Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Toy Story 4 dan Kisah Tentang Kepemilikan
Setelah menunggu lima tahun, akhirnya salah satu film Disney favorit keluarga, yaitu Toy Story 4 dirilis. Kisah lanjutan dari Toy Story 3 ini menceritakan kehidupan para mainan yang telah diberikan Andy kepada pemilik barunya, Bonnie. Apa yang kemudian menarik perhatian saya ada pada scene-scene yang menunjukan kegigihan Woody si Koboi mainan. Kegigihan Woody tersbeut dimaksudkan agar Bonnie tetap bahagia dan memilihnya dan memainkannya sebagai mainan favorit. Woody yang dulunya adalah favorit Andy merasa ketakutan ketika ternyata, Bonnie tidak lebih menyukainya dibandingkan kawan-kawan mainannya yang lain. Pada akhirnya, Bee Bop menyadarkan Woody bahwa yang dilakukannya bukanlah demi kebahagiaan Bonnie melainkan hasrat Woody untuk tetap mempertahankan statusnya sebagai mainan kesayangan Bonnie.
Rupanya, hal yang dialami oleh Woody dialami pula oleh saya selaku penulis di sini. Narasi yang hidup dalam film Toy Story ini adalah kemuliaan sebuah mainan terletak pada adanya status kepemilikan oleh seorang anak dan hal tersebut adalah satu-satunya yang dapat dilakukan oleh sebuah mainan. Ternyata, eh ternaya, narasi tersebut juga hidup dalam diri saya tanpa saya sendiri sadari. Saya merasa bahwa adanya orang yang merasa diri kita penting adalah manifestasi dari sebuah status kepemilikan. Mereka yang menyayangi kita sebagai teman, pacar, sahabat itulah pemilik diri kita. Lantas apa yang saya rasakan ketika saya merasa dimiliki? Wah, saya merasa luar biasa mulianya sama seperti yang dirasakan oleh Woody dan kawan-kawan mainannya.
Tanpa saya sadari sebelumnya, narasi ini ternyata mengandung nilai patriarkis. Secara tidak langsung saya mengaminkan bahwa perempuan yang mulia adalah perempuan yang dimiliki. Dengan begitu, perempuan dianggap sebagai objek dan properti. Properti tersebut dituntut harus memiliki tuan (pemiliki). Jika tidak, perempuan yang berposisi sebagai properti tadi akan dianggap aneh, tidak laku, kurang menarik, dan sebagainya.
Hal ini terjadi pada diri saya, berulang kali lelaki tersebut mengirimkan sinyal “ketidaksukaan”. Namun, saya dengan ego yang sangat besar, mencoba berbagai upaya untuk dapat diterima kembali dalam hidupnya. Saya merasa tidak berharga saat dia menolak menjadi pemilik saya kembali.
Tentu mental saya menjadi rapuh dan hancur. Pada akhirnya, Woody dan saya berhasil menjadi subjek yang bebas kembali. Woody berhasil merelakan bahwa Bonnie tidak menganggapnya sebagai mainan favorit dan memutuskan untuk menjadi mainan bebas yang tinggal di karnaval. Sementara, saya perlahan mencoba mengerti bahwa keberadaan saya bagi lelaki tersebut tidaklah amat penting. Saya sadar saya bukan mainan, ataupun barang yang harus dimiliki. Saya adalah seorang perempuan yang kemuliaannya bukan diukur atas dasar kepemilikan
0 notes
Text
What’s missing: The autonomous love
what did i do when he was held my hand?
it was a completely disaster
i was chained by his surrounding
i couldn’t move
i was an object
i did thousand and thousand apologies
i blamed myself
i was depressed
_
then
i realized
the autonomous love was robbed from me
0 notes
Quote
All ideology has the function....of "constituting" concrete individual as subjects
Lacan
1 note
·
View note