Text
Perjalanan pernikahan setiap manusia ternyata memang berbeda-beda. Kita tidak bisa mematok kebahagiaan kita untuk menjadi kebahagiaan orang lain. Begitu juga dengan cara pandang orang lain. Bukan lain perihal bahagia ini dipengaruhi oleh tujuan pernikahan masing-masing pasangan.
Ada yang tujuannya punya keturunan, maka ketika tujuan itu tercapai akan sangat bahagia. Ada yang tujuan menikahnya untuk tumbuh bersama menjadi pribadi lebih baik. Maka support dari pasangan untuk karir dan pendidikan dalam rumah tangganya menjadi tolok ukur.
Dulu sebelum menikah saya punya pandangan yang sempit soal menikah. Namun setelah menjalani hingga hari ini, ternyata begitu kompleks makna bahagia dalam pernikahan. Target yang semula menjadi tujuan pribadi saat ini menjadi tujuan bersama. Begitu juga dengan pasangan.
Sangat bersyukur karena punya suami yang supportive. Mau ambil jalan karir dulu diperbolehkan, mau ambil jalan pendidikan untuk sekolah lagi juga ga kalah besar dukungannya. Mau berkarir di kota A, B, C juga tidak pernah dapat komplain. Katanya "sekarang transportasi udah gampang. Asal nggak di pedalaman aja".
Ternyata menikah tidak semenyeramkan dugaan saya. Saya banyak belajar hal baru, meski sebelum menikah juga tidak luput dari usaha mempelajari kehidupan pernikahan namun tetap saja banyak hal baru lainnya.
Semoga pernikahan kami penuh rahmat. Penuh cinta. Penuh rasa syukur. Semoga kami tidak berhenti untuk belajar dan menjadi berguna bukan untuk diri kami sendiri, tetapi orang lain juga.
11 notes
·
View notes
Text
Terkadang manusia hanya diminta untuk mempercayai realita kehidupan dan "face the problem". Bukan menghabiskan waktu untuk menyangkal dan sibuk berkhayal. Dunia tidak pernah ramah kepada siapapun. Terlalu lama meratap justru membuat kita stuck in the moment. Saat orang lain bisa grow up, eh kitanya masih jalan di tempat.
Semangat!
0 notes
Quote
Lakukan apapun dengan sepenuh hati dan perjuangan keras. Kelak saat kita berhasil, rasanya jauh lebih nikmat dan semua itu bukan sekedar keberuntungan. Pun ketika gagal, percaya bahwa ada banyak hikmah dan pembelajaran. Berani mencoba, berani berusaha, berani gagal, dan berani mencoba lagi!
Yogyakarta, 14 November 2021
0 notes
Text
Ukuran dan makna kesuksesan
Beberapa hari ini ternyata saya sibuk mereset tujuan-tujuan jangka pendek dan panjang dalam hidup. Tidak banyak orang yang berani mereset tujuan hidup tersebut. Alasan yang biasanya diberikan adalah “nanggung, nggak mau mulai dari awal lagi” dan masih banyak lagi. Berawal dari perjalanan ke Bali yang membuka kebahagiaan baru, pandangan baru, dan menutup mata untuk menjadi yang terbaik versi orang lain. Era media sosial benar-benar mengantarkan saya dan mungkin banyak orang di luar sana tentang ukuran sukses dan bahagia justru bukan dari kita tapi orang lain.
Misalnya saja, di usia saat ini melihat teman sudah bekerja terkadang membuat hati terusik ingin bekerja dari pagi sampai petang di industri dan berpikir bahwa saya akan hebat ketika berhasil jadi wanita karir di usia muda seperti teman saya yang sudah bekerja di instansi pemerintahan, BUMN, perusahaan multinasional, dan lain sebagainya. Padahal, Tuhan sudah memberi saya jalan untuk studi magister dan gratis pula. Rasanya sungguh jauh dari rasa syukur, padahal orang di luar sana mungkin ingin juga mengenyam pendidikan lanjut, namun jalan mereka saat ini adalah bekerja.
Terkadang juga ingin menikah muda dan punya momongan saat usia belum menginjak kepala tiga karena melihat teman-teman dekat saat SD, SMP, SMA sudah banyak yang menikah dan punya anak-anak yang super lucu. Mereka seringkali berbagi aktivitas setiap hari melalui media sosial mereka dan semua tampak bahagia.
Padahal apa yang saya atau teman-teman lihat tak selamanya begitu. Media sosial adalah tempat orang-orang mengabadikan momen paling membahagiakan dalam hidup. Mereka cenderung menutup rapat kemarahan, kesedihan, kekecewaan yang dihadapinya. Mungkin mereka juga terkadang mengeluh karena tidak memiliki waktu libur yang cukup karena dikejar deadline yang menunggu diselesaikan saat di kantor. Juga mungkin para ibu-ibu muda sempat mengalami baby blues, tapi hal-hal tersebut tidak mereka bagikan. Karena ingin terlihat sempurna.
Dari sana, saya belajar bahwa sayapun demikian. Tidak berbeda dengan mereka. Manusia akan selalu punya struggle masing-masing selama masih hidup dan tugas kita adalah menghadapinya, menyelesaikannya, dan menjadikan pelajaran dalam hidup. Jangan lupa juga bahwa Tuhan tidak sekejam yang manusia pikirkan. Dia menunjukkan jalan kepada kita dan kita tetap berhak untuk memilih mau menjadi apa kita. Menemukan arti keren, sukses, dan bahagia menurut versi kita.
Lepas keyakinan bahwa sukses harus seperti si A dan si B, mungkin kita tidak cocok di sana. Mungkin kita lebih cocok mengambil peran sesuai dengan apa yang kita sukai. Dan percaya, apapun yang kita lakukan, selama kita melaksanakan dengan sungguh-sungguh tentu kita akan sampai pada titik sukses kita. Sukses yang tidak hanya membuat kita merasa terbebani, tapi sukses yang membuat kita bahagia juga.
Selamat bermalam Selasa untuk siapapun yang berjuang. Setiap langkah yang kita ambil tidak akan sia-sia. Kegagalanpun selalu menyisakan pembelajaran baru.
0 notes
Text
How much do we say “sorry”?
It’s only a Saturday note. I’m not a specialist in psychology or communication. But, I really hope it could be remind me to treat strangers well. They’re human too, they have feelings to. Happy reading. :))
Dibesarkan di tengah-tengah suku Jawa dengan adat Ketimuran tentu memedulikan perasaan orang lain, etika komunikasi, dan mengelola emosi agar lebih stabil menjadi salah satu hal yang diajarkan sejak kecil. Walaupun dalam prosesnya, saya pun kerap kali tidak menjalankan secara penuh apa yang telah orang tua ajarkan. Misalnya saja aku dengan manajemen emosi yang “amburadul” dan sangat tempramen. Namun, hidup adalah tentang berproses. Kita akan dibenturkan dengan berbagai macam cobaan fisik, emosi, psikologi, dan masalah-masalah lainnya.
Tapi bukan hal yang mudah untuk mengajarkan kepada seseorang tentang etika, meski kita juga memberikan contoh kepada orang tersebut. Misalnya dalam mengatakan “terimakasih”, “maaf”, dan “tolong”. Terkadang kita memperlakukan orang dengan baik dengan mengawali atau mengakhiri percakapan dengan kalimat “maaf”, “tolong” dan “terimakasih”, namun terkadang orang yang kita ajak berdiskusi malah terkesan menyudutkan kita, merasa benar, merasa di atas angin, dan sebagainya.
Hingga hari ini, aku cuma bisa belajar untuk mengucapkan tiga kalimat tersebut tanpa bisa menularkan kepada mereka yang memang tidak terbiasa dengan kalimat tersebut. Ada rasa segan, apalagi harus menegur mereka yang mungkin secara personal kita tidak dekat dengan orang tersebut. Namun, kita sebenernya bisa untuk mengajak sahabat atau teman dekat dengan kode seperti ini “kan udah aku beliin makanannya, hayo bilang apa?” atau ketika dia minta tolong jangan dulu merespon sampai dia bilang “tolong”.
Lalu bagaimana ketika kita berhadapan dengan orang yang mungkin tidak terbiasa dengan ketiga kalimat tersebut? Karena rasa kesal terus dianggap lemah, disudutkan, dipermasalahkan padahal kesalahan tersebut bukan ada pada diri kita bisa jadi pesan yang ingin kita sampaikan terlupakan oleh rasa kesal dan marah. Salah satu cara yang aku gunakan adalah bicara sejujurnya, apa adanya, blak-blakan. Karena mereka mungkin terbiasa tinggal di lingkungan dengan komunikasi adat ketimuran yang cukup rendah.
Kemudian apa saja sebenarnya yang mempengaruhi gaya komunikasi terutama dalam menggunakan tiga kalimat tersebut?
pendidikan dari orang tua sejak dini
lingkungan yang mendukung (lingkaran pertemanan, tempat kerta, etc.)
kesadaran diri sendiri untuk diperlakukan sama
Yuk men-treatment orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Segala yang baik akan kembali pada yang baik, begitu juga sebaliknya.
Happy Saturday
0 notes
Text
Hidup adalah tentang apa yang telah dipilih.
Mungkin ini akan jadi pengingat dan menjadi cermin yang akan sesekali dilihat oleh diri kita, bahwa hidup adalah soal apa yang sudah dipilih. Selama lima tahun terakhir banyak sekali pilihan yang datang. Apa yang dipilihpun telah mengantarkan manusia pada detik ia mengingat semua pilihannya. Bebera hari ini rasanya sedang menjalani hari-hari yang berat (lagi). Meski sebelumnya juga telah melewati dan tak jarang menaklukkan setiap kesulitan. Pilihan sulit saat ini yang dihadapi tentu saja tentang tugas akhir. Mungkin saja tahun ini Tuhan memberi diri ini struggle yang cukup sulit ditaklukkan. Dari struggle tersebut akhirnya saya belajar menyukuri apa yang telah saya lewati dua tahun silam. Menyelesaikan skripsi 2 bulan saja. Jika ditanya tentu saja tidak ingin mengulangi masa-masa tersebut.
Mereka mungkin mengatakan bahwa “anak soshum mah gampang”, tapi nyatanya ada juga anak soshum yang lulus lebih dari lima tahun. Setelah dipikir memang semuanya adalah tentang pilihan. Pilihan untuk membunuh rasa malas, membunuh segala pikiran negatif yang menyalahkan dosen, menyalahkan responden, dan sebagainya. Dua bulan sudah dijalani dengan mencoba membawa topik yang menurut saya cukup keren, bahkan sumbernya artikel bereputasi dan terakreditasi semua. Tapi ternyata dosen punya judgment yang berbeda. Apakah tidak mencoba mempertahankan? Tentu sudah. Perdebatan alot karena perbedaan persepsi atau sudut pandang hingga memperdebatkan cakupan output serta urgensi topik.
Pada saat demikian, akhirnya kita dihadapkan pilihan lagi. Mengikuti saran dosen dengan motivasi “saya tahu kamu mampu, Mel. peluang publikasi terbuka lebar”, atau menentang dengan keyakinan sebelumnya. Pada akhirnya sekali lagi saya dihadapkan pada pilihan. Satu yang saya yakini, meski dosen bukan Tuhan, professional judgment yang dimiliki pasti tidak salah. Ide baru patut dicoba. Memberikan pressure baru untuk diri sendiri pasti menantang. Seperti apapun hasilnya nanti, keputusan ini bukan sesuatu untuk disesali. Dosen sedang berupaya membentuk kita dengan memberi tantangan lebih dari kapasitas, mendorong agar lebih bermanfaat lagi dan lagi.
Pilihan lain yang masih dipegang adalah, tekat yang sudah bulat bahwa Desember nanti harus sudah lulus dan mendapatkan gelar M.Acc. kemudian mengabdi. Kelak semoga punya kesempatan untuk memberikan pidato di pelepasan wisudawan minimal di jurusan. Saya ingin membagikan bahwa kita punya pilihan dan diri kita hari ini dibentuk oleh pilihan-pilihan tersebut.
1. Pilihan bekerja atau studi lanjut 2. Pilihan membiayai studi lanjut secara mandiri atau beasiswa 3. Pilihan memilih kampus mana akan menempa diri 4. Pilihan apakah akan menjadi mahasiswa dengan IPK cumlaude saja atau aktif di berbagai organisasi sehingga meningkat value dirinya 5. Pilihan untuk menjadi selfish atau orang yang peduli dengan lingkungan 6. Pilihan hidup dengan kerja keras atau malas-malasan 7. Pilihan lulus tepat waktu atau terlambat 8. Pilihan punya pikiran positif atau negatif 9. Pilihan menyalahkan orang lain atau intropeksi diri 10. Pilihan lulus terbaik atau biasa-biasa saja 11. Pilihan untuk sharing dan caring atau menyimpannya
Pada dasarnya masih banyak pilihan. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih melindungi diri kita dari berbuat buruk, dari pilihan yang membawa ketidakbaikan, menjauhkan dari iri dengki, memelihara hati agar tetap menjadi baik meski lingkungan tidak memperlakukan kita dengan baik. Selamat hari Minggu. Selamat untuk produktif lagi. :))
0 notes
Text
Kita manusia, bukan Tuhan Yang Maha Berkehendak.
Sadar bahwa kita manusia berarti juga sadar bahwa kita adalah makhluk yang terbatas. Saat kita sadar bahwa kita memiliki keterbatasan maka kita akan belajar untuk menerima apa yang orang lain lakukan, apa yang orang pikirkan. Kita bahkan terkadang kesulitan mengendalikan diri sendiri pada saat kondisi emosi sedang sedih, marah, kecewa, bahkan bahagia. Maka untuk mengendalikan orang lain itu sesuatu yang sulit. Apalagi mengendalikan orang lain yang memiliki karakter yang lebih kuat dari diri kita. Salah satu cara agar psikologi kita tidak terganggu ya dengan menerima bahkan lebih jauh lagi memahami. Menerima perbedaan untuk hidup lebih waras. Memaksakan kehendak diri sendiri agar semua orang diseluruh muka bumi berjalan sesuai apa yang kita mau adalah suatu kemustahilan. Kita bukan nabi, bukan Tuhan yang memiliki nilai mutlak benar atas apapun.
Denial terhadap apa yang orang lain lakukan justru akan membuat kondisi pikiran stress karena mencoba mengatur sesuatu hal yang tidak bisa kita atur. Menjada pikiran tetap waras memang tidak mudah di era digital seperti sekarang ini. Mungkin kita sudah memberikan limitasi terhadap orang-orang dengan vibes negatif di sekeliling kita. Tapi, terkadang orang-orang dengan vibes negatif tidak ingin kita hidup dengan tenang. Segala sesuatu yang kita lakukan dikomentari, disanjung untung kemudian dihina. Jika saya diperbolehkan untuk berargumentasi, orang-orang yang suka membagikan hal-hal negatif dalam dirinya kepada orang-orang sekitar adalah orang yang sakit jiwa, tidak waras pikiran dan hatinya. Beberapa orang mengatakan mereka yang tidak senang atas kebahagiaan sesama manusianya adalah psico. Bahagia ketika melihat orang tidak bertumbuh, tidak suka diungguli, dan meraka sebenarnya mengakui kekalahan, ketidakmampuan dan kelemahannya di alam bawah sadar mereka.
Rasanya sayapun hanya menemui orang dengan karakter tersebut satu saja di dunia dan naudzubilla summa naudzubillah jika ada dua atau bahkan tiga. Tetapi perlu adanya antisipasi dengan abaikan saja apa yang dia lakukan dan katakan kepada diri kita. Karena jika dipahami lebih jauh mereka tidak lebih dari seseorang yang sedang insecure tapi tidak mengakui dan ingin selalu menjatuhkan. Sekali kita membalas ocehannya yang tidak berfaedah atau menanggapi gurauannya maka kita sejatinya sedang membuang waktu untuk sesuatu hal yang sungguh jauh dari kebermanfaatan.
Tapi Tuhan, sungguh hambamu ini merasa sangat bahagia dipertemukan dengan orang dengan pemikiran unik, karakter unik tersebut. Darinya kita bisa belajar menjadi orang yang berhati besar tidak membalas, berhati besar untuk tidak terpancing emosinya jauh lebih unggul dibanding sibuk mengatur hidup orang lain, mengomentari hidup orang lain karena kita pun sadar bahwa diri sendiri ini masih jauh dari kebaikan. Mari berfokus untuk mengejar ketertinggalan. Mari menyibukkan diri dengan mengejar pendidikan. Jangan lupa ibadah dan jangan lupa bersyukur. Semoga Allah swt menjaga hati kita dari iri dengki dengan sesama. Tuhan maha adil. Namun manusia tidak pandai bersyukur dan melihat keadilan tersebut.
0 notes
Text
Bertambah usia, berkurang rasa.
Dewasa tidak sama dengan bertambahnya usia. Semakin dewasa semakin bijak tutur kata dan tingkah lakunya. Namun semakin bertambah tua, semakin banyak tuntutan hidupnya. Saat kecil dulu, rasanya ingin lekas beranjak tua dengan angan-angan bahwa orang tua bisa menentukan pilihan mereka, bisa pergi kemanapun mereka suka, bahkan menjadi apapun yang mereka mau. Namun saat saya menyadari ternyata pelik juga menjadi orang yang tak lagi muda, ingin rasanya kembali ke masa-masa tidak perlu menanggung beban berat yang ada dipundak. Saat marah maka dengan bebas kita mengatakan apa yang tidak kita suka, saat takut kita bisa menangis, saat kecewa kita bisa pergi begitu saja. Berbeda saat kita sudah bertambah usia, apapun rasa yang dirasakan, rasanya harus tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.
Well, saat bertambah usia seseorang akan semakin realistis, idealisme yang dibangun saat remaja perlahan terkikis. Mereka dituntut menghasilkan sekian banyak prestasi untuk menjaga nama baik, menghasilkan banyak uang agar bisa hidup dengan ‘layak’. Bahkan hingga sengaja mengubur perasaan alami manusia agar tidak menyakiti yang lain, padahal kita sedang menyakiti diri sendiri. Namun tentu saja menjadi jujur dalam segala situasi dan kondisi tidak baik juga, tapi sampai kapan kita menahannya? Sampai perasaan kecewa dan marah ada pada puncaknya? Menunggunya meledak dan lebih tak terkendali lagi?
Terkadang banyak hal yang mungkin tidak kita suka, misalnya saja ada orang lain yang komplain atas kinerja orang lain kepada diri kita. Meski orang yang komplain tahu bahwa itu bukan hasil kerja kita, namun karena hanya ada kita di tempat tersebut akhirnya kita juga yang mendengar kekecewaan dan bahkan tak jarang menerima omelannya. Menyebalkan, sangat menyebalkan. Merusak mood seharian dan menyesal, kenapa pada saat kejadian harus ada kita saja di tempat tersebut. Namun, darinya kita sadar bahwa mungkin saja itu sebuah teguran dan pengingat. Barang kali kita tanpa sadar pernah melakukan hal menyebalkan itu kepada orang lain. Atau jika memang dirasa belum pernah melakukan hal itu, Tuhan sedang berbaik hati mengingatkan kepada kita untuk tidak melakukan hal serupa. Tentu saja apa yang dilakukan orang tersebut salah.
Jadi pertanyaannya kapan dan di mana kita harus jujur? Kapan kita harus meluakan perasaan yang sudah lama ditahan? Jika memang kita mampu menyusun sederet kalimat yang masih bisa diterima oleh hati manusia dan tidak menyebabkan lawan bicara tersinggung maka katakanlah. Jika tujuanmu mengatakan hanya sekedar mengingatkan dan bukan untuk merendahkan, katakanlah. Namun catatannya jangan sampapi mengatakan kata-kata kasar berkedok “mengingatkan”, “kepedulian”, atau lebih parahnya “no hard feeling ya”. Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan. Misal setiap pagi saya selalu berbicara dengan diri saya menggunakan cermin sekedar untuk meyakinkan bahwa hari ini akan mampu dilewati dengan baik, untuk bersikap baik dengan orang lain, atau untuk memaafkan orang lain dan diri sendiri atas kesalahan yang telah diperbuat. Terkadang jika ada unek-unek yang ingin disampaikan maka akan menuliskannya ke media sosial yang dimiliki. Atau ke buku catatan yang setelahnya akan dibuang jika dalam tulisan tersebut ada nama yang apabila kita share ke media sosial bukan berimbas berbagi kepada pembaca (jika ada) namun malah menyakiti orang lain.
Jadi luapkan saja rasa yang mungkin tidak bisa kita tunjukkan kepada orang lain untuk menjaga perasaannya, wibawanya, karismanya dengan menulis atau mengungkapkannya secara pribadi dengan diri sendiri. Jangan menunggu sampai ia meledak dan kita mungkin tidak bisa mengatasinya. Selamat istirahat wahai diri, jika sudah sangat lelah ambillah istirahat untuk berjuang lagi keesokan harinya. Semoga bermanfaat :))
5 notes
·
View notes
Text
Berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan
Seringkali kita terpicu amarahnya hanya karena melihat kesuksesan orang lain, kebahagiaan orang lain. Bahkan jahatnya kita merasa bahagia melihat orang lain gagal, orang lain sedih, orang lain dalam duka. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Jawabannya adalah masalah hati seperti, iri, dengki, cemburu dan merasa ingin diakui. Padahal, banyak manusia memilih tindakan yang berbeda dengan apa yang kita yakini. Menerima perbedaan tersebut membuat hati dan hidup kita akan bahagia juga. Kita harus belajar bahwa tidak semua orang memiliki opini yang sama dengan diri kita. Dan kita tidak bisa memaksakan kehendak kita bahwa semua orang didunia harus hidup dibawah aturan yang kita buat, aturan yang kita yakini kebenarannya.
Misalnya saja keyakinan Tuhan, tentu kita tidak bisa memaksa bahwa semua orang harus memiliki keyakinan dan agama yang sama dengan kita. Begitu juga pilihan hidup lainnya. Beberapa orang menjadi sangat bijak karena melakukan pertimbangan yang cukup lama, sedangkan sebagian memiliki strategi yang sangat baik karena ia pandai membaca situasi dan berani mengambil keputusan yang sangat cepat. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Tingkat toleransi manusia dalam menerima perbedaan yang tidak bisa kita kendalikan menjadi kunci untuk menjawab masalah tersebut. Kenapa bisa dikatakan suatu masalah? Karena respon negatif yang terus menerus dalam diri seseorang akan menyebabkan ketidak nyamanan dalam diri dan bahkan ketidaknyamanan orang lain. Maka kita perlu memperluas toleransi kita ditengah banyaknya perbedaan antara diri kita dengan orang lain.
Hal yang sulit untuk dilakukan ketika kita benci dengan orang lain yaitu dengan komentar yang jahat dan menyakitkan baik secara pribadi ataupun di tempat umum. Lebih bijaklah dalam mengontrol pemilihan kata yang tepat. Jangan mengusik, karena kitapun tak suka diusik. Jangan memulai pembicaraan yang merendahkan atau menjatuhkan, karena kita sama sakitnya jika direndahkan dan dijatuhkan. Semua orang punya hak untuk diperlakukan dengan baik, terlepas dari apapun kekurangan yang dia miliki, kita (manusia) tidak punya hak untuk menghakimi orang lain. Jangan menjadikan ‘kata-kata kasar’ yang dilontarkan dengan dalih ‘peduli’. Ketika kita peduli, pasti kita akan punya cara baik juga untuk menyampaikannya.
Akhir kata, terimakasih untuk teman-teman baik yang sudah sudi menasehati sahabat, teman, dan diri sendiri dengan kata-kata indah yang lebih nyaman diserap hati. Mengontrol emosi itu tidak mudah, tapi terimakasih karena sudah cukup dewasa dan bertumbuh menjadi pribadi yang baik. Semoga kalian yang masih menahan senyum getir ketika orang terdekat kalian mencemooh, Allah mudahkan segala jalanmu menuju kebaikan. Sabar itu mata air yang tidak berbatas kebaikannya. Jangan membalas, mari ikhlas. Curahkan semua marah yang sudah ditahan di tempat yang lebih baik, curahkan saja saat berdialog dengan Sang Maha Segalanya. Dia mendengar, Dia juga memahami perasaan kecewa dan marahmu. Jangan lontarkan cacian dan makian yang serupa kepada mereka yang membuatmu kecewa dan marah, karena mereka hanya akan berkata ‘aku tidak peduli’.
0 notes
Text
Penting nggak sih memilih circle pertamanan?
Memilih circle pertemanan bukan berarti nggak bersahabat dengan semua orang. Untuk menjadi orang baik, kita ga harus kok berteman sama seluruh manusia di bumi. Cukup untuk jadi orang yang nggak julid, cukup jadi orang yang menerima kekurangan orang lain, menerima pendapat yang berbeda dari orang lain, nggak jadi orang yang egois, dan nggak nyusahin orang lain.
Minimal kalau kita tidak bisa membuat orang lain bahagia, jangan jadi beban dan membuat orang disekeliling kita menderita. Sekali lagi, tidak menjadi teman bukan berarti menjadi musuh ya. Terkadang kita perlu menjadikan orang lain sebagai teman yang hanya bertegur sapa, tidak memberikan wilayah bagi mereka untuk memberikan kita advice, masukan, dan saran untuk segala bentuk tindakan atau ucapan yang kita yakini kebenarannya.
Misal nih, kita punya mimpi besar yang harus dicapai satu tahun lagi, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi. Maka kita tentu akan membuat planning agar mimpi kita satu persatu tercapai. Atau paling tidak, agar tidak terlalu meleset jauh dari mimpi-mimpi kita. Semua mimpi wajib diperjuangkan. Jangan hanya pasrah. Tuhan Yang Maha Kuasa akan memberikan apa yang kamu mau asal kamu berusaha mendapatkannya. Indonesia merdeka karena ambisi para pejuang, mereka tidak menundukkan diri dan pasrah dengan keadaan yang ada. Mereka memilih maju menjadi pejuang dengan mempertaruhkan segala bentuk kekuasaan, nyali, bahkan nyawa.
Jadi kalau kita ingin semangat perjuangan kita tetap menyala, yuk berkumpul dengan orang dengan spirit yang sama. Jangan malah memilih bergabung dengan orang-orang yang semangat hidup saja tak punya. Pasrah dengan keadaan. Menerima nasib. Semangat sekecil apapun, jika kita berkumpul dengan mereka yang memiliki semangat luar biasa untuk menjadi baik, untuk menjadi berguna, untuk terus belajar, maka bukan tidak mungkin semangat kita akan bisa menyala dengan kuat seperti api-api yang ada di sekeliling kita.
Para ulama memiliki ambisi yang luar biasa untuk menyebarkan agama, para pejuang memiliki ambisi yang luar biasa untuk memerdekakan negara ini, para guru berebut menjadi volunteer di daerah pelosok untuk memajukan pendidikan di Indonesia, agar anak-anak didik mereka bisa baca tulis, agar lilin-lilin desa tetap menyala.
Kita memiliki hak untuk memilih, memilih jalan mana, memilih untuk menyalakan semangat yang besar atau kecil, memilih siapa yang akan mempengaruhi semangat kita. Hindari orang-orang yang mungkin membuat kita lengah dan bersantai dengan target-target yang harus dicapai. Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk pola pikir. Jadi jangan sampai salah memilih tokoh idola, jangan salah memilih lingkungan untuk bertumbuh. Jangan sampai rasa insecure yang kita miliki membuat kita menghardik orang lain, memandang rendah orang lain yang memiliki prestasi lebih baik, bahkan sampai pada titik menghasut dan melemahkan semangatnya. Ketahuilah perbuatan tersebut sangat buruk.
Apakah ada orang yang seperti itu? Ada, tapi harapannya tak banyak. Sibuk menghina, merendahkan, mencaci tanpa ia sadari bahwa sebenarnya ia sedang pada tahap mencari pengakuan, dia tidak ingin kita bertumbuh hanya agar dirinya terlihat. Yuk hindari teman toxic. Lebih baik kita kehilangan satu teman dibanding kehilangan 100 mimpi yang sudah kita susun. Menjadi orang yang positif, semoga kita dijauhkan dengan penyakit hati seperti iri, dengki, dan suka mencela sesama.
1 note
·
View note
Text
Semua rasa ada porsinya
Jangan bahagia berlebihan, jangan sedih berlebihan!
Pernah ngerasa marah sama orang lain sampai-sampai hati tidak tenang dibuatnya? Pernah merasa kecewa sampai hampir depresi? Pernah senang sampai nggak pengen tidur? Pernah merasa sedih sampai ingin mengakhiri semuanya?
Bersyukurlah kita ketika bisa merasakan banyak rasa karena setiap rasa punya cerita dan hikmah setelahnya. Pernah berfikir kenapa ada orang yang sangat egois, pengen menang sendiri, atau penakut? Salah satu penyebabnya adalah rasa yang dia pernah dapatkan bisa jadi belum sepenuhnya lengkap.
Misalnya saja begini, ketika ada orang minta tolong, pernahkah kita merasa iba dan tergerak hatinya untuk membantu? Jika iya bisa jadi karena kita pernah berada di posisi mereka meski dalam kasus yang berbeda. Kita pernah merasa sangat membutuhkan bantuan orang lain, dan kita pernah menggantungkan harapan kepada orang lain untuk menyelesaikan kesulitan kita, maka ketika kita melihat orang lain meminta bantuan, hati kita akan dengan mudah dan ikhlas membantunya.
Atau begini, tidak banyak orang yang memiliki keberanian untuk meminta maaf terlebih dahulu. Bisa jadi, mereka yang memiliki keberanian tersebut adalah orang yang pernah merasa sangat marah atau kecewa atas perlakuan orang lain kepada dirinya.
Hidup bukan hanya soal bahagia, jika kita hanya tahu bahagia bisa jadi kita menjadi orang yang egois yang selalu mengutamakan kebahagiaan kita dibanding kenyamanan orang lain, pendapat orang lain, dan pilihan orang lain. Yang perlu diingat adalah semua ada porsinya, ada takarannya, dan kita bisa mengontrol perasaan tersebut untuk tetap pada wadahnya. Jangan terlalu berlebihan, bahkan untuk bahagia itu sendiri.
Ada buku menarik yang bisa dibaca para calon orang tua yang ditulis oleh Kevin Leman, PhD dengan judul The Birth Order Book: Why You Are the Way You Are atau karya dari Frank Sulloway yang bisa membimbing kita memahami perbedaan karakter anak pertama, anak tengah, dan anak terakhir yang salah satunya juga dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur keluarga yang dimiliki. Dengan pendekatan pola asuh yang baik anak akan tumbuh menjadi pribadi yang positif serta siap menerima semua rasa yang ada di dunia ini.
Selamat belajar untuk para calon orang tua, anak kita bukan tikus lab yang bisa diuji coba, bukan juga kelinci percobaan yang bisa kita tangani dengan otodidak saja. Mereka punya hak hidup untuk diperlakukan dengan layak. Stop menjadikan mereka bahan eksperimen orang tua!
0 notes
Text
Ego
Bersabarlah.
Kau perlu tau, wanita yang tengah coba kau cintai itu, dulu juga pernah sangat mencintai seseorang sebelum kemudian ia ditinggalkan pergi menjadi kepingan yang jauh lebih kecil dari patah hati - patah hati yang sebelumnya.
Ia pernah menjadi wanita yang mudah percaya, sebelum pada akhirnya ia dikhianati oleh orang yang paling ia percaya.
Ia pernah menjadi wanita yang berani untuk mengambil langkah, sebelum pada akhirnya ia ditinggalkan sendiri setelah mengorbankan semuanya.
Ia pernah menjadi wanita yang begitu ceria, sebelum pada akhirnya seseorang mengambil separuh tawanya. Separuh jiwanya.
Jadi, jika ia kerap sulit untuk membuka hati, sulit untuk percaya lagi, tak kunjung memilihmu padahal kau selalu ada untuknya, mengertilah. Ia juga tengah berusaha dengan cara mencoba meski berkali-kali kenangan buruk terus saja membuatnya kembali tak bisa. Ia juga sebenarnya ingin, tapi ada tembok tinggi yang membentengi hatinya. Ia terkurung di sana, dan tugasmu untuk mendobraknya.
Ia tidak egois. Ia hanya tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Namun jika kau memaksa agar ia mencintaimu, atau bahkan memandang sebelah mata karena ia tak kunjung bisa melangkah dari segala luka masa lalunya itu,
Mengertilah; Kau yang sejatinya egois di sini.
2K notes
·
View notes
Text
Privilege terbaik untuk anak
Tadi malam tepatnya, aku mendengarkan celotehan dari orang terdekat dalam hidupku mengenai privilege apa yang harus diberikan kepada anak. Mungkin banyak dari kita sering kali tidak menyadari privilege tersebut. Pun dengan aku yang baru disadarkan tadi malam.
Apa aja sih privilege yang sering kali kita dengar dan tahu? Kekayaan, posisi atau jabatan, kecerdasan, ras, jenis kelamin, dan masih banyak lagi. Kekayaan akan memberikan akses kepada kita untuk menjelajah segala hal di dunia ini yang membutuhkan uang. Yah, uang ini jadi kebutuhan pokok terendah manusia. Tapi secara logika memang begitu adanya, bahwa banyak hal di dunia yang serba transaksional ini uang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia.
Namun, apakah semuanya butuh uang? Mari kita pahami apa itu uang dan bagaimana orang-orang besar di dunia ini memandang uang. Misalnya saja Henry Ford, pendiri Ford Motor Company di Amerika yang mengatakan bahwa “if money is your hope for independence you will never have it. The only real security that a man will have in this world is a eserve of knowledge, experience, and ability.” Dan kami membuktikan itu.
Kemanapun kami pergi, kami bukan membawa uang, kami mendapatkan uang karena cadangan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan. Seringkali biaya akomodasi yang kami dapatkan, tiket yang kami terima bahkan sampai pada tahap S2 ini kami tidak pernah membayarnya dengan uang. Hingga titik renungan tersebut, ada privilege yang akan kami berikan dan bangun dalam anak-anak kami yaitu keinginan untuk belajar, semangat untuk bangun kembali setelah kegagalan datang bertubi-tubi.
Uang mungkin akan hilang, tapi semangat belajar jika ia dipupuk dengan baik pada saat masa pertumbuhan, maka saat orangtua mengalami kegagalan, tidak bisa memberi mereka sejumlah uang, maka mereka tetap bisa survive menjalani segala tantangan dalam hidup. Uang mungkin tak bisa membeli kepandaian dan pengalaman, tapi dengan kepandaian dan pengalaman akan mudah menghasilkan uang.
Pesan terakhir yang akan dilakukan saat nanti memiliki rumah sendiri yaitu menjadikan ruangan terpenting untuk keluarga itu bukan diisi dengan televisi, mainan, atau hal-hal yang tidak memberikan experience dalam hidup. Ruang keluarga akan diisi dengan sekumpulan buku-buku dari penjuru dunia, agar semangat literasi akan selalu ada, dan experience keliling dunia juga akan menjadi bekal terbaik dalam hidup orang-orang yang ada di rumah.
0 notes
Text
BERUSAHA TERUS BUKAN BERARTI NGGAK BERSYUKUR
Ketika (banyak) orang-orang di sekeliling kita bertanya ‘ngapain sih belajar mulu?’, ‘ngapain sekolah mulu?’, ‘ngapain kerja mulu?’, atau kata-kata lain yang terbiasa dilontarkan ketika orang lain melihat kita kerja keras seolah-olah pandangannya menjustifikasi kita ‘ga ada syukur-syukurnya’ atas pencapaian atau usaha yang kita peroleh atau perjuangkan.
Setiap orang punya tujuan hidup atau goal hidup yang ga bisa kita samakan. Ada yang tujuan hidupnya adalah jadi PNS, jadi ketika udah jadi PNS dia ga lagi mengejar kariernya. Ada yang tujuan hidupnya jadi pengusaha, atau profesi lain yang mungkin usahanya kudu lebih lagi dan ga ada kata lengah dan lelah untuk terus belajar dan men-challenge diri sendiri.
Sama juga dengan mahasiswa. Ada yang punya cita-cita jadi lulusan terbaik, ada yang penting cum laude aja, ada yang penting lulus aja. Jadi usaha yang dilakukan orang itu pasti didasarkan sama apa yang mereka cita-citakan. Misal kita ada di posisi orang yang sedang berusaha ya jangan sekali-kali mengindahkan kata-kata mereka. Pelihara mental kita agar nggak dirusak dengan kata-kata yang bisa jadi punya efek negatif ke diri kita. Begitu juga ketika kita melihat temen atau saudara kita yang lagi berusaha jangan sekali-kali mematahkan semangatnya. Ga sulit kok bilang ��kamu pasti bisa’, ‘semangat terus ya’, ‘semoga cita-citanya lekas tercapai ya’, atau ‘kalau butuh bantuan bilang ya’. Selalu bangun vibes se-positif mungkin. Biar hidup kita lebih bahagia dan terhindar dari penyakit mental dan penyakit hati.
Dengan kata ‘alhamdulillah’ aja sudah bisa menggambarkan rasa syukur yang kita miliki. Ga masalah kita mengucapkan alhamdulillah di hati. Ga masalah orang lain ga tahu. Ga harus kok orang-orang menyanjung kita. Kita bisa respect ke diri kita sendiri. Jangan bergantung dengan kepedulian orang lain.
Everyone deserves to be happy without the adulation of others.
Magelang, 25 Mei 2021 at 9.13 am
0 notes
Text
BERORGANISASI
Being a good leader, build the character. A leader isn’t similar with a chairman.
----
Banyak banget anak muda jaman sekarang yang sejak SMP sudah mengikuti banyak organisasi. Banyak dari mereka yang besar karena belajar dari organisasi yang diikuti. Jadi bisa dikatakan organisasi ini menjadi wadah yang membentuk karakter seseorang. Yang aku rasakan hingga saat ini yaitu terjadi peningkatan soft skill yang cukup signifikan. Leadership, team work, time management, public speaking, bargaining, discipline, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut tentu ga akan bisa didapat di dalam kelas.
Apakah selama ini perjalanan berorganisasi mulus-mulus aja? Jawabannya absolutely no. Kalau baik-baik aja ga akan ada banyak pelajaran yang bisa diambil. Justru karena banyak tantangan, hambatan, masalah yang kadang bikin mewek juga (tetep mau setegar apapun namanya cewek kalau udah capek suka nangis gitu aja hahaha). Banyak salah ambil keputusan juga, tapi karena pernah salah maka hal-hal tersebut jadi lebih diingat sama otak dan nggak bikin kita jatuh dua kali di lubang (kesalahan) yang sama.
Apakah selama ini selalu ada di deretan papan atas? Jawabannya jelas aja enggak. Pernah jadi pesuruh, hahaha. Bahasa kasar karena perah berada di lapisan terendah. Semua ga ada yang instan. To be a chairman, kita pernah duduk di staff, sekretaris, bendahara, koordinator, dan staff pun sempet jadi staff kesehatan, keamanan, pertandingan, acara, dan masih banyak lagi. Semua butuh proses untuk belajar. Makanya ga heran kalau ketua kadang ribet dan kok bisa ya dia hapal semua tugas-tugas subdivisi? Ya karena mereka dibentuk. bukan dilahirkan.
Apakah sekarang sudah merasa cukup berorganisasi? Sama seperti kutipan “manusia ga pernah ada puasnya” begitu juga aku, ga puas bukan berarti ga bersyukur ya. Tapi keinginan untuk terus belajar di organisasi dari orang-orang yang masih terus belajar masih sangat tinggi. Nggak semua orang di organisasi itu punya semangat, perjuangan, dan dedikasi yang sama. Di antaranya ada juga yang punya motivasi kayak mau cari jodoh, butuh temen dan relasi aja, dan lain sebagainya. Tapi intinya, saat gabung ke organisasi pastikan bahwa niat kita adalah belajar.
Balik lagi ke kutipan bahwa pemimpin dan ketua itu dua hal yang berbeda. Ketua hanya sebagai jabatan. Siapa aja bisa jadi ketua. Tapi belum tentu semua ketua merupakan pemimpin. Bahkan ada di antara staff atau wakil-wakil yang ada dalam organisasi tersebut merupakan pemimpin. Akan jadi pembahasan yang panjang ketika kita berdiskusi kedua hal tersebut. Jadi pemimpin bukan diktator yang memberikan perintah kepada semua anggota dan dia sendiri tidak mengambil peran di dalamnya. Menjadi pemimpin adalah tentang mengelola sumber daya yang dimiliki. Memberikan tugas sesuai dengan SOP yang ada.
Apa aku sudah menjadi pemimpin? Masih mencoba, karena mengendalikan “over worried” dalam diri nggak mudah. Terlalu perfectionist juga nggak baik, sometimes kita perlu memberikan kepercayaan kepada staff yang bertugas. Berteori itu mudah, tapi kadang di lapangan tidak semudah itu. Jadi jangan pernah merasa putus asa untuk belajar. Masih banyak organisasi yang bisa kita jelajahi. Ga ada kata mumpung masih muda untuk berorganisasi. Jangan membatasi diri seolah-olah belajar itu ada jangka waktunya.
Happy Tuesday
Magelang, 25 Mei 2021. at 8.40 am.
0 notes
Text
Mendengarkan dan didengarkan
Beberapa bulan lalu, mungkin setengah tahun yang lalu tepatnya. Tak sengaja saya dan beberapa teman saya semasa remaja reuni di acara teman seangkatan kami yang lebih dulu menikah. Seperti biasa kami lanjut dengan ngopi sebentar sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Kurang lebih enam orang. Dan salah satu di antara mereka baru pertama kali ini kulihat. Dia menyapa terlebih dahulu “Intan ya?” katanya.
Karena jujur saja aku baru melihatnya kali itu kuulurkan tanganku, “Hai, apakabar?” balasku dengan sesopan mungkin. Segan bertanya nama.
“Pasti ga tau aku kan? Mr. X.” katanya.
“Ooohh” jawabku polos. Karena saat remaja dulu aku sering mendengar namanya tapi sama sekali belum pernah tahu yang mana orangnya. Dan dia membalas dengan tertawa.
Yah begitulah awal permulaan kamu bertemu. Orangnya bucin abis.
Sampai pada waktu menunjukkan pukul 22.00, sepertinya memang semakin malam akan semakin bermutu saja pembahasannya. Dan aku bukan orang yang anti dikritik, sehingga kuhabiskan waktuku hampir satu jam mendengarkan kritik darinya tentang diriku yang merupakan awardee dari beasiswa LPDP. Inti dari kritikan yang dia berikan intinya begini:
1. Anak beasiswa itu hanya menjadi beban negara, dan belum pasti memberikan keuntungan bagi negara di masa yang akan datang.
2. Uang yang diterima anak beasiswa akan lebih baik jika dialokasikan kepada rakyak miskin saja.
Seperti biasa sebelum aku menyanggah pertanyaan orang tersebut, aku haruslah lebih dahulu melihat seberapa jauh lingkar pertemanan orang tersebut, apakah dia punya cukup banyak teman sehingga bisa cukup tahu kehidupan anak-anak yang mendapat beasiswa, jika tidak maka saya tidak bisa memberikan sanggahan, karena akan berujung pada debat kusir semata. Kedua, saya harus melihat karakternya, orang yang keras hati tentu saja akan sulit menerima pendapat orang lain. Dan yah, malam itu saya hanya diam saja. Bukan maksud diri tidak bisa membela diri ketika dikritik demikian. Hanya saja aku bukan orang yang mau membuang waktu dan tenaga untuk menjelaskan sesuatu kepada orang yang bukan kapasitasnya, dan hanya sedang mengujiku, bukan berniat mendengarkan jawaban dariku.
Namun di sini coba akan aku tuangkan. Sebab jika orang lain bertanya dan mengkritikku sekali lagi, tak perlu capek-capek menjelaskan. Cukup ku kirim saja tulisan ini kepada yang bertanya dan yang mengkritik.
1. Reviewer, penyeleksi, pewawancara bukan orang bodoh. Jika tak salah aku mendengar, mereka yang menyeleksi beasiswa LPDP minimal lulus S2 dengan kemampuan linguistik yang di atas rata-rata, memiliki jam kerja yang cukup tinggi. Bahkan gaji per sesinya mereka mencapai Rp 5 jt per sesinya. Termasuk salah satu yang mewawancaraiku saat itu adalah seorang profesor di salah satu kampus ternama di Indonesia. Dan pasti anak-anak yang lolos hingga tahap akhir bukan orang yang hanya suka ngopi menghabiskan waktunya untuk membicarakan hal-hal tak berfaedah. Mereka mempunyai mimpi, harapan, kerja keras, hingga reviewer yakin bahwa mereka adalah calon pemimpin-pemimpin masa depan negeri ini. Apabila ingin mencoba, dengan senang hati aku persilahkan mencoba semua tahapannya. Agar tahu dengan pasti bagaimana prossedur seleksi ditetapkan dan seperti apa anak-anak yang terlahir dari beasiswa tersebut? Silahkan laporkan ke pihak yang berwajib apabila benar ditemukan anak-anak yang tidak memenuhi kualifikasi.
2. Jika masih penasaran apa saja syarat mendaftar silahkan unduh booket yang ada dan bercermin, apakah layak merendahkan seseorang yang mungkin tidak pernah membanggakan sederet penghargaan dan pencapaiannya di depanmu? Mereka menyimpan hal tersebut rapat-rapat. Maka kamu tertipu oleh matamu sendiri sehingga akal dan hatimu buta karenanya. Selamat, mungkin temanmu bisa menemanimu di masa mudamu, tapi tak banyak dari mereka akan menghadiahkanmu jalan mudah menuju kesuksesan. Bila bisa aku sarankan, basuh dulu bagaimana caramu melihat manusia lain sehingga pandanganmu yang kotor dan suka merendahkan orang bisa luntur dan bisa menghargai manusia sebagaimana kamu ingin dihargai. Dan semoga kamu beruntung melihat banyak pencapaian mereka suatu hari nanti yang membuatmu menjadi seolah-olah manusia yang telah merugi karena tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk tholabul ilmi, padahal di bumi Allah yang luas ini, terhampar milyaran bahkan triliunan ilmu yang takkan sanggup kau khatamkan seumur hidupmu.
3. Berhenti berfikir bahwa pandanganmu adalah pandangan terbenar di seluruh semesta. Jika kamu hendak memahami seseorang maka kamu perlu bergaul dengannya, memahami tujuan hidupnya, dan memaknai semua perjuangannya. Mana bisa kamu menilai seseorang hanya dari cara ia berbicara saja. Bahkan kamu tak mengenalnya lebih dari sehari. Bacalah buku lebih banyak, edarkan pandanganmu ke seluruh penjuru bumi, dan lihatlah betapa kecilnya manusia yang berusaha menyingkap tabir dunia ini.
4. Tak semua manusia lahir dengan sendok perak dimulutnya. Banyak dari mereka hidup dengan semangkuk bubur ditangannya setiap pagi, bukan karena ia gemar makan bubur tapi karena menghemat persediaan nasi di tungku rumahnya. Untuk mengisi perutnya saja ia setengah mati harus berjuang. Apalagi untuk mengisi kepalanya. Maka pemerintah mencoba memberikan kesempatan kepada anak-anak yang mungkin tidak cukup beruntung di dunia ini dengan memberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan seperti halnya kamu, yang sejak kecil tak pernah was-was menunggak biaya sekolah. Bersyukurlah saat orangtuamu memiliki rizki yang melimpah, maka kamupun bisa menikmatinya dengan hanya duduk-duduk sepanjang hari. Jangan menghina, jangan dengki, barangkali Allah membalikkan semuanya, dan kita sebagai manusia bisa apa? selain berusaha dan memohon kepada yang Maha Kuasa untuk memberikan cintanya di dunia dan akhirat?
Maka jangan sekali-kali mencela, mengatakan hal-hal yang menyakitkan kepada orang lain. Cobalah bertanya dengan nada yang indah diterima telinga. Kamu manusia dan orang yang kamu ajak bicarapun manusia. Sama-sama punya hati. Semoga Allah swt membukakan hatimu dan melembutkannya. Semoga panjang umur dan diberkahi rizki yang melimpah. Darimu aku belajar untuk berkata lebih baik, terimakasih.
0 notes
Photo

Setelah melewati serangkaian tempaan, dan mendekatkan diri ke Yang Maha Hidup dan memberikan hidup, ternyata Dia nggak pernah meninggalkan, memberikan banyak harapan, memberikan kasih dan cintanya melalui orang-orang disekitarku. Bersyukur sekali karena pada akhirnya bisa sadar siapa-siapa aja yang nggak meninggalkan kita saat kita benar-benar dititik terbawah. Saat itu yang dipikirkan hanya bagaimana cara memaksimalkan kelebihan yang ada di dalam diri. Misal kerja ditolak terus, maka ambil jalan lain untuk daftar beasiswa LPDP dengan jalur alumni bidikmisi, salah satu previlege yang dimiliki.
Setiap hari hanya belajar, belajar, belajar. Membuang jauh-jauh semua pikiran negatif, termasuk menilai diri sendiri amat sangat rendah karena pernah direndahkan, dan diremehkan. Setiap hari nonton berita baik politik, ekonomi, pendidikan, konflik antar negara. Pengen banget bisa lolos, dan setiap lolos setiap tahapannya tidak pernah lupa untuk bersyukur. Awalnya, pengen sekali masuk beasiswa luar negeri, tapi karena kemampuan bahasa yang masih tiarap, jadi ndak mau menyianyiakan kesempatan yang ada dan segera mengupgrade diri ambil S2 dalam negeri akhirnya. Yakini saja dulu kalau bakal diterima.
Seminggu sebelum pengumuman coba juga daftar kerja di Karawang. Saat itu memilih ambil kerja di Jawa Barat karena di Jogja banyak ditolak. Entah karena nggak layak atau karena kepribadian yang dimiliki nggak cocok. Pada akhirnya Jumat, 13 September 2019 aku diterima kerja di Karawang, dan 16 September 2019 aku harus tanda tangan kontrak untuk satu tahun kedepan.
Tapi qodarullah sore selepas solat magrib akhirnya ada pengumuman masuk dari LPDP bahwa aku lolos tahap akhir. Tidak lama setelah itu tepatnya 28 Oktober 2019 diminta untuk melaksanakan PK, dan aku masuk di PK - 149. Di mana aku pertemu dengan dia yang sempat aku tulis pada postingan sebelumnya. Hingga hari inipun aku sangat berterimakasih untuk perpisahan yang tak mudah dan awal cerita baru yang inshaAllah indah.
Semoga kuliah di S2 ini lancar, lulus tepat waktu, dan menjadi orang yang lebih bermanfaat lagi untuk semua orang yang dikirimkan Tuhan. Untuk orang-orang di luar sana yang masih memandang diri sendiri sangat rendah, percayalah Tuhan memberikan kesempatan hidup di dunia ini bukan tanpa alasan, jadikanlah kesempatan ini untuk melakukan yang terbaik. Dan pastikan bahwa kalian bahagia mendapatkan kesempatan tersebut.
0 notes