inthenameoftravel-blog
inthenameoftravel-blog
Valentino Edward
12 posts
I used this blog to share about my travel related stuffs and I hope it could encourage you guys to go travel too! Any question just go to my instagram: portraitofmyjourney
Don't wanna be here? Send us removal request.
inthenameoftravel-blog · 7 years ago
Text
How I Met My Journey Part 1
Tumblr media
(Jembatan Menuju Pulau Komodo)
Hal yang paling susah dalam membuat postingan adalah membuat bagian pembuka. Bayangin aja kita harus nentuin gaya kita dalam menyapa pembaca apakah harus “yoooow whatsuppp????” atau “selamat malam bapak ibu sekalian”. Tapi di sisi lain bagian pembuka ini harus bisa menggaet pembaca sedemikian rupa sehingga situ sendiri ga sadar sudah membaca sampai kalimat ini dan jadinya mau-gamau harus lanjut membaca post ini sampai selesai hahaha.
Berjalan-jalan itu asik. Perencanaan jalan-jalan itulah yang ga asik. Karena seringkali ketika sudah semangat riset dan hitung-hitung biaya dalam perencanaan jalan-jalan, ujung-ujungnya kandas karena sponsor utama (read= dompet) tidak menyediakan lembaran rupiah yang cukup. Padahal itu dompet dah dibolak-balik sedemikian rupa tetap aja gaada duit yang keluar. Hadeeh! Nah, di postingan ini gue mau bercerita mengenai salah satu petualangan backpacking gue yang paling panjang yakni Bali-NTB-NTT selama 40 hari. Gue akan membahas mengenai transportasi, akomodasi, dan kemana plus makan apa aja gue selama disana. Semoga dengan membaca postingan ini, kalian dapat terinspirasi untuk lebih semangat berjalan-jalan hehe.
Transportasi
Perjalanan gue memakan waktu kurang lebih 40 hari dari 21 Juni hingga 29 Juli 2016. Waktu itu gue berangkat dari masa-masa puasa sampai lebaran selesai.
Sebelum perjalanan gue sudah menentukan destinasi utama yakni Bali dan Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo sendiri bisa dicapai dengan mendarat di kota bernama Labuhan Bajo, letaknya di Nusa Tenggara Timur, lalu menggunakan jalur laut ke Taman Nasional Komodo. Waktu itu gue anggep sisanya bonus kalau bisa mampir ke tempat lain. Jadi setelah browsing alakadarnya. Saat itu paling ekonomis bagi gue untuk penerbangan ke Bali terlebih dahulu baru ke Labuan Bajo. Setau saya waktu itu pesawat terdekat dari Jogja ke Labuhan Bajo harus melalui Bali. Mungkin sekarang sudah ada yang direct dari Jakarta-Labuhan Bajo. Mungkin loh ya mungkin. Jadi dengan berbekal pengetahuan seperti itu, gue memesan pesawat Yogyakarta - Bali dengan harga +- 450k. Lalu pesawat Bali-Labuhan Bajo seharga 780an ribu. Sebetulnya bisa menggunakan bis atau kapal ke Labuhan Bajo, tetapi kurang efisien karena waktunya terlalu lama untuk mencapai Labuhan Bajo. Untuk tanggal, Yogyakarta-Bali tanggal 21 Juni dan Bali-Labuhan Bajo tanggal 30 Juni.
Setelah tugas mencapai Bajo selesai, hal yang harus dipikirkan selanjutnya adalah transportasi ke Taman Nasional Pulau Komodo. Sewa kapal tidak mungkin dilakukan karena selain harus mencari teman untuk sewa, harganya juga masih terlalu mahal untuk konsumen indomie macam gue. Tau sendiri kan kalau sewa 1 perahu di daerah harganya berapa. Maka dari itu setelah gue bertualang ke barat mencari kitab suci dan mencari paket tour yang cocok, gue menemukan sebuah paket yang menawarkan 4d3m Labuhan Bajo-Lombok. Jadi semacam live on board gitu dan sepanjang Bajo-Lombok banyak pemberhentiannya. Langsung gue ambil karena pertimbangan gue harus kembali ke Bali. Kenapa harus kembali? Karena akan ada upacara ngaben di daerah tempat gue tinggal di Bali pada tanggal 11 Juli dan itu salah satu can’t miss moment ketika bertualang ke bali. Sehingga ketika gue sudah di Lombok akan lebih mudah dan murah ketika ingin melanjutkan ke Bali. Paket itu gue ambil seharga 1.5 juta. Mahal memang tetapi tiket pesawat Lombok-Bali jauh lebih murah dibanding Labuhan Bajo-Bali, sementara tiket pesawat Bali-Labuhan Bajo bisa lebih murah sekitar 200 ribu dibanding Labuhan Bajo-Bali. Plus paketnya sudah termasuk makan dan wisata ke kurang lebih 8 tempat jadi ya not bad lah hitung-hitung jalan ke Lombok sekaligus hemat tiket pesawat pulang. Tour gue sendiri dari tanggal 1-4 Juli.
Setelah mencapai Lombok, gue akhirnya memilih kembali ke Bali dengan menggunakan Bus seharga 250k. Busnya sudah termasuk tiket ferri tapi tidak termasuk makan. Pemilihan ini gue ambil karena bus tersebut bisa turun di daerah Batubulan (gue tinggal di Ubud selama di Bali). Jarak Batubulan-Ubud bisa dijangkau ojek online kurang dari 30 ribu. Sementara kalau pakai pesawat, Ngurah Rai - Ubud bisa 70 ribu. Tiket pesawat Lombok-Bali juga saat itu sedang mahal karena high season. Bus ini bisa naik dari terminal di kota mataram tetapi hati-hati dengan calo. Gue sempet ketipu calo. Nanti akan gue bahas di kemudian hari.
Pilihan lain adalah langsung ke Pelabuhan Lembar di bagian barat Lombok dan naik ferri langsung menuju ke Pelabuhan Padangbai di timur Bali. Namun transportasi dari Padangbai ke Denpasar bisa mahal dan tidak bisa dijamin akan ada transportasi online di Pelabuhan Padangbai (Taulah gimana resenya taksi/ojek lokal dibanding sama online). Gue berangkat dari Lombok ke Bali tanggal 11 Juli.
Untuk kembali dari Bali ke Jogja, gue menggunakan pesawat yang gue lupa harganya tapi kalau harga sekarang di kisaran 460 ribu. Gue kembali ke Jogja tanggal 29 Juli.
Total kasar: 450k + 780k + 1.5jt + 250k + 460k = 3.44jt (note 1.5 jt termasuk makan dll selama 4h3m)
Transportasi Lokal
Di Labuhan Bajo ada 2 jenis transportasi, ojek pangkalan dan angkot. Karena labuhan bajo kotanya kecil, hanya ada 1 jalan memutari kota. Jadi tarif sekali naik 5 ribu jauh dekat. Bisa sewa motor cuma tidak efisien menurut gue karena kotanya pun kecil. Sewa motor ada di kisaran 50-75k per hari.
Di Lombok gue sewa motor dari tempat gue menginap yakni dari Rumah Singgah Lombok seharga 70k sehari. Jadi saya tidak nyoba public transportnya karena sudah sewa motor. Kalau situ mau ke Gili Trawangan, dkk., bisa ke Pelabuhan Bangsal dan langsung naik kapal public boat / private boat. Public boat sendiri isinya rame-rame sama manusia lain duduk mirip pepes ikan seharga 30-40k sementara private boat lebih mahal namun lebih cepat dan nyaman. Perjalanan pakai public boat kurang lebih 30 menit. Antar 3 pulau Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air ada hopping boat antar pulau seharga kurang lebih 30k  jadi situ tidak perlu balik ke pelabuhan bangsal lagi untuk mencapai ke pulau satunya. Kalau situ mau ke Sumbawa dari Lombok, bisa naik kapal ferri dari Pelabuhan Kayangan di sebelah timur Lombok menuju Pelabuhan Poto Tanu di sebelah Barat Sumbawa.
Di pulau Gili (tiga-tiganya), tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor, jadi untuk kendaraan bisa menggunakan transportasi umum lokal namanya cidomo, semacam dokar / kereta kuda, biaya antarnya tergantung kemampuan situ negosiasi tapi kalau muka situ mirip muka bule siap-siap aja digetok harganya karena dikira orang asing. Ada juga sepeda rental seharga 70-100 ribu per hari per sepeda. Tapi kalau mau jalan kaki, tidak sampai 3 jam juga sudah kelar muter pulaunya kok.
Di Bali gue sewa motor dibantu sama host gue yang baik hati di Ubud, boleh minjam 30k sehari karena dia pinjem motor teman dia yang lagi keluar kota dan motornya sedang tidak dipakai. Di bali juga ada ojek online namun jangkauannya masih terbatas jarang sekali sampe keluar Denpasar. Ada juga Bus lintas kota namanya Sarbagita yang harganya 3500 sekali naik. 
Tapi data ini berdasarkan data pertengahan 2016. gatau ya sekarang harganya berapa.
Untuk part 2 gue akan membahas mengenai akomodasi gue selama bertualang. cheers
0 notes
inthenameoftravel-blog · 8 years ago
Text
Pengabdian
Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali
Tan Malaka, Madilog
Sejak kecil gue memiliki rasa penasaran dan tertarik untuk mengunjungi tempat yang tidak lazim untuk dikunjungi ataupun tempat yang belum pernah gue kunjungi sebelumnya. Ketika membaca perjuangan Bung Karno yang diasingkan ke Ende, gue jadi ingin mengunjungi Ende. Ketika membaca Bung Hatta pernah diasingkan ke Banda Neira dan Boven Digoel, gue jadi ingin kesana.
Kesederhanaan, kultur, dan budaya masyarakat lokal selalu menjadi daya tarik bagi gue untuk mengunjungi suatu tempat. Selain kata Mark Twains yang berujar bahwa “Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn’t do than by the ones you did do”.
Pada bulan Juni hingga Agustus gue akan mengikuti rangkaian Kuliah Kerja Nyata di salah satu daerah Indonesia paling timur yakni Keerom, Papua. Buat yang tidak tahu, KKN itu adalah suatu program wajib 3 sks dari universitas gue yang mengharuskan gue untuk mengabdi di suatu daerah selama periode waktu tertentu, biasanya 2 bulan.
Mengapa Papua? Terutama Keerom? Bagi gue, daerah perbatasan di Papua menyimpan eksotisme tersendiri yang gue merasa tidak puas hanya membaca dari artikel saja, gue harus kesana dan merasakannya sendiri. Selain tiket pp ditanggung negara biayanya hihihi.
Jujur selama tinggal di kota, gue banyak menemukan orang yang “city minded”, contohnya gue tau ada beberapa orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di desa karena liburannya harus ke Singapura atau ke Bali atau ke Bandung misalnya, dan yang dikunjungin juga shopping center bukan wisata alamnya. Apalagi kalau gue sebutin orang yang tidak mau pakai buatan lokal dan lebih memilih produk impor, banyak. Ada juga orang yang hanya mau belanja di supermarket dan ogah untuk masuk ke pasar tradisional. Ada juga yang disekolahkan di sekolah internasional karena sekolah lokal kurang berkelas sehingga dampaknya untuk bebicara bahasa Indonesia sehari-hari saja sulit.
Gue juga ga menolak kalau dulu gue mengalami hal seperti yang gue sebutkan diatas. Apakah kegiatan yang gue sebutkan diatas salah? Tentu tidak. Tetapi berkaca kepada perkataan Tan Malaka diatas, bahwa sekolah dan belajar tinggi-tinggi itu tidaklah berguna kalau ilmu tersebut hanya membuat diri angkuh dan sombong. Jadi beruntunglah bagi orang-orang yang berkesempatan untuk membagikan ilmu yang dimiliki ke masyarakat sekitar. Bagi yang belum memiliki kesempatan, mari belajar lebih rajin dan giat lagi agar siap untuk berkontribusi bagi masyarakat.
Selamat KKN dan Selamat Ujian Akhir
0 notes
inthenameoftravel-blog · 8 years ago
Text
Inspirasi
Tumblr media
(Seekor rusa yang tengah bersantai, Pulau Komodo, NTT)
Setiap orang punya ciri khas bersosial media masing-masing.
Ada yang silent reader, ada yang aktif, ada juga yang terlalu aktif sampai pas dia berantem sama pacarnya dipastikan timeline dia bakal lebih update bahkan sebelum pacarnya tau kalau mereka lagi berantem.
Selain itu ada juga tipe-tipe limited exclusive yang cuma berteman sama beberapa orang tertentu, atau ada juga tipe jual mahal yang biasanya kalau sudah difollow ga akan follow balik padahal sudah saling kenal, bahkan sampai dikomen minta follow back aja ga di follow juga, dan ada juga yang bahkan orang ga kenal pun dia add as friend, biasanya sih biar keliatan keren kalau temannya banyak.
Tetapi dari seluruh orang-orang tersebut, ada 1 tipe yang jarang nongol, yakni positive social media influencer. Yak buat kalian yang ngarep gue bakal ambil deskripsi dari google mengenai social media influencer harap segera kecewa karena tulisan gue kali ini murni dari pemikiran gue dan bukan tanggapan ilmiah berbentuk paper format IEEE dengan font times new roman size 12 dan spasi 1,5 dimana harus... *kemudian digetok dosen*. Simpelnya adalah dunia online ini krisis inluencer, orang-orang yang dengan postingan sederhananya tetapi dapat merubah pola pikir khalayak umum mengenai suatu gambaran tertentu.
“Ah tapi sekarang banyak orang yang postingnya like ribuan, komen ratusan, blablabla”. Nah disini lah kesalahan utama, situ harus identifikasi tipe postingan itu, yang lagi ngetren sekarang adalah posting taro foto asal, trus minta 1 like = 1 pray, dibumbuin cerita yang malah terkadang ga nyambung sama fotonya, biasa targetnya adalah orang-orang over religius atau yang cuma sekedar “duh kasihan ya *like* *scroll kebawah kemudian lupa*”. Bisa juga postingan yang sedang marak sekarang yakni menyinggung SARA, bahkan saking ajaibnya, kadang postingan yang gaada bau agamanya sama sekali bisa aja dikaitin sama SARA. Tipe-tipe orang yang membooming postingan SARA macam ini sih biasa bikin ngakak pas dibaca komentarnya atau postingannya. 
Jarang sekali ada orang yang benar-benar mampu menginspirasi dari tulisan atau postingannya. Disinilah kita harus mengambil alih dan mulai menyebarkan hal-hal positif. Caranya bagaimana? Cukup dengan minimal tidak share berita yang hoax, serta pikirkan dampak pembaca ketika membaca suatu konten atau postingan anda. Karena di masa sekarang, apapun yang anda lakukan pasti ada aja komentar nyinyir dari orang, tidak usah jauh-jauh, liat saja instagram artis-artis, apapun yang mereka posting pasti ada saja orang yang komentar jelek.
Kenapa gue mengambil tema posting pemandangan di instagram gue, karena gue yakin dengan menyebarkan foto-foto hasil bidikan gue kepada teman-teman gue, gue bisa memberikan inspirasi dan pandangan bahwa Indonesia itu indah loh bro, jangan cuma dirumah doang atau gausa jauh-jauh ke luar negeri kalau mau tamasya. Ga perlu jauh-jauh ke Tiongkok karena china town di Semarang ga kalah keren, ga perlu plesir ke hawaii karena pantai-pantai di Bali dan Lombok ga kalah rupawan, bahkan kamu cuma bisa ke NTT kalau mau liat komodo di alam aslinya soalnya tidak akan ketemu komodo lagi di negara lain kecuali di kebun binatang, dan ga perlu repot-repot ngerasain traffic jam di New York karena Jekardah macetnya lebih amajing.
Tentunya tidak perlu posting pemandangan, tentukan apa yang situ bisa inspirasikan ke masyarakat, misal mengenai dunia pendidikan, atau ketimpangan sosial di masyarakat, atau misal mengenai politik kalau memang situ mengerti. Karena nantinya tidak hanya masyarakat yang terinspirasi, tetapi juga situ sendiri akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadi seorang positive influencer.
If you want to succeed you should strike out on new paths, rather than travel the worn paths of accepted success.
John D. Rockefeller
0 notes
inthenameoftravel-blog · 8 years ago
Text
Peluang Bisnis Kuliah Kerja Nyata
Tumblr media
(Lima puluh ribu rupiah didepan pemandangan aslinya, Danau Bedugul, Bali)
Latar belakang gue yang datang dari kota nun jauh di sana yakni Jekardah dengan kepadatan penduduknya yang sudah ga manusiawi dan macet ga ketolongan, merasakan perbedaan jauh ketika harus merantau ke kota yang berbeda 180 derajat dengan asal gue (contohnya, serius deh buat yang bilang Jogja macet itu belum pernah rasain Jekardah tuh di beberapa tempat cuma ga macet mulai jam 10-12 malam).
Ketika di Jekardah, apa yang mau anda lakukan semua bisa dilakukan, apa yang mau dibeli semua bisa dibeli. Sejelek-jeleknya, situ cuma perlu geser dikit ke seputaran jabodetabek atau mungkin puncak kalau mungkin lagi ngidam toge goreng atau mungkin ngidam nyentuh macan di Taman Safari. Nah jeleknya karena wisata alam termudah dari Jekardah adalah puncak, jadilah ketika weekend panjang dikit, macetnya ga ketolongan di puncak sana. Please jangan sebut ancol karena ga banget ke pantai aja bayar sampai 50 ribu. Pulau Seribu masih bolehlah meskipun kesananya harus desek-desekan dari pelabuhan Muara Angke.
Berbeda dengan di Jogja sehingga terkadang sulit untuk mencari keberadaan beberapa makanan ketika gue ngidam. Gue tidak tahu kenapa beberapa perusahaan kurang melakukan ekspansi bisnis di jogja sini, bahkan kalaupun ada hanya fokus di kota Jogjanya saja dan mungkin di Sleman. Jarang hingga ke Bantul, Gunung Kidul, atau Kulon Progo. Namun di sekitar sini banyak sekali wisata alam jadi ketika weekend gaada istilahnya macet-macetan kalau mau ke pantai atau ke gunung.
Menjelang periode kuliah kerja nyata di kampus gue, yang kemudian akan gue singkat sebagai KKN karena mager nulis panjang-panjang, gue yang tergabung dengan kelompok yang nantinya akan pergi ke Indonesia paling ujung. Jadi tau lah apa yang kelompok gue butuhkan untuk beli tiket dan segala keperluan disana, duit.
Masuk ke topik cerita, mencari peluang bisnis di Jogja ini gampang-gampang susah. Prinsip gue dalam mencari duit kreatif ala mahasiswa haruslah jadi sebuah gabungan antara menjadi orang Jekardah yang berciri entrepreneur dan inovatif namun tidak lupa pada akar rumput merakyat alias yang dibutuhkan oleh masyarakat sekitar ala Jogja.
1. Income > Effort
Berkaca dari perpektif mahasiswa seperti saya, paling gampang untuk mencari uang adalah dengan jualan gorengan di jurusan gue. Tapi apakah itu sustainable? Tergantung
Memang jualan gorengan itu halal dan tidak salah, namun ketika fakta berbicara bahwa tiket pesawat pulang pergi untuk satu kelompok gue yang berisi 30 orang ke kota terdekat dari daerah yang akan gue kunjungi mencapai 9 digit rupiah, tentunya kita lebih baik buka pabrik gorengan dibandingkan jualan gorengan kalau mau keuntungannya mencapai 9 digit tersebut. Itu pun baru tiketnya saja, belum biaya program dan lain-lain. Jadi lupakan jualan sesuatu ketika effort yang dikeluarkan harus besar banget dengan untung tidak seberapa
Hitung-hitungan sedikit anggap 1 gorengan mendapat keuntungan 1000 rupiah, yang di jogja ini sudah luar biasa bisa dapat untung segitu. Untuk mencapai 9 digit minimal saja yakni 100 juta, kita harus jualan 100 ribu gorengan.
2. Market Share
Ketika situ mencari dana untuk KKN namun situ juga “malakin” temen situ untuk beli gorengan situ, padahal temen situ juga akan KKN, ya itu muter-muter aja duitnya. Karena nanti ketika temen situ jualan gorengan juga, temen situ akan “malakin” situ untuk beli gorengan dia juga.
Untungnya kelompok gue tidak sampai hati untuk jualan di kampus, jadi kami pun buka mencari uang dengan membuka peluang bisnis di market share yang luas. Contohnya adalah kelompok kami membuka tempat les pelajaran dari SD sampai UMUM serta tes TOEFL yang memang market sharenya sangat luas.
Jadi jangan sampai situ jualan misalnya baju, namun situ pasang harga 100 ribu tapi market sharenya hanya di kampus. Akan sangat jelas bahwa mayoritas akan memilih 100 ribu itu habis di preksu untuk 4 hari dibanding beli baju. Apalagi kalau yang situ targetin juga peserta KKN, ya mending 100 ribunya dipake untuk kelompok dia toh.
Bisa juga dengan memanfaatkan kondisi alam Jogja, buka tempat penyewaan alat camping atau alat gunung misalnya, meskipun kurang efektif karena sekarang lagi musim penghujan. Namun market sharenya luas karena pemakai jasa nya dari segala kalangan.
3. Promosi yang Tepat
Jaman sekarang, biasanya generasi Y berpikir kalau sudah share ke sosial media berarti semua orang sudah liat. Well itu salah banget. Kalau situ mau bener-bener cepet viral, situ harus bikin konten pornografi atau SARA, kalau tidak ya susah untuk viral kecuali bapak situ presiden. Sosial media bukan segalanya. Bahkan ga usah jauh-jauh, dengan situ share ke grup angkatan yang isinya 100, yang bener-bener perhatiin postingan situ mungkin cuma 30. Apalagi kalo grup seangkatannya juga KKN. Balik lagi ke pemikiran “Buat apa gue beli dari lu wong kelompok gue aja masih kurang duit” pasti masih ada di beberapa orang.
Inovasi yang dilakukan oleh kelompok gue adalah melihat potensi target. Ketika kelompok kita mempromosikan tes TOEFL kami, ekspektasi kami adalah peserta merupakan anak-anak remaja hingga pencari kerja yang ingin mengetahui skor TOEFLnya sehingga jarak umur mungkin sekitar 15-30 tahun. Sehingga promosi lebih gencar dengan sosial media karena penggunaan gadget di usia tersebut di masa sekarang adalah lumrah.
Berbeda dengan tempat les, karena kami mengincar SD hingga UMUM, maka kami juga menyebarkan brosur ke orang tua di sunmor selain menyebar melalui sosial media. Kenapa brosur? Karena anak SD dan SMP jarang yang punya HP, sehingga dengan menyebarkan brosur ke orang tuanya, peluang anaknya untuk diikutkan les ke tempat kami akan lebih besar. Kenapa menyebar di sunmor, karena pengunjung sunmor pasti mayoritas dari seputaran sunmor yang dekat dengan kita juga.
Toh lagipula yang nentuin les atau tidaknya kan orang tuanya, mana ada anak SD SMP yang mau les, pasti maunya main bola.
4. Jangan Malu namun Tetap Berintegritas
Sudah tau lah maksudnya apa, ketika situ jualan baju bekas, atau minta baju bekas, jangan malu-malu. Ketika situ juga jualan gorengan, jangan malu. Karena sekecil-kecilnya uang yang situ dapatkan, asalkan halal, maka tidak perlu malu. Tapi tetap tidak melupakan jati diri mahasiswa. Jangan mencari uang dengan berjualan alkohol atau rokok misalnya. Mencari duit boleh, tapi jangan kebangetan banget gitu loh.
5. Manfaatkan Sponsor dan Mitra
Ketika situ punya kelompok seperti gue yang budget transportasinya saja sudah 9 digit, maka sponsor dan mitra lah yang nantinya akan menjadi penunjang utama keberlangsungan program kami disana. Sponsor yang didapat nantinya akan mengurangi usaha situ dalam jualan gorengan sehingga situ tidak perlu bangun pagi-pagi untuk ambil gorengan dan repot-repot jualan sana-sini.
Semisal 1 sponsor saja deal 5 juta, maka situ gaperlu jualan 5 ribu gorengan, asik kan?
Maka kesimpulannya adalah ketika situ mencari peluang bisnis, maka situ harus kreatif dan membuka peluang usaha baru yang tidak ada saingannya, namun tetap berjualan yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Usahakan memperluas market share dan target penjualan karena kurang efisien jika menjual kepada sesama peserta KKN. Manfaatkan jiwa entrepreneur yang merakyat. Semakin banyak masyarakat yang mengetahui kegiatanmu, maka dana yang mengalir akan semakin besar
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
The Bad Side of Traveling (in Indonesia) part 1
Tumblr media
(Pantai Pede, Labuan Bajo, NTT, yang penuh dengan sampah)
Bicara tentang jalan-jalan, tentunya akhir dari perjalanan adalah kenangan berupa gambar dan memori. Tidak mungkin ada perjalanan yang hanya dipenuhi oleh suka, pasti ada duka nya meskipun sedikit. Namun biasanya, dalam kebiasaan manusia, khususnya Indonesia, mendahulukan budaya ikhlas, malu, dan lupa. Contohnya gue ketika menunggu makanan yang cooking time nya yang sedikit lama padahal perut sudah lapar, biasanya bakal ngedumel abis-abisan tapi setelah makanan datang langsung lupa dan gembira.
Di postingan kali ini gue akan membahas bagaimana kehidupan gue menghadapi pengalaman yang kurang mengenakkan selama gue berjalan-jalan kemarin. Tapi perlu gue ingatkan, semua yang gue ceritakan hanyalah OKNUM. Jangan menggeneralisir, karena kalau gue tidak tulis kata oknum, nanti gue kena pasal pencemaran nama baik. Hehehehe.
Hari 1
Kejadian tidak mengenakkan pertama terjadi setelah mendarat di terminal domestik bandara Ngurah Rai, Bali. Keluar dari bagian ambil-ambil koper, gue disambut dengan spanduk besar penolakan uber dan segala macamnya. Lalu mulailah para tukang ojek, tukang taksi, dan tukang-tukang lainnya berkerubung menawarkan jasa ke gue.
Hal klise yang paling utama mereka lempar adalah jangan naik uber dan segala macamnya nanti bermasalah bisa jadi dipukulin dan segala macam. Tapi lucunya, mereka buka tarif gila-gilaan. Dari bandara menuju Ubud bahkan gue ditawarkan harga 300 ribu! Untuk ojek! Which is dengan harga segitu gue bisa sewa mobil dan supir 1 hari untuk anter gue ke Ubud plus bensin.
Tipsnya adalah, situ jalan aja terus sampe ujung terus ketemu parkiran motor. Nanti kalau situ order gojek dan semacamnya, bisa dijemput diluar. Intinya jangan masuk ke bandara deh abang gojeknya, kasian. Oia untuk naik ojek online ke Ubud biayanya cuma sekitar 60 ribu.
Disclaimer: gue tidak menyarankan situ untuk tidak memakai jasa para tukang didalam bandara. Gue hanya menceritakan pengalaman gue yang lebih memilih keluar 60 ribu dibanding 300 ribu karena masalah pemberian makan kepada cacing-cacing di perut gue
Hari 9
Kejadian tidak mengenakkan kembali terjadi saat gue menjemput Zie di bandara Ngurah Rai. Ya bandara lagi. Oleh karena gue menjemput pake motor, jadi gue parkir motor di parkiran motor yang gue bilang diatas.
Setelah Zie keluar dari terminal domestik, gue ngebantu dia dorong troli yang isinya tas dll menuju ke parkiran motor sehingga kita berdua terlihat seperti turis yang baru turun dari pesawat sehingga kembali kita dikerubungi oleh bapak-bapak tukang taksi dan tukang lainnya. Karena gue sudah di Bali selama 9 hari, gue sudah bisa menolak dengan halus para bapak-bapak ini dengan kalimat “ngga pak, matur suksma”. Beh, keren kan?
Tapi sayangnya, ketika sampai di ujung batas sebelum parkiran mobil (dekat tempat turun sarbagitta ada toko alfamart atau apa kalo ga salah), ada 1 bapak, yang entah dari mana, positive teridentifikasi sebagai salah satu bapak-bapak yang gue sebutkan diatas dari jenis celananya yakni (celana kain ala-ala bapak tukang), namun sayangnya sedang lepas seragam sehingga hanya pakai kaus biasa sehingga gue gatau dia jadi tukang apa, yang mungkin karena melihat kita dengan santainya mendorong troli menuju parkiran, dia mengira kita sudah memesan taksi online atau ojek online. Sehingga dengan gampangnya dia berteriak didepan umum dan didekat kita “CINA KALAU NAIK UBER NAIK GRAB BAKAR AJA!”. Sontak gue langsung liat kiri-kanan dan tidak ada lagi orang lain selain kita di dekat situ. Kaget juga sih sebenernya bisa ada orang yang mencari nafkah tapi rasis di tempat kerjanya. Ibaratnya kaya makan di tempat dia buang hajat.
Tipsnya adalah biarin aja sih orang kaya gitu, bukannya ikhlas ya, tapi mungkin dengan dikira orang Tiongkok, bisa jadi skill mandarin gue bertambah +5 dan skill tenis meja +10.
Hari 11
Kali ini berpindah ke ujung timur sana, yakni Taman Nasional Pulau Komodo. Ga bisa dipungkiri kalau Taman Nasional Komodo ini dipenuhi kepulauan yang instagram-able dan tempat ini betul-betul ramai dengan turis. Dominasi turis lebih ke arah bule-bule dibandingkan turis asian. Entah mungkin turis asian tidak suka panas-panas trekking dibanding bule yang easy going sampai jalan di pulau Komodo hanya pakai bikini dan celana pendek saja. Tapi namanya juga tempat penghasil duit, ada saja money scam di taman nasional ini.
Di instagram gue sudah pernah gue post harga masuk Taman Nasional ini, yang BARU AKAN DITAGIH ketika situ masuk ke pulau besarnya saja, ya iya sih soalnya siapa juga yang mau bikin pos bayar di pulau yang kecil-kecil jumlahnya ratusan. Tidak perlu gue post bentuk karcisnya, cukup situ googling saja pasti ketemu di pencarian paling atas bentuk karcisnya. Tertera di karcisnya bahwa biaya yang dibayarkan berlaku PER ORANG PER HARI. Sampai sini sudah paham dong?
Pagi hari gue bertolak ke Pulau Rinca, dan membeli tiket disana. List karcis yang harus dibeli adalah: 1 tiket wisatawan nusantara @ 5000, 2 tiket kegiatan wisata umum (penelusuran hutan dan pengamatan kehidupan liar) sejumlah 15000 (seluruh tiket ini memiliki cap PER ORANG PER HARI), dan guide yang dihargai 80 ribu per guide. Karena rombongan gue berjumlah 11 orang sementara bapak petugasnya ngotot 1 guide hanya bisa 4-5 orang, maka terpaksa menyewa 3 guide untuk orang yang hanya kelebihan 1 dengan pembagian 2 guide untuk para bule dan 1 guide untuk orang indo karena di rombongan orang indonya hanya 4. Kesalahan fatal pertama adalah, guide yang akhirnya menemani kita HANYA BERJUMLAH 2 ORANG. Padahal perjalanan digabung rombongan bersebelas bukan dipisah bule dan indo. Mungkin 1 guide lagi menemani dari rimbunnya hutan atau menyamar jadi komodo. Intinya di rinca hilang 80 ribu dari penyewaan guide.
Saat siang menjelang sore, kami melanjutkan menuju Pulau Komodo karena kalau besoknya baru ke Komodo, kami harus membayar lagi. Namun sesampainya di Komodo, ternyata kita harus menghabiskan setengah jam lagi untuk berdebat karena bapak-bapak disana NGOTOT kita harus membayar lagi tiket kegiatan wisata umum yang jelas-jelas tertera PER ORANG PER HARI dengan alasan SUDAH SORE SEHINGGA SUDAH DIHITUNG GANTI HARI KARENA OPERASIONAL SUDAH TUTUP. Padahal jam masih menunjukkan pukul 2 menuju ke jam 3 siang. Selain itu juga para bapak petugas masih meminta kita membayar biaya guide. Oke untuk biaya guide gue masih setuju karena beda pulau memang beda guide. Tapi this kind of money scam really embarrased me as Indonesian karena apa? Karena para bule jelas-jelas menunjukkan kekecewaan mereka dan mulai bersumpah serapah seperti “Indonesia, pfft”, “I thought Indonesia is different from other Southeast Asia Country, pfft”, dan masih banyak lagi.
Lucunya adalah, ketika mulai kalah argumen, sang bapak akhirnya mengalah dan hanya mewajibkan kita untuk membayar pengamatan kehidupan liar saja, tidak usah membayar penelusuran hutan. BISA GITU LOH PAK. Udah kaya beli baju di Tanah Abang aja tawar menawar. Akhirnya karena hari semakin sore dan takut tidak bisa mendapat pengalaman melihat komodo di pulau ini, kita mengalah dan setuju untuk membayar pengamatan kehidupan liar. Masih belum cukup, bapak petugas bahkan TIDAK MENGELUARKAN bundel karcis apa-apa untuk disobek meskipun uang sudah kami kumpulkan. Akhirnya gue maju dan ngomong “Pak kalau tidak ada karcis kita tidak mau bayar”. Mati langkah, akhirnya 1 petugas masuk ke kantor dan menyobek karcis sambil bersungut-sungut kaya ngedumel lah.
Tips menghadapi hal seperti ini, jangan kelihatan seperti turis yang pengen banget jalan-jalan. Untungnya kita terbantu di Pulau Rinca dimana kita melihat kurang lebih 6 komodo disana sehingga ketika di Pulau Komodo, kita bisa melakukan sikap ‘ambil atau gue pulang’. Memang kita sempat melakukan bargain kalau bapak petugas masih ngotot maka kita akan balik saja ke kapal dan melewatkan Pulau Komodo sehingga bapaknya melunak dengan menurunkan bayaran yang entah apa alasannya bisa ada.
Pengalaman selanjutnya akan gue lanjutkan di part 2. Ngantuk euy. Hahaha.
Inget ya, OKNUM!
1 note · View note
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
Korelasi Antara Manusia dan Gunung
Tumblr media
(Pemandangan Gunung Merapi dari salah satu warung daerah Kaliurang, Sleman,  Yogyakarta)
Salah satu keuntungan dari kuliah di jogja, terutama kalau tinggal di daerah utara, yakni kalau pulang ke rumah, situ akan disuguhkan pemandangan Gunung Merapi yang terlihat jelas. Jarak pandang di Jogja biasanya saat pagi akan bebas awan dan kabut sehingga Gunung Merapi yang jauh menjadi terlihat sangat dekat. Membuat gunung ini terlihat menjulang dan kokoh namun dekat dengan masyarakat
Setelah 2 tahun hidup di Jogja, gue banyak belajar kalau Gunung Merapi bukan hanya sebuah gunung biasa. Keberadaan gunung ini memang sudah sangat disakralkan oleh Keraton Jogja sejak dahulu kala, terbukti dari grand design Tugu Jogja dan Keraton yang segaris lurus dengan Gunung Merapi. Gunung ini sering sekali erupsi sejak jaman dahulu, bahkan terdapat kepercayaan bahwa jika Merapi akan meletus, maka akan keluar sebuah awan bernama Mbah Petruk. Namun aktifitas gunung ini lah yang menyuburkan daerah Kaliurang sana. Oleh karena itu, untuk menjaga relasi antara manusia dengan para penunggu Gunung Merapi, keraton rajin melakukan ritual Labuhan Merapi.
Hal yang sama juga gue temui ketika berkelana di Bali dan Lombok. Di Lombok, penduduk lokal dan pendatang sangat menghormati Gunung Rinjani. Meskipun gue belum mendaki Rinjani, tapi gue sangat kagum melihat pemandangan Rinjani dari kejauhan. Baik dari pesawat saat menuju Labuan Bajo, dari ketiga pulau Gili, dari pulau Sumbawa bagian barat, dan dari pulau Lomboknya sendiri. Bahkan dari segi pariwisatanya saja, Rinjani adalah salah satu penyumbang devisa terbesar Lombok, belum dari segi yang lain.
Di Bali ada dua gunung yang terkenal, yakni Gunung Batur dan Gunung Agung. Berhubung Bali masih didominasi agama Hindu yang kental, maka di kaki kedua gunung tersebut terdapat pura. Pura Besakih adalah pura terbesar di Bali dan merupakan simbol kedekatan yang Maha Kuasa dengan Manusia. Di kepercayaan masyarakat Bali, keberadaan gunung sangat dihormati dan dianggap “tempat tinggal” dari yang Maha Kuasa. Gue pun melihat sendiri bagaimana Pura Besakih ditata dengan sedemikian rapi dan teratur, seperti rumah dari Tuhan itu sendiri. Di Gunung Batur, meskipun menurut gue gunungnya sudah sangat komersil (di puncak gunung ada warung), namun gue juga masih melihat kedekatan masyarakat dengan gunung ini dari pura yang ada di kaki gunungnya. Pura ini juga yang menjadi penyelamat gue, karena saat ingin mendaki Gunung Batur, pura ini sedang dalam tahap pembangunan sehingga gue bisa menumpang truk pasir dari basecamp ke kaki gunung dan sebaliknya.
Pendakian gunung adalah momen dimana manusia bisa menemukan dan melawan dirinya sendiri. Bahkan sampai ada istilah dimana sifat asli seseorang akan terlihat disaat mendaki gunung. Bagaimana manusia bisa menghadapi kesulitan, bekerjasama dengan orang lain, dan mencapai tujuan menuju rumah. Kenapa rumah? Karena setiap pendakian gunung, tujuannya adalah rumah masing-masing, hanya numpang lewat saja menuju puncak. Paham toh maksudnya?
Menurut gue, mendaki gunung adalah hal yang sakral, dimana manusia menyerahkan hidupnya kepada alam untuk menikmati ciptaan Tuhan. Namun sayang, terkadang hal ini dinodai oleh manusia yang kurang sayang nyawa dalam pendakian. Contoh orang-orang yang tidak punya persiapan mendaki, entah kurang bawa air, kurang bawa makan, buang sampah dan hajat sembarangan, atau mungkin hal lucu seperti dibawah:
Tumblr media
Yang lebih lucu dari screenshot diatas adalah, pendaki wanita tersebut naik gunung bersama pacarnya. hahahahahahahahhahaha.
Pendakian tersulit gue adalah saat mendaki Gunung Merapi. Terutama dari Pasar Bubrah menuju kawah Merapi, dimana kemiringan lebih dari 45 derajat sehingga harus menggunakan tangan dalam pendakian. Mendaki gunung ini juga sukses membuat gue memangkas bobot 3 kg hanya dalam 2 hari, alias lebih manjur dari program diet apapun kecuali sedot lemak. Tetapi semua terbayar oleh pemandangan dari atas. Disaat gue begitu takut melihat kawah Merapi namun tetap mencuri-curi pandang ke dasar. Namun gue belajar bahwa manusia itu kecil sekali. Bahwa manusia adalah benda mati, justru gunung lah yang merupakan makhluk hidup yang sewaktu-waktu dapat bebas menentukan hidup manusia.
Sehingga sampailah pada konklusi bahwa manusia lah yang membutuhkan gunung, bukan gunung yang membutuhkan manusia. Gunung yang menggerakkan devisa masyarakat, dari pariwisata, pertanian, dan lain-lain. Gunung juga yang menyediakan tempat tinggal sejuk bagi masyarakat. Gunung juga menawarkan tempat bagi manusia untuk keluar dari zona nyaman dan menggantinya dengan pemandangan yang menakjubkan. Namun semua kembali ke manusia, dapatkah manusia mengalahkan egonya atas gunung?
It is not the mountain we conquer but ourselves. - Sir Edmund Hillary
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
Perbedaan Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air
Tumblr media
(Chalkboard di salah satu cafe tepi pantai, Gili Trawangan, Lombok, NTB)
Prolog
Petualangan gue di tiga pulau Gili ini bermula setelah 4 hari 3 malam menelusuri Taman Nasional Pulau Komodo. Awal itinerary yang mengatakan bahwa perjalanan akan diakhiri di timur Lombok, ternyata berakhir di Pelabuhan Bangsal, yang merupakan jalan tersingkat dan termurah menuju ketiga pulau Gili ini.
Tidak ada rencana menuju kepulauan Gili di hari pertama. Namun karena melihat siluet pulau tersebut dari pelabuhan Bangsal begitu menggoda, akhirnya gue memutuskan untuk mengubah itinerary hari pertama gue di Lombok menuju ketiga pulau ini. Gue berdiskusi dengan teman gue, Zie, tentang berapa lama kita akan menghabiskan waktu di sana hingga akhirnya tercapai kesepakatan 2 hari untuk mengunjungi ketiga pulau ini. Segera lah kita booking penginapan di Gili Trawangan untuk hari pertama karena tidak ada sama sekali host couchsurfing di daerah ini.
Untuk menuju ketiga Gili ini dari Pelabuhan Bangsal, ada beberapa pilihan, yakni naik public boat dengan harga terjangkau tapi dempet-dempetan kaya angkot, atau private boat dengan harga mahal tapi nyaman. Pilihan jelas jatuh ke public boat dengan harga tidak sampai 20 ribu rupiah untuk penyeberangan setengah jam ke gili trawangan karena jelas kalau naik private boat nanti gue ga makan 1 minggu. Tapi drawbacknya adalah harus menunggu public boat terisi penuh (40 orang) baru kapal akan berangkat. Pastikan anda membeli tiket resmi di bangunan pelabuhan, jangan menggunakan calo
Kapal penyeberangan ke Gili adalah kapal standar yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk memaksimalkan kapasitas, otomatis penumpang ya dempet-dempet seperti pepes. Belum lagi ditambah ibu-ibu penduduk lokal yang membawa sembako seperti sayur, galon aqua, dan lain-lain didalam kapal. Sisi positifnya hanya di kapal tersebut tersedia pelampung berjenis rompi seperti yang tersedia di pesawat-pesawat.
Sesampainya di Gili Trawangan, gue segera menuju penginapan untuk naro tas dan mandi, karena sebelumnya di kapal gue ga mandi sama sekali karena kapal tidak punya persediaan air tawar. Setelah taro tas, kita cari makan siang dan mutusin untuk keliling setengah dari Gili Trawangan di hari pertama.
Ketiga pulau gili ini tidak memperbolehkan kendaraan bermotor sama sekali, jadi transportasi utama adalah sepeda dan cidomo (sejenis dokar/andong/kereta kuda) yang dioperasikan penduduk sekitar. Sewa sepeda sekitar 50-100 ribu dan untuk sewa cidomo tergantung kemampuan negosiasi anda tapi biasanya mahal.
Tidak terasa, hari sudah sore, setelah menikmati sunrise di barat Gili T, kami melanjutkan keliling setengah pulau lagi sambil melihat suasana malam GIli T yang begitu hidup, party everywhere.
Sesudah keliling, kembali ke penginapan, dan sebelum tidur, saya membooking penginapan di Gili Meno keesokan harinya karena rate penginapan di Gili Meno lebih murah dibanding Gili Air.
Keesokan paginya, setelah telat melihat sunrise karena ngantuk tidak tertahankan, kami menuju pelabuhan di Gili T untuk naik hopping boat menuju Gili Air. Kenapa Gili Air? Karena gue ingin muter-muter Gili A dulu sebelum ke Gili M.  Sekedar info, hopping boat tersedia 2x sehari yakni pagi dan sore untuk penyeberangan antar ketiga pulau ini. Harga antar hopping sekitar 25-40 ribu per orang tergantung tujuan anda.  Penyebrangan pagi sekitar pukul 7 WITA.
Satu hal yang lucu dari hopping boat antar Gili dibanding boat Bangsal-Gili adalah, satu kapal hanya gue dan Zie yang orang Indonesia! Jadi dari 40 orang di kapal, hanya ada 2 orang Indonesia + nahkoda dan 1 awak kapal. Untuk sesaat gue merasa kaya lagi di luar negeri. Hal yang sama juga terjadi di Gili Trawangan dimana gue jarang sekali melihat orang lokal sebagai turis. Orang lokal banyak menjadi staff saja atau kusir cidomo. Kontras dengan pemandangan bule-bule yang bejibun banyaknya disana. Di Gili Trawangan juga untuk kali pertama gue melihat mushroom dijual bebas di cafe-cafe yang ada sesuai gambar yang gue sertakan diatas.
Sesampainya di Gili Air, gue nitip tas di salah satu penginapan disana, lalu berjalan-jalan mengelilingi Gili Air sekaligus cari makan siang. Hopping boat selanjutnya adalah jam 3 sore, jadi gue punya jam 7 sampai jam 3 untuk mengelilingi Gili Air. Sayangnya, tiket hopping boat baru bisa dibeli 1-2 jam sebelum keberangkatan, sehingga tidak bisa booking terlebih dahulu.
Setelah puas berjalan-jalan, waktu sudah menunjukkan pukul 3 dan akhirnya kita menuju Gili Meno. Sesampainya di GIli Meno, karena pelabuhan Meno di sisi timur sedang dilanda ombak kencang, kita turun di sisi barat dari pulau. Lucunya, kita diturunkan di tengah laut karena air sedang surut dan kapal tidak bisa mendekat ke pulau. Namun meskipun di tengah laut, air hanya setinggi lutut saja kok.
Di Gili Meno, pulaunya tidak semarak Gili Trawangan, bahkan lampu jalan tidak dipasang di beberapa tempat sehingga penerangan utama adalah cahaya bulan dan lampu-lampu dari kehidupan malam di Gili Trawangan. Bahkan setelah jam 6 sore sudah tidak ada lagi kehidupan di pulau ini. Gili Meno didominasi resort-resort romantis dan pulaunya sangat tenang. Bahkan mencari restaurant di pulau ini sangatlah susah. Namun di Gili Meno terdapat satu-satunya danau air tawar diantara ketiga Gili ini.
Keesokan harinya, saya memilih naik public boat menuju Lombok, harga menuju lombok jauh lebih mahal daripada lombok menuju gili. sekitar 20-40k per orang.
Sudah cukup ya cuap-cuapnya, langsung ke intinya saja. Berikut menurut gue perbedaan antara ketiga pulau tersebut Gili Trawangan
Gili T punya pantai yang sangat bagus, pasirnya putih dan mulus. Pulau ini juga pulau paling ramai diantara ketiga pulau, namun didominasi oleh bule-bule muda yang party goers. Pulau ini selalu hidup 24 jam, berenang di siang dan pesta di malam. Infrastruktur pulau ini juga paling bagus. Namun keramaian pulau ini berbanding lurus dengan harga makanan dan barang disana yang sedikit lebih mahal jika tidak betul-betul blusukan ke tengah pulau.
Gili Meno
Kehidupan di Gili Meno berbanding terbalik dengan Gili T. Di Gili M, kehidupan berjalan natural, tidak ada pesta, bahkan didominasi oleh cottage-cottage khas pasangan honeymoon. Pulau ini sangat tenang, seperti dibiarkan apa adanya. Cocok untuk relaksasi bagi yang tidak suka kehidupan pesta Gili T. Namun dibalik keaslian pulau ini, infrastruktur di pulau ini belum berkembang baik, lampu jalan masih belum terpasang di beberapa tempat, hanya mengandalkan lampu dari hotel / bangunan yang berdiri. Bahkan mencari restaurant murah sangat susah sehingga harus blusukan ke tengah pulau.
Gili Air
Kalau di Gili T anda pergi untuk berpesta, di Gili A ini anda bisa lebih mengeksplor hobi anda. Kehidupan di Gili A berada di pertengahan antara Gili T dan Gili M. Anda dapat melakukan banyak kegiatan di pulau ini di siang hari dan beristirahat tenang di malam hari. Hanya saja pembangunan di pulau ini hanya dominan di pesisir pantainya saja.
Namun dibalik itu semua, ketiga pulau ini menyimpan potensi alam yang luar biasa. Pemandangan yang priceless seperti sunset di best swings in the world, pemandangan pegunungan di pulau Lombok, sunrise yang mengintip dibalik Rinjani, pasir putih yang lembut seperti bedak, dan masih banyak lagi.
____________________________________________
Jika diibaratkan dengan buku Eat, Pray, Love karangan Elisabeth Gilbert, Anda dapat Eat di Gili Trawangan, Pray di Gili Air, dan Love di Gili Meno.
Seandainya harus memilih kembali ke Bali atau Gili, gue akan memilih Gili
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
History is Written by the Winner
(Foto terakhir sebelum kapal tenggelam, Gili Ular, Nusa Tenggara Barat)
Ketahuilah kawanku, hanya segelintir orang yang dapat dengan beruntung mengalami kejadian kapal terbalik ditengah laut dan masih hidup untuk menceritakannya.
Sudah kurasakan pahitnya petualangan laut pada 1 minggu petualangan Nusa Tenggara Timur, kapal habis bensin sehingga diombang-ambing ombak di hari ke tiga. Seumur hidup, aku tidak pernah mabuk darat, udara, ataupun laut, tetapi hari itu aku betul-betul tidak bisa bangun. Karena jika bangun, keluarlah seluruh isi perut hingga tak bersisa. Begitupun bule-bule yang sejak hari pertama bahkan kuat tidak pakai baju selama di kapal, tidak bisa bangun juga menghadapi kerasnya alam.
Percayalah kawan, akan ada saatnya dimana engkau akan ngeri sendiri melihat awak kapal kesulitan berjalan dan kerasnya angin membuat matras senam, ya, matras senam yang tebalnya bukan main itu, beterbangan. Sementara engkau hanya bisa tidur terdiam menahan mual dan heran mengapa awak kapal masih bisa berjalan sementara jika engkau duduk saja perut serasa terkocok.
Tapi agar engkau tau, ini belum apa-apa dibanding kisah selanjutnya.
Kedatanganku di Pulau Lombok menandai akhir dari perjalanan 1 minggu lebih sedikit dari Nusa Tenggara Timur serta tiga pulau kecil, Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili air.
Sesampainya di Lombok, aku tinggal di Rumah Singgah. Tempat persinggahan backpacker yang mencari keramahan antar teman seperjuangan (selain mencari tempat tidur gratis tentunya)
Ketika kurasa petualangan pulau sudah cukup, rupanya hadir peluang berkunjung kembali ke pulau. Teman-teman Rumah Singgah menawarkan untuk bertamasya ke pulau kembali esok paginya. Patungan tentunya. Langsunglah aku menyanggupi, karena ya, kapan lagi toh mumpung di Lombok.
Perjalanan hari itu dimulai dari pagi buta. Tiga pulau akan kami jamah. Pulau Pasaran, Gili Ular, dan Pulau Kenawa. Delapan belas orang teman-teman dari rumah singgah termasuk aku dijejalkan ke bak pickup untuk penghematan biaya. Tidak lupa peralatan tempur dibawa, aku membawa kamera dslr, dan Zie membawa action cam. Biasalah, untuk mengabadikan momen.
Kami berdesak-desakan naik pick up seperti ternak menuju Pelabuhan Kayangan, lalu naik feri menuju Pelabuhan Poto Tano. Turun di Poto Tano, kami melanjutkan naik kapal nelayan yang sudah kami sewa sehari sebelumnya menuju destinasi pertama, yakni Pulau Pasaran. Kapal nelayan yang kunaiki adalah kapal nelayan standar, bermesin dan ada penyeimbang di kiri-kanan kapal. Dikemudikan oleh 1 awak kapal. Kami menyewa 2 kapal nelayan. Karena kapal nelayan yang ditumpangi cukup kecil untuk kami.
Waktu tempuh dari Poto Tanu menuju Pulau Pasaran hanya sekitar 30 menit kurang sedikit. Destinasi pertama yang dituju karena itu adalah pulau terjauh dari Poto Tanu sehingga nantinya kita akan menuju Gili Ular, lalu Pulau Pasaran yang dekat dengan pelabuhan Poto Tanu.
Sebelum itu kutitip barang-barangku, HP dan dompet ke Zie, dia memakai tas perut yang seperti abang-abang parkiran, yang ada retsletingnya.
Pulau Pasaran sendiri berupa pulau yang memiliki bukit yang seperti table top mountain. Tentunya mendaki bukit tersebut tidak sesusah mendaki Gunung Merapi. Meskipun memang pulau tersebut sangat gersang, kekurangan pohon. Dan shelter berupa rumah-rumah panggung yang dibangun penduduk sekitar sudah penuh ditempati keluarga-keluarga yang rombongan menempati teras-teras rumah tersebut.
Sesudah puas berjalan-jalan memutari pulau, kami bertolak ke Gili Ular. Meskipun namanya mengerikan, tapi aku tidak melihat ular sama sekali dari penglihatanku. Gili ular adalah pulau yang tidak memiliki pantai, pulau yang berbentuk karang menjulang sehingga tidak memungkinkan kapal untuk bersandar. Tetapi laut di pulau ini sangat jernih sehingga menjadi diving spot dan tempat berenang. Memang secara samar-samar terlihat dasar laut dari atas kapal.
Kapal yang kutumpangi berisi kurang lebih 7 hingga 8 orang yang tentu semuanya ingin melompat berenang kecuali aku, Zie, dan awak kapal. Bukannya aku tidak bisa berenang, tapi percuma juga dengan mata minusku aku tidak bisa melihat apa-apa ke dasar laut. mubazir dan basah-basahin celana doang. Kalau untuk Zie, memang dia tidak bisa berenang, Posisi kapal yang kutumpangi sekitar 5 meter dari kapal kedua. Bahkan aku masih sempat bercengkrama dengan orang-orang di kapal kedua. Melihat-lihat ke dasar laut, kuperkirakan dasar laut kurang lebih sedalam 3-5 meter, air sangat jernih sehingga dasar laut terlihat jelas.
Satu menit kemudian aku sudah berada di dasar laut. Tenggelam. Bahkan aku belum sempat mengambil napas. Kapal yang kutumpangi terbalik!
Di sepersekian detik di dasar laut tersebut. Aku mulai menyadari bahwa aku harus bertindak cepat untuk menyelamatkan Zie yang tidak bisa berenang. Lalu aku mengingat sekian detik sebelum tenggelam, tangan kananku meraih tas kamera dslr dan tangan kiriku memegang tangan Zie. Saat ini kakiku menyentuh dasar laut.
"Oh my God. I need to safe myself and Zie. what should I do?" batinku.
Sepersekian detik selanjutnya, kuhentakkan kakiku di dasar laut, kudorong badanku menuju ke permukaan sambil tanganku menarik zie dan tas kamera.
"I'm rushing with time here... cmon!"
Entah bagaimana caranya, aku berhasil mencapai permukaan. Tangan kananku langsung mengangkat kamera tinggi-tinggi agar tidak terkena air, lalu tangan kiriku menaruh Zie agar bersandar di kapal. Teman-teman dari kapal kedua mulai menceburkan diri membantu mengambil barang-barang dan menolong Zie yang tidak bisa berenang agar bisa diselamatkan ke kapal kedua.
Di momen itu aku baru sadar bahwa HP ku berada di kantong setelah sebelumnya kuminta dari tas perut Zie. Langsunglah kuminta teman-teman untuk membawa HPku ke kapal kedua.
Setelah memastikan tidak ada elektronik lagi yang menempel, dan Zie sudah naik ke kapal kedua. Aku yang kebingungan akhirnya mulai berenang ke karang di Gili Ular. Setelah sampai dan menenangkan diri, barulah aku tersadar bahwa kacamata dan sandalku hilang. Jadi selama tadi berenang dan menyelamatkan diri, aku hanya dibantu penglihatan seadanya.
Sekian lama menenangkan diri, aku mulai memperhatikan bahwa arus membawa kedua kapal semakin menjauh dari pulau, sementara kapal nelayan tidak memiliki jangkar. Maka kuberanikan diri berenang ketengah laut untuk mencapai kapal kedua. Daripada stuck di pulau tanpa bantuan kacamata pikirku.
Sesampainya di kapal kedua, kupastikan bahwa Zie tidak apa-apa, barulah kucek barang-barang. Untungnya barang-barangku dan Zie tidak ada yang hilang sama sekali selain kacamata dan sandalku. Sandal yang cukup berharga karena sudah menemani sekian banyak petualangan.
Selanjutnya kami di kapal kedua mulai membantu menyelamatkan barang-barang yang tercebur seperti tas, dll, yang diambil oleh teman-teman yang menceburkan diri. Membantu mengeringkan dan apapun yang bisa menyelamatkan barang elektronik.
Akupun mulai memikirkan apa yang terjadi di kapal tadi
Posisi duduk kami di kapal yang kutumpangi seperti angkot, penumpang saling berhadap-hadapan, kurang lebih 4 di kiri dan 4 di kanan. Namun awak kapal berada di belakang karena mesin kapal juga berada di belakang.
Aku dan Zie duduk di sebelah kanan kapal ketika teman-teman lain berdiri menuju bagian depan kapal untuk meloncat ke laut. Di saat itulah kondisi kapal menjadi tidak seimbang karena hanya tersisa aku dan Zie di bagian kanan kapal.
Disaat itu ada ombak yang menerjang dari sisi kiri kapal. sehingga kapal terbalik ke arah kanan.
Kami yang berada di kapal kedua, akhirnya memutuskan untuk menuju ke pulau kenawa terlebih dahulu untuk mendrop barang yang sudah diselamatkan, karena kapal tersisa 1 sehingga tidak muat kalau dipaksakan 18 orang. Harus 2x bolak-balik.
Hebatnya lagi, ketika sore setelah semua sudah selesai beres-beres dan menyelamatkan barang. Awak kapal yang tenggelam malah menyalahkan kami menyebabkan kapalnya tenggelam dan meminta ganti rugi.
Jujur kalau saja itu tidak sore, dan tidak ada pilihan lain untuk pulang selain dengan kapal miliknya, pilihan pertama tentunya adalah tuntut dan laporin ke polisi. Tapi keadaan memaksa kami mengalah dan mengganti rugi.
Bahkan setelah meminta ganti rugi, di perjalanan pulang dekat pelabuhan poto tanu, kapal yang dia bawa kembali kandas didekat tempat sandar karena dia tidak melihat kondisi dasar laut.
Kuberitahu saja kawan, jika engkau tidak terpaksa sekali naik kapal nelayan, janganlah naik, seberapa murahpun dia menawarkan. Sekalipun kau harus naik, pastikan kapal itu ada pelampung. Karena kapalku tidak berpelampung.
Kerugian yang diderita cukup besar dari kami yang tenggelam, terutama dari kerusakan elektronik, tapi tidak seberapa dibanding pengalaman dan nyawa yang masih utuh sekalipun tenggelam di laut.
Pada akhirnya yang terjadi biarlah tetap terjadi. Biarkan kacamataku menjadi koral di dasar Selat Alas sana. Biarkan sandalku hanyut sehingga mungkin bisa ditemukan orang lain. Laut bukanlah tempat bermain-main. Camkan itu.
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
About Budget
(Ornamen di dinding batu di Pura Gunung Kawi, Bali)
halo...
hai....
check check....
1 2 3...
Setelah kembali dari 40 hari bertualang Bali, NTB, dan NTT, akhirnya gue bisa menemukan waktu lenggang untuk menulis kembali.
40 hari? bujubunet yang bener aja lo? Tapi bener akhirnya 40 hari dalam setaun  gue ini kepake untuk jalan-jalan.
Not bad karena gue berhasil mendapatkan beberapa foto yang instagram-able.
Sekarang gue sudah bisa resmi melepas ke-jakarta-an gue yang identik dengan anak mall dan anak rumahan. tapi belum bisa melepas ke-cina-an gue yang identik dengan pelit. Yaialah harus pelit. Kalo ga pelit mungkin gue cuma traveling 5 hari dengan budget yang gue bawa.
Ngomong-ngomong soal budget, gue akhirnya sukses menghabiskan sekitar 6 jutaan untuk 40 hari petualangan. yang berarti kurang lebih 3 juta per bulan. atau sekitar 150 ribu sehari dengan living cost yang cukup mahal di ketiga tempat yang gue datengin (sekali makan 20 ribu bo)
Ini beberapa tips gue untuk menghemat budget, inget, ini tips dari gue. kalo ga cocok ya jangan diterapin. artinya haram.
1. Couchsurfing
Anggep situ dapet hotel yang tiba2 diskon 100 ribu sehari, atau jangan hotel deh, kos-kosan yang murah yang cuma 500 sebulan. Artinya situ keluar 500 untuk sebulan hanya untuk akomodasi dimana seharusnya 500 itu bisa untuk biaya hidup situ buat 1 minggu. Couchsurfing menghemat pengeluaran akomodasi. Tapi harus tetep tau diri ya setidaknya treat host, atau bersihin rumahnya, atau apa lah. Waktu di Bali, gue ketemu this amazing woman yang namanya Mbak Diah dengan anjing-anjingnya yang imut. Selain menghemat pengeluaran, host juga bisa ngasihtau tips dan trik liburan di daerah tempat situ pergi. Hukum wajib jadinya pake couchsurfing.
Oia sekedar saran dari gue, kalau situ pake hotel tujuannya untuk tidur doang dan situ masih muda seumuran gue, gaperlu repot-repot booking hotel berbintang sama aja kok hotel harga 100 ribu dan 1 juta. Kecuali kalau situ dah beranak cucu ya beda cerita hihihi ~
2. Pergi Berdua
Kenapa gue pilih berdua, karena kalo berempat artinya gue harus nunggu 3 orang mandi dan 3 orang makan. Padahal waktu liburan hanya sedikit. Tapi tidak masalah juga kalo mau rame-rame. Cuma waktu gue limited dan gue ingin explore banyak tempat. Dengan berdua juga pengeluaran sewa motor bisa ditekan karena patungan motor dan patungan bensin.
3. Bawa Air Minum Botolan 1.5L
Diselipin aja dibawah stang kalau motor yang situ sewa matic atau di jok motor kalo motor yang situ bawa motor bebek. Percaya deh, situ bisa ngehemat 20 ribu sehari dari beli minum doang
4. Di Restaurant Tidak Perlu Pesan Es Jeruk
Karena sebagai mahasiswa biasa, gue terbiasa untuk minum air putih kalo lagi makan. Mentok-mentok kalau ingin dingin ya pesen air es. Menghemat 5 ribu tiap makan. Kaliin aja sebulan hematnya berapa
5. Spend on Memories, not Things
Situ gaperlu beli baju, beli gelang, beli apapun untuk oleh-oleh teman situ. Saya anti beliin oleh-oleh untuk teman. Karena berat-beratin baggage pulang dan kurus-kurusin dompet. Kalo gue sih lebih pilih spend 100 ribu untuk masuk Bali Zoo dibanding beli 1 baju di Jalan Legian
Thats all. All experiences including boat incident, hiking moment, meeting komodo, etc will be updated in later days. see ya
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
The More You Look, The Less You See
(Perlengkapan camping di Gunung Merbabu, Jawa Tengah)
Salah satu bagian dari traveling yang selalu sukses bikin gue jiper selama traveling bukanlah akomodasi, bukanlah gue bakal makan apa disana, dan juga bukanlah gue bakal ngapain aja disana. Packing adalah masalah gue yang paling besar.
Menjelang kepergian gue sebulan ke bagian timur Pulau Jawa, gue kembali dihadapkan ke dilemma gue yang satu ini. Seperti misalnya problem kolor mana yang bakal gue bawa, apakah yang bolong-bolong harus ditinggal saja karena bakal bikin malu atau malah dibawa saja agar ventilasi maksimal. Selain itu gue juga direpotkan oleh kalkulasi Konsumsi Kolor Harian (KKH) gue agar mencukupi hingga tanggal kepulangan.
“Baju ganti... check”
“Celana ganti... check”
“Kolor pink kesayangan.... check”
“Alat mandi.... check”
*berangkat ke tujuan*
*sampai di tujuan lalu ingin mandi*
“Setan, gue lupa bawa handuk!”
Pernah mengalami hal macam diatas? Kalau gitu selamat, situ pasti harus pasang muka tebal dan mencari handuk pinjaman di tempat tujuan situ. Lalu situ merasakan bagian intim anda disentuh oleh barang yang tidak familiar oleh anda (lah....). So, gue akhirnya merasa gue perlu membuat suatu tips singkat tapi melelahkan buat yang baca, apa aja sih yang perlu disiapkan dalam packing.
1. Tentukan durasi dan tujuan
Jalan-jalan 7 hari ke Bandung dengan tujuan nongkrong di Jalan Braga tentu berbeda dengan 2 hari pendakian Gunung Merapi. Barang yang dibawa sesuaikan ya, jangan ke Jalan Braga bawa tenda 6 orang atau ke Gunung Merapi bawa celana jeans yang lututnya sobek-sobek
2. Lebih baik kelebihan daripada kekurangan? Bisa jadi!
Kembali lagi, disesuaikan dengan tujuan. Kalau di pendakian gunung, lebih baik bawa supply makanan berlebih. Pendakian 1 hari mungkin bawa supply makanan untuk 2 atau 3 hari yang bertujuan untuk jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, situ bisa bertahan hidup dengan makanan yang dibawa. Tapi kalau untuk wisata kota 1 hari ya tidak perlu kan bawa baju 5. Kecuali emang situ mau ke Waterboom, itupun gaperlu sampe bawa 5 kayanya.
3. Bawalah sesuai apa yang kuat situ angkat
Kecuali situ istri pejabat, yang punya asisten pribadi untuk angkat-angkat barang, lebih baik situ bawa barang yang beratnya masih bisa situ angkat. Kalau situ bawa barang yang melebihi kapasitas berat tas, selain akan merusak tas, bisa merusak punggung dan masa depan situ juga.
4. Jangan pernah takut untuk tidak bawa sesuatu
Gue pernah baca satu quotes bagus dalam packing
“If you’re not sure if you need it, you don’t
If you’re pretty sure you need it, you don’t
If you’re absolutely certain you need it, you probably still don’t”
Intinya kalau ngerasa ga butuh ya gausah dibawa gitu.
5. Coba hidup dari packing anda sehari sebelum berangkat
Sehari sebelum berangkat, coba situ bayangin situ udah di tempat tujuan, nah situ coba lakuin kegiatan situ tapi hanya bisa ambil dari packing yang udah disiapkan. Dari kegiatan itu bakal ketahuan apa yang belum masuk ke packing dan apa yang sudah.
____________________________________________
Intinya dalam packing, kalau terlalu fokus ke satu hal dan memperhatikan hal yang itu-itu aja, sudut pandang seseorang dapat menyempit dan akhirnya tidak dapat melihat apa saja yang belum terbawa diluar sudut pandang tersebut.
The more you look, the less you see
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Video
youtube
Hey, once upon a younger year When all our shadows disappeared The animals inside came out to play Hey, went face to face with all our fears Learned our lessons through the tears Made memories we knew would never fade One day my father—he told me, "Son, don't let it slip away." He took me in his arms, I heard him say, "When you get older Your wild heart will live for younger days Think of me if ever you're afraid." He said, "One day you'll leave this world behind So live a life you will remember." My father told me when I was just a child These are the nights that never die My father told me [Instrumental] When thunder clouds start pouring down Light a fire they can't put out Carve your name into those shining stars He said, "Go venture far beyond these shores. Don't forsake this life of yours. I'll guide you home no matter where you are." One day my father—he told me, "Son, don't let it slip away." When I was just a kid I heard him say, "When you get older Your wild heart will live for younger days Think of me if ever you're afraid." He said, "One day you'll leave this world behind So live a life you will remember." My father told me when I was just a child These are the nights that never die My father told me These are the nights that never die My father told me Hey, hey
0 notes
inthenameoftravel-blog · 9 years ago
Text
Living, Loving, and Laughing
(Tangga menuju mercusuar di Pantai Baron, Yogyakarta)
Ada momen dimana perjalanan hidup seseorang mencapai titik jenuh dari aktifitas rutin yang dilakukan. Jadi ya kegiatannya cuma muter-muter gitu aja seharian. Bangun - mandi (kadang) - berangkat sekolah/kuliah/kantor - nyampe - nunggu jam istirahat - istirahat - masuk lagi - nunggu jam pulang - pulang - tepar. Terus abis itu siklusnya diulang lagi 6x seminggu. Kok cuma 6x? Iya soalnya pas hari minggu ya siklusnya tidur-bangun-tidur doang. Pertanyaannya adalah, kapan waktu buat hidup?
Contohnya gue, manusia yang sering terjebak kasus “MLM” macam diatas. Padahal gue dibilang pinter juga kaga, rajin juga kaga, tapi kalo ganteng sih banget (astaga gue lupa bulan puasa gabole boong). Awalnya gue ga sadar kalo gue jadi manusia yang hidupnya template. Udah cetakan dari norma sosial yang ada, dimana manusia itu harus bangun, (harus) mandi, belajar, dan mati. Bisa dibilang gue nyaman di zona nyaman yang dibuat oleh definisi dari orang-orang di sekitar gue.
Akhirnya semua berubah semenjak gue sudah mulai membesar. Apanya yang membesar? Ya umurnya lah. Tapi umur kan ga membesar ya tapi bertambah.... yaudah skip. Sebetulnya gue itu orang bebas yang terkurung dalam zona nyaman semu gue, yakni dirumah. Jujur ketika gue masih kecil (gue gatel untuk nulis “apanya yang kecil?”, tapi lebih baik tidak usah), ketika masih jamannya cinta monyet, hidup gue berkutat di loving and (maybe) laughing. Tapi gue ga enjoy dengan hal itu. Gue gatau apa arti dari living.
Satu perjalanan yang mengubah hidup gue adalah perjalanan gue backpacking ke Malaysia selama sebulan. Sendirian. Disaat libur kelulusan kelas 3 SMA. Disitu gue baru mengenal bahwa untuk menjadi orang yang hidup, alias living person, orang itu harus keluar dari zona nyamannya sendiri. Keluar dari kehidupan standar gue didepan laptop untuk ngegame dan untuk percaya bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan secara “MLM” diatas. Gue ingin jadi orang “minoritas” yang hidupnya dihabiskan diluar zona nyaman gue sendiri. tidak seperti orang “mayoritas” yang hidupnya dihabiskan oleh sistem yang diciptakan oleh orang lain, zona nyaman semu miliknya sendiri.
So now I know what is the meaning to be alive, to be able to love other and loved by the other, and ended up laugh because im happy. Living, Loving, and Laughing.
0 notes