun tidak pernah memintaku untuk menjawab segala pertanyaannya. Dia sudah cukup puas meskipun aku hanya mendengarkannya berbicara. Saat itulah Hun sering memutar lagu I am A Thousand Winds.  Pada awalnya aku tidak mengerti apa maksud lagu itu, tapi aku yakin I am A Thousand Winds memiliki arti yang bagus karena Hun menyukainya.
Hun pernah berkata, “Kau masih ingat dengan wanita penjaga rumah makan dan anak yang tenggelam? Mereka sudah tiada, tapi bukan berarti menghilang. Mereka berubah menjadi angin yang berembus. Selalu ada untuk menemani orang-orang.”
Tidak lama kemudian Hun meninggal. Aku tersentak, tidak mempercayai temanku sudah meninggal. Pada hari kematian Hun, aku memberontak, berteriak-teriak, tidak terima jika Hun telah tiada. Hampir satu minggu aku menangisi kepergian Hun dan itu berhasil membuat kedua orang tua dan orang-orang rumah jengkel padaku. Mereka bertanya-tanya mengapa aku dapat menangisi Hun—seseorang yang bukan bagian dari keluarga—selama berhari-hari.
Mereka tidak mengerti. Bagiku Hun adalah teman baikku. Hanya dia yang tidak menatapku dengan penuh belas kasih atau juga menertawakanku saat aku berbicara sendiri. Dia tidak mengatakan bahwa aku adalah anak aneh. Dia berbeda dan untuk itulah aku sedih saat kehilangan sosoknya.
Hun terlihat masih muda dan nampak sehat. Bagaimana mungkin seseorang yang terlihat sehat dan muda dapat meninggal? Sampai hari ini aku tidak pernah mengetahui apa penyebab Hun meninggal.
Namun tiba-tiba saja aku teringat lagu I am A Thousand Winds. Berkali-kali aku memutarnya dan mulai mengerti maksud dari lagu tersebut. Entah mengapa aku merasa Hun menyanyikannya langsung untukku.
Please do not stand at my grave and cry
I am not there, I did not die
I am the swift rush of birds in flight
I am the stars that shine at night
I am the thousand winds
I am the thousand winds that blow
Melalui lagu itu, Hun berkata jika dia tidak kemana-mana. Dia adalah bintang yang selalu menemani di kala gelap. Dia selalu ada di dekatku karena dia adalah angin yang berembus. Aku baru menyadari saat Hun berkata bahwa wanita penjaga rumah makan dan anak yang tenggelam itu tidak menghilang ternyata dia sedang membicarakan lagu I am A Thousand Winds.
Sekarang aku berpikir apa mungkin sebenarnya Hun sudah menikah? Wanita penjaga rumah makan yang sering diceritakannya adalah istrinya. Lalu anak yang tenggelam adalah anaknya. Itu bisa saja kan, Joe? Mungkin karena keduanya telah meninggal, Hun menghibur diri dengan mendengarkan I am A Thousand Winds, meyakinkan diri bahwa dua orang yang disayanginya tidak benar-benar meninggalkannya. Mereka berdua tetap menemaninya, hingga Hun menyusulnya. Aku yang melihat kepergian Hun, merasa akhir kehidupan Hun bukan akhir yang bahagia. Setidaknya bagiku. Semua karena dia tiba-tiba meninggalkanku tanpa izin. Namun aku yakin mereka bertiga sudah berkumpul kembali. Sama seperti sebelum Hun pindah lalu menjadi penjaga warung di dekat rumahku. Mungkin Hun dan keluarga kecilnya sekarang sedang bermain di padang rumput yang dipenuhi bunga warna-warni. Tertawa. Perasaan sedih yang dulu pernah menyelimuti Hun akhirnya melebur dalam kegembiraan yang meluap-luap.
Terkadang apa yang kita lihat begitu menyesakkan, ternyata adalah sebuah kebahagiaan bagi orang lain.
Ada yang ingin kutanyakan, Joe.
Di antara kita berdua, siapakah yang lebih dulu meninggal?
Setiap manusia pasti meninggal. Tidak ada yang tahu kapan itu terjadi, tapi aku penasaran di antara kau dan aku, siapakah yang pertama kali meninggal? Aku tahu ini pertanyaan yang lebih baik dihindari. Jujur saja memikirkannya pun aku bergidik. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana diriku meninggal. Aku juga tidak dapat membayangkan bagaimana dirimu meninggal. Apakah karena sakit?Atau kecelakaan? Atau justru menjadi korban kekejaman manusia lain? Rasanya kematian itu adalah hal yang tiba-tiba, bukan?  
Entah mengapa setiap memikirkan kematian, perasaan takut selalu hadir. Sama seperti isian roti yang berada di dalam pelukan adonan tepung. Hal yang tidak dapat terpisahkan. 
Sudah berapa banyak aku melihat kematian? 
Sudah berapa banyak air mata yang kulihat bahkan keluar dari mataku sendiri saat orang-orang telah tiada? 
Apa yang akan terjadi pada mereka yang telah mati? 
Apakah kehidupan setelah kematian benar adanya? 
Jika memang benar, apa kehidupan itu bisa lebih baik daripada dunia yang kukenal sekarang? 
Aku benar-benar ketakutan. Perasaan ini melebihi dari saat melihat orang-orang menghindar dariku. 
Meskipun kematian tidak ada yang tidak menyakitkan, mungkin akan lebih baik jika aku yang lebih dulu pergi. Dengan begitu kau tidak perlu lagi berurusan dengan wanita aneh merepotkan. Kau juga tidak akan mendapat omongan-omongan tidak mengenakan karena memacari diriku. Lagipula jika kupikir-pikir mengapa kita menjadi sepasang kekasih? Mengapa kau menerima diriku? Aku belum pernah mendengar alasannya. Aku tidak ingin tahu karena aku takut kau menjadikanku kekasih tidak lepas dari perasaan kasihan. Namun aku percaya kau tidak memiliki pikiran semacam itu. Kau adalah pria baik yang tidak terlalu memedulikan keburukan orang-orang di sekitarmu. Sama seperti Hun.
Jika suatu saat aku harus meninggalkan dunia ini lebih dulu darimu, aku ingin kau mengingat bahwa aku meninggal bukan berarti aku menghilang. Aku tetap ada, meski dalam wujud lain. Mungkin itu adalah sinar mentari yang dapat memberimu perasaan hangat, atau burung yang berkicau di pagi hari lalu membangunkanmu, atau bintang-bintang yang menemanimu di malam gelap, atau bahkan angin yang berembus. Sama seperti yang disebutkan dalam I am A Thousand Winds. 
Aku selalu ada, Joe. 
Jadi, jangan menangisi kepergianku.
Nami
(Lampung Selatan, 8 Oktober 2021) 
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Sebuah Perenungan Tidak Bermakna
Tumblr media
(Photo by me : [Bukan] Robinson Crusoe)
Perjalanan terus berlanjut. Goresan tinta hitam masih memenuhi halaman-halaman putih yang belum terlihat ujungnya. Tubuh berdaging dengan kemampuan bernapas. Sinar matahari pagi, langit biru yang dipenuhi oleh awan putih, suara kendaraan melaju. Semua terulang, tiada habisnya, memberikan sebuah sensasi menenangkan. Setidaknya itu bukanlah hal baru yang memaksa tubuh untuk beradaptasi. Bukan juga sesuatu yang dapat ditakuti.
Kejutan apa lagi yang akan menghampiri? Bagaimana raga ini menghadapinya? Apakah mampu? Berapa kali pikiran untuk menyerah mampir lalu memenuhi ruang ilusi tidak berbentuk? Apakah kekuatan samar-samar itu masih tersimpan?
Dalam lautan yang luas itu, aku tidak bisa melihat ujungnya. Namun bukan berarti tidak berujung. Sinar matahari menyelusup masuk, menerangi beberapa kedalaman. Memberikan kehidupan yang suatu saat akan berakhir. Pada titik tertentu, sinar pemberi harapan itu tidak dapat masuk. Sebuah dunia yang tidak diketahui oleh manusia pada umumnya. Bukan hamparan cairan yang memberikan warna biru. Bukan tempat bagi manusia untuk mengembuskan napas dengan sesuka hati. Bukan juga tempat tinggal bagi makhluk hidup yang dikenal luas.
Bagaimana keadaan di sana? Tidak ada yang tahu atau mungkin hanya segelintir saja yang tahu. Begitu misterius dan memicu rasa ingin tahu. Sama seperti hidup. Namun aku tidak menemukan di mana masa lalu berada. Di laut hanya ada kini dan nanti.
Jika bagian yang mendapat sinar matahari adalah masa kini, maka semakin ke dalam yang sulit menerima sinar matahari menunjukkan masa depan yang tidak pernah diketahui. Untuk itu, di manakah masa lalu? Apakah dari awal istilah tersebut memang tidak pernah ada? Apakah masa lalu hanyalah sebuah metafora yang diciptakan manusia untuk menyusahkan dirinya sendiri? Bagaimanapun juga, bagi manusia, masa kini dan masa depan saling bertaut dan akan terbentuk karena adanya masa lalu.
Masa kini yang terasa berat.
Masa depan yang berwarna kelabu. 
Apakah benar-benar menunjukkan bahwa masa lalu yang dialami manusia sama kelabunya?
Manusia hanya dapat mengkhayal. Membayangkan bahwa apa yang akan terjadi pada mereka pasti sesuatu yang baik-baik saja atau bahkan melebihi dengan masa kini mereka. Tentu saja. Bukankah tidak ada yang menginginkan sebuah masa depan suram yang hanya dipenuhi hal monoton dan menyusahkan? Sebuah ironi yang menggelikan.
Jika dipikirkan bukankah masa lalu benar-benar menyebalkan?
Keputusasaan, ketidakpercayaan diri, perasaan melankolis yang disusul air mata.
Itu semua berasal dari masa lalu, bukan?
Jadi mengapa dia ada? Mengapa dia diperlukan? Mengapa dia terus mengikuti perjalanan yang masih berlangsung ini? Padahal yang dia lakukan hanyalah memberi kepahitan.
Dia merupakan ilusi yang tanpa hati memaksa manusia memercayai bahwa kehidupan mereka akan lebih baik. Sebuah kekuatan semu yang berkontradiksi dengan keinginan manusia. Layaknya pemimpin dengan segala kata-kata manisnya.
Untuk itu mengapa kehadiran masa lalu selalu dielu-elukan manusia? Selalu dan selalu saja terdengar bahwa, “Jika tidak ada masa lalu, maka diri kita tidak akan pernah terbentuk.”
Rasanya memuakkan. Aku membencinya. Mungkin ucapan mainstream itu hanya berlaku bagi manusia yang sangat menantikan masa depan cerah karena tidak pernah terkena kutukan masa lalu. Ucapan yang memberikan optimisme. Namun seolah tidak memikirkan bagaimana masa depan mendekat dan juga apa yang dirasakan manusia.
Lampung Selatan, 20 September 2021
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Layaknya Pipi Anak Kecil yang Dipakaikan Bedak
Tumblr media
(Photo by me)
Suatu hari di bulan September aku mendapatkan 5 donat. Seseorang memberikannya padaku, walaupun sederhana entah mengapa aku senang. Donat dengan tekstur lembut dan gula yang meleleh ketika menyentuh lidah. 
Salah satu donat mengingatkanku pada pipi anak kecil yang dilapisi bedak. Bukan polesan yang sempurna, kau bahkan dapat melihat noda putih tidak rata dari jauh membuat wajah anak kecil itu tampak aneh. 
Namun dia tidak merasakan apa yang kau rasakan. 
Dia justru akan tersenyum lebar, bangga dengan hasil usahanya. 
Dia tidak peduli bagaimana pandangan orang lain yang mungkin saja sedang menertawakannya. 
Dia hanya ingin tampil cantik, meskipun dia memang sudah cantik. 
Ini adalah kebahagiaan sederhana yang tidak ingin dia bagi kepada siapapun. 
Biarkan dia. 
Jangan mengganggunya, walau hanya dengan tawa.
Tidak ada yang tahu bagaimana dia akan menemukan kebahagiaan itu lagi. 
(Lampung Selatan, 15 September 2021)
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Catatan Dafina ~No. 7, Harapan~
Berapa lama lembaran-lembaran itu tertutup? Begitu aku membukanya, lembaran tersebut selalu bersih tanpa coretan berarti. Sudah berapa banyak lembaran yang kubiarkan kosong dan tersobek saat aku baru saja meneteskan tinta di atasnya? Aku tidak ingat pasti, tetapi aku yakin itu tidak sedikit. Tidak ada hal yang kulakukan ataupun sesuatu yang ingin kucapai. Terlalu kosong dan sunyi. Warna-warna penuh gairah seolah luntur digantikan satu warna monokrom tanpa ada setitik cahaya yang memberiku kekuatan. Rasanya seperti kehidupanku sendiri yang tersedot habis. Namun aku masih bernapas. Anehnya aku masih bernapas.
Waktu itu aku hanya ingin berada di kamar. Menyembunyikan diri dari dunia luar sekaligus menikmati letupan-letupan kecil kebahagiaan yang diberikan oleh kesendirian. Kebahagiaan semu yang justru memberiku ketenangan. Aku tidak menyalahkan pendapat orang lain mengenai kesendirian adalah salah satu ketakutan paling absolut. Sayangnya itu tidak berlaku bagiku. Hal yang justru membuatku takut yaitu bagaimana kenyataan pahit mendekat tanpa memiliki belas kasih.  
Membiarkan lembaran itu tetap putih mungkin pilihan terbaik. Namun aku tidak memilihnya. Dunia ini membuatku tidak bisa memilih itu. Sama halnya ketika aku ingin menyerah, tetapi dunia tidak memberiku pilihan lain selain untuk tetap kuat. Benang yang tidak diketahui kapan kedatangannya terus memanjang, melanjutkan perjalanan yang sedari awal sudah dia lakukan. Benang yang membentuk persepsi abadi bagi manusia. Benang yang semena-mena mengatakan secara implisit bahwa uang adalah kunci hidup enak, dengan uang manusia bisa memiliki segalanya untuk itulah manusia tidak sepatutnya berdiam diri lalu mengharapkan segala kenikmatan akan jatuh dari langit.
Seandainya dunia yang kutinggali tidak terlalu kejam, yang memperbolehkan setiap manusia untuk tidak mengotori lembaran tak berwujud tersebut, aku pasti akan melakukannya dengan suka hati.
Setelah menerima berbagai gerutuan Yovika, aku mencoba mencari pekerjaan. Aku tidak bisa mengharapkan pekerjaan kantoran bergaji lumayan seperti Yovika. Aku juga tidak mungkin menjadi atlet seperti Danar karena aku tidak mempunyai kemampuan. Sebelumnya aku hanya membantu tetangga yang membuka jasa katering. Dalam rentang waktu satu tahun, aku keluar dan melamar di sebuah minimarket lalu diterima. Setelah enam bulan bekerja di sana, ternyata aku menikmatinya. Terutama bagaimana atmosfer yang diberikan oleh pekerjaan di minimarket mengingatkanku pada Leningrad.
Aku menyukai movement pertama dari simfoni itu. Terdengar seperti harapan bagi masyarakat Leningrad sebelum Jerman mengepungnya. Harapan yang selalu mereka simpan dalam hati dan akan mereka wujudkan suatu saat nanti. Harapan yang memberikan mereka napas untuk tetap hidup, mempercayai bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bunyi pikolo yang melengking seolah mewakili harapan mereka. Namun harapan itu tertunda karena tentara Jerman datang. Ini digambarkan dengan bunyi snare drum yang mengiringi hampir semua instrumen yang dimainkan secara bergilir.
Bagiku menit awal movement pertama ketika masyarakat Leningrad menghidupi kehidupannya sambil menyimpan harapan untuk hari esok dan nanti, sama seperti saat aku sedang bersiap, merapikan barang-barang, membersihkan lantai, dan juga memeriksa persediaan. Lalu begitu bunyi snare drum mengalun di belakang instrumen lain secara bergilir, saat itulah jam sibuk dimulai. Aku harus bekerja cepat dan teliti. Menghitung satu persatu barang yang dibeli pengunjung, menawarkan berbagai promo dengan harapan mereka tertarik untuk membelinya, dan juga tersenyum sepanjang waktu. Hal itu terkadang membuatku kerepotan bahkan di awal-awal aku bekerja aku sempat diserang rasa panik. Namun kini aku menikmatinya.
Akhirnya aku menemukan warna yang sempat luntur itu. Sinar mentari perlahan menerobos masuk menetralkan kegelapan. Meski perlahan, lembaran-lembaran yang kosong itu kembali terisi. Sejujurnya menuliskan tiap lembaran bukan hal yang mudah. Bagaimana aku memulainya? Apa boleh aku menuliskannya langsung di tempat terakhir kali lembaran itu kosong? Namun jika demikian, apakah aku akan melupakan hari-hari suram tersebut? Jika memang seperti itu, rasanya seperti melarikan diri. Bagaimanapun juga hari yang terasa abu-abu, tanpa harapan yang kugenggam adalah hidupku. Kisah yang kujalani dan telah kupilih. Hanya saja, terkadang aku terlalu takut mengingatnya. Tubuhku akan bereaksi dan itu membuatku tidak nyaman. Mungkin ini adalah definisi dari hidup yang terbayang-bayang oleh masa lalu. Namun akhirnya aku memilih membiarkan lembaran yang kutinggalkan tetap kosong dan memulainya di halaman baru. Aku tidak akan melarikan diri. Untuk sekarang aku dapat berharap bahwa ketakutan yang dulu pernah kualami tidak segera muncul.
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Si Jingga Kecil
Tumblr media
Ini bukan pertama kalinya aku melihatmu menggeliat di atas tanaman itu. Aku tidak tahu nama tanaman yang menjadi tempat tinggal makhluk kecil berwarna jingga dengan titik hitam di punggungnya ini. Namun aku sangat yakin aku selalu menemukan makhluk kecil jingga itu di tanaman yang sama.
Saat kecil aku sudah berkenalan denganmu. Dulu yang kuingat kepalamu bukan berwarna merah, melainkan hitam. Meski bukan dengan dirimu dalam foto tersebut, dalam beberapa waktu aku selalu bermain dengan temanmu di tempat yang berbeda. Waktu itu aku bersama temanku akan mengambil temanmu dari pohon lalu mengumpulkannya ke dalam plastik. Maafkan aku karena telah berbuat demikian pada temanmu.
Semakin aku tumbuh menua, entah mengapa rasanya sulit sekali menemukan dirimu di pohon yang sama. Dulu kau begitu banyak, sehingga memudahkanku untuk menyadari keberadaanmu. Namun itu tidak berlaku di beberapa tahun kemudian (sejak terakhir kali aku melihatmu). Aku beruntung bisa bertemu denganmu lagi setelah… sepuluh tahun? Ya, bukan waktu yang sebentar untuk melihat dirimu berjalan di atas batang pohon yang tidak terlalu tinggi itu.
Aku memang tidak mengetahui nama aslimu, tetapi aku dan temanku dulu sering memanggilmu sebagai kebo-keboan. Bukan nama yang estetik memang. Aku sudah bertanya pada orang-orang disekitarku, hanya saja tidak ada yang tahu. Namun begitu aku mulai mempelajari teknologi, jawaban yang kutemukan adalah pollinator. Sejujurnya itu bukan jawaban yang kuinginkan. Aku merasa pollinator adalah nama yang umum, aku ingin tahu namamu yang asli. Bagaimanapun juga kau adalah salah satu yang mengisi album panjang kehidupanku. Semoga kita dapat bertemu lagi. Aku harap kau masih dapat bertahan untuk waktu lama.
Tumblr media
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Kebaikan Alam
Tumblr media
(”Reruntuhan” - photo by me)
Mengapa alam terlalu baik?
Mengapa alam selalu berhasil membuat manusia tersenyum?
Padahal manusia sering kali menyakitinya dan akan terus menyakitinya. 
Mengapa mereka mudah sekali memaafkan?
Aku tahu. Di suatu kesempatan dan juga tempat yang bukan menjadi tempat kelahiranku, alam seolah kejam. Berganti musim selama 4 kali dalam setahun. Di satu musim, alam berhasil membuat manusia kepanasan. Di lain musim, dia berhasil memberikan kedinginan yang menusuk. Atau bahkan memberikan ketakutan yang bisa berakhir dengan hilangnya nyawa. Terkadang itu terjadi tiba-tiba, tanpa kompromi, memaksa manusia untuk segera beradaptasi, dan alam hanya terdiam, mengamati dalam kebisuan abadi. 
Namun mereka tidak pernah absen membuat kagum. 
Mengapa?
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Penemuan Planet Baru
Tumblr media
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Potret yang Akan Selalu Berubah
Tumblr media
(Foto diambil di stasiun Manggarai. Rasanya seperti menantikan masa depan apa yang akan menanti).
Aku menyukai kereta. Walaupun sering kali berdesakan di dalamnya, tetapi aku tetap menyukainya. Dia seperti teropong yang memberiku gambaran kehidupan. Bagaimana dia menjadi saksi bisu pembangunan Stasiun Cisauk. Atau bagaimana dia memberikan pandangan baru kepadaku tentang jalanan di sekitar rel Stasiun Serpong yang selalu dipadati kendaraan. Hal yang sama ketika dia memperlihatkan padaku bagaimana pengguna kendaraan dengan helm berwarna hijau berkumpul memenuhi jalanan sekitar rel Stasiun Angke. Dia juga memperlihatkan padaku bagaimana menakutkannya memiliki rumah di dekat rel kereta. Terlebih di sana tidak ada pembatasnya. Ini terlihat di sekitar rel Stasiun Serang dan juga lintasan rel lain yang tidak kuingat namanya. Anak kecil di sana harus berhati-hati, begitupun orang tuanya yang harus memperhatikan anak-anak agar tidak nekat bermain di rel.
Terkadang ketimpangan antara daerah kota dengan daerah pinggiran yang kumuh dapat dilihat dari kereta. Sering kali aku merasa miris ketika melihat bagaimana sampah berserakan di sekitar Stasiun Rangkasbitung yang menuju Merak. Masih di lintasan yang sama, kereta memperlihatkanku bagaimana hijaunya hamparan sawah dan juga langit biru cerah yang indah. Memang terlihat menyengat, tetapi aku mengaguminya. Aku juga menemukan jalanan setapak di antara pohon-pohon lebat yang terpaksa membuatku membayangkan bagaimana warga sekitar menghidupi kehidupannya.
Jika menaiki kereta lintasan Tanah Abang-Jatinegara, ada beberapa stasiun yang terlihat mati karena begitu sepi. Salah satunya yaitu Stasiun Gang Sentiong. Nama sentiong sendiri yang kuketahui dari orang tuaku merujuk pada pemakaman Cina. Entah ada kaitannya atau tidak, tapi di sana sepi layaknya kuburan. Aku pernah berhenti di sana bersama teman-teman saat SMA. Jika tidak salah waktu itu kami berniat mencari toko buku bekas di sekitar Pasar Senen. Hanya saja karena kereta yang kami tumpangi tidak berhenti di Stasiun Pasar Senen, kami terpaksa berhenti di Gang Sentiong. Kereta jarang lewat kecuali kereta yang hanya ‘kepalanya’ saja. Kami menunggu cukup lama hingga kereta yang kami tunggu pun tiba.  
Ada satu cerita saat aku dengan dua temanku berniat mendaftar pekerjaan sambilan di PRJ. Kami berhenti di Stasiun Kemayoran dan begitu kami selesai mengirim berkas, sopir bajaj yang kami naiki berkata, “Jika diterima kerja di sana, nanti turunnya di Stasiun Rajawali.” Ternyata saat berangkat kami salah turun. Pantas saja rasanya jauh sekali, terlebih saat itu kami terlalu kurang kerjaan untuk berjalanan kaki dari Stasiun Kemayoran ke tempat pengumpulan berkas.
Lintasan Rangkasbitung-Tanah Abang hampir setiap hari selalu padat. Saat pagi hari, kereta tujuan Tanah Abang yang ramai. Jangan berharap bisa duduk. Kereta dengan tujuan Rangkasbitung di pagi hari sepi dan kita masih bisa duduk leluasa.
Saat siang hari biasanya lintasan Tanah Abang-Bogor tidak terlalu ramai, tetapi saat sore justru kebalikannya. Meskipun aku belum pernah menaiki kereta tujuan Bogor pada pagi hari, aku yakin kereta itu akan sama padatnya seperti kereta Rangkasbitung-Tanah Abang. Untuk commuter line Jabodetabek, aku belum pernah menaiki kereta ke arah Bekasi, Tangerang, ataupun Ancol. Aku  hanya pernah menaiki kereta Rangkasbitung-Merak untuk kereta lintas provinsi. Aku ingin tahu bagaimana kereta memberikanku pemandangan lain dari lintasan rel lainnya.
Banyak sekali hal yang kulihat hanya dari jendela kereta. Rasanya seperti lorong waktu yang membangkitkan sebuah kenangan yang tidak pernah kualami.
Aku ingat dulu Stasiun Cisauk tidak semegah sekarang. Ibuku pernah berkata Stasiun Cisauk hanyalah stasiun kecil di mana kereta sering kali melewatinya, tetapi sekarang itu sudah berubah. Bahkan sepertinya Stasiun Cisauk menjadi salah satu stasiun tersibuk di line Tanah Abang-Rangkasbitung. Cisauk sendiri sudah berganti wajah bukan lagi daerah pedesaan biasa, tetapi menjadi kota mini yang dipenuhi oleh berbagai fasilitas.
Tumblr media
(Masih di Stasiun Manggarai. Ini masih proses revitalisasi. Sepi karena memang diambil saat pandemi (tanggal 3 September 2021) dan masih diberlakukan peraturan ketat. Aku bisa berada di sana karena berniat mengikuti vaksin, walaupun telat).
Tumblr media
(Aku hanya ingin memotret ini. Aku memang bukan pemotret yang handal).
Juga bagaimana Stasiun Manggarai yang sedang direvitalisasi. Di sana pasti akan lebih sibuk dari biasanya. Sepertinya stasiun ini menjadi stasiun favoritku. Aku tidak tahu mengapa.
Tumblr media
(Plang Stasiun Manggarai. Diambil dari dalam kereta).
Suatu saat yang akan kulihat di setiap stasiun pasti berbeda. Bisa saja Stasiun Cicayur satu level dengan Cisauk. Atau Cisauk menjadi stasiun pemberhentian menggantikan Serpong. 
Di gambar peta lintasan commuter line Jabodetabek, dulu Stasiun Gambir tidak diberi lingkaran merah, tetapi sekarang sudah. Mungkin Stasiun Pasar Senen juga akan mengalami nasib serupa. Lingkaran merah menandakan kereta tidak akan berhenti di stasiun tersebut.
Di balik pembatas Stasiun Jurangmangu mungkin tidak akan terlihat pohon pisang lagi. Pohon-pohon di sana bisa saja bertransformasi menjadi gedung apartemen seperti di Cisauk atau stasiun itu sendiri yang berubah seperti Stasiun Kebayoran ataupun Palmerah.
Dulu di tahun 2000-an kereta justru lebih padat dari sekarang. Orang-orang seolah tidak peduli akan keselamatan mereka. Mereka nekat menaiki kereta di atasnya jika memang tidak kebagian tempat di dalam. Bukan pemandangan yang menarik untuk dilihat. Jika kupikir-pikir itu seperti pemandangan kemiskinan yang berjalan. Aku ingat kereta yang dulu kulihat bukan berwarna abu-abu, melainkan kuning dan juga merah. Kini kereta kuning dan juga merah itu tidak kulihat lagi, kereta yang lebih canggih menggantikannya. Mungkin saja kereta yang sering melintas di rel Jabodetabek akan berubah menjadi kereta Maglev.
Perubahan akan tetap terjadi. Cepat atau lambat itu adalah sesuatu yang pasti. Tidak ada yang tahu kapan atau bagaimana prosesnya, tetapi yang pasti semua orang menginginkan perubahan yang lebih baik dan bernilai positif.
(Bogor, 5 September 2021)
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Sebuah Ironi
Tumblr media
Ada berapa kehidupan yang tersembunyi di dalam hijaunya daun?
Suatu saat dedaunan ini tidak akan ada lagi. Hanya menghitung hari atau justru mereka telah menghilang sebelum aku menyadarinya.
Dedaunan yang nampak sepele. Tidak ada yang mengharapkannya tumbuh. Tidak ada yang peduli bahwa mereka diberikan kekuatan untuk hidup. Tidak ada yang peduli bagaimana sakitnya dia ketika diinjak ataupun dicabut. Lagipula dalam lensa manusia, bukankah dia tidak lebih dari sekedar rumput yang mengganggu? Tidak terlihat estetik dan juga indah. Mereka hanya tumbuh menyebar seperti makhluk kurang kerjaan yang memenuhi batu-batuan dan akan dihilangkan begitu manusia memerlukan wilayah yang membantunya hidup.
Namun ada berapa banyak kehidupan di sana? Kehidupan yang tidak diketahui oleh manusia. Kehidupan yang mungkin saja terus berjalan. 
Mungkin di dalam sana ada sebuah tempat impian. 
Hanya saja tidak dapat dijarah manusia. 
Mungkin di sana menjadi tempat lahirnya kebahagiaan. 
Hanya saja bukan untuk manusia. 
Dan mungkin saja di sana sedang berlangsung sebuah sejarah. 
Tentu saja bukan untuk manusia.
Mereka hidup, tapi sewaktu-waktu dapat menghilang. Bukan karena keinginannya, melainkan kehidupan yang mereka miliki terpaksa direnggut dengan semena-mena. Mereka bisa saja tidak menyadari jika kehidupan yang telah diberikan padanya sudah tidak ada. Tidak seperti manusia yang memiliki hak untuk membela diri. Itu bukan sifat mereka. Pembelaan yang mereka ucapkan tidak akan didengar. Tidak ada yang mengerti. Mungkin mereka sudah berteriak. Mungkin mereka sudah terisak, dan juga mencoba beralasan seperti manusia agar mereka tetap hidup, tetapi tidak ada jalan lain. 
Jika waktu mereka sudah di ujung, mereka tidak mempunyai pilihan selain menerimanya.
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Catatan Dafina ~Di Atas Tanah yang Kupijak~
Walaupun terdengar keren, bagiku menjadi anak tengah yang memiliki satu kakak dan satu adik bukanlah hal istimewa. Bukan juga menjadi sesuatu yang bisa dibanggakan lalu dipamerkan. Rasanya terlalu berlebihan dan menggelikan jika aku berteriak, “Aku adalah anak tengah!” kepada orang banyak, jadi aku tidak pernah melakukannya. Namun aku tidak mengelak jika ada seseorang yang menanyakan aku anak keberapa, aku pasti akan menjawab dengan bersemangat dan tidak lupa untuk melengkungkan bibir. Setidaknya sampai hal abstrak tak berbentuk itu tiba dan mengubah cara pandangku terhadap kehidupan.
Saat kecil aku terlalu naif. Tidak pernah mewaspadai kehadiran hal abstrak tersebut. Menganggap bahwa apa yang sedang terjadi saat ini pasti akan sama dengan masa depan. Entah besok, lusa, satu minggu kemudian, satu bulan kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemudian. Otakku terlalu dangkal untuk memikirkan apa yang akan terjadi nanti. Atau lebih tepatnya aku berpikir itu hanyalah pekerjaan orang bosan dan bingung ingin melakukan apa sampai akhirnya memilih merenungi masa depan. Sebenarnya itu tidak salah, bagus jika seseorang tidak memiliki pemikiran sesat sepertiku. Setidaknya mereka sudah mengantisipasi hal abstrak tadi.
Seiring berjalannya waktu, aku sadar dia selalu ada. Tidak pernah bersembunyi, hanya sedang dalam perjalanan panjang yang menenangkan dan diselimuti oleh rasa hangat.
Dia datang tiba-tiba, mengubah semuanya dengan suka hati. Tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Mungkin dia hanya ingin bertingkah layaknya orang tua atau guru yang membentak agar aku lebih memikirkan masa depan. Agar aku memiliki hidup yang dipenuhi oleh perjuangan berarti bukan hanya berharap. Namun dia terlalu tiba-tiba. Padahal perjalanannya memakan waktu cukup lama dan berkecepatan rendah, tapi mengapa dia menambah kecepatan itu lalu melaju dengan mengimbangi kecepatan cahaya?
Suatu waktu aku dihadapi kebenaran yang tidak ingin kupercaya.
Dulu aku mengagumi Yovika. Dia terlihat sempurna di mataku dengan segala kelebihan yang dia miliki. Meskipun dia menghancurkan semua yang telah kuperjuangkan, tetapi aku tidak membencinya. Jika kupikir-pikir dia memiliki hidup yang lebih layak daripadaku. Bekerja di sebuah kantor dengan gaji lumayan. Sampai saat ini dia masih berjalan mengikuti arah yang telah dia rencanakan. Masa depannya tidak berwarna kelabu dan dia bukan wanita kurang kerjaan yang hanya berdiam diri di kamar tanpa melakukan apapun.
Danar, aku tahu cedera yang dia alami pasti mengubah hidupnya. Bertahan tanpa melakukan apa yang disukai. Hal yang membuatnya bahagia, walau sulit. Perasaannya berkecamuk. Dia tidak tahu harus bagaimana, tapi dia memiliki Dara dan juga Ayunina. Dua orang yang membantu Danar menemukan jalannya kembali sekaligus memacu kepercayaan dirinya. Suatu saat nanti, aku yakin, Danar pasti merebut Jupiter miliknya yang menghilang sementara. Jupiter yang berwujud bulu tangkis.
Hanya aku yang tidak mempunyai tujuan. Aku menganggur. Tidak mempunyai pekerjaan, tidak kuliah, ataupun seorang teman selain laptop yang memutar lagu kesukaanku. Hal abstrak yang tiba-tiba hadir membuatku terbangun dari lelap yang melelahkan. Mungkin aku terlalu menikmati suasana dalam kubangan kekecewaan. Atau mungkin kehidupan milikku sudah hilang jauh sebelum kusadari, yang bisa saja tidak pernah ada. Layaknya tinggal di alam khayal orang lain dan dengan tak terduga merangkai alur demi alur lalu menciptakan proyeksi seorang wanita yang dipaksa kuat karena impiannya terenggut. Atau mungkin saja aku hanya mengalami mimpi buruk dan akan segera bangun di hari orang tuaku belum meninggal. Hari yang kuyakini bahwa aku pasti akan meraih apa yang kuinginkan. Hari yang mampu membuatku tersenyum dan terus berjalan tanpa diikuti rasa takut serta hari yang selalu terasa menyenangkan.
Namun semua perkiraan itu hanyalah harapan tak bertepi. Harapan yang hadir karena aku menolak semua fakta yang terjadi. Terlalu takut untuk menganggapnya benar, walau hati kecilku berteriak bahwa kekecewaanku terhadap Yovika itu nyata.
Melihat dua saudaraku tetap berjuang terkadang membuatku rendah diri. Di lain waktu aku justru iri dengan mereka. Apa aku masih memiliki Jupiter yang membuatku tersenyum?
Aku menyukai lagu Ryuichi Sakamoto yang berjudul Merry Christmas, Mr. Lawrence. Bagiku lagu itu bukan hanya ucapan selamat Natal. Bahkan lebih penting lagi. Begitu mendengar alunan piano yang dimainkan Ryuichi Sakamoto itu, entah mengapa mengingatkanku pada suatu perjalanan di pedestrian yang dihiasi pohon-pohon serta rumput cantik. Aku belum pernah melakukannya, tetapi aku merasa itu adalah perjalanan sederhana yang ditemani payung. Pedestrian yang kususuri basah, langkahku pelan mengikuti alunan musik lalu aku berhenti kemudian menengadah ke langit, mengamati butiran air yang turun perlahan. Rasanya menenangkan.
Saat tempo lagu mulai cepat, sekilas aku melihat diriku yang baru lahir, menangis dengan polos tanpa tahu apa makna kehidupan, membuka mata untuk pertama kalinya, mendengar suara Ibu dan Ayah, termasuk Yovika, menggerakkan tangan kecil yang mungil, ikut tersenyum begitu melihat Ibu tersenyum, duduk, berdiri, lalu berjalan dengan bahagia. Semua itu berlanjut memasuki diriku yang mulai menyadari bahwa aku hidup. Aku memiliki nyawa, tapi itu tidak menyurutkan keinginanku untuk tetap tersenyum. Aku juga melihat Danar dan bagaimana kami bermain bersama dulu. Semua itu terputar dengan cepat.
Hanya dengan menatap langit, aku sadar sudah banyak hal yang terjadi pada diriku. Berbagai perasaan bercampur aduk, tetapi senyum itu terus mengambang.
Lagu masih berkumandang.
Benar juga. Bukankah aku masih berjuang?
Perjuangan ini belum berakhir. Apa aku akan menyerah? Membiarkan kehidupan yang telah diberikan padaku menghilang begitu saja tanpa berpikir terlebih dahulu.
Di menit akhir lagu, tetesan hujan berhenti. Langit abu-abu mengucapkan perpisahan, awan gelap yang sama suramnya dengan langit pun mengucapkan perpisahan. Perlahan sinar matahari menyeruak bersemangat. Sampai begitu lagu berakhir, yang kulihat adalah langit biru muda cerah yang memberiku sebuah suntikan kepercayaan diri.
Aku akan melangkah, meninggalkan semua kekecewaan, dan terus menambahkan cerita untuk hidup ini.
(Ditulis pada 3 September 2021)
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Sekelumit Hal yang Mungkin Saja Terlupakan
Tumblr media
Ini seharusnya berita bagus bagi diriku. Akhirnya tulisanku ada yang diterbitkan oleh salah satu penerbit indie. Sekarang dalam proses pre order. Sempat berkali-kali aku ingin melarikan diri sebelum berada di titik ini. Karena aku tidak menganggap terbitnya novel ini sebagai keberhasilan. Namun begitu aku menyadari orang-orang yang berperan penting dalam proses ini semua membuatku seolah terkena aliran listrik. Orang yang rela menerbitkan tulisanku, orang yang mendesain sampul menarik, dan juga orang yang memberiku arahan untuk memperbaiki tulisanku, baik yang kuketahui ataupun tidak. Jangan bikin orang-orang nyesel bantu lo deh! Kurang lebih seperti itulah hati kecilku membentak.
Saat kecil aku belum tahu ada yang namanya novel. Pertemuan pertamaku dengan benda itu yaitu ketika salah satu sepupu yang tiba-tiba saja menitipkan satu komik dan juga satu buku—yang kini kuketahui sebagai novel—karena suatu alasan. Dua buku ‘ajaib’ tadi tidak akan digunakan olehnya dalam beberapa waktu, meskipun sampai sekarang dia tidak pernah menagih dua bukunya.
Aku sudah mengetahui ada buku bernama komik yang isinya cerita bergambar, tetapi lain halnya dengan novel. Sejujurnya aku sedikit terkejut ternyata ada buku yang menceritakan hal seru, selain tulisan ilmiah yang berkaitan dengan mata pelajaran. Buku yang dia berikan berjudul Jurig Jarian karya Prayudi Quthub, sebuah novel horor tentang anak remaja yang berpetualang mencari tahu kebenaran suatu mitos mengenai tiga hantu yang dikenal sebagai jurig jarian (ya judul novel tersebut memang berasal dari nama hantu yang menjadi fokus utama). Tidak perlu waktu lama bagiku untuk jatuh cinta pada novel tersebut. Begitu selesai membacanya (yang memerlukan waktu cukup lama) segera saja terpikirkan bahwa aku ingin menulis cerita seperti itu. Untuk komiknya sendiri tidak kalah seru dari novelnya. Komik itu berjudul Hunt For The Thumb. Kebetulan aku sempat meminjam komik tersebut sebelumnya dan mengetahui alur ceritanya. Namun tetap saja aku senang begitu dia menitipkan komik itu juga.
Sejak itulah aku mengenal dunia tulis-menulis. Mungkin sebaiknya aku berterima kasih pada sepupuku karena dia yang pertama kali mengenalkan novel padaku.
Jurig Jarian berpengaruh sekali terhadap tulisanku di awal-awal. Di masa itu aku lebih menyukai menulis dengan sudut pandang orang ketiga. Dan jangan tanyakan tulisanku saat itu. Kebanyakan tidak berakhir bagus dan hilang entah kemana. Pertemuan pertamaku dengan sudut pandang orang pertama yaitu saat aku membaca novel Catching Fire milik Suzanne Collins (dari trilogi The Hunger Games aku justru membaca novel keduanya terlebih dahulu). Aku mulai mencoba menulis dengan sudut pandang orang pertama dan ternyata aku cukup menikmatinya hingga sekarang.
Namun aku masih mencintai komik daripada novel. Karena itu juga koleksiku dipenuhi oleh komik. Barulah saat SMA aku meninggalkan komik dan beralih ke novel. Entahlah. Rasanya, semakin dewasa, aku lebih menginginkan konsumsi yang lebih berbobot. Jika dulu aku suka berlama-lama di Gramedia di tempat komik, kali ini tidak lagi.
Dulu aku tidak pernah membayangkan jika suatu saat nanti tulisanku akan diterbitkan. Walaupun iya, aku berpikir itu hanyalah impian anak kecil yang baru saja bertemu dengan hal keren. Bukankah wajar jika seseorang menyukai sesuatu untuk pertama kali lalu berharap menjadi hal yang disukainya tersebut? Tetapi ternyata aku di tahun 2021 mencapai titik itu.
Semua berawal dari pengumuman lomba novelet yang diadakan oleh salah satu komunitas penulis di instragram dengan hadiah utama terbit gratis oleh penerbit indie. Itu mungkin terjadi sekitar bulan Desember tahun lalu. Saat itu aku ingin membuktikan diri. Untuk itulah aku memberanikan diri mengikuti lomba tersebut. Lomba yang membuatku menjadi bagian dari komunitas penulis untuk pertama kali (karena salah satu persyaratan lomba yaitu harus menjadi anggota komunitas tersebut). Dan secara mengejutkan aku memenangkan lomba itu.
Pada awalnya aku senang, tetapi entah mengapa perasaan itu berubah menjadi rutukan. Rasanya aku tidak pantas memenangkan lomba tersebut. Terlebih menerbitkan tulisanku yang kuanggap sebagai sampah. Tulisan yang tidak layak dibaca. Terlalu banyak hal tidak penting yang kutulis dalam cerita itu. Lagipula mengapa harus aku? Aku tidak memiliki pengikut yang banyak di Instagram. Tulisan yang pernah kuunggah di platform online pun tidak menghasilkan banyak view. Bahkan tidak ada. Hanya di bab pertama, tetapi bab selanjutnya tidak ada lagi. Bukankah menerbitkan tulisanku tidak menguntungkan bagi banyak penerbit? Terutama bagi penerbit indie. Lantas mengapa tulisanku yang menjadi pemenang? Bukankah ada peserta yang tulisannya lebih menarik, sudah memiliki nama, dan lebih menguntungkan?
Namun mungkin saja tulisanku tidak seburuk yang kubayangkan. Aku pernah tidak sengaja melihat postingan penulis yang karyanya diterbitkan oleh penerbit mayor (aku lupa siapa itu). Dia bercerita yang kurang lebih mengatakan : mungkin tulisan kita adalah sampah bagi diri sendiri, tetapi tulisan itu sudah kita tulis dan dia seperti anak yang kita besarkan.
Sepertinya aku terlalu jahat terhadap tulisanku. Sering kali aku menyumpahi tulisanku, meninggalkannya di dalam file komputer dalam waktu lama tanpa perlakuan yang baik, mengganti namanya menjadi umpatan, bahkan menghapusnya. Bukankah aku seperti ibu yang menyiksa anaknya sendiri? Padahal aku sering dihibur oleh mereka.
Saat mereka masih dalam proses penulisan aku menganggapnya sebagai teman. Tokoh-tokoh yang hidup di khayalanku adalah teman yang selalu hadir dan membuatku tersenyum sendiri. Mereka tetap menemaniku tanpa melihat siapa diriku sebenarnya. Ini menyenangkan. 
Namun begitu selesai kutulis, mereka layaknya anak yang kurawat. Mereka seperti lulus dari sekolah lalu pergi menuju tujuannya masing-masing. Jika mereka memang disukai orang banyak, tentu saja aku sebagai ibu akan senang. Mereka pasti tersenyum  di sana, memamerkan kesuksesannya padaku. Namun yang sering terjadi adalah mereka tidak berhasil selesai kutulis dan juga tidak disukai banyak orang. Mereka seolah anak-anak yang kesepian. Aku yang seorang ibu bagi mereka seharusnya menghiburnya, merawatnya dengan lebih baik lagi, tetapi aku lebih sering menelantarkan mereka dan membiarkan mereka marah.
Garis yang Tertulis adalah tulisan pertama yang berhasil mencapai akhir cerita dan diterbitkan. Aku tidak tahu apa yang akan dia alami. Namun tentu saja aku berharap dia bisa bahagia. Hanya saja aku tidak bisa memastikan. Masih banyak kelemahan di dalamnya. Apakah tulisan itu sesuai dengan ekspektasi pembaca? Bagaimana jika pembaca justru menyesal telah membacanya?
Itu sampah, tetapi aku berjuang menyelesaikannya. Bukankah hal yang sudah diperjuangkan tidak layak disebut sampah? Lalu mengapa aku tetap menganggapnya sampah? Apa karena aku tidak puas dengan hasil akhirnya? Jika demikian, mengapa aku menulisnya?
Bogor, 22 Agustus 2021
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Tergerus Waktu
Tumblr media
Aku pernah melintas di atas jalanan ini. Merasakan hal yang tidak dialami oleh banyak orang. Jalanan yang kini dipenuhi oleh perasaaan nostalgia. Foto ini adalah bukti bahwa langkah kakiku pernah ada di sana dengan senyum dan juga tawa. Tempat yang selalu terasa istimewa dan menjadi saksi bisu perjuangan melelahkan yang ditemani oleh rasa jenuh luar biasa. Aku tidak tahu bagaimana kondisi jalanan sempit ini sekarang. Apakah masih tetap seperti pada gambar atau mungkin rumput-rumput di sampingnya sudah memanjang, sehingga menutupinya. Pasti sudah berubah. Tidak persis sama. Situasi yang menyerang bumi di bulan Maret tahun lalu membuatku tidak bisa melihatnya lagi untuk beberapa waktu bahkan sampai hari ini.
Terkadang membayangkan sesuatu yang dulu terasa familier sudah berubah membuatku bergidik. Waktu terus bergulir. Tidak peduli dengan apa yang terjadi pada bumi, membiarkan makhluk hidup bernyawa dan juga benda mati di dalamnya memilih takdir dan berjuang untuk takdir itu. Perubahan yang tertangkap oleh kedua mata menandakan bahwa waktu sudah mengikis diri. Perlahan cerita ini akan menggoreskan tinta terakhirnya. Waktu akan menutup buku tebal tak berbentuk itu untuk selamanya. 
Apakah aku berhasil menulis cerita yang luar biasa? Apakah aku bisa menuntun diri ini agar mendapatkan ending yang seharusnya? Tidak ada yang tahu.
Suatu saat nanti, jalan sempit ini pasti menghilang, digantikan oleh bangunan atau mungkin tempat baru yang lebih modern. Cepat atau lambat itu pasti terjadi. Pada akhirnya jalanan ini hanya akan menjadi cerita lama yang diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Termasuk diriku. Apakah aku beruntung? Tentu saja. Setidaknya aku menganggapnya demikian. Karena bukan hanya aku yang sedang berjuang, tempat itu pun tengah berjuang. Dan aku adalah salah satu saksinya.
Bogor, 15 Agustus 2021
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Gejolak Membisu
Sebenarnya aku sedikit sungkan menulis ini. Aku merasa menulis apa yang kuketahui mengenai peristiwa itu mungkin bukanlah sesuatu yang patut diketahui oleh orang lain, walau media elektronik sudah banyak menyebarluaskannya. Membicarakan tentang kejadian itu berhasil membangkitkan ketakutan yang bisa saja berubah menjadi suatu fobia. Apa diriku di masa depan perlu untuk mengingat peristiwa yang terjadi sekitar bulan Juli 2021 ini? Apakah diriku di masa depan dapat menerimanya? Bahkan untuk diriku di masa kini, hal itu sangat sulit dicerna oleh akal sehat. Rasanya seperti sumbu lilin yang tersulut api atau sengatan listrik yang berhasil mengenai jari.
Namun sesuatu yang bisa kusampaikan adalah : seseorang tidak pernah tahu bagaimana mereka akan tumbuh menua. Apa mereka tetap menjadi orang baik? Atau justru kegelapan berhasil menyelimutinya sehingga membuatnya mampu melakukan perbuatan keji? Manusia tidak pernah tahu bagaimana dirinya meninggalkan dunia, dan apa yang akan terjadi dengan tubuh mereka sendiri. Tentu saja setiap orang menginginkan kematian dalam kondisi baik, tetapi siapa yang tahu? Rasanya kita tidak berhak terlalu percaya diri, meskipun kita sudah menjaga kondisi tubuh dengan sebaik mungkin.
Sulit menerima kenyataan bahwa seseorang yang kukenal justru menjadi apa yang selama ini kutakuti dan menjadi mimpi buruk bagi wanita malang tersebut apabila suatu keajaiban datang padanya. Aku memang tidak terlalu mengenalnya. Kami mungkin hanyalah seseorang yang saling mengenal di kelas beberapa tahun lalu. Setelah kelulusan, aku tidak pernah bertemu atau mendengar kabar tentangnya lagi, hingga kemarin.
Api sakit hati berhasil menyulut rasa kemanusiaan yang dia miliki. Api itu juga yang menghanguskan semuanya. Awalnya kupikir itu hanyalah cerita lalu yang tidak kukenal tokoh utamanya, tetapi aku salah. Siapapun yang mengetahui berita itu pasti tidak ingin mengalami apa yang telah diterima wanita tersebut. Apa hanya karena penolakan, wanita tersebut berhak menerima semua itu? Dia manusia bukan sampah yang bisa dengan bebas dibakar. Mengapa orang yang kukenal dapat dengan mudahnya menghilangkan nyawa wanita tersebut dengan cara yang begitu mengenaskan?
Entah mengapa cerita-cerita yang kudengar melalui youtube mengenai kasus pembunuhan semakin terasa horor. Manusia ternyata mampu menjadi lebih menakutkan daripada hantu mana pun. Niat seseorang tidak ada yang tahu. Bagaimana jika orang yang kita kenal dengan baik justru menjadi sosok di balik kematian kita? Aku jadi teringat kasus Setiabudi 13. Bagaimana jika kita memiliki akhir seperti korban Setiabudi 13? Maksudku, pernahkah terbayangkan jika tubuh kita sendiri dipisahkan antara daging dengan tulangnya lalu dibiarkan begitu saja di dalam kardus di jalanan? Tidak ada satu orang pun yang menginginkan akhir seperti itu. Terlalu mengerikan.
Namun ketakutan yang mungkin jarang terpikirkan adalah bagaimana jika kita sendirilah yang menjadi tokoh antagonis berdarah dingin tanpa perasaan yang dapat dengan mudah merenggut kehidupan orang lain?
(Ditulis pada 14 Juli 2021).
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Pagi yang Berbeda
Tumblr media
(Photo by me)
Matahari sudah meninggi begitu aku melihat ayam-ayam tengah menikmati sarapan berupa beras putih dengan kualitas payah. Mereka makan dengan rakus dan tidak terima apabila ada ayam atau binatang lain mendekat lalu ‘mencuri’ makanan mereka. Tidak ada suara lain selain bunyi ayam yang terdengar seperti sedang mengomel.
Aku selalu menyukai pagi hari. Bagaimana udara yang segar menyejukkan, langit malam yang berpisah setelah menampilkan parade bintang, ataupun bagaimana matahari yang bersemangat ‘mengusir’ kegelapan dengan memberikan sorot cahaya kejinggaan yang menenangkan. Walaupun terkadang mata tidak bisa diajak bekerja sama untuk menikmati keindahan dan keajaiban itu semua. 
Satu minggu sudah mereka menerima ajakan kerja sama untuk bangun dari lelap yang selalu terasa melelahkan dan menerima sambutan hangat dari sang mentari.
Namun rasanya terlalu sunyi. Bertahun-tahun tubuh ini beradaptasi dengan lingkungan di sini membuatku yakin suasana pagi itu tidak sama. Tidak ada suara seorang ibu yang membangunkan anaknya, suara penjual roti yang biasa lewat, begitupun dengan suara penjual ikan yang selalu mengagetkan. Hal-hal biasa di masa lampau, mulai memudar seolah mengucapkan perpisahan, bertransformasi menjadi sesuatu yang langka. Mereka digantikan oleh hal yang benar-benar baru dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. 
Ini menakutkan.
Sudah berapa lama? 
Mungkin satu tahun. 
Apa akan terus seperti ini? 
Tentu saja tidak. 
Jika begitu, sampai kapan?
...
Aku tidak tahu.
Bogor, 2 Juli 2021
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Langit-Laut itu Biru, Awan-Es itu Putih
Tumblr media
(Photo by me)
Tumblr media
(Sumber : pixabay)
Aku suka warna putih. Biru juga. Begitu menenangkan, bukan? Melihat kedua warna tersebut bersebelahan. Seperti langit dengan awan. Kawan yang terlihat abadi, tidak pernah jauh dan selalu berdampingan, menemani di kala cuaca cerah ataupun mendung. 
Langit yang dipenuhi awan-awan mengingatkanku pada es yang mengelilingi laut di Arktik.  Bongkahan es yang terapung di laut Arktik terlihat seperti pintalan awan di langit. Mereka mirip, kan? Terutama saat awan altocumulus mengambil alih. Keduanya dapat mengundang decak kagum, tetapi terkadang membahayakan.
Langit dan laut merupakan dua hal yang berbeda. Semua tahu itu. Udara dengan cairan. Awan yang nampak lembut, dan es yang keras. Walaupun sebenarnya awan dan es adalah bentuk lain dari air yang berproses. 
Namun bukankah laut dan langit sama-sama memiliki pekerjaan yang sama? Memanjakan mata manusia. Langit dengan bintangnya dan laut dengan keindahan alam di bawahnya. Apakah sebenarnya mereka sedang bersaing? Bersaing untuk mendapatkan rasa takjub manusia. Persaingan yang terus berlanjut tanpa menemukan siapa pemenangnya. Dan juga tidak mendapatkan apapun. Pasti melelahkan.
Jika langit dan laut hidup, apa mereka bahagia?
Bogor, 1 Juli 2021
note : judul tulisan ini terinspirasi dari lagu aiko - Kumo wa Shiro Ringo wa Aka.
0 notes
ineedmyspoon · 4 years ago
Text
Album Polikromatik
Pada usia dua belas tahun, Ibu memperlihatkanku sebuah album foto. Bentuknya sederhana, sama seperti album pada umumnya. Hanya saja tidak ada hiasan apapun di sana, selain bagian ujungnya yang mengelupas. Mungkin berlebihan jika aku mengatakan album ini seperti diselubungi oleh hal magis, namun itulah yang kurasakan. Perlu waktu untuk Ibu membuka album tersebut. Dia menatap album itu lekat, raut wajahnya memberitahukanku bahwa dia ragu untuk memperlihatkan setiap foto yang tersedia di sana. Meskipun begitu dia tersenyum, kemudian membuka album tersebut.
Halaman pertama tidak ada apapun, selain goresan yang ditulis dengan spidol. “Untuk diriku di masa depan, semoga kau terhibur melihatnya. Aku usia 19 baik-baik saja, hanya ini yang bisa kuberikan.”
Bibir Ibu membentuk lengkungan tipis. Dia tidak meminta komentar dariku, lagipula melihat ekspresinya sekarang, kupikir diam adalah pilihan terbaik. Saat Ibu membuka halaman berikutnya, senyum Ibu sirna. Di halaman itu terdapat empat foto yang sepertinya di ambil saat Ibu masih kuliah. Keempat foto tersebut menampilkan sepuluh orang tengah tersenyum ke kamera dengan berbagai pose. Aku mengenali beberapa orang di sana, termasuk Ayah yang sedang terjongkok di tengah sambil mengangkat jarinya membentuk huruf V. Di foto pertama Ibu tidak terlihat. Sepertinya dia yang mengambil foto karena di foto berikutnya, Ibu ada, tetapi salah satu orang di foto pertama tidak ada. Wajah mereka yang kukenal sedikit berbeda dengan di foto, waktu telah menggerus beberapa titik di sana.
Perhatianku terfokus pada seorang wanita yang sedikit membungkuk. Salah satu tangannya menekan lutut, sedangkan tangan satunya lagi terangkat melambai tidak bergerak. Dia tersenyum lebar menunjukkan giginya. “Itu ibu Salma.” Seolah menyadari apa yang ada di pikiranku, Ibu bersuara. Aku menatap Ibu yang kini sudah tersenyum kembali. Pantas saja, wanita itu memang sangat mirip dengan Kak Salma. Bukan hanya mirip, Kak Salma terlihat seperti salinan dari ibunya. Terutama bagaimana cara keduanya tersenyum dan bentuk tangan yang mungil. Mungkin yang membedakan adalah wanita tersebut lebih berisi.
Kini perhatianku beralih ke pria yang di berdiri tepat di belakang ibu Kak Salma. Pria berkacamata tanpa pose apapun selain senyum yang tersungging di bibirnya. Dia diapit oleh dua pria lain dengan pose heboh. Aku mengenalnya bahkan sering bermain dengan pria itu saat kecil, pria yang selalu dibanggakan oleh Kak Salma. Dia ayahnya. Sekarang mereka berdua sudah tiada. Ayah Kak Salma meninggal dua tahun lalu, sedangkan ibunya menurut cerita yang kudengar telah meninggal saat melahirkan Kak Salma. Karena itu juga Kak Salma tinggal di rumah dan sudah seperti kakakku sendiri.
“Kau tahu, Anurika? Tiga orang di foto ini telah tiada.”
“Kau sudah mengetahui dua, apa kau bisa menebak yang ketiga?”
Meskipun Ibu bertanya, aku tidak menjawab. Aku terlalu enggan melakukannya. Jari telunjuk Ibu mengarah pada satu wanita berambut panjang sebahu dengan poni yang berdiri satu baris dengan ayah Kak Salma. Dia melipat kedua tangan sambil memasang ekspresi aneh. Tanpa disuruh Ibu, aku mencari wanita yang sama di foto lainnya dan mengambil kesimpulan sepertinya dia adalah wanita yang sering menjadi penghidup suasana.
“Alisa. Itu namanya. Dia ceria mirip ibu Salma, tetapi lebih berisik. Melihat kembali fotonya, aku tidak percaya dia telah tiada. Alisa lebih muda daripadaku,” Ibu menghentikan sejenak ucapannya, “tidak, maksudku ketiganya. Aku lahir lebih awal, tetapi mereka pergi lebih dahulu di antara kami semua.”
Untuk delapan halaman, orang-orang di foto masih sama. Terkadang mereka terbagi menjadi kelompok kecil lalu berfoto. Sepertinya mereka sedang mengikuti kegiatan sejenis perlombaan. Beberapa foto menampilkan mereka sedang berada di suatu tempat yang nampak seperti gymnasium. Walaupun suasana dalam foto tersebut dilingkupi rasa bahagia, aku merasa melankolis. Sulit membayangkan kebahagian di sana begitu mengetahui tiga di antara sebelas orang telah pergi.
Di halaman berikutnya, bukan lagi foto mereka bersepuluh. Hanya foto iseng yang terjepret oleh kamera. Ada foto Ayah membelakangi kamera sedang terduduk di pojokan suatu ruangan, entah apa yang dia lakukan. Kami tertawa melihatnya. Foto Ibu sedang mengambil gambar dengan latar belakang temannya yang tertidur, foto makanan ringan yang berserakan, keadaan di luar jendela yang sedang hujan, teman Ibu tengah melahap makanan tanpa menyadari kamera, foto teman Ibu lainnya yang hanya terduduk sambil merenung di antara kerumunan orang, bahkan foto seseorang yang berlari hingga menjadi tidak jelas karena menghindari kecoa terbang. Ibu tidak bisa berhenti tertawa.
Selain itu, terdapat foto Ibu yang terlihat seperti di belakang panggung. “Ini saat dies natalis, temanku mengikuti acara pemilihan Miss Kampus, mereka juga ikut memeriahkan acara dengan membentuk band. Aku tidak menjadi apapun, tapi ayahmu ikut bernyayi.” Ibu berkata ketika memperlihatkan kumpulan foto temannya termasuk Ayah sedang berada di panggung. Sejujurnya aku belum pernah mendengar Ayah bernyanyi serius, aku hanya mendengar dia menyenandungkan sebagian lirik saat mengerjakan sesuatu. Melihat foto ini, membuatku ingin mendengar Ayah bernyanyi.
“Coba kau bujuk ayahmu untuk bernyanyi, aku yakin dia akan melakukannya dengan senang hati.”
Di halaman berikutnya merupakan foto bersama dengan latar belakang stan yang dipenuhi berbagai jenis hiasan. Aku ragu jika stan itu berjualan makanan karena tidak ada tulisan menu di sana. Foto tersebut terdiri dari banyak orang dan hampir semuanya mengenakan pakaian kaos yang serupa hanya berbeda motif. Di antara orang yang berpakaian kaos, dua orang memakai topi bucket. Semuanya tersenyum ke kamera. Yang menjadi perhatianku adalah sosok Ibu yang berdiri bersebelahan dengan Ayah. Jika tidak salah, di foto-foto  sebelumnya banyak menampilkan Ibu dan Ayah bersampingan seolah memberitahu mereka berdua berjodoh.
Ada satu foto yang membuat Ibu kembali terdiam. Wajahnya terlihat kosong, jari-jarinya ikut terdiam. Dia menahan napas yang kemudian dikeluarkannya perlahan. Foto itu adalah dirinya saat masih muda sedang berdiri dengan kedua tangan disatukan, di sampingnya berdiri seorang wanita yang merangkul bahu Ibu. Tidak lama berselang, air mata keluar membasahi pipi. Namun Ibu segera mengusap itu semua dengan kasar. “Maafkan aku, Anurika,” katanya sedikit bergetar, “aku terbawa suasana. Foto sebelumnya masih bisa kuatasi, tapi sepertinya mulai halaman ini, aku semakin emosional.”
“Wanita yang di sampingku. Apa kau mengenalnya?”
Aku menggeleng.
“Tentu saja kau tidak mengenalnya. Maafkan aku.” Air mata Ibu semakin deras. Dari dalam tas yang tergeletak di atas meja, aku mengambil tisu lalu memberikannya pada Ibu. Dia menerimanya “Terimakasih. Sebentar ya.” Aku mengangguk. Ibu mengusap air matanya lalu berhenti masih dalam keadaan tisu menutupi wajah. Setelah beberapa detik, ia kembali berbicara, “Wanita ini adalah ibu ayahmu. Dia nenekmu.”
Mataku melebar begitu mendengarnya. Ini pertama kalinya aku mendengar mengenai nenek. Sejak kecil, aku selalu bersama Ibu dan Ayah. Tidak ada liburan ke kampung halaman ataupun sejenisnya. Mereka juga tidak pernah membicarakan mengenai orang tua mereka.
“Dia meninggal bersamaan dengan kakekmu saat aku dan ayahmu belum menikah. Aku tidak bisa menceritakan semuanya kepadamu, tapi ayahmu mungkin bisa. Namun kau harus membicarakannya di waktu yang tepat. Ayahmu pria yang sensitif. Satu hal yang bisa kukatakan adalah sebagian besar makanan yang kubuat berasal darinya.”
Aku tidak sanggup berkata apapun. Mendengar ucapan Ibu, aku yakin kematian Nenek dan Kakek bukanlah hal yang ingin mereka bagi. Termasuk padaku. Terlebih mereka sudah membungkamnya sepanjang hidupku, selama 12 tahun.
“Sayangnya kami tidak sempat mengambil foto Bapak.” Ibu kembali menangis.
Kakek, ya? Aku penasaran dengannya. Apa dia sangat mirip Ayah? Tidak. Wajah Ayah lebih mirip Nenek. Mereka mirip, tetapi tidak seperti Kak Salma dengan ibunya.
Setelah halaman itu tidak ada lagi foto-foto. Album seolah dibiarkan kosong, tetapi Ibu tetap membalikkan halaman demi halaman hingga mencapai suatu bagian yang hanya berisi satu foto.
Itu Ayah dan Ibu. Hanya berdua. Mereka terlihat di dalam photobox dan menatap kamera tanpa ekspresi. Ada kekakuan di antara mereka yang sulit kujelaskan. Wajah Ibu dan Ayah sedikit berbeda dari foto sebelumnya. Terutama Ibu. Mereka kurus. Pipi Ibu begitu tirus, sehingga membuat tulang pipinya mencuat. Rambutnya juga panjang dan dikuncir belakang dengan poni rata. Di bawah matanya terdapat garis hitam tipis yang aku yakini lebih tebal daripada yang terlihat karena efek filter. Melihat perbedaan yang cukup drastis ini membuatku berpikir foto itu diambil bertahun-tahun sejak foto terakhir mereka bersama. Foto tersebut terbagi menjadi 4, tiga di antaranya seperti foto yang tidak sengaja terambil. Sedangkan satu lagi, Ayah tersenyum simpul sambil merangkul Ibu.
Ibu mengembuskan napas berat “Jika bisa aku tidak ingin kau melihat ini,” katanya lalu menggeleng pelan seolah berusaha menghilangkan apa yang ada di pikirannya. “Bagaimana pun juga memperlihatkannya padamu sama saja membongkar kelemahanku. Tanpa aku beritahu, sepertinya kau sudah menebak apa yang terjadi dalam foto.”
Ada jeda sebelum Ibu melanjutkan.
“Rasanya tidak pantas aku mengatakan ini, tetapi aku pernah mengalami suatu masa suram yang mengubah hidupku. Saat itu aku benar-benar putus asa, tidak ada yang bisa kulakukan selain memikirkan bagaimana cara agar hidupku berakhir. Bagiku semua terlihat monokrom, sulit sekali mencari warna-warna yang pernah kumiliki. Aku kesepian, sehingga membuatku semakin mudah meyakinkan diri untuk mati saja. Tidak ada yang peduli jika aku jatuh, bahkan kedua orang tuaku. Bertemu kembali dengan ayahmu setelah bertahun-tahun adalah suatu obat yang berhasil meredakan kegalauanku secara perlahan. Berbagai kejadian dramatis menghampiri kami, hingga takdir memilih kami untuk bersatu. Walaupun begitu aku masih terlalu egois, diri ini masih menginginkan kematian. Kondisiku tidak serta merta membaik, tetapi ayahmu mampu meyakinkanku bahwa hidup yang kuratapi tidak seburuk yang kubayangkan. Aku berhasil bertahan. Sekarang aku bersyukur telah mengenalnya, dia pria yang sabar.”
Perasaanku campur aduk. Setelah di halaman awal kami tertawa, kini suasana menjadi lebih melankolis. Sejujurnya tidak pernah sedetik pun aku memikirkan mengenai masa lalu Ibu. Bagiku yang terpenting adalah bagaimana menjalani masa sekarang, lagipula jika memang Ibu tidak ingin menceritakannya itu bukan masalah, tetapi mendengar Ibu berkata demikian membuatku terpaksa mengingat semua kejadian yang pernah kualami. Saat pertama kali Kak Salma tinggal di sini, aku merasa tersisihkan. Waktu itu aku berpikir Kak Salma merebut semua kebahagianku. Dia dengan tidak tahu diri merampas Ibu dan Ayah dari pelukanku. Di mataku dia hanyalah wanita menyedihkan yang semakin menyedihkan karena meminta kasih sayang seorang ibu. Semua tahu dia sudah ditinggalkan ibunya sejak kecil, dan takdir seolah tidak membiarkannya bahagia dalam jangka waktu lama karena membiarkan ayahnya menyusul ibunya. Namun Ibu selalu memberikan apa yang tidak dirasakan Kak Salma. Ibu sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Aku sempat marah karena berpikiran Ibu hanya peduli dengan Kak Salma, tetapi Ibu akhirnya berbicara. Obrolan malam itu mengubah cara pandangku. Setiap kata yang keluar dari mulut Ibu layaknya sihir yang berhasil menyadarkanku bahwa dia selalu hadir di manapun aku berada. 
Mungkin karena masa lalu itulah Ibu menjadi sosok yang sangat perhatian. Tidak hanya padaku, melainkan juga Kak Salma.
Halaman berikutnya merupakan kumpulan foto Ibu dan Ayah berdua. Kekakuan di antara mereka mulai mencair, Ibu akhirnya bisa tersenyum kembali. Kondisi Ibu juga membaik, tidak lagi kurus. Hingga puncaknya adalah foto pernikahan mereka.
Ibu terlihat cantik dalam balutan gaun putih sederhana tanpa lengan, tetapi dilapisi outer pendek yang menutupi bagian dada. Rambutnya dikuncir hingga membentuk bulatan yang sedikit menyamping lalu dihiasi dengan bando putih polos. Di sampingnya ada Ayah berstelan jas hitam berdasi yang seiras. Dia terlihat gagah. Mereka berpegangan erat dan juga tersenyum. Kebahagiaan menyelimuti mereka berdua.
“Saat foto ini diambil, aku sedang mengandung dirimu.”
Kepalaku tertoleh menatap Ibu dengan raut bertanya-tanya.
Apa maksudnya dia sedang mengandung diriku? Apa mereka melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan? Jika memang begitu, bukankah itu menandakan aku terlahir dari perbuatan amoral?
“Tidak. Bukan seperti itu, pesta ini dilaksanakan lima tahun sejak kami menikah.”
Meskipun merasa aneh, aku mengembuskan napas lega.
“Sekitar lima tahun kami membangun. Dulu kami hanya pasangan yang tidak memiliki penghasilan, aku pengangguran, ayahmu baru saja keluar dari pekerjaannya. Kami mengandalkan uang yang telah kami tabung. Itu pun tidak terlalu banyak, kami bertarung dengan berbagai masalah. Aku yang sakit, dan bagaimana ayahmu berusaha meyakinkan diri bahwa dirinya tidak salah menikahi wanita. Saat menikah dulu, belum ada perasaan menggebu-gebu di antara kami berdua. Rasanya aneh sekali menikahi teman lama yang bertemu kembali. Terlebih ada faktor keterpaksaan di sana. Ayahmu menikahiku agar aku menghentikan niat bunuh diriku. Itu juga menjadi tugas kami, menumbuhkan cinta. Lima tahun yang berharga.”
Di foto berikutnya perut Ibu semakin besar. Mereka masih tetap berdua. Di beberapa foto ada satu orang anak kecil, Kak Salma. Menurut penuturan Ibu, ayah Kak Salma akan menitipkan anaknya ke Ibu saat bekerja. Ibu terlihat bahagia di sana. Dan juga saat ini. Bibirnya berusaha membentuk senyuman, air matanya berhasil ia kontrol. Tidak ada lagi foto yang membuat Ibu menangis, kebahagiaan mulai menyelimutinya kembali setelah awan gelap nan tebal memerangkapnya.
Sampai di akhir halaman, aku menatap foto itu lekat-lekat. Ibu dan Ayah tidak lagi berdua, ada seorang bayi mungil yang tertidur di pangkuan Ibu. Dari yang kulihat, Ibu habis menangis, rambutnya berantakan, namun aku yakin air mata yang kering itu adalah air mata kebahagiaan. Ayah berdiri membungkuk di samping kasur Ibu dan bayi itu tertidur. Mereka  tersenyum, termasuk bayi tersebut.
“Kelahiranmu merupakan keajaiban. Semua rasa sakit yang kualami hilang begitu saja. Saat aku menggendongmu untuk pertama kali, aku terharu sekaligus bahagia hingga membuatku tak kuasa menahan tangis, begitu pun ayahmu. Kami benar-benar bersyukur kau hadir di dunia ini dalam keadaan sehat.”
“Ayahmu berniat memberimu nama Arunika yang berarti cahaya matahari pagi, tetapi dia terbalik, sehingga mengucapkannya Anurika. Walaupun begitu ada arti dalam namamu. Apa yang aku dan ayahmu alami semasa muda tidaklah mudah. Kami hampir dibutakan oleh takdir buruk. Menganggapnya sebagai sahabat baik yang selalu mengikuti. Layaknya kegelapan pekat tanpa cahaya, kau akhirnya hadir bersama kami, membawa sinar yang berhasil mengusir kegelapan itu. Rasanya hangat sekali, sehingga membuat kami percaya anugerah yang hadir karena rasa pahit itu ada.”
Begitulah Ibu mengakhiri sesi memperlihatkan album foto lamanya. Meskipun di halaman pertama Ibu menulis sebagai dirinya yang berusia 19, tetapi dia tetap memperbaruinya. Hari-hari yang pada awalnya begitu menyenangkan, terasa hambar di masa kini. Beberapa orang yang terdapat di foto itu telah tiada seolah membuatnya merasakan kebahagiaan semu. Kebahagiaan itu semakin menjauhinya, menipunya, membuatnya terpaksa mengosongkan halaman. Di saat itulah aku merasa masa yang dianggap Ibu sebagai kegelapan pahit terjadi. Lama sekali dia berjuang sendiri sampai Ayah hadir. Album itu mulai terisi lagi dan diakhiri oleh foto diriku yang baru lahir.
Semua layaknya makanan yang memiliki berbagai warna dan rasa. Album ini pasti sangat berarti bagi Ibu karena bagaimana pun juga album itu sudah merekam kejadian penting yang berhasil membantu dirinya menjadi seperti sekarang. Itu juga merupakan bukti bahwa Ibu tidak menyerah. Aku senang Ibu mempercayaiku untuk berbagi kisah yang terdapat di dalamnya.
Ditulis di :
Bogor, 16 Juni 2021
0 notes